• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN JAMUR PELARUT FOSFAT DAN MIKORIZA UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN P DAN PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT DI TANAH ULTISOL SKRIPSI OLEH:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMANFAATAN JAMUR PELARUT FOSFAT DAN MIKORIZA UNTUK MENINGKATKAN KETERSEDIAAN P DAN PERTUMBUHAN BIBIT KELAPA SAWIT DI TANAH ULTISOL SKRIPSI OLEH:"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH:

RIZKI ARSTI 130301138

AGROTEKNOLOGI – ILMU TANAH

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

SKRIPSI

OLEH:

RIZKI ARSTI 130301138

AGROTEKNOLOGI – ILMU TANAH

Usulan Penelitian Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melakukan Penelitian

di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Nama : Rizki Arsti

NIM : 130301138

Program Studi : Agro teknologi

Minat : Ilmu Tanah

Disetujui Oleh:

Komisi Pembimbing

(Dr. Mariani Sembiring, SP. MP.) Ketua

(Prof. Dr. Ir. T. Sabrina, M.Sc) Anggota

Mengetahui:

(Dr. Ir. Sarifuddin, MS.)

Ketua Program Studi Agroekoteknologi

Tanggal Lulus :

(4)

soil becomes low. Fungi phosphate solubilization and mycorrhizal fungi can dissolve phosphate from unavailable forms become available for plants. This research was conducted on April 2017 until August 2017 at Experimental Field of Faculty of Agriculture, Soil Biology Laboratory of North Sumatera University.

This research was done by using Randomized Block Design with 2 factors and 3 resurrections, fungi phosphate solubilization (without application of fungi phosphate solubilization, Talaromyces pinophillus, Aspergillus awamori) and mycorrhizal fungi (0g / polybag, 10 g/polybag, 20 g/polybag). The results showed fungi phosphate solubilization was able to increase plant height (33.29 cm) in treatment of A. awamori, P uptake (119.52ppm) on T. pinophillus + A. awamori treatment, P total (1271.03 ppm) at treatment without fungi phosphate solubilization. In mycorrhizal application, it was able to increase plant height (33.38 cm) in treatment of mycorrhizal 20 g, P uptake (15.66 mg / plant) in treatment of mycorrhizal 10 g, root infection degree (77.93%) in treatment of mycorrhizal 20 g. The result showed that applications of Fungi phosphate solubilization and mycorrhizal fungi showed an increase in plant height of 3.16 cm.

Keywords : fungi phosphate solubilization, mycorrhizal fungi, P available,Ultisol.

(5)

menyebabkan ketersediaan P didalam tanah menjadi rendah. Jamur pelarut fosfat dan mikoriza dapat mengubah fosfat dari bentuk tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2017 sampai Agustus 2017 di Lahan Percobaan Fakultas Pertanian, Laboratorium Biologi Tanah Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan dengan metode Rancangan Acak Kelompok dengan 2 faktor dan 3 ulangan yaitu Jamur Pelarut Fosfat( tanpa aplikasi JPF, aplikasi Talaromyces pinophillus, Aspergillus awamori) dan Mikoriza (0g/polybag, 10g/polybag, 20g/polybag). Hasil penelitian menunjukkan pemberian jamur pelarut fosfat mampu meningkatkan tinggi tanaman (33.29cm) pada perlakuan aplikasi A. awamori, serapan P (119.52ppm) pada perlakuan T.

pinophillus+A. awamori, P total (1271.03ppm) pada perlakuan tanpa JPF. Pada pemberian mikoriza mampu meningkatkan tinggi tanaman (33.38 cm) pada aplikasi mikoriza 20 g, serapan P (15.66 mg/tanaman) pada aplikasi mikoriza 10 g, derajat infeksi akar (77.93%) pada aplikasi mikoriza 20 g. Pada interaksi aplikasi JPF dan Mikoriza menunjukkan peningkatan tinggi tanaman sebesar 3.16 cm.

Kata kunci :, jamur pelarut fosfat, mikoriza, P tersedia, ultisol

(6)

dan rahmatnya penulis dapat menyelesaikan proposal usulan penelitian ini tepat dengan waktunya.

Adapun judul penelitian ini adalah “Pemanfaatan Jamur Pelarut Fosfat dan Mikoriza Untuk Meningkatkan Ketersediaan P dan Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit di Tanah Ultisol” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat melaksanakan penelitian di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada

Dr. Mariani, SP. MP. selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. T. Sabrina, M.Sc selaku anggota komisi pembibing serta

Dr. Ir. Sarifuddin, MS. selaku ketua program studi agroekoteknologi.

Penulis menyadari bahwa proposa ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Demi perbaikan proposal ini. Akhir kata penulis mngucapkan terimakasih dan semoga bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Maret 2018

Penulis

(7)

Penulis merupakan putra dari Bapak Drs. Cut Aris dan Ibu Siati. Penulis merupakan anak ke-1 dari 3 bersaudara.

Pada tahun 2001 penulis masuk pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Sriwijaya selama 6 tahun. Pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Swasta Darul Mukhlishin selama 3 tahun. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan menengah atas pada tahun 2010 di SMA Negeri 1 Kejuruan Muda selama 3 tahun.

Pada tahun 2013, penulis lulus dalam pendidikan menangah atas dan melanjutkan studinya ke Universitas Suamatera Utara (USU) Medan melalui jalur

SBMPTN (Ujian Tertulis) pada Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian dengan minat Ilmu Tanah. Selama mengikuti perkuliahan,

penulis aktif dalam mengikuti beberapa organisasi dan termasuk ke dalam anggota HIMAGROTEK (Himpunan Mahasiswa Agroekoteknologi) Fakultas Pertanian USU. Penulis pernah menjadi Asisten di Laboratorium Dasar Ilmu Tanah Kehutanan, Bioteknologi Sub-Tanah, Pertanian Organik Serta Ekologi dan Biologi Tanah.

Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di PT. Asam Jawa, Pengarungan, Kota Pinang, Labuhan Batu Selatan, Povinsi Sumatera Utara pada tahun 2016.

(8)

ABSTRACT ... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

Kegunaan Penulisan ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol. ... 4

Forfor ... 4

Mikroba Pelarut Fosfat ... 6

Mikoriza ... 7

Kelapa sawit ... 8

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ... 10

Bahan dan Alat ... 10

Bahan ... 10

Alat ... 10

Metode Penelitian ... 10

PELAKSANAAN PENELITIAN Pengambilan Dan Penanganan Contoh Tanah ... 12

Analisis Awal Tanah ... 12

Persiapan Inokulum Mikroba Pelarut Fosfat ... 12

Persiapan Inokulum Mikoriza ... 12

Pembuatan Naungan ... 13

Persiapan Media Tanam ... 13

Penanaman Kecambah Kelapa Sawit ... 13

Pemberian Inokulan Mikoriza ... 13

Aplikasi Mikroba Pelarut Fosfat... 14

Pemeliharaan ... 14

(9)

P-Total ... 14

P-Tersedia ... 14

Kadar P Tanaman ... 14

Tinggi Tanaman ... 15

Jumlah daun ... 15

Populasi Mikroba ... 15

Derajat Infeksi Akar ... 15

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38

Saran ... 38 DAFTAR PUSTAKA

(10)

1. Hasil Analis Awal Tanah Ultisol Gebang 12

2. pH Tanah 16

3. Populasi Mikroba 17

4. P Total Tanah 19

5. P Tersedia Tanah 20

6. Serapan P Tanaman 21

7. Tinggi Tanaman 22

8. Jumlah Daun 23

9. Bobot Kering Tajuk 24

10. Bobot Kering Akar 25

11. Derajat Infeksi Akar 26

(11)

1. Hasil Analisis Awal Tanah Ultisol Gebang 41

2. Hasil Pengukuran pH H2O Tanah 42

3. Hasil Pengukuruan Populasi Mikroba 43

4. Hasil Pengukuran P Total Tanah 44

5. Hasil Pengukuran P Tersedia Tanah 45

6. Hasil Pengukuran Serapan P Tanaman 46

7. Hasil Pengukuran Tinggi Tanaman 47

8. Hasil Pengukuran Jumlah Daun 48

9. Hasil Pengukuran Berat Kering Tajuk 49

10. Hasil Pengukuran Bobot Kering Akar 50

11. Hasil Pengukuruan Derajat Infeksi 51

(12)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Luas perkebunan kelapa sawit semakin meningkat. Dilihat dari data Badan Pusat Statistik (2015) diketahui bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia selama enam tahun terakhir cenderung menunjukkan peningkatan, naik sekitar 2,77 sampai dengan. 11,33 persen per tahun. Pada tahun 2014 terjadi peningkatan 25,80 persen. Pada tahun 2015 diperkirakan luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat sebesar 5,07 persen dari tahun 2014 menjadi 11,30 juta hektar.

