• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Pengertian

Jasa

Menurut (Rangkuti, 2002) jasa merupakan pemberian suatu kinerja atau tindakan tak kasat mata dari satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, di mana interaksi antara pemberi jasa dan penerima jasa mempengaruhi hasil jasa tersebut.

Menurut (Tjiptono, 2004) jasa merupakan aktivitas, manfaat, atau kepuasan yang ditawarkan untuk dijual.

Menurut Kotler yang dikutip (Tjiptono, 2004) jasa adalah tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Produksi jasa bisa berhubungan dengan produk fisik maupun tidak.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jasa merupakan suatu aktivitas yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya bersifat intangible atau tidak berwujud

(2)

2.1.1. Karakteristik jasa

Ada empat karakteristik pokok pada jasa yang membedakannya dengan barang.

Keempat karakteristik tersebut meliputi: 1.Intangibility ( tidak berwujud)

Jasa bersifat intangibility artinya tidak dapat dilihat, dirasa, diraba, dicium atau didengar sebelum dibeli.

2. Inseparability (tidak dapat dipisahkan)

Barang biasanya diproduksi, kemudian dijual, lalu dikonsumsi. Sedangkan jasa biasanya dijual terlebih dahulu, baru kemudian diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan. Keduanya mempengaruhi hasil dari jasa tersebut.

3. Variability (bervariasi)

Jasa bersifat sangat variabel karena merupakan non standardized output artinya banyak variasi bentuk, kualitas dan jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan dimana jasa tersebut dihasilkan.

4. Perishability (tidak tahan lama)

Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Dengan demikian bila suatu jasa tidak dipergunakan, maka jasa tersebut akan berlalu begitu saja.

(3)

Menurut (Kotler dan Armstrong, 2003), perusahaan harus

mempertimbangkan empat karakteristik jasa tertentu ketika merancang program pemasaran seperti terlihat di Gambar 2.1:

1. Ketidakberwujudan jasa

Jasa tidak bisa dilihat, dicicipi, dirasakan, didengar atau dibaui sebelum

dibeli. Untuk mengurangi ketidakpastian, pembeli mencari “tanda” dari kualitas jasa pelayanan. Mereka mengambil kesimpulan mengenai kualitas dari tempat, orang, harga, peralatan, dan konsumsi yang dapat mereka lihat. Oleh karena itu, tugas penyedia jasa adalah membuat jasa dapat berwujud dalam satu atau beberapa cara.

2. Ketidakterpisahan jasa

Jasa tidak dapat dipisahkan dari penyedianya, baik penyedianya adalah manusia maupun mesin. Jika pegawai memberikan jasa maka pegawai

tersebut merupakan bagian dari jasa. Karena konsumen juga hadir pada saat jasa diproduksi, maka interaksi antara penyedia dan konsumennya merupakan fitur yang paling khusus dalam pemasaran jasa. Baik penyedia maupun pelanggannya mempengaruhi jasa yang dihasilkan

3. Keberubah-ubahan jasa

Berarti bahwa kualitas jasa tergantung pada siapa yang memberikan demikian pula kapan, dimana, dan bagaimana jasa itu diberikan.

(4)

4. Ketidaktahanlamaan Jasa

Jasa tidak dapat disimpan untuk dijual atau digunakan pada waktu yang akan datang.

Gambar 2.1.Empat Karakteristik jasa

2.1.2.

Aspek Sukses Industri Jasa

Sukses suatu industri jasa tergantung pada sejauh mana perusahaan mampu mengelola ketiga aspek berikut

1. Janji perusahaan mengenai jasa yang akan disampaikan kepada pelanggan.

2. Kemampuan perusahaan untuk membuat karyawan mampu memenuhi janji tersebut.

3. Kemampuan karyawan untuk menyampaikan janji tersebut kepada pelanggan.

(5)

Model kesatuan dari ketiga aspek tersebut dikenal sebagai segitiga jasa, dimana sisi segitiga mewakili setiap aspek. Kegagalan di satu sisi menyebabkan segitiga roboh. Artinya, industri jasa tersebut gagal. Dengan demikian, pembahasan industri jasa harus meliputi perusahaan, karyawan serta pelanggan (Gambar 2.2):

Diagram segitiga Pemasaran Jasa

Gambar 2.2. Diagram segitiga pemasaran jasa Pelanggan

External Marketing Menetapkan janji mengenai produk/ produk/ jasa yang disampaikan

INTERAKTIVE MARKETING menetapkan janji mengenai menyampaikan produk/jasa produk/jasa yang akan sesuai dengan yang telah

disampaikan dijanjikan

INTERNAL MARKETING Membuat agar produk/jasa yang Disampaikan sesuai dengan Yang dijanjikan

Manajemen Karyawan

(6)

Keterangan : PERUSAHAAN

Status : Fasilitator terhadap karyawan agar mampu melayani pelanggan. Peran :

1) Sebagai penyelidik keinginan pelanggan

2) Sebagai pembuat spesifikasi jasa yang akan disampaikan

3) Sebagai pemberdaya karyawan agar mampu menyampaikan jasa kepada pelanggan sesuai dengan spesifikasi yang telah ditetapkan.

