• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV LAPORAN PENELITIAN A. Orientasi Kancah Penelitian - DINAMIKA COPING STRESS IBU YANG MEMILIKI ANAK ADHD - Unika Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB IV LAPORAN PENELITIAN A. Orientasi Kancah Penelitian - DINAMIKA COPING STRESS IBU YANG MEMILIKI ANAK ADHD - Unika Repository"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

54

LAPORAN PENELITIAN

A. Orientasi Kancah Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami dinamika coping stress seorang ibu yang memiliki anak ADHD. Langkah awal yang dilakukan peneliti sebelum melakukan penelitian adalah menentukan kancah penelitian, hal ini dilakukan oleh peneliti dalam mengumpulkan data dan informasi secara langsung sesuai dengan kebutuhan penelitian.

Pada proses pencarian subjek, peneliti sempat mencari subjek ke beberapa sekolah luar biasa dan tempat terapi serta bertanya ke orang-orang mengenai subjek yang dibutuhkan peneliti. Peneliti menemui tiga subjek yang sesuai dengan kriteria, yaitu T yang dijadikan sebagai subjek pertama, ER yang dijadikan sebagai subjek kedua dan S yang dijadikan sebagai subjek ketiga. Penelitian dilanjutkan dengan meminta ijin kepada ketiga subjek untuk menjadi subjek pada penelitian ini, kemudian meminta para subjek untuk menandatangani informed consent dan melakukan observasi serta wawancara terhadap subjek.

(2)

tempat tinggal subjek yang ketiga berada di Jangli kota Semarang. Tempat subjek melakukan aktivitas diluar tempat tinggal pun dijadikan sebagai kancah penelitian, yaitu sekolah dan perguruan tinggi.

Peneliti sempat melakukan observasi ketika subjek melakukan aktivitas di luar rumah. Aktivitas subjek yang pertama yang diikuti oleh peneliti adalah ketika mengantar dan menemani anaknya bersekolah. Aktivitas subjek yang kedua adalah ketika subjek mengajar di salah satu perguruan tinggi, sedangkan aktivitas subjek ketiga adalah ketika menjemput anak subjek di sekolah.

B. Persiapan Penelitian

Dalam penelitian “dinamika coping stress seorang ibu yang

memiliki anak ADHD” ada beberapa tahap persiapan yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian. Pertama, peneliti menentukan kriteria subjek yang akan dilibatkan dalam penelitian ini. Kriteria subjek ditentukan berdasarkan tujuan penelitian dan observasi lapangan yang dilakukan di awal penelitian. Kriteria subjek yang ditetapkan adalah seorang wanita yang telah menikah dan memiliki anak dengan gangguan ADHD yang sudah didiagnosis oleh psikolog, memiliki pekerjaan dan tidak memiliki pengasuh anak.

(3)

untuk dijadikan sebagai subjek penelitian, melakukan wawancara dan observasi dalam kegiatan yang dilakukan subjek. Kemudian masing-masing subjek menandatangani informed consent yang menunjukkan kesediaan para subjek untuk menjadi responden dalam penelitian ini.

Setelah itu peneliti menyusun pedoman wawancara. Pedoman tersebut disusun berdasarkan tema yang akan diungkap dalam penelitian. Setelah pedoman wawancara dibuat, peneliti menyiapkan sarana yang dibutuhkan dalam penelitian seperti alat merekam (handphone) dan alat tulis untuk mencatat (kertas dan bolpoin).

C. Pelaksanaan Penelitian

Metode pengambilan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Pada setiap pertemuan pertama dengan subjek, peneliti selalu melakukan building rapport, kemudian peneliti langsung melakukan wawancara terkait dengan penelitian.

(4)

Tabel 4.1. Jadwal Pertemuan dengan Subjek No Inisial Tanggal Waktu

(perkiraan)

Lokasi

1. TS I: 24 April 2017 18.00-19.00 Rumah subjek II: 26 April 2017 17.15-19.00 Rumah Subjek

2. ER I: 30 Mei 2017 9.30-10.30 Tempat kerja subjek

3. S I: 27 Agustus 2017

18.30-20.30 Rumah Subjek

Peneliti juga melakukan triangulasi dengan orang terdekat subjek. Berikut adalah rekap waktu dan tempat pelaksanaan triangulasi yang dilakukan oleh peneliti :

Tabel 4.2 Jadwal Pertemuan Triangulasi

No Inisial Triangulasi Tanggal Tempat 1. S Teman dekat 1 Mei 2017 Rumah subjek

2. A Suami 20 Juli 2017 Rumah subjek

3. M Anak 27 Agustus 2017 Rumah Subjek

D. Hasil Pengumpulan Data 1. Subjek 1

a. Identitas

Nama : T

Umur : 44 tahun

(5)

Pekerjaan : ibu rumah tangga dan pemulung Nama anak : J

Umur : 9 tahun Kelas : 3 SD Sekolah : SLB

Anak ke-2 dari 2 bersaudara

b. Hasil Observasi dan Wawancara 1) Hasil Observasi

Pada hari Senin, 24 April 2017 peneliti melakukan wawancara di rumah subjek. Peneliti sampai di rumah subjek sekitar pukul 18.00. Rumah subjek terletak di kampung nelayan dimana sebagian besar penghuninya bekerja sebagai nelayan atau anak buah kapal, rumah subjek terletak di ujung dari kampung tersebut, rumah subjek tidaklah besar dan agak kumuh, di bagian depan rumah subjek terdapat banyak sekali rumput liar dan di samping rumahnya terdapat kali yang cukup besar. Setelah sampai di rumah subjek, peneliti di sambut dengan ramah, dan kebetulan subjek baru pulang bekerja. Subjek langsung mempersilahkan peneliti untuk duduk di teras luar rumah. Pada saat itu subjek memakai pakaian santai, yaitu kaos oblong berwarna merah dan celana pendek kain berwarna putih. Subjek memiliki kulit sawo matang, postur tubuh yang tinggi dan kurus serta panjang rambut sedada.

(6)

tanda kecemasan atau bosan, sedangkan saat wawancara berlangsung anak subjek bermain dengan orang tua peneliti. Subjek tinggal bersama anaknya yang mengalami ADHD, suaminya sudah meninggal dan subjek tinggal terpisah dengan orang tuanya. Anak subjek yang berumur 9 tahun kerap kali menghampiri subjek dan senyum-senyum terhadap peneliti kemudian kembali berlarian disekitar pekarangan rumah. Subjek juga memiliki peliharaan burung dara berwarna hitam keabu-abuan yang seringkali dimainkan oleh anak subjek. Pada pukul 19.00 peneliti berpamit untuk pulang.

(7)

2) Hasil Wawancara a) Demografi

Subjek merupakan seorang ibu yang berumur 44 tahun dan memiliki dua orang anak laki-laki, anaknya yang pertama berumur 20 tahun dan anaknya yang kedua berumur 9 tahun dan mengalami ADHD. Subjek sudah menjadi single parent sejak beberapa tahun lalu karena suaminya sudah

meninggal dan anaknya yang pertama sudah tidak tinggal serumah karena pindah ke Bogor. Anaknya yang pertama adalah hasil pernikahan dengan suami yang sebelumnya. Hubungan antara anak-anaknya kurang baik, dikarenakan anaknya yang pertama tidak dapat menerima kondisi adiknya yang mengalami ADHD. Subjek juga tinggal terpisah dengan orang tuanya. Suami subjek dulu adalah seorang pensiunan tentara

(8)

subjek mengajak anaknya untuk bermain layang-layang. Pendidikan yang rendah membuat subjek kesulitan dalam mencari pekerjaan.

b) Riwayat Anak dan Usaha Yang Pernah Dilakukan

Sejak usia satu hingga usia lima tahun, T mengatakan bahwa anaknya sering mengalami kejang-kejang. Saat usia lima tahun, T pun merasa anaknya sangat bandel, tidak bisa diam, dan selalu memegang barang yang baginya menarik. T merasa mulai kewalahan, anaknya tidak bisa disuruh tidur dan masih tidak bisa berbicara secara jelas, hanya mampu mengucapkan beberapa penggalan-penggalan kata saja. T mulai khawatir akan kondisi si anak dan mengajaknya ke dokter anak, dan dokter mendiagnosa anaknya mengalami speech delay, si anak kemudian diberikan terapi-terapi untuk

mengatasi speech delay nya, si anak disuruh untuk berteriak-teriak dan loncat-loncat.

(9)

membahayakan. Ibu T mengira anaknya berperilaku seperti itu karena ada yang diinginkan oleh si anak (mainan atau makanan) namun tidak mengatakannya sehingga jadi

“bandel”, namun ketika ibu mencoba untuk memenuhi keinginan si anak, perilakunya tidak berubah, tetap “bandel”. Si anak pernah mengikuti tes yang diselenggarakan oleh sekolahnya, tes yang dilakukan oleh psikolog untuk mendiagnosa anak-anak di SLBN Cirebon saat itu, dan dinyatakan bahwa J, anaknya, mengalami hiperaktif. Namun ibu T tidak pernah membawa anaknya untuk terapi hiperaktif karena keterbatasan biaya.

c) Dukungan Dari Orang Lain dan Dampak Terhadap Hubungan Sosial

T tidak pernah membayangkan bahwa anaknya yang kedua ternyata mengalami gangguan ADHD, kurangnya pengalaman dan informasi yang membuatnya cukup kesulitan pada awalnya. Di sisi lain sekarang T adalah seorang single parent. Hal tersebut yang terkadang membuatnya merasa bebannya bertambah karena tidak adanya dukungan dari pasangannya.