Perluasan areal tanam dalam upaya peningkatan produksi dihadapkan pada terbatasnya lahan subur dengan berbagai permasalahan, lahan yang tersedia hanya didominasi lahan marginal seperti Ultisol. Menurut Sudaryono (2009) tanah ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran terluas, yaitu mencapai 45.794.000 hektar atau hampir 25% dari total seluruh daratan Indonesia.

Pemanfaatan tanah ultisol sebagai areal perluasan tanam kelapa sawit baru dihadapkan pada beberapa kendala seperti tingkat kemasaman yang tinggi, kandungan unsur N, P, K, Ca, Mg, S, dan Mo yang rendah serta kandungan unsur Al, Fe, dan Mn yang tinggi menyebabkan unsur P tidak tersedia di dalam tanah (Same, 2011).

Salah satu alternatif untuk mengatasi rendahnya fosfat tersedia dalam tanah ultisol adalah dengan memanfaatkan mikroba pelarut fosfat dan mikoriza.

Keduanya dikelompokkan sebagai mikroba pelarut hara P. Mikroorganisme pelarut fosfat merupakan mikroorganisme yang mempunyai kemampuan

(13)

mengubah fosfat dari bentuk tidak larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Fosfat relatif tidak mudah tercuci seperti N, tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P tersedia menjadi tidak tersedia dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Fe-P, Al-P. Populasi mikroba pelarut fosfat di tanah ultisol akan meningkatkan ketersediaan P tanah secara linear. Peningkatan ini diduga karena mikroba pelarut fosfat mampu mengeluarkan asam – asam organik yang kemudian akan mengikat unsur yang akan mengkhelat fosfor yang tadinya tidak tersedia menjadi tersedia (Hasanuddin, 2004).

Hasil penelitian Sembiring et al. (2015) menyatakan bahwa penggunaan mikroba pelarut fosfat dapat meningkatkan ketersediaan P sebesar 71,65%, dan meningkatkan berat kering tanaman yaitu sebesar 58.11%, serta produksi umbi kentang hingga 66,8% pada Andisol terdampak erupsi Gunung Sinabung.

Mikoriza merupakan mikroba tanah hidup simbiotik mutualisme yang mempunyai kemampuan untuk berasosiasi dengan hampir 90% jenis tanaman.

(Same, 2011). Mikoriza Arbuskula mampu meningkatkan serapan P sehingga pertumbuhan bibit kelapa sawit dapat meningkat seperti bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, bobot basah akar, dan bobot kering akar dibandingkan dengan tanpa pemberian cendawan Mikoriza Arbuskula.

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian pemanfaatan mikroba pelarut fosfat dan mikoriza terhadap ketersediaan hara P dan pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah ultisol

.

(14)

Tujuan Penelitian

- Untuk mengetahui pengaruh jamur pelarut fosfat dalam meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

- Untuk mengetahui pengaruh mikoriza dalam meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

- Untuk mengetahui pengaruh interaksi jamur pelarut fosfat dengan mikoriza dalam meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

Hipotesis Penelitian

- Pemberian jamur pelarut fosfat dapat meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

- Pemberian mikoriza dapat meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

- Interaksi pemberian jamur pelarut fosfat dengan mikoriza dapat meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

Kegunaan Penulisan

Sebagai salah satu syarat untuk dapat melaksanakan penelitian di Fakultas Pertanian Universitas Sumatra Utara, Medan, serta sebagai bahan informasi bagi pihak yang membutuhkan.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Tanah Ultisol

Tanah utisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran terluas, yaitu mencapai 45.794.000 hektar atau hampir 25 % dari total seluruh daratan Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan yaitu sekitar 21.938.000 hektar, dengan tingkat produktivitas lahan sangat rendah (Sudaryono, 2009).

Ultisol mengandung berbagai kendala berat untuk budidaya tanaman yang saling berkaitan. Hal ini menuntut penanganan serentak. Menyelesaikan satu kendala tanpa menghiraukan yang lain justru dapat menimbulkan persoalan yang lebih berat. Segala persoalan yang muncul dalam ultisol bersumber pada sejarah pembentukannya. Tanah ini dibentuk oleh proses pelapukan dan pembentukan tanah yang sangat intensif karena berlangsung dalam lingkungan iklim tropika dan

sub tropika yang bersuhu panas dan bercurah hujan tinggi (Notohadiprawiro, 2006).

Beberapa kendala yang umum pada tanah Ultisol adalah kemasaman tanah tinggi, pH rata - rata < 4,50, kejenuhan Al tinggi, miskin kandungan hara makro terutama P, K, Ca, dan Mg, dan kandungan bahan organik rendah. Kekurangan P pada tanah Ultisol dapat disebabkan oleh kandungan P dari bahan induk tanah yang memang sudah rendah, atau kandungan P sebetulnya tinggi tetapi tidak

tersedia untuk tanaman karena diserap oleh unsur lain seperti Al dan Fe (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

(16)

Fosfor

Fosfor (P) merupakan unsur hara utama kedua yang dibutuhkan tanaman setelah unsur hara nitrogen. Unsur ini merupakan bagian penting dari nukleoprotein deoxyribonucleic acid (DNA) yang membawa sifat – sifat keturunan organisme hidup. Di dalam banyak hal senyawa fosfor mempunyai peranan dalam pembelahan sel, merangsang pertumbuhan awal pada akar, pemasakan tanaman, transport energi dalam sel, pembentukan buah dan produksi biji (Yulipriyanto, 2010).

Unsur fosfat (P) adalah unsur esensial kedua setelah N yang berperan penting dalam fotosintesis dan perkembangan akar. Ketersediaan P dalam tanah jarang yang melebihi 0,01 % dari total P. Sebagian besar bentuk P terikat oleh koloid tanah sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Tanah dengan kandungan organik rendah seperti Oksisols dan Ultisols yang banyak terdapat di Indonesia kandungan P dalam organik bervariasi dari 20–80%, bahkan bisa kurang dari 20%

tergantung tempatnya. P tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara efektif oleh tanaman, karena P dalam tanah dalam bentuk P terikat di dalam tanah, sehingga petani harus terus melakukan pemupukan P di lahan sawah walaupun sudah terdapat kandungan P yang cukup memadai. Pada tanah masam, P bersenyawa dalam bentuk-bentuk Al-P dan Fe-P, sedangkan pada tanah alkali (basa) P akan bersenyawa dengan kalsium membentuk senyawa Ca-P yang sukar larut (Asra, 2006).

Kekurangan unsur P umumnya menyebabkan volume jaringan tanaman menjadi lebih kecil dan warna daun menjadi lebih gelap. Terkadang, kadar nitrat dalam tanaman menjadi lebih tinggi karena proses perubahan nitrat dalam

(17)

tanaman menjadi lebih tinggi karena proses perubahan selanjutnya terhambat.

Warna daun yang menjadi purple dan kecoklatan mulai menampakkan gejala defisiensi untuk tanaman (Rosmarkan dan Yuwono, 2002).

Mikroba Pelarut Fosfat

Mikroorganisme pelarut fosfat merupakan mikroorganisme yang mempunyai kemampuan mengekstrak fosfat dari bentuk yang tidak larut menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman. Di dalam tanah umumnya dijumpai mikroorganisme pelarut P sekitar 104 sel sampai 109 per gram tanah dan sebagian besar terdapat di daerah rizosfer (Hanafiah dkk, 2009).

Aktivitas fosfatase tanah ultisol dapat ditingkatkan dengan inokulasi Mikroba Pelarut fosfat. Perlakuan Pseudomonas sp. berkontribusi nyata meningkatkan aktivitas fosfatase sebesar 144.72% dibandingkan dengan kontrol.

Bahkan Pseudomonas sp. bersamaan dengan penicilllium sp. meningkatkan

aktivitas fosfatase yang lebih tinggi lagi, yaitu 150% dibandingkan kontrol (Fitriatin dkk, 2009)

Aplikasi mikroba pelarut fosfat Talaromyces Pinophilus dan Aspergillus awamori dapat meningkatkan P tersedia bila dibanding dengan tanpa aplikasi. Hal ini menunjukkan bahwa mikroba pelarut fosfat Talaromyces Pinophilus dan Aspergillus awamori ini mampu melarutkan P tanah yang semula tidak tersedia menjadi tersedia. (Sembiring dan fauzi 2017).

