BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Dan Konsep Terkait 1. Mahasiswa
Pengertian Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30
tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan
tinggi tertentu. Selanjutnya menurut Sarwono (1978), mahasiswa adalah
setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran di
perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18-30 tahun. Mahasiswa
merupakan suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya
karena ikatan dengan perguruan tinggi. Mahasiswa juga merupakan calon
intelektual atau cendekiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat yang
sering kali syarat dengan berbagai predikat.
Mahasiswa merupakan kaum akademisi yang menempati strata
paling tinggi dalam dunia pendidikan di Indonesia bahkan di dunia. Maka,
tidak heran ketika mahasiswa menjadi pioneer pergerakan perubahan di Indonesia. Dalam konteks yang berbeda mahasiswa juga dituntut untuk
menjadi teladan dalam hal apapun di masyarakat, lebih-lebih dalam
pendidikan (Setyaningsih , 2008).
2. Permasalahan Pada Mahasiswa
Terlepas dari peran mahasiswa, mahasiswa juga seorang manusia
biasa yang tidak mungkin terlepas dari permasalahan. Mulai dari masalah
dengan teman sebaya, dan masalah dengan lingkungannya yang lain,
mereka dituntut mampu menyelesaikan masalah tersebut dengan tepat dan
efektif (Setyaningsih, 2008).
Menurut Abu Ahmadi dan Munawar (2005), terutama sejak lahir
sampai masa remaja yang selalu berada di lingkungan keluarga, diasuh
oleh orang tua, dan bergaul dengan anggota keluarga lainnya. Setiap hari
berada di rumah dan hanya beberapa jam saja berada di sekolah atau
tempat lainnya di luar rumah. Karena itu, dapat di pahami cukup besar
pengaruh dan peranan keluarga serta orang tua dalam membentuk atau
menempa pribadi seorang anak.
Pada fase remaja terjadi perubahan pola sosialisasi antara orang tua
dengan remaja, karena di pengaruhi oleh pola pikir pubertas, meningkatnya
pola pikir idealis dan harapan serta terjadi pula perubahan pola pertemanan.
Proses sosialisasi dalam keluarga seringkali mendatangkan masalah
sehingga dapat mendatangkan konflik. Konflik tersebut disebabkan oleh
karena tuntutan yang tinggi pada remaja yaitu belajar untuk mandiri. Di sisi
lain kemandirian kadang di pandang orang tua sebagai tindakan melawan
atau memberontak, sehingga di perlukan kerja sama yang baik antara orang
tua dan remaja Santrock (Siti, 2006).
Stress pada remaja juga disebabkan karena tuntutan dari orang tua dan
masyarakat. Orang tua biasanya menuntut anaknya untuk mempunyai nilai
yang bagus, tanpa melihat kemampuan si anak. Beban berat yang dialami
remaja ini dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti sakit kepala,
Kondisi ekonomi keluarga yang rendah juga menimbulkan masalah bagi
remaja. Usia remaja adalah usia dimana seseorang mempunyai banyak
sekali keinginan, tidak mau kalah dengan teman-temannya. Mereka tidak
mau kelihatan miskin di depan teman-temanya apalagi di depan pacarnya.
Hal ini yang membuat tidak percaya diri, minder dan akhirnya mengalami
stress. Hubungan antar remaja dan teman sebaya adalah hal yang utama
dalam perkembangan remaja, para remaja diharap biasa mandiri, tidak
dihubungkan lagi dengan orang tua. Remaja lebih membutuhkan dukungan
dari teman-temannya dibandingkan dengan orang tua.
Pada 120 remaja highscool di Amerika mengatakan bahwa
perbedaan pendapat dengan orang tua sering terjadi, tuntutan orang tua
dianggap sangat mengganggu, remaja takut tidak bisa memenuhi harapan
orang tua. Sering terjadi ketegangan antara orang tua dan anak,
larangan-larangan dari orang tua sering dilanggar oleh remaja. Remaja menganggap
yang paling mengerti dirinya adalah teman-temannya (Nasution, 2007).