KARYAWAN

Status : Penyampai jasa Peran :

1) Sebagai jasa itu sendiri ( contoh : guru, pengacara, dokter ) 2) Sebagai personafikasi atau gambaran dari perusahaan 3) Sebagai pemasar jasa secara tidak langsung

PELANGGAN

Status : Penerima jasa

(7)

2.1.3. Dimensi Kualitas Jasa

Menurut (Parasuraman, Berry dan Zeithaml, 1990) menerangkan lima konsep ServQual yaitu:

1. Tangible (Bukti fisik)

Karena suatu service tidak dapat dilihat, tidak bisa dicium, dan tidak bisa diraba, maka aspek tangible menjadi sangat penting sebagai ukuran pelayanan. Pelanggan akan memakai indra penglihatan untuk menilai suatu kualitas pelayanan. Tangible yang baik akan mempengaruhi persepsi pelanggan. Pada saat yang bersamaan aspek tangible ini juga merupakan salah satu sumber yang mempengaruhi harapan pelanggan. Karena tangible yang baik, maka harapan responden menjadi lebih tinggi. Meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan saran komunikasi.

2. Reliability (Keandalan)

Reliability yaitu dimensi yang mengukur kehandalan dari sisi perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggannya.

Ada dua aspek dari dimensi ini, yaitu:

1) Kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan.

2) Seberapa jauh suatu perusahaan mampu memberikan pelayanan yang akurat atau tidak ada error.

(8)

3. Responsiveness (Ketanggapan)

Responsiveness adalah dimensi kualitas pelayanan yang paling dinamis. Harapan pelanggan terhadap kecepatan pelayanan hampir dapat dipastikan akan berubah dengan kecenderungan naik dari waktu ke waktu. Pelayanan yang responsif atau yang tanggap, juga sangat dipengaruhi oleh sikap front-line staff. Salah satunya adalah kesigapan dan ketulusan dalam menjawab pertanyaan atau permintaan pelanggan.

4. Assurance (Jaminan)

Yaitu dimensi kualitas yang berhubungan dengan kemampuan perusahaan dan perilaku front-line staff dalam menanamkan rasa percaya dan keyakinan kepada para pelanggannya. Ada empat aspek dari dimensi ini yaitu keramahan, kompetensi, kredibilitas, dan keamanan.

5. Emphaty

Dimensi empati adalah dimensi yang memberikan peluang besar untuk memberikan pelayanan yang bersifat ”surprise” sesuatu yang tidak diharapkan pelanggan, ternyata diberikan oleh penyedia jasa. Meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan para pelanggan.

(9)

2.2. Kepuasan Pelanggan

Menurut Kotler yang dikutip (Rangkuti, 2002). Kepuasan pelanggan adalah: ”...a person’s feeling of pleasure or disappointment resulting from comparing a product’s received performance (or outcome) in relations to the person’s expectation”--- perasaan senang atau kecewa seseorang sebagai hasil dari perbandingan antara prestasi atau produk yang dirasakan dan diharapkannya

Menurut (Irawan, 2003). Kepuasan adalah persepsi terhadap produk atau jasa yang telah memenuhi harapannya. Karena itu pelanggan tidak akan puas, apabila pelanggan mempunyai persepsi bahwa harapannya belum terpenuhi. Pelanggan akan merasa puas jika persepsinya sama atau lebih dari yang diharapkan.

Menurut (Kotler dan Armstrong, 2003). kepuasan pelanggan adalah tingkatan dimana anggapan kinerja (perceived performance) produk akan sesuai dengan harapan seorang pembeli. Bila kinerja produk jauh lebih rendah dibandingkan harapan pelanggan, pembelinya tidak puas. Bila kinerja sesuai dengan harapan atau melebihi harapan, pembelinya merasa puas atau merasa amat gembira.

Menurut (Ratih, 2005), pelanggan adalah pihak yang memaksimalkan nilai, mereka yang membentuk harapan akan nilai dan bertindak berdasarkan itu

(10)

Menurut (Tse dan Wilton, 1998 yang dikutip (Tjiptono, 2004,) kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian atau diskonfirmasi yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya.

