• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN SISTEM PEGADAIAN SYARIAH

Penelitianini menemukan bahwa kedudukan hukum PP No.51 Tahun 2011 tentang PerubahanBentukBadanHukumPerum Pegadaian MenjadiPerusahaanPerseroanPegadaian(Persero) merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang secara langsung mengatur dan memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah di PT Pegadaian (Persero). Dalam kaitan ini fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI telah menjadi rujukan yang melandasi pengembangan gadai syariah dan akomodasinya oleh regulasi pemerintah memberikan rambu-rambu kepada pemerintah dan masyarakat untuk pengembangan usaha gadai syariah. Selain itu, terdapat sebelas peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung mengatur, tetapi memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia, yaitu: (1) UUD 1945; (2) KUHPerdata; (3) UU Lelang (Vendu ReglementOrdonantie); (4) UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi; (5) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; (6) UU No.42 Tahun 1999 tentangJaminanFidusia; (7) UU No.5 Tahun 1999 tentangLaranganPraktekMonopolidanPersaingan Usaha TidakSehat; (8) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN; (9) UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; (10) UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM; dan (11) UU No.8 Tahun 2010 tentangPencegahan dan PemberantasanTindakPidanaPencucianUang.

Politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah belum nampak pada periode 1945-2002. Politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah diinisiasi sejak dibukanya unit layanan gadai syariah oleh Perum Pegadaian pada tahun 2003. Upaya pemerintah untuk menyiapkan RUU Pergadaian dan telah masuk ke dalam Prolegnas 2010-2014, menunjukkan politik hukum pemerintah yang semakin kuat agar usaha jasa gadai termasuk jasa gadai syariah dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Jika RUU tersebut disahkan oleh DPR akan berdampak pada perkembangan usaha gadai syariah oleh pemerintah dan swasta. Namun demikian, politik hukum Pegadaian Syariah dikatakan paripurna apabila para penggiat ekonomi syariah berhasil mengusung pengusulan RUU Pegadaian Syariah sebagaimana keberhasilan pengusulan dan pengesahan UU Perbankan Syariah.

Sumber utama penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan tentang Pegadaian dan hasil wawancara, serta observasi pada PT Pegadaian, Bapepam-LK dan Badan Legislasi DPR RI. Data-data tersebut dibaca dengan menggunakan pendekatan analisis yuridis (normatif) dan politik hukum.

Kata kunci: Pegadaian Syariah, Fatwa, Dewan Syariah Nasional, Program Legislasi Nasional.

Abstract

This paper found that the Government Regulation No.51 year 2011 that has decide the transformation of legal entity of Pawn Public Company in to Pawnshop Limited Company is the highest law which directly role and give the opportunity to the develop the Islamic Pawnshop in Pawnshop Limited Company. In this case, fatwa (legal opinion) stated by DSN (National Sharia Council) of MUI (Indonesian Ulama Council) become a reference that lay down the development of Islamic Pawnshop and its accommodation held by the Government gives some rules to the Government and community in order to develop the Islamic pawnshop business. Besides that, there were another eleven regulations that indirectly roles but gives the opportunity to develop the Islamic Pawnshop Unit in Indonesia. Those regulations are:

(2)

(1) Constitution of The Republic of Indonesia; (2) Indonesian Cicil Code; (3) Law on Auction (VenduReglementOrdonantie); (4) Cooperation Law No.25 of 1992; (5) Customer Protection Law No.8 of 1999; (6) Fidusia Protection Law No.42 of 1999; (7) Prohibited Monopoly‟s Practice and Unhealthy Business Competitions No.5 of 1999; (8) BUMN Law No.19 of 2003; (9) Limited Company Law No.40 of 2007; (10) UMKM Law No.20 of 2008; (11) Prevention and Eradication of Money Laundering Law No.8 of 2012.

The legal politics of Indonesia about pawnshop did not exist in 1945 until 2002. The legal politics about Islamic pawnshop initiated since the first opening of the Islamic pawnshop service unit in 2003 that held by Pawnshop Corporation. The government effort on preparing the pawn regulation draft and placed it into National Legislation Program years 2010-2014 indicates the strength of the legal politics of the Government in order to establish the business of pawnshop service and Islamic Pawnshop service can achieved by the Indonesian people. If the draft passed a law by The Representative, it can be more influence to the development of pawnshop service including Islamic pawnshop which held by The Government and Private Sector. However, the legal politic of Islamic pawnshop can be accomplish if all of the Islamic Economy activists succeed in proposing Islamic pawnshop regulations draft as well as their successful in Islamic banking regulation.