Mikroba pelarut fosfat mampu melarutkan Ca-P. Spesies dari Pseudomonas, Bacillus, Flavobacterium, Mycobacterium, Micrococcus, Penicillium, Sclerotium, Aspergillus mampu menggunakan Ca3(PO4)2 (apatit) atau material fosfat tidak terlarut lainnya sebagai sumber fosfat. Asam organik

(18)

mampu mengubah Ca3(PO4)2 (apatit) menjadi menjadi fosfat bervalensi satu (H2PO4-) dan bervalensi dua (HPO4-2) (Lynch dan Poole, 1979).

Penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan mikroba pelarut fosfat telah banyak dilakukan. Mikroba pelarut P di dalam aktivitasnya akan membebaskan sejumlah asam-asam organik, seperti asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan asam α-keto butirat. Asam sitrat yang dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperan dalam melarutkan Ca-fosfat.

Asam organik tersebut mampu memecah komponen apatit Ca-fosfat dalam medium yang merupakan bentuk fosfat tidak larut menjadi bentuk terlarut (Raharjo dkk, 2007).

Jamur Aspergillus awamori menghasilkan asam sitrat. Produksi asam organik akan mempengaruhi pH media. Asam organik seperti asam sitrat, oksalat, tartrat dan malat mengandung gugus karboksil (COOH), alifatik (OH) fenolik- hydroksil sangat efektif dalam pelarutan mineral dan pembentukan chelat dengan

unsur Al, Fe, Ca serta unsur lain dan menurunkan pH media (Violante dan Gianfreda, 2000).

Mikoriza

Mikoriza dapat meningkatkan serapan unsur hara baik makro maupun mikro. Selain itu akar yang bermikoriza dalam bentuk terikat dan tidak tersedia bagi tanaman. Kandungan P tanaman yang bermikoriza umumnya lebih tinggi dari pada tanaman tak bermikoriza. Prinsip kerja mikoriza ini adalah menginfeksi sistem perakaran tanaman inang, memproduksi jalinan hifa secara intensif sehingga tanaman yang mengandung mikoriza akan mampu meningkatkan kapasitas dalam penyerapan unsur hara (Hanafiah dkk, 2009).

(19)

Keuntungan dari pemanfaatan mikoriza yakni peningkatan pertumbuhan, kualitas dan produktivitas tanaman melalui perkembangan akar tanaman sehingga penyerapan unsur hara makro dan mikro terutama fosfat lebih banyak.

Mekanisme kerja mikoriza melalui 1) meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara serta air, 2) peningkatan luas eksplorasi akar bermikoriza per volume tanah sehingga absorbs air dan hara tanaman akan menjangkau pori–pori mikro tanah yang tidak bisa dijangkau oleh rambut–rambut akar, dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, meningkatkan afinitas ion di permukaan akar tanaman bermikoriza (Brundrett, 2009).

Keuntungan asosiasi mikoriza dengan tanaman karena mikoriza efektif pada kondisi-kondisi yang kurang menguntungkan bagi tanaman seperti kesuburan tanah yang rendah dan ketersediaan air terbatas. Simbiosis mikoriza dengan akar tanaman berlangsung selama tanaman hidup. Hal ini dapat menjaga keseimbangan proses fisiologis tanaman sehingga dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan tanaman oleh karena tanaman cukup unsur hara dan air (Tirta, 2006).

Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) sangat penting artinya bagi Indonesia. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir kelapa sawit menjadi komoditas andalan ekspor dan komoditas yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan harkat petani pekebun serta para transmigran Indonesia (Pardamean, 2008).

Tanaman kelapa sawit termasuk ke dalam famili palmae, sub kelas monocotyledoneae. Beberapa varietas kelapa sawit yang unggul umumnya banyak ditanam adalah dura, psifera dan tenera. Tanaman kelapa sawit memiliki akar

(20)

serabut, memiliki batang lurus, memiliki bentuk daun menyirip, termasuk tanaman monoecious, memiliki biji dengan ukuran dan bobot yang berbeda tergantung jenisnya. Idealnya kelapa sawit hidup baik di wilayah dengan curah hujan 2000 mm/tahun yang terbagi merata sepanjang tahun, membutuhkan suhu rata-rata 22-230C untuk produksi buah, Kelapa sawit dapat hidup di tanah mineral, gambut, dan pasang surut (Lubis dan Agus, 2011)

Pemeliharaan pembibitan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan program pembibitan. Tanpa pemeliharaan yang baik, bibit yang unggul sekalipun tidak bisa mengekspresikan keunggulan dan semuanya akan menjadi sia-sia. Hal itu menyebabkan proses persemaian merupakan periode kritis seperti pemeliharaan bayi yang baru dilahirkan. Kecerobohan dalam pemeliharaan persemaian dapat menyebabkan kecambah mati (Pahan, 2006).

(21)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2017 di Lahan Pertanian, Laboratorium Biologi Tanah, serta Laboratorium Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kelapa sawit sebagai tanaman indikator, inokulan jamur Talaromyces pinophilus,inokulan jamur Aspergillus awamori sebagai mikroba pelarut fosfat, inokulan mikoriza, pupuk urea, KCL, dan SP-36 sebagai pupuk dasar, tanah Ultisol sebagai media tanam, dan bahan-bahan pendukung lainnya.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah polybag sebagai wadah tanam, erlenmeyer sebagai wadah inokulum MPF sebelum di aplikasi, cangkul yang digunakan untuk persiapan lahan, gelas ukur untuk mengukur volume MPF yang akan di aplikasi, timbangan analitik untuk menimbang pupuk dan inokulan Mikoriza, pH meter untuk mengukur pH tanah, spektrofotometer sebagai alat pengukuran P, meteran untuk mengukur tinggi tanaman, dan alat – alat pendukung lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 2 faktor. Faktor I adalah mikroba pelarut fosfat dengan 4 taraf perlakuan dan faktor II adalah inokulan mikoriza dengan 3 taraf perlakuan.

Diperoleh kombinasi perlakuan yaitu 12 unit perlakuan dengan 3 ulangan sehingga diperoleh jumlah keseluruhan perlakuan sebanyak 36 unit perobaan.

(22)

Faktor I. Mikroba Pelarut Fosfat (MPF) J0 : Tanpa aplikasi MPF

J1 : Aplikasi Talaromyces pinophilus J2 : Aplikasi Aspergillus awamori

J3 : Aplikasi Talaromyces pinophilus + Aspergillus awamori Faktor II. Inokulan Mikoriza

M0 : 0 g/polybag M1 : 10 g/polybag M2 : 20 g/polybag

Diperoleh kombinasi perlakuan sebanyak 12 kombinasi yaitu : J0M0 J1M0 J2M0 J3M0

J0M1 JIM1 J2M1 J3M1 J0M2 JIM2 J2M2 J3M2

Data hasil peneltian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam berdasarkan model linear sebagai berikut:

Yijk = μ + ∂i + αj + βk + (αβ)jk + εijk dimana:

Yijk : Hasil pengamatan pada ulangan ke-i yang diberi mikroba pelarut fosfat pada taraf ke- j dan inokulan mikoriza pada taraf ke-k

μ : Nilai tengah

∂I : Pengaruh blok ke-i

αj : Pengaruh mikroba pelarut fosfat pada taraf ke-j βk : Pengaruh inokulan mikoriza pada taraf ke-k

(αβ)jk : Pengaruh interaksi taraf ke-j faktor mikroba pelarut fosfat dengan taraf ke

(23)

k faktor inokulan mikoriza

εijk : Pengaruh galat pada blok ke-i dalam kombinasi perlakuan mikroba pelarut fosfat ke-j dan inokulan mikoriza ke-k

Data hasil penelitian pada perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf 5%.

Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan dan Penanganan Contoh Tanah

Pengambilan bahan tanah Ultisol Gebang dilakukan secara zig-zag pada kedalaman 0-20 cm lalu dikompositkan.

Analisis Awal Tanah

Contoh bahan tanah yang telah dikeringudarakandan diayak dengan ayakan 10 mesh, dilakukan analisis % kadar air, % kapasitas lapang, pH H2O, pH KCl, P-total, dan P-tersedia.

