• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORUPSI POLITIK DAERAH: Studi Jejaring Politik, Politik Nepotisme dan Perlawanan Rakyat dalam Pemilihan Kepala Daerah Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KORUPSI POLITIK DAERAH: Studi Jejaring Politik, Politik Nepotisme dan Perlawanan Rakyat dalam Pemilihan Kepala Daerah Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB

VII

MODEL

TEORETIK

PERILAKU,

JEJARING,

PRAKTIK

DAN

RESISTENSI

MASYARAKAT

TERHADAP

POLITIK

NEPOTISME

DAERAH

Penelitian ini bergerak dari penafsiran tingkat pertama (first-order interpretation) yang bersifat emik sebagaimana tampak dalam paparan empirik, untuk selanjutnya direkonstruksi berdasarkan pandangan etik guna membangun pemahaman tingkat kedua (second-order interpretation) berupa teori substantif, dan akhirnya ditransformasi menjadi teori formal sehingga tercapai penafsiran tingkat ketiga (third-order interpretation).

(2)

Dikemukakan Turner (1985: 25), suatu proposisi adalah suatu pernyataan teoretik yang merinci hubungan antara dua atau lebih variabel, yang menggambarkan bagaimana keragaman dalam suatu konsep terhubung dengan keragaman konsep lain. Dengan demikian, dua unsur terpenting dalam sebuah proposisi adalah variabel-variabek dan hubungan di antara mereka.

Berkenaan dengan bentuk proposisi, Neuman (2000: 517) mengemukakan ada tiga bentuk proposisi, yaitu: (1) proposisi benar atau salah, (2) proposisi kondisional, dan (3) proposisi kausalitas. Dalam penelitian ini, ketiga bentuk proposisi tersebut digunakan sesuai dengan sifat dasar hubungan antar konsep yang dikaji, sedangkan cakupannya meliputi seluruh fokus penelitian, yaitu: (1) perilaku para aktor individual dan kolektiva dalam membangun dan menggunakan jejaring untuk praktik politik nepotisme daerah, (2) praktik politik nepotisme daerah yang dilakukan oleh para aktor individual dan kolektiva daerah, dan (3) proses dan bentuk perlawanan warga masyarakat terhadap praktik politik nepotisme daerah.

A. Ringkasan Temuan Substantif

(3)

menjabat, dan selanjutnya aktor individu nepos yang tidak lain adalah isteri walikota yang masih menjabat.

Dalam organisasi spasial popularitas, kontribusi terbesar diberikan oleh aktor individu Joyodroto selaku Sekretaris Kota, yang membawahi sejumlah SKPD, berupa Dinas-dinas daerah, Kantor-kantor Daerah, Badan-badan Daerah, dan lain-lain yang merupakan bagian dari aktor kolektiva perangkat daerah. Hampir semua SKPD berpotensi dimobilisasi oleh aktor individu Joyodroto untuk membantu popularitas isteri walikota yang masih menjabat sebagai aktor nepos. Kontribusi aktor individu Joyodroto sendiri tidak dapat dipisahkan dari hubungan transaksional yang berlangsung antara walikota dan isteri walikota. Ketika konstelasi politik belum banyak berubah, sebenarnya justru Joyodroto ini yang direncanakan akan mendampingi isteri walikota, untuk maju sebagai calon wakil walikota.

Kontribusi terbesar kedua diberikan oleh aktor kolektiva NGOGO, dengan anggota paling dominan TP PKK Kota, Kecamatan, hingga Kelurahan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, organisasi PKK telah dengan efektif bisa digunakan oleh isteri walikota untuk mempopulerkan dirinya, baik melalui berbagai program di seluruh wilayah kota, melalui kerjasama dengan aktor kolektiva perangkat daerah, maupun melalui bantuan dan kontribusi transaksional dengan aktor kolektiva media massa.

(4)

kedudukan ini pula, aktor nepotis dan aktor nepos berhasil merekayasa keputusan semua PAC PDIP untuk menetapkannya sebagai calon tunggal walikota dari DPC PDIP Kota Singapraja. Walaupun akhirnya isteri walikota ini gagal mendapatkan rekomendasi dari DPP PDIP, tidak diragukan lagi bahwa nama isteri walikota ini sudah sangat terkenal di kalangan anggota PDIP Kota Singapraja.