(10)

Awalnya anaknya yang pertama sering mengontak T untuk menemuinya di Bogor, namun semakin lama anaknya semakin tidak bisa dikontak, handphone nya sering tidak aktif.

Apabila T sedang tidak mencari rongsok, T mengaku cukup sering pergi ke rumah orang tuanya setelah anaknya selesai mengaji. T merasa orang tua, kakak dan adik-adiknya mendukung T ketika mengetahui T memiliki anak dengan gangguan. Ketika T berlaku kasar terhadap anaknya karena kesal, pasti keluarganya menasehati T untuk tidak melakukan hal tersebut lagi, menyadarkan T bahwa memang anaknya begitu dan harus diterima karena itu pemberian Tuhan.

Tidak dipungkiri pihak keluarga pasti pernah kesal dan menyalahkan T karena memiliki anak seperti J, namun mereka tetap mendukung apapun keadaannya. T merasa bersyukur karena memiliki keluarga yang mendukung dirinya, sehingga T tidak merasa patah semangat, justru mereka menjadi alasan T untuk tetap kuat dan menjaga anaknya dengan baik.

Tidak adanya dukungan dari lingkungannya (tetangga) juga awalnya menjadi beban pikiran tersendiri baginya, orang-orang di lingkungannya kerap mencemooh

(11)

menyebabkan anaknya tumbuh dengan kondisi demikian, namun semakin kesini T tidak mempedulikan kata-kata mereka. J juga jarang bermain dengan anak tetangga yang lain, dikarenakan kurangnya kepedulian dari tetangga.

T mengaku lebih sering “sendiri” dan menghabiskan

waktu di luar rumah. Sejak pagi T sudah mengantar dan menemani anaknya hingga siang, kemudian pulang lalu pergi mengaji, kemudian ia menghabiskan waktu dengan mencari rongsok atau pergi ke rumah orang tuanya, malam hari barulah ia pulang ke rumah, sehingga waktu untuk bertemu dengan tetangga cenderung minim. T pun mengaku tidak dekat dengan tetangga yang manapun, dapat dikatakan juga T tidak pernah bercerita kepada tetangganya mengenai permasalahan anaknya.

Hubungan T justru lebih dekat dengan ibu-ibu yang ada di sekolah J yang sudah dianggap seperti teman baik. Apabila T sedang memiliki beban pikiran, T lebih sering bercerita kepada teman-temannya itu, berkeluh kesah mengenai kondisi si anak dan kondisi ekonominya serta meminta pendapat untuk meringankan bebannya. T mengaku bersyukur karena mereka semua mendukung dan justru saling menguatkan, mengingatkan bahwa anak mereka adalah titipan Tuhan bagaimanapun kondisinya, sehingga T

tidak merasa anaknya “berbeda”. T merasa cukup dikuatkan

(12)

kondisi kehidupannya saat ini. T juga mengaku mendapatkan bantuan dari teman-temannya, contohnya ketika T diberikan sepeda agar tidak lagi jalan kaki apabila ingin mengantar anaknya ke sekolah, J juga seringkali diberikan jajan karena kondisi T yang tidak mempunyai uang untuk membelikan anaknya jajanan. Di sekolah juga J memiliki banyak teman dan sering bermain saat jam istirahat sekolah.

d) Primary Appraisal

T awalnya tidak menyangka bahwa perkembangan J, anaknya, tidak sama dengan kakaknya dan anak-anak yang lain. Awalnya T merasa takut apabila J akan memiliki kondisi seperti sekarang ini sampai dewasa nanti, namun dibalik ketakutannya, T pun berharap bahwa J dapat membawa keberkahan baginya dan keluarganya. T juga berharap anaknya dapat menjadi anak yang pintar seperti pada umumnya orang tua berharap kepada anak-anaknya, T mengharapkan yang terbaik bagi anaknya.

Di sisi lain T termasuk orang yang taat beragama, T menjalankan ibadah shalat bersama anaknya, ia pun

mengikutkan anaknya ke “sekolah ngaji” di masjid dekat

(13)

diajarkan untuk sepenuhnya berserah kepada Tuhan, oleh karena itu T menerima J apapun kondisinya.

Ketika J didiagnosa hiperaktif, awalnya T mengaku merasa minder. Menurutnya kondisi anaknya saat lahir sangat sehat, sekalipun terlahir prematur, namun T tidak menyangka anaknya akan mengalami tumbuh kembang yang seperti ini. T sering mengintropeksi perlakuan yang pernah dilakukan oleh dirinya dan suami yang sekiranya bisa menyakiti orang lain dan menyebabkan anaknya seperti ini. Namun T mengatakan bahwa dirinya sangat menerima J, menurut T kalau dirinya tidak menerima si anak lalu siapa lagi yang akan menerima

e) Secondary Appraisal

Perasaan T sangat sulit untuk dideskripsikan, T sedih, kecewa, marah terhadap keadaannya sendiri, dimana T harus mengurus suaminya yang sakit dan anak yang hiperaktif hingga pada akhirnya suaminya meninggal dan T harus menjadi tulang punggung keluarga demi mengurus J. Namun T tetap pantang menyerah dan semangat menghadapinya, T berusaha jangan sampai ia sakit dan “tidak ada”, sehingga ia harus tetap semangat menjalani kehidupannya dengan kondisi yang sebenarnya tidak ia harapkan, namun T tetap menjalani dan menerimanya dengan ikhlas.

(14)

kepada siapa sehingga T hanya bisa menerima kondisi kehidupannya dengan ikhlas, dan berharap anaknya bisa membawa berkah bagi keluarganya. Melihat kondisi anaknya yang seperti ini, lalu perekonomiannya yang terkadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari membuat T sangat stres menghadapinya. Namun T merasa sangat yakin bahwa ia mampu menghadapi dan menjalani kestresan dan kesusahannya, T pun merasa bahwa anaknya adalah sebagai pengobat bagi dirinya. T mengaku walaupun anaknya tumbuh dengan kondisi yang seperti ini namun J tetap bisa menjadi pengobat hati bagi T, karena T tidak bisa membayangkan apabila ia tidak memiliki J, di satu sisi anaknya yang pertama sudah pergi meninggalkannya.

(15)

teman-temannya dirasa dapat membuat T tertawa lagi dan melupakan beban pikirannya (humor).

T selalu memiliki cara untuk menghadapi stressornya, sehingga T memiliki kepercayaan diri lebih untuk dapat mengatasi stressornya, namun tindakan cara-cara yang T lakukan terkadang tidak didukung dengan materi yang dimiliki, contohnya saja apabila T ingin menghubungi teman-temannya namun tidak memiliki cukup pulsa, biasanya T hanya bisa miscall teman-temannya dan berharap mereka dapat menghubungi kembali. Selain itu apabila ia tidak memiliki pulsa yang cukup, biasanya T mengajak anaknya untuk ke depan melihat burung.

T juga merasa tidak semua lingkungan sosialnya mendukung, T mengaku tetangganya tidak dapat mendukung dirinya dikala susah sehingga lebih banyak menjaga jarak, beruntungnya T memiliki teman-teman yang dapat mendukung dirinya baik secara emosional maupun finansial. T mengaku teman-temannya dapat diandalkan ketika T memiliki masalah entah masalah anak maupun perekonomian, dan hal ini membuat T merasa lebih mampu menghadapi stressornya. Contohnya jika T sedang merasa stres, teman-temannya biasa mengundang T untuk hadir ke rumah mereka lalu diajak makan berasama. Biasanya saat masih diperjalanan saja beban pikiran T sudah hilang karena

(16)

sehingga T tidak jadi hadir. Melihat orang tidak mampu yang tinggal di pinggir jalan juga membuat T merasa sangat bersyukur karena masih memiliki tempat tinggal sekalipun dengan kondisi kehidupan yang begini, karena hal itu akhirnya T bersemangat lagi untuk menjalani hidup bersama anaknya. T mengaku bahwa dengan mengajak anaknya jalan-jalan dapat membuat dirinya merasa tentram, dan mampu mengurangi stress yang dimilikinya.

