• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. mengharuskan pula adanya hal-hal pokok dan penting untuk mengatur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. mengharuskan pula adanya hal-hal pokok dan penting untuk mengatur"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pentingnya keberadaan ekosistem makhluk hidup dalam struktur tatanan kehidupan dunia, terlebih makhluk Tuhan yang paling mulia yakni manusia dalam rangka pengembangan kemajuan kehidupan di dunia dalam berbagai bidang, mengharuskan pula adanya hal-hal pokok dan penting untuk mengatur kelangsungan hidup di dunia tersebut termasuk manusia. Manusia memiliki kedudukan tertinggi dalam hirarki kehidupan makhluk hidup di dunia. Ini dikarenakan dalam diri manusia melekat hak-hak asasi yang diakui dunia. Salah satunya adalah hak untuk hidup sebagai hak mutlak yang dimiliki setiap manusia.

Kehidupan manusia sangat penting dalam proses pelaksanaan segala hal yang berhubungan dengan kemajuan dan pekembangan dunia temasuk kemajuan dan perkembangan manusia itu sendiri. Seiring dengan kenyataan dan hakekat manusia untuk hidup maka diperlukan faktor-faktor pendukung kelangsungan dan perkembangan hidup manusia. Teknologi merupakan faktor penunjang kehidupan manusia dimana ia lahir sebagai konsekuensi dari perkembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu pengetahuan sejalan dengan pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern yang kemudian mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Hampir semua problema, ruang gerak dan waktu telah dapat terpecahkan

(2)

oleh teknologi dan modernitas. Disamping manusia menjadi semakin cakap menyelenggarakan hidupnya, meningkat pula kemakmuran hidup materilnya, berkat makin cepatnya penerapan-penerapan teknologi modern itu. Diantara sekian banyak penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan teknologi dibidang medis. Dengan perkembangan teknologi dibidang medis ini, bukan tidak mustahil akan mengundang masalah pelik dan rumit.

Pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju tersebut, diagnosa mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna untuk dilakukan. Pengobatan penyakitpun dapat berlangsung secara efektif. Dengan peralatan kedokteran yang modern itu, rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup seseorangpun dapat diperpanjang untuk suatu jangka waktu tertentu, dengan memasang sebuahrespirator. Bahkan perhitungan saat kematian seorang penderita penyakit tertentu, dapat dilakukan secara lebih tepat, di samping itu di beberapa negara

maju bahkan sudah dapat melakukan apa yang disebut dengan istilah birth

technology1dan biological engineering2. Dengan demikian masalah cepat atau lambatnya proses kematian seseorang penderita suatu penyakit, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi modern yang ditemukan tersebut.

1

Birth Technology adalah teknologi di bidang ilmu kedokteran yang memberikan kemudahan bagi para ibu saat melahirkan, terutama mengurangi rasa sakit bahkan menghilangkan rasa sakit. Beberapa cara sudah dapat digunakan bagi ibu hamil untuk mengurangi rasa sakit saat melahirkan, diantaranya water birth (persalinan di dalam air), hypnobirthing (metode relaksasi yang dapat dimulai semenjak awal kehamilan), suntik ILA (pembiusan ringan pada tubuh bagian bawah saat proses persalinan), dan epidural(anastesi regional).

2Biological engineering adalah penerapan konsep dan metode biologi untuk memecahkan masalah

(3)

