Rahmathias Jusuf
Email: rahmathiasjusuf@iain-manado.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan
pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia,1 ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman,
dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan
masyarakat. Argumen inti multikulturalisme adalah, setiap bentuk kehidupan
memiliki nilai yang berharga pada dirinya sendiri, maka setiap bentuk kehidupan
layak untuk berkembang sesuai dengan pandangan dunianya, namun tetap dalam
koridor hukum legal yang berlaku (bukan hukum moral).2
1
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas
(Jakarta: Erlangga, 2007), h. 80-91, nilai-nilai beberapa pandangan yang menyokong tegaknya masyarakat kosmopolit meliputi: pertama, inklusivisme, yaitu keterbukaan diri terhadap “unsur luar” melalui kemampuan melakukan apresiasi dan seleksi secara konstruktif. Kedua, humanisme, dalam artian cara pandang yang memperlakukan manusia semata-mata karena kemanusiaannya, tidak karena sebab lain di luar itu, semisal ras, kasta, kekayaan, dan agama. Termasuk kedalam
humanisme di sini adalah sifat egaliter yang memandang manusia sama derajatnya. Ketiga,
toleransi, yaitu adanya kelapangdadaan dan kebesaran jiwa dalam menyikapi perbedaan.Keempat,
demokrasi yang memberi ruang bagi kebebasan berpikir dan penyampaian kritik.
2
Barbara Taylor, A woman Substance/ Wanita Aditama, (Jakarta: Gramedia, 1994), h. 13. Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 177-196. Menurut Cak Nur, perbedaan merupakan sikap dasar, dipandang sejalan dengan basis teologis bahwa (1) Kemajemukan merupakan sunah Tuhan, (2) Pengakuan hak eksistensi agama-agama lain, (3) Titik temu/kontinuitas agama-agama, dan (4) Tidak ada paksaan dalam agama. Istilah multikultural mengandung dua pengertian, yaitu”multi” yang berarti plural (berjenis-jenis) sedangkan”kultural” berarti kultur atau budaya. Pendidikan multikultural berarti pendidikan yang menghargai adanya pluralitas keberagaman budaya. Menurut H.A.R Tilaar, dalam pendidikan multikultural tidak mengenal fanatisme/fundamentalisme sosial-budaya termasuk agama. Setiap komunitas mengenal dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada. Demikian pula, pendidikan multikultural tidak
mengenal adanya xenophobia (kebencian terhadap barang/orang asing). Lihat H.A.R. Tilaar,
Sulawesi Utara adalah daerah multi etnis, agama, budaya, bahasa dan bahkan kalau dilihat dari keragaman agama boleh diangap sebagai miniatur negara Indonesia.3 Kondisi yang seperti ini tentu tidak sama dengan daerah yang hanya dihuni oleh satu komunitas tertentu saja, karena dinamika dan kepentingan masyarakat yang ada di dalamnya sangat dinamis dan beragam, hal demkian bila tidak ditangani secara serius akan mudah menimbulkan gesekan kepentingan yang dapat mengakibatkan perpecahan dan kerusuhan, seperti yang sudah terjadi di beberapa daerah lain.4 Oleh karena itu perlu dipikirkan suatu cara untuk menjaga
kondisi harmonis5 yang selama ini berjalan, tentunya dengan memaksimalkan seluruh elemen masyarakat, termasuk lembaga-lembaga pendidikan.
baik dalam kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks, karena muncul kedasaran bahwa keanekaragaman dalam realitas dinamika kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditolak, diingkari apalagi di
musnahkan. Cermati Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), h. 103 3
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar didunia Lihat Ainul Yaqin,
Pendidikan Multikultural Cross-cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan
(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 3 Kekayaan dan keanekaragaman agama, etnik dan kebudayaan, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi kekayaan ini merupakan khazanah yang patut dipelihara dan memberikan nuansa dan dinamika bagi bangsa, dan dapat pula merupakan titik pangkal perselisihan, konflik vertikal dan horizontal. Krisis multidimensi yang berawal sejak pertengahan 1997 dan ditandai dengan kehancuran perekonomian nasional, sulit dijelaskan secara mono-kausal. Cermati Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural (Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama, 2005). h. 21
4
Achmad Syahid, Riuh Di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia,
(Jakarta: Departemen Agama RI, 2002), h. 420 dalam menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama kadang-kadang timbul gesekan, persaingan dan benturan-benturan yang meningkat menjadi konflik sosial dengan simbol-simbol agama. Di Sulawesi Utara penduduk Kristen protestan (47, 26%) dan Islam (46, 47%), namun hubungan antar umat beragama masih berjalan dengan baik. Identifikasi karakter daerah sangat mempengaruhi pemetaan kerukunan umat beragama sehingga tidak terjadi gesekan dan benturan yang berujung pada konflik sosial.
5
Salah satu yang perlu dipikirkan adalah menanamkan nilai-nilai multikultural terhadap siswa agar nantinya mereka dapat memiliki sikap pluralis.6 Istilah Multikultural mempunyai makna kesediaan menerima kelompok lain sebagai kesatuan, kesetaraan tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan, multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka diperlakukan sama di dalam ruang publik.7
Bagi umat Islam, kita diajarkan untuk tidak menutup diri terhadap istilah
atau konsep-konsep baru dari luar Islam, seperti multikulturalisme. Tetapi istilah itu perlu diklarifikasi maknanya. Jika tidak sesuai dengan pandangan Islam, maka perlu diberikan makna baru, seperti yang dilakukan para pendakwah Islam di Nusantara. Nah kalau yang dimaksud dengan multikultural adalah sejumlah nilai yang relevan agar peserta didik atau siswa dapat hidup berdampingan secara harmonis8 dalam realitas keberagaman dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola keberagaman menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan Indonesia, tanpa mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan
budaya. seperti nilai “keadilan” misalnya, yang didefinisikan sebagai: “Kesadaran
7
Kemajemukan dan perbedaan yang alami tidak terjadi dalam pokok-pokok yang menjadi kesatuan jika dalam pokok-pokok kesatuan terjadi perselisihan. Perselisihan itu adalah permusuhan bukan kemajemukan, dan menjadi masalah dalam agama. Oleh karena itu dibutuhkan kesatuan bagi kemajemukandan rujukan bagi perbedaan yang terjadi, serta suatu kebersamaan dari orang-orang yang berbeda dengan kekhasan masing-masing. Lihat Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan Dan Kemajemukan Dalam Bingkai Persatuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 35
8
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 153-154. Salah satu upaya mewujudkan hubungan yang harmonis adalah melalui kegiatan pendidikan multikultural, yakni kegiatan edukasi dalam rangka menumbuhkembangkan kearifan pemahaman, kesadaran, sikap, dan perilaku (mode of action) peserta didik terhadap keragaman agama, budaya dan masyarakat. Dengan pengertian itu, pendidikan multikultural bisa mancakup pendidikan agama dan pendidikan
umum yang “mengindonesia” karena responsif terhadap peluang dan tantangan kemajemukan
untuk memperlakukan orang lain tidak berat sebelah/tidak memihak dan tidak membedakan keberpihakan kepada sesama karena perbedaan warna kulit, golongan, suku, agama, ekonomi, jenis kelamin, dsb. Tentu hal semacam ini sejalan dengan ajaran Islam.9
Pendidikan mempunyai peran penting dalam membentuk kehidupan publik,
selain itu juga diyakini mampu memainkan peranan yang signifikan dalam
membentuk politik dan kultural. Dengan demikian pendidikan sebagai media
untuk menyiapkan dan membentuk kehidupan sosial, sehingga akan menjadi basis
institusi pendidikan yang syarat akan nilai-nilai idealisme.10 Sekolah adalah skala kecil dari masyarakat, yang di dalamnya terdapat pendidikan formal. Sekolah
inilah yang menjadi salah satu media pemahaman tentang menanamkan nilai-nilai
multikultural.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis membuat beberapa
rumusan masalah. Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Konsep Multikultural?