Menurut T, stressornya tidak hanya berasal dari si anak, namun dari hal lain seperti halnya perekonomian. T merasa pendapatannya melalui mencari dan menjual barang rongsok tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari , T tidak mampu membeli beras, tidak bisa membelikan jajan untuk anaknya , yang pada akhirnya ia terpaksa meminta sekaleng beras ke orang tuanya. Stressor lainnya adalah ketika si anak melihat teman-temannya memiliki mainan baru, contohnya sepatu roda, pasti J juga minta dibelikan sepatu roda. Ketidakmampuan T memenuhi keinginan si anak menjadi salah satu stressor tersendiri bagi dirinya, karena menurut T apabila anaknya tidak mendapatkan yang diinginkannya, pasti anaknya mengalami demam tinggi hingga kejang. Untuk menghindari hal tersebut, apabila di lingkungan tempat tinggal T sedang ada

“musim” sebuah mainan, T menjauhkan anaknya dari hal itu

(17)

f) Reappraisal

Setelah melakukan primary dan secondary appraisal, subjek T mengakumulasi semua informasi yang T dapat dari kedua penilaian tersebut, mengenai seberapa mengancam stressor yang harus dihadapi, keyakinan yang dimiliki T

dalam menghadapi stressor untuk jangka panjang, kemudian sumber-sumber yang dimiliki T seperti waktu, tenaga, dukungan sosial, problem solving skill, dan kurangnya materi yang dimiliki. T juga memikirkan pilihan-pilihan coping yang biasa dilakukan selama ini untuk mengurangi stres yang dimiliki seperti memarahi anak, tidur, pergi jalan-jalan. Hal ini yang akhirnya akan menentukan final appraisal yang akan dilakukan oleh T.

g) Final Appraisal

(18)

sehingga T merasa ia bisa mengurangi stres dengan bermain bersama anaknya sekaligus mencari penghasilan tambahan.

Selain itu T sudah mencoba melakukan berbagai coping stress, dan T juga mencari coping yang lain seperti

memasak bersama anaknya, karena anaknya memiliki hobi makan maka T merasa anaknya pun bisa diajak masak bersama, dan hal tersebut dianggapnya mampu untuk menghilangkan beban pikiran. T merasa strategi-strategi coping yang dilakukannya dirasa mampu untuk menghilangkan stresnya, namun belum efektif karena stres yang dimiliki T bisa timbul lagi. T menceritakan bahwa ia pernah mencoba beberapa strategi coping yang dirasa cukup mampu meminimalisir stresnya, namun ketika T sedang kelelahan atau kesal, T bisa memukul anaknya lagi. T merasa stresnya bisa muncul kembali apabila dirinya tidak dapat mengontrol diri, oleh karena itu T memutuskan untuk tidak memikirkan keadaannya yang seperti sekarang ini, T cukup hanya menerimanya saja.

(19)

lainnya adalah ketika si anak melihat teman-temannya memiliki mainan baru, contohnya sepatu roda, pasti J juga minta dibelikan sepatu roda. Ketidakmampuan T memenuhi keinginan si anak menjadi salah satu stressor tersendiri bagi dirinya, karena menurut T apabila anaknya tidak mendapatkan yang diinginkannya, pasti anaknya mengalami demam tinggi hingga kejang. Untuk menghindari hal tersebut, apabila di lingkungan tempat tinggal T sedang ada

“musim” sebuah mainan, T menjauhkan anaknya dari hal itu

agar tidak terulang lagi. 3) Hasil Triangulasi

T adalah orang yang kuat, suka mengobrol dengan teman-temannya, saling sharing, dan suka bercanda. T adalah seorang ibu yang bekerja keras demi mengatasi permasalahannya, seorang yang tetap menerima dengan pasrah atas kondisi anaknya, dan seorang yang tidak mudah menyerah terhadap tantangan hidup. Hubungannya dengan teman-temannya bisa dikatakan sangat baik, sosok seorang anak yang dekat dengan orang tua dan saudara-saudaranya, sekalipun saudara-saudaranya kurang dapat membantu namun mereka tetap berhubungan baik.

(20)

anak sakit dan butuh makan, sedangkan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga harus bergantung pada bantuan orang lain.

Usaha-usaha yang dilakukan T adalah terus bekerja dan mendampingi anaknya, bercerita kepada teman-teman dan meminta pendapat mereka, usaha-usaha dan dukungan dari orang terdekatlah yang dapat membuat T tetap tegar menghadapi stressor-stressor yang ada.

4) Analisis Kasus Subjek 1

Subjek pertama dalam penelitian ini adalah T, seorang single parent berusia 44 tahun yang memiliki dua orang anak

dengan suami yang berbeda. Anak yang pertama adalah K, anak kedua yang mengalami hiperaktif adalah J berusia 9 tahun. Hubungannya dengan J dekat, karena sekarang mereka hanya tinggal berdua. Suaminya sudah meninggal beberapa tahun lalu, dan anaknya yang pertama pergi ke Bogor untuk melanjutkan hidup, T juga tinggal terpisah dengan orang tua dan saudara-saudaranya.

(21)

dengan orang-orang. J sudah pernah diterapi untuk speech delaynya, ada perubahan namun tidak signifikan, T pun

menyekolahkan J di SLBN kota Cirebon. Karena keterbatasan biaya, terapinya pun hanya berjalan satu tahun kemudian diberhentikan.

(22)

lingkungan rumah J jarang bermain dengan anak tetangga di sekitarnya berbeda halnya dengan di lingkungan sekolah, dimana J lebih sering bermain dengan teman-teman sekolahnya saat jam istirahat.

Penilaian subjek T terhadap stressor bisa dikatakan positif, pada awalnya T merasa minder saat mengetahui

anaknya “berbeda” apalagi ini adalah pengalaman pertamanya,

namun T tetap berharap anaknya akan menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu (wishful thinking) maka dari itu T tetap mengajak J melakukan kegiatan-kegiatan seperti anak normal pada umumnya, J diajari sholat, sekolah mengaji, bermain, memasak dan lainnya. Selama ini subjek T memang mengalami stres yang berat dan T tidak tahu kapan akan stres ini akan selesai, keyakinan yang dimiliki membuatnya begitu kuat, pasrah dan menerima kondisi anaknya dengan ikhlas sepenuhnya, hal ini dilandaskan atas pemikiran T bahwa kalau bukan subjek sendiri yang menerima anaknya lalu siapa lagi, maka seiring berjalannya waktu T akhirnya dapat menerima anaknya secara utuh.

(23)

problema kehidupan, T mengatakan bahwa entah bagaimanapun caranya dirinya harus tetap bertahan demi anaknya. Dengan melihat J yang dimilikinya sekarang, ia merasa yakin mampu menghadapi stressor-stressor yang ada dan menjalani kehidupan dengan ikhlas, karena melihat anaknya dapat mengobati hatinya, dan jika tanpa anak T merasa keadaannya akan semakin lebih buruk.

Saat mengetahui anaknya mengalami gangguan hiperaktif, T sempat menyalahkan dirinya dan/atau suaminya, T berpikir bahwa mungkin ada kesalahan yang pernah dirinya lakukan di masa lalu yang menyebabkan anaknya demikian (self-critism), namun lama kelamaan pemikiran itu hilang. Untuk mengurangi stres yang dialaminya, T sering mengajak anaknya ke lapangan untuk melihat balapan burung (distraction), kemudian jika sudah kelelahan T dan anaknya akan pulang dan tidur. Hal ini T lakukan agar dirinya bisa sejenak melupakan beban pikiran yang ada. Selain itu T juga mencoba strategi coping yang lain, T akan menghubungi teman-temannya lewat handphone atau bertemu langsung disekolah untuk bercerita mengenai permasalahan dan meminta pendapat mereka (assistance seeking), atau bercerita hal-hal yang menarik yang membuat subjek T tertawa sehingga bebannya dapat hilang untuk sementara (humor).

(24)

tidak dapat mendukung untuk beberapa strategi dilakukan seperti menghubungi teman-temannya atau membelikan yang anaknya inginkan.

Adanya stressor lain juga menghambat keinginan untuk melakukan strategi coping yang lain. Stressor lainnya adalah masalah ekonomi. Permasalahan ini sudah cukup lama dialami oleh T, terutama sejak suaminya sakit, T harus menjadi tulang punggung keluarga. Pekerjaannya sebagai penjual rongsok tidak dapat menutup pengeluaran untuk kebutuhan sehari-harinya, untuk makan pun T mengaku kesulitan, jika tidak memiliki beras dirinya pasti ke rumah orang tuanya untuk meminta sekaleng beras, hanya untuk dirinya dan anaknya. T mengaku penjualan barang rongsok tidak semudah mengumpulkan sehari lalu dijual, T harus menunggu beberapa hari baru kemudian bisa dijual, yang pendapatannya pun tidak seberapa. Contoh lain ketika anaknya menginginkan suatu barang yang dimiliki teman-temannya, terkadang karena harganya begitu mahal T tidak mampu membelikannya, yang menyebabkan anaknya jatuh sakit. Beruntungnya, di sekolah ada teman-teman yang membantunya memberikan sejumlah uang yang bisa T gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Alasan yang membuat T memilih beberapa strategi coping diatas adalah karena dengan melakukan itu semua,

(25)

dimilikinya. Strategi-strategi coping diatas yang biasa dilakukan oleh T menjadi salah satu alasan subjek T akan menggunakan strategi-strategi tersebut lagi untuk kedepannya. T merasa bersyukur karena orang-orang disekelilingnya mendukung strategi coping yang T lakukan, contohnya T suka jalan-jalan karena dengan berjalan-jalan dirinya menemukan hal-hal yang membuat bebannya hilang, dan teman-temannya kerap mengundang T dan anaknya ke rumah mereka untuk makan bersama. Dukungan yang datang kepada T adalah salah satu faktor yang mempengaruhi keputusannya dalam menentukan strategi coping yang akan digunakan.

