• Tidak ada hasil yang ditemukan

problematika Pendidikan multikultural di (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "problematika Pendidikan multikultural di (1)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai salah satu Negara besar di dunia dan jumlah penduduk yang sangat banyak dengan berbagai macam agama, suku, ras, bahasa, sosial, budaya yang mendiami wilayah Indonesia menjadikan masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultural. Kemajemukan dan multukulturalitas mengisyaratkan adanya perbedaan. Bila dikelola dengan baik dan benar, kemajemukan dan multukulturalitas menghasilkan kekuatan positif bagi pembangunan bangsa. Sebaliknya. Jika tidak dikelola secara benar, kemajemukan dan multukulturalitas bisa menimbulkan konflik dan kekerasan sosial.

Jika melihat dari sejarah Indonesia, mulai dari masa-masa prakemerdekaan, seputar kemerdekaan, seputar pergantian tahun 1965, sepanjang kurun orde Baru, semasa kejatuhan pemerintahan Soeharto, dan selama pemerintahan Orde Reformasi hingga hari ini, kehidupan bangsa Indonesia penuh diwarnai tragedi sosial dan konflik yang berujung pada terjadinya tindak kekerasan. Seperti kerusuhan Sampit, konflik agama di Maluku, Poso, Ambon menunjukkan betapa rapuhnya konstruksi kebangsaan berbasis multikultural di Indonesia.1

Kasus Sampit adalah kasus etnis yang paling menggegerkan negeri ini, konflik warga Dayak dan warga Madura di Kota Sampit Ibukota Waringin Timur, Kalimantan Tengah memakan ratusan korban jiwa. Padahal mereka telah lama hidup berdampingan .

Oleh karena itu penulis akan membahas dalam makalah ini dengan memahami problematika pendidikan multikultural di Indonesia.

(2)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, penulis merumuskan beberapa masalah:

a. Apa Pengertian Pendidikan Multikultural?

b. Apa Saja Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia?

1.3 Tujuan Pembahasan

a. Untuk memahami Pengertian Pendidikan Multikultural.

(3)

BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Pendidikan Multikultural

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan dari Negara Indonesia yang berarti berbeda-beda tapi tetap satu jua. Hal ini sudah jelas menandakan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman budaya, suku bangsa, agama, bahasa, dan sebagainya. Kelompok-kolompok budaya seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak, Jawa, Bugis, Ambon, Papua dan lain-lain adalah contoh dari keragaman tersebut. Oleh sebab itu pula, Negara Indonesia disebut sebagai negara multikultural.

Keragaman ini memang diakui telah memunculkan beberapa persoalan, misalnya perkelahian antarsuku, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain. Untuk memecahkan masalah tersebut, maka dibutuhkan suatu solusi, salah satunya adalah model pendidikan yang bersifat multikultural.

(4)

Pendidikan multikultural diharapkan mampu menjawab tantangan zaman di masa globalisasi ini. Pendidikan merupakan salah satu tolak ukur dan standar mengenai seberapa jauh suatu negara mampu bersaing di dunia internasional. Semakin baik mutu pendidikan suatu negara, maka negara itu semakin siap dalam menghadapi persaingan global.

Multikulturalisme berasal dari kata “multi” yang berarti plural, “kultural” yang berarti kultur atau budaya, dan “isme” yang berarti paham atau aliran. Dalam perkembangannya, multikulturalisme tidak lebih dari sebuah istilah yang menyempurnakan gagasan sebelumnya yaitu pluralisme.

Multikulturalisme adalah respon terhadap realitas, dimana masyarakat selalu menjadi plural (jamak) dan tidak monolitik. Keanekaragaman membawa perbedaan dan dapat berujung pada konflik. Namun bukan berarti konflik selalu disebabkan oleh perbedaan. Dari sudut pandang agama, keragaman keyakinan, budaya, dan pandangan hidup penting untuk diangkat kembali mengingat penganut agama-agama di Indonesia masih awam, sehingga sangat rawan dengan konflik dan kekerasan.

James A. Banks memberikan pengertian tentang Pendidikan Multikultural sebagai konsep, ide, atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Pendidikan multikultural juga dapat diartikan sebagai sebuah gerakan reformasi yang dirancang untuk menghasilkan sebuah transformasi di sekolah, sehingga peserta didik baik dari kelompok gender maupun dari kelompok budaya dan etnik yang berbeda akan mendapat kesempatan yang sama untuk menyelesaikan sekolah.