The main sourcesof this paper areIndonesian regulations about pawnshop, interviews, and observations on Pawnshop Limited Company. Those data read by using juridical analysis approach and legal political approach.

Keywords: Islamic Pawnshop, Legal Opinion, National Sharia Council,National Legislation Program.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan Pegadaian Syariahdalamdasawarsa 2000-an semakin pesat, khususnya di

Indonesia.Hal ini ditunjukkan oleh semakin banyaknya jumlah nasabah, jenis ragam produk dan

jumlah kantor unit Pegadaian Syariah yang tersebar di setiap kabupaten dan kota di Tanah

Air(Republika, 9 April 2010: 20).

Untuk menjalankanPegadaian Syariah secara optimal,maka diperlukan regulasi yang

memadai, sehinggaPegadaian Syariah bisa dikelola dengan sehat dan sesuai prinsip

syariah(M.A.Sehan,2004: 3). Regulasi tersebut bertujuan untuk mengatur lebih lanjut mengenai

aspek kelembagaan, organisasi, instrumen keuangan, operasional, pengembangan sumber daya

manusia (SDM), dan pengawasan.Politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah diinisiasi

sejak dibukanyaunit layanan gadai syariah oleh Perum Pegadaian pada tahun 2003, upaya

pemerintah untuk menyiapkan RUU Usaha Jasa Gadai (belakangan namanya dirubah menjadi RUU

Pergadaian) telah masuk ke dalam Prolegnas tahun 2010-2014, menunjukkan politik hukum

pemerintah semakin kuat agar usaha jasa gadai termasuk gadai syariah dapat dilakukan oleh

masyarakat luas. Hanya saja sampai tahun 2012, RUU tersebut belum masuk ke dalam Prolegnas

Prioritas di DPR (http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=980diakses pada 3 Maret

2010). Padahal, adanya aturan hukum yang pasti dalam penyelenggaraan usaha gadai syariah, akan

mendorong gairah pasar dan pada akhirnya memberikan kontribusi yang optimal bagi

(3)

Kurangnya pengaturan ini merupakan permasalahan yang belum terpecahkan olehPegadaian

Syariah. Apa yang terjadi di Indonesia dihadapi pula oleh Pegadaian Syariah di negara lain seperti

India, khususnya India Utara.Kajian Javed Ahmad Khan dan Shariq Nisar menjelaskan satu fakta,

bahwa sepanjang empat dekade terakhir Funds Muslim di India Utara telah berhasil menerapkan

norma-norma Islam dalam praktik utang-piutang dengan sistem hukum gadai(Javed Ahmed Khan

dan Shariq Nisar, 2004:7). Namun, kegiatanFunds Muslimini masih labil dan mengalami instabilitas

karena tidak ada ketegasan regulasi.

Karena itu, pengesahanRUU Pergadaianmenjadi sangat urgen dalam memberikan kepastian

hukum usaha gadai syariah untuk dirinya secara otonom. Selama RUU Pergadaian belum disahkan,

akan ada dua masalah besar yang dihadapi: (1) pengembanganPegadaian Syariah, secara hukum,

akan berbenturan dengan aturan perundang-undangan lainnya;dan (2) pelaksanaan prinsip-prinsip

syariah tidak bisa dilakukan secara optimal dan memunculkan praktik tidak bertanggungjawab.

Selain permasalahan regulasi,Pegadaian Syariah memiliki kendala dalam

pengembangannya, yaitu karena masih dimonopoli oleh pemerintah. Dengan sistem monopoli

tersebut, pihak swasta seakan dipersempit ruang geraknya untuk membuka bisnis di sektor gadai

syariah. Lain halnya dengan bisnis di sektor perbankan syariah yang telah banyak dibuka oleh

swasta. Penulis berasumsi bahwa praktek monopoli tersebut menyebabkanPegadaian Syariah

menjadi kurang inovatif dan efisien karena tidak adanya kompetitor lain di bidang usaha

pegadaian.Memang bila dilihat dari segi produk gadai yang dikembangkan,Pegadaian Syariah saat

ini tidak lagi menjadi pemegang monopoli karena telah ada produk subtitusinya seperti yang

dikembangkan oleh perbankan syariah, yaitu produk Rahn Emas. Namun secara kelembagaan,

usaha pegadaian ini tetap masih dimonopoli oleh satu perusahaan, yaitu PT Pegadaian (Persero)

yang notabenenya adalah milik pemerintah. Meskipun Produk Rahn Emasini telah diadopsi menjadi

salah satu produk perbankan syariah, namun sifatnya sebatas pada orientasi produk pelengkap,

yakni sebagai akad tambahan, misalnya sebagai jaminan atau agunan produk pembiayaan

al-murabahah dan al-mudarabah (Sutan Remy Sjahdeini, 1999: 64-65).