Pada dasarnya pengertian kepuasan pelanggan mencakup perbedaan antara tingkat kepentingan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. (Engel 1990) dan (Pawitra, 1993) mengatakan bahwa pengertian tersebut dapat diterapkan dalam penilaian kepuasan terhadap satu perusahaan tertentu karena keduanya berkaitan dengan konsep kepuasan pelanggan, sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 2.3 :

Sumber : Rangkuti,2002,p.24

(11)

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan pelanggan didasarkan pada kinerja dan harapan yang dirasakan pelanggan

2.2.1.

Karakteristik Kepuasan pelanggan

Kunci bagi retensi pelanggan adalah kepuasan pelanggan. Pelanggan yang sangat puas : Menurut (Kotler, 2004).

1) Tetap setia lebih lama

2) Membeli lebih banyak ketika perusahaan memperkenalkan produk baru dan memperbaharui produk-produk yang ada.

3) Membicarakan hal-hal yang baik tentang perusahaan dan produkproduknya.

4) Memberi perhatian yang lebih sedikit kepada merek-merek dan iklaniklan pesaing serta kurang peka terhadap harga.

5) Menawarkan gagasan jasa atau produk kepada perusahaan.

6) Biaya untuk pelayanannya lebih kecil dibandingkan biaya pelayanan pelanggan baru karena transaksi yang sudah rutin.

(12)

2.2.2 Faktor - Faktor Pendorong Kepuasan Pelanggan

Menurut (Handi, 2004), faktor-faktor kepuasan

pelanggan terdiri dari lima driver utama yaitu: 1. Kualitas produk

Pelanggan merasa puas kalau setelah membeli dan menggunakan produk tersebut ternyata kualitas produknya baik.

2. Harga

Untuk pelanggan yang sensitif, biasanya harga murah adalah sumber kepuasan yang penting karena mereka mendapatkan value for money yang tinggi. Komponen harga ini relatif tidak penting bagi mereka yang tidak sensitif terhadap harga. Untuk industri ritel komponen harga ini sungguh penting dan kontribusinya terhadap kepuasan relatif besar.

Kualitas produk dan harga sering kali tidak mampu menciptakan keunggulan bersaing dalam kepuasan pelanggan. Kedua aspek ini mudah ditiru. Dengan teknologi yang hampir standar, setiap perusahaan biasanya mempunyai kemampuan untuk kualitas produk yang hampir sama dengan pesaing. Oleh karena itu banyak perusahaan yang lebih mengandalkan driver ketiga, yaitu service quality.

3. Service quality (kualitas pelayanan)

(13)

manusia. Sama dengan kualitas produk maka kualitas pelayanan juga merupakan driver yang memiliki banyak dimensi. Salah satu konsep service quality yang popular adalah ServQual.

4. Emotional factor ( faktor emosi)

Untuk beberapa produk yang berhubungan dengan gaya hidup driver kepuasan pelanggan yang keempat relatif penting. Kepuasan pelanggan dapat timbul seperti saat mengendarai mobil yang memiliki brand image yang baik. Karena emotional value yang diberikan oleh brand produk tersebut. Rasa bangga, rasa percaya diri, simbol sukses, bagian dari kelompok orang yang penting dan sebagainya adalah contoh emotional value yang mendasari kepuasan pelanggan.

5. Kemudahan

Driver kelima adalah berhubungan dengan biaya dan kemudahan untuk mendapat produk atau jasa tersebut. Pelanggan akan semakin puas apabila relative mudah, nyaman dan efisien dalam mendapatkan produk atau pelayanan.

2.2.3. Metode Pengukuran Kepuasan Pelanggan

Ada beberapa metode yang dapat dipergunakan setiap perusahaan Untuk mengukur dan memantau kepuasan pelanggannya (juga pelanggan perusahaan pesaing). Menurut (Kotler yang dikutip Tjiptono, 2004)

mengemukakan metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu: 1. Sistem keluhan dan saran

(14)

Setiap perusahaan yang berorientasi pada pelanggan (customer oriented) perlu memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pelanggannya untuk menyampaikan saran, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang bisa digunakan meliputi kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis (yang mudah jangkauan atau sering dilewati pelanggan), menyediakan kartu komentar (yang bisa diisi langsung ataupun yang bisa dikirimkan via pos kepada perusahaan), meyediakan saluran telepon khusus. Informasi yang diperoleh dengan metode ini dapat memberikan ide-ide baru masukan yang berharga kepada perusahaan, sehingga memungkinkan untuk respon secara cepat dan tanggap terhadap setiap masalah yang timbul. Meskipun demikian metode ini cenderung bersifat pasif, maka sulit mendapatkan gambaran lengkap mengenai kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan.

