• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELU NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BELU TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELU NOMOR 6 TAHUN 2011 T E N T A N G RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BELU TAHUN"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELU NOMOR 6 TAHUN 2011

T E N T A N G

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BELU TAHUN 2011-2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BELU,

Menimbang : a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Kabupaten Belu dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, dan berkelanjutan dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun diperlukan adanya penataan ruang wilayah kabupaten;

b. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, maka perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belu;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belu Tahun 2011-2031.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649);

2. Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1655);

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992

(2)

Nomor 23, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 3469);

4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 6. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

7. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

9. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725); 10. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 177, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925); 11. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);

12. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005

(3)

Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4503);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Di Wilayah Provinsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5107); 18. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah

Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110);

19. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 511);

20. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5125);

21. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160);

22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah;

23. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penentuan Daya Dukung Lingkungan Hidup dalam Penataan Ruang Wilayah;

24. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;

25. Peraturan Daerah Kabupaten Belu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Belu Tahun 2008 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Belu Nomor 17);

26. Peraturan Daerah Kabupaten Belu Nomor 3 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Belu Tahun 2005 – 2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Belu Tahun 2009 Nomor 03, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Belu

(4)

Nomor 27);

27. Peraturan Daerah Kabupaten Belu Nomor 15 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Belu Tahun 2009–2014 (Lembaran Daerah Kabupaten Belu Tahun 2009 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Belu Tahun 2009 Nomor 19);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BELU dan

BUPATI BELU MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BELU TAHUN 2011-2031.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal I

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan : 1. Daerah adalah Kabupaten Belu.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Belu. 3. Bupati adalah Bupati Belu.

4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD adalah DPRD Kabupaten Belu.

5. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. 6. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.

7. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistim jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkhis memiliki hubungan fungsional.

8. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. 9. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan

ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

10. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Belu yang selanjutnya disingkat RTRW adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah daerah yang menjadi pedoman bagi penataan wilayah yang merupakan dasar dalam penyusunan program pembangunan.

11. Wilayah Daerah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

12. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.

13. Daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara

(5)

alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.

14. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.

15. Pusat Kegiatan Strategis Nasional selanjutnya disebut PKSN adalah kawasan perkotaan yang di tetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara.

16. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota. 17. Pusat Kegiatan Wilayah Promosi yang selanjutnya disebut PKWp adalah kawasan perkotaan yang akan dipromosikan untuk menjadi PKW dengan fungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.

18. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. 19. Pusat Kegiatan Lokal Promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah kawasan

perkotaan yang akan dipromosikan untuk menjadi PKL dengan fungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.

20. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.

21. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan sekala antar desa.

22. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.

23. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untukdibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.

24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengolahan sumber daya alam tertentu yang ditunjukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.

25. Kawasan Minapolitan adalah suatu kawasan yang sebagian besar masyarakatnya memperoleh pendapatan dari kegiatan minabisnis atau kegiatan perikanan.

26. Kawasan strategis Nasional atau disingkat KSN adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.

27. Kawasan strategis provinsi atau disingkat KSP adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan.

28. Kawasan strategis kabupaten adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya dan atau lingkungan.

29. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

30. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.

31. Kawasan pesisir adalah kawasan yang merupakan peralihan antara darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

(6)

32. Masyarakat adalah orang peseorangan, kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang.

33. Peran Masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.

34. Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional yang selanjutnya disebut BKPRN adalah badan yang dibentuk dengan Keputusan Presiden yang bertugas untuk mengkoordinasikan penataan ruang Nasional.

35. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah Propinsi Nusa Tenggara Timur yang selanjutnya disebut BKPRD Provinsi adalah Badan yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur yang bertugas untuk mengkoordinasikan penataan ruang wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur.

36. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah, yang selanjutnya disebut BKPRD adalah badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang di Kabupaten Belu dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.

37. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.

38. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

39. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu kesatuan lainnya tidak dapat dipisahkan.

40. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.

41. Hutan Rakyat adalah hutan yang tumbuh, ditanam dan dikelola di atas tanah yang dibebani hak milik atau pun hak lainnya dan arealnya berada diluar kawasan hutan negara. Hutan Rakyat dapat dimiliki oleh orang baik sendiri maupun bersama orang lain atau badan hukum.

42. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan.

43. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 44. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai

fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 45. Kawasan hutan suaka adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

46. Kawasan hutan pelestarian alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

47. Izin pemanfaatan ruang adalah ijin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.

48. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.

49. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang.

50. Kawasan peruntukan pertambangan (KPP) adalah wilayah yang memiliki potensi sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/data geologi dan merupakan tempat dilakukannya sebagian atau seluruh

(7)

tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi penelitian, penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi/eksploitasi dan pasca tambang, baik diwilayah daratan maupun perairan, serta tidak dibatasi oleh penggunaan lahan, baik kawasan budidaya maupun lindung.

51. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

52. Sistem jaringan jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarkis.

BAB II

TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH Bagian kesatu

Tujuan Penataan Ruang Wilayah Pasal 2

Penataan ruang Kabupaten bertujuan untuk mewujudkan ruang kabupaten yang produktif dan berwawasan lingkungan sebagai pusat distribusi barang dan jasa pada kawasan perbatasan negara yang berbasis pertanian.

Bagian kedua

Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Pasal 3

(1) Untuk menjadikan tujuan penataan ruang wilayah kabupaten tercapai perlu disusun kebijakan penataan ruang kabupaten.

(2) Kebijakan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. pengembangan pusat-pusat pelayanan secara berhirarki dan bersinergis antara

pusat pengembangan utama di ibukota kabupaten dan perkotaan lainnya serta pengembangan sistem permukiman perdesaan berbasis agropolitan;

b. pendistribusian persebaran penduduk sesuai dengan kebijakan pusat-pusat pelayanan;

c. pengembangan kelengkapan prasarana wilayah meliputi: transportasi, energi, telekomunikasi dalam mendukung pengembangan distribusi barang dan jasa secara terpadu dan efisien;

d. pemantapan fungsi kawasan lindung dengan meminimalkan alih fungsi kawasan; e. pengembangan kawasan budidaya melalui optimasi fungsi kawasan pada kawasan

pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata, industri, pertambangan dalam mendorong ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat serta melalui pelestarian sumber daya pesisir dan mendorong perkembangan fungsi budidaya pesisir untuk perikanan, permukiman, pariwisata, dan prasarana perhubungan untuk memperlancar pendistribusian barang dan jasa;

f. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan, meliputi :

1) mendukung penetapan kawasan strategis nasional dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan di perbatasan negara RI-RDTL;

2) mengembangkan kegiatan budidaya secara selektif didalam dan disekitar kawasan strategis nasional untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan; 3) mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tidak terbangun disekitar kawasan strategis nasional sebagai zona penyangga

(8)

yang memisahkan kawasan strategis nasional dengan kawasan budidaya terbangun;dan

4) turut serta menjaga dan memelihara aset-aset pertahanan/TNI.

g. pengembangan sistem agropolitan berbasis pertanian dan perkebunan diarahkan di 2 (dua) kawasan, meliputi :

1) Kawasan Agropolitan Malaka yang terdiri dari Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Weliman, Kecamatan Wewiku, Kecamatan Kobalima dan Kecamatan Rinhat; dan

2) Kawasan Agropolitan Haekesak yang terdiri dari Kecamatan Raihat, Kecamatan Tasifeto Timur, Kecamatan Lasiolat, Kecatan Lamaknen, Kecamatan Lamaknen Selatan, Kecamatan Tasifeto Barat dan Kecamatan Raimanuk;

h. pengembangan kawasan pertambangan yang berbasis pada teknologi yang ramah lingkungan;

i. pengembangan kawasan minapolitan dengan meningkatkan produksi dan nilai tambah produk perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya melalui sentra pengolahan hasil perikanan yang diarahkan di 2 (dua) kawasan, meliputi :

1) kawasan minapolitan perikanan budidaya yang terdiri dari Kecamatan Wewiku, Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Kobalima dan Kecamatan Kakuluk Mesak; dan

2) kawasan minapolitan perikanan tangkap yang terdiri dari Kecamatan Kakuluk Mesak dan Kecamatan Tasifeto Timur.

j. pengembangan kawasan wisata bahari terpadu;

k. pengembangan kawasan usaha peternakan dengan meningkatkan produk dan nilai tambah peternakan;

l. pengembangan kawasan industri dan perdagangan Antar Negara RI – RDTL; m. pengembangan kawasan untuk kepentingan sosial budaya;

n. pengembangan kawasan pendayagunaan sumber daya alam dan/ atau teknologi tinggi; dan

o. pengembangan kawasan penyelamatan lingkungan hidup di kabupaten. Bagian Ketiga

Strategi Penataan Ruang Wilayah Pasal 4

(1) Untuk melaksanakan kebijakan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan strategi penataan ruang wilayah.