Tabel 1. Hasil analisis awal tanah ultisol Gebang

No Parameter Hasil Analisis Keterangan

1 pH H2O 5.77 Agak Masam

2 pH KCl 4.69 Netral

3 P total (ppm) 1003.99 Tinggi

4 P tersedia (ppm) 204.34 Sangat Rendah

5 % Kadar Air 10.79 ----

6 % Kapasitas Lapang 25.19 ----

(24)

Persiapan Inokulum Mikroba Pelarut Fosfat

Mikroba pelarut fosfat diaplikasikan dalam bentuk inokulum cair yang merupakan koleksi Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Persiapan Inokulum Mikoriza

Inokulan mikoriza diaplikasikan dalam bentuk inokulan tanah yang merupakan koleksi Laboratorium Biologi Tanah Fakultas Pertanian Universitas Sumatera utara, Medan.

Pembuatan Naungan

Naungan dibuat dengan ukuran 5 m x 3 m untuk seluruh plot percobaan.

Konstruksi naungan dibuat dari bambu dengan atap yang terbuat dari paranet.

Naungan berfungsi untuk mencegah/mengurangi sinar matahari dan terpaan air hujan langsung ke bibit. Naungan dibuat dengan ketinggian 2 meter.

Persiapan Media Tanam

Bahan tanah yang telah kering udara dimasukkan ke dalam polybag ukuran 1 kg sesuai dengan berat tanah yang telah dikonversikan ke dalam berat tanah kering udara.

Penanaman Kecambah Kelapa Sawit

Sebelum penanaman kecambah dilakukan, tanah dalam polybag disiram terlebih dahulu hingga cukup lembab. Pada setiap polybag ditanam 1 kecambah benih, mula-mula dibuat lubang tepat ditengah-tengah polybag sedalam ± 3 cm, kecambah kemudian dimasukkan dan dipastikan agar duduknya stabil lalu ditutup dengan tanah halus, kecambah harus ± 1 cm di bawah tanah dengan radikula ke bawah dan plumula menghadap ke atas.

(25)

Pemberian Inokulan Mikoriza

Inokulan mikoriza diberikan saat kecambah kelapa sawit berumur 1 bulan.

Dilakukan dengan cara membuat lubang di sekitaran perakaran kemudian dimasukkan cendawan mikoriza pada lubang tersebut, selanjutnya lubang ditutup dengan tanah kembali.

Aplikasi Mikroba Pelarut Fosfat

Pengaplikasian mikroba pelarut fosfat dilakukan pada saat kecambah kelapa sawit berumur 1 bulan. Dilakukan dengan cara membuat parit di sekeliling lubang tanam lalu ditambahkan inokulan cair mikroba pelarut fosfat dengan volume 10 ml Talaromyces pinophilus/polybag, 10 ml Aspergillus awamori/polybag, 5 ml Talaromyces pinophilus + 5 ml Aspergillus awamori/polybag.

Pemeliharaan Tanaman

Penyiraman dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari, dan penyiraman disesuaikan dengan kondisi cuaca. Pemupukan dilakukan dengan menggunakan pupuk urea dan pupuk anorganik NPKMg (15:15:6:4) dalam bentuk pupuk majemuk. Penetapan dosis dan waktu untuk mengaplikasikan pupuk mengikuti standar rekomendasi Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Selain itu juga dilakukan penyiangan gulma dengan mencabut gulma yang tumbuh di areal percobaan untuk mencegah terjadinya kompetisi dan kemungkinan serangan hama penyakit.

(26)

Pengambilan Sampel Amatan

Pengambilan sampel amatan dilakukan 3 bulan setelah kecambah ditanam di polybag. Pengambilan sampel amatan dengan cara mengambil bagian yang akan diamati/dianalisis.

Parameter Pengamatan

1. pH tanah dengan metode Elektrometrik.

2. P-total dengan metode esktrak HCl 25%.

3. P-tersedia (ppm) dengan metode Bray II.

4. Serapan P tanaman (mg/tanaman) dengan metode destruksi basah.

5. Tinggi tanaman (cm).

6. Jumlah daun.

7. Populasi mikroba pelarut fosfat dengan metode Cawan Hitung.

8. Derajat infeksi akar.

(27)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Dari hasil analisis tanah dan tanaman pada aplikasi mikroba pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol diperoleh hasil sebagai berikut.

pH Tanah

Dari hasil sidik ragam (Lampiran 2) diketahui aplikasi jamur pelarut fosfat berpengaruh nyata terhadap pH tanah. Sementara aplikasi mikoriza dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap pH tanah, dimana diketahui pH awal tanah sebesar 5.77. Berikut disajikan rataan nilai pH H2O tanah.

Tabel 2. Rataan nilai pH Tanah pada aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol .

pH Tanah (pH H2O) Perlakuan

Tanpa MPF (J0)

T.pinophilus (J1)

A.awamori (J2)

T.pinophilus+

A. awamori (J3)

Rataan Tanpa mikoriza

(M0)

5.76 5.48 5.73 5.33 5.58

Mikoriza 10 g (M1)

6.16 5.55 5.53 5.87 5.78

Mikoriza 20 g (M2)

5.90 5.65 5.68 5.78 5.75

Rataan 5.94a 5.56b 5.65ab 5.66ab

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan tabel 2 diatas diketahui bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pH tanah, dimana rataan tertinggi pada perlakuan tanpa mikroba pelarut fosfat (J0) sebesar 5.94 dan berbeda nyata dengan perlakuan Jamur pelarut fosfat T. pinophilus (J1) sebesar 5.56 namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan jamur pelarut fosfat A. awamori (J2) sebesar 5.65 dan perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus + A. awamori (J3)

(28)

sebesar 5.66. Aplikasi mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pH tanah, dimana rataan tertinggi pada perlakuan mikoriza 10g (M1) yakni sebesar 5.78 dan rataan terendah diperoleh pada perlakuan tanpa aplikasi mikoriza (M0) yakni sebesar 5.58. Interaksi keduanya juga tidak memberikan pengaruh nyata dengan rataan tertingggi pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat dengan aplikasi mikoriza 10 g (J0M1) yakni sebesar 6.16 dan rataan terendah diperoleh pada perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus + A. awamori dengan tanpa aplikasi mikoriza (J3M0) yakni sebesar 5.33.

Populasi Mikroba

Dari hasil sidik ragam (Lampiran 3) diketahui aplikasi jamur pelarut fosfat berpengaruh nyata terhadap populasi mikroba. Sementara aplikasi mikoriza dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap populasi mikroba. Berikut disajikan rataan nilai populasi mikroba.

Tabel 3. Rataan nilai Populasi Mikroba pada aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

Populasi Mikroba (107 CFU/ml) Perlakuan

Tanpa MPF

(J0)

T.pinophilus (J1)

A.awamori (J2)

T.pinophilus + A. awamori

(J3)

Rataan Tanpa mikoriza

(M0)

3.67 42.67 33.33 42.33 30.50

Mikoriza 10 g (M1)

21.33 70.67 49.00 23.33 41.08

Mikoriza 20 g (M2)

4.00 24.67 19.67 46.33 23.67

Rataan 9.67d 46.00a 34.00abc 37.33ab

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

Dari tabel diatas (Tabel 3) menunjukkan bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat memberikan pengaruh nyata terhadap nilai populasi mikroba. Pada aplikasi jamur pelarut fosfat meningkatkan populasi mikroba sebesar 29.66-39 CFU/ml,

(29)

dimana rataan tertinggi pada perlakuan perlakuan Jamur pelarut fosfat T. pinophilus (J1) yakni sebesar 42.67 CFU/ml dan berbeda nyata dengan tanpa

aplikasi jamur pelarut fosfat (J0) sebesar 3.67 CFU/ml namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan jamur pelarut fosfat A. awamori (J2) sebesar 33.33 CFU/ml dan perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus + A. awamori sebesar 42.33 CFU/ml.

Aplikasi mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai populasi mikroba, namun tetap mampu meningkatkan populasi mikroba sebesar 20-37.41 CFU/ml dimana rataan tertinggi pada perlakuan mikoriza 10 g (M1) yakni sebesar 41.08 CFU/ml dan rataan terendah diperoleh pada perlakuan aplikasi mikoriza 20 g (M2) yakni sebesar 23.67 CFU/ml. Interaksi keduanya juga tidak memberikan pengaruh nyata namun tetap mampu meningkatkan populasi mikroba jika dibandingkan kontrol yakni sebesar 0.33-67 CFU/ml dimana rataan tertingggi pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus dengan aplikasi mikoriza 10 g (J1M1) yakni sebesar 70.67 CFU/ml dan rataan terendah diperoleh pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat dengan aplikasi mikoriza 20 g (J0M2) yakni sebesar 4.00 CFU/ml.