Teknologi kedokteran adalah teknologi yang berkaitan langsung dengan hidup dan matinya manusia. Manusiaakan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, serta diakhiri dengan kematian. Dari proses siklus kehidupan tersebut, kematian merupakan salah satu yang masih mengandung misteri besar dan ilmu pengetahuan belum berhasil menguaknya. Kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik, hal demikian tidak terjadi dalam dunia

kedokteran dan kesehatan.3Untuk dapat menentukan kematian seseorang sebagai

individu diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan adalah merupakan hak dari Tuhan. Tak seorangpun yang berhak menundanya sedetikpun, termasuk mempercepat waktu kematian. Kehidupan dan kematian manusia adalah suatu hal yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam nilai-nilai moral manapun, sehingga setiap perlakuan terhadapya akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dari segi moral. Inilah dasar perkembangan rekayasa genetika dan bioetika atau bioteknologi sebagai suatu bidang ilmu yang kini dianggap menjadi disiplin tersendiri dalam bidang kedokteran untuk menjawab segala hal yang berhubungan dengan nilai-nilai dari segi moral tentang kematian. Kematian selalu diperhadapkan atau paling tidak berhubungan erat dengan bioetika yang hal tersebut disebabkan, ditemukan dan dikembangkannya sedemikian rupa teknologi medis bukan hanya untuk memperlambat terjadinya suatu kematian tapi juga

3Denissa Ningtyas, Euthanasia, http://www.slideshare.net/densyaa/euthanesia, diakses pada 28

(4)

keadaan sebaliknya yaitu mempercepat proses kematian. Tindakan untuk mempercepat proses kematian tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah Euthanasia.

Adapun tindakan euthanasia tersebut dari sudut pandang lainnya dianggap

sebagai hak untuk mati dari seorang pasien yang ingin segera mangakhiri penderitaannya atas suatu penyakit tertentu yang dialaminya dan diyakini tidak akan memperoleh kesembuhan lagi. Hak pasien ini telah kerap kali dibicarakan oleh berbagai pihak dengan sudut pandangnya masing-masing baik dari segi agama, moral, medis dan hukum namun masih belum bisa menemukan kata sepakat menghadapi keinginan pasien untuk mati sebagai hak guna menghentikan penderitaannya.

Euthanasia merupakan suatu masalah yang menyulitkan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Dokter dan tenaga kesehatan yang lain sering kali dihadapkan pada keadaan dimana pasien yang menderita suatu penyakit yang penyakitnya tersebut telah menimbulkan suatu penderitaan yang berat pada pasiennya atau bahkan tidak dapat disembuhkan lagi. Masalah seperti ini yang membuat pasien dan pihak keluarga pasien pada akhirnya mengambil keputusan untuk menghentikan tindakan medis. Penghentian tindakan medis tersebut dimana

merupakan salah satu bentuk dari euthanasia yang kemudian dokter dalam situasi

seperti ini dihadapkan dalam dilema, dalam hal apakah mereka mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup pasien dengan alasan atas permintaan pasien sendiri atau pihak keluarga, tetapi tanpa membuat dokter itu sendiri menghadapi suatu konsekuensi hukum.

(5)

Terlebih dari perspektif hak asasi manusia yang hanya mengenal hak untuk hidup sebagai hak mutlak yang dimiliki setiap manusia. Berdasarkan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Bab XA perubahan kedua tentang Hak Asasi Manusia, memberikan penjelasan dan pengaturan yang jelas bahwa manusia memiliki hak untuk hidup sebagai hak asasi yang harus dilindungi. Pasal

28A perubahan kedua yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk hidup serta

berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”4

, menyatakan dengan jelas bahwa setiap manusia berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan

kehidupannya. Dalam Pasal 28I ayat (1) perubahan kedua, menegaskan: “Hak

untuk hidup tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun”5

kemudian hak hidup manusia tersebut pula dilengkapi dan kembali ditegaskan dengan Pasal 28J ayat

(1) perubahan kedua yang menyatakan bahwa: “Setiap orang wajib menghormati

hak asasi orang lain dalam tertib masyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk hak untuk hidup”6

Betapa penting penghargaan terhadap hak hidup setiap orang sebagai hak asasi manusia maka selain diatur dalam Undang Undang Dasar 1945 juga diatur dalam Undang-Undang yang lebih khusus No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut HAM).

Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM ini, menyebutkan:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbtidak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

4Pasal 28A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 5Pasal 28I ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 6Pasal 28J ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(6)

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh

siapapun”.7

Pasal 9 ayat (1) dalam Undang-Undang yang sama pun, menyebutkan: “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan

meningkatkan taraf hidupnya”.8

Adapun sebenarnya di Indonesia pembatasan terhadap hak hidup tersebut jelas terdapat dalam bagian penjelasan Pasal 9 ayat (1) yang menyebutkan:

“Setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melakat pada bayi yang baru lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati, maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi”.

Namun melihat penjelasan pasal tersebut bahwa dalam hal pembatasan terhadap hak hidup di Indonesia sendiri hanya membatasi terhadap dua keadaan yang sangat luar biasa menurut UU ini, yaitu aborsi untuk kepentingan hidup si ibu serta terhadap penjatuhan pidana mati oleh putusan pengadilan.

Hak untuk hidup (right to live) merupakan hak yang paling utama dan hak

lain berada di bawah hak tersebut. Hak ini diatur khusus juga dalam UDHR 1948. Perampasan terhadap hak untuk hidup merupakan pengingkaran utama dari

martabat kemanusiaan.9

Begitupun dalam instrumen internasional telah diakui dunia tentang “Hak untuk Hidup” yang dimasukkan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia

(DUHAM) atau Universal Independent of Human Rights oleh PBB tanggal 10

7Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 8Pasal 9 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

9 Muladi, 2009, Hak Asasi Manusi Hakekat, Konsep & Implikasinya Dalam Perspektif Hukum &

(7)

Oktober1948, pada Pasal 3 yang menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keamanan pribadi.”10

Begitu pula instrumen lainnya

yaitu International Convenant on Civil and Political Right (ICCPR) dalam Pasal 6

ayat (1) “Setiap umat manusia memiliki hak alamiah atas kehidupan. Hak ini

harus dillindungi oleh hukum. Tidak seorangpun boleh dirampas kehidupannya secara sewenang-wenang.11

Apabila kita menengok ke belakang, sebelum diproklamirkannya Universal

Declaration of Human Rights, kita telah mengenal dokumen-dokumen hukum khusus di Inggris, Amerika, dan Perancis, sebagai perintis ke arah diakuinya hak-hak asasi manusia oleh PBB itu. Di antara dokumen-dokumen tersebut adalah:

1. Magna Charta (1215) di Inggris, 2. First Charter of Virginia di Amerika, 3. Ordinance of Virginia (1618) di Amerika, 4. May Flower Compact (1620) di Amerika, 5. The Pelition of Rights (1628) di Inggris, 6. Habeas Corpus Act 1679 di Inggris, 7. Bill of Rights (1689) di Inggris,

8. Pennsylvania Privileges (1701) di Amerika, 9. Declarations of Independence (1776) di amerika,

10. Declaration des Droits de‟l Homme et du Citoyen (1789) di Perancis, 11. The Four Freedoms of F.D. Roosevelt (1941) di Amerika.12

Dari sekian banyak dokumen-dokumen tentang hak asasi manusia di atas, mengutip dari buku yang ditulis oleh Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto bahwa dapatlah diambil tiga di antaranya yang terpenting, yaitu:

1. Declaration of Independence (1776) di Amerika

10

James W. Nickel, 1996, Hak Asasi Manusia Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Gramedia Pustaka, Jakarta, hlm. 263.

11Ibid.,,hlm. 305.

12Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984, EUTHANASIA Hak Asasi Manusia dan

(8)

Sejak timbulnya deklarasi, adalah merupakan saat yang sangat penting bagi

perkembangan hak-hak asasi manusia, di mana saat human rights itu ditetapkan

atau dirumuskan. Deklarasi ini timbul akibat dari sejarah perjuangan kemerdekaan Amerika Serikat, dari sekelompok kolonis yang kemudian menjelma menjadi

negara (States), yang bersatu (United). Berkat jasa seorang seniman Amerika

yaitu Thomas Jefferson, maka tepatnya pada tanggal 4 Juli 1776 deklarasi tentang hak-hak asasi manusia itu dapat terwujud. Berkat jasanya itu pula, maka Thomas Jeffersondipilih dan diangkat sebagai presiden Amerika Serikat yang pertama kali.