(2) Strategi pengembangan pusat-pusat pelayanan secara berhirarki dan bersinergis antara pusat pengembangan utama di ibukota kabupaten dan perkotaan lainnya serta pengembangan sistem permukiman perdesaan berbasis agropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, meliputi :

a. meningkatkan fungsi kawasan perkotaan dan perdesaan secara berhirarki sebagai pusat perkotaan dan pusat pengembangan agropolitan; dan

b. meningkatkan interaksi desa-kota dalam meningkatkan efisiensi pengembangan agropolitan.

(3) Strategi pendistribusian persebaran penduduk sesuai dengan kebijakan pusat-pusat pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, meliputi :

a. mendistribusikan persebaran penduduk dengan pengembangan sarana – prasarana dan pada kawasan pusat pertumbuhan baru; dan

b. memeratakan persebaran penduduk dengan perbaikan sarana-prasarana dan infrastruktur di kawasan perdesaan atau kawasan kurang berkembang guna mengurangi urbanisasi.

(9)

(4) Strategi pengembangan kelengkapan prasarana wilayah meliputi: transportasi, energi, telekomunikasi dalam mendukung pengembangan distribusi barang dan jasa secara terpadu dan efisien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c, meliputi :

a. mengembangkan sistem transportasi secara intermoda sampai ke pusat produksi pertanian dan pelayanan pariwisata; dan

b. meningkatkan jumlah, mutu dan jangkauan pelayanan komunikasi serta kemudahan mendapatkannya yang diprioritaskan untuk mendukung pengembangan pertanian, pariwisata dan industri.

(5) Strategi pemantapan fungsi kawasan lindung dengan meminimalkan alih fungsi kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, meliputi :

a. memantapkan fungsi kawasan hutan lindung melalui peningkatan kelestarian hutan untuk keseimbangan tata air dan lingkungan hidup;

b. meningkatkan kualitas kawasan yang memberi perlindungan di bawahnya berupa kawasan resapan air untuk perlindungan fungsi lingkungan;

c. memantapkan kawasan perlindungan setempat melalui upaya konservasi alam, rehabilitasi ekosistem yang rusak, pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan hidup serta penetapan kawasan lindung spiritual;

d. memantapkan fungsi dan nilai manfaatnya pada kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;

e. menangani kawasan rawan bencana alam melalui pengendalian dan pengawasan kegiatan perusakan lingkungan terutama pada kawasan yang berpotensi menimbulkan bencana alam (longsor dan banjir), serta pengendalian untuk kegiatan manusia secara langsung; dan

f. memantapkan kawasan lindung lainnya sebagai penunjang usaha pelestarian alam.

(6) Strategi pengembangan kawasan budidaya melalui optimasi fungsi kawasan pada kawasan pertanian, kehutanan, pariwisata, industri, pertambangan dalam mendorong ekonomi dan kesejahteraan masyarakat; serta melalui pelestarian sumber daya pesisir dan mendorong perkembangan fungsi budidaya pesisir untuk perikanan, permukiman, pariwisata, dan prasarana perhubungan untuk memperlancar pendistribusian barang dan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf e, meliputi :

a. mengembangkan kawasan hutan produksi untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan;

b. menetapkan dan mengembangkan kawasan hutan rakyat dalam mendukung penyediaan hutan oleh rakyat;

c. mengamankan lahan pertanian berkelanjutan dan menjaga suplai pangan dalam sistem agropolitan;

d. mengembangkan komoditas-komoditas unggul perkebunan di setiap wilayah; e. meningkatkan produk dan nilai tambah perikanan baik ikan tangkap dan budidaya

melalui sentra pengolah hasil ikan dalam wadah Minapolitan;

f. mengembangkan kawasan pertambangan yang berbasis pada teknologi yang ramah lingkungan;

g. menata dan mengendalikan kawasan dan lokasi Industri yang ramah lingkungan; h. meningkatkan pengembangan pariwisata berbasis ekowisata dengan tetap

memperhatikan kelestarian lingkungan, pelestarian budaya leluhur dan melibatkan peran serta masyarakat;

i. meningkatkan kawasan permukiman perkotaan secara sinergis dengan permukiman perdesaan; dan

j. mengembangkan zona kawasan pesisir dan laut yang potensial di Kabupaten. (7) Strategi peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf f, meliputi :

a. menetapkan kawasan perbatasan RI–RDTL dengan fungsi khusus pertahanan dan keamanan;

(10)

b. mengembangkan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan strategis nasional untuk menjaga fungsi pertahanan dan keamanan;

c. mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budidaya tak terbangun di sekitar kawasan perbatasan sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan strategis nasional dengan kawasan budidaya terbangun; dan

d. turut serta memelihara dan menjaga aset – aset pertahanan/TNI.

(8) Strategi pengembangan sistem agropolitan berbasis pertanian dan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g, meliputi :

a. memantapkan sentra-sentra produksi pertanian unggulan sebagai penunjang agropolitan;

b. meningkatkan produksi, pengolahan dan pemasaran produk pertanian unggulan sebagai satu kesatuan sistem;

c. mengembangkan infrastruktur penunjang agropolitan; d. mengembangkan kelembagaan penunjang agropolitan;

e. mengembangkan industri berbasis agro pada sentra-sentra produksi; dan

f. mengembangkan keterkaitan antara industri berbasis agro dengan pasar regional dan nasional.

(9) Strategi pengembangan kawasan pertambangan yang berbasis pada teknologi yang ramah lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf h, meliputi :

a. menetapkan lokasi potensi komoditas pertambangan dan penggalian yang tersebar di wilayah Kabupaten meliputi emas, marmer, magnesium, asbes, nikel, gipsum, tembaga (copper), rembesan minyak dan mangan;

b. menetapkan lokasi potensi mineral yang bisa dikategorikan sebagai komoditas pertambangan yang tersebar di Wilayah Kabupaten meliputi batugamping, batulempung, garam dapur, batu setengah permata, pyrite (FES), agate (S1O2), gabro dan diorit;

c. mengelola kawasan bekas penambangan diantaranya melalui rehabilitasi/ reklamasi lahan bekas penambangan;

d. meminimalisasi penggunaan bahan bakar kayu untuk pembakaran pada pengolahan hasil pertambangan;

e. menghindari dan meminimalisir kemungkinan timbulnya dampak negatif dari kegiatan sebelum, saat dan setelah kegiatan penambangan, sekaligus disertai pengendalian yang ketat; dan

f. memanfaatkan lahan bekas tambang yang merupakan lahan marginal untuk pengembangan komoditas lahan dan memiliki nilai ekonomis.