P Total

Dari hasil sidik ragam (Lampiran 4) diketahui aplikasi jamur pelarut fosfat berpengaruh nyata terhadap P ekstrak HCl 25%. Sementara aplikasi mikoriza dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap P ekstrak HCl 25%. Berikut disajikan rataan nilai P Total.

(30)

Tabel 4. Rataan nilai P Total pada aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

P Total (ppm) Perlakuan

Tanpa MPF (J0)

T.pinophilus

(J1)

A.awamori

(J2)

T.pinophilus + A.

awamori (J3)

Rataan Tanpa mikoriza

(M0)

1028.62 1075.66 1028.43 958.19 1022.73 Mikoriza 10 g

(M1)

1588.84 1198.58 887.34 1099.71 1193.62 Mikoriza 20 g

(M2)

1195.62 1029.43 1146.51 1078.79 1112.59 Rataan 1271.03a 1101.22ab 1020.76b 1045.57b

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Berdasarkan (Tabel 4) diketahui bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat memberikan pengaruh nyata terhadap nilai P Total. Pada aplikasi jamur pelarut fosfat terjadi peningkatan nilai P total tanah jika dibandingkan dengan kontrol yakni sebesar 16.95-242.41 ppm atau meningkat sebesar 1-24% dimana rataan tertinggi pada perlakuan tanpa mikroba pelarut fosfat sebesar (J0) 1271.03 ppm dan berbeda nyata dengan perlakuan Jamur pelarut fosfat A. awamori sebesar 1020.76 ppm dan perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus + A. awamori sebesar 1045.57 ppm, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus sebesar 1101.22 ppm. Aplikasi mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai P total namun tetap mampu meningkatkan P total tanah jika dibandingkan kontrol sebesar 83.97-165 ppm, dimana rataan tertinggi pada perlakuan mikoriza 10 gram (M1) yakni sebesar 1193.62 ppm dan rataan terendah diperoleh pada perlakuan tanpa aplikasi mikoriza (M0) yakni sebesar 1022.73 ppm. Interaksi keduanya juga tidak memberikan pengaruh nyata namun juga tetap mampu meningkatkan P total tanah berkisar 0.81-560.22 ppm dengan

(31)

aplikasi mikoriza 10 gram (J0M1) yakni sebesar 1588.84 ppm dan rataan terendah diperoleh pada perlakuan jamur pelarut fosfat A. awamori dengan aplikasi mikoriza 10 gram yakni sebesar 887.34 ppm.

P Tersedia

Dari hasil sidik ragam (Lampiran 5) diketahui aplikasi jamur pelarut fosfat dan aplikasi mikoriza berpengaruh nyata terhadap P tersedia. Sementara interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap P tersedia. Berikut disajikan rataan nilai P Tersedia.

Tabel 5. Rataan nilai P Tersedia pada aplikasi Jamur pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

P Tersedia (ppm) Perlakuan

Tanpa MPF

(J0)

T.pinophilus (J1)

A.awamori (J2)

T.pinophilus+

A. awamori (J3)

Rataan Tanpa mikoriza

(M0)

108.49 110.27 111.92 119.52 112.55a Mikoriza 10 g

(M1)

95.69 103.12 111.91 117.20 106.98b Mikoriza 20 g

(M2)

107.31 112.25 112.08 113.78 111.35ab Rataan 103.83c 108.55bc 111.97ab 116.83a

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

Dari (Tabel 5) menunjukkan bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat memberikan pengaruh nyata terhadap nilai P tersedia. Pada aplikasi jamur pelarut fosfat terjadi peningkatan P tersedia yakni berkisar 3.48-8.34 ppm atau meningkat sebesar 3-7%, dimana rataan tertinggi pada perlakuan Jamur pelarut fosfat T. pinophilus+A. awamori (J3) sebesar 119.52 ppm dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus (J1) dan aplikasi jamur pelarut fosfat A. awamori (J2) namun berbeda nyata dengan perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat (J0) yakni sebesar 108.49 ppm. Aplikasi mikoriza

(32)

juga memberikan pengaruh nyata terhadap P tersedia. Pada aplikasi mikoriza ini terjadi peningkatan P tersedia sebesar 2.86-4.06 ppm atau meningkat sebesar 2- 3%, dimana rataan tertinggi pada perlakuan tanpa aplikasi mikoriza (M0) yakni sebesar 108.49 ppm dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan mikoriza 20 g (M2) namun berbeda nyata dengan perlakuan aplikasi mikroba pelarut fosfat 10 g (M1) yakni sebesar 95.69 ppm. Interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata namun tetap mampu meningkatkan P tersedia berkisar 1.78-11.03 ppm atau meningkat sebesar 1-10% dengan rataan tertinggi pada perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus + A. awamori dengan tanpa aplikasi mikoriza (J3M0) sebesar 119.52 ppm dan rataan terendah diperoleh pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat dan aplikasi mikoriza 10 g (J0M1) yakni sebesar 95.69 ppm.

Serapan P

Hasil sidik ragam (Lampiran 6) menunjukkan hasil bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat, aplikasi mikoriza, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap serapan P tanaman. Berikut disajikan rataan nilai serapan P tanaman.

Tabel 6. Rataan nilai Serapan P pada aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

Serapan P (mg/tanaman) Perlakuan

Tanpa MPF

(J0)

T.pinophilus (J1)

A.awamori (J2)

T.pinophilus + A. awamori

(J3)

Rataan Tanpa mikoriza

(M0)

13.45 14.22 16.23 13.04 14.23

Mikoriza 10 g (M1)

14.33 17.16 15.64 15.50 15.66

Mikoriza 20 g (M2)

12.98 14.11 12.88 17.01 14.24

Rataan 13.59 15.16 14.92 15.18 14.71

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

(33)

Peningkatan serapan P tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat saja jika dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 0.14-1.73 mg/tanaman atau meningkat sebesar 1-12%. Peningkatan serapan P tanaman dengan aplikasi mikoriza saja jika dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 0.78-2.21 mg/tanaman atau meningkat sebesar 5-16%. Peningkatan serapan tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza yaitu sebesar 0.66-3.71 mg/tanaman atau meningkat sebesar 4-27%.

Tinggi Tanaman

Hasil sidik ragam (Lampiran 7) menunjukkan hasil bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat, aplikasi mikoriza, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Berikut disajikan rataan nilai tinggi tanaman 16 MST.

Tabel 7. Rataan nilai Tinggi Tanaman pada aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

Tinggi Tanaman 16 MST (cm) Perlakuan

Tanpa MPF

(J0)

T.pinophilus (J1)

A.awamori (J2)

T.pinophilus+

A. awamori (J3)

Rataan Tanpa mikoriza

(M0)

31.07 33.80 34.23 31.50 32.65

Mikoriza 10 g (M1)

31.90 31.20 32.40 34.10 32.40

Mikoriza 20 g (M2)

31.90 34.33 33.23 34.03 33.38

Rataan 31.62 33.11 33.29 33.21 32.81

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

Peningkatan tinggi tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat saja yaitu sebesar 0.55-2.22 cm. peningkatan tinggi tanaman dengan aplikasi mikoriza saja yaitu sebesar 1.33-2.31 cm. Peningkatan tinggi tanaman pada aplikasi jamur pelarut fosfat dengan mikoriza yaitu sebesar 0.13-3.26 cm.

(34)

Jumlah Daun

Hasil sidik ragam (lampiran 8) menunjukkan hasil bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat, aplikasi mikoriza, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun tanaman. Berikut disajikan rataan nilai jumlah daun tanaman 16 MST.

Tabel 8. Rataan nilai Jumlah Daun Tanaman pada aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

Jumlah Daun Tanaman 16 MST (cm) Perlakuan

Tanpa MPF

(J0)

T.pinophilus (J1)

A.awamori (J2)

T.pinophilus+

A. awamori (J3)

Rataan Tanpa mikoriza

(M0)

6.00 6.00 6.00 5.67 5.92

Mikoriza 10 g (M1)

6.00 5.67 5.33 6.00 5.75

Mikoriza 20 g (M2)

5.67 6.00 5.67 5.67 5.75

Rataan 5.89 5.89 5.67 5.78 5.81

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

Terjadi penurunan jumlah daun tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat saja yaitu sebesar 0.33 helai. Juga terjadi penurunan jumlah daun tanaman dengan aplikasi mikoriza saja yaitu sebesar 0.33 helai. Penurunan jumlah daun tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat dengan mikoriza yaitu sebesar 0.67- 0.33 helai.