2. Bagaimama Konsep Pendidikan Multikultural?
3. Bagamana Desain Pendidikan Multikultural dan Penerapannya dalam
pembelajaran?
9
Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 188 memperkuat pernyataan di atas bahwa kesadaran mengenai adanya kemajemukan keagamaan (religious pluralism), mendasari sikap toleransi, keterbukaan, dan kejujuran yang menonjol terhadap agama lain seperti pernah ditampilkan dalam sejarah Islam. Ini mengandung arti kita dituntut menyikapi segala bentuk perbedaan dengan baik, wajar, dan tulus sebagai sarana fastabiqul khairat, percaya bahwa menghargai keberadaan orang lain dan segala perbedaannya tidak otomatis menghilangkan eksistensi diri karena kita justru semakin bisa mengenali diri sendiri ketika kita semakin mengenali yang lain, dan membangun komunikasi secara baik dan penuh keterbukaan (dialog) dengan kelompok yang berbeda.
10
M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik,
BAB II
PEMBAHASAN
A. Multikultural
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Demikian, kebudayaan itu
dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi atu akal”. Keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta
keseluruhan dari hasil budi. Dalam istilah Inggris berasal dari kata lain Colere,
berarti “mengolah, mengerjakan”, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari arti
berkembang arti Culture sebagai segala daya dan usaha manusia untuk mengolah
alam. Kbudayaan mempunyai tiga wujud, ialah: (1) Wujud Ideal; (2) Wujud
kelakuan; dan (3) Wujud Fisik. Adat adalah wujud ideal dari kebudayaan. Secara
lengkap wujud itu dapat kita sebut adat tata kelakuan, karena adat berfungsi
sebagai pengatur kelakuan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat,
ialah (i) tingkat nilai budaya, (ii) tingkat norma-norma, (iii) tingkat hukum, (iv)
tingkat aturan khusus. Tingkat nilai budaya, terutama dalam masyarakat adalah
konsepsi bahwa hal yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka
bekerjasama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Konsep
ini yang kita sebut dengan gotong royong, mempunyai ruang lingkup yang amat
luas karena hampir semua karya manusia itu biasanya dilakukannya dalam rangka
kerjasama dengan orang lain. Tingkat adat kedua dan lebih kongkret adalah sistem
norma. Norma-norma itu adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada
peranan-peranan tertentu dari manusia dalam masyarakat. Jumlah norma dalam
suatu kebudayaan lebih banyak daripada jumlah nilai budayanya.11
Kebudayaan adalah kenyataan yang dilahirkan manusia dengan perbuatan.
Kebudayaan tidak saja asalnya, tapi juga kelanjutannya bergantung pada manusia.
Sumber dari tiap-tiap apa yang dikatakan. Kebudayaan adalah jiwa dengan
11
berpangkal pada kejiwaan, dapat disusun satu defenisi yang akan menjadi
rumusan pengertian kebudayaan. Semua cipta dan laku perbuatan manusia yang
dikerjakan sehari-hari atau selama kehidupannya dalam rangka hubungan dengan
manusia lain dan alam, masuk lapangan kebudayaan.12
Kebudayaan yang diciptakan manusia dalam kelompok dan wilayah yang
berbeda-beda menghasilkan keragaman kebudayaan. Tiap persekutuan manusia
(masyarakat, suku, atau bangsa) memiliki kebudayaanya sendiri yang berbeda
dengan kebudayaan kelompok lain. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok
manusia membentuk ciri dan menjadi pembeda dengan kelompok lain. Dengan
demikian kebudayaan merupakan identitas dari persekutuan hidup manusia.
Dalam rangka pemenuhan hidupnya manusia akan berinteraksi dengan manusia
lain, masyarakat berhubungan dengan masyarakat lain, demikian pula terjadi
hubungan antarpersekutuan hidup manusia dari waktu ke waktu dan terus
berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Kebudayaan yang ada ikut pula
mengalami dinamika seiring berjalannya waktu. Perubahan kebudayaan adalah
perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya ketidaksesuaian di antara
unsu-unsur budaya yang saling berbeda sehingga terjadi keadaan yang fungsinya
tidak serasi bagi kehidupan. Perubahan kebudayaan mencakup banyak aspek,
baik bentuk, sifat perubahan, dampak perubahan, dan mekanisme yang
dilaluinya. Perubahan kebudayaan di dalamnya mencakup perkembangan
kebudayaan, pembangunan dan modernisasi termasuk pula perubahan
kebudayaan.13 Perubahan kebudayaan yang terjadi bisa memunculkan masalah,
antara lain perubahan merugikan manusia jika perubahan itu bersifat regres
(kemunduran) bukan progress (kemajuan); perubahan bisa berdampak buruk atau
menjadi bencana jika dilakukan melalui revolusi, berlangsung cepat, dan di luar
kendali manusia. Penyebaran kebudayaan atau difusi adalah proses menyebarnya
unsur-unsur kebudayaan dari satu kelompok ke kelompok lain atau suatu
masyarakat ke masyarakat yang lain. Misalnya, kebudayaan dari masyarakat Barat
12
Joko Tri Prasetyo, Ilmu Budaya Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), h. 78
13
(negara-negara Eropa) masuk dan mempengaruhi kebudayaan Timur (bangsa Asia
dan Afrika). Globalisasi budaya bisa dikatakan pula sebagai penyebaran suatu
kebudayaan secara meluas. Dalam hal penyebaran kebudayaan, seorang sejarawan
Arnold J. Toynbee merumuskan tentang radiasi budaya sebagai berikut;14
Pertama, aspek atau unsur budaya selalu masuk tidak secara keseluruhan,
melainkan individual. Kebudayaan Barat yang masuk ke dunia Timur pada abad
ke-19 tidak masuk secara keseluruhan teknologi merupakan unsur yang paling
mudah diserap. Industrialisasi di negara-negara Timur merupakan pengaruh dari
kebudayaan Barat.
Kedua, kekuatan menembus suatu budaya berbanding terbalik dengan
nilainya. Makin tinggi dan dalam aspek budayanya, makin sulit untuk diterima.
Contoh religi adalah lapis dalam dari budaya. Religi orang Barat (Kristen) sulit
diterima oleh orang Timur dibandingkan teknologinya. Alasannya, religi
merupakan lapisan budaya yang paling dalam dan tinggi, sedangkan teknologi
merupakan lapisan luar dari budaya.