(26)

5) Intensitas Tema

Tabel 4.3

Intensitas Tema Subjek I

Tema Koding Intensitas

Stressor hal yang baru SB +++

Prediksi terhadap stressor PS ++

Pengaruh kepercayaan KM +++

Penerimaan terhadap stressor PTS +++

Perasaan negatif PN +++

Emotion focused coping EFC +++

Problem focused coping PFC +++

Sumber materi, tenaga, waktu, problem solving skill, social skill, dukunga sosial mendukung

MTW +

Stressor lain SL +++

Komitmen/keyakinan menghadapi stressor

KS ++

Faktor pendukung penentuan coping (materi, tenaga, waktu)

FP ++

Dukungan sosial DS +++

Faktor kepribadian FK +

Pergantian coping PC ++

Efektivitas strategi coping EC ++

Keterangan:

(27)

80 Skema 3. Dinamika Coping Stress T

+

1. Stressor adalah hal yang

baru mendukung tindakan coping, materi kurang mendukung. 4. Memiliki sumber problem

solving skill, social skill, dan social support yang mendukung 5. Emotion focused coping:

distraction, positive reappraisal, emotional discharge, resigned acceptance, increased activity, praying, wishful thinking, self critism, seeking meaning

6. Problem focused coping: planfull problem solving, direct action, assistance seeking

Reappraisal New Appraisal

Final Appraisal

Adanya penyusunan dan pergantian strategi coping yang lain  mengajak anak bermain layangan, memasak (distraction) dan tidak memikirkan kondisi diri sendiri (denial)

Faktor Internal

-Coping yang biasa dilakukan

 memukul anak, memarahi,

tidur, bercerita pada teman, pergi menonton balap burung, jalan-jalan, pergi kerumah

teman, meminta bantuan

keluarga

-Memiliki kepribadian yang terbuka

Faktor Eksternal

-Adanya materi, tenaga, dan waktu yang mempengaruhi

pemilihan strategi coping

yang baru

-adanya dukungan dari

keluarga dan teman-teman - Stressor lain: permasalahan ekonomi, anak yang pertama tidak bisa dikontak, suami meninggal

Tidak

(28)

a. Identitas

Nama : ER Umur : 45 tahun

Alamat :Kampung Pentul Tinjomoyo, Banyumanik, Semarang

Pendidikan : S2

Pekerjaan : Dosen dan ibu rumah tangga Nama anak : A (dipanggil I)

Umur : 9 tahun Kelas : 2 SD

Sekolah : Sekolah inklusi Anak ke 1 dari 2 bersaudara

b. Hasil Observasi dan Wawancara 1) Hasil Observasi

(29)

Subjek terlihat mengenakan pakaian berkerah berwarna coklat, celana berwarna krem dan bersepatu. Subjek memiliki postur tubuh yang agak kurus, tidak terlalu tinggi dan rambut yang panjangnya hanya seleher. Selama proses wawancara subjek dapat menjawab pertanyaan dengan baik, dengan memberikan penjelasan yang cukup panjang dan terkadang disertai contoh, subjek dapat memberikan jawaban yang cukup tegas dan cepat. Pada pukul 10.30 peneliti pamit untuk pulang, karena subjek pun harus kembali mengajar.

(30)

2) Hasil wawancara a) Demografi

Subjek ER adalah seorang ibu, istri sekaligus pekerja. ER berumur 45 tahun, bekerja sebagai dosen di salah satu universitas swasta di Semarang, selain itu subjek juga menjadi seorang ibu dari dua orang anak yang bernama I dan T. I berumur 9 tahun sedangkan T berumur 5 tahun, I adalah anak perempuan pertama yang mengalami ADHD sedangkan anaknya yang kedua, laki-laki, mengalami speech delay. Kesehariannya, ER mengajar sebagai dosen sejak pagi sampai sore, kemudian pulang ke rumah untuk mengurusi anak-anak dan suaminya.

ER beruntung memiliki seorang suami yang mendukungnya setiap hari, bisa dikatakan ER dan suaminya memiliki hubungan yang harmonis dan saling mendukung. Suaminya bekerja sebagai penerjemah yang membuka usahanya di rumah mereka. Suaminya membuka usahanya di rumah dengan tujuan agar dapat menjaga anak-anaknya terutama saat ER sedang bekerja karena mereka tidak memiliki pengasuh anak.

(31)

mengenai permasalahan anak-anaknya, ER kerap meminta pendapat kepada teman-temannya. Terhadap tetangganya, ER kurang bisa terbuka karena merasa mereka belum tentu mengerti apa yang dihadapi oleh ER.

b) Riwayat Anak dan Usaha yang Telah Dilakukan

ER menceritakan awalnya I belum bisa berbicara pada umur dua tahun, kemudian ketika ada rekan kerja yang menanyakan mengenai kondisi I, ER pun menceritakannya dan dianjurkan untuk segera diperiksakan. ER pun merasa anaknya masih baik-baik saja karena ER berpikir mungkin sebentar lagi anaknya bisa berbicara. Namun tidak ada hasil apapun, dan sejak itu ER menyadari bahwa anaknya mengalami speech delay lalu ER segera mengajak anaknya untuk terapi bicara sejak umur dua tahun, banyak terapi yang sudah dilakukan yang akhirnya membuahkan hasil, namun permasalahan lain pun muncul dalam waktu yang singkat. Banyaknya pengalaman yang ER dapatkan dari klien-kliennya yang mengalami ADHD, dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh anaknya, membuat ER menyimpulkan bahwa anaknya pun mengalami ADHD.

(32)

mengalami speech delay karena mereka tidak bisa konsentrasi memperhatikan orang lain berbicara, sehingga kurang mampu menirukan dan menerapkannya, dan itulah yang dialami oleh I. Banyak usaha yang dilakukan oleh ER terhadap I, mulai dari obat-obatan dari dokter, terapi oksigen di dalam tabung (hyperboric), terapi pijat sampai sekarang melakukan fisioterapi di Talitakum, dan semua usaha tersebut sedikit demi sedikit membuahkan hasil seiring berjalannya waktu.

c) Dukungan Dari Orang Lain dan Dampak Terhadap Hubungan Sosial

(33)

emosi, contohnya ketika ER emosi saat mengajari I, suaminya menyuruh untuk disudahi saja belajarnya dari pada menimbulkan kemarahan yang lebih besar lagi.

Tidak hanya suami, anaknya yang kedua pun seringkali meminta ibunya untuk bersabar apabila ibunya sudah mulai marah karena kondisi I, ER merasa beruntung memiliki T karena ia berharap bahwa T dapat menjaga kakaknya saat tidak ada orang. Seringkali ER meminta T untuk menjaga dan melindungi si kakak. Hal-hal tersebut yang membuat ER sadar bahwa keluarga kecilnya mendukung dirinya untuk menghadapi I dalam situasi apapun.

(34)

kurang sosialisasi karena ER tidak memperbolehkan I bermain sendirian di luar rumah.

Tetangganya pun tidak mengetahui kondisi I yang sebenarnya, ER merasa tidak perlu menjelaskan mengenai kondisi I karena mereka orang awam yang belum tentu mengerti apabila dijelaskan, ER mengajak anaknya keluar apabila ada undangan pernikahan tetangga atau acara PKK, sehingga dapat dikatakan bahwa ER memiliki hubungan yang kurang dekat dengan para tetangganya.

Hal ini pun ER alami dalam hubungannya dengan kedua orang tuanya terutama almarhum ayahnya. Dulu sebelum ayahnya meninggal, ayah ER adalah seorang akademisi, sehingga apabila ayahnya bertemu dengan I seringkali ditanya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan akademis, namun I tidak dapat menjawab sehingga ayahnya men-cap bahwa I “kurang” dan karena sikap ayahnya itulah yang membuat ER sakit hati. Di sisi lain, I juga sering dibandingkan dengan sepupu-sepupunya yang

dianggap “lebih pintar”, hal itulah yang membuat ER

(35)

Hubungan ER dengan guru-guru di sekolah I yang seringkali membuat ER stres. ER merasa sekolah I sekarang adalah sekolah inklusi namun para tenaga pendidiknya tidak dapat menangani anak ABK, dan cenderung sering komplain terhadap ER. Di sisi lain, shadow teacher yang digunakan oleh ER pun kurang dapat

mengenali karakteristik anaknya, mungkin hal itu dipicu oleh shadow teacher yang bukan berasal dari mahasiswa fakultas psikologi, sehingga membuat shadow teacher kurang dapat mengenali kebiasaan dan kepribadian anaknya.

Hubungan ER dengan teman-teman kerjanya dapat dikatakan sangat baik, ER mengaku bahwa teman-temannya mengetahui kondisi I sejak bayi, mulai dari masuk ICU dua kali hingga mengetahui bahwa ER tidak lagi dapat meneruskan pekerjaannya di tempat lain dikarenakan kondisi anaknya yang membutuhkan perhatian lebih. Teman-teman ER pun sering membantu ER, mulai dari mendengarkan keluh kesah ER, sampai merekomendasikan tempat terapi dan sekolah bagi I. ER pun merasa teman-temannya selalu mendukung ER dalam menghadapi anaknya.

d) Primary Appraisal

(36)

oleh guru di sekolah terhadap ER bahwa mereka tidak dapat menangani I sehingga membutuhkan shadow teacher. Beban pikiran yang ditambah dari tempat ER

bekerja, dan stressor dari anaknya sendiri terutama ketika diajari sesuatu yang membuat ER merasa emosi, karena ER susah menebak kapan mood I sedang bagus untuk belajar dan tidak. Sulitnya mengatur dan mengajari anaknya tidak membuat ER memandang pesimis terhadap masa depan si anak.