Bobot Kering Tajuk

Hasil sidik ragam (Lampiran 9) menunjukkan hasil bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat, aplikasi mikoriza, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk. Berikut disajikan rataan nilai bobot kering tajuk.

(35)

Tabel 9. Rataan nilai bobot kering tajuk pada aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

Bobot Kering Tajuk (g) Perlakuan

Tanpa MPF

(J0)

T.pinophilus (J1)

A.awamori (J2)

T.pinophilus+

A. awamori (J3)

Rataan Tanpa mikoriza

(M0)

5.99 7.80 7.82 6.77 7.09

Mikoriza 10 g (M1)

6.33 7.02 6.60 6.57 6.63

Mikoriza 20 g (M2)

6.10 6.50 6.53 7.68 6.70

Rataan 6.14 7.11 6.98 7.01 6.81

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

Peningkatan bobot kering tajuk tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat saja yaitu sebesar 0.15-1.12 g jika dibandingkan dengan kontrol. Pada aplikasi mikoriza saja terjadi peningkatan bobot kering tajuk tanaman yaitu sebesar 0.64-1.1 g jika dibandingkan dengan kontrol. Pada aplikasi jamur pelarut fosfat dengan mikoriza terjadi peningkatan yaitu sebesar 0.11-1.83 g

Berat Kering Akar

Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan hasil bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat, aplikasi mikoriza, dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar. Berikut disajikan rataan nilai bobot kering akar.

Tabel 10. Rataan nilai bobot kering akar pada aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

Bobot Kering Akar (g) Perlakuan

Tanpa MPF

(J0)

T.pinophilus (J1)

A.awamori (J2)

T.pinophilus+

A. awamori (J3)

Rataan

Tanpa mikoriza (M0) 1.65 1.93 1.73 1.71 1.76

Mikoriza 10 g (M1) 1.77 2.07 1.70 1.85 1.80

Mikoriza 20 g (M2) 1.80 1.76 1.94 1.86 1.84

Rataan 1.74 1.92 1.73 1.81 1.80

(36)

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

Peningkatan bobot kering akar tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat saja yaitu sebesar 0.09-0.27 g jika dibandingkan dengan kontrol. Pada aplikasi mikoriza saja terjadi peningkatan bobot kering akar tanaman yaitu sebesar 0.11-0.19 g. Pada aplikasi jamur pelarut fosfat dengan mikoriza terjadi peningkatan bobot kering akar tanaman sebesar 0.05-0.42. g.

Derajat Infeksi

Dari hasil sidik ragam (Lampiran 11) diketahui aplikasi mikoriza berpengaruh nyata terhadap derajat infeksi akar. Sementara aplikasi jamur pelarut fosfat dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap derajat infeksi akar. Berikut disajikan rataan nilai populasi mikroba.

Tabel 11. Rataan nilai derajat infeksi akar pada aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

Derajat Infeksi Akar (%) Perlakuan

Tanpa MPF

(J0)

T.pinophilus (J1)

A.awamori (J2)

T.pinophilus + A. awamori

(J3)

Rataan Tanpa mikoriza

(M0)

37.91 42.36 35.89 45.90 40.51c

Mikoriza 10 g (M1)

75.62 72.77 68.77 64.40 70.39b

Mikoriza 20 g (M2)

75.29 72.46 83.78 80.19 77.93a

Rataan 62.94 62.53 62.81 63.50 62.94

Keterangan : Angka yang diikuti notasi yang sama pada baris yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%.

Dari (Tabel 11) diketahui bahwa aplikasi mikoriza memberikan pengaruh nyata terhadap derajat infeksi akar. Aplikasi mikoriza meingkatkan derajat infeksi akar sebesar 2.6-40.02% dimana rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan aplikasi mikoriza 20 g (M2) sebesar 77.93% dan berbeda nyata dengan perlakuan aplikasi mikoriza 10 (M1) gram sebesar 70.39% dan juga berbeda nyata dengan perlakuan

(37)

tanpa aplikasi mikoriza(M0) sebesar 40.51%. Beberapa aplikasi jamur pelarut fosfat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap derajat infeksi akar, namun tetap mampu meningkatkan derajat infeksi akar sebesar 24.62-25.60% jika dibandingkan dengan kontrol dimana rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus + A. awamori (J3) yakni sebesar 63.50 % dan rataan terendah pada perlakuan jamur pelarut fosfat T. pinophilus (J1) yakni sebesar 62.53 %. Sementara interaksi keduanya juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai derajat infeksi akar, tetapi tetap mampu meningkatkan derajat infeksi akar sebesar 4.45-45.87% dimana rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat A. awamori dengan aplikasi mikoriza 20 g (J2M2) yakni sebesar 83.78% dan rataan terendah diperoleh pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat dengan tanpa aplikasi mikoriza (J0M0) yakni sebesar 37.91%.

Pembahasan pH Tanah

Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian jamur pelarut fosfat berpengaruh nyata dalam meningkatkan kemasaman tanah, dimana pH tanah tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat sebesar 5.94 dan yang terendah pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus sebesar 5.56. Hal ini disebabkan karena jamur pelarut fosfat dalam aktivitasnya mampu menghasilkan asam-asam organik yang mampu meningkatkan kemasaman tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Subba-Rao (1994) yang menyatakan bahwa proses utama terhadap pelarutan senyawa fosfat sukar larut adalah produksi asam organik oleh jamur, seperti asam format, asetat, propionat,

(38)

laktat, glikolat, fumarat, dan asam suksinat. Asam organik inilah yang menyebabkan pH rendah.

Hal ini sejalan dengan penelitian Ritonga (2015) dimana didalam penelitiannya menunjukkan terjadi penurunan nilai pH tanah akibat dari aplikasi mikroba pelarut fosfat. Dimana pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat 30 ml/tanaman nilai pH turun dari pH awal 5,5 menjadi 4.58.

Gambar 1. Grafik pH tanah akibat aplikasi jamur pelarut fosfat pada bibit kelapa sawit di tanah ultisol.

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat mampu meningkatkan kemasaman tanah dan mengakibatkan terjadinya penurunan pH tanah melalui asam-asam organik yang dihasilkan oleh jamur pelarut fosfat tersebut. Tan (1995) menyatakan bahwa meningkatnya kadar ion H+ di dalam tanah (pH semakin asam) dikarenakan MPF dan bahan organik yang diaplikasikan kedalam tanah dapat menghasilkan asam-asam organik diantaranya ialah asam sitrat, glutamate, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat, dan α-ketobutirat yang mampu meningkatkan keasaman di dalam tanah.

(39)

Populasi Mikroba

Populasi mikroba pelarut fosfat di dalam tanah mempengaruhi jumlah P yang akan dilarutkan dari kompleks jerapan di koloid. Mikroba pelarut fosfat, baik bakteri maupun jamur, hidup di daerah sekitar perakaran (rhizosfer).

Gambar 2. Grafik Mikroba pelarut fosfat akibat aplikasi jamur pelarut fosfat pada bibit kelapa sawit di tanah Ultisol.

Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat memberikan pengaruh nyata dalam meningkatkan populasi mikroba di dalam tanah 29.66-39 CFU/ml. Dimana rataan tertinggi terdapat pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus (J1) yakni sebesar 46.00 CFU/ml dan yang terendah pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat (J0) yakni sebesar 9.67 CFU/ml. Hal ini sejalan dengan penelitian Nasution (2014) yang menyatakan bahwa pemberian jamur pelarut fosfat berpengaruh nyata meningkatkan jumlah populasi jamur pelarut fosfat (33.1 x 105 sel/ml) daripada tanpa pemberian jamur pelarut fosfat (12.1 x 105 sel/ml). Populasi jamur pelarut fosfat tersebut tidak

(40)

dipengaruhi oleh kandungan P di dalam tanah tetapi dipengaruhi oleh ketersediaan C.

P Total

Dari tabel 4 menunjukkan pemberian jamur pelarut fosfat berpengaruh nyata dalam meningkatkan P total tanah jika dibandingkan dengan kontrol yakni sebesar 16.95-242.41 ppm atau meningkat sebesar 1-24% dan meningkat 16.77- 267.04 atau meningkat sebesar 1-26% jika dibandingkan dengan P total awal, dimana P total tanah tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat sebesar 1271.03 ppm dan yang terendah pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat A. awamori (J2) sebesar 1020.76 ppm. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat memiliki pH tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya dimana keberadaan P didalam tanah dipengaruhi oleh pH tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Winarso (2005) yang menyatakan bahwa ketersediaan dan bentuk-bentuk P di dalam tanah sangat erat hubungannya dengan kemasaman (pH) tanah. P sangat rentan untuk diikat baik pada kondisi masam maupun alkalin, pada kondisi masam didominasi oleh pemfiksasi Fe dan Al sedangkan pada kondisi alkalin terjadi fiksasi oleh Ca.