(10) Strategi pengembangan kawasan minapolitan dengan meningkatkan produk dan nilai tambah perikanan baik perikanan tangkap maupun perikanan budidaya melalui sentra pengolah hasil perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf i, meliputi:

a. meningkatkan daya saing produk perikanan;

b. mengupayakan perlindungan nelayan serta peningkatan penyadaran untuk tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan;

c. mengembangkan, meningkatkan dan mengoptimalkan kegiatan budidaya perikanan di wilayah pesisir, berdasarkan potensi yang tersebar di wilayah utara dan selayan; dan

d. meningkatkan bantuan permodalan usaha kepada kegiatan usaha masyarakat pertambakan.

(11) Strategi pengembangan kawasan wisata bahari terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf j, yaitu : mengembangkan kawasan wisata bahari pantai utara meliputi pantai di Kecamatan Kakuluk Mesak dan Kecamatan Tasifeto Timur serta Kawasan wisata bahari pantai selatan meliputi pantai di Kecamatan Wewiku, Kecamatan Malaka Barat dan Kecamatan Kobalima.

(11)

(12) Strategi pengembangan kawasan usaha peternakan dengan meningkatkan produk dan nilai tambah peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf k, meliputi:

a. mengembangkan, meningkatkan dan mengoptimalkan kegiatan peternakan yang dilakukan dengan cara peningkatan jumlah ternak, penggemukan ternak, pembibitan ternak, penyediaan pakan ternak, dan pengembangan industri pengolahan hasil ternak, berdasarkan potensi yang tersebar di Kawasan Usaha Peternakan Kapitanmeo berada di Kecamatan Laenmanen, Kawasan Usaha Peternakan Solis Laloran/Bakustulama berada di Kecamatan Tasifeto Barat, Kawasan Manumutin Silole berada di Kec Sasitamean dan Kec Io Kufeu , Kawasan Wekakoli berada di Kecamatan Malaka Tengah dan Rinhat, Kawasan Laloren berada di Kecamatan Kobalima, Malaka Timur dan Raimanuk , dan Kawasan Sadi berada di Kecamatan Tasifeto Timur; dan

b. meningkatkan bantuan permodalan usaha kepada kegiatan usaha masyarakat peternak.

(13) Strategi pengembangan kawasan industri dan perdagangan Antar Negara RI – RDTL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf l, meliputi :

a. menetapkan kawasan pengembangan I yang terdiri atas Kecamatan Raihat, Kecamatan Lasiolat, Kecamatan Lamaknen dan Kecamatan Lamaknen Selatan dengan pusat pengembangan di Haekesak/Kecamatan Raihat, kawasan pengembangan II yang terdiri atas Kecamatan Tasifeto Timur dan Kecamatan Kakuluk Mesak dengan pusat pengembangan khusus perdagangan di Lakafehan dan pusat industri di Desa Kenebibi/Kecamatan Kakuluk Mesak, kawasan pengembangan III yang terdiri atas Kecamatan Tasifeto Barat dan Kecamatan Nanaet Dubesi dengan pusat pengembangan di Kinbana/Kecamatan Tasifeto Barat, kawasan pengembangan IV yang terdiri atas Kecamatan Kobalima dan Kecamatan Kobalima Timur dengan pusat pengembangan di Rainawe/Kecamatan Kobalima sebagai kawasan strategis industri dan perdagangan Antar Negara RI – RDTL; dan

b. menetapkan PKSN Perkotaan Atambua dan PKLp Perkotaan Betun sebagai pusat distribusi barang dan jasa Antar Negara RI – RDTL.

(14) Strategi pengembangan kawasan untuk kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf m, meliputi :

a. mengembangankan kawasan yang memiliki rumah adat, perkampungan adat dan peninggalan jaman penjajahan berupa benteng. Adapun tempat-tempat tersebut antara lain yaitu:

1. Rumah Adat Matabesi di Kecamatan Atambua Barat; 2. Rumah Adat Loe Gatal di Kecamatan Lamaknen; 3. Rumah Adat Nualain di Kecamatan Lamaknen Selatan; 4. Rumah Adat Loro Dirma di Kecamatan Malaka Timur; 5. Rumah adat Wesey Wehali di Kecamatan Malaka Barat; 6. Ksadan Takirin di Kecamatan Tasifeto Timur;

7. Perkampungan Adat Kamanasa di Kecamatan Malaka Tengah; 8. Perkampungan Adat Bolan di Kecamatan Malaka Tengah; 9. Perkampungan Adat Haitimuk di Kecamatan Weliman;

10. Perkampungan Adat Fatuketi di Kecamatan Kota Atambua; dan 11. Benteng Makes di Kecamatan Lamaknen.

b. melakukan pengamanan terhadap kawasan atau melindungi tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai sejarah, situs purbakala dan kawasan dengan geomorfologi tertentu dengan membuat ketentuan-ketentuan yang perlu perhatian. Rencana pengembangan kawasan sosio-budaya sekitar rumah adat dan benteng yaitu berupa zonasi kawasan pengembangan di sekitar rumah adat dan benteng.

(12)

Pembagian zonasi kawasan bertujuan untuk menjaga nilai historis dan menjaga kelestarian dan kealamian dari benda-benda bersejarah yang ada di dalamnya. (15) Strategi pengembangan kawasan pendayagunaan sumber daya alam dan/ atau

teknologi tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf n, meliputi : a. mendukung Kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Au Fuik Desa

Dualaus, Kecamatan Kakuluk Mesak dengan luas 30,9 Ha; dan

b. mendukung pemenuhan kebutuhan energi listrik yang terus berkembang, khususnya di Nusa Tenggara Timur serta dalam rangka meningkatkan keandalan di bidang ketenagalistrikan Jawa Bali dan Nusa Tenggara. Kawasan strategis ini merupakan kawasan strategis kabupaten yang kewenangannya berada di bawah Pemerintah Kabupaten.

(16) Strategi pengembangan kawasan penyelamatan lingkungan hidup di kabupaten adalah hutan lindung, cagar alam dan suaka margasatwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf o, meliputi :

a. memelihara Kawasan hutan lindung yang terletak menyebar hampir di seluruh wilayah kecamatan dalam wilayah administratif Kabupaten terutama di sepanjang daerah perbatasan dengan Timor Leste yaitu yang termasuk dalam Daerah Lini I (pertama) selebar 1 Km, kecuali Kecamatan Rinhat, Kecamatan Sasitamean, Kecamatan Laenmanen, Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Weliman, Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Wewiku, dan Kecamatan Raihat dimana luasan untuk kawasan lindung tersebut adalah 50.153,78 Ha;

b. memelihara Kawasan cagar alam yang terletak di pantai selatan Kabupaten Belu yang terletak dalam wilayah Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Kobalima dan Kecamatan Wewiku dengan luas 3.246 Ha; c. memelihara Kawasan suaka margasatwa terletak di wilayah Kecamatan Malaka

Tengah dan dalam wilayah Kecamatan Sasitamean dengan luas 4.669,32 Ha; d. mendukung kebijakan penghentian sementara pengusahaan kayu yang berpotensi

merusak lingkungan (moratorium logging) dalam kawasan hutan serta mendorong berlangsungnya investasi bidang kehutanan yang diawali dengan kegiatan penanaman/rehabilitasi hutan;

e. mengembangkan produksi hasil hutan kayu dari hasil kegiatan budidaya tanaman hutan dalam kawasan hutan produksi;

f. mengembangkan produksi hasil hutan kayu yang berasal dari hutan alam, dari kegiatan penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan dengan izin yang sah; g. mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh)

dari luas kawasan perkotaan;

h. menyediakan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit antara 15-25 % dalam setiap rencana pengembangan kawasan baru untuk permukiman/ industry;

i. mengelola pemanfaatan sumber daya alam agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan;

j. mengelola dampak negatif kegiatan budidaya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan;

k. membatasi perkembangan kawasan terbangun pada kawasan perkotaan dengan mengoptimalkan pemanfaaatan ruang secara vertikal dan tidak sporadis untuk mengefektifkan tingkat pelayanan infrastruktur dan sarana kawasan perkotaan serta mempertahankan fungsi kawasan perdesaan;

l. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; dan

m. mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

(13)

BAB III

RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH Bagian Kesatu

Umum Pasal 5 (1) Rencana struktur ruang wilayah meliputi :

a. pusat-pusat kegiatan;

b. sistem jaringan prasarana utama; dan c. sistem jaringan prasarana lainnya.