Ketiga, jika satu unsur budaya masuk maka akan menarik unsur budaya lain.
Unsur teknologi asing yang diadopsi akan membawa masuk pula nilai budaya
asing melalui orang-orang asing yang bekerja di industri teknologi tersebut.
Keempat, aspek atau unsur budaya yang di tanah asalnya tidak berbahaya,
bisa menjadi berbahaya bagi masyarakat yang didatangi. Dalam hal ini, Toynbee
memberikan contoh nasionalisme. Nasionalisme sebagai hasil evolusi sosial
budaya dan menjadi sebab tumbuhnya negra-negara nasional di Eropa abad ke-19
justru memecah belah sistem kenegaraan di dunia Timur, seperti kesultanan dan
kekhalifahan di Timur Tengah.
Masyarakat multikultural dibentuk melalui proses asimilasi15 kelompok minoritas ke dalam kelompok dominan. Kemudian berbagai kelompok tersebut
14
Ferdian Tonny Nasdian, Sosiologi Umum, (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2015), h. 54
15
mengasimilasikan dirinya sebagai masyarakat baru, sehingga terbentuklah suatu
masyarakat bangsa sebagai hasil dari asimilasi tersebut. Proses seperti itu
diabadikan dalam sebuah teori terkenal, yaitu teori melting pot.16
Teori melting pot pada awalnya diwacanakan oleh J.Hektor seorang imigran
dari Normandia. Dalam teorinya dia menekankan penyatuan budaya dan
melelehkan budaya asalnya, sehingga seluruh masyarakat hanya memiliki satu
budaya baru.17
Kemudian ketika komposisi etnik dan ras beragam dan majemuk,
maka teori melting pot tidak sesuai lagi, sehingga muncul teori baru yang disebut
teori salad bowl (gadogado) sebagai teori alternatif yang dipopulerkan oleh
Horace Kallen. Teori salad bowl tidak melelehkan budaya asal, tetapi sebaliknya
kultur-kultur lain di diakomodasi dengan baik dan masing-masing memberikan
kontribusi untuk membangun budaya. Hal ini kemudian melahirkan teori Cultural
Pluralism, yang membagi ruang pergerakan budaya menjadi dua. Dua ruang gerak
itu adalah: 1) Ruang gerak publik untuk seluruh etnik/ras mengartikulasikan
budaya politik dan mengekspresikan partisipasi sosial. Dalam konteks ini
masyarakat homogen dalam sebuah tatanan budaya. 2) Ruang gerak privat, yang
di dalamnya masyarakat mengekspresikan budaya etnis/ras mereka secara leluasa.
Teori-teori tersebut dikembangkan di Amerika untuk membangun persatuan dan
kesatuan dan mengembangkan kebangsaan serta warga negara Amerika Serikat.
Namun demikian pada dekade 1960an masih ada sebagian masyarakat Amerika
yang merasa hak-hak sipilnya belum dapat dijamin sepenuhnya. Hal itu
memunculkan pemikiran baru agar semua kelompok masyarakat dapat hidup
Umum, h. 55 Menurut Ki Supriyoko, kontak budaya akan menghasilkan dua kemungkinan, yaitu:
Pertama, pertemuan antar budaya tanpa membuahkan nilai-nilai baru yang bermakna, disebut
asimilasi, dan Kedua, pertemuan antar budaya yang membuahkan nilainilai yang lebih bermakna, disebut akulturasi. Proses asimilasi dan akulturasi hasil kontak budaya pasti terjadi dan keduanya akan memberikan dampak positif dan negative. Lihat juga Ki Supriyoko, Pendidikan Nasional Sebagai Pengiring Kebudayaan Nasional, Materi Perkuliahan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Tahun 2007
16
Bill Watson, Multiculturalism: Its Strenth and Weaknesses, dalam JPIPS, No.23, Tahun XIII, Desember 2004, h. 15
17
nyaman, aman, dan tenteram dan terjamin hak-haknya. Kelompok Black America,
imigran dari Amerika Latin, atau kelompok minoritas lainnya memerlukan cara
baru yang sesuai dengan tuntutan baru, karena cara-cara yang sudah ada tidak
tepat lagi. Untuk kepentingan itu maka mereka mengembangkan teori
multiculturalism,18 yang menekankan pada penghargaan dan penghormatan
terhadap hak-hak minoritas, baik dilihat dari segi etnik, agama, ras, atau warna
kulit. Pada hakikatnya multikulturalisme adalah sebuah konsep akhir untuk
membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang
etnis, agama, ras, budaya, dan bahasa dengan menghormati dan menghargai
hak-hak sipil mereka termasuk menghormati hak-hak sipil kelompok minoritas.19 Singkat kata, Indonesia adalah bangsa majemuk paripurna (par excellence).20
Multikulturalisme secara etimologis terbentuk dari 3 kata yaitu: Multi
(banyak), Kultur (budaya), Isme (aliran/paham). Yang berarti multikulturalisme
adalah aliran atau paham tentang banyak budaya yang berarti mengarah pada
18Istilah multikultural mengandung dua pengertian, yaitu”multi” yang berarti plural (berjenis-jenis) sedangkan”kultural” berarti kultur atau budaya. Pendidikan multikultural berarti pendidikan yang menghargai adanya pluralitas keberagaman budaya. Menurut H.A.R Tilaar, dalam pendidikan multikultural tidak mengenal fanatisme/fundamentalisme sosial-budaya termasuk agama. Setiap komunitas mengenal dan menghargai perbedaan-perbedaan yang ada.
Demikian pula, pendidikan multikultural tidak mengenal adanya xenophobia (kebencian terhadap
barang/orang asing). Lihat H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, (Jakarta: PT Grasindo, 2004), h. 185-190 penjelasan lain bahwa Mulikutural adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan masyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik dalam kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks, dan karena muncul kedasaran bahwa keanekaragaman dalam realitas dinamika kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditolak, diingkari apalagi di musnahkan. Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 103
19
Thomas Sowell, Mosaik Amerika: Sejarah Etnis Sebuah Bangsa, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1989), h. 5 Nurcholish Madjid mendefinisikan budaya Indonesia atau keindonesiaan, tidak lain adalah hasil interaksi yang kaya (resourcefull) dan dinamis antarpelaku budaya yang
beranekaragam itu dalam suatu melting pot yang efektif Nurcholish Madjid, “Asas-Asas
Pluralisme dan Toleransi Dalam Masyarakat Madani, dalam Abuddin Nata, dkk (ed), Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002, h. 3.