(41)

Gambar 3. Grafik P total tanah akibat aplikasi jamur pelarut fosfat pada bibit kelapa sawit di tanah Ultisol.

Dari grafik diatas juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan jumlah P total tanaman pada perlakuan tunggal aplikasi jamur pelarut fosfat. Hal ini diduga disebabkan oleh P total tanah yang dirubah menjadi P tersedia oleh jamur pelarut fosfat kemudian diserap oleh tanaman sehingga menyebabkan terjadinya pengurangan nilai P total tanah. Hal ini sejalan dengan penelitian Minardi (2011) dimana dalam penelitiannya menunjukkan hubungan antara serapan P dan P total tanah. Dimana pada perlakuan pupuk P dosis 100 kg/ha dengan pupuk kandang dosis 14,25 ton/ha (P2B3) dapat dilihat dengan serapan P tertinggi dengan nilai 2.25 mg/tanaman menyebabkan pengurangan P total tanah sampai nilai 482 mg/kg jika dibanding dengan perlakuan lainnya seperti perlakuan pupuk P dosis 100 kg/ha dengan jerami padi dosis 12 ton/ha (P2B2) yang mempunyai nilai P total tanaman sebesar 500 mg/kg.

P Tersedia

P tersedia merupakan jumlah fosfat tersedia di dalam tanah yang dapat diserap oleh tanaman.

(42)

Gambar 4. Grafik P tersedia tanah akibat aplikasi jamur pelarut fosfat pada bibit kelapa sawit di tanah Ultisol.

Dari grafik diatas menunjukkan bahwa pemberian jamur pelarut fosfat memberikan pengaruh nyata dalam meningkatkan P tersedia tanah jika dibandingkan dengan kontrol yakni berkisar 3.48-8.34 ppm atau meningkat 3-7%

dimana diperoleh rataan tertinggi pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat T.

pinophilus + A. awamori (J3) sebesar 116.83 ppm dan yang terendah pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat (J0) sebesar 103.83 ppm. Hal ini disebabkan oleh asam-asam organik yang dilepaskan jamur pelarut fosfat melalui aktivitasnya yang kemudian asam-asam organik tersebut membentuk ikatan dengan senyawa yang mengikat fosfat sehingga fosfat tersedia di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Raharjo dkk (2007) yang menyatakan bahwa mikroba pelarut P di dalam aktivitasnya akan membebaskan sejumlah asam-asam organik, seperti asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan asam α-keto butirat. Asam sitrat yang dihasilkan oleh A. awamori berperan dalam melarutkan Ca-fosfat. Asam organik tersebut mampu memecah

(43)

komponen apatit Ca-fosfat dalam medium yang merupakan bentuk fosfat tidak larut menjadi bentuk terlarut.

Penelitian ini sejalan dengan sembiring et al. (2015) yang menyatakan bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus dapat meningkatkan ketersedian P lebih baik jika dibandingkan dengan kontrol yakni meningkat hingga 56%.

Aplikasi jamur pelarut fisfat dapat meningkatkan P Tersedia bila di banding dengan tanpa aplikasi (kontrol) yaitu 81.71 g.

Dari tabel 5 juga menunjukkan bahwa pemberian mikoriza memberikan pengaruh nyata dalam meningkatkan P tersedia didalam tanah jika dibandingkan dengan kontrol sebesar 2.86-4.06 ppm atau meningkat sebesar 2-3%. Dimana rataan tertinggi dapat dilihat pada perlakuan tanpa aplikasi mikoriza (M0) sebesar 112.55 ppm dan rataan terendah pada perlakuan aplikasi mikroba 10 gram (M1) sebesar 106.98 ppm. Hal ini dikarenakan mikoriza dalam aktivitasnya mampu mengeluarkan enzim-enzim yang mampu melarutkan fosfor di dalam tanah. Hal ini sesuai dengan penelitian Hasanudin dan Bambang (2004) yang mana didalam penelitiannya menyatakan bahwa peningkatan ketersediaan P Tanah ini dikarenakan mikoriza mampu melarutkan fosfor dalam tanah akibat enzim yang dikeluarkannya.

(44)

Gambar 5. Grafik P tersedia tanah akibat aplikasi jamur pelarut fosfat pada bibit kelapa sawit di tanah Ultisol.

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa pada aplikasi mikoriza 10 gram terjadi penurunan P tersedia di dalam tanah. Hal ini disebabkan karena P yang tersedia didalam tanah telah diserap oleh akar tanaman dengan bantuan mikoriza tersebut sehingga mengakibatkan berkurangnya P tersedia didalam tanah. Hal ini sesuai dengan literatur Brundrett (2009) yang menyatakan bahwa mekanisme kerja mikoriza melalui 1) meningkatkan pertumbuhan dan serapan hara serta air, 2) peningkatan luas eksplorasi akar bermikoriza per volume tanah sehingga absorbs air dan hara tanaman akan menjangkau pori–pori mikro tanah yang tidak bisa dijangkau oleh rambut–rambut akar, 3) dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, meningkatkan afinitas ion di permukaan akar tanaman bermikoriza.

Serapan P

Jumlah unsur hara P yang diserap oleh tanaman dapat kita diketahui melalui pengukuran serapan P. Tanaman biasanya menyerap unsur hara P dalam

(45)

bentuk anorganik (HPO42-

, H2PO4-, dan PO43-

). Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat dan aplikasi mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata, baik aplikasi tunggal maupun interaksi keduanya. Hal ini mungkin disebabkan bahwa pada saat awal pertumbuhan tanaman kelapa sawit tidak membutuhkan unsur P dalam jumlah yang terlalu banyak melainkan hanya dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit untuk pertumbuhan dan perkembangannya.

Hal ini sesuai dengan literature Winarso (2005) yang menyatakan bahwa Pemberian P pada tanaman kedelai akan lebih banyak bermanfaat apabila diatur pada saat fase generatifnya. Hal ini bukan berarti saat awal pertumbuhan tanaman tidak membutuhkan unsur P, tetapi P dibutuhkan dalam jumlah sedikit, khususnya dalam hubungannya dengan perkembangan perakaran tanaman.

Dilihat dari tabel 6 dapat dilihat bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat tetap mampu meningkatkan serapan P jika dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan serapan P tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat saja yaitu sebesar 0.14- 1.73 mg/tanaman atau meningkat sebesar 1-12%, dimana rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus + A. awamori sebesar 15.18 mg/tanaman (J3) dan rataan terendah pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat (J0) sebesar 13.59 mg/tanaman. Pada perlakuan aplikasi mikoriza juga mampu meningkatkan serapan P jika dibandingkan dengan kontrol yaitu sebesar 0.78-2.21 mg/tanaman atau meningkat sebesar 5-16%, dimana rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan aplikasi mikoriza 10 g (M1) sebesar 15.66 mg/tanaman dan rataan terendah tanpa aplikasi mikoriza (M0) sebesar 14.23 mg/tanaman.

(46)

Interaksi keduanya juga mampu meningkatkan serapan P tanaman.

Peningkatan serapan tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat dengan mikoriza yaitu sebesar 0.66-3.71 mg/tanaman atau meningkat sebesar 4-27%

dimana rataan tertinggi pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat T. pinophilus dengan aplikasi mikoriza 10 g (J1M1) yakni sebesar 17.16 mg/tanaman dan rataan terendah pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat A. awamori dengan aplikasi mikoriza 20 g (J2M2) yakni sebesar 12.88 mg/tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun aplikasi jamur pelarut fosfat dan aplikasi mikoriza tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan serapan P tanaman tetapi tetap mampu meningkatkan serapan P tanaman.

Hal ini sejalan dengan penelitian sembiring dan fauzi (2017) yang menyatakan bahwa pemberian jamur pelarut fosfat T. Pinophillus dapat meningkatkan serapan P tanaman. Serapan P tanaman yang diaplikasikan jamur T. Pinophillus meningkat 11.71 mg/tanaman atau sebesar 89.97% jika dibandingkan tanpa aplikasi.