Dalam deklarasi tersebut dinyatakan, bahwa:“Sekalian manusia dititahkan dalan

keadaan sama, bahwa manusia dikaruniai oleh Yang Maha Kuasa beberapa hak yang tetap dan melekat padanya”.

Perumusan hak-hak asasi manusia secara resmi dalam suatu deklarasi

seperti di atas, adalah untuk pertama kalinya di dunia, yang kemudian Declaration

of Independence tersebut menjadi dasar pokok bagi Konstitusi Negara Amerika

Serikat.13

2. Declaration des Droits de‟l Homme et du Citoyen (1789) di Perancis. Deklarasi ini timbul sebagai akibat adanya revolusi Perancis yang sedang memuncak pada waktu itu. Sebagai akhir daripada perjuangan rakyat Perancis itu, maka berhasil ditetapkan hak-hak asasi manusia dalam deklarasi tersebut yang

ditetapkan oleh Assemblee Nationale Perancis. Tujuan revolusi yang besar

tersebut juga berpengaruh ke seluruh dunia, ialah antara lain untuk peroleh jaminan hak-hak asasi manusia dalam perlindungan Undang-undang Negara,

(9)

seperti ternyata dalam semboyan revolusinya yang bertrislogandakan, yaitu :Liberte (kemerdekaan), Egalite (kesamarataan), dan Fraternite (kerukunan atau

persaudaraan). Kemudian di dalam Mukadimah dari Declaration des Droits de‟l

Homme et du Citroyen itu dapat ditarik kesimpulan mengenai apa yang dimaksud dengan hak-hak asasi manusia, yaitu bahwa:

“Hak-hak asasi manusia ialah hak-hak yang dimiliki manusia menurut kodratnya, yang tak dapat dipisahkan daripada hakekatnya dan karena itu bersifat suci.”14

3. The Four Freedoms of F.D. Roosevelt (1941) di Amerika

Pada permulaan perang dunia II, Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt

dalam amanat (message) kepada Majelis Kongres dalam pidato yang diucapkan

pada tanggal 6 Januari 1941, telah menganjurkan bahwa terhadap tindakan agresi Nazi-Jerman untuk menginjak-injak hak-hak asasi manusia, harus dipertahankan empat kebebasan sebagai berikut:

(1) Freedom of Speech (kebebasan mengutarakan pendapat), (2) Freedom of Religion (kebebasan beragama), (3) Freedom of Fear (kebebasan dari

ketakutan) dan (4) Freedom of Want (kebebasan dari kekurangan). 15

Dari apa yang telah dituangkan oleh F.D. Roosevelttersebut, ternyata

pandangannya itu sangat menjiwai tercetusnya Universal Declaration of Human

Rights dari PBB yang berisi tentang “hak untuk hidup” sebagai salah satu hak asasi manusia yang diakui dunia.

14Ibid.,., hal. 32-33. 15Ibid.,.,

(10)

Mengapa ketiga dokumen tersebut dianggap terpenting, dari apa yang dikutip di buku yang ditulis oleh Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto tersebut bahwa ketiga dokumen tersebut di atas diambil sebagai dokumen yang terpenting dari antara dokumen-dokumen yang lainnya dikarenakan ketiga dokumen inilah yang tercatat dalam sepanjang sejarah berkaitan usaha untuk menegakkan hak asasi manusia merupakan dokumen-dokumen yang termuda dari antara dokumen yang lainnya, di mana ketiga dokumen inilah yang lahir

menjelang diterima dan diumumkannya Universal Declaration of Human Rights

oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember tahun 1948.

Pengaturan yang dijabarkan baik peraturan perundang-undangan nasional Indonesia maupun instrumen internasional, semuanya menegaskan tentang hak hidup yang bersifat fundamental tanpa memberi ruang sedikitpun bagi setiap manusia memiliki hak untuk mati.