(2) Rencana struktur ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua Pusat-Pusat Kegiatan

Pasal 6

Pusat-pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a terdiri atas: a. PKWp yaitu Perkotaan Atambua yang meliputi :

1. Kecamatan Kota Atambua; 2. Kecamatan Atambua Barat; dan 3. Kecamatan Atambua Selatan.

b. PKSN yaitu Perkotaan Atambua yang meliputi : 1. Kecamatan Kota Atambua;

2. Kecamatan Atambua Barat; dan 3. Kecamatan Atambua Selatan.

c. PKLp yaitu Perkotaan Betun ibu kota Kecamatan Malaka Tengah;

d. PPK meliputi Haekesak (Kecamatan Raihat), Kimbana (Kecamatan Tasifeto Barat), Eokpuran (Kecamatan Laen Manen) dan Raihenek (Kecamatan Kobalima); dan e. PPL meliputi Umarese (Kecamatan Kakuluk Mesak), Wedomu (Kecamatan Tasifeto

Timur), Halibete (Kecamatan Lasiolat), Piebulak (Kecamatan Lamaknen Selatan), Weluli (Kecamatan Lamaknen), Teteseban (Kecamatan Nanaet Duabesi), Webora (Kecamatan Raimanuk),Maroma Rai (Kecamatan Kobalima Timur), Fatuao (Kecamatan Io Kufeu), Kaputu (Kecamatan Sasitamean), Sarina (Kecamatan Botin Leo Bele), Boas (Malaka Timur), Besikama (Kecamatan Malaka Barat), Biudukfoho (Kecamatan Rinhat), Kmilaran (Kecamatan Weliman), dan Hanamasin (Kecamatan Wewiku).

Bagian Ketiga

Sistem Jaringan Prasarana Utama Pasal 7

Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)huruf b meliputi :

a. sistem jaringan transportasi darat; b. sistem jaringan transportasi laut; dan c. sistem jaringan transportasi udara.

Paragraf 1

Sistem Jaringan Transportasi Darat Pasal 8

(1) Rencana pengembangan sistem transportasi darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a terdiri atas :

a. jaringan lalu lintas dan angkutan jalan yang terdiri atas jaringan jalan, dan jaringan prasarana lalu lintas; dan

(14)

b. jaringan transportasi penyeberangan.

(2) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas : a. rencana pengembangan jalan arteri primer, meliputi :

1. ruas Jalan Atambua/Kecamatan Kota Atambua–Weluli/Kecamatan Lamaknen (P.87) sebagai penghubung antara Perkotaan Atambua sebagai PKSN menuju ke Pintu Lintas Batas RI – RDTL pada Pintu Lintas Batas II Turiskain; 2. ruas Jalan Webua/Kecamatan Malaka Tengah–Motamasin/Kecamatan

Kobalima Timur (P.125) sebagai penghubung menuju Pintu Lintas Batas RI– RDTL pada Pintu Lintas Batas III Motamasin;

3. ruas Jalan Atambua/Kecamatan Kota Atambua – Haliwen/Kecamatan Perkotaan Atambua – Salore/Kecamatan Tasifeto Timur (P.85) sebagai penghubung antara Kecamatan Perkotaan Atambua dan akses menuju Pintu Lintas Batas RI–RDTL pada Pintu Lintas Batas I Motaain; dan

4. ruas jalan yang mengalami peningkatan kelas dari kolektor menjadi arteri yaitu ruas jalan yang menghubungkan Kupang–RDTL (Timor Leste), melalui Kupang– TTS–TTU–Sp.Halilulik–Boas–Uarau–Wemasa–Motamasin-Timor Leste; dan

ruas jalan Motaain-Atapupu-Anleu–Biboki-Wini–RDTL (Oekusi) sebagai ruas jalan yang menghubungkan Pintu Lintas Batas I dengan RDTL.

b. rencana pengembangan jalan kolektor primer meliputi :

1. ruas jalan yang menghubungkan Malaka Tengah–Weliman–Biudukfoho– Nunfutu - Boking–Kolbano–Amanuban Selatan–Amarasi–Kupang Barat (Selatan Timor); dan

2. ruas jalan Rainino–Kaputu–Umasakaer sebagai penghubung antara perbatasan Kabupaten Belu dengan Kabupaten TTU menuju PKlp Betun.

c. rencana pengembangan jalan lokal primer meliputi : 1. penghubung jalan-jalan dalam Kota Atambua; dan

2. penghubung jalan-jalan yang menghubungkan antar desa dalam kecamatan, antar kecamatan;

d. rencana pengembangan jaringan jalan lingkar meliputi :

1. ruas jalan yang mengelilingi Perkotaan Atambua yang terdiri dari lingkar barat yang menghubungkan Naekasa – Tukuneno – Fatuketi - Umanen dan lingkar timur yang menghubungkan Naekasa – Derokfaturene - Manleten; dan

2. peningkatan jalan sabuk perbatasan yang menghubungkan 3 Pintu Lintas Batas yaitu Pintu Lintas Batas I Motaain, Pintu Lintas Batas II Turiskain dan Pintu Lintas Batas III Metamauk meliputi ruas jalan Motaain – Silawan – Salore-Haliwen – Sadi–Maneikun –Baudaok – Asumanu; Cbg.Lalu – Haekesak– Turiskain; ruas jalan Haekesak – Rusan – Builalu– Fulur– Kewar; ruas jalan Fulur – Henes; ruas jalan Wedomu – Nualain; ruas jalan Wedomu–Dafala– Lookeu – Fatubesi - Laktutus– Fatusakar– Metamauk;

(3) Jaringan prasarana lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, yaitu rencana pengembangan terminal, meliputi :

a. perbaikan dan peningkatan pelayanan terminal penumpang tipe A di Pintu Lintas Batas Motaain Kecamatan Tasifeto Timur dan Terminal Tipe B di Kecamatan Atambua Selatan;

b. pengembangan terminal penumpang tipe B di ibu kota Kecamatan Malaka Tengah dan terminal penumpang tipe C untuk masing – masing ibukota kecamatan lainnya di Kabupaten Belu;

c. peningkatan pengelolaan di setiap terminal penumpang yang ada;

d. memisahkan lokasi terminal yang tergabung dengan fasilitas perdagangan dan jasa sehingga tidak berdampak terhadap arus masuk dan keluar kendaraan; dan

(15)

e. pengembangan terminal angkutan barang di Kecamatan Kakuluk Mesak dan Perkotaan Atambua sebagai sarana distribusi barang dalam mendukung kegiatan perdagangan baik skala lokal, regional maupun internasional.

(4) Jaringan transportasi penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu rencana pengembangan prasarana dan sarana penyeberangan dan feri menuju Kisar, Alor, Lembata dan Flores Timur.