20
keberagaman budaya.21 Menurut Tilaar multikulturalisme mengandung
pengertian yang sangat kompleks yaitu “multi” yang berarti plural, “kulturalisme”
berisi pengertian budaya. Istilah prulal mengandung arti yang berjenis-jenis,
karena pluralism bukan sekedar pengakuan adanya hal-hal yang berjenis-jenis
tetapi pengkuan itu juga mempunyai implikasi politis, sosial, dan ekonomi. Tilaar
mendefinisikan lebih lanjut istilah multikulturalisme yang berarti institusionalisasi
dari keanekaragaman kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok etnis di
dalam suatu nation-state melalui bidang-bidang atau sistem hukum, pendidikan,
kebijakan pemerintah dalam kesehatan dan perumahan, bahasa, praktik-praktik
keagamaan dan bidang lainnya.22
Sementara itu menurut Parekh dalam Farida Hanum dan Setya Raharja
mengemukakan pengertian multikulturalisme meliputi tiga hal. Pertama,
multikulturalisme berkenaan dengan budaya; kedua, merujuk pada keragaman
yang ada; ketiga, berkenaan dengan tindakan spesifik pada respon terhadap
keragaman tersebut. Akhiran “isme” menunjukkan suatu doktrin normatif yang
diharapkan bekerja pada setiap orang dengan konteks masyarakat dengan
beragam budaya. Sedangkan Musa Asy’arie dalam Choirul Mahfud, berpendapat
bahwa multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya
sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu
segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan
bersama dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup yang kodrati, baik
dalam kehidupan diri sendiri yang multidimensional maupun dalam kehidupan
masyarakat yang kompleks, dan karenanya muncul kesadaran bahwa
keanekaragaman dalam realitas dinamik kehidupan adalah suatu keniscayaan yang
tidak bisa ditolak, diingkari, apalagi dimusnahkan.23
21
H.A.R Tilaar, Multikulturalisme : Tantangan-tantangan Global Masa depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Grasindo, 2004), h.82
22
H.A.R Tilaar, Multikulturalisme : Tantangan-tantangan Global Masa depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, h. 387
23Choirul Mahfud,
Adapun nilai-nilai multikultural seperti yang termuat dalam Farida Hanum
dan Setya Raharja, dikatakan dalam bahasa visi-misi pendidikan multikultural
dengan selalu menegakkan dan menghargai pluralisme, demokrasi, dan
humanisme, kemudian dengan ketiga hal tersebut siswa diharapkan menjadi
generasi yang selalu menjunjung tinggi moralitas, kedisiplinan, kepedulian
humanistik, dan kejujuran dalam berperilaku sehari-hari.24 Sementara itu menurut H.A.R Tilaar dalam Zakiyatun Baidhawy dalam Maemunah, menjelaskan
beberapa nilai-nilai multikultural yang ada, sekurang-kurangnya terdapat
indikator-indikator sebagai berikut: belajar hidup dalam perbedaan, membangun
saling percaya (mutual trust), memelihara saling pengertian (mutual
understanding), menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), terbuka
dalam berpikir, apresiasi dan interdepedensi, resolusi konflik dan rekonsiliasi nir
kekerasan. Sedangkan untuk memahami nilai-nilai multikultural secara umum
terdapat empat nilai inti (core values) antara lain: Pertama, apresiasi terhadap
adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat. Kedua, pengakuan
terhadap harkat manusia dan hak asasi manusia. Ketiga, pengembangan tanggung
jawab masyarakat dunia. Keempat, pengembangan tanggung jawab manusia
terhadap planet bumi.25
Di Indonesia sendiri sebagaimana telah dinyatakan di atas, telah menyadari
tentang adanya kemajemukan ragam etnik dan budaya masyarakatnya. Indonesia
sebagai suatu negara didukung oleh keberagaman etnis, budaya dan agama yang
terbentuk oleh adanya persamaan sejarah, senasib-sepenanggungan, dan memiliki
tujuan yang sama, yakni sama-sama ingin mencapai masyarakat adil, makmur,
24
Farida Hanum dan Setya Raharja, Pengembangan Model Pembelajaran Pendidikan Multikultural Menggunakan Modul sebagai Suplemen Pelajaran IPS di Sekolah Dasar, 2011), h. 116 dalam wacana aksiologi, terdapat tiga macam teori mengenai nilai; Objektivitas nilai, Subjektivitas nilai dan Relativisme nilai. Dalam penelitian ini nilai yang dimaksud adalah relativisme nilai, bahawa nilai-nilai bersifat relative karena berhubungan dengan preferensi (sikap, keinginan, ketidaksukaan, perasaan, selera dan kecenderungan) baik secara sosial, dan pribadi yang dikondisikan oleh lingkungan, kebudayaan, atau keturunan. Lihat Zaprulkhan, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo, 2016), h. 85
25
dan sejahtera. Akan tetapi, gagasan besar itu kemudian tenggelam dalam sejarah
dan politik monokultur, baik yang dipraktekkan oleh Orde Lama maupun Orde
Baru. Sistem Demokrasi Terpimpin yang diusung rezim Sukarno telah mematikan
kreatifitas-kreatiftas lokal atau daerah yang berbasis etnik dan budaya tertentu.26 Kondisi pada periode Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto lebih
parah lagi. Manajemen sentralistik yang dikembangkan rezim Suharto menjadikan
filsafat Bhineka Tunggal Ika hanya tinggal slogan belaka. Upaya untuk mencapai
kehidupan Bhineka Tunggal Ika tidak pernah terwujud dalam kenyataan empirik
hubungan sosial maupun pranata sosial lainnya. Ketika simpul-simpul yang
mengikat demokrasi terbuka pasca gerakan Reformasi, maka gagasan-gagasan
yang terkait dengan kebhinekaan menjadi mengemuka dan langsung memasuki
wilayah pendidikan dalam bentuk praktik. Seharusnya sebelum masuk pada
tahapan realisasi, teori multikulturalisme di Indonesia dirumuskan terlebih dahulu
oleh para ahli bidang sosial dan politik. Melalui teori yang dirumuskan itu akan
memperoleh gambaran tipe ideal, jelas ruang lingkup dan batasbatasnya, serta
bagaimana model pendidikan multikulturalisme yang seharusnya dilaksanakan.