Tidak cukup dari sudut pandang hak asasi manusia, melihat masalah hidup dan mati dari segi agama sudah barang tentu penting untuk menjadi pertimbangan untuk bertindak dalam kaitannya dengan kematian. Seperti dikutip dari Panduan untuk Fasilitator Pendidikan Hak Asasi Manusia bagi Rohaniwan, Theologi Konghucu menegaskan, bahwa manusia adalah makhluk pengemban Firman Tuhan YME, oleh karena itu manusia dimuliakan, seperti tersurat dalam ayat

berikut: “Di antara watak-watak yang terdapat antara langit dan bumi,

sesungguhnya manusialah yang termulia”16

Berdasarkan theology di atas jelas

betapa manusia adalah makhluk termulia yang pasti menghendaki adanya hak

16Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2002, Panduan untuk Fasilitator Pendidikan hak Asasi

(11)

untuk hidup bagi setiap umat manusia. Agama Islam menyambut baik terhadap upaya pemenuhan dan penghormatan hak-hak dasar umat manusia di muka bumi. Kehadiran manusia ke dunia selain sebagai makhluk paling mulia, juga

diproyeksikan menjadi khalifa Allah SWT.17

Kemudian daripada penjabaran itu semua semakin menimbulkan situasi mendilemakan bagi seorang dokter untuk bertindak, apakah ia mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup seorang pasien atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, dengan dalih mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan, tanpa dokter itu sendiri menghadapi konsekuensi hukum. Sudah barang tentu dalam hal ini dokter tersebut menghadapi konflik dalam batinnya.

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP)

tidak satu pasalpun yang menjelaskan batasan atau pengertian euthanasia. Namun

dekimian, pengenaan terhadap euthanasia dalam beberapa tulisan dan karya

ilmiah dianalogikan dengan delik-delik yang tercantum dalam Pasal 338, 340 dan

344.18 Dengan dasar itulah maka sudah diisyaratkan dan diingatkan pada kaum

medis bahwa praktik euthanasia di Indonesia dilarang dan diancam dengan sanksi

pidana. Namun demikian jika menilik lebih jauh tentang rumusan pasal-pasal

yang disebutkan tadi utamanya Pasal 344 KUHP yang menyatakan: “Barangsiapa

merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”19 tersebut maka yang memungkinkan terjerat hukuman

17Ibid.,., hlm. 186.

18Umi Enggarsasi, “Analisis terhadap pelaksanaan Euthanasia Pasif,” PERSPEKTIF Kajian

Masalah Hukum dan Pembangunan, Edisi Juli (Juli, 1997), hlm. 55.

(12)

hanyalah pelaku praktik euthanasia aktif. Faktanya praktik yang sering terjadi

dalam masyarakat dan dunia medis adalah praktik euthanasia pasif yang dapat

dikatakan sering terjadi namun secara terselubung mengingat pihak-pihak yang melakukannya juga menganggap tidak ada batasan dan pegertian yang jelas secara yuridis, yang kemudian terkait pula dengan masalah sulitnya pembuktian yang kemudian menjadi faktor mengapa dibiarkannya dan didukungnya pelaksanaan euthanasia pasif baik oleh kalangan profesi hukum dan kedokteran maupun oleh masyarakat pada umumnya.

Hakekatnya praktik euthanasia yang dilakukan dengan cara manapun

adalah merupakan suatu perbuatan melawan hukum karena sebegitu terkaitnya dengan kejahatan terhadap nyawa, sedangkan ketiadaan suatu batasan atau pengertian yang jelas serta suatu konsep yang jelas secara yuridis mengenai

praktik euthanasia tersebut dapat menimbulkan suatu ketidakpastian hukum.

Radbruch mengatakan bahwa hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah: keadilan,

kegunaan dan kepastian hukum.20

Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini kemudian menjadi penting ketika pada saat ini dunia kedokteran dan masyarakat di Indonesia pada umumnya dalam menjalankan proses kehidupannya membutuhkan suatu pengaturan yang jelas demi mendapatkan suatu kepastian hukum, terutama mengenai fenomena permasalahan yang diangkat penulis. Harapan yang besar juga dengan adanya penelitian ini sehingga dapat menjawab kebutuhan yang ada di masyarakat.

(13)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :

1. Apakah terhadap seseorang yang menurut ilmu pengetahuan kedokteran

sudah tidak memiliki harapan untuk sembuh dapat tetap diberlakukan ketentuan Pasal 344 KUHP ?

2. Bagaimanakah seharusnya pengaturan hukum pidana terhadap praktik

euthanasia pasif yang terjadi di Indonesia ?

C.Tujuan Penelitian

Setiap penelitian memerlukan suatu pedoman atau tujuan yang dapat memberikan arah pada penelitian yang dilakukan. Berdasarkan uraian latar belakang dan permasalahan di atas, maka disusun tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai ketentuan Pasal 344

dalam KUHP apakah relevan untuk tetap dapat diberlakukan apabila berkenaan dengan keadaan seseorang yang menurut ilmu pengetahuan kedokteran memang sudah tidak ada harapan untuk sembuh lagi.

2. Untuk mengetahui dan menaganalisis sejauh mana pengaturan hukum

terhadap praktik euthanasia pasif yang terjadi di Indonesia, serta

(14)

D.Manfaat Penelitian

Hasilpenelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan, baik untuk kepentingan ilmu pengetahuan (teoritis) maupun kepentingan praktis dalam

penyelesaian hukum terhadap praktik euthanasia pasif yang terjadi di Indonesia.

Adapun kegunaan penelitian tersebut sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Lebih lanjut, adanya penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi kajian ilmu hukum khususnya dibidang hukum pidana berkaitan dengan penyelesaian

hukum terhadap praktik euthanasiapasif yang terjadi di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi, akademisi bahkan regulator dalam rangka menerapkan aturan hukum yang sudah ada serta mengembangkan dan membentuk hukum yang perlu dilakukan dalam rangka penyelesaian hukum di

masyarakat khususnya yang bekaitan dengan praktik euthanasia pasif.

E.Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran dan pengamatan yang penulis lakukan tercatat beberapa karya tulis baik berupa skripsi maupun tesis yang membahas masalah euthanasia.

(15)

Pertama, karya tulis ilmiah dengan judul “ Perdebatan Etis Atas Euthanasia

(perspektif filsafat moral)”.21 Karya tulis ini merupakan skripsi yang dibuat pada

tahun 2008 oleh Bajang Tukul, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu :(1) Apa yang

dimaksud euthanasia?; (2) Bagaimana filsafat moral menyikapi problematika etis

euthanasia?.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya ditarik kesimpulan

bahwa salah satu masalah moral yang terjadi dewasa ini adalah euthanasia

dimana dibutuhkan penyelesaian yang komprehensif dari berbagai pihak. Filsafat moral (dalam hal ini deontologis dan utilitaris) memandang permasalahan euthanasia tidak terlepas dari kehendak dan motivasi pelakunya (dokter dan para tenaga medis lainnya). Adapun perspektif deontologis memandang bahwa kehendak atau motivasi para pelaku medis untuk tidak melakukan tindakan euthanasia adalah karena terikat oleh kewajiban untuk melaksanakan kehendak baik (menghargai dan menghormati kehidupan pasien) dengan ditentukan oleh maksim-maksim yang mendasarinya. Sedangkan perspektif utilitaris karena

adanya seuatu yang hendak dicapai dari tindakan pelaksanaan euthanasia tersebut,

yakni maksud, tujuan, akibat yang ditimbulkannya baik dan lebih berguna bagi banyak orang. Titik pangkal dalam penelitian ini diwakili oleh aliran utilitarisme dan deontologisme adalah pada konsep otonomi, di mana diantara keduanya mempunyai konsep yang berbeda.