ER sudah membuat rencana-rencana kedepan bagi si anak terutama dalam bidang akademis, dan ER merasa percaya bahwa anaknya dapat menjadi lebih baik kedepannya, ER melihat rekan kerjanya yang memiliki anak dengan gangguan yang sama dan bisa menikah setelah dewasa, hal itu yang memicu ER untuk merasa optimis terhadap si anak dan terus membuat anaknya jauh lebih baik lagi.

(37)

tubuhnya tidak memiliki energi sehingga I banyak diam dan menuruti ER saja.

Sebagai seorang yang memiliki ketaatan dalam beragama, ER juga seringkali mengikuti pengajian, seringkali isi dari pengajian yang diikuti dapat menguatkan diri ER. Pernah suatu saat dikatakan di dalam pengajian

tersebut bahwa “tidak masalah jika ibu memiliki anak yang bermasalah, tidak usah khawatir karena itu adalah titipan dari Tuhan dan pasti ada sesuatu yang bisa dipetik”, hal tersebut yang selalu menguatkan ER dan menjadikannya harus kuat dalam menghadapi anaknya.

ER perlahan-lahan menyadari bahwa apabila ia memiliki anak yang normal, pastilah dirinya menjadi ambisius untuk meneruskan S3 dan tidak akan mengurus pekerjaan rumah, pastinya ER akan lebih memiliki karir daripada urusan rumah tangganya. Hal tersebut tentunya mempengaruhi penerimaannya terhadap si anak, karena kurangnya kesiapan mental setelah menikah dan memiliki anak yang mengalami gangguan membuat ER merasa sangat stres dan kurangnya pengontrolan emosi.

(38)

lontarkan kepada anaknya apabila sudah sangat kesal. ER pun mengaku bahwa dirinya baru dapat menerima si anak setahun terakhir ini berkat dukungan dari orang-orang terdekat pastinya yang selalu menguatkan ER.

e) Secondary Appraisal

Terjadinya perubahan dalam hidup sejak I didiagnosa mengalami gangguan beberapa tahun lalu membuat ER mengalami stres yang cukup tinggi, tidak hanya menjadi seorang istri dan pekerja, I juga harus menjadi ibu dan pengajar bagi anak-anaknya. Tingkat stres yang dimunculkan dari berbagai stressor tentunya mempengaruhi psikologis ER secara pribadi. ER sering mengalami kemarahan dan kekesalan dalam dirinya terutama saat mengajari I, akhirnya ia luapkan dengan mengurung I di dalam kamar, namun suaminya selalu menasehati dan menenangkan dirinya. Stres tersebut pun muncul lagi setiap kali fase berulang kali terjadi, dan apabila ER mengingat ingat akan dirinya yang memiliki anak seperti I pasti pikiran negatif muncul lagi dalam dirinya.

ER pun merasa yakin bahwa dirinya mampu mengatasi stressor yang ada, selama masih ada biaya I pasti

dapat “sembuh” karena I akan membutuhkan terapi dengan

(39)

yang ditakutkan adalah apabila ER meninggal lebih dulu, dan suaminya tidak memiliki latar belakang psikologi sedangkan si anak membutuhkan perlakuan khusus sampai besar nanti.

Dalam kesehariannya ER memiliki ketrampilan memecahkan masalah yang baik, untuk mengatasi stres yang dialami tidak jarang ER menjadi galak terhadap anaknya (emotional discharge), ER pun selalu berkata kepada I “sebetulnya kamu tuh bisa hanya kamu tidak konsentrasi” untuk meredam stresnya (wishful thinking), sampai akhirnya ER menurunkan targetnya terhadap si anak karena menurut ER memiliki target yang tinggi terhadap si anak membuat dirinya semakin stres (resigned acceptance). Stres yang dialami ER karena guru di skolah

I pun perlahan menurun karena ER lebih memilih untuk tidak mempedulikan apa yang dikatakan oleh guru-guru di sekolah I (hiding feelings), untuk mengatasi rasa stres yang dialami ER karena permasalahan akademis anaknya pun tidak jarang ER meminta pendapat dari teman-teman seprofesinya atau dari ibunya sendiri mengenai tempat sekolah yang baik untuk anaknya atau sekedar meminta pendapat bagaimana cara mengatasi si anak (assistance seeking).

(40)

menyiram tanaman sambil mengajak I yang menurut ER hal tersebut cukup mampu meredakan stresnya (distraction), dan ER mengaku karena memiliki kepercayaan dan mengikuti aktivitas-aktivitas keagamaan sekarang dirinya lebih bisa menerima anaknya serta berpikir bahwa anaknya adalah titipan Tuhan yang suatu saat nanti dapat berperilaku seperti anak pada umumnya (resigned acceptance), dan ER menganggap bahwa apabila anaknya tidak berkebutuhan khusus mungkin dirinya akan menjadi ambisius, maka dari itu Tuhan memberikan ER anak yang seperti I (positive reappraisal).

(41)

Dalam kehidupannya, masalah saat menghadapi anak bukanlah satu-satunya stressor bagi ER. Stressor lain yang menjadi beban pikirannya adalah pekerjaan di tempatnya bekerja yang menumpuk dan seringkali ia bawa pulang kerumah, padahal di rumah pun ia harus mengurus keperluan anak-anak dan suaminya, hal tersebut menyebabkan pekerjaan rumah tangga yang lain menjadi terbengkalai. Stressor lain adalah mengenai kelanjutan studi yang seharusnya bisa ER ambil namun memiliki anak dengan kebutuhan khusus justru menghambat karirnya dan membuat ER stres. Hal lainnya adalah apabila guru di sekolah I sudah bercerita atau mengeluh yang macam-macam terhadap ER, secara tidak langsung hal tersebut menambah beban pikiran ER karena hal tersebut bukan hal yang jarang terjadi, yang pada akhirnya membuat ER mengalami stres.

f) Reappraisal

(42)

pilihan-pilihan coping yang biasa dilakukan selama ini untuk mengurangi stres yang dimiliki seperti memarahi dan manyalahkan anak, tidur, bercerita pada teman. Hal ini yang akhirnya akan menentukan final appraisal yang akan dilakukan oleh ER.

g) Final Appraisal

Selama menghadapi anaknya pun ER sudah melakukan pergantian coping, saat dulu anaknya masih kecil ER lebih banyak menggunakan emosi, sering marah-marah terhadap anaknya sampai menghukum anaknya di dalam kamar, dan lebih sering mencari jalan keluar melalui pusat terapi namun semakin kesini ER sudah lebih bisa menerima kondisi si anak dan lebih tidak peduli terhadap perkataan orang lain tentang si anak.

(43)

juga yang membuat dirinya sadar bahwa tidak semua hal dapat dipaksakan sesuai dengan harapannya, hal tersebut yang menjadi salah satu faktor utama menurunnya tingkat stres yang dialami ER.

Stressor lain pun cukup mempengaruhi strategi yang

dipilih, dan masalah saat menghadapi anak bukanlah satu-satunya stressor bagi ER. Stressor lain yang menjadi beban pikirannya adalah pekerjaan di tempatnya bekerja yang menumpuk dan seringkali ia bawa pulang kerumah, padahal di rumah pun ia harus mengurus keperluan anak-anak dan suaminya, hal tersebut menyebabkan pekerjaan rumah tangga yang lain menjadi terbengkalai. Stressor lain adalah mengenai kelanjutan studi yang seharusnya bisa ER ambil namun memiliki anak dengan kebutuhan khusus justru menghambat karirnya dan membuat ER stres. Hal lainnya adalah apabila guru di sekolah I sudah bercerita atau mengeluh yang macam-macam terhadap ER, secara tidak langsung hal tersebut menambah beban pikiran ER karena hal tersebut bukan hal yang jarang terjadi, yang pada akhirnya membuat ER mengalami stres.

(44)

3) Hasil Triangulasi

Subjek ER adalah seorang istri dan ibu yang bertanggung jawab terhadap segala kewajibannya, ER tetap mau mengurus anaknya sekalipun tugas pekerjaannya sangat banyak. ER dibantu suaminya seringkali bahu membahu dalam melakukan pekerjaan seperti urusan rumah tangga dan urusan anak. Suaminya mengaku bahwa tidak ada pengelompokkan pekerjaan diantara mereka, sehingga pengerjaan hal-hal yang berkaitan dengan urusan rumah dan anak cenderung dikerjakan secara fleksibel.

Suami ER mengatakan bahwa memang ER cenderung mudah marah dan tugasnya sebagai suami hanya bisa menenangkan emosinya. Emosi mudah naik dikarenakan ekspektasi ER terhadap I tidak sesuai yang diinginkannya, di sisi lain dalam urusan belajar ER seringkali mengalami emosi apabila I mudah lupa akan apa yang sudah dipelajarinya. Sekalipun demikian, suaminya mengaku banyak perhatian yang diberikan oleh ER terhadap I dibandingkan perhatian yang diberikan oleh dirinya.