Atau setidaknya kita tidak akan dikacaukan oleh teori melting pot, salad bowl dan
lainnya yang pernah dilaksanakan di Amerika Serikat. Sebenarnya Indonesia
memiliki perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan yang tepat untuk
mengikat kebhinekaan atau multi etnik, justru melalui pendidikan
multikulturalisme dapat menjadi common platform dalam mendesain pendidikan
khususnya dalam praktik pembelajaran yang berbasis Bhinneka Tinggal Ika.27 Ditinjau dari segi sosial budaya dalam era global seperti sekarang ini, Indonesia
26
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar didunia Lihat Ainul Yaqin,
Pendidikan Multikultural Cross-cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan
(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 3 Kekayaan dan keanekaragaman agama, etnik dan kebudayaan, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi kekayaan ini merupakan khazanah yang patut dipelihara dan memberikan nuansa dan dinamika bagi bangsa, dan dapat pula merupakan titik pangkal perselisihan, konflik vertikal dan horizontal. Krisis multidimensi yang berawal sejak pertengahan 1997 dan ditandai dengan kehancuran perekonomian nasional, sulit dijelaskan secara mono-kausal. Cermati Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural,
(Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama, 2005). h. 21
27
masih dihadapkan pada dua tantangan besar, yaitu tantangan yang berupa proses
integrasi keberagaman budaya, agama, dan etnis dan yang kedua adalah tantangan
dari masuknya arus budaya global yang bersifat ekspansif.28
B. Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan seluruh potensi
manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitas sebagai konsekuensi
keragaman budaya, suku, agama, ekonomi, sosial dan politik. Sebagai salah satu
negara multikulural terbesar didunia sudah seharusnya Indonesia mengembangkan
pendidikan multikultural sebagai salah satu alternatif mencegah konflik sosial
budaya yang sering kali terjadi di Indonesia.29
Pembangunan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa dengan cara
taken for granted atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara
sistematis, programatis, integrated dan berkesinambungan. Hal ini dikarenakan
realitas multikultural yang ada di Indonesia merupakan kekayaan dan kekuatan
budaya yang sepatutnya dijaga dan dilestarikan. Masyarakat multikultural yang
demokratis di Indonesia yang sehat tidak bisa dibangun secara taken for granted
atau trial and error, sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis,
integrated dan berkesinambungan. Untuk itu, pendidikan multikultural di
Indonesia harus mengembangkan model pembelajaran yang mengarah pada
beberapa kompetensi dasar yang harus dimiliki warga negara yakni. Pertama,
mengembangkan kompetensi akademik standar dan dasar (standar and basic
28
Tanto Sukardi, Mencari Format Baru Pendidikan Berbasis Multikultural Di Indonesia, Ditulis dalam Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014, h. 99
29
academic skills) tentang nilai persatuan dan kesatuan, demokrasi, keadilan,
kebebasan, persamaan derajat atau saling menghargai dalam beraneka jenis
keberagaman. Kedua, mengembangkan kompetensi sosial agar dapat
menumbuhkan pemahaman yang lebih baik (a better understanding) tentang latar
belakang budaya dan agama sendiri dan juga budaya dan agama lain dalam
masyarakat. Ketiga, mengembangkan kompetensi akademik untuk menganalisis
dan membuat keputusan yang cerdas (intelegent dicisions) tentang isu-isu dan
masalah keseharian (real life problems) melalui sebuah proses demokratis atau
penyelidikan dialogis. Keempat, membantu mengkonseptualisasi dan
mengaspirasikan konstruksi masyarakat yang lebih baik, demokratis, egaliter,
tanpa ada diskriminasi, penindasan, dan pelanggaran terhadap nilai asasi
universal.30
Buku Multicuctural Education: A Teacher Guide to Linking Context,
Process and content, karya seorang pakar pendidikan multikultural di Califonia
State University, Amerika Serikat, Hilda Hernandez mengartikan pendidikan
multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan
ekonomi yang dialami oleh masingmasing individu dalam pertemuan manusia
yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefl eksikan pentingnya budaya,
ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, politik dan
pengecualian dalam proses pendidikan.31 Pandangan tersebut dapat dimaknai bahwa ruang pendidikan multikultural sebagai media transpormasi ilmu
pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan
nilai-nilai multikulturalisme dengan saling menghargai dan menghormati atas
realitas yang beragam (pluralis), baik latar belakang maupun basis sosial
budaya yang melingkupinya.32
30
Yuli Adhani, Konsep Pendidikan Multikultural Sebagai Sarana Alternatif Pencegahan Konflik, Ditulis dalam Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014, h. 112
31
Hilda Hernandez, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process,
and Content. New Jersey & Ohio: Prentice Hall, 1989, h. 6 32
National Association for Multicultural Education sebagaimana dikemukakan
Azra menguraikan tiga perspektif pengertian pendidikan multikultural. Pertama,
pendidikan multikultural sebagai konsep filosofis yang berlandaskan pada ide
kemerdekaan, keadilan, kesamaan, hak kekayaan, dan martabat kemanusiaan.
Kedua, pendidikan multikultural sebagai proses yang meliputi semua aspek
praktek sekolah, kebijakan dan organisasi sebagai alat untuk memastikan tingkat
prestasi akademis para siswa. Ketiga, pendidikan multikultural memperkuat
keyakinan bahwa semua Siswa, riwayat hidup dan pengalamannya harus
ditempatkan sebagai pusat dalam proses pengajaran dan pembelajaran harus
didasarkan pada konteks yang dekat (terbiasa) dengan Siswa dan menunjukkan
berbagai cara berpikir.33
Seperti kita ketahui, bahwa pendidikan merupakan usaha yang secara
sengaja dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar Siswa dapat secara
aktif mengembangkan potensi dirinya. Dengan demikian Siswa memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, ahlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Kegiatan pendidikan diperlukan untuk menumbuh kembangkan kearifan
multikultural dan kesadaran global Siswa, agar nantinya mereka mampu berperan
dalam merawat kemajemukan tadi dan mendayagunakannya untuk meraih
kemaslahatan hidup bersama, serta mampu menyikapi secara tepat arus
globalisasi. Pemahaman siswa memberikan pencerahan pada masyarakat dalam
proses interaksi sosial. Ini berarti pendidikan agama mengemban misi penting
mendekatkan Siswa dengan tuntunan agama dan mentransformasikan nilai-nilai
agama yang inklusif-multikultural kepada mereka.
33
Pendidikan agama sudah seharusnya lebih “didialogiskan” agar kegiatan
edukasinya mampu menutrisi tumbuhkembang kearifan multikultural dan
wawasan global Siswa.34
Pendidikan yang berbasis multikultural harus dapat memberi pemahaman
tentang keberadaan masyarakat plural yang membutuhkan ikatan-ikatan
keadaban, yang berupa pergaulan antar budaya yang diikat oleh suatu
peradaban. Tentu saja ikatan tersebut dibangun oleh nilai-nilai universal
kemanusiaan, yang ditransfer kepada masyarakat agar menemukan tujuan
kepemilikan dan kelanggengan. Kepemilikan nilai-nilai universal itu dapat
melembaga dalam masyarakat untuk mewujudkan budaya luhur, sehingga
tercipta masyarakat yang aman, tertib, berwibawa, dan bermartabat. Untuk dapat
memahami pendidikan multikultural, perlu dipahami karakteristik budaya dan
wilayah budaya. Pemahaman terhadap karakteristik budaya antara lain meliputi
budaya sebagai suatu hal yang general sekaligus sebagai suatu yang spesifik.35
Di samping itu budaya juga merupakan sesuatu yang dapat dipelajari, sebagai
suatu simbol, sebagai milik bersama, sebagai atribut individu, budaya juga sebagai
suatu model, dan budaya sebagai suatu yang bersifat adaptif. Kesadaran
multikultural juga didorong oleh perkembangan global (arus globalisasi) yang
berdampak pada perjumpaan lintas budaya dan agama yang berlangsung amat
intens.36
34