21 Bajang Tukul, 2008, Perdebatan Etis Atas Euthanasia (perspektif filsafat moral), Skripsi,

(16)

Kedua, karya tulis ilmiah dengan judul “ Kajian Yuridis Tentang Hak Asasi

Manusia Dalam Praktik Euthanasia”.22 Karya tulis ini merupakan skripsi yang

dibuat pada tahun 2012 oleh Mody Gregorian Baureh, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi. Adapun rumusan masalah yang diangkat yaitu : (1)

Bagaimana kajian HAM terhadap praktik Euthanasia ?; (2) Bagaimanakah

pandangan hukum positif, hukum internasional dan ajaran agama terhadap praktik euthanasia?. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan yaitu: (1) Hak Asasi Manusia adalah hak-hak mendasar yang melekat secara kodrati, abadi (fundamental) dan universal pada jati diri manusia sebagai karunia Tuhan. Euthanasia menjadi salah satu cermin dimana manusia ingin merebut hak prerogatif dari Allah sendiri yang adalah Tuhan atas kehidupan. Praktik euthanasia merupakan perbuatan melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak untuk

hidup. (2) Mengenai euthanasia walaupun tidak ada pengaturan yang jelas dalam

hukum postif Indonesia, namun pada dasarnya Indonesai lewat peraturan

perundang-undangan menantang keras praktik euthanasia. Praktik euthanasia

menurut hukum internasional dipandang sebagai tindakan pelanggaran HAM,

meski di beberapa Negara, masalah euthanasia sudah dilegalkan. Pengaturan

tentang euthanasia serta hak untuk hidup sebagai hak asasi manusia tidak hanya

diatur dalam ketentuan hukum positif dan international namun jelas semua ajaran

agama menentang praktik euthanasia karena praktik tersebut merupakan

pengingkaran atas penghormatan terhadap martabat manusia dalam hal ini jiwa manusia.

22Mody Gregorian Baureh,2012,Kajian Yuridis Tentang Hak Asasi Manusia Dalam Praktik

(17)

Ketiga, karya tulis ilmiah dengan judul “ Kajian Euthanasia menurut Hak

Asasi Manusia (Studi Banding Hukum Nasional Belanda)”.23 Karya tulis ini

merupakan tesis yang dibuat pada tahun 2013 oleh Pingkan Kristania Paulus, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi. Adapun rumusan

masalahnya adalah : (1) Bagaimana kajian hubungan Euthanasia menurut HAM?;

(2) Bagaimana pelaksanaan euthanasia ditinjau dari Hukum Nasional Belanda ?.

Berdasarkan hasil penelitiannya diperoleh kesimpulan yaitu: (1) Euthanasia

merupakan bukan suatu temuan yang baru di bidang medistetapi hingga saat ini masih terus menjadi suatu perbincangan yang menimbulkan pro dan kontra. Euthanasia dianggap telah melanggar salah satu aspek dari Hak Asasi Manusia

yaitu mengenai hak hidup, namun di sisi yang lain euthanasia dianggap berhak

untuk didapatkan oleh manusia sebagai hak dari untuk menentukan nasibnya sendiri, dan merupakan hak kebebasan.Kontroversi yang terjadi terhadap euthanasia ini membuat dampak terhadap pengesahan akan praktik euthanasia, dan ini bukan hanya terjadi di negara Indonesia tapi di beberapa negara di Eropa

juga. (2) Pengalaman Belanda telah mempengaruhi perdebatan tentangeuthanasia

dan kematian dengan martabat di seluruh dunia, khususnya yang berkaitan dengan

apakah perbuatan euthanasia ini dibantu oleh dokter untuk bunuh diri dan apakah

euthanasia memang harus dilegitimasi atau disahkan. Tinjauan literatur mengungkapkan kompleks dan sering terjadi kontradiktifpandangan tentang pengalaman Belanda. Beberapa menyatakan bahwa Belanda menawarkan sebuah model bagi dunia untuk mengikuti sedangkan di pihak yang lain percaya bahwa

23Pingkan Kristania Paulus, 2013,Kajian Euthanasia menurut Hak Asasi Manusia (Studi Banding

Hukum Nasional Belanda), Tesis, Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Manado.