Orang tua mempunyai fungsi dan peran yang amat penting bagi
tahap-tahap perkembangan anak. Orang tua adalah pusat kehidupan rohani
si anak dan sebagai Pembina pribadi yang pertama. Setiap reaksi
emosi/sikap mental, kepribadian dan pemikiran di kemudian hari sangat
dipengaruhi oleh pendidikan yang diperoleh dari orang tuanya. Kerapkali
orang tua kurang memperhatikan hal-hal diatas, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari banyak ditemukan adanya hubungan yang kurang mesra antara
membuat anak sulit untuk berkomunikasi. Kurangnya komunikasi antara
orang tua dan anak menyebabkan anak tidak mempunyai tempat untuk
mengadu dan memberi rasa tenang bila mereka dihadapkan pada suatu
masalah, sehingga anak akan memendam masalah yang dihadapinya dan
hal ini akan menekan jiwa dan perasaan anak, sehingga anak menjadi
tertekan dan bila berlangsung khronis akan menyebabkan anak depresif.
Setiawan (dalam Oktapriadi, 1998).
Menurut Paryati (dalam Dien Anson 2009), Problematika yang
sering di hadapi mahasiswa ketika belajar di perguruan tinggi adalah:
1) Kejenuhan dan Kemalasan
Belajar di perguruan tinggi memakan waktu yang tidak sebentar. Hal
ini sering kali mendatangkan rasa jenuh dan malas belajar. Belum lagi
tuntunan kemandirian yang lain yang akan membawa pengaruh terhadap
kehidupan psikis.
2) Ketidakmampuan mengelola waktu
Waktu tak pernah kembali. itulah falsafah waktu. Efektifitas belajar
di perguruan tinggi sangat bergantung pada bagaimana mahasiswa
mengelola waktu tersebut. Dengan keterbatasan waktu tersebut
mahasiswa dituntut untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
3) Kurang berminat pada mata kuliah atau dosen tertentu.
Kurangnya minat pada matakuliah atau dosen tertentu dapat menjadi
penghambat mahasiswa dalam belajar di perguruan tinggi. Demikian
tersebut usahakan untuk tetap mengikuti perkuliahannya. Karena
mahasiswa tidak mungkin menghindar dari dosen yang bersangkutan.
Hilangkan perasaan tidak suka pada dosen tersebut.
4) Keuangan
Kekurangan dan kelebihan uang akan menjadi problematik selama
belajar di perguruan tinggi. Kekurangan uang akan menghambat
mahasiswa dalam belajar karena tugas-tugas dan masalah yang
berhubungan dengan finansial solusinya kurang dapat diatasi tanpa
keuangan yang cukup. Sebaliknya kelebihan uang pun bisa menjadi
masalah bagi mahasiswa. Mahasiswa yang mempunyai banyak uang
biasanya cenderung menghambur-hamburkan uang untuk keperluan
yang tidak penting (konsumtif). Fasillitas yang tersedia di kota besar
sangat banyak, sehingga akan menjadikanya terlena dan lupa akan
tugasnya sebagai mahasiswa.
5) Lingkungan pergaulan
Keberhasilan belajar di perguruan tinggi juga dipengaruhi oleh
lingkungan pergaulan mahasiswa, jika mahasiswa bergaul pada
lingkungan yang kondusif, tidak akan mengalami hambatan dalam
belajar. Tetapi jika berada dalam pergaulan yang tidak kondusif,
mahasiswa akan mengalami hambatan dalam belajar. Tidak sedikit
mahasiswa yang mengalami drop out karena pengaruh lingkungan
6) Tempat kost
Bagi yang berasal dari daerah lain atau kota lain, tempat kost adalah
tempat yang sangat menentukan. Ditempat kost itulah mahasiswa akan
belajar, istirahat dan bahkan bersosialisasi dengan lingkunganya.
7) Cinta dan pergaulan bebas
Problematik yang paling banyak dialami oleh mahasiswa adalah
masalah cinta. Jatuh cinta, pacaran, patah hati adalah siklus klasik,
yamg hampir semua orang mengalaminya, termasuk mahasiswa. Namun
dalam kenyataanya banyak pula mahasiswa yang mengalami hambatan
belajar di perguruan tinggi hanya karena cinta.
3. Depresi
a. Pengertian
Depresi istilah yang makin akrab, yang barangkali juga makin
sering dijumpai di masyarakat – merupakan gangguan emosional
yang mengganggu produktivitas penderitanya (Tapan, 2007).
Davison, dkk (2006) mengatakan bahwa depresi merupakan kondisi
emosional yang biasanya ditandai dengan kesedihan yang amat
sangat, perasaan tidak berarti dan bersalah, menarik diri dari orang
lain, tidak dapat tidur, kehilangan selera makan, hasrat seksual, dan
minat serta kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan.