(45)

beberapa menit kemudian I sudah lupa dengan apa yang dipelajarinya barusan, dan hal ini yang cenderung seringkali menjadi beban pikiran ER. Untuk mengatasi stresnya, ER seringkali melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan stressornya, seperti mengurusi tanamannya atau tidur, dan suaminya merasa sama sekali tidak keberatan dengan coping yang digunakan oleh ER karena dirinya tahu bahwa itu adalah salah satu cara untuk menenangkan ER.

4) Analisis Kasus Subjek II

(46)

ER adalah seorang istri, ibu sekaligus pekerja yang tidak mudah menyerah, banyaknya pekerjaan di tempatnya bekerja tidak membuat dirinya lalai akan tugasnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya, terutama dalam mengusahakan perawatan I selama ini. Sembilan tahun lalu I lahir dengan prematur, dan di umurnya yang kedua sudah mulai muncul gejala-gejala speech delay, ER mengira hanya speech delay biasa sehingga ER membawa I untuk terapi bicara, tidak selang lama I memunculkan gejala-gejala lain yang menunjukkan bahwa dirinya mengalami gangguan konsentrasi dan ADHD ringan, I tidak bisa diam dalam periode waktu yang sebentar, dirinya pun tidak menyukai hal-hal yang bersifat monoton, I lebih suka bermain mobil-mobilan atau masak-masakan dari pada menonton kartun.

(47)

namun dirinya merasa tidaklah baik apabila anaknya terus menerus minum obat, kemudian ER mengakalinya dengan membawa I melakukan terapi oksigen (hyperboric) namun lagi-lagi usahanya tidak membuahkan hasil, sampai akhirnya ia membawa anaknya untuk melakukan fisioterapi sampai dengan sekarang.

ER menyekolahkan anaknya I di sekolah yang sekarang karena menurutnya sekolah tersebut adalah sekolah inklusi dan lagi disana tidak ada aturan harus duduk dikelas serta tidak adanya PR yang diberikan kepada siswa-siswinya. Sekolah tersebut sejak anak duduk dikelas satu sampai empat hanya berfokus pada pengembangan softskill dan moral, barulah di kelas lima dan enam berfokus pada akademisnya. Hal-hal tersebutlah yang mendorong ER untuk menyekolahkan anaknya disana.

Namun sekolah inklusi tersebut bukan berarti langsung memenuhi harapan ER, justru hal tersebut yang menjadi stressor lain bagi ER diluar urusan anak. Hubungan ER

(48)

Hubungan ER dengan para tetangga pun tidaklah baik, dikarenakan para tetangga di lingkungannya tidak mengerti kondisi anaknya. ER tidak memperbolehkan I untuk bermain di luar rumah karena I suka menghilang jika dibiarkan pergi, namun ER tidak melarang anak-anak lain untuk bermain ke rumahnya. Hal tersebut yang memicu para tetangga untuk menyuruh ER membiarkan anaknya pergi agar tidak menjadi anti sosial, padahal mereka tidak mengerti kondisi I, sehingga ER hanya membawa I ke acara-acara tertentu saja seperti undangan pernikahan atau perkumpulan ibu-ibu PKK.

(49)

Hubungan ER dengan anaknya yang kedua pun dapat dikatakan baik, ER seringkali meminta bantuan T (anaknya yang kedua) untuk menjaga kakaknya, dan T kerap menenangkan ER apabila dirinya sudah mulai emosi terhadap I. ER mengaku bahwa ia cukup berharap kepada T untuk dapat menjaga kakaknya apabila nanti ER atau suaminya tidak ada.

ER adalah seorang psikolog dimana melihat anak dengan gejala ADHD bukanlah suatu hal yang baru, namun memiliki anak dengan gejala-gejala ADHD menjadi stressor yang baru bagi ER. Susahnya menerima stressor yang baru menjadi beban tersendiri bagi ER, bukan dalam waktu yang singkat dirinya dapat menerima anaknya secara utuh. ER mengaku tidak memiliki kesiapan mental, karena setelah menikah langsung pisah rumah dengan orang tuanya, hanya sebulan mengurus suami lalu ER sudah mulai mengandung I, kemudian melahirkan dan mendapati anaknya lahir prematur dan mengalami gejala gangguan ADHD, hal tersebut yang membuat ER belum siap menerima kehadiran anaknya dengan kondisi demikian. Namun dengan berjalannya waktu, setaun terakhir ini ER mengaku sudah menerima I dengan sepenuhnya dan siap untuk menyiapkan segala kebutuhan bagi masa depan I.

(50)

mengikutkan I dalam kegiatan-kegiatan seperti anak pada umumnya, I juga diikutkan les mengaji dan Bahasa Arab. ER juga merencanakan I untuk sekolah sampai tingkat menengah atas dengan tujuan agar I nanti dapat bekerja ketika sudah dewasa.

Banyak hal yang membuat dirinya optimis akan masa depan I, pengalaman yang dimiliki rekan kerjanya yang juga memiliki anak seperti I menjadi motivasi tersendiri bagi ER, di sisi lain kegiatan keagamaan membuat dirinya semakin dikuatkan dan semakin dapat menerima kondisi I. ER adalah orang yang taat beragama, seringkali dirinya mengikuti pengajian di lingkungan rumahnya dan dari sanalah ia mendapatkan banyak pelajaran mengenai jalan hidup yang diberikan Tuhan, hal tersebut tentunya membawa dampak positif terhadap pola pikir dan kehidupan ER pribadi. ER pun mengajari I untuk mengikuti aturan-aturan keagamaan seperti sholat dan berpuasa.

(51)

anaknya, susahnya menebak mood belajar I membuat ER sulit untuk mengajari anaknya akan suatu hal, anaknya seringkali lupa terhadap hal-hal yang sudah diajari oleh ER, dan hal tersebut membuat ER emosi. Suaminya pun lebih sering membela anaknya daripada dirinya.

Stressor lain muncul dari para tetangga yang seringkali

menilai bahwa ER mengurung anaknya sehingga menjadikan I anak yang anti sosial, padahal para tetangga tidaklah mengerti tentang kondisi anaknya. Guru-guru di sekolah I pun menjadi stressor bagi ER, dimana guru-gurunya seringkali mengeluh mengenai kondisi I yang sulit untuk ditangani padahal sekolah tersebut adalah sekolah inklusi. ER pun harus mencari shadow teacher bagi anaknya, belum lagi shadow teacher yang dimilikinya sekarang terkadang kurang dapat memahami karakteristik I, hal tersebut terkadang menjadi beban pikiran tersendiri bagi ER.

(52)

sudah membandingkan I dengan sepupu-sepupunya yang lain, ada rasa sakit hati yang dirasakan oleh ER.

Untuk mengatasi berbagai stressor diatas, ER kerap melakukan beberapa jenis coping stress. Ketika dulu ekpektasi terhadap anak tidak terpenuhi, ER seringkali meluapkan emosinya dengan marah atau mengomel. Namun semakin bertambahnya tahun, ER mulai dapat menerima keadaan

anaknya, ER pun perlahan menurunkan “standard” nya

terhadap I. Untuk menghadapi tetangga dan para guru yang membuatnya stres, ER seringkali memilih untuk mengabaikan omongan mereka karena menurut ER apabila perkataan mereka semakin dipikirkan, maka akan semakin menjadi beban pikiran bagi ER. ER pun lebih suka mengurusi tanamannya bersama I, dan ER juga suka bercerita mengenai permasalahan anaknya kepada rekan kerja dan ibunya, hal tersebut membuat dirinya semakin lebih tenang.

(53)

Alasan ER menggunakan strategi coping seperti di atas karena ER merasa hal itu bisa mengurangi beban pikirannya sejauh ini. Kepercayaan yang dimiliki dan dukungan dari keluarga serta rekan kerja sangat berpengaruh besar bagi ER, dirinya lebih mudah menerima kondisi I seutuhnya. ER juga memiliki kepribadian yang cukup terbuka terhadap ibu maupun rekan kerjanya, sehingga ER tidak malu untuk bercerita atau meminta pendapat kepada mereka.

