• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA COPING STRESS IBU YANG MEMILIKI ANAK ADHD - Unika Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DINAMIKA COPING STRESS IBU YANG MEMILIKI ANAK ADHD - Unika Repository"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

130 BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Rangkuman Hasil Subjek 1. Intensitas Tema

Berdasarkan data yang diperoleh dari ketiga subjek melalui proses observasi dan wawancara ditemukan banyak persamaan dan perbedaan yang dihasilkan oleh ketiga subjek. Seluruh subjek mengalami dinamika coping stress yang sama, namun memiliki hasil yang berbeda. Dalam tema primary appraisal, stressor merupakan hal yang baru bagi seluruh subjek, ketiga subjek memiliki prediksi yang positif terhadap stressor, kepercayaan yang dianut membantu ketiga subjek dalam menerima stressor, dan seluruh subjek menerima stressor secara utuh.

Dalam tema secondary appraisal, ketiga subjek melakukan penilaian dan pengevaluasian terhadap sumber dan ketersediaan pilihan coping yang ada. Ketiga subjek mengalami stres dan merasakan berbagai emosi negatif, namun ketiga subjek merasa yakin dalam menghadapi stressornya, ketiganya pun melakukan emotion focused coping dan problem focused coping namun dengan strategi yang berbeda-beda

(2)

dukungan sosial yang dimilikinya mendukung. Setelah itu ketiga subjek melakukan penilaian ulang berdasarkan primary appraisal dan secondary appraisal yang akhirnya memnculkan penilaian akhir (final appraisal).

(3)

132

Tabel 5.1

Tabel Intensitas Tema Seluruh Subjek

(4)
(5)

134

Ketiga subjek memiliki perbedaan dan persamaan dalam intensitas tema dinamika coping stress. Dalam tema first appraisal, ketiga subjek memiliki intensitas yang sama pada stressor merupakan hal yang baru, yaitu intensitas tinggi. Ketiga subjek memiliki intensitas yang berbeda pada prediksi positif terhadap stressor, yaitu subjek 1 dengan intensitas sedang, sedangkan subjek 2 dan 3 dengan intensitas tinggi. Ketiga subjek memiliki intensitas yang berbeda pula pada pengaruh kepercayaan dalam menghadapi stressor, yaitu subjek 1 dan 2 dengan intensitas tinggi, sedangkan subjek 3 dengan intensitas sedang. Seluruh subjek memiliki intensitas yang sama pada penerimaan stressor secara utuh, yaitu intensitas tinggi.

(6)
(7)

136 1. Adanya stres tinggi, perasaan

marah, jengkel, kecewa, kesal

tindakan coping, sumber

waktu dan tenaga/fisik

mendukung namun materi tidak

4. Memiliki sumber problem

solving skill, social skill, dan

social support yang sangat mendukung

5. Emotion focused coping: distraction, positive reappraisal, emotional discharge, resigned acceptance, wishful thinking, increased activity, praying, self critism, seeking meaning, denial, hiding feelings

6. Problem focused coping: planfull problem solving, assistance seeking, direct action, confrontive assertion, information seeking

Reappraisal  New

Appraisal

Final Appraisal

Adanya penyusunan dan pergantian strategi coping yang lain  mengajak anak bermain layangan, memasak, tidak memikirkan kondisi diri sendiri, menerima anak, menurunkan standar, tidak peduli omongan orang, mengurusi tanaman mencari dan pindah sekolah.

1. Psikologis berfungsi balap burung, jalan-jalan, pergi ke rumah teman, meminta bantuan keluarga, memarahi anak, tidur, bersyukur, memarahi pihak sekolah, menyalahkan anak, bercerita pada ibu

-Memiliki kepribadian yang terbuka, tidak mudah menyerah

Faktor Eksternal

Adanya materi, tenaga, dan waktu yang mempengaruhi pemilihan strategi coping yang baru

-adanya dukungan dari keluarga, teman-teman dan tetangga

(8)

Berdasarkan bagan kerangka pikir diatas, dapat dilihat bahwa pada tahap primary appraisal, stressor merupakan hal yang baru bagi ketiganya karena ketiga subjek tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam memiliki anak berkebutuhan khusus, namun subjek 3 kurang mampu memahami stressor yang dihadapi, karena kurangnya pendidikan yang dimiliki subjek 3 tidak memahami gangguan yang dialami anaknya. Subjek 1, 2, dan 3 memiliki prediksi bahwa anak-anak subjek pasti dapat menjadi lebih baik kedepannya, hal ini dibuktikan dengan ketiga subjek sama-sama mengajari anaknya untuk shalat dan mengikutkan mereka pada kegiatan mengaji di masjid, subjek 2 dan 3 bahkan sudah merencanakan tahap-tahap yang akan dijalani oleh si anak di dunia pendidikan.