2. Survey kepuasan pelanggan

Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan sekaligus juga memberikan tanda (signal) positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap para pelanggannya.

Pengukuran metode kepuasan pelanggan pada metode ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:

a. Directly reported satisfaction

Pengukuran dilakukan secara langsung melalui pertanyaan. b. Derived satisfaction

Pertanyaan yang diajukan menyangkut dua hal utama yakni pesannya harapan pelanggan terhadap atribut tertentu dan besarnya kinerja yang mereka rasakan.

(15)

c. Problem analysis

Pelanggan yang dijadikan responden diminta untuk mengungkapkan dua hal pokok. Pertama, masalah-masalah yang mereka hadapi berkaitan dengan penawaran dari perusahaan. Kedua, saran-saran untuk melakukan perbaikan. d. Importance-performance analysis

Dalam teknik ini, responden diminta untuk merangking berbagai elemen (atribut) dari penawaran berdasarkan derajat pentingnya setiap elemen tersebut. Selain itu responden juga diminta merangking seberapa baik kinerja perusahaan dalam masing-masing elemen atau atribut tersebut.

3. Ghost shopping

Metode ini dilaksanakan dengan cara mempekerjakan beberapa orang (ghost

shooper) untuk berperan atau bersikap sebagai pembeli potensial produk perusahaan atau produk pesaing. Lalu ghost shooper tersebut menyampaikan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan produk perusahaan dan

pesaing berdasarkan pengalaman mereka dalam pembelian produk-produk tersebut. Selain itu para ghost shooper juga dapat mengamati atau menilai cara perusahaan dan pesaingnya menjawab pertanyaan pelanggan dan menangani setiap keluhan.

4. Lost Customer Analysis

Metode ini sedikit unik. Perusahaan berusahan untuk menghubungi para pelanggannya yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok

(16)

yang diharapkan akan diperolehnya informasi penyebab hal tersebut. Informasi ini sangat bermanfaat bagi perusahaan untuk mengambil kebijakan selanjutnya dalam rangka meningkatkan kepuasan dan loyalitas pelanggan.

Menurut (Rangkuti, 2002), pengukuran kepuasan pelanggan dilakukan dengan cara berikut:

1. Pengukuran dapat dilakukan secara langsung melalui pertanyaan kepada Pelanggan dengan ungkapan sangat tidak puas, kurang puas, cukup puas, puas dan dangat puas.

2. Responden diberi pertanyaan mengenai seberapa besar mereka mengharapkan suatu atribut tertentudan seberapa besar yang mereka rasakan. 3. Responden diminta menuliskan masalah-masalah yang akan mereka hadapi yang berkaitan dengan penawaran dari perusahaan dan diminta untuk menuliskan perbaikan-perbaikan yang mereka sarankan.

4. Responden diminta merangking elemen atau atribut penawaran berdasarkan derajat kepentingan setiap elemen dan seberapa baik kinerja perusahaan pada masing-masing elemen.

Menurut (Kotler, 2004) ada beberapa perangkat untuk melacak dan mengukur kepuasan pelanggan:

1. Sistem keluhan dan saran

Yaitu dengan cara mempermudah pelanggannya untuk memberikan saran dan keluhan .

2. Survei kepuasan pelanggan

(17)

berkala, seperti mengirimkan daftar pertanyaan atau menelepon pelanggan terakhir mereka sebagai sampel acak.

3. Belanja siluman

Perusahaan-perusahaan dapat membayar orang-orang untuk bertindak sebagai pembeli potensial guna melaporkan hasil temuan mereka tentang kekuatan dan kelamahan yang mereka alami ketika membeli produk perusahaan dan produk pesaing.

4. Analisis pelanggan yang hilang

Perusahaan-perusahaan harus menghubungi para pelanggan yang berhenti membeli atau berganti pemasok untuk mempelajari sebabnya.

2.2.4. Harapan dan Kepuasan pelanggan

Harapan pelanggan dibentuk dan didasarkan leh beberapa faktor, di antaranya pengalaman berbelanja di masa lampau, opini teman dan kerabat, serta informasi dan janji-janji perusahaan dan para pesaing (Kotler dan Amstrong, 2004).Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan harapan seseorang biasa- biasa saja atau sangat kompleks.