(5)

dalam pendidikan. Keadilan sosial, persamaan pendidikan, dan dedikasi melandasi pemberian kemudahan pengalaman pendidikan dalam mewujudkan semua potensinya secara penuh dan mewujudkan manusia yang sadar dan aktif secara lokal, nasional, dan global.

a. Problem umum kependidikan

Problema pendidikan timbul akibat dari pesatnya kemajuan teknologi modern yang semakin bnayak mempengaruhi sistem kehidupan di Negara berkembang dan yang sedang berkembang. Meskipun kemajuan teknologi itu sendiri mula-mula bersumber dari sistem kependidikan yang telah ada, akan tetapi dampaknya terhadap kehidupan masyarakat sangat kompleks.

Karena pengaruh dari kemajuan teknologi, berbagai sistem kehidupan yang telah ada terdorong kea rah berbagai perubahan sosial, baik yang mengandung dampak negatif maupun dampak positif diukur dengan kebudayaan pada masing-masing masyarakat itu sendiri.

Yang jelas dapat terlihat oleh para peneliti bidang pendidikan, perubahan sosial demikian menuntut perubahan sistem kependidikan yang telah ada, disesuaikan atau diperbarui kea rah tujuan-tujuan yang lebih menguntungkan bagi perkembangan masyarakat di masa mendatang.

Di semua Negara, bila kita teliti secara cermat, akan didapati problema pokok yang tekait dengan sistem dengan sistem dan pola kependidikan nasionalnya masing-masing dalam lima permasalahan dasar, serupa dengan identifikasi dari Phillips H. Coombs, yang ia sebutkan sebagai “Lima faktor krisis kependidikan” (The five educational crisis) yaitu: 2

1. Pertambahan anak usia sekolah, yang mengakibatkan banyaknya anak yang tidak dapat tertampung di sekolah. Setiap tahun jumlah anak makin bertambah besar, sedangkan daya tampung sekolah tidak memadainya.

2 Phillip H. Coos, The World Educational Crisis, dalam Arifin, Ilmu

(6)

67-Inilah suatu tantangan berat di Negara-negara berkembang pada khususnya, seperti Indonesia.

2. Produk (hasil) atau out put pendidikan di sekolah tidak seimbang dengan kebutuhan masyarakat, terutama yang sedang membangun dimana dari sekolah itu diharapkan tenaga-tenaga ahli yang terampil untuk memacu proses pembangunan yang sedang dijalankan. Apakah ketidakseimbangan itu disebabkan karena sekolah kurang mampu menampung aspirasi dari tuntutan hidup masyarakat atau karena sekolah itu sendiri berkualitas rendah, sehingga tidak mampu memenuhi harapan masyarakat.

3. Kurangnya sumber biaya merupakan faktor yang sungguh memberatkan pihak pengelola sekolah. Di samping harus meningkatkan mutu hasil pendidikan di sekolahnya, ia harus pula dengan susah payah mencari dana untuk membiayai jalannya pendidikan di sekolah. Oleh kerena itu, memerlukan bantuan dari 3 instansi: Pemerintah, Masyarakat, dan Keluarga, sebagai tritunggal-nya penanggug jawab pendidikan.

4. Kurangnya efektivitas dan efisiensi kerja. Meskipun faktor ini banyak berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah, akan tetapi faktor guru dan tenaga administratif juga berpengaruh, misalnya karena sarana ekonomis rendah (tidak mencukupi kebutuhan hidup), para guru terpaksa harus merangkap kerja di luar kependidikan atau bekerja di beberapa sekolah lainnya. Keadaan demikian sulit untuk diharapkan suatu sekolah mendapatkan efektivitas (kedayagunaan) dan efisiensi (kehasilgunaan) yang baik.