Ketiganya pun sama-sama merasa bahwa kepercayaan yang dianut mempengaruhi penilaian subjek terhadap stressor dimana hasilnya adalah ketiga subjek sama-sama dapat menerima stressor secara utuh walaupun di waktu yang berbeda-beda, subjek 1 dan 3 menerima stressor sejak lahir, sedangkan subjek 2 baru setahun terakhir menerima stressor secara utuh.

(9)

138

stressornya, karena ketiga subjek memiliki problem solving skill yang baik dan prediksi yang positif terhadap masa depan si anak.

Dalam evaluasi coping stress yang tersedia, ketiga subjek sama-sama pernah menggunakan emotion focused coping dan problem focused coping hanya saja strategi yang digunakan berbeda, Subjek 1, 2, dan 3 sama-sama pernah melakukan strategi distraction, positive reappraisal, emotional discharge, resigned acceptance, wishful thinking

dan direct action. Strategi lain ditemukan dimana subjek 1 dan 2 sama-sama menggunakan strategi seeking meaning, planful problem solving, dan assistance seeking. Subjek 2 dan 3 sama-sama menggunakan information seeking dalam merencanakan pendidikan masa depan bagi anak subjek. Perbedaan ditemukan dimana subjek 1 menggunakan strategi lain seperti increased activity yaitu meningkatkan banyaknya aktivitas yang dilakukan sehari-hari, praying, dan self critism. Subjek 2 menggunakan strategi lain seperti denial dan hiding feelings, sedangkan subjek 3 menggunakan strategi confrontive assertion untuk mengatasi stressornya.

(10)

strategi coping yang dipilih. Subjek 1, 2, dan 3 menunjukkan bahwa ketiganya memiliki problem solving skill yang baik karena selama ini mereka mampu menemukan solusi dari setiap permasalahan yang ada, ketiganya pun memiliki social skill yang baik ditunjukkan dari rasa empati yang dimiliki oleh ketiganya, kemudian subjek 1 dan 2 merasa dukungan sosial dari tetangga kurang mendukung namun dari keluarga dan teman-teman sangat mendukung, berbeda halnya dengan subjek 3 dimana keluarga, tetangga, dan teman-teman mendukung dirinya sehingga subjek 3 memiliki sumber dukungan sosial yang lebih baik dari pada subjek 1 dan 2.

(11)

140

Strategi-strategi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Subjek 1, 2 dan 3 mengaku bahwa materi, tenaga dan waktu mempengaruhi strategi coping yang dipilih oleh ketiga subjek. Ketiga subjek merasa mendapatkan dukungan dari keluarga masing-masing, entah dari orang tua, suami maupun anak subjek yang lain. Subjek 1 dan 2 merasa mendapat dukungan sosial dari keluarga dan teman-temannya. Subjek 1 mengatakan bahwa setelah subjek bercerita dengan teman-temannya, subjek merasa tidak perlu berlarut terlalu dalam memikirkan permasalahannya karena dapat menambah beban pikiran, sehingga subjek memilih untuk tidak memikirkan masalahnya sendiri, sedangkan subjek 2 merasa setelah bercerita kepada keluarga dan teman-temannya subjek merasa lebih optimis dan mendapat semangat baru dalam menghadapi anak. Subjek 3 mendapat dukungan dari keluarga, tetangga dan teman-temannya dimana para tetangga seringkali membantu perekonomian subjek 3 dengan memberikan pekerjaan sampingan, sedangkan keluarga dan teman-temannya membantu dalam pencarian informasi dan dukungan emosional.

(12)

sedangkan subjek 3 memiliki stressor lain yaitu ketidakadilan yang diterimanya dari pihak sekolah yang lama. Stressor-stressor ini tentunya mempengaruhi ketiga subjek dalam melakukan strategi coping.

Faktor internal yang mempengaruhi ketiga subjek adalah strategi coping yang biasa dilakukan oleh subjek dalam menghadapi sebuah stressor. Subjek 1, 2, dan 3 pernah melakukan strategi yang sama yaitu tidur, dan memarahi anak, namun perbedaan ditemukan pada subjek 2 yang tidak pernah memukul anak, sedangkan subjek 1 dan 3 pernah memukul dan melempar anak dengan barang. Subjek 1 dan 2 memiliki persamaan dalam melakukan coping yaitu bercerita kepada teman-temannya sedangkan hal tersebut tidak terjadi pada subjek 3. Subjek 1,2, dan 3 pun sama-sama meminta bantuan kepada keluarga untuk menghadapi stressor yang ada baik berupa cerita, materi maupun tenaga sehingga ketiga subjek merasa mendapatkan dukungan dari keluarga subjek. Subjek 1 melakukan strategi coping yang lain yaitu pergi menonton balap burung bersama si anak, jalan-jalan, dan pergi ke rumah teman. Subjek 2 biasanya melakukan strategi coping yaitu menyalahkan anak. Subjek 3 biasanya melakukan strategi coping berupa bersyukur dan memarahi pihak sekolah.