Ada beberapa penyebab utama tidak terpenuhinya harapan pelanggan

(lihat Gambar 2.4). Diantaranya beberapa faktor penyebab tersebut ada yang bisa dikendalikan oleh penyedia jasa. Dengan demikian penyedia jasa bertanggung jawab untuk meminimumkan miskomunikasi dan misinterpretasi yang mungkin terjadi dan menghindarinya dengan cara merancang jasa yang

(18)

mudah dipahami dengan jelas. Dalam hal ini penyedia jasa harus mengambil inisiatif agar ia dapat memahami dengan jelas instruksi dari klien dan klien mengerti benar apa yang akan diberikan.

Sumber: Mudie, Peter and Angela Cottam (1993), The Management and Marketing Services

Gambar 2.4.Penyebab Utama Tidak Terpenuhinya Harapan Pelanggan

Seorang pelanggan yang puas adalah pelanggan yang mendapatkan value dari pemasok, produsen atau penyedia jasa. nilai ini berasal dari produk, pelayanan, sistem atau sesuatu yang bersifat emosi. Jika pelanggan mengatakan bahwa value adalah produk yang berkualitas, maka kepuasan terjadi kalau pelanggan mendapatkan produk yang berkualitas. Kalau nilai bagi pelanggan adalah kenyamanan, maka kepuasan akan datang apabila pelayanan yang diperoleh benar-benar nyaman. Kalau value dari pelanggan adalah harga yang murah, maka pelanggan akan puas kepada produsen yang memberikan harga yang paling kompetitif.

(19)

Jasa yang berbeda dalam benaknya mengenai apa yang bakal dialaminya, yaitu:

1. Jasa ideal

2. Jasa yang diantisipasi atau diharapkan 3. Jasa yang selayaknya diterima (deserved)

4. Jasa minimum yang dapat ditoleransi (minimum tolerable)

Pelanggan bisa berharap dari keempat scenario tersebut (Gambar 2.4).

Sebagaimana telah dijelaskan di bagian awal, harapan membentuk kepuasan (Lihat Gambar 2.5). Karena itu apabila “jasa minimum yang dapat ditoleransi” yang diharapkan, lalu yang terjadi sama dengan atau bahkan melampaui harapan tersebut, maka akan timbul kepuasan. Sebaliknya bila yang diharapkan “jasa ideal”, maka bila yang terjadi kurang dari harapan tersebut, maka yang terjadi adalah ketidakpuasan.

Sumber: Mudie, Peter and Angela Cottam (1993), The Management and Marketing of Services

(20)

1) Semakin dekat harapan “jasa yang diharapkan” dengan “jasa minimum yang dapat diterima”, semakin besar pula kemungkinan tercapainya kepuasan. 2) Pelanggan yang puas bisa berada di mana saja dalam spectrum ini. Yang menentukan posisinya adalah posisi hasil (outcome) yang diharapkan

2.2.5 Sepuluh Prinsip Kepuasan Pelanggan

Menurut (Irawan, 2004) sepuluh prinsip Kepuasan Pelanggan adalah: 1. Mulailah percaya akan pentingnya kepuasan pelanggan.

2. Pilihlah pelanggan dengan benar untuk membangun kepuasan pelanggan 3. Memahami harapan pelanggan adalah kunci keberhasilan

4..Carilah faktor – faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan 5. Faktor emotional adalah faktor yang penting mempengaruhi kepuasan pelanggan

6. Pelanggan yang komplain adalah pelanggan yang loyal

7. Garansi adalah lompatan yang besar dalam kepuasan pelanggan 8. Dengarkanlah saran pelanggan

9. Peran karyawan sangat penting dalam memuaskan pelanggan 10. Kepemimpinan adalah teladan dalam kepuasan pelanggan

22.6 Membangun Kepercayaan Pelanggan

Menurut (Jasfar, 2005) menjelaskan bahwa :

• Kepercayaan timbul dari suatu proses pembinaan yang cukup lama sampai kedua belah pihak saling mempercayai. Apabila kepercayaan sudah terjalin di antara pelanggan dan perusahaan, maka usaha untuk mempertahankannya tidaklah terlalu sulit. Seperti yang pernah disampaikan

(21)

oleh Peter Drucker, bahwa mencari pelanggan baru jauh lebih mahal ( Cost

maupun efforts ) dibandingkan dengan mempertahankan pelanggan yang ada. Dalam proses terbentuknya kepercayaan, (Donney dan Connon,1997) menjelaskan secara rinci faktor- faktor yang berpengaruh seperi : reputasi perusahaan, besar/ kecilnya perusahaan, saling menyenangi, baik antara pelanggan dengan perusahaan maupun antara pelanggan dengan pegawai perusahaan, termasuk kualitas jasa.