Dalam perspektif kekinian, masuknya gadai menjadi salah satu produk perbankan syariah

menurut sebagian kalangan menjadi ironi karena dikhawatirkan berbenturan denganPegadaian

Syariah. Memasukkan produk RahnEmas dalam perbankan syariah seringkali terjebak di antara

kedua aturan yang saling tarik-menarik antara perbankan syariah denganPT Pegadaian (Persero).

Namun, jika sistem penyaluran pembiayaan ini dilakukan dengan optimal, justru PT Pegadaian

(Persero) akan menjadi partnership perbankan yang saling menguntungkan dan bukan lagi produk

(4)

Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, kedudukansistem Pegadaian Syariah

dalamsistem hukum nasional di Indonesia menjadi relevan untuk diteliti lebih lanjut. Dengan studi

ini akan diketahui kedudukan peraturan perundang-undangan yang secara langsung

mengaturPegadaian Syariah ditinjau dari hierarki perundang-undangan. Di samping itu, akan

diketahui pula peluang pengembanganPegadaian Syariah di Indonesia dalam peraturan

perundang-undangan lainnya. Lebih dari itu, akan dapat diketahui pula politik hukum Indonesia tentang

Pegadaian Syariah. Dengan demikian, studi ini dipandang layak untuk dilakukan.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Dari segi waktu, masalah ini dibatasi sejak periode 1945-2012. Sedangkan dari segi

substansi atau variabel yang dicakup kedudukan Pegadaian Syariah di sini meliputi dua substansi

utama, yaitu: (1) kedudukan Pegadaian Syariah dalam berbagai peraturan perundang-undangan

yangsecara langsung maupun tidak langsung mengatur dan memberi peluang bagi pengembangan

Pegadaian Syariah; (2) politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah sejak periode

1945-2012.

Dengan pembatasan tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai

berikut:

a. Bagaimana kedudukan peraturan perundang-undangan yang secara langsung mengatur

Pegadaian Syariah ditinjau dari hierarki perundang-undangan dan bagaimana peluang

pengembanganPegadaian Syariah di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan lainnya?

b. Bagaimana politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah?

C. Metodologi Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam kajian bidang hukum ekonomi syariah yangbersifat kualitatif

dengan pendekatan analisis yuridis (normatif) dan socio-legal research (penelitian non-doktrinal)

(Soetandyo Wignjosoebroto, 2002: 164).Penelitian normatifditujukan kepada peraturan

perundang-undangan yang ada tentang Pegadaian Syariah dan penelitian socio-legal research ditujukan kepada

bahan dan data tentang politik hukum.

Jenis penelitian ini adalah studi literatur, yang mengungkap: (1)kedudukan peraturan

perundang-undangan yang mengatur secara langsung mengenai Pegadaian Syariah ditinjau dari tata

urut perundang-undangan dan peluang pengembanganPegadaian Syariah di Indonesia dalam

peraturan perundang-undangan lainnya; serta(2) politik hukum Indonesia tentang Pegadaian

(5)

Sumber data primer penelitian ini adalah peraturan perundang-undangan tentang Pegadaian

dan hasil wawancara, serta observasi secara langsung. Sedangkan data sekunder yang digunakan

adalah bahan hukum yang memberi penjelasan bahan hukum primer seperti buku-buku, paper,

artikel, majalah, media cetak, makalah, jurnal, laporan penelitian, internet,serta tulisan lainnya yang

relevan.