Mahmud Arif, Pendidikan Agama Islam Inklusif-Multikultural, Ditulis dalam Jurnal
Pendidikan Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Volume I, Nomor 1, Juni 2012, h. 15 Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural. Selanjutnya isu tentang multikultural ini menjadi pembicaraan dalam ranah pendidikan formal pada tahun 1990. Lihat Thomas J La Belle & Christoper R. Ward, Multiculturalism and Education: Diversity and Its Impact on Schools and Society (United States: State of University of New York press, 1994), h. 29
35
Cetak Miring ditambahkan penulis
Pengajaran agama pada sekolah madrasah yang menggunakan model
monoreligius harus diubah menjadi multireligius dan interreligius.37 Selain telah membuat orang”buta” tentang agama lain, model pengajaran monoreligius yang
hanya mengajarkan agama sendiri cenderung membuat orang bersikap pasif
terhadap keragaman, jika bukan malah menarik diri. Pendidikan yang bersifat
agama monoreligius identik dengan pendidikan yang monokultural. Monokultur
(budaya tunggal) adalah bentuk kehidupan yang tunggal dan seragam. Pendidikan
agama monoreligius akan rentan pula terhadap ideologi radikal. Biasanya
pendidikan macam ini tak memiliki banyak variasi dalam memberikan ilustrasi
yang lengkap dan holistik. Sebab, yang diutamakan adalah metode pembelajaran
dan tes yang terstandardisasi: tidak membuat peserta didik menjadi manusia yang
utuh, dengan pemahaman akan dunia secara holistik. Yang diberikan
gambaran-gambaran sempit, cenderung hanya memuji diri sendiri, dan sebaliknya buta
terhadap budaya pihak lain. Akibatnya, metode pembelajaran macam ini hanya
memproduksi alumni yang tidak adaptif terhadap dunia yang berubah, bahkan
berpotensi (menurut Deneen) menjadi suatu gerombolan terideologi tunggal yang
mudah dimobilisasi. Padahal, pembentukan masyarakat yang plural adalah
kebutuhan sosial mendasar. 38
Pelajaran teologi yang diajarkan di sekolah hanya sekedar untuk
memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan
kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan
pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme
dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik
tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik yang
37
Pendidikan multireligius dan interreligius itu bukan hanya penting dan lebih mencerahkan, melainkan juga esensial dan fundamental bagi kesinambungan pergaulan sosio-kultural atau interaksi kemanusiaan. Daya hidup kesinambungan sosio-kultural hanya dapat berjalan secara baik, aman, indah, dan kreatif apabila masyarakat pendukungnya memberikan ruang dan toleransi bagi kemajemukan. Lihat M. Dwi Marianto, “Belajar Dari Alam dan Orang Desa”, Kompas, 28 April 2014, h. 7
38
lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual,
substantif dan aktif sosial.39
Pendidikan multikultural kian mendesak untuk dilaksanakan di sekolah.
dengan pendidikan multikultural, sekolah menjadi lahan untuk menghapus
prasangka, dan sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar
mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis. Ada dua hal yang perlu
dilakukan dalam pembangunan pendidikan multikultural di sekolah, yaitu;
pertama, melakukan dialog dengan menempatkan setiap peradaban dan
kebudayaan yang ada pada posisi sejajar. Kedua, mengembangkan toleransi untuk
memberikan kesempatan masing-masing kebudayaan saling memahami. Toleransi
disini tidak hanya pada tataran konseptual, melainkan juga pada teknik
operasionalnya.40
Pengembangan perspektif sejarah (etnohistorisitas) yang beragam dari
kelompok-kelompok masyarakat, memperkuat kompetensi interkultural dari
budaya-budaya yang hidup di masyarakat dengan nilai-nilai inti dari
multikultural berupa (demokratis), (humanisme), (pluralisme). Adapun dalam
pendidikan multikultural, proses nilai yang ditanamkan berupa cara hidup
menghormati, tulus, toleran terhadap keragaman budaya yang hidup di
tengah-tengah masyarakat yang plural. Untuk itu lewat pendidikan multikultural sebagai
wadah menanamkan kesadaran tentang nilai-nilai multikultural41 dan kesadaran
bahwa keragaman hidup sebagai suatu kenyataan yang harus dihadapi dan
39
M. Agus Nuryatno, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyikap Relasi Pengetahuan, Politik,
dan Kekuasaan (Yogyakarta: Resist Book, 2008), h. 77 40
Erlan Muliadi, Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah, Ditulis dalam Jurnal Pendidikan Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Volume I, Nomor 1, Juni 2012, h. 6
41
disikapi dengan penuh kearifan, tentu saja, penanaman konsep seperti ini
dilakukan dengan tidak mengurangi kemurnian masing-masing agama yang
diyakini kebenarannya oleh anak didik. ini yang harus memperoleh penegasan
agar tidak terjadi kesalapahaman.42
C. Pendidikan Multikultural Sebagai Alternatif Proantisipasi Konflik dan
Desain Penerapannya dalam Pembelajaran
Pergeseran nilai-nilai budaya dalam masyarakat menjadi problem yang harus
segera dikritisi dalam dunia akademik. Pembahasan konsep-konsep, karakter
maupun nilai-nilai kebudayaan telah mancapai tahap akhir dalam peradaban.
Pendidikan menjadi wadah pembenaran, penanaman nilai bahkan problem solving
dalam setiap dinamika sosial budaya masyarakat adalah wacana penting yang
seyogianya diaktualisasikan oleh seluruh lapisan masyarakat budaya. Dalam
peneliitian ini, seperti pada penjelasan sebelumnya peneliti mengasumsikan
bahwa pendidikan mengambil peran penting dalam pengelolaan sistem
kemasyarakatan termasuk kendali sosial budaya masyarakat. Konsep tentang
multikultural melalui penelusuran para ahli manunjukan bahwa multikulturalisme
memberikan ruang kepada masyarakat dengan keberagamannya mewujudkan
nilai-nilai budaya masyarakat pada tatanan demokratis inklusif dengan tetap
mempertahankan simbol-simbol kearifan lokal yang ada. Penerapan nilai-nilai
budaya menurut hemat penulis, akan lebih terarah melalui proses pendidikan di
sekolah.43 Hal demikian dapat terjadi pada sekolah umum maupun sekolah madrasah khususnya.
42
Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multikultural Konsep dan Amlikasi,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011) h. 53. Cetak Miring dan Tebal ditambahkan oleh penulis
43
Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat
menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif
di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah
tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan
yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi
dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis,
rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan.44
Berbagai proses budaya terjadi dalam masyarakat sehingga sering kali
mempengaruhi stabilitas pendidikan di lingkungan masyarakat. Karakter yang
berbeda dari setiap masyarakat berbudaya memberikan gambaran tentang pola
pemahaman dan penanaman nilai-nilai multikultural yang terjadi secara natural
pada proses sosial masyarakat. Pendidikan memberikan ruang pada budaya untuk
mengembangkan dan melestarikan serta memperjelas proposisi esensialnya
sebagai bagian yang melekat pada masyarakat itu sendiri. Masyarakat dalam
interaksi sosial pada umumnya dipengaruhi oleh status sosial budayanya.
Sehingga menurut hemat penulis bahwa budaya secara utuh membentuk sistem
tatanan hubungan antar masyarakat, dan hal demikian dimulai dari proses
pendidikan. Pendidikan berbasis multikultural diartikan sebagai proses
pengembangan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang sebagai
usaha mendewasakan manusia melalui proses pembelajaran, pelatihan,
perbuatan, dan melaui cara-cara mendidik serta menghargai pluralitas dan
heterogenitas secara humanistik.45
44
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 276
45
Nalar masyarakat tentang konsep multikultural masih terpaku pada tafsir
hegemonik yang sarat dengan prasangka, kecurigaan, bisa kebencian, dan reduksi
terhadap kelompok yang berada di luar dirinya (the other). Akibatnya
ikatan-ikatan sosial melalui kolektivitas dan kerjasama hanya berlaku di dalam
kelompoknya sendiri (in group), tidak berlaku bagi kelompok lain (other group).
Buktinya,konflik dan kekerasan hingga kini masih terjadi dalam bentuk dan motif
yang beragam di beberapa wilayah Indonesia, termasuk di dalam lingkungan
perguruan tinggi hal ini dipaparkan dalam penelitian “dinamika konflik sosial
dalam bentuk tawuran mahasiswa yang berujung pada perilaku kekerasan yang
terjadi di kota Makassar”.46
Harus diakui bahwa permasalahan multikulturalisme masih merupakan
ancaman bagi Indonesia. Sebagai bukti dalam sepuluh tahun terakhir ini masih
saja terjadi peristiwa tragis yang melanda sejumlah daerah, yang disebabkan oleh
perbedaan agama, budaya, suku atau etnis. Jadi adanya keberagaman di negeri ini
masih berpotensi sebagai pemicu konflik dalam bentuk kekerasan, penyerangan,
pengrusakan, pembakaran, penganiayaan, penangkapan, dan intimidasi.
Permasalahan multukulturalisme yang tercermin dalam berbagai peristiwa
sebenarnya merupakan produk sosial yang disebut habitus. Sering diartikan
habitus sebagai suatu tindakan pengkondisian yang dikaitkan dengan keberadaan
suatu kelas sosial, yaitu kelas dominan pemegang kekuasaan. Pengkondisian dapat
dilakukan melalui media massa dan pendidikan, karena kedua elemen itu
berujung pada keragaman, heterogenitas, pluralitas, dan deversitas sebagai suatu keharusan dalam pendidikan multikultural. 3) Pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk membentuk jati diri seseorang, yang berupaya menyeragamkan seluruh aspek kemanusiaannya. Ciri khas pendidikan multikultural selalu menghadapi keragaman pluralistik, heterogenitas, etnik, agama, budaya, dan suku sehingga dapat mengangkat potensi seseorang dengan jati dirinya masingmasing. Mengenai wilayah budaya dapat diartikan sebagai; a) Subkultural, merupakan suatu perbedaan karakteristik budaya dalam suatu kelompok masyarakat. b) Kultur nasional, yang berbentuk aneka ragam pengalaman, sifat dan nilai-nilai yang digunakan oleh warga negara yang berada dalam suatu negara. c) Kultur internasional, terbentuk dari tradisi kultural yang meluas melampau batas-batas wilayah nasional sebuah negara melalui proses penyebaran (diffusion), yaitu proses penggambungan antar dua kulturatau lebih melalui beberapa cara seperti migrasi, perkawinan, media massa, atau bahkan film.
46Jumadi, “
dipandang sebagai sarana yang sangat efektif untuk menyebar luaskan wacana.
Berdasarkan pada kenyataan seperti itu maka perlu segera dicari jalan keluar agar
multikultural tidak lagi menjadi masalah yang membahayakan bagi kehidupan dan
keutuhan bangsa. Diperlukan upaya pengkondisian melalui bidang pendidikan ke
arah yang positif. Perlu segera diwacanakan, dirancang dan dilakukan kebijakan
tentang pendidikan yang berbasis multikulturalisme format baru yang bersifat
lebih kritis (critical multiculturalism). Untuk menghindari dampak negatif dari
perkembangan kondisi masyarakat Indonesia dewasa ini, maka perlu dirancang,
dikembangkan dan dipraktikkan model pendidikan yang berbasis pada multikultur
yang tepat untuk menjawab tantangan.
Penerapan nilai-nilai multikultural Proantisipasi konflik yang ada di sekolah,
adalah sebagai berikut:47
a. Nilai Inklusif (Terbuka)
Nilai ini memandang bahwa kebenaran yang dianut oleh suatu kelompok,
dianut juga oleh kelompok lain. Nilai ini mengakui terhadap pluralisme dalam
suatu komunitas atau kelompok sosial, menjanjikan dikedepankannya prinsip
inklusifitas yang bermuara pada tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai
kemungkinan unik yang ada.
b.Nilai Mendahulukan Dialog (Aktif)
Dengan dialog, pemahaman yang berbeda tentang suatu hal yang dimiliki
masing-masing kelompok yang berbeda dapat saling diperdalam tanpa merugikan
masing-masing pihak. Hasil dari mendahulukan dialog adalah hubungan erat,
sikap saling memahami, menghargai, percaya, dan tolong menolong.
c. Nilai Kemanusiaan (Humanis)
Kemanusiaan manusia pada dasarnya adalah pengakuan akan pluralitas,
heterogenitas, dan keragaman manusia itu sendiri. Keragaman itu bisa berupa
47
ideologi, agama, paradigma, suku bangsa, pola pikir, kebutuhan, tingkat ekonomi,
dan sebagainya.
d. Nilai Toleransi
Dalam hidup bermasyarakat, toleransi dipahami sebagai perwujudan
mengakui dan menghormati hak-hak asasi manusia. Kebebasan berkeyakinan
dalam arti tidak adanya paksaan dalam hal agama, kebebasan berpikir atau
berpendapat, kebebasan berkumpul, dan lain sebagainya.
e. Nilai Tolong Menolong
Sebagai makhluk sosial, manusia tak bisa hidup sendirian meski segalanya
ia miliki. Harta benda berlimpah sehingga setiap saat apa yang ia mau dengan
mudah dapat terpenuhi, tetapi ia tidak bisa hidup sendirian tanpa bantuan orang
lain dan kebahagiaan pun mungkin tak akan pernah ia rasakan.
f. Nilai Keadilan (Demokratis)
Keadilan merupakan sebuah istilah yang menyeluruh dalam segala bentuk,
baik keadilan budaya, politik, maupun sosial. Keadilan sendiri merupakan bentuk
bahwa setiap insan mendapatkan apa yang ia butuhkan, bukan apa yang ia
inginkan.
g. Nilai Persamaan dan Persaudaraan Sebangsa Maupun Antar Bangsa
Dalam Islam, istilah persamaan dan persaudaraan itu dikenal dengan nama
ukhuwah. Ada tiga jenis ukhuwah dalam kehidupan manusia, yaitu: Ukhuwah
Islamiah (persaudaraan seagama), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan
sebangsa), ukhuwah bashariyah (persaudaraan sesama manusia). Dari konsep
ukhuwah itu, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia baik yang berbeda suku,
agama, bangsa, dan keyakinan adalah saudara. Karena antar manusia adalah
saudara, setiap manusia memiliki hak yang sama.
Dalam penanaman nilai-nilai multikultural, pendidik harus memahami
dengan baik karakter atau budaya pada setiap peserta didik. Penggunaan bahasa
didik. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran pendidik ke pikiran
peserta didik. Peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dalam kajian
ini, peserta didik bersifat adaptif membuat kaitan antara gagasan dengan informasi
baru yang diterima dalam pengkonstruksian secara bermakna. Bahasa sebagai
sistem seperti halnya budaya hanya bisa dikaji dan dipahami dalam
pengertian-pengertian relasional. Kajian ini mencakup pencarian dan penelitian sistem
kaidah. Jika bahasa dapat dipahami maka sistem-sistem budaya lain juga dapat
dipahami, selain itu bahasa menerangkan makna dalam menganalisis berbagai
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Multikultural mempunyai makna kesediaan menerima kelompok lain sebagai kesatuan, kesetaraan tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan, multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka diperlakukan sama di dalam ruang publik.
2. Pendidikan multikultural sebagai media transformasi ilmu pengetahuan
(transfer of knowledge) hendaknya mampu memberikan nilai-nilai
multikulturalisme dengan saling menghargai dan menghormati atas realitas
yang beragam (pluralis), baik latar belakang maupun basis sosial budaya
yang melingkupinya. Pendidikan berbasis multikultural diartikan sebagai
proses pengembangan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok
orang sebagai usaha mendewasakan manusia melalui proses pembelajaran,
pelatihan, perbuatan, dan melaui cara-cara mendidik serta menghargai
pluralitas dan heterogenitas secara humanistik.
3. Pendidikan Multikultural sebagai alternatif proantisipasi konflik
sekurang-kurangnya terdapat indikator-indikator yang harus diperhatikan adalah
sebagai berikut: belajar hidup dalam perbedaan, membangun saling percaya
(mutual trust), memelihara saling pengertian (mutual understanding),
menjunjung sikap saling menghargai (mutual respect), terbuka dalam
berpikir, apresiasi dan interdepedensi, resolusi konflik dan rekonsiliasi nir
kekerasan. Sedangkan untuk memahami nilai-nilai multikultural secara
umum terdapat empat nilai inti (core values) antara lain: Pertama, apresiasi
terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat. Kedua,
pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia. Keempat, pengembangan
DAFTAR PUSTAKA
Agus Nuryatno, M, Mazhab Pendidikan Kritis Menyingkap Relasi Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan, Yogyakarta: Resist Book, 2008
Agus Nuryatno, M, Mazhab Pendidikan Kritis: Menyikap Relasi Pengetahuan, Politik, dan Kekuasaan, Yogyakarta: Resist Book, 2008
Azra, Azyumardi, Pendidikan Kewargaan dan Demokrasi di Indonesia, dalam Ikhwanuddin Syarif & Domodo Murtadlo (eds), Pendidikan untuk masyarakat Indonesia baru: 70 Tahun Prof. Dr. HAR Tilaar Msc. Ed., Jakarta:Grasindo, 2002
Baidhawy, Zakiyuddin, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama, 2005
Hanum, Farida, Pengembangan Model Pembelajaran Pendidikan Multikultural Menggunakan Modul sebagai Suplemen Pelajaran IPS di Sekolah Dasar,
2011
Hernandez, Hilda, Multicultural Education: A Teacher Guide to Linking Context, Process, and Content. New Jersey & Ohio: Prentice Hall, 1989
Hidayat, Komaruddin, “Merawat Keragaman Budaya” dalam Tonny D.
Widiastono (ed.), Pendidikan Manusia Indonesia, Jakarta: Buku Kompas, 2004
Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralitas: Perbedaan Dan Kemajemukan Dalam Bingkai Persatuan, Jakarta: Gema Insani Press, 1999
J La Belle, Thomas, Multiculturalism and Education: Diversity and Its Impact on Schools and Society , United States: State of University of New York press, 1994
Jumadi, “Dinamika konflik sosial dalam bentuk tawuran mahasiswa di Kota Makassar”. Disertasi PPS UNHAS: tidak diterbitkan. 2009
Kartanegara, Mulyadhi, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas, Jakarta: Erlangga, 2007
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, Dan Pembangunan, Jakarta: Kompas Gramedia, 2016
Madjid, Nurcholish “Asas-Asas Pluralisme dan Toleransi Dalam Masyarakat Madani, dalam Abuddin Nata, dkk (ed), Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2002
Mahfud, Choirul, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Mujiburrahman, Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008
Naim, Ngainun, Pendidikan Multikultural Konsep dan Amlikasi, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2011
Nata, Abudin, Ilmu Pendidikan Islam Dengan Pendekatan Multidisipliner, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009
S.R. Haditono, Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2002
Sowell, Thomas, Mosaik Amerika: Sejarah Etnis Sebuah Bangsa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Syahid, Achmad, Riuh Di Beranda Satu: Peta Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia, Jakarta: Departemen Agama RI, 2002
Taher, Tarmizi, Menuju UmmatanWasathan: Kerukunan Beragama di Indonesia, Jakarta: PPIM IAIN Jakarta, 1998
Taylor, A Barbara, Woman Substance/ Wanita Aditama, Jakarta: Gramedia, 1994
Ronald, C. Dolls, Curriculum Improvement Deciion Making and Process, Allyn dan Bacon. Boston. In 1974
Tilaar, H.A.R, Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: PT Grasindo, 2004
Tonny Nasdian, Ferdian, Sosiologi Umum, Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2015
Tri Prasetyo, Joko, Ilmu Budaya Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 2013
Watson, Bill, Multiculturalism: Its Strenth and Weaknesses, dalam JPIPS, No.23, Tahun XIII, Desember 2004
Yaqin, Ainul, Pendidikan Multikultural Cross-cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005
Referensi Jurnal
Adhani, Yuli, Konsep Pendidikan Multikultural Sebagai Sarana Alternatif Pencegahan Konflik, Ditulis dalam Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
Arif, Mahmud, Pendidikan Agama Islam Inklusif-Multikultural, Ditulis dalam
Jurnal Pendidikan Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta Volume I, Nomor 1, Juni 2012,
Azra, Azyumardi, Pendidikan Multikultural; Membangun Kembali Indonesia Bhineka Tunggal Ika, dalam Tsaqofah, Vol. I, No. 2, tahun 2003
Muhammad Iqbal, Mahathir, Pendidikan Multikultural Interreligius: Upaya Menyemai Perdamaian Dalam Heterogenitas Agama Perspektif Indonesia, Ditulis dalam Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
Muliadi, Erlan, Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah, Ditulis dalam Jurnal Pendidikan Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Volume I, Nomor 1, Juni 2012
Sukardi, Tanto, Mencari Format Baru Pendidikan Berbasis Multikultural Di Indonesia, Ditulis dalam Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 1 Mei 2014
Supriyoko, Pendidikan Nasional Sebagai Pengiring Kebudayaan Nasional,
Materi Perkuliahan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Tahun 2007
Referensi Internet
El-Ma’hady, Maemunah, Multikulturalisme dan Pendidikan Multikultural, www. Pendidikan.net. diakses pada tanggal 21 Desember 2016
Made Suparsa, I, Peranan Multikultural Dalam Pendidikan Nasional; http//suparsa.blogspot. 2016/11/peranan-multikultural.
Rosyada, Dede, Pendidikan Multikultural Melalui Pendidikan Agama Sebuah Gagasan Konsepsional: http://www.google.co.id/ search?hl=id&client=fi refox-a&rls=org.mozilla:en-US:offi cial&q=MULTI+KUL