(Morgan dan Hunt, 1994) menjelaskan ” confidence ” dalam pengertian kepercayaan ini timbul karena adanya suatu kepercayaan bahwa pihak yang mendapat kepercayaan memang mempunyai sesuatu kualitas yang dapat mengikat dirinya, seperti tindakannya yang konsisten, kompeten, jujur, adil, bertanggung jawab, suka membantu dan rendah hati ( benevolent ).

(Anderson dan Narus, 1990) menekankan pada ” perceived outcome ” sebagai hasil yang diharapkan dari suatu hubungan yang disebut confidence. Ia mengartikan perceived outcome as the firm belief that another person / company will perform action that nice result in positive outcome form a partner on whose intergrity one can rely confidently.

Menurut (Garbarino dan Johnson, 1995 ), membangun atau membina kepercayaan sebaiknya lebih ditekankan pada kepercayaan individual dengan mengacu kepada keyakinan konsumen atas kualitas dan keterandalan jasa yang diberikan. Untuk definisi operasional kepercayaan mereka berdua mengacu kepada pendapat (Gwinner, Gremier, dan Bitner, 1998 ) yang mengemukakan bahwa dalam industri jasa, manfaat psikologis atas

(22)

kepercayaan adalah lebih penting daripada perlakuan istimewa terhadap pelanggan atau yang disebut sebagai manfaat sosial dalam membina hubungan pelanggan.

2.3 Konsep GAP (Kesenjangan) kepuasan konsumen

Menurut (Rangkuti, 2002) Kepuasan pelanggan terhadap suatu jasa ditentukan oleh tingkat kepentingan pelanggan sebelum menggunakan jasa dibandingkan dengan hasil persepsi pelanggan terhadap jasa tersebut setelah pelanggan merasakan kinerja jasa tersebut. (Lihat Gambar 2.6)

Menurut (Irawan, 2004,) Untuk melihat hasil secara menyeluruh, dilakukan penjumlahan rata-rata dari GAP (selisih kenyataan dan harapan) yang dikalikan bobot dimensi yang ada. Hasil >-1 misalnya -0,40 berarti baik dan < -1 misalnya -1.20 berarti kurang baik. Dengan demikian, semakin besar nilainay maka tingkat kepuasan semakin baik. Namun Hasil ini tidah pernah 1 (+) atau lebih. Apabila GAP positif, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat/pelanggan dianggap sangat puas, namun kemungkinan terjadinya gap positif sangat kecil. Hal ini karena secara keseluruhan apa yang dialami (persepsi) jarang lebih baik dari apa yang diharapkan).

(23)

Pelanggan sangat puas

---

---

Sumber : Rangkuti, 2002 Pelanggan Sangat Tidak Puas

Gambar 2.6 Diagram Proses Kepuasan Pelanggan

Salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah kualitas pelayanan yang terdiri dari 5 dimensi pelayanan. Kesenjangan merupakan ketidaksesuaian antara pelayanan yang dipersepsikan (perceived service) dan pelayanan yang diharapkan (expected service) (lihat Gambar 2.7).

GAP Sumber : Rangkuti, 2003 : 42

Gambar 2.7 Diagram Kesenjangan yang Dirasakan oleh pelanggan Persepsi Pelanggan

Perceive service

(service yang diterima pelanggan)

Harapan Pelanggan Desired Service Adequate Service Expected Service Perceived Service

(24)

Kesenjangan terjadi apabila pelanggan mempersiapkan pelayanan yang diterimanya lenih tinggi daripada desired service atau lebih rendah daripada adequate service kepentingan pelanggan tersebut. Dengan demikian, pelanggan dapat merasakan sangat puas atau, sebaliknya, sangat kecewa.

Secara umum, kesenjangan pelayanan dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu :

1. Kesenjangan yang mucul dari dalam perusahaan (company gaps)

Kesenjangan ini dapat menghambat kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan berkualitas.

Kesenjangan yang muncul dari dalam perusahaan dapat dibedakan ke dalam empat jenis kesenjngan, yaitu :

a. Kesenjangan 1 : Tidak mengetahui harapan konsumen akan pelayanan

b. Kesenjangan 2 : Tidak memiliki desain dan standar pelayanan yang tepat

c. Kesenjangan 3 : Tidak memberikan pelayanan berdasar standar pelayanan

d. Kesenjangan 4 : Tidak memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan

(25)

2. Kesenjangan yang muncul dari luar perusahaan

Kesenjangan yang muncul dari luar perusahaan yang disebut kesenjangan 5 terjadi karena ada perbedaan persepsi pelanggan dengan harapan pelanggan terhadap pelayanan.