Paragraf 2

Sistem Jaringan Transportasi Laut Pasal 9

Rencana pengembangan sistem transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b meliputi :

a. pelabuhan penyeberangan lintas kabupaten/provinsi berada di Teluk Gurita dengan alur pelayaran meliputi: Teluk Gurita –Kalabahi/Alor, Teluk Gurita –Waibalun/Flores Timur dan Teluk Gurita – Lewoleba/Lembata, Teluk Gurita – Kisar/Provinsi Maluku; b. pelabuhan pengumpul berada di Atapupu dengan alur pelayaran regional meliputi:

Jalur Kupang – Naikliu – Wini – Atapupu – Ende – Umbu Haramburu Kapita;

c. pelabuhan pengumpul berada di Atapupu dengan alur pelayaran internasional meliputi: Atapupu – Timor Leste (RDTL);

d. rencana pengembangan pelabuhan Atapupu dan pelabuhan Teluk Gurita sebagai pelabuhan penyeberangan dan pelabuhan barang; dan

e. rencana pengembangan sarana dan prasarana penunjang pelabuhan sesuai dengan standar kebutuhan fasilitas pelabuhan.

Paragraf 3

Sistem Jaringan Transportasi Udara Pasal 10

(1) Rencana pengembangan sistem transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c mengacu pada rencana induk Bandar udara Haliwen.

(2) Sistem transportasi udara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. tatanan kebandarudaraan; dan

b. ruang udara untuk penerbangan.

(3) Tatanan kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, berupa bandar udara Haliwen sebagai bandar udara pengumpul skala pelayanan tersier. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang udara untuk penerbangan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dalam Rencana Induk Bandar Udara. Bagian Keempat

Sistem Jaringan Prasarana Lainnya Pasal 11

Rencana pengembangan sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c meliputi :

a. sistem jaringan energi;

b. sistem jaringan telekomunikasi; c. sistem jaringan sumber daya air; dan d. sistem jaringan prasarana lingkungan.

Paragraf 1 Sistem Jaringan Energi

Pasal 12

(1) Rencana pengembangan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Ayat (1) huruf a meliputi :

(16)

a. pembangkit Listrik; b. gardu induk;

c. jaringan transmisi tenaga listrik; dan d. pengembangan pelayanan energi listrik.

(2) Rencana pengembangan sistem jaringan energi melalui pembangkit listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :

a. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di Atambua;

b. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Au Fuik Desa Dualaus Kecamatan Kakuluk Mesak dengan kapasitas 4 X 6 MW;

c. Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Kecamatan Lamaknen, Kecamatan Lasiolat dan Kecamatan Raihat;

d. Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kecamatan Lamaknen Selatan; dan e. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di seluruh wilayah Kabupaten terutama

pada daerah–daerah yang belum terlayani energi listrik.

(3) Rencana pengembangan sistem jaringan energi melalui gardu induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yaitu Gardu Induk (GI) Atambua dan seluruh ibu kota kecamatan dengan kapasitas 20 MW dan tegangan 70/20 KV.

(4) Rencana pengembangan sistem jaringan energi melalui jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi :

a. jaringan transmisi tenaga listrik nasional berupa saluran udara tegangan tinggi (SUTT) dengan tegangan 150 KV menghubungkan Kota Kupang – Oelmasi – Soe – Kefamenanu – Atambua;

b. jaringan transmisi tenaga listrik tegangan 70/20 KV menghubungkan Kefamenanu – Atambua; dan

c. jaringan transmisi tenaga listrik tegangan 70/20 KV yang menghubungkan Kota Atambua dengan seluruh ibu kota kecamatan.

(5) Pengembangan pelayanan energi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (4), meliputi :

a. peningkatan pemenuhan kebutuhan energi listrik untuk penerangan jalan umum (PJU) pada jaringan-jaringan; dan

b. untuk wilayah terisolasi dan tidak layak secara ekonomis untuk dibangun jaringan distribusi tenaga listrik diprioritaskan dibangun sistim pembangkit tenaga listrik Hybrid.

Paragraf 2

Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 13

(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf b adalah perangkat komunikasi yang diarahkan pada upaya meningkatkan pelayanan telekomunikasi secara memadai dan merata ke seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten.

(2)Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas : a. jaringan tererterial;

b. jaringan satelit; dan

c. jaringan telekomunikasi lainnya.

(3)Jaringan teresterial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tersebar di ibu kota Kabupaten yaitu Atambua dan di ibu kota Kecamatan Malaka Tengah yaitu Betun. (4)Jaringan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, meliputi :

a. penyediaan infrastruktur telekomunikasitower BTS (Base Transceiver Station) bagi wilayah di Kabupaten yang belum terlayani; dan

b. kerja sama pengembangan telekomunikasi dengan provideryang khususnya belum melayani wilayah Kabupaten melalui pelayanan menara bersama telekomunikasi. (5)Jaringan telekomunikasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, meliputi :

(17)

a. penyediaan layanan internet;

b. rencana pengembangan telekomunikasi untuk penanganan bencana;

c. rencana pengembangan jaringan stasiun televisi lokal hingga ke desa – desa; dan d. rencana pengembangan jaringan stasiun radio lokal hingga ke desa – desa.

(6)Arahan pengelolaan jaringan telekomunikasi berada di bawah otoritas tersendiri sesuai dengan peraturan perundangan.

Paragraf 3

Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 14

(1) Rencana sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c meliputi :

a. wilayah sungai (WS); b. cekungan air tanah (CAT); c. daerah irigasi (DI);

d. prasarana air baku untuk air minum; dan e. sistem pengendalian banjir.

(2) Sistem jaringan prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud ayat 1 direncanakan melalui pendekatan wilayah sungai dan cekungan air tanah serta keterpaduaanya dengan pola ruang dengan memperhatikan keseimbangan pemanfaatan sumber daya air permukaan dan air tanah.

(3) Rencana pengembangan prasarana/jaringan sumber daya air meliputi aspek konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.

(4) Wilayah Sungai (WS) sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a meliputi :

a. WS Benenain yang merupakan WS lintas negara yang melintasi wilayah Kabupaten Belu dengan negara Timor Leste (RDTL), dimana kewenangannya menjadi kewenangan pemerintah; dan

b. Daerah aliran sungai (DAS) pada WS tersebut yang berada di Kabupaten terdiri atas: 1. DAS Talau; 2. DAS Masin; 3. DAS Babulu; 4. DAS Benain;dan 5. DAS Tomutu;

(5) Cekungan air tanah (CAT) sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b meliputi CAT Aroki, CAT Besikama, dan CAT Oemeo.

(6) Daerah Irigasi (DI) sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c meliputi :

a. DI Malaka (6.700 ha) dan DI Haekesak (3.400 ha) yang menjadi DI kewenangan pemerintah;

b. DI Alas (1650 ha), DI Fatubesi (1650 ha), DI Maubusa (1350 ha), DI Obor (1815 ha) yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi NTT; dan

c. DI Ainiba (150 ha), DI Bakateu (100 ha), DI Bauatok (100 ha), DI Buitasik (150 ha), DI Derok 9 (100 ha), DI Eturaifou (125 ha), DI Haekesak (600 ha), DI Halileki (450 ha), DI Halilulik (200 ha), DI Haliwen (299 ha), DI Holeki (450 ha), DI Lakekun I & II (250 ha), DI Nobelu (128 ha), DI Raimea (400 ha), DI Raimetan (150 ha), DI Salore (150 ha), DI Seonpasar (100 ha), DI Taeksoruk (150 ha), DI Takirin (120 ha), DI Teun (100 ha), DI Tolok (600 ha), DI Tubaki (300 ha), DI Wemaromak (200 ha), DI Webua (100 ha), DI Webuni (100 ha), DI Wematek (200 ha), DI Weoan (100 ha), DI Kimbana (50 ha), DI Lalosuk (50 ha), DI Wekari Lalosuk (50 ha), DI Weliman (1000 ha), DI Hasimetan (250 ha), DI Lahurus (175 ha), DI Dualasi (200 ha), DI Lawalu (250 ha), DI Webot (250 ha), DI Beabo (235 ha), DI Buburlaran (350 ha), DI Mausaka (450 ha), DI Weharani (230 ha), DI

(18)

Raiikun (350 ha), DI Halimodok (125 ha), DI Maudemu (100 ha), DI Lelowai (138 ha), DI Halioan (75 ha), DI Daris (60 ha), DI Kala Mesak (65 ha) dan DI Ekin (50 ha) yang merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten.