(13)

142

Dinamika di atas menghasilkan hasil yang berbeda diantara ketiga subjek. Subjek 1 dan 2 merasa strategi-strategi coping yang digunakan tidak efektif sehingga kedua subjek akan kembali ke secondary appraisal untuk melakukan penilaian dan pengevaluasian coping, sedangkan subjek 3 merasa strategi coping yang digunakan efektif sehingga tidak lagi menimbulkan stres.

B. Pembahasan

Seorang ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus pastilah memiliki beban pikiran yang menimbulkan stres di dalam dirinya, tidak terkecuali ibu yang memiliki anak ADHD. Munculnya stres ini membuat seseorang akan mengalami proses dimana dirinya akan mencoba untuk mengatur kesenjangan persepsi antara tuntutan situasi yang menekan dengan kemampuan dirinya dalam memenuhi tuntutan tersebut atau biasa yang disebut coping (Lazarus & Folkman, dalam Sarafino dan Smith, 2011).

Dalam stres sendiri terdapat empat komponen, namun yang disoroti dalam penelitian ini adalah komponen transaksi (transactions). Transaksi dalam stres secara umum meliputi sebuah proses asesmen yang biasa disebut cognitive appraisal atau penilaian kognitif (Sarafino dan Smith, 2011). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil wawancara, ketiga subjek penelitian mengalami proses cognitive appraisal yang serupa namun memiliki hasil yang berbeda.

(14)

2011). Dalam tahap ini pun terdapat dua faktor, faktor situasi seperti apakah situasi atau stressor suatu hal yang baru bagi dirinya, yang kedua adalah faktor pribadi seperti kepercayaan dan intelektual yang dimiliki (Blonna, 2012). Pada tahap primary appraisal ini ketiga subjek melakukan penilaian bahwa stressor merupakan hal yang baru bagi ketiganya, tingkat pendidikan pun mempengaruhi pengetahuan ketiganya dalam memahami stressor yang dihadapi. Para subjek pun memiliki prediksi bahwa anak-anak subjek pasti dapat menjadi lebih baik kedepannya, hal ini dibuktikan dengan ketiga subjek mengikutkan anak-anaknya pada kegiatan yang biasa dilakukan oleh anak seusianya.

Dikatakan Lazarus & Folkman (dalam Blonna, 2012) bahwa faktor internal dari seseorang seperti keyakinan dan kepercayaan mempengaruhi seseorang dalam penilaian pertamanya terhadap stressor. Dalam hal ini, ketiga subjek merasa bahwa kepercayaan yang dianut mempengaruhi penilaian subjek terhadap stressor dimana hasilnya ketiga subjek sama-sama dapat menerima stressor dengan ikhlas dan merawatnya.

(15)

144

coping, dimana terdapat dua faktor untuk membantu seseorang dalam mengevaluasi ketersediaan coping. Faktor yang pertama adalah disposisi coping seperti emotion focused coping dan problem focused coping, yang kedua adalah faktor sumber coping yaitu tenaga dan kesehatan yang dimiliki, keyakinan yang positif, kemampuan pemecahan masalah, dukungan sosial, dan materi. (Blonna, 2012).

Sesuai dengan teori diatas, dalam secondary appraisal ini ketiga subjek melakukan pengevaluasian terhadap sumber-sumber yang mereka miliki seperti tenaga atau fisik yang dimiliki, ketersediaan waktu dan materi, problem solving skill, social skill dan dukungan sosial yang dimiliki. Tenaga atau fisik cukup menentukan apakah subjek sanggup melakukan coping. Ketersediaan waktu pun cukup menentukan, terutama karena ketiga subjek memiliki pekerjaan, hal ini mempengaruhi dalam waktu yang digunakan subjek untuk melakukan coping, begitu pula dengan materi.

(16)

hal ini membuat subjek merasa mampu menghadapi stressor yang ada. Hal ini sejalan dengan teori Lazarus dan Folkman (dalam Blonna, 2012), dikatakan bahwa dengan hanya mengetahui bahwa seseorang memiliki dukungan sosial dari orang lain, seseorang mampu untuk meredakan stressor yang berpotensi menjadi sebuah ancaman.