Adapun model gap sebagai berikut dijelaskan pada Gambar 2.8 :

Sumber : Zeithaml, Parasuraman, dan Berry, Delivering Quality Service: Balancing Customer Perception and Expectation, The Free Press, New York, 1990, Hal.46.

Gambar 2.8 Model Kesenjangan pada Kualitas Pelayanan Pelanggan Dari mulut ke mulut Kebutuhan pribadi Pengalaman masa lalu Pelayanan yang diharapkan

Pelayanan yang diterima pelanggan

Penyampaian

Spesifikasi kualitas pelayanan

Persepsi manajemen atas harapan pelanggan Komunikasi eksternal kepada pelanggan Penyedia Gap 1 Gap 2 Gap 3 Gap 4 Gap 5

(26)

Berdasarkan pada model kesenjangan diatas, ketidakcocokan terjadi dari lima macam kesenjangan yang dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

1. Satu kesenjangan (gap), yaitu kesenjangan kelima (gap 5) yang berasal dari sisi penerima pelayanan (pelanggan).

2. Empat macam kesenjangan, yaitu kesenjangan pertama sampai ke empat (gap 1 sampai gap 4), yang berasal dari sisi penyedia jasa (manajemen).

Kesenjangan (gap) yang berasal dari sisi penyedia jasa :

1. Kesenjangan (gap) 1 : Kesenjangan (gap) antara harapan pelanggan dengan persepsi manajemen.

Kesenjangan (gap) ini muncul karena adanya ketidaktahuan manjemen terhadap pelayanan yang diharapkan oleh pelanggan. Langkah pertama yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas pelayanan pada kesenjangan (gap) ini adalah dengan mendapatkan informasi yang akurat mengenai harapan pelanggan. Pada kesenjangan (gap) 1 ini, terdapat tiga faktor kunci yang berperan penting atas terjadinya kesenjangan tersebut, yaitu :

a. Kurangnya orientasi pada riset pemasaran sehingga perusahaan tidak memperhatikan kebutuhan atau keluhan yang diinginkan oleh pelanggan.

b. Tidak cukupnya komunikasi keatas yaitu kurangnya arus komunikasi yang terjadi pada tingkat bawah dengan keinginan ditingkat atas.

(27)

c. Terlalu banyak tingkatan manajemen pada struktur organisasi perusahaan sehingga komunikasi yang terjadi memerlukan waktu yang cukup lama.

2. Kesenjangan (gap) 2 : Kesenjangan (gap) antara persepsi manajemen terhadap spesifikasi kualitas pelayanan.

Kesenjangan (gap) ini terjadi karena kurangnya kesadaran manajemen akan harapan pelanggan terhadap spesifikasi standar kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Pada kesenjangan (gap) 2 ini, faktor kunci yang berkontribusi terhadap terjadinya kesenjangan tersebut adalah :

a. Kurangnya komitmen manajemen terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan. Manajemen tidak memenuhi standar pelayanan yang sudah ditetapkannya kepada pelanggan.

b. Persepsi manjemen mengenai ketidakmungkinan terjadinya pemenuhan harapan pelanggan.

c. Kurangnya standardisasi terhadap tugas-tugas yang diberikan. d. Tidak adanya goal setting yang jelas.

3. Kesenjangan (gap) 3 : Kesenjangan (gap) antara spesifikasi kualitas pelayanan dengan penyampaian pelayanan.

Kesenjangan (gap) ini terjadi disebabkan oleh ketidakmampuan karyawan memenuhi standar kualitas pelayanan yang sudah ditentukan. Meskipun adanya panduan bagi kinerja kualitas pelayanan

(28)

dan cara memperlakukan pelanggan dengan tepat, tidak berarti telah terdapat kepastian mengenai kualitas pelayanan yang tinggi terhadapa pelanggan. Pada kesenjangan (gap) 3 ini, faktor kunci yang menjadi penyebab terjadinya kesenjangan (gap) adalah:

a. Role ambiquity yaitu keadaan dimana para karyawan merasa bimbang atau tidak pasti mengenai ekspektasi dari para manager atau supervisor terhadap pekerjaan mereka dan bagaimana untuk memuaskan harapan dari pelanggan. Keadaan ini disebabkan kurangnya pelatihan atau keahlian yang dimiliki oleh karyawan.

b. Rice conflict yaitu perasaan karyawan bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk memuaskan pelanggan dan atasannya.

c. Kurangnya keseimbangan antara keahlian yang dimiliki karyawan terhadap tugas yang diterimanya.

d. Kurangnya peralatan dan tekhnologi yang digunakan oleh karyawan dalam melaksanakan tugas mereka.

e. Kurang berjalannya sistem evaluasi kerja karyawan terhadap imbalan atau bonus yang diberikan oleh perusahaan.

f. Kurangnya pengawasan terhadap pelayanan yang diberikan karyawan terhadap pelanggan.

g. Kurangnya kerjasama kelompok yang terjadi antara para karyawan dan manager dalam perusahaan.

(29)

4. Kesenjangan (gap) 4 : Kesenjangan (gap) antara penyampaian pelayanan dengan komunikasi eksternal kepada pelanggan.

Salah satu factor penyebab terjadinya ekspektasi pelanggan adalah komunikasi eksternal dari penyedia jasa. Janji-janji yang dibuat oleh perusahaan melalui media iklan, brosur, spanduk dan alat komunikasi lainnya akan meningkatkan ekpektasi pelanggan yang berlebihan terhadap penyedia jasa atau produk tersebut. faktor kunci yang menjadi penyebab terjadinya kesenjangan pada gap 4 ini adalah :

a. Kurangnya komunikasi horizontal yang terjadi pada suatu perusahaan antara bagian periklanan dengan operasional, bagian penjualan dengan operasional, hingga terjadinya perbedaan kebijakan dan prosedur antar cabang dan departemen.

b. Kecenderungan memberikan janji secara berlebihan dan tidak disesuaikan dengan yang diterima atau dirasakan pelanggan pada saat menggunakan jasa atau produk ini.

Kesenjangan yang berasal dari sisi penerima jasa, yaitu :

5. Kesenjangan (gap) 5 : Kesenjangan (gap) antara pelayanan yang diharapkan terhadap pelayanan yang diterima pelanggan.

Pelayanan yang diharapkan pelanggan terbentuk berdasarkan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi antara para konsumen, kebutuhan pribadi dari konsumen tersebut terhadap penyedia jasa atau produk serta pengalaman masa lalu dari konsumen tersebut yang

(30)

sudah pernah menggunakan jasa atau produk tersebut. Pelanggan tersebut kemudian membandingkan harapan yang sudah mereka buat terhadap kenyataan pelayanan yang diterima atau dirasakannya tersebut. Dari perbandingan ini akan muncul adanya suatu kesenjangan (gap) yang digunakan untuk menentukan penilaian atas kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pelanggan, yaitu :

a. Sangat puas apabila pelayanan yang diterima atau dirasakannya melebihi harapan dari pelanggan tersebut.

b. Puas apabila pelayanan yang diterima atau dirasakannya sama dengan yang diharapkannya.

c. Tidak puas apabila pelayanan yang diterimanya atau dirasakannya berada dibawah dari apa yang diharapkan oleh pelanggan.

Gambar

Gambar 2.1.Empat Karakteristik jasa
Gambar 2.3. Diagram Konsep Kepuasan Pelanggan
Gambar 2.4.Penyebab Utama Tidak Terpenuhinya Harapan Pelanggan
Gambar 2.6 Diagram Proses Kepuasan Pelanggan

Referensi

Dokumen terkait

pppk.disparbud@gmail.com 1 Desember 2018 s.d 23 Juni 2019 di Pusat Pelatihan Profesi Kepariwisataan Disparbud Gd. Kuningan

Dengan demikian dapat disimpulakan bahwa hipotesis keenam yang menyatakan PDN (Posisi Devisa Netto) secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan (positif atau negatif)

Strategi campuran dimana kedua pemain memakai campuran dari beberapa strategi yang berbeda-beda. Strategi campuran ini digunakan bila niali minimaks tidak sama dengan nilai

Dalam ha1 Pejabat atau Pegawai yang menempati Rumah Dinas yang tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Keputusan ini wajib mengosongkan Rumah Dinas

Sehingga untuk mendapatkan pilihan alternatif unsur Satrol Lantamal I yang terbaik, Penulis akan melakukan penelitian mengenai “Analisis Pemilihan Unsur Satrol Lantamal I

Serupa dengan hasil penelitian yang diperoleh Rusdyi dan Martani (2014), bahwa di Indonesia perusahaan keluarga memiliki aggresive tax avoidanceyang lebih kecil dari

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variabel Profitabilitas secara parsial tidak berpengaruh terhadap opini audit going concern pada perusahaan makanan dan minuman

Wesson (2009:37), “job performance is formally defined as the value of the set of employee behaviors that contribute, either positively or negatively, to organizational