(7) Prasarana air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d meliputi : a. pendayagunaan sumber daya air untuk air minum tetap mengutamakan

pemanfaatan sumber daya air yang berasal dari air permukaan;

b. rencana sistem air minum yang dilayani suatu perusahaan air minum dan non perusahaan air minum (Hippam);

c. pemenuhan kebutuhan akan air minum baik dari suatu perusahaan air minum dan irigasi dilakukan dengan peningkatan jaringan sampai ke wilayah yang belum terjangkau, sedangkan irigasi dengan peningkatan saluran dari sistem setengah teknis dan sederhana ditingkatkan menjadi irigasi teknis;

d. upaya penanganan untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih yaitu dengan pengembangan sistem jaringan air minum yang dilayani dari Embung Haikrit, Embung Sirani dan embung lainnya serta waduk, dam dan sumber daya air lainnya yang potensial;dan

e. upaya penanganan untuk meningkatkan layanan fasilitas air bersih dengan pemanfaatan air tanah dengan mengutamakan pemanfaatan air permukaan di daerah dilakukan dengan cara :

1. perlindungan terhadap sumber-sumber air dan daerah resapan air; 2. perluasan daerah tanggapan air; dan

3. pengadaan program pembinaan daerah tangkapan air dan pelestarian sumber air di dalam pemanfaatan sumber air bawah tanah.

(8) Sistem Pengendalian Banjir sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e meliputi : a. upaya konservasi lahan;

b. penetapan zona banjir; dan

c. pembangunan sarana dan prasarana banjir. Paragraf 4

Sistem Prasarana Pengelolaan Lingkungan Pasal 15

(1) Rencana sistem jaringan prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf d meliputi rencana pengelolaan persampahan dan rencana penanganan limbah.

(2) Rencana pengelolaan limbah persampahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di wilayah perkotaan meliputi pengembangan :

a. penetapan lokasi Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di KecamatanTasifeto Barat dan Kecamatan Kakuluk Mesak sebagai TPA untuk penanganan sampah Perkotaan Atambua dan sekitarnya;

b. penetapan lokasi TPA di Kecamatan Malaka Tengah sebagai TPA untuk penanganan sampah Perkotaan Betun dan sekitarnya;

c. penambahan jumlah Tempat Penampungan Sementara (TPS), dan perluasan jangkauan pelayanan; dan

d. sistem pengelolaan TPA yang dikembangkan adalah dengan menggunakan sistemcontrolled landfilldansanitary landfill.

(3) Rencana penanganan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. penanganan limbah padat rumah tangga (black water) dilakukan dengan konsep

septic tank, dan untuk kawasan permukiman padat digunakan sistem septic tank

komunal;

b. penanganan limbah untuk kawasan ekonomi, sistem gabungan antara sistem individual dan cara kolektif; dan

(19)

c. penanganan limbah untuk kawasan Industri dengan sistem Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terutama untuk kawasan industri terencana dengan proses pengelolaan secara kimia dan biologis (disarankan memakai proses lumpur aktif)

BAB IV

RENCANA POLA RUANG WILAYAH Bagian Kesatu

Umum Pasal 16

(1) Rencana pola ruang wilayah dilaksanakan berdasarkan arahan perencanaan :

a. rencana pengembangan kawasan lindung dengan luas kurang lebih 74.085,10 Ha dan

b. rencana pengembangan kawasan budidaya dengan luas kurang lebih 121.559,65 Ha.

(2) Rencana pola ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1: 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua Kawasan Lindung

Pasal 17

(1) Rencana pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf a meliputi semua upaya perlindungan, konservasi, dan pelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungannya guna mendukung kehidupan secara serasi yang berkelanjutan dan tidak dapat dialihfungsikan menjadi kawasan budidaya.

(2) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf a meliputi : a. kawasan hutan lindung;

b. kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat;

d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya; dan e. kawasan rawan bencana alam.

(3) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a adalah seluas kurang lebih 50.153,78 Ha meliputi: Kawasan hutan lindung persebarannya terletak pada kelompok hutan Selie seluas 853,8 Ha, Tukubesi seluas 268,95 Ha, Bifennasi-Sonmahole seluas 15.591,27 Ha, Lakaan Mandeu seluas 31.166,27 Ha , Fatusakar seluas 2.273,6 Ha.

(4) Kawasan yang memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b berupa kawasan bergambut dan kawasan resapan air, yaitu : kawasan resapan air meliputi: seluruh kawasan hutan lindung dan kawasan hutan produksi.

(5) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi :

a. kawasan sempadan sungai, dilakukan pengelolaan sungai yaitu :

1. kegiatan pinggir sungai yang mampu melindungi, memperkuat, dan mengatur aliran air yaitu dengan tanaman keras dan rib pengendali saluran air;

2. daerah sempadan untuk sungai besar sekurang-kurangnya 100 meter (seratus) di kiri dan kanan sungai besar dijadikan kawasan lindung;

3. daerah sempadan untuk sungai kecil masing-masing selebar 50 meter (lima puluh) dijadikan kawasan lindung pada kawasan non pemukiman dan selebar 10 meter (sepuluh) untuk sungai yang melewati pemukiman; dan

4. sungai yang terdapat di tengah pemukiman dapat dilakukan dengan membuat jalan inspeksi dengan lebar jalan 10 meter.

(20)

b. kawasan sekitar danau atau waduk diarahkan ke sekitar Bendung Benenai di Kecamatan Malaka Tengah, dan Embung Haekrit serta Embung Sirani di Kecamatan Tasifeto Timur;

c. kawasan mata air, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya radius 150 m dari mata air dan tersebar di beberapa kecamatan di Kabupaten yaitu di Kecamatan Laenmanen 10 titik, Kecamatan Tasifeto Barat 33 titik, Kecamatan Tasifeto Timur 15 titik, Kecamatan Kakuluk Mesak 3 titik, Kecamatan Atambua Barat 4 titik, Kecamatan Atambua 2 titik, Kecamatan Raihat 16 titik, Kecamatan Sasitamean 7 titik, Kecamatan Lasiolat 22 titik, Kecamatan Raimanuk 7 titik, Kecamatan Weliman 4 titik, Kecamatan Malaka Tengah 5 titik, dan Kecamatan Malaka Timur 3 titik, Kecamatan Kobalima 11 titik, Kecamatan Lamaknen Selatan 2 titik, Kecamatan Botin Leobele 1 titik, Kecamatan Kobalima Timur 12 titik, Kecamatan Rinhat 2 titik, Kecamatan, dan Kecamatan Lamaknen 17 titik;

d. sempadan pantai, Kawasan sempadan pantai ditetapkan pada kawasan sepanjang tepian pantai sejauh 100 meter dari pasang tertinggi secara proporsional sesuai dengan bentuk, letak dan kondisi fisik pantai; dan

e. ruang terbuka hijau kota, kawasan hutan kota yang berfungsi sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) dikembangkan pada Ibukota Kabupaten dan ibukota kecamatan.

(6) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi :

a. kawasan suaka margasatwa Kateri terletak di Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Botin Leobele, dan Kecamatan Kobalima dengan luas kurang lebih 4.669,32 Ha;

b. kawasan cagar alam (CA) yang berada di wilayah Kabupaten yaitu Cagar Alam Maubesi dengan luas kurang lebih 3.246 Ha;

c. kawasan pantai berhutan bakau meliputi kawasan pantai di bagian utara dan selatan yaitu di Kecamatan Malaka Tengah seluas kurang lebih 3.125 Ha, Kecamatan Kobalima seluas kurang lebih 3.246 Ha, Kecamatan Malaka Barat seluas kurang lebih 2.042,3 Ha, Kecamatan Tasifeto Timur seluas kurang lebih 226 Ha, dan Kecamatan Kakuluk Mesak seluas 553,7 Ha;

d. kawasan cagar budaya antara lain meliputi :

1. Rumah Adat Matabesi di Kecamatan Atambua Barat; 2. Rumah Adat Loe Gatal di Kecamatan Lamaknen; 3. Rumah Adat Nualain di Kecamatan Lamaknen Selatan; 4. Rumah Adat Loro Dirma di Kecamatan Malaka Timur; 5. Rumah adat Wesey Wehali di Kecamatan Malaka Barat; 6. Ksadan Takirin di Kecamatan Tasifeto Timur;

7. Perkampungan Adat Kamanasa di Kecamatan Malaka Tengah; 8. Perkampungan Adat Bolan di Kecamatan Malaka Tengah; 9. Perkampungan Adat Haitimuk di Kecamatan Weliman;

10. Perkampungan Adat Fatuketi di Kecamatan Kota Atambua; dan 11. Benteng Makes di Kecamatan Lamaknen.

(7) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e meliputi : a. kawasan rawan bencana tanah longsor atau zona gerakan tanah kerentanan tinggi

meliputi meliputi, Kecamatan Kobalima, Kecamatan Kobalima Timur, Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Raimanuk, Kecamatan Nanaet Duabesi, Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kecamatan Atambua Barat, Kecamatan Tasifeto Timur, Kecamatan Lasiolat, Kecamatan Raihat, Kecamatan Lamaknen, dan Kecamatan Lamaknen Selatan;

b. kawasan rawan bencana banjir meliputi Kecamatan Kobalima, Kecamatang Malaka Tengah, Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Wewiku, dan Kecamatan Weliman; dan

(21)

c. kawasan rawan abrasi pantai di Desa Silawan Kecamatan Tasifeto Timur dan Desa Jenilu Kecamatan Kakuluk Mesak.

Bagian Ketiga Kawasan Budidaya

Pasal 18

Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b sebagai berikut :

a. kawasan peruntukan hutan produksi; b. kawasan peruntukan pertanian; c. kawasan peruntukan perikanan; d. kawasan peruntukan pertambangan; e. kawasan peruntukan permukiman; f. kawasan peruntukan industri;

g. kawasan peruntukan pariwisata; dan h. kawasan peruntukan lain.

Paragraf 1

Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Pasal 19

(1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a terdiri atas :

a. kawasan hutan produksi terbatas; b. kawasan hutan produksi tetap; dan

c. kawasan hutan produksi yang dapat di konversi.

(2) kawasan peruntukan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi Kecamatan Sasitamean, Kecamatan Laenmanen, dan Kecamatan Io Kufeu dengan luasan kurang lebih 155,88 Ha.

(3) kawasan peruntukan hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi Kecamatan Tasifeto Barat dengan luasan kurang lebih 199,51 Ha dan Kecamatan Rinhat dengan luasan kurang lebih 2.241,97 Ha sehingga total luasan kawasan kurang lebih 2.441,48 Ha.

(4) Kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat di konversi sebagaimana dimaksud pada huruf c meliputi Kecamatan Laenmanen dengan luasan kurang lebih 1.140 Ha.

Paragraf 2

Kawasan Peruntukan Pertanian Pasal 20

(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b meliputi :

a. kawasan pertanian tanaman pangan; b. kawasan pertanian hortikultura; c. kawasan perkebunan; dan d. kawasan peternakan.

(2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi daerah irigasi malaka, Kecamatan Raimanuk, Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Weliman, Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan Tasifeto Timur, Kecamatan Raihat, dan Kecamatan Lamaknen dengan luas kurang lebih 31.946 Ha.

(3) Kawasan pertanian hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi buah-buahan advokat, belimbing, semangka, jeruk keprok soe, jeruk besar, jambu biji, jambu air, nangka, papaya, nenas, pisang, salak, sawo, markisa, sirsak, sukun, dan sayur-sayuran kubis, sawi, bawang merah, bawang putih, kentang, wortel, kacang

(22)

panjang, cabe besar, cabe rawit, tomat, terung, kangkung yang tersebar diseluruh wilayah Kabupaten dengan luas kurang lebih 56.436 Ha.

(4) Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi perkebunan kapuk, kemiri, kelapa, kopi, jambu mente, kakao, pinang, tembakau, vanili, siri, dan nilam yang diarahkan di setiap kecamatan di wilayah Kabupaten disesuaikan dengan ketersediaan lahan kecamatan yang bersangkutan, dengan luas kurang lebih 19.244,59 Ha.

(5) Kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :

a. kawasan Usaha Peternakan Kapitanmeo berada di Kecamatan Laenmanen meliputi Desa Kapitanmeo, Desa Tesa, Desa Teun dan Desa Tasain seluas 310 Ha;

b. kawasan Usaha Peternakan Solis Laloran/Bakustulama seluas 500 Ha berada di Kecamatan Tasifeto Barat meliputi Desa Bakustulama, Desa Derokfaturene, Desa Naekasa;

c. kawasan Usaha Peternakan Manumutin Silole seluas 750 Ha berada di Kecamatan Sasitamean meliputi Desa Manumutin Silole, Desa Fatuaruin, Desa Naibone dan Kecamatan Io Kufeu meliputi Desa Ikan Tuanbeis, Desa Bani-Bani , Desa Fatoin dan Desa Kufeu;

d. kawasan Usaha Peternakan Wekakoli seluas 1000 Ha berada di Kecamatan Malaka Tengah meliputi Desa Kakaniuk, Desa Barene dan Kecamatan Rinhat meliputi Desa Nanebot, Desa Alala;

e. kawasan Usaha Peternakan Laloren seluas 500 Ha berada di Kecamatan Kobalima yaitu Desa Babulu, Kecamatan Malaka Timur yaitu Desa Raiulun dan Kecamatan Raimanuk yaitu Desa Renrua; dan

f. kawasan Sadi seluas 300 Ha berada di Kecamatan Tasifeto Timur meliputi Desa Sadi, Desa Sarabau, Desa Bauho dan Desa Manleten.

(6) Penetapan kawasan peruntukan lahan pertanian sebagai lahan sawah berkelanjutan diatur dengan Peraturan Daerah.

Paragraf 2

Kawasan Peruntukan Perikanan Pasal 21

(1) Kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi : a. Kawasan peruntukan perikanan tangkap; dan

b. Kawasan peruntukan perikanan budidaya.

(2) Kawasan peruntukan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:

a. Kawasan perikanan tangkap di laut; dan

b. Kawasan perikanan tangkap di perairan umum.

(3) Kawasan perikanan tangkap di laut sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (2) huruf a diarahkan pada wilayah perairan laut di kawasan pesisir pantai utara, meliputi Kecamatan Kakuluk Mesak dan Kecamatan Tasifeto Timur; dan kawasan pesisir pantai selatan meliputi Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Kobalima, Kecamatan Wewiku, dan Kecamatan Malaka Tengah; dengan pelabuhan pendaratan ikan, pelabuhan perikanan di Atapupu.

(4) Kawasan perikanan tangkap di perairan umum sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) huruf b diarahakan di sekitar Bendung Benenai di Kecamatan Malaka Tengah, dan Embung Haekrit serta Embung Sirani di Kecamatan Tasifeto Timur.

(5) Kawasan peruntukan perikanan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdiri atas :

a. Kawasan perikanan budidaya air tawar; b. Kawasan perikanan budidaya air payau; dan c. Kawasan perikanan budidaya air laut.

(23)

(6) Kawasan perikanan budidaya air tawar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a diarahkan di :

a. Kecamatan Lamaknen seluas 4 Ha; b. Kecamatan Raihat seluas 30,5 Ha; c. Kecamatan Lasiolat seluas 7 Ha; d. Kecamatan Tasifeto Timur seluas 6 Ha; e. Kecamatan Raimanuk seluas 9 Ha; f. Kecamatan Tasifeto Barat seluas 3,5 Ha; g. Kecamatan Laenmanen seluas 5,05 Ha; h. Kecamatan Malaka Timur seluas 3 Ha; i. Kecamatan Sasitamean seluas 2 Ha; j. Kecamatan Malaka Tengah seluas 2,5 Ha; k. Kecamatan Rinhat seluas 2,05 Ha;

l. Kecamatan Weliman seluas 0,02 Ha; m. Kecamatan Wewiku seluas 1 Ha; n. Kecamatan Kobalima seluas 21 Ha; o. Kecamatan Kota seluas 3 Ha;

p. Kecamatan Atambua Selatan 4 Ha;dan q. Kecamatan Atambua Barat 3 Ha.

(7) Kawasan perikanan budidaya air payau sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b diarahkan di Kecamatan Wewiku seluas 393 Ha, Kecamatan Malaka Tengah seluas 1300 Ha, Kecamatan Kobalima seluas 745 Ha dan Kecamatan Kakuluk Mesak seluas 100 Ha.

(8) Kawasan perikanan budidaya air laut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c diarahkan pada wilayah perairan laut di kawasan pesisir pantai utara, meliputi Kecamatan Kakuluk Mesak dan Kecamatan Tasifeto Timur; dan kawasan pesisir pantai selatan meliputi Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Kobalima, Kecamatan Wewiku, dan Kecamatan Malaka Tengah.

(9) Jenis komuditas perikanan sebagaimana dimaskud dalam pasal 18 huruf c meliputi tuna, Cakalang, Tongkol, Tenggiri, Alu-Alu, Gergahing, Kakap Merah, Kakap Putih, Kerapu Lumpur, Kerapu Karang, Kerapu Balong, Kerapu Sunu, Kerapu Bebek, Cendro, Bandeng, Tetengkek, Kembung, Terbang, Belanak, Tembang, Tembang Kobi, Tembang Kaleng, Julung-Julung (Nipi), Golok-Golok, Terubuk, Lemuru, Lemadang, Lencam, Biji Nangka, Kurisi, Swanggi, Serinding Tembakau, Layang, Kwee, Talang-Talang, Pinjalo, Jenaka, Bentong, Gerot-Gerot, Selanget, Baronang, Selar, Teri, Paperek, Pari, Manyung, Merah Bambangan, Kakap/Baramundi Bream, Ekor Kuning, Cucut, Layar, Parang-Parang, Madidihang, Karpel, Nila, Lele dan rumput laut.

Paragraf 3

Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 22

(3) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi :

a. Kawasan peruntukan pertambangan mineral logam nikel tersebar di Kecamatan Kakuluk Mesak (Desa Maudemu), emas sekunder (placer) tersebar di Kecamatan Lamaknen, Kecamatan Raihat, Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan Tasifeto Timur dan Kecamatan Raimanuk, tembaga (copper) tersebar di Kecamatan Lamaknen dan Kecamatan Kakuluk Mesak;

b. Kawasan peruntukan pertambangan mineral bukan logam asbes tersebar di Kecamatan Kakuluk Mesak, gypsum di Kecamatan Tasifeto Timur, Kecamatan Lamaknen, Kecamatan Malaka Timur dan Kecamatan Raimanuk, dan magnesium tersebar di Kecamatan Raimanuk;

(24)

c. Kawasan peruntukan pertambangan minyak dan gas bumi di Kecamatan Kobalima, Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Malaka Barat, Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan Nanaet Duabesi, Kecamatan Raimanuk, Kecamatan Laenmanen, Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Kobalima Timur, Kecamatan Io Kufeu, Kecamatan Sasitamean, Kecamatan Botin Leobele, Kecamatan Rinhat, Kecamatan Weiliman, dan Kecamatan Wewiku;

d. Kawasan peruntukan pertambangan mineral logam mangan tersebar di seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten kecuali di Kecamatan Malaka Barat; dan

e. Kawasan peruntukan pertambangan batu marmer di Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Tasifeto Barat, Kecamatan Kota Atambua, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kecamatan Raimanuk, dan Kecamatan Laenmanen, batulempung di Kecamatan Lamaknen, Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Kota Atambua, Kecamatan Tasifeto Timur, Kecamatan Tasifeto Barat dan Kecamatan Weliman, batugamping koral tersebar di Kecamatan Laenmanen, Kecamatan Tasifeto Barat dan Kecamatan Raimanuk, batu setengah permata dan Kristal kuarsa di Desa Sanleo Kecamatan Malaka Timur, Kecamatan Raihat dan Kecamatan Kakuluk Mesak; serta pasir dan batu kali tersebar di seluruh kecamatan.

(4) Izin pertambangan yang telah diterbitkan dan masih berlaku, tetap diakui sampai masa berlakunya habis dan perpanjangannya menyesuaikan dengan ketentuan peraturan daerah ini.

Paragraf 4

Kawasan Peruntukan Permukiman Pasal 23

Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e dikembangkan di daerah yang datar sampai bergelombang dengan kelerengan lahan 0%-25%, bukan lahan irigasi teknis, bukan kawasan lindung, bukan kawasan rawan bencana, aksesibilitas baik dan tersedia air bersih yang cukup.

Paragraf 5

Kawasan Peruntukan Industri Pasal 24

(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf f adalah industri rumah tangga.

(2) Kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

a. Kawasan industri kecil hasil pertanian dan kehutanan berupa makanan ringan

(snack), perabot rumah tangga dan kayu, ukiran kayu dan kerajinan kayu cendana, pengolahan dan pengawetan daging, industri kopi bubuk, kasur dan bantal, industri tahu dan tempe, dan industri gula aren tersebar di seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten kecuali di Kecamatan Weliman, Botin Leobele, Io Kufeu, Kobalima, Kakuluk Mesak, Atambua Selatan, Atambua Barat, dan Kecamatan Lasiolat;

b. Industri minyak nilam yaitu di Desa Lakmaras, Desa Henes, Desa Lo’onuna Kecamatan Lamakenen Selatan, Desa Maudemi Kecamatan Lamaknen serta Desa Fafoe Kecamatan Malaka Barat;

c. Kawasan industri kecil hasil perikanan diarahkan tersebar di tiap Kecamatan yang termasuk dalam kawasan peruntukkan perikanan/minapolitan yaitu Kecamatan Wewiku, Kecamatan Malaka Tengah, Kecamatan Kobalima dan Kecamatan Kakuluk Mesak;

d. Kawasan industri aneka berupa industri tenun, anyaman lontar, anyaman tali gewang, anyaman lidi kelapa, anyaman dari tali sisal, industri kapok, alat musik tradisional, serta industri pakaian jadi dari tekstil tersebar di Kecamatan Botin

Referensi

Dokumen terkait

 Kawasan rawan abrasi meliputi sepanjang kawasan pesisir kota yang terbentang mulai dari bagian Utara hingga Barat kota sepanjang 35 (tiga puluh lima) kilometer di

Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a meliputi kurang lebih 20.646 Ha (2,39%) dari luas Provinsi Banten yang terdapat di sebagian

(3) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tersebar di Kecamatan Bacan, Bacan Barat, Bacan Barat Utara, Bacan Selatan,

(6) Kawasan imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b meliputi daratan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan

(2) Rencana pengembangan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf c diwujudkan dalam bentuk peta Rencana

Kawasan Strategis untuk kepentingan sosial budaya, sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (1) huruf b yang dikembangkan di Kabupaten Mandailing Natal, meliputi

(3) Kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Kecamatan Ende, Ende Tengah, Ende Timur, Ende Utara, Ende Selatan, Detusoko dan

Kecamatan Tejakula; 4 ruang laut adalah wilayah laut paling jauh 4 empat mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan dan sejauh jarak garis