Seperti yang sudah dikatakan di atas bahwa apabila seseorang mengalami stres pasti akan melewati proses untuk mengatasi kesenjangan antara persepsi dan tuntutan yang disebut sebagai coping. Coping sendiri dibagi menjadi dua, yaitu problem focused coping (perilaku coping yang berorientasi pada masalah) yang terdiri dari planful problem solving, direct action, assistance seeking, information seeking, confrontive assertion, dan logical analysis, serta ada emotion focused coping (perilaku coping yang berorientasi pada emosi) yang terdiri dari avoidance, denial, positive reappraisal, emotional discharge, distraction, emotional approach, hiding

feelings, humor, increased activity, intrusive thoughts, positive reappraisal,

praying, resigned acceptance, seeking meaning, self critism, substance use,

dan wishful thinking (Skinner, dalam Sarafino dan Smith, 2011).

(17)

146

yang dirasakan oleh tiap subjek berbeda sehingga tanggapan ketiganya pun berbeda.

Dalam secondary appraisal terdapat sumber yang diperkirakan dapat mendukung pilihan strategi coping yang akan digunakan, seperti yang dikatakan Lazarus dan Folkman (dalam Blonna, 2012), dijelaskan bahwa terdapat 6 tipe sumber coping yaitu sumber kesehatan fisik dan tenaga, keyakinan atau pandangan positif, materi, kemampuan pemecahan masalah, social skill dan sumber dukungan sosial. Sejalan dengan teori tersebut, ketiga subjek pun mengevaluasi sumber-sumber yang dimiliki oleh ketiganya. Ketersediaan sumber yang dimiliki belum tentu cukup untuk menghadapi stressor yang ada, seperti yang dijelaskan (dalam Taylor, 2015) ketika sumber seseorang lebih dari pada cukup untuk menghadapi situasi sulit, maka individu akan merasa stres yang dimiliki rendah, namun apabila yang terjadi adalah sebaliknya maka individu akan merasa stres yang dimiliki sangat tinggi.

(18)

faktor eksternal dan internal yang cukup mempengaruhi subjek dalam melakukan strategi coping, faktor eksternal terdiri dari uang, waktu, dukungan sosial dan stressor lain serta faktor internal seperti gaya coping yang biasa dilakukan dan faktor kepribadian subjek sendiri.

Ketiga subjek pun mempertimbangkan strategi yang dipilih berdasarkan faktor-faktor tersebut, setelah itu ketiga subjek akan melakukan strategi yang sudah dipilih, kemudian subjek mengevaluasi apakah strategi yang digunakan efektif atau tidak. Lazarus & Folkman (dalam Taylor, 2015) pun menyebutkan bahwa hanya ada dua kemungkinan setelah individu melewati proses tersebut, hasil yang pertama adalah apabila strategi coping yang digunakan efektif maka psikologis individu akan berfungsi kembali sehingga dapat menjalani aktivitas seperti biasa, hasil yang kedua adalah apabila strategi tidak efektif maka akan terjadi perubahan fisiologis seseorang termasuk datangnya penyakit.

(19)

148

Kesulitan Peneliti

Gambar

Tabel Intensitas Tema Seluruh Subjek

Referensi

Dokumen terkait

Temuan dalam penelitian ini adalah banyak mahasiswa program studi pendidikan sejarah yang mengajar di SMP tidak sesuai dengan bidang keahliannya sehingga mahasiswa mengalami

“GENDERANG BARATAYUDHA” VISUALISASI NOVEL PEWAYANGAN KE DALAM BENTUK KOMIK SEBAGAI MEDIA PENYAMPAIAN CERITA PEWAYANGAN.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Untuk mencapai tingkat independensi yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan tanggung jawab aktivitas audit intern, Kepala Satuan Audit Intern harus memiliki akses

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum yuridis normatif. Dalam penelitian ini, penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan meneliti asas-asas hukum, khususnya

Hasil Koefisien Determinasi atau R square (r2) adalah 0,206 yang menunjukan bahwa 20,6% kepuasan pengguna Café dan Resto Cabana Manado, dipengaruhi oleh kualitas

Lingkungan internal yang menjadi kekuatan KRB adalah (1) pusat konservasi ex-situ , (2) panorama arsitektur lanskap yang bernuansa alami, (3) KRB memiliki aksesbilitas tinggi

Disahkan dalam rapat Pleno PPS tanggal 26 Februari 2013 PANITIA PEMUNGUTAN SUARA. Nama

Oleh karena itu bagi lembaga pendidikan yang mengembangkan pendidikan vokasi tidak perlu minder dan kemudian mengubah menjadi pendidikan akademik, karena akan