Depresi adalah suatu gangguan kedaan tonus perasaan yang
secara umum ditandai oleh rasa kesedihan, apatis, pesimisme, dan
(sadness), murung (blue), dan kesengsaraan. Depresi mayor (major depression) adalah suatu gangguan suasana hati (a mood disorder) dimana individu merasa sangat tidak bahagia, kehilangan semangat
(demoralized), merasa terhina (self-derogatory) dan bosan. Individu dengan depresi mayor tidak merasa sehat, mudah kehilangan stamina,
nafsu makan berkurang, lesu serta kurang gairah (Sadid, 2007).
Depresi adalah kondisi mental yang ditandai oleh hati yang
murung, sedih berkepanjangan, tidak nyaman, merasa bersalah, dan
sering mengeluarkan air mata tanpa sebab yang jelas pula. Hal yang
menambah kesulitan para penderita depresi adalah saat terserang
depresi mereka juga sering mengalami gejala fisik, seperti lelah,
sering sulit tidur, tidak bergairah, malas, dan enggan beraktivitas.
Mereka terdiam, senang menyendiri, dan melamun tidak keruan. Bila
ditanya sedang memikirkan apa, mereka tidak dapat menjelaskan apa
yang dipikirkan, melainkan merasa seolah di hati ada yang
mengganjal tanpa sebab jelas pula (Kompas, 2011).
Menurut American Psychiatric Association, depresi merupakan suatu gangguan mental yang spesifik yang ditandai
dengan adanya perasaan sedih, putus asa, kehilangan semangat,
merasa bersalah, lambat dalam berpikir, menurunnya motivasi untuk
melakukan aktivitas, dan lain-lain (Puji, 2008). Menurut Carella
(2011), mahasiswa yang mengalami depresi biasanya tidak
peristiwa yang menumpuk di mahasiswa, khususnya anak-anak.
Sering kali, perasaan depresi terjadi jika mahasiswa merasa seperti
dia tidak memiliki tempat di mana dia bisa mengungkapkan perasaan
frustrasi atau marah. Diperkirakan bahwa sekitar 1 dari 33 siswa
mungkin mengalami gejala depresi, dan di antara remaja, angka itu
bisa setinggi 1 di setiap 8 siswa. Dan siswa yang mengalami depresi
mungkin memiliki riwayat keluarga depresi.
Gangguan depresif adalah gangguan psikiatri yang
menonjolkan mood sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran
klinis yakni gangguan episode depresif, gangguan distimik, gangguan
depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta bipolar.
Gangguan depresif merupakan gangguan medik serius menyangkut
kerja otak, bukan sekedar perasaan murung atau sedih dalam
beberapa hari. Gangguan ini menetap selama beberapa waktu dan
mengganggu fungsi keseharian seseorang. Gangguan depresif masuk
dalam kategori gangguan mood, merupakan periode terganggunya
aktivitas sehari-hari, yang ditandai dengan suasana perasaan murung
dan gejala lainnya termasuk perubahan pola tidur dan makan,
perubahan berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia (kehilangan
minat apapun), lelah, perasaan putus asa dan tak berdaya serta pikiran
bunuh diri. Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang
panjang (distimia) maka orang tersebut dikesankan sebagai
pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia kehilangan
b. Etiologi
Depresi hampir selalu dipicu oleh sejumlah pengalaman
eksternal yang cocok dengan apa yang ada dalam jiwa, dan menjadi
tidak normal ketika kondisi psikologis individu tak menampik
peristiwa tersebut, baik secara sadar maupun tidak (Maurus, 2009).
Depresi merupakan sekelompok penyakit gangguan alam perasaan
dengan dasar penyebab yang sama. Beberapa faktor yang diduga
berpengaruh terhadap etiologi depresi, khususnya pada anak dan
remaja menurut Stuart dan Sundeen (2006), disebabkan oleh faktor
predisposisi dan faktor presipitasi. Adapun faktor predisposisi yaitu:
1) Teori Genetik
Anak-anak yang memiliki orangtua depresi maka akan
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami depresi pada
usia remaja. Dengan demikian, faktor gentik akan meningkatkan
risiko seseorang untuk mengalami depresi.
Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara
derajat pertama dari penderita gangguan depresi berat
berkemungkinan menderita gangguan daripada sanak saudara
dari derajat kedua. Sedangkan penelitian adopsi menemukan
bahwa anak biologis dari orang tua yang menderita tetap berada
dalam resiko menderita suatu gangguan alam perasaan walaupun
mereka dibesarkan oleh keluarga angkat yang tidak menderita
2) Pengalaman masa anak-anak
Jika seorang anak mengalami perlakuan yang tidak adil
dari orangtuanya, hidup dalam keluarga yang tidak harmonis
maka akan menyebabkan goncangan emosi yang memicu respon
fisiologis dan psikologis yang mengakibatkan depresi.
3) Faktor Kehilangan
Berhubungan dengan faktor perkembangan, misalnya
kehilangan orang tua pada masa anak, perpisahan yang bersifat
traumatis dengan orang yang sangat dicintai. Individu tidak
berdaya mengatasi kehilangan.
4) Faktor Kepribadian
Teori kepribadian mengemukakan bahwa tipe
kepribadian tertentu menyebabkan seseorang mengalami depresi
atau mania.
5) Faktor Kognitif
Teori-teori kognitif mementigkan pikiran-pikiran sadar
remaja. Dua teori kognitif yang penting adalah teori
perkembangan kognitif dari Piaget dan teori pemrosesan
informasi. Psikolog Swiss tekenal, Jean Piaget (1896-1980),
menekankan bahwa remaja secara aktif mengkonstruksikan
dunia kognitif mereka sendiri; informasi tidak hanya dicurahkan
ke dalam pikiran mereka dari lingkungan. Piaget menekankan
gagasan-gagasan baru, karena tambahan informasi akan
mengembangkan pemahaman.
Sedangkan faktor presipitasi yang dapat menyebabkan depresi
meliputi faktor biologis, psikologis, dan sosial budaya :
1) Biologis
Faktor biologis meliputi perubahan fisiologis yang
disebabkan oleh obat-obatan atau berbagai penyakit. Pendekatan
biologis menemukan bahwa faktor genetis, sistem endokrin, dan
neurotransmiter berperan dalam kemunculan depresi.
Kemunculan depresi dalam prespektif biologi dapat dipahami
bahwa kehidupan yang penuh stres mengaktifkan hormon stres,
berefek luas pada sistem neurotransmitter khususnya serotonin, norepinephrine, dan circadian rhythms function (CRF). Pengaktifan hormon stres dalam jangka waktu lama akan
mempengaruhi gen, menghasilkan perubahan jangka panjang
pada struktur dan kimia di otak (Durand & Barlow, 2003).
Pendapat lain menyatakan bahwa depresi yang terjadi erat
hubungannya dengan perubahan keseimbangan
adrenergik-asetilkolin yang ditandai dengan meningkatnya kolinergik,
sementara dopamin secara fungsional menurun.
2) Psikologis
Sampai saat ini tak ada sifat atau kepribadian tunggal yang
secara unik mempredisposisikan seseorang kepada depresi.
keadaan tertentu. Tetapi tipe kepribadian dependen-oral,
obsesif-kompulsif, histerikal, mungkin berada dalam resiko yang lebih
besar untuk mengalami depresi daripada tipe kepribadian
antisosial, paranoid, dan lainnya dengan menggunakan proyeksi
dan mekanisme pertahanan mengeksternalisasikan yang lainnya.
Tidak ada bukti hubungan gangguan kepribadian tertentu dengan
gangguan bipoler I pada kemudian hari. Tetapi gangguan distimik
dan gangguan siklotimikberhubungan dengan perkembangan
gangguan bipoler I di kemudian harinya.
Faktor psikologis meliputi kehilangan kasih sayang,
termasuk kehilangan cinta seseorang dan kehilangan harga diri.
Salah satu pendekatan faktor psikologis adalah pendekatan
psikodinamika. Pendekatan ini menekankan penyebab depresi
sebagai rasa kehilangan dari suatu objek atau status. Proses
hubungan antara orangtua dan anaknya merupakan sumber
kehilangan, seperti :
a). Perpisahan yang terjadi secara beruntun, missal dengan
pengasuh, nenek, teman-teman dekat disamping orang tua dan
saudara kandung.
b). Kehilangan tiba-tiba, missal kematian orang dekat, dan
dicintai seperti ayah, ibu, dan saudara kandung.
c). Penolakan, missal pada anak yang lahir di luar perkawinan,
kegagalan kontrasepsi, jenis kelamin anak yang tidak sesuai
d). Berkurangnya perhatian lingkungan, misalnya karena
kelahiran adik atau datangnya orang baru.
e). Depresi pada orang tua.