(18)

Belanda merupakan suatu bahaya atau mendatangkan ancaman yang baru, bukan daripada membawa sebuah janji atau kepastian, dan bahwa pengalaman Belanda

adalah definitif menjawab tentang mengapa kita tidak harus membuat euthanasia

aktif dan membuat dokter menjadi bantuan untukmelakukan “pengakhiran hidup”

menjadi bagian dari kehidupan kita. Legalisasi pelaksanaan euthanasia oleh

Belanda tetap masih dianggap melanggar HAM oleh berbagai pihak, walaupun

apa yang dilakukan oleh Belanda adalah euthanasia yang didasarkan atas

permintaan pasien sendiri, Belanda mengganggap bahwa mereka tidak bertentangan dengan konvensi internasional dan hak asasi manusia karena apa yang dilakukan oleh Belanda adalah untuk menghargai hidup, dan mereka percaya bahwa permintaan yang dilakukan oleh seseorang yang mengalami penderitaan tak semestinya ditolak permintaannya oleh negaranya sendiri.

Meskipun terdapat beberapa karya tulis ilmiah yang mengkaji tentang euthanasia, namun penelitian ini memiliki objek penelitian yang berbeda. Penelitian yang dilakukan oleh penulis secara khusus mengkaji tentang sejauh

mana pengaturan praktik euthanasia itu dalam hukum pidana di Indonesia,

berkaitan dengan pemberlakuan Pasal 344 KUHP apakah relevan untuk tetap diberlakukan apabila keadaan seseorang menurut ilmu pengetahuan kedokteran sudah tidak ada harapan untuk sembuh lagi, serta juga menitikberatkan penelitian

pada fenomena praktik euthanasia pasif yang terjadi di Indonesia yang

kenyataannya membutuhkan suatu penyelesaian serta kepastian hukum dengan adanya pengaturan yang jelas terhadapnya.Penitikberatan pada fenomena praktik euthanasia pasif inilah yang membuat penelitian ini berbeda dengan

(19)

penelitian-penelitian terdahulu atau penulisan karya ilmiah sebelumnya yang kebanyakan

Referensi

Dokumen terkait

A- 81.01-85 Merupakan perolehan mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan sangat baik, memahami materi dengan sangat baik, memiliki tingkat proaktif dan kreatifitas tinggi

Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui kesulitan sering dialami mahasiswa pada Mata Kuliah Persamaan Diferensial Untuk menyederhanakan penelitian maka peneliti

Praktisi di lapangan mengemukakan faktor psikologis dan sosial yang dapat menjadi pemicu kecanduan alkohol pada wanita antara lain sejarah pecandu alkohol dalam keluarga,

Untuk menguji pengaruh motivasi kebutuhan keberadaan (existence needs), motivasi kebutuhan hubungan (relatedness needs), motivasi kebutuhan pertumbuhan (growth

Dari hasil belajar yang sudah dideskripsikan di atas dapat diambil simpulan bahwa pembelajaran dengan penerapan scaffolding learning berbasis karakter dapat meningkatkan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan kadar liat, bahan organik serta kandungan air terhadap indeks plastisitas tanah di Kecamatan Jorlang Hataran Kabupaten Simalungun

Pasal 38 (ayat 2): Sebagai pembatasan terhadap hak itu ialah bahwa sesuatu daerah tidak boleh mengatur pokok-pokok (onderwerpen) dan hal-hal (punten) yang telah diatur dalam

Kata keterangan adalah suatu kata atau kelompok yang menduduki suatu fungsi tertentu, yaitu fungsi menerangkan kata kerja, kata sifat, kata keterangan yang masing-masing