(54)

5) Intensitas Tema

Tabel 4.4

Intensitas Tema Subjek II

Tema Koding Intensitas

Stressor hal yang baru SB +++

Prediksi terhadap stressor PS +++

Pengaruh kepercayaan KM +++

Penerimaan terhadap stressor PTS +++

Perasaan negatif PN +++

Emotion focused coping EFC +++

Problem focused coping PFC +++

Sumber materi, tenaga, waktu, problem solving skill, social skill, dukungan sosial mendukung

MTW ++

Stressor lain SL +++

Komitmen/keyakinan menghadapi stressor

KS ++

Faktor pendukung penentuan coping (materi, tenaga, waktu)

FP ++

Dukungan sosial DS +++

Faktor kepribadian FK +

Pergantian coping PC +++

Efektivitas strategi coping EC ++ Keterangan:

(55)

108 Skema 4. Dinamika Coping Stress ER

+

marah, kesal kecewa, dan sedih

2. Sangat yakin mampu

mengatasi stressor

3. Sumber waktu, materi dan

tenaga/fisik mendukung

tindakan coping

4. Memiliki sumber problem

solving skill, social skill, dan social support yang cukup mendukung

5. Emotion focused coping: distraction, positive reappraisal, emotional discharge, resigned acceptance, wishful thinking, denial, hiding feelings, seeking meaning

6. Problem focused coping: planfull problem solving, direct action, assistance seeking, information seeking

Reappraisal New Appraisal

Final Appraisal

Adanya penyusunan dan pergantian strategi coping yang lain  menerima anak, menurunkan standard, tidak peduli dengan omongan orang lain, mengurusi tanaman

Faktor Internal

- Coping yang biasa dilakukan

 memarahi anak,

menyalahkan anak, tidur,

bercerita pada teman dan ibu -Memiliki kepribadian yang terbuka

Faktor Eksternal

-Adanya materi, tenaga, dan waktu yang mempengaruhi

pemilihan strategi coping

yang baru

-adanya dukungan dari

keluarga dan teman-teman -Stressor lain: guru disekolah sering komplain, beban kerja di tempat kerja, omongan tetangga.

Tidak

(56)

3. Subjek 3 a. Identitas

Nama : S

Umur : 54 tahun

Alamat : Jalan Banteng Jangli, Semarang Pendidikan : SD

Pekerjaan : Ibu rumah tangga dan penjual es Nama anak : I

Umur : 13 tahun Kelas : 5 SD Sekolah : SLB

Anak ke 3 dari 3 bersaudara

b. Hasil Observasi dan Wawancara 1) Hasil Observasi

Pada tanggal 27 Agustus peneliti berkunjung ke rumah subjek S sesuai rencana, tepat pukul 18.30 peneliti sampai di rumah subjek S setelah mencari-cari alamat rumahnya. Peneliti disambut ramah oleh subjek S. Subjek S memiliki postur tubuh yang tidak terlalu tinggi dan agak berisi, saat itu subjek menggunakan baju lengan panjang berwarna putih biru, celana panjang hitam dan penutup rambut berwarna cokelat.

(57)

menunggu subjek S untuk melayani pembeli peneliti memperhatikan seisi rumah. Rumah subjek tidaklah besar, di bagian depan ada warung es yang dimiliki oleh S, kemudian didalamnya terdapat ruang tamu, dua ruang kamar dan dapur kecil.

Peneliti tidak menggunakan teknik wawancara yang terlalu terlihat sebagai sesi wawancara, tetapi peneliti hanya mengajak ngobrol subjek S seputar I sehingga subjek terpancing untuk menjawab pertanyaan yang dibutuhkan oleh peneliti. Subjek S adalah orang yang suka sekali bercerita, sehingga saat menjawab pun tidak ada keraguan, dan banyak obrolan yang dilontarkan, namun dalam membahas gangguan yang dimiliki I, subjek S kurang mampu menjawab karena kurangnya pendidikan dan informasi yang dimiliki.

(58)

2) Hasil Wawancara a) Demografi

S adalah seorang wanita berumur 54 tahun yang sudah menjadi single parent. Sejak ditinggal oleh suaminya, S bekerja membuka warung es di rumahnya untuk membiayai kebutuhan keluarga kecilnya. S yang ditinggal oleh suaminya beberapa tahun lalu memiliki tiga orang anak laki-laki. Anaknya yang pertama sudah berkeluarga dan bekerja di angkatan laut di Surabaya, anaknya yang kedua bekerja di Semarang, sedangkan anaknya yang ketiga (I) masih berumur 13 tahun dan bersekolah di SLB.

I adalah anak S yang mengalami gangguan ADHD dan IDD, beruntung S memiliki M, anaknya yang kedua, untuk membantu mengasuh I. Kesehariannya S mengantar anaknya bersekolah kemudian dilanjutkan dengan berjualan es di rumahnya, pada siang harinya terkadang S menjemput I, namun karena faktor usia I biasanya dijemput oleh ojek yang dipesan ibunya.

(59)

tetangga pun memiliki hubungan yang baik dengan S, I juga dibiarkan bermain dengan anak-anak dilingkungannya.

b) Riwayat Anak dan Usaha Yang Pernah Dilakukan

(60)

lawan bicara pun I tidak bisa, karena kurangnya pengetahuan S menganggap hal tersebut bukanlah masalah. Hal ini justru disadari oleh M, kakak I. M mengatakan bahwa adiknya memang memiliki konsentrasi yang lemah, baik dalam hal akademis maupun non akademis. M pun menyadari lemahnya kemampuan membaca dan menulis I, sehingga dulu I tidak dapat mengimbangi teman-temannya di sekolah yang lama. Oleh karena hal itu, M berusaha untuk membantu I agar I dapat membaca serta menulis. M membelikan buku-buku agama maupun PPKN, kemudian setiap I selesai mengaji M menyuruh I untuk membaca ringkasan materi yang ada di buku, sehari sekali. Hal ini dilakukannya secara bergantian antara membaca dan menulis, agar semuanya seimbang.

M mengatakan bahwa di rumah pun I kurang mampu mengerjakan pekerjaan rumah karena terhambatnya konsentrasi yang dimiliki I. Namun M tetap mengajari adiknya dengan kegiatan dasar, seperti menyuruh I untuk menyapu dan mengambil makanan sendiri.

c) Dukungan dari Orang Lain dan Dampak Terhadap Hubungan Sosial

(61)

untuk menghidupi kedua anaknya, terutama I karena ia masih bersekolah dan membutuhkan banyak biaya. Beruntungnya S memiliki anak, keluarga dan orang-orang disekelilingnya yang selalu mendukung dirinya dalam menghadapi permasalahan-permasalahan.

S merasa mendapat dukungan yang besar dari anak-anaknya, anaknya yang pertama sesekali mengirimkan uang untuk S dan adik-adiknya. M pun selalu membantu segala pekerjaan S, mulai dari mengurus I, membantu bekerja dan membantu menjaga warung. M tidak pernah mengeluh memiliki adik yang berbeda dari anak lainnya, M justru selalu berusaha agar adiknya bisa bertumbuh dan berkembang lebih baik lagi. Banyak usaha yang sudah dilakukan M selama ini demi I, melihat S yang sudah paruh baya membuat M tidak tega apabila S harus mengantar dan menjemput I di sekolah setiap hari. S mengaku bahwa saat suaminya masih ada, S sering bercerita kepada suaminya, bergantian untuk memarahi dan melindungi I, serta bersama-sama memperjuangkan I.

(62)

mencarikan sekolah. Dapat disimpulkan bahwa adiknya pun peduli terhadap kondisi I. Saat peneliti ke rumah pun, adik beserta istrinya banyak menanyakan kondisi I terutama untuk kedepannya.

S pun mengaku dirinya mendapat dukungan dari lingkungan tetangganya, S merasa tidak ada tetangga yang mengolok-ngolok I seperti di sekolah. I dibiarkan bermain bebas dan mengaji bersama anak-anak tetangga yang lain. Tetangga-tetangga pun sering memberikan S pekerjaan tambahan, seperti menyuci atau menyetrika baju agar S mendapatkan penghasilan tambahan. S merasa senang sekali karena banyak orang-orang yang peduli terhadap dirinya.

(63)

d) Primary Appraisal

S memang tidak pernah membayangkan kondisi I akan berbeda dari kakak-kakaknya. Melihat kondisi akademis I dan diperlakukan tidak adil sejak di sekolahnya yang lama, membuat S tidak patah semangat memperjuangkan hak anaknya untuk bersekolah. S dengan dibantu oleh adiknya, mencari sekolah yang lebih baik dan lebih tepat untuk I. S sendiri mengaku memiliki pendidikan yang rendah, sehingga dirinya kurang dapat memahami stressor yang dihadapinya.

S tetap merasa optimis bahwa kedepannya I akan menjadi anak yang lebih baik lagi, oleh karena itu S sudah mencari informasi-informasi mengenai kelanjutan sekolah I. S pun berharap bahwa setelah lulus pelatihan nanti, I dapat bekerja. Tidak hanya dalam hal akademis, S pun tetap mengikutkan I untuk belajar mengaji di masjid, menyuruh I mengerjakan pekerjaan rumah dan membiarkan I bermain dengan teman-temannya, hal ini dikarenakan S melihat I akan menjadi anak yang sama dengan anak-anak yang lainnya.

(64)

tidak memiliki kondisi fisik yang lengkap, S sangat bersyukur bahwa I hanya kurang dalam kognitifnya, I masih memiliki anggota tubuh yang lengkap. S banyak melihat kondisi orang-orang yang jauh lebih buruk dari dirinya maupun anak-anaknya. Oleh karena hal itu, S selalu bersyukur dan menerima kondisi I secara utuh serta semakin semangat untuk menjadikan I anak yang lebih baik lagi.

e) Secondary Appraisal

S mengalami perubahan hidup sejak ditinggal oleh suaminya, bertambahnya stressor-stressor yang harus dihadapi pun tidak dapat dihindari oleh S. Tidak lagi hanya menjadi ibu rumah tangga, S pun mencari pekerjaan kesana kemari untuk tambahan biaya anaknya. Tingkat stres yang dimiliki cukup mempengaruhi kondisi psikis dirinya. S mengaku sering merasa stres dan capek terhadap masalah-masalah yang dihadapinya.