Datayang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dan wawancara. Studi

dokumen dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan yang diterbitkan sejak tahun

1945-2012dan fatwa DSN-MUIsejak tahun 2002-2008, serta dokumen lainnya yang terkait. Peraturan

perundang-undangan dan fatwa-fatwa DSNini dianalisis dengan mengkaji keterpengaruhannya

terhadap pengembanganPegadaian Syariah di Indonesia dihubungkan dengan hasil wawancara

kepada narasumber. Sedangkan pihak yang diwawancara, yaitu:satu orang General Manager, satu

orang Asisten Manager,satu orang Kepala Biro Hukum, satu orang Kepala Kanwil X Jakarta II, dan

satu orang Manajer Humasdari PT Pegadaian (Persero);satu orang Kepala Biro Pembiayaan dan

Penjaminan Bapepam-LKdari Kementerian Keuangan RI; dua orang Wakil Sekretaris BPH

DSN-MUI dan satu orang Staf Baleg DPR RI. Metode penelitian socio-legal research yang dilakukan

dengan mewawancarai para narasumber terkait dengan sejumlah regulasiPegadaian Syariah dan

peluang pengembangannya,serta politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah.

Data yang berhasil diperoleh berupa peraturan perundang-undangan dan hasil wawancara,

sertafatwa DSN dianalisis dengan cara memilah-milah dan mengkaitkan pada kedudukan Pegadaian

Syariah. Pada peraturan perundang-undangan dan fatwa DSN, analisis dilakukan dengan cara

menganalisis isi peraturanPegadaian Syariah dalam sistem hukum nasional. Analisis tersebut

dikaitkan dengan hasil wawancara dan peluang pengembanganPegadaian Syariahdalam peraturan

perundang-undangan lainnya. Ditambah lagi, politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah.

PEMBAHASAN

A. Gadai dalam Hukum Islam

1. Pengertian Gadai (Rahn)

Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut al-Rahn. Kata al-Rahn berasal dari bahasa

Arab “rahana-yarhanu-rahnan” yang berarti menetapkan sesuatu(Louis Ma‟luf, 1986: 284). Secara bahasa pengertian al-Rahnadalah al-Subutwaal-Dawamyang berarti “tetap” dan “kekal”(Abu

Zakariyya Yahya bin Sharaf an-Nawawi, 1957: 121). Menurut Taqiyyuddin Abu Bakar al-Husayni

(w. 829 H), al-Rahn adalah al-Subut “sesuatu yang tetap” dan al-Ihtibas “menahan

sesuatu”(Taqiyyuddin Abu Bakar al-Husayni,tt: 263). Bagi Zakariyya al-Anshary (w. 936 H),

(6)

Al-Anshary, tt: 328).Dengan demikian, pengertian al-Rahn secara bahasa seperti yang terungkap di

atas adalah tetap, kekal dan menahan suatu barang sebagai pengikat utang.

Secara istilah menurut Ibn Qudamah (w. 629 H), pengertian al-Rahn adalah al-mal al-ladhi

yuj„alu wathiqatan bidaynin yustaufa min thamanihi in ta‟adhara istifa‟uhu mimman huwa „alayh

“suatu benda yang dijadikan kepercayaan atas utang, untuk dipenuhi dari harganya, bila yang

berutang tidak sanggup membayar utangnya” (Abi Muhammad Abdullah Ibn Ahmad Ibn

Muhammad Ibn Quddamah, 1994: 234). Bagi Zakariyya al-Anshary (w. 936 H), al-Rahn adalah

ja„lu „ayni malin wathiqatan bidaynin yustaufa minha „inda ta„adhuri wafa‟ihi “menjadikan suatu

barang yang mempunyai nilai harta benda sebagai jaminan utang yang dipenuhi dari harganya

ketika utang tersebut tidak bisa dibayar”(Zakariyya Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Zakariyya

Al-Anshary, tt: 328). Ia menyatakan bahwa tujuan rahn adalah menyerahkan barang jaminan yang

dimiliki dan berpindah kepemilikannya itu ketika rahin tidak mampu membayar dalam jangka

waktu yang telah ditentukan. Karena itu, jenis barang yang dijaminkan adalah berupa harta benda

yang dapat diperjualbelikan.

Menurut S. M. Hasanuzzaman, al-Rahnmeans a pledge or a security related to a loan“

al-Rahn adalah suatu akad untuk keamanan pembayaran atas utang”(S. M. Hasanuzzaman, 1995: 80).

Ia juga menyatakan bahwa al-Rahn also refers to an arrangement where by a valua ble asset is

place collateral for a debt al-Rahn dipergunakan untuk pengaturan suatu barang sebagai jaminan

atas utang.”Lebih lanjut dikemukakan oleh Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam (1997),

barang jaminan atau agunandalam istilah bank disebut dengan collateral. Sutan