5. Kurang jelasnya tujua pendidikan yang dirumuskan, menjadi arah proses kependidikan di sekolah atau di luar sekolah (pendidikan non-formal). Menurut Phillips H. Cooms, faktor-faktor tersebut di atas terdapat hampir di seluruh Negara, terutama di Negara-negara yang sedang berkembang. Di Indonesia, selain menghadapi problem di atas, juga menghadapi permasalahan pendidikan yang lain, seperti:3

1. Pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat masih dalam perjuangan melalui program pembnagunan nasioanal. Agar sekolah dapat

(7)

menjangkau rakyat banyak, maka titik berat pembangunan bidang pendidikan diletakkan pada memperluas pendidikan tingkat dasar. 2. Profesi guru kurang menarik minat para pemuda-pemudi Indonesia,

karena satu hal dan lain hal gajinya relatif lebih rendah daripada bekerja di bidang non guru misalnya di bank atau di perusahaan swasta nasional maupung asing. Di samping itu, status sosial guru kurang dipandang tinggi dibandingkan misalnya status sosial kepala kantor atau direktur suatu perusahaan. Meski, gaji guru dan tunjangannya telah dinaikkan, namun menjadi guru masih merupakan pekerjaan alternative pilihan terakhir kalau tidak terpaksa.

3. Berkaitan dengan pembinaan watak bangsa yang beridentitas Pancasila, masalah metode pendidikan danj materinya masih belum efektif. Bidang studi yang berkaitan dengan pembinaan watak bangsa, seperti Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, belum nampak adanya keterpaduan kurikulum, sehingga masing-masing guru yang memegang bidang studi tersebut belum beranjak serempak.

Oleh karena permasalahan kependidikan bagi masyarakat modern merupakan akibat dari proses kehidupan yang semakin meningkat, maka permasalahannya tetap berkembangan sejalan dengan proses kehidupan masyarakat itu sendiri, pemecahannya harus didasarkan pada skala prioritas permasalahan mana yang harus dipecahkan lebih dahulu dan mana yang masih dapat ditunda.

b. Faktor-faktor munculnya Problematika di Indonesia

Masalah-masalah yang muncul dari pendidikan multikultur ada dua hal, yaitu:

(8)

sesuai dengan perkembangan konsep-konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak asasi manusia.

Kedua, pendidikan multicultural merupakan suatu yang multifaset, oleh sebab itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin ilmu, maupun dari para pakar dan praktisi pendidikan untuk semakin lama semakin memperhalus dan mempertajam konsep pendidikan multicultural yang dibutuhkan oleh masyarakat. 4

c. Upaya Penyelesaian Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia.

Upaya terhadap konsep tersebut antara lain;

Pertama, reformasi kurikulum yaitu diperlukan teori kurikulum baru, antara lain yang berisi analisis historis, termasuk dianalisis buku-buku pelajaran yang tidak sesuai dengan pluralisme budaya.

Kedua, mengajarkan prinsip-prinsip keadilan sosial juga dalam hal ini diperlukan aksi-aksi budaya atau social action untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan ras.

Ketiga, mengembangkan kompetensi mulitkultural. Hal ini meliputi pengembangan identitas etnis dan sub etnis melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan.

Keempat, melaksanakan pedagogik kesetaraan (equality pedagogy). Pedagogik kesetaraan dilaksanakan di sekolah misalnya cara belajar dan mengajar yang tidak menyinggung perasaan atau tradisi dalam suatu kelompok tertentu.5

(9)

B. Problem Pendidikan Multikultural di Indonesia

Penerapan pendidikan multikultural di Indonesia masih mengalami berbagai hambatan atau problem. Problem pendidikan multikultural di Indonesia memiliki keunikan yang tidak sama dengan problem yang dihadapi oleh negara lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah dan kemajuan sosial ekonomi dapat menjadi pemicu munculnya problem pendidikan multikultural di Indonesia. Problem pendidikan multikultural di Indonesia secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua hal, yaitu : problem kemasyarakatan pendidikan multikultural dan problem pembelajaran pendidikan multikultural.

1. Problem Kemasyarakatan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Dalam studi sosial, ajakan agar selalu hidup berdampingan secara damai (koeksistensi damai) ini merupakan bentuk sosialisasi nilai yang terkandung dalam multikulturalisme. Kesadaran akan pentingnya kemajemukan mulai muncul seiring gagalnya upaya nasionalisme negara, yang dikritik karena dianggap menekankan kesatuan daripada keragaman. Bertolak dari kenyataan ini, kini dirasakan semakin perlunya kebijakan multikultural yang memihak keragaman. Tetapi, dalam implementasinya pendidikan multikultural berhadapan dengan beragam problem di masyarakat, yang menghambat penerapan pendidikan multikultural di dalam ranah pendidikan. Problem-problem tersebut antara lain :

a. Keragaman identitas budaya daerah

(10)

kelompok budaya lain justru dapat menjadi konflik dan menghambat proses pendidikan multikultural.