Tinggi Tanaman

Berdasarkan tabel 7 diketahui bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat dan aplikasi mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata, baik aplikasi tunggal maupun interaksi keduanya. Hal ini terjadi karena tinggi tanaman bukan hanya dipengaruhi oleh unsur hara terutama hara P saja, namun juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti genetik, air, suhu, kelembaban, dan lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan syakir (2010) yang menyatakan bahwa perbedaan pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor internal seperti gen dan hormon,

(47)

serta faktor eksternal yaitu seperti unsur hara, air, suhu, kelembaban, dan cahaya untuk melakukan proses fotosintesis tanaman.

Hal ini sejalan dengan penelitian Nasution (2014) yang menyatakan bahwa pemberian jamur pelarut fosfat dan mikoriza tidak berpengaruh secara statistik terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Dimana pada aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza hanya meningkatkan 10.30 cm tinggi tanaman dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Namun demikian pemberian jamur pelarut fosfat dan mikoriza tetap mampu meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit di prenursery jika dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan tinggi tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat saja yaitu sebesar 0.55-2.22 cm, dimana pada perlakuan aplikasi jamur pelarut fosfat diperoleh rataan tertinggi pada perlakuan aplikasi jamur A. awamori (J2) yakni sebesar 33.29 cm dan rataan terendah pada perlakuan tanpa aplikasi jamur pelarut fosfat (J0) yakni 31.62 cm. Aplikasi mikoriza juga mampu meningkatkan tinggi tanaman bibit kelapa sawit. Peningkatan tinggi tanaman dengan aplikasi mikoriza saja yaitu sebesar 1.33-2.31 cm, dimana rataan tertinggi terdapat pada perlakuan aplikasi mikoriza 20 g (M2) sebesar 33.38 cm dan rataan terendah pada perlakuan aplikasi mikoriza 10 g (M1) sebesar 32.40 cm. Interaksi keduanya juga dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit di prenursery.

Peningkatan tinggi tanaman dengan aplikasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza yaitu sebesar 0.13-3.26 cm, dimana pada rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan T. pinophilus dengan aplikasi mikoriza 20 g (J1M2) yakni sebesar 34.33 cm dan rataan terendah pada perlakuan kontrol (J0M0) yakni sebesar 31.07 cm.

(48)

Jumlah Daun

Berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat dan aplikasi mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata, baik aplikasi tunggal maupun interaksi keduanya. Hal ini terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tidak bisa hanya dilihat dari satu unsur hara saja melainkan banyak faktor lain seperti cahaya, kelembapan, ketersediaan air, faktor genetik tanaman itu sendiri dan faktor-faktor lainnya. Hal ini sesuai dengan literatur Kiswondo (2011) yang menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti air, suhu, cahaya dan suplai hara perlu mendapat perhatian dalam mendukung terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Hal ini sejalan dengan penelitian Naim (2016) dimana dalam penelitian nya menunjukkan bahwa pemberian fungi mikoriza arbuskula tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah daun. Interaksi pemberian limbah cair pabrik kelapa sawit dan fungi mikoriza arbuskula berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun.

Bobot kering Tajuk

Jumlah P yang diserap tanaman akan berbanding lurus dengan total berat kering tajuk tanaman. Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa aplikasi jamur pelarut fosfat dan aplikasi mikoriza tidak memberikan pengaruh nyata, baik aplikasi tunggal maupun interaksi keduanya. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan antara unsur hara P yang tersedia dan dimanfaatkan oleh tanaman. Dalam penelitian ini dapat dilihat bahwa unsur hara P yang diserap tanaman tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap serapan P tanaman sehingga mempengaruhi bobot kering tajuk tanaman. Menurut Novriani (2010) peran penting fosfat yaitu penyediaan energi dalam proses metabolisme, mempercepat

(49)

pertumbuhan dengan memperhatikan ratio berat kering tunas atau akar, mempercepat pertumbuhan tunas baru, peningkatan kualitas buah, kualitas biji dan hasil yang tinggi.

Bobot Kering Akar

Pemberian kombinasi jamur pelarut fosfat dan mikoriza menunjukkan pengaruh yang tidak nyata terhadap peningkatan bobot kering akar tanaman. Hal ini sejalan dengan unsur P yang diserap tanaman. Dimana seperti yang terlihat pada tabel serapan P tanaman menunjukkan P yang diserap tanaman tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan serapan P tanaman. Dimana fungsi P sendiri adalah untuk merangsang perkembangan akar tanaman. Hal ini sesuai dengan literatur Winarso (2005) yang menyatakan bahwa fungsi penting fosfor di dalam tanaman yaitu dalam proses fotosintesis, respirasi transfer, dan penyimpanan energi, pembelahan dan pembesaran sel dan membantu mempercepat perkembangan akar dan perkecambahan.

Derajat Infeksi Akar

Gambar 6. Grafik derajat infeksi akar akibat aplikasi mikoriza pada bibit kelapa sawit di tanah Ultisol.

(50)

Dari grafik (gambar 6) dapat dilihat bahwa aplikasi mikoriza secara nyata mampu meningkatkan derajat infeksi akar pada bibit kelapa sawit di prenursery sebesar 2.6-40.02%. Dimana rataan tertinggi diperoleh pada perlakuan aplikasi mikoriza 20 gram yakni sebesar 77.93% dan terendah pada perlakuan tanpa aplikasi mikoriza yakni sebesar 40.51%. Hal ini terjadi karena pada perlakuan aplikasi mikoriza, mikoriza bersimbiosis dengan akar tanaman kelapa sawit di dalam tanah dengan cara menginfeksi akar tanaman inangnya tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Delvian ( 2006 ) yang menyatakan bahwa mikoriza memiliki potensi yang tinggi untuk membentuk infeksi yang ekstensif karena mengenali tanaman inangnya, selain itu mikoriza memiliki sifat toleransi yang lebih tinggi terhadap kondisi lingkungan.

Hal ini sejalan dengan penelitian Fitriyah (2012) yang didalam penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian inokulan mikoriza sebesar 100 g kg-1tanah memberikan pengaruh terhadap infeksi akar sebesar 71,68% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa pemberian inokulan yaitu hanya 49,31%.

Pemberian inokulan meningkatkan derajat infeksi akar sebesar 22,37%

dibandingkan dengan tanpa inokulan FMA.

Gambar

Gambar 1. Grafik pH tanah akibat aplikasi jamur pelarut fosfat pada bibit kelapa  sawit di tanah ultisol
Gambar 2. Grafik Mikroba pelarut fosfat akibat aplikasi jamur pelarut fosfat pada  bibit kelapa sawit di tanah Ultisol
Gambar  3.  Grafik  P  total  tanah  akibat  aplikasi  jamur  pelarut  fosfat  pada  bibit  kelapa sawit di tanah Ultisol
Gambar 4.  Grafik P tersedia tanah akibat aplikasi jamur pelarut fosfat pada bibit  kelapa sawit di tanah Ultisol
+3

Referensi

Dokumen terkait

Bambang Yuwono, Yuli Fauziah, Yenny Rachma Setyaningsih, Universitas Pembangunan Nasional Veteran (2011) dalam jurnalnya yang berjudul Sistem Pakar Website Untuk

Larutan fixer terdiri dari 4 komponen dasar yaitu : (1) Clearing agent, membersihkan film dari sisa-sisa kristal perak halida yang tidak terpancar oleh sinar-x; (2) Acidifier

Dengan berdasarkan kepercayaan dari masyarakat atau nasabah, bank menawarkan jasa penyimpanan barang atau surat berharga yang disebut sebagai Safe Deposit Box.Hanya sejumlah

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI.. SEKRETARIAT DIREKTORAT

Berdasarkan Berita 55/ULPD/WII.5/BC.NUNUKAN/ oleh Kelompok Kerja (Pokja) tanggal 14 Juni 2016 melalui. Pelelangan Umum Pascakualifikasi Pembangunan Rumah

Penemuan interferon hasil dari bioteknologi modern untuk mengobati penyakit kanker sangatlah bermanfaat bagi para penderita, karena jaringan yang terkena kanker

Berdasarkan Berita /ULPD/WII.5/BC.TARAKAN/ Kelompok Kerja (Pokja) ULPD 14 Juni 2016 melalui Aplikasi Sederhana Pascakualifikasi Komunikasi KPPBC TMP B pelelangan

Bila dilihat dari data rata-rata (avg) flow /detik vs jumlah host yang ditampilakan pada tabel 2 dan gambar 6 diatas, kontroler Floodlight dapat memberikan kemampuan yang baik