Dalam organsiasi spasial legalitas, kontribusi terbesar diberikan oleh aktor individu Raden Kumara , yang berhasil mempengaruhi aktor individu Wibisono dan aktor kolektiva DPRD Partai Golkar untuk menjadi calon wakil walikota mendampingi aktor individu isteri walikota sebagai calon walikota. Ini merupakan kontribusi terbesar dalam organisasi spasial legalitas karena kursi Partai Golkar di DPRD sebanyak 5 kursi. Kontribusi terbesar kedua, diberikan oleh aktor kolektiva Partai Amanat Nasional (PAN), yang tidak mencalonkan anggota partainya sendiri, tetapi justru memberikan dukungan sepenuhnya kepada isteri walikota sebagai calon walikota. Sementara itu, peran KPU berlangsung sebagaimana mestinya, dengan sedikit kemudahan karena dikabarkan bahwa berkas pendaftaran pasangan calon Wara Srikandi dan Wibisono terkesan dilakukan dalam situasi serba mendesak, berupa tulisan tangan untuk nama calon wakil walikota.

(5)

aktor kolektiva PPP, partai-partai non-parlemen, para loyalis Bagus Permadi dan Wara Srikandi, serta aktor Kresna Mukti dan secara tidak langsung aktor kolektiva Partai Golkar Kabupaten Singapanji.

Memperhatikan jejaring politik nepotisme daerah yang digunakan oleh para aktor, khususnya Bagus Permadi (walikota), Wara Srikandi (isteri walikota), Joyodroto (Sekretaris Kota), Balarama (Bendahara DPD PAN kota), Lesmono (Ketua DPD PAN kota), Raden Kumara (pengusaha berpengaruh), dan Gunawan Wibisono (Ketua DPD Partai Golkar kota), sangat tampak bahwa perilaku politik elit dalam jejaring politik nepotisme daerah ini berciri koersif, hegemonik, konspiratif dan oligarkhis.

(6)

Adanya aliansi temporer untuk maksud terbatas, baik yang dilakukan oleh aktor individu maupun aktor kolektiva, tanpa pernah misalnya meminta pendapat masyarakat atau konstituen partai, menunjukkan ciri lain dari perilaku elit politik daerah, yaitu: konspiratif. Pola perilaku konspiratif ini tidak saja dilakukan oleh aktor nepotis dan nepos, tetapi juga oleh aktor-aktor lain yang di antaranya adalah aktor individu yang menjadi calon wakil walikota dari aktor nepos. Aktor individu calon wakil walikota ini bahkan sama sekali meninggalkan sekelompok besar kolektiva yang telah dengan setia dan sukarela mendukungnya untuk menjadi calon walikota. Tidak ada, misalnya, upaya dari aktor calon wakil walikota untuk meminta persetujuan dulu kepada perwakilan kolektiva pendukungnya mengenai keputusannya untuk berkoalisi dengan aktor nepos. Justru, sebaliknya, aktor calon wakil walikota ini sibuk mencari rekomendasi dan dukungan dari elit politik Pusat dan kemudian elit brokerage, yang akhirnya memasangkannya dengan aktor nepos.

Perilaku politik elit daerah juga bersifat oligarkhis, dalam arti terjadi pemusatan kekuasaan pada sekelompok kecil elit politik atau elit yang berpengaruh di daerah. Lebih lanjut, sifat oligarkhis ini juga mewujud dalam perilaku politik nepotisme, yang bertujuan melestarikan kekuasaan pada sekelompok kecil elit politik, yang dikehendaki oleh aktor nepotis, aktor nepos, dan elit-elit daerah lainnya yang bekepentingan sama, atau bermaksud mengupayakan kepentingan pribadi dan kelompoknya melalui kerjasama dengan aktor nepotis.

(7)

perasaan subjektif berupa tertarikan, percayaan, pedulian, ketak-berdayaan, keterasingan dan sinisme masyarakat terhadap segala sesuatu yang bersifat politik, termasuk para politisi, proses politik, partai politik, dan pranata demokrasi lainnya, termasuk penyelenggara dan pengawas pemilihan kepala daerah.

Tidak bisa disimpulkan secara sederhana bahwa disafeksi politik massa timbul karena perilaku politik elit dalam jejaring nepotisme politik daerah. Namun demikian, berdasarkan prinsip-prinsip penarikan kesimpulan secara induktif, patut diduga bahwa disafeksi politik massa yang dalam penelitian ini tampak bersifat sementara (temporary) disebabkan oleh perilaku politik elit dalam jejaring nepotisme politik daerah.