Menurut Stuart (2006) menyebutkan bahwa gejala-gejala
depresi dapat dilihat dari segi psikis adalah :
a). Kehilangan rasa percaya diri. Orang yang mengalami depresi
cenderung memandang segala sesuatu dari sisi negatif,
termasuk menilai diri sendiri.
b). Sensitif. Orang yang mengalami depresi senang sekali
mengaitkan segala sesuatu dengan dirinya. Perasaannya
sensitif sekali, sehingga sering peristiwa yang netral jadi
dipandang dari sudut pandang yang berbeda oleh mereka,
bahkan disalah artikan. Akibatnya mereka mudah tersinggung,
mudah marah, perasa, curiga akan maksud orang lain, mudah
sedih, murung dan suka menyendiri.
c). Merasa diri tidak berguna. Perasaan tidak berguna ini muncul
karena mereka merasa menjadi orang yang gagal terutama di
bidang atau lingkungan yang seharusnya mereka sukai.
d). Perasaan bersalah. Perasaan bersalah terkadang timbul dalam
pemikiran orang yang mengalami depresi. Mereka
memandang suatu kejadian yang menimpa dirinya sebagai
suatu hukuman atau akibat dari kegagalan mereka
e). Perasaan terbebani. Banyak orang yang menyalahkan orang
lain atas kesusahan yang dialaminya. Mereka merasa tebeban
berat karena merasa terlalu dibebani tanggung jawab yang
berat
3) Sosial Budaya
Depresi yang berawal adalah masalah diri sendiri pada
akhirnya mempengaruhi lingkungan dan pekerjaan (atau aktivitas
rutin lainnya). Lingkungan tentu akan bereaksi terhadap perilaku
orang yang depresi tersebut yang pada umumnya negatif (mudah
marah, tersinggung, menyendiri, sensitif, mudah letih, mudah
sakit). Problem sosial yang terjadi biasanya berkisar pada masalah
interaksi dengan rekan kerja, atasan atau bawahan. Masalah ini
tidak hanya berbentuk konflik, namun masalah lainnya juga
seperti perasaan minder, malu, cemas jika berada di antara
kelompok dan merasa tidak nyaman untuk berkomunikasi secara
normal. Mereka merasa tidak mampu untuk bersikap terbuka dan
secara aktif menjalin hubungan dengan lingkungan sekalipun ada
kesempatan.
Faktor sosial budaya meliputi kehilangan peran, perceraian,
dan kehilangan pekerjaan. Memahami depresi yang terjadi pada
remaja memerlukan informasi mengenai pengalamannya pada
masa remaja dan anak-anak. Ikatan antara ibu dan anak yang tidak
pengasuhan anak, atau kehilangan salah satu orangtua pada masa
anak-anak akan menciptakan set kognitif yang negatif. Skema
kognitif yang negatif tersebut akan dibawa terus hingga
mempengaruhi pengalamannya pada masa kehidupan selanjutnya.
Pengalaman-pengalaman baru remaja putri yang berkaitan dengan
kehilangan akan memicu munculnya depresi. Hubungan dengan
keluarga atau teman sebaya berpengaruh pada munculnya depresi
pada remaja. Orang tua yang mengalami depresi atau orang yang
tidak hadir secara emosional, terlibat dalam konflik perkawinan,
dan memiliki masalah ekonomi memunculkan depresi pada anak
remaja mereka. Ketidakadaan hubungan yang dekat dengan
sahabat, sedikitnya teman, dan penolakan dari teman sebaya dapat
meningkatkan munculnya depresi pada remaja (Santrock, 2003).
Berdasarkan penelitian Widosari (2010), depresi dapat
membaik jika klinisi mengisi pada pasien yang terkena depresi
suatu rasa pengendalian dan penguasaan lingkungan.
Faktor lainnya yang menyebabkan depresi menurut Santrock
(2003) adalah:
1) Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan seperti kehilangan sesuatu, stress, mungkin
bisa jadi variabel penyebab yang terpenting. Karena depresi dapat
timbul pada keluarga, anak-anak yang depresi lebih sering
(lebih sering pada ibu). Interaksi ibu-ibu yang depresi pada
anak-anaknya bisa berakibat negatif. Pengalaman awal (hilangnya
kasih sayang orang tua atau ketidakmampuan mendapatkan
kepuasan melalui hasil keringat sendiri) mungkin juga
menjadikan seseorang rentan terhadap depresi dikemudian hari.