Dalam mengantisipasi hal ini, keragaman yang ada harus diakui sebagai sesuatu yang mesti ada dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di dalamnya melalui pendidikan multikultural. Dengan adanya pendidikan multikultural itu diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa saling mengenal, memahami, menghayati dan bisa saling berkomunikasi.

b. Pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah

Sejak dilanda arus reformasi dan demokratisasi, Indonesia dihadapkan para beragam tantangan baru yang sangat kompleks. Salah satu di antaranya yang paling menonjol adalah persoalan budaya. Dalam arena budaya, terjadinya pergeseran kekuatan dari pusat ke daerah membawa dampak besar terhadap pengakuan budaya lokal dan keragamannya. Bila pada masa Orba, kebijakan yang terkait dengan kebudayaan masih tersentralisasi, maka kini tidak lagi. Kebudayaan, sebagai sebuah kekayaan bangsa, tidak dapat lagi diatur oleh kebijakan pusat, melainkan dikembangkan dalam konteks budaya lokal masing-masing. Ketika sesuatu bersentuhan dengan kekuasaan maka berbagai hal dapat dimanfaatkan untuk merebut kekuasaan ataupun melanggengkan kekuasaan itu, termasuk di dalamnya isu kedaerahan.

(11)

untuk mengurai pandangan-pandangan yang sempit mengenai isu kedaerahan sehingga timbul toleransi dan harmonisasi.

c. Kurang kokohnya nasionalisme

Keragaman budaya ini membutuhkan adanya kekuatan yang menyatukan (integrating force) seluruh pluraritas negeri ini. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, kepribadian nasional dan ideologi negara berfungsi sebagai integrating force. Saat ini Pancasila kurang mendapat perhatian dan kedudukan yang semestinya sejak isu kedaerahan semakin semarak. Persepsi sederhana dan keliru banyak dilakukan orang dengan menyamakan antara Pancasila dengan ideologi Orde Baru yang harus ditinggalkan. Tidak semua hal yang ada pada Orde Baru jelek, sebagaimana halnya tidak semuanya baik. Ada hal-hal yang perlu dikembangkan.

Nasionalisme perlu ditegakkan namun dengan cara-cara yang edukatif, persusif dan manusiawi bukan dengan pengerahan kekuatan. Sejarah telah menunjukkan peraran Pancasila yang kokoh untuk menyatukan kedaerahan ini. Kita sangat membutuhkan semangat nasionalisme yang kokoh untuk meredam dan menghilangkan isu yag dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat menjadi jalan untuk memperkokoh nasionalisme dalam koridor keragaman bangsa yang majemuk ini.

d. Fanatisme sempit

(12)

menimbulkan gejala ke arah disintegrasi bangsa. Di sini pendidikan multikultural memiliki peran yang penting sebagai wahana peredam fanatisme sempit. Karena di dalam pendidikan multikultural terkandung ajaran untuk menghargai seseorang atau kelompok lain walaupun berbeda suku, agama, rasa atau golongan.

e. Konflik kesatuan nasional dan multikultural

Ada tarik menarik antara kepentingan kesatuan nasional dengan gerakan multikultural. Di satu sisi ingin mempertahankan kesatuan bangsa dengan berorientasi pada stabilitas nasional. Namun dalam penerapannya, bangsa Indonesia pernah mengalami konsep stabilitas nasional ini dimanipulasi untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat menjadi contoh ketika kebijakan penjagaan stabilitas nasional ini berubah menjadi tekanan dan pengerahan kekuatan bersenjata. Hal ini justru menimbulkan perasaan antipasti terhadap kekuasaan pusat yang tentunya hal ini bisa menjadi ancaman bagi integrasi bangsa.

Di sisi multikultural, kita melihat adanya upaya yang ingin memisahkan diri dari kekuasaan pusat dengan dasar pembenaran budaya yang berbeda dengan pemerintah pusat yang ada di Jawa ini. Contohnya adalah gerakan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Papua. Oleh karena itu pendidikan multikultural diharapkan dapat menjembatani berbagai perbedaan ini agar tidak terjadi benturan antara kesatuan nasional dan multikultural.

f. Kesejahteraan ekonomi yang tidak merata di antara kelompok budaya

(13)

Orang akan dengan mudah terintimidasi untuk melakukan tindakan yang anarkis ketika himpitan ekonomi mendera mereka. Mereka akan menumpahkan kekesalan mereka pada kelompok-kelompok mapan dan dianggap menikmati kekayaan yang dia tidak mampu meraihnya. Jadi, adanya tekanan ekonomi memaksa orang untuk bertindak destruktif. Berangkat dari hal ini, pendidikan multikultural diharapkan dapat mendidik seseorang untuk berperilaku menurut aturan yang berlaku. Selain itu, pendidikan multikultural diharapkan dapat mengajarkan perbedaan-perbedaan yang dijumpai di masyarakat karena di masyarakat terdiri dari beragam lapisan, seperti si kaya dan si miskin atau golongan borjuis dan proletar. Untuk itu pendidikan multikultural perlu diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai satu sama lain, tidak peduli dari lapisan mana seseorang itu berasal.

2. Problem Pembelajaran Pendidikan Multikultural di Indonesia

Pendidikan multikultural yang akhir-akhir ini sedang hangat dibicarakan ternyata tidak terlepas dari berbagai problem yang menghambatnya. Selain problem kemasyarakatan, pendidikan multikultural juga tidak lepas dari problem dalam proses pembelajarannya. Dalam kerangka strategi pembelajaran, pembelajaran berbasis budaya dapat mendorong terjadinya proses imajinatif, metaforik, berpikir kreatif, dan sadar budaya. Namun demikian, penggunaan budaya lokal (etnis) dalam pembelajaran berbasis budaya tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang terdapat dalam setiap komponen pembelajaran, sejak persiapan awal dan implementasinya.

Beberapa permasalahan awal pembelajaran berbasis budaya (multikultural) pada tahap persiapan awal, antara lain :

 Guru kurang mengenal budayanya sendiri, budaya lokal maupun budaya peserta didik.

(14)

 Rendahnya kemampuan guru dalam mempersiapkan peralatan yang dapat merangsang minat, ingatan, dan pengenalan kembali peserta didik terhadap khasanah budaya masing-masing dalam konteks budaya masing-masing serta dalam dimensi pengalaman belajar yang diperoleh.

Pada kenyataannya berbagai dimensi dari keberagaman budaya Indonesia dapat menimbulkan masalah dalam proses pembelajaran, terutama dalam kelas yang budaya etnis peserta didiknya sangat beragam, antara lain :

a. Masalah seleksi dan integrasi isi (content selection and integration) mata pelajaran

Implementasi pendidikan mutikultural dapat terhambat oleh problem seleksi dan integrasi isi mata pelajaran yang akan diajarkan. Masalah yang muncul dapat berupa ketidakmampuan guru memilih aspek dan unsur budaya yang relevan dengan isi dan topik mata pelajaran. Selain itu masih banyak guru yang belum dapat mengintegrasikan budaya lokal dalam mata pelajaran yang diajarkan, sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna bagi peserta didik.

Untuk mengatasi problem di atas, guru harus memiliki pengetahuan budaya yang memadai. selain itu diperlukan sikap dan keterampilan yang bijaksana dalam memilih metode atau materi pelajaran yang mengandung sensivitas budaya, misalnya materi tentang perbedaan etnis atau agama. Guru juga dapat memberikan sentuhan warisan budaya sehingga dapat memotivasi peserta didik mendalami akar budayanya sendiri dan akan menghasilkan pembelajaran yang kuat bagi peserta didik. Guru juga dapat menggunakan teknik belajar kooperatif dan kerja kelompok untuk meningkatkan integrasi ras dan etnis di sekolah dan di kelas.

b. Masalah “proses mengkonstrusikan pengetahuan” (the knowledge construction process)

(15)

mutikultural. Jika peserta didik terdiri dari berbagai budaya, etnis, agama, dan golongan dapat memunculkan kesulitan tersendiri untuk menyusun sebuah bangunan pengetahuan yang berlandaskan atas dasar perbedaan dan keragaman budaya. Seringkali muncul kesulitan dalam menentukan aspek budaya mana yang dapat dipilih untuk membantu peserta didik memahami konsep kunci secara tepat.

Selain itu, guru juga masih banyak yang belum dapat menggunakan frame of referencedari budaya tertentu dan mengembangkannya dari perspektif ilmiah. Hal ini terkait kurangnya pengetahuan dari guru tentang keragaman budaya. Problem lain yang dapat muncul adalah munculnya bias dalam mengembangkan perspektif multikultur untuk mengkonstruksi pengetahuan. Kekhawatiran yang muncul adalah munculnya diskriminasi dalam pemberian materi pelajaran sehingga hanya memunculkan satu kelompok atau golongan tertentu yang menjadi pokok bahasan pembelajaran.

c. Masalah mengurangi prasangka (prejudice reduction)

Salah satu masalah lain yang muncul dalam pembelajaran mutikultural adalah adanya prasangka dari peserta didik terhadap guru bahwa guru tertentu cenderung mengutamakan unsur budaya kelompok tertentu. Selain itu, guru belum dapat mengusahakan kerjasama (cooperation) dan pengertian bahwa strategi pemakaian budaya tertentu bukan merupakan kompetisi, tetapi sebuah kebersamaan. Oleh karena itu guru harus mengusahakan bagaimana agar peserta didik yang belum mengenal budaya yang dijadikan media pembelajaran menjadi tidak berprasangka bahwa guru cenderung mengutamakan budaya tertentu. Contoh, jika guru memilih Bagong (tokoh wayang di Jawa Tengah) untuk pembelajaran, maka guru harus menjelaskan siapa Bagong dan mampu mengidentifikasi tokoh serupa seperti Cepot (Jawa Barat), Sangut (Bali), Dawala dan Bawok (pesisir utara Jawa).

(16)

mendorong kebersamaan antar peserta didik dan saling memperkaya unsur budaya masing-masing.

d. Masalah kesetaraan paedagogi (equity paedagogy)

Masalah ini muncul apabila guru terlalu banyak memakai budaya etnis atau kelompok tertentu dan (secara tidak sadar) menafikan budaya kelompok lain. Untuk mempersiapkan atau memilih unsur budaya membutuhkan waktu, tenaga dan referensi dari berbagai sumber dan pustaka sehingga guru dapat melaksanakan kesetaraan paedagogi. Guru harus memiliki “khasanah budaya” mengenai berbagai unsur budaya dalam tema tertentu. Misalnya jika menerangkan tentang kesenian teater, guru dapat menyebutkan dan mengidentifikasi beragam kesenian dari berbagai daerah seperti Ludruk (Jawa Timur), Wayang Wong (Jawa Tengah), Lenong (Betawi), dan Ketoprak (Yogyakarta).

(17)

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Pendidikan multikultural pada intinya adalah pendidikan yang memberikan penekanan terhadap proses penanaman cara hidup yang saling menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat dengan tingkat pluralitas yang tinggi.

Problematika Pendidikan Multikultural di Indonesia meliputi 2 hal yakni:

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Banks, James. A. 1993. Multicultural Education: Issues and Perspective. Needham Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon.

Gorski, Paul. 2001. Six Critical Paradigm Shiifd For Multicultural Education and The Question We Should Be Asking, http/www. Edchange.org/multicultural, diakses tanggal 1 Juli 2011.

Koentjaraningrat. 2000. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rahmat, Pupu Saeful. 2008. Wacana Pendidikan Multikultural di Indonesia. http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/04/04/wacana-pendidikan-multikultural-di-indonesia, diakses tanggal 1 Juli 2011.

Sutarno. 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui problematika dalam konseling multikultural antara konselor dengan konseli berdasar perbedaan budaya di SMA N 1 Prambanan Sleman

Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wahana Pendidikan Multikultural Dalam Membangun Warga Negara Demokratis.. : Penelitian Grounded Theory di Universitas

Kontribusi teater tradisi sebagai media sosialisasi nilai multikultural di- mungkinkan mengingat: (1) Teater tradisi dapat menjadi media sintesis gagasan dan cita rasa

• Program Pendidikan Multikultural antara lain berbentuk bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, pendidikan “community language” yaitu bahasa yang. digunakan di dalam suatu masyarakat

Berdasarkan data yang diperoleh dari observasi dan studi dokumentsi, implementasi pendidikan multikultural di SMA Negeri 1 Teluk Keramat ini dilakukan dengan

Muatan kurikulum multikultural terintegrasi dengan pembelajaran PAI dan pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn). 2) Implementasi penanaman nilai-nilai pendidikan

Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan sebagai berikut ; (1) Implementasi Toleransi Beragama melalui Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah

Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan sebagai berikut; (1) Latar belakang pengembangan kurikulum pendidikan Islam berbasis multikultural di Madrasah Aliyah