Sifat temporer dari gejala disafeksi politik massa tersebut dapat diidentifikasi terutama setelah masa jabatan aktor utama politik nepotisme daerah berakhir, sehingga memungkinkan warga masyarakat untuk melakukan perlawanan, tidak hanya bersifat simbolik sebagaimana perlawanan rakyat dalam jejaring politik yang bersifat koersif, hegemonik, konspiratif dan oligarkhis, melainkan perlawanan nyata melalui penolakan untuk memilih siapa pun calon yang dikehendaki oleh aktor utama politik nepotisme daerah. Perlawanan melalui penolakan memberikan suara untuk calon kepala daerah hasil politik nepotisme ini pula yang akan dibahas lebih lanjut dan dikonsepkan sebagai perlawanan elektoral.

(8)

politik daerah dipetakan pada bagian atas jejaring, sedangkan sikap dan perilaku politik massa dipetakan pada bagian bawah jejaring.

Perilaku pejabat politik nepotis dalam kasus penelitian ini juga telah meninggalkan banyak sekali jejaktraumatik khususnya pada kelompok-kelompok kritis sehingga juga mengakibatkan kelumpuhan kontrol publik. Berbagai kekerasan cenderung digunakan sebagai cara untuk menyelesaikan segala bentuk konflik dan persaingan, sehingga berakumulasi dan membentuk sebuah kekuatan yang mencekam bagi kelompok-kelompok kritis. Ketika muncul keengganan dikalangan kelompok kritis untuk mengamati danmengontrol penggunaan kekuasaan,maka tidak lagi ditemukannya kontrol publik yang cukup kuat hinggamampumenghindarkan penyelewengan penggunaan kewenangan publik. Kondisi yang demikian ini berpeluang untuk diwujudkan, terutama ketika Pejabat politik nepotis berkeinginan memperpanjang jangka waktu kekuasaannya melalui praktik politik nepotisme dengan mencalonkan calon pejabat politik nepos sebagai calon walikota.

Ada tiga ranah utama tujuan politik nepotisme dalam Pemilukada, yaitu: (1) untuk meningkatkan popularitas calon kepala daerah nepos, (2) untuk mendapatkan legalitas calon kepala daerah nepos, dan (3) untuk meningkatkan elektabilitas calon kepala daerah nepos .

(9)

susunan kepengurusan partai dengan orang-orang yang sejalan dengan kehendaknya, dan (3) merekayasa rapat-rapat partai hingga secara bulat mendukung calon pejabat politik nepos sebagai calon walikota dari partainya.

Pada eksternal partai, upaya yang dilakukan oleh Pejabat politik nepotis adalah: (1) memanfaatkan NGOGO sebagai sarana peningkatan popularitas calon pejabat politik nepos, (2) mewakilkan perannya dalam berbagai acara seremonial kedinasan kepada calon pejabat politik nepos, (3) menggunakan badan amal sosial sebagai sarana pengikat hubungan dengan pihak-pihak yang dia putuskan mendapatkan bantuan, (4) melakukan mutasi pejabat di instansi-instansi strategis, baik dalam arti yang paling banyak bersentuhan dengan masyarakat maupun yang paling memberikan kontribusi bagi pendanaan kampanye.

(10)

Karena tidak mungkin lagi menggunakan jalur independen, pejabat politik nepotis menegosiasi partai lain agar mencalonkan calon pejabat politik nepos, dan meminta tolong "bandar politik" agar dicarikan pasangan dari partai lain lagi agar memenuhi persyaratan untuk mendaftarkan calon kepala daerah nepos. Akhirnya, nepos yang tidak lain adalah isteri Pejabat politik nepotis bisa mendaftar sebagai calon walikota bersama calon wawali dari partai lain.

Dengan berbagai cara tersebut, memang akhirnya calon kepala daerah nepos mendapatkan legalitas untuk pencalonan dari dua partai yang memiliki jumlah kursi legislatif yang memenuhi syarat pencalonan. Memperhatikan keadaan demikian, calon kepala daerah nepos mengetahui tidak bisa lagi mengandalkan suara dari kader dan simpatisan partai yang telah memecatnya secara penuh, juga tidak bisa mengandalkan suara dari kader partai lain yang mencalonkan secara penuh. Akan halnya pasangan calon pejabat politik nepos, pada gilirannya mendapatkan penolakan justru dari para relawan dan simpatisan yang semula bergabung dalam organisasi relawan yang semula mendukungnya untuk mencalonkan sebagai Walikota, dan bukan Wakil Walikota Singapraja.

(11)

daerah. Semua siasat tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan elektabilitas calon kepala daerah nepos dalam Pemilukada.

Sejumlah siasat memang tidak dapat digolongkan sebagai bentuk praktik politik nepotisme, tetapi tetap saja dapat digolongkan sebagai siasat untuk mensukseskan seorang calon walikota hasil dari praktik politik nepotisme. Karena itu, bila sebuah bisa tindakan dinilai berdasarkan tujuan dan cara, maka meskipun cara yang dilakukan tidak melanggar norma adan etika, apabila dilakukan untuk mencapai tujuan yang melanggar norma dan etika, maka cara tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan etik.

Berbagai praktik politik nepotisme, baik untuk meningkatkan popularitas, mendapatkan legalitas, maupun meningkatkan elektabilitas secara bersama-sama, baik langsung maupun tidak langsung mengakibatkan munculnya: (1) stigmatisasi negatif terhadap para aktor utama politik nepotisme, (2) resistensi simbolik dan keseharian masyarakat terhadap para aktor utama politik nepotisme, (3) transaksionalisasi dukungan dan suara warga terhadap calon hasil nepotisme, dan akhirnya (4) resistensi elektoral dalam bentuk ketidak-sediaan memilih pasangan calon hasil nepotisme.

(12)

transaksionalisasi dukungan menuju resistensi elektoral berlangsung seiring dengan tingkat toleransi masyarakat terhadap praktik politik nepotisme. Semakin praktik politik nepotisme dalam pemilihan kepala daerah tidak dapat ditoleransi masyarakat, maka semakin mungkin perlawanan diberikan dalam bentuk resistensi elektoral.

B. Perumusan Proposisi Substantif

Berdasarkah seluruh temuan penelitian ini, bisa dirumuskan beberapa proposisi empirik sebagai berikut:

Proposisi 1: Perilaku aktor utama dalam jejaring politik nepotisme daerah yang menunjukkan ciri-ciri praktik kekuasaan koersif, hegemonik, konspiratif, dan oligarkhis, mengakibatkan disafeksi politik temporer masyarakat dengan ciri-ciri ketidak-berdayaan, ketidak-tertarikan, ketidak-percayaan, ketidak-pedulian, rasa keterasingan, dan sinisme masyarakat terhadap para aktor politik, partai politik, pranata politik hingga proses politik daerah

Proposisi 2: Praktik politik nepotisme kepala daerah dimaksudkan untuk mencapai tiga ranah tujuan yang bersifat maju bertahap sejalan proses pemilihan kepala daerah, yaitu: (1) untuk meningkatkan popularitas calon kepala daerah nepos, (2) untuk mendapatkan legalitas popularitas calon kepala daerah nepos, dan (3) untuk meningkatkan elektabilitas popularitas calon kepala daerah nepos.

(13)

melancarkan siasat eksternal partai pejabat politik nepotis dan calon kepala daerah nepos.

Proposisi 4: Ranah tujuan praktik politik nepotisme untuk mendapatkan legalitas calon kepala daerah nepos dilakukan dengan melakukan persuasi dan negosiasi keputusan rekomendasi pengurus pusat partai politik dimana kepala daerah selaku nepotis dan calon kepala daerah nepos menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.

Proposisi 5: Bila legalitas calon kepala daerah nepos melalui rekomendasi pengurus pusat partai gagal diperoleh, maka kepala daerah nepotis dan calon kepala daerah nepos mengupayakan dengan menjalin hubungan transaksional dengan beberapa partai tertentu yang akan mencalonkan nepos, dan partai lain yang mengajukan pasangan calon bagi nepos.

Proposisi 6: Ranah tujuan praktik politik nepotisme untuk meningkatkan elektabilitas calon kepala daerah nepos dilakukan oleh para aktor utama, khususnya kepala daerah sebagai nepotis, dengan sejumlah tindakan penyalahgunaan kewenangan terhadap sumberdaya publik dan aneka tindakan koruptif lainnya.

(14)

transaksionalisasi dukungan dan suara oleh warga masyarakat kepada calon kepala daerah nepos, dan akhirnya akhirnya (4) resistensi elektoral dalam bentuk ketidak-sediaan memilih calon kepala daerah nepos dalam pemilihan kepala daerah.

C. Model Teoretik Substantif

Berdasarkan seluruh temuan penelitian dan proposisi yang berhasil dirumuskan, bisa disusun sebuah model teoretik substantif (Periksa Gambar 7.1). Tampak dalam model yang menyerupai sistem sosial, perilaku aktor utama telah membentuk jejaring politik nepotisme daerah, dengan ciri-ciri praktik kekuasaan yang koersif, hegemonik, konspiratif dan oligarkhis, telah mengakibatkan disafeksi politik masyarakat temporer dengan ciri-ciri ketidak-berdayaan, ketidak-tertarikan, ketidak-percayaan, ketidak-pedulian, rasa keterasingan, dan sinisme terhadap para aktor politik, partai politik, pranata politik hingga proses politik daerah.

(15)
(16)

Sebagai tindak penyalah-gunaan kekuasaan legal-formal, praktik politik nepotisme daerah senantiasa bersentuhan dengan kesadaran etika publik masyarakat. Bila praktik politik nepotisme daerah tersebut telah dianggap telah melampaui batas toleransi masyarakat, maka masyarakat politik akan melakukan perlawanan. Sifat dasar perlawanan masyarakat terhadap praktik politik nepotisme bergerak secara bertahap, mulai dari meluasnya pemberian stigma negatif terhadap pejabat politik nepotis, calon pejabat politik nepos, beserta pihak-pihak yang bekerjasama dalam praktik politik nepotisme tersebut.

Bila praktik politik nepotisme tetap berlangsung meskipun telah berkembang stigma negatif pada sebagian masyarakat, maka stigma negatif tersebut semakin meluas dan berkembang dan menjadi wacana sejumlah besar warga masyarakat sehingga menimbulkan semacam perlawanan simbolik di kalangan masyarakat. Ada begitu banyak cara warga masyarakat untuk menunjukkan perlawanan simbolik, yang tentu saja tidak dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Berbagai bentuk sindiran, cemoohan, gunjingan, plesetan, pembangkangan terselubung, dan penundaan pembalasan, bisa digolongkan sebagai senjata kaum lemah (weapons of the weak).

(17)

mendapatkan legalitas, dan meningkatkan elektabilitasnya. Gejala dari merosotnya loyalis sukarela ini adalah dengan semakin menyempitnya atau semakin terreduksinya efek transaksional "penghargaan" yang diberikan oleh pejabat politik nepotis dan calon kepala daerah nepos.

Akibat lebih lanjut dari efek transaksional yang semaki menyempit semakin tampak jelas pada hari pelaksanaan pemungutan suara berupa resistensi elektoral. Ini ditandai dengan, misalnya, tidak berimbangnya antara "biaya politik" yang dikeluarkan oleh pejabat politik nepotis dan neposnya dengan perolehan dalam pemungutan suara. Pada tingkat lebih terramati pada sebuah kelurahan, misalnya, jumlah amplop berisi sejumlah uang untuk membeli suara (vote buying), ternyata berjumlah lebih banyak ketimbang perolehan suaranya. Artinya jelas, bahwa tidak semua warga pemilih yang menerima uang, benar-benar memilih calon kepala daerah nepos.

(18)

D. Model Teoretik Formal

Melalui penghapusan aspek-aspek substantif model teoretik formal dan ekstrapolasi konsep spesifik politik nepotisme dalam pemilihan kepala daerah menjadi konsep lebih umum politik patronase dalam pemilihan kepala daerah, dapat disusun sebuah model teoretik formal tentang praktik politik patronase dan perlawanan masyarakat terhadap praktik politik patronase dalam pemilihan kepala daerah.

Ekstrapolasi yang pada dasarnya juga menunjuk pada peramalan kemungkinan terhadap fenomena praktik politik nepotisme dalam pemilihan kepala daerah, selain berbentuk perluasan konsep spesifik menjadi konsep lebih umum, juga dilakukan dalam bentuk perhitungan terhadap kejadian paling umum yang mungkin terjadi. Dalam penelitian ini, kejadian spesifik yang tidak terlalu umum terjadi adalah pemberhentian secara tidak hormat seorang kepala daerah sebagai nepotis dan isteri kepala daerah sebagai nepos dari kepengurusan dan keanggotaan partai politik terkait. Sebaliknya, kejadian yang paling umum adalah justru baik nepotis maupun nepos justru dipertahankan sebagai pengurus dan anggota partai, sehingga baik nepotis maupun nepos tetap bisa menggunakan mesin partai untuk meningkatkan popularitas, mendapatkan legalitas, dan meningkatkan elektabilitas.

(19)

daerah dihipotesiskan akan berlangsung mengikuti sejumlah proposisi sebagai berikut:

Proposisi 1: Perilaku aktor utama dalam jejaring politik patronase daerah yang menunjukkan ciri-ciri praktik kekuasaan negatif, mempengaruhi afeksi politik masyarakat yang ditandai oleh tingkat keberdayaan, ketertarikan, kepercayaan, kepedulian, kedekatan dan optimisme masyarakat terhadap para aktor politik, partai politik, pranata politik dan proses politik daerah.

Proposisi 2: Praktik politik patronase kepala daerah selaku patron, dimaksudkan untuk mencapai tiga ranah tujuan yang bersifat maju bertahap sejalan proses pemilihan kepala daerah, yaitu: (1) untuk meningkatkan popularitas calon kepala daerah klien, (2) untuk mendapatkan legalitas popularitas calon kepala daerah klien, dan (3) untuk meningkatkan elektabilitas popularitas calon kepala daerah klien.

Proposisi 3: Ranah tujuan praktik politik patronase untuk meningkatkan popularitas calon kepala daerah klien dilakukan dengan: (1) melancarkan siasat internal partai patron dan calon kepala daerah klien, dan (2) melancarkan siasat eksternal partai kepala daerah patron dan calon kepala daerah klien.

(20)

Proposisi 5: Bila legalitas calon kepala daerah klien melalui rekomendasi pengurus pusat partai gagal diperoleh, maka kepala daerah patron dan calon kepala daerah klien mengupayakan dengan menjalin hubungan transaksional dengan beberapa partai yang bersedia mencalonkan klien, dan partai lain yang mengajukan pasangan calon bagi klien.

(21)
(22)

Proposisi 7: Praktik politik patronase daerah untuk mendapatkan popularitas, legalitas, maupun elektabilitas oleh para aktor utama, baik secara langsung maupun tidak langsung, mengakibatkan sejumlah bentuk perlawanan masyarakat yang bergeser menurut tingkat toleransi masyarakat, mulai dari: (1) efek pertama, seperti stigmatisasi negatif terhadap perilaku politik patron dan klien, (2) efek kedua, misalnya seperti bentuk resistensi simbolik dan keseharian masyarakat, (3) efek ketiga seperti transaksionalisasi dukungan dan suara oleh warga masyarakat kepada calon kepala daerah klien, dan akhirnya (4) efek keempat seperti resistensi elektoral dalam bentuk ketidak-sediaan memilih calon kepala daerah klien dalam pemilihan kepala daerah.

(23)

praktik kekuasaan para aktor utama dalam jejaring politik patronase terhadap macam dan ciri-ciri afeksi politik masyarakat, (6) mengidentifikasi berbagai siasat yang dilakukan oleh para aktor utama dalam pemilihan kepala daerah untuk meningkatkan popularitas, mendapatkan legalitas, dan meningkatkan elektabilitas calon kepala daerah sebagai klien dari kepala daerah yang masih menjabat selaku patron, (7) mengungkap derajat toleransi masyarakat terhadap praktik politik patronase yang dilakukan oleh para aktor politik daerah, dan (8) mengidentifikasi berbagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap praktik politik patronase dalam kepala daerah, baik dalam bentuk perlawanan simbolik maupun perlawanan elektoral.

Gambar

Gambar 7.1: Model Teoretik Substantif Jejaring Politik Nepotisme

Referensi

Dokumen terkait

Dengan pendidikan, akses kekuasaan dimulai melalui PNS (pegawai Negeri Sipil), partai politik, dan pemilukada. Pemekaran dalam otonomi daerah dimaknai sebagi diversifikasi sumber

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan strategi public relations politik terhadap bupati dan mengidentifikasi tahap dalam proses pencitraan yang dilakukan oleh tim sukses

Untuk itu penulis mengajukan judul “PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA TASIKMALAYA TAHUN 2017 (Studi di Komisi Pemilihan

Anto Djawamaku; “Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah Politik Lainnya”; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal,

Rauf, Maswadi, 1991, Ciri-ciri Teori Pembangunan Politik: Kasus Partisipasi Politik, dalam. Jurnal Ilmu Politik, PT Gramedia

Pemanfaatan jejaring politik formal, seperti dukungan dari elit partai politik pada kampanye di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 kurang memberikan sumbangan suara

Keluarga tidak hanya dapat menjalankan kekuasaan mereka di luar lembaga pemerintahan, tetapi ternyata juga dapat mengambil alih lembaga-lembaga dan memerangkap

Sebagai gambaran adalah ketika peneliti berusaha mendapatkan informasi dari salah satu anggota tim sukses pasangan calon kepala daerah, subjek penelitian begitu sangat berhati-hati