(65)

sulit untuk mengerti pelajaran. S juga mengaku sering melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan anaknya saat sedang stres, seperti mengambil waktu untuk tidur (distraction).

Saat S merasa diperlakukan tidak adil oleh sekolah I yang dulu, S pun sempat mendatangi guru dan kepala sekolahnya untuk meminta penjelasan, namun karena kekesalan yang dimiliki sudah tinggi ditambah kondisi akademis I yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan sekolah disana akhirnya S memutuskan untuk memindahkan I dan mencari sekolah yang baru (direct action). Saat ini S pun sering menerima banyak pekerjaan

untuk mengatasi masalah perekonomiannya, seperti menyetrika, mencuci, berjualan apa saja yang penting dapat menghasilkan uang (direct action). S pun sering meminta informasi dari orang tua-orang tua murid di sekolah I yang sekarang untuk kelanjutan akademik anaknya (information seeking). Sekalipun S seringkali merasa stres namun di sisi

lain S selalu merasa bersyukur atas apa yang Tuhan berikan terhadap dirinya dan anak-anaknya (resigned acceptance dan positive reappraisal).

(66)

dapat mengurangi stres yang dialami S, karena selama ini stressor terbesar yang dihadapi adalah masalah akademis

anak. S juga merasa bahwa orang-orang disekelilingnya dapat membantu S saat mengalami masalah baik secara emosional maupun finansial.

f) Reappraisal

Setelah melakukan primary dan secondary appraisal, subjek S mengakumulasi semua informasi yang S dapat dari kedua penilaian tersebut, mengenai apakah stressor tersebut adalah hal yang baru dan bersifat mengancam, keyakinan yang dimiliki S dalam menghadapi stressor untuk jangka panjang, kemudian sumber-sumber yang dimiliki S seperti waktu, tenaga, kurangnya materi, dukungan sosial, problem solving skill yang dimiliki. S juga memikirkan

pilihan-pilihan coping yang biasa dilakukan selama ini untuk mengurangi stres yang dimiliki seperti memukul anak, tidur, dan bersyukur. Hal ini yang akhirnya akan menentukan final appraisal yang akan dilakukan oleh S.

g) Final Appraisal

(67)

setiap harinya, demi membayar SPP I subjek S rela bekerja kesana kemari dan menjual apapun asalkan dapat menghasilkan uang. Anak-anaknya pun selalu mendukung apapun yang menjadi pekerjaan S selama pekerjaan tersebut halal. Hal lainnya adalah orang tua murid di sekolah I yang terbiasa berbagi informasi dengan S, sehingga S tidak terlalu khawatir dalam menata masa depan anaknya.

Faktor yang kedua adalah materi, tenaga dan waktu yang selalu membantu S dalam melakukan strategi copingnya, baik itu tidur, bercerita atau melakukan hal-hal

yang tidak berkaitan dengan stressor.

(68)

Di sisi lain, S merasa pihak sekolah I yang dulu cukup membuatnya stres karena S sangat berharap anaknya dapat bersekolah disana, namun pihak sekolah seringkali membuat dirinya merasa diperlakukan tidak adil. S mengaku selalu membayar uang SPP tepat waktu agar I tidak malu, namun pihak sekolah seakan meminta S untuk membawa I keluar dari sekolah tersebut.

Beruntungnya S cenderung memiliki kepribadian yang tegas, selama itu untuk kebaikan anak-anaknya maka S akan mengusahakan terus menerus seperti contohnya saat mendatangi pihak sekolah karena merasa anaknya diperlakukan tidak adil. S merasa coping yang digunakannya kali ini efektif dalam mengatasi stres yang dimilikinya.

3) Hasil Triangulasi

(69)

Masalah yang dihadapi subjek S adalah kondisi anak dan masalah ekonomi. Kondisi akademis anak yang seringkali membuat S stres dan kesal, apalagi keadaan I yang memiliki konsentrasi yang kurang. Masalah ekonomi yang biasanya membuat S bingung untuk mengatasinya, namun M sekarang sudah bekerja untuk membantu S sehingga beban S semakin ringan.

S pun dibantu M dalam mengurus I, seperti masalah akademis M selalu membantu adiknya untuk mau belajar membaca dan menulis, sekalipun M tahu konsentrasi I lemah dan seringkali membuat M kesal dan capek dalam mengajari I. Minimnya pengetahuan dan pendidikan yang dimiliki S membuat M harus membantu S dalam mengurusi I.

4) Analisis Kasus Subjek III

Subjek ketiga dalam penelitian ini adalah S, seorang single parent berusia 54 tahun yang memiliki tiga orang anak

(70)

Minimnya pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki S membuat S awalnya tidak menyadari ada yang berbeda dari I. S merasa anaknya baik-baik saja hingga ketika anaknya mulai tidak naik kelas sejak kelas satu SD. Ketidaknaikan anaknya membuat S menyadari ada yang berbeda dari I. I mengalami tidak naik kelas sebanyak dua kali, dan S menyadari bahwa konsentrasi anaknya lemah, namun hanya sekedar mengatahui hal tersebut. S tidak mengerti gangguan yang dialami oleh anaknya, sehingga M yang lebih mencari tahu soal I.

S dan M menyadari bahwa I kurang dalam hal membaca dan menulis, maka dari itu M mencoba untuk membantu I dalam hal akademis. Setiap selesai mengerjakan pekerjaan rumah, I selalu membawanya ke M untuk diperiksa atau dibantu jika ada kesulitan. Setiap selesai mengaji pun M selalu menyuruh I untuk membaca ringkasan materi yang ada di dalam buku-buku yang dibelinya, kemudian menuliskan ringkasan materi tersebut keesokan harinya.

(71)

bertambahnya usia, perilaku hiperakativitas-impulsivitas yang dimiliki I pun semakin membaik, karena I lebih mampu menyesuaikan perilakunya dengan orang-orang disekitarnya. Untuk sekarang, S dan M lebih berfokus dalam penanganan masalah akademis I, baik dalam hal membaca maupun menulis.

Hubungan S dengan anak-anaknya pun dekat, sekalipun anaknya jauh di Surabaya namun kontak antara S dengan anaknya yang pertama tidaklah putus, bahkan anaknya yang pertama beberapa kali mengirimkan uang bulanan. Hubungannya dengan M pun baik, dimana M seringkali membantu S dalam beberapa hal seperti bekerja dan mengurus I. M pun selalu bersedia membantu S melihat umur S yang sudah tidak lagi kuat secara fisik, di sisi lain S pun kurang memahami keadaan I sehingga M harus menggantikannya dalam mengurus hal akademis. Hubungannya dengan I pun sangat baik, I yang membuat S semangat dalam bekerja sejak melihat ada perubahan dari dalam diri I.

(72)

membiarkan I untuk bermain dengan anak-anak di lingkungannya.

Kondisi I yang memiliki konsentrasi dan intelektual yang lemah tentunya menjadi suatu hal yang baru bagi S dimana kedua anaknya yang lain dirasa baik-baik saja. Keadaan ini tentunya menjadi beban tersendiri bagi S yang seringkali membuatnya stres. Beruntungnya S adalah wanita yang kuat dan pantang menyerah, hal ini tidak membuatnya patah semangat dan pesimis. S selalu berusaha yang terbaik bagi akademis anaknya karena S merasa anaknya dapat seperti anak-anaknya yang lain.

Merasa I dapat menjadi lebih baik S tentunya sudah merencanakan langkah-langkah yang akan diambilnya mengenai pendidikan I, karena S mau I bisa menjadi anak yang pintar dan dapat bekerja ketika sudah dewasa. S juga mengikutkan I dalam belajar mengaji di masjid dan melibatkannya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. S selalu merasa bersyukur terhadap apa yang dialami oleh I, karena S seringkali melihat banyak orang di luar sana yang memiliki hidup jauh lebih buruk daripada I.

(73)

membantu S dalam mencari nafkah sekalipun penghasilannya tidak seberapa namun cukup untuk membantu S. Dengan melihat banyaknya perubahan dalam diri I semakin membuat S semangat untuk mengatasi beban hidupnya.

Saat melihat akademis I yang kurang, S mengaku sering mengalami stres akibatnya S sering memarahi I dan melemparnya dengan sandal atau memukul kayu ke pintu (emotional discharge), ketika sudah jengkel dengan I juga biasanya S mengambil waktu untuk tidur atau melakukan hal-hal yang tidak berkaitan dengan I (distraction) karena menurut dirinya hal ini cukup mampu meredam emosi yang dimilikinya. Puncak stres yang dimiliki S adalah ketika I sudah tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah lamannya, S sempat merasa sangat marah dan mendatangi pihak sekolah untuk meminta penjelasan, namun karena tahu dirinya tidak dihargai maka S memutuskan untuk memindahkan I ke SLB (direct action).

Gambar

Tabel 4.2 Jadwal Pertemuan Triangulasi
Tabel 4.3 Intensitas Tema Subjek I

Referensi

Dokumen terkait