Dilaporkan bahwa orang tua dengan gangguan afektif
cenderung akan selalu menganiaya atau menelantarkan anaknya
dan tidak mengetahui bahwa anaknya menderita depresi sehingga
tidak berusaha untuk mengobatinya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa status perkawinan orang tua, jumlah sanak
saudara, status sosial keluarga, perpisahan orang tua, perceraian,
fungsi perkawinan, atau struktur keluarga banyak berperan dalam
terjadinya gangguan depresi pada anak. Ibu yang menderita
depresi lebih besar pengaruhnya terhadap kemungkinan gangguan
psikopatologi anak dibandingkan ayah yang mengalami depresi.
Ada hubungan yang siginifikan antara riwayat penganiayaan fisik
atau seksual dengan depresi, tetapi mekanismenya belum
diketahui secara pasti.
Depresi juga bisa muncul karena salah asuh di rumah. Anak
yang mendapat perlakukan tidak mengenakan dari orangtua
cendrung mudah marah dan tidak puas. Tapi anak tidak tahu cara
pelampiasannya sehingga mereka melampiaskan ke dirinya
Contoh perlakuan orang tua yang tidak mengenakan adalah
terlalu menuntut, selalu menyalahkan, tidak menghargai, atau
sering berkata/berlaku kasar. Jika perlakuan seperti ini terus
menerus diterima anak sementara lingkungan sosial maupun
sekolah juga menyudutkannya maka anak bisa mengalami
depresi.
Di sekolah maupun lingkungan pergaulan lainnya anak-anak
juga bisa mengalami berbagai kekecewaan misalnya anak sebaya
umumnya sudah bisa melakukan sesuatu. Kalau ternyata anak
tidak bisa, maka ia akan diejek oleh teman-temannya. Hal ini
akan membuat dia kesal dengan dirinya sendiri. Dia akan
bertanya-tanya kenapa dia bisa melakukan seperti yang orang lain
lakukan. Akibatnya si anak menjadi tidak percaya diri dan
akhirnya depresi.
Penelitian pada mahasiswa fakultas kedokteran telah
melaporkan hubungan frustrasi mahasiswa dengan kurangnya
dukungan sosial sekolah mereka dan jumlah waktu untuk istirahat
dan relaksasi tidak memadai.(Morrison, 2001., Aktekin, 2001.,
Ball, 2002., dan Stewart 1999). Tanggung jawab dan masalah
keuangan juga ditemukan sebagaisumber stres yang signifikan
untuk mahasiswa kedokteran. (Morrison, 2001). Stewart(1999)
mengemukakan bahwa hilangnya kesempatan untuk bersosialisasi
lebih tinggi,prestasi akademik yang kurang baik dan
menunjukkan gejala depresi yang lebihbanyak pada mahasiswa
kedokteran di tahun terakhir kuliah.
2) Penelitian kembar
Penelitian terhadap anak kembar menunjukkan bahwa angka
kesesuaian untuk gangguan bipolar pada anak kembar
monozigotik 33-90 persen; untuk gangguan depresi berat angka
kesesuaiannya 50 persen. Sebaliknya, angka kesesuaian pada
kembar dizigotik adalah kira-kira 5-25 persen untuk gangguan
bipoler I dan 10-25 persen untuk gangguan depresi berat
(Widosari, 2010).
c. Gejala
Gejala psikologis yang menyertai depresi klinis sangat luas. Hal
ini dipengaruhi suasana hati, perilaku, serta pola pikir. Namun,
banyak yang tidak menyadari bahwa depresi dapat menimbulkan
gejala fisik seperti rasa sakit dan nyeri yang tidak jelas penyebanya.
Gejala depresi tersebut adalah:
1) Dipenuhi oleh pikiran negative
2) Merasa memiliki masa depan suram
3) Merasa tidak tenang dan mudah tersinggung
4) Cepat merasa lelah, tidur tidak tenang
5) Pola makan tidak normal yang mengarah bertambah atau
6) Menjadi sangat perasa dan sering menangis
7) Sulit berkonsentrasi, mengambil keputusan, dan mengingat
sesuatu
8) Motivasi yang rendah, kehilangan minat melakukan hal yang
biasanya di sukai
9) Rasa bersalah dan tidak berharga
10)Gelisah (gejala jiwa dan fisik sebagai antisipasi terhadap bahaya
nyata atau hanya dalam bayangan)
11)Merasa tidak mampu atau tidak berdaya
12)Merasa suasana hati tidak akan pulih kembali
13)Rasa sakit dan nyeri fisik tanpa penyebab yang jelas rasa ingin
mencelakakan diri sendiri, rasa ingin atau berusaha bunuh diri
(Spencer dan Allan Young, 2010).
d. Instrumen Pengukuran Tingkat Depresi
Dalam mengukur tingkat depresi menggunakan Instrumen Beck Depresi Inventory (BDI) yang dirancang oleh Beck (1996), merupakan skala pengukuran tingkat depresi yang dapat digunakan
sebagai instrument penyaringan di komunitas dan klinik. Instrumen
ini terdiri dari 21 item gejala depresi, 15 diantaranya menggambarkan
emosi, perubahan sikap, 6 gejala somatik. Setiap gejala diranking
dalam skala intensitas 4 poin dan nilainya ditambahkan untuk
memberi total nilai dari 0-63, nilai yang lebih tinggi mewakili tingkat
pesimisme, perasaan gagal, perasaan tidak puas, perasaan bersalah
atau berdosa, perasaan dihukum, rasa benci pada diri sendiri, mudah
tersinggung, menarik diri dari lingkungan social, tidak mampu
mengambil keputusan, penyimpangan citra tubuh, kelambanan dalam
bekerja, menangis, gangguan tidur, kelelahan, hilangnya nafsu
makan, penurunan berat badan, kecemasan fisik dan penurunan
libido.
Klasifikasi nilainya menurut beck, et.al (1996) adalah sebagai
berikut:
a. Nilai 0-13 menunjukkan tidak ada gejala depresi.
b. Nilai 14-19 menunjukkan adanya depresi ringan.
c. Nilai 20-28 menunjukkan adanya depresi sedang.
d. Nilai 29-63 menunjukkan adanya depresi berat.
Dalam penelitian ini tingkat depresi dikelompokkan menjadi 2
yaitu nilai 0-13 menunjukkan tidak depresi dan 14-63 menunjukkan
B.Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori
Sumber : From Roy, C.,dan Andrew, H. A. 1991. The Roy Adaptation Model .
Faktor-faktor penyebab depresi :
1.Genetik 2.Biokimia 3.Lingkungan 4.Biologis 5.Psikologis 6.Sosial budaya
Gejala-gejala depresi :
a. Dipenuhi oleh pikiran negative b. Merasa memiliki masa depan suram c. Merasa tidak tenang dan mudah tersinggung d. Cepat merasa lelah, tidur tidak tenang
e. Pola makan tidak normal yang mengarah bertambah atau berkurangnya berat badan
f. Menjadi sangat perasa dan sering menangis
g. Sulit berkonsentrasi, mengambil keputusan, dan mengingat sesuatu
h. Motivasi yang rendah, kehilangan minat melakukan hal yang biasanya di sukai i. Rasa bersalah dan tidak berharga
j. Gelisah (gejala jiwa dan fisik sebagai antisipasi terhadap bahaya nyata atau hanya dalam bayangan)
k. Merasa tidak mampu atau tidak berdaya l. Merasa suasana hati tidak akan pulih kembali
m.Rasa sakit dan nyeri fisik tanpa penyebab yang jelas rasa ingin mencelakakan diri sendiri, rasa ingin atau berusaha bunuh diri
Mahasiswa
C.Kerangka Konsep
Variabel independent Variable dependent
Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian
D.Hipotesis
H1 : Ada pengaruh faktor lingkungan terhadap tingkat depresi pada
mahasiswa semester VI di Fakultas Ilmu Kesehatan Program Studi
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
H2 : Ada pengaruh faktor psikologi terhadap tingkat depresi pada mahasiswa
semester VI di Fakultas Ilmu Kesehatan Program Studi Keperawatan
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
H3 : Ada pengaruh faktor sosial budaya terhadap tingkat depresi pada
mahasiswa semester VI di Fakultas Ilmu Kesehatan Program Studi
Keperawatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Depresi pada mahasiswa semester VI:
a. Depresi
b. Tidak depresi
Faktor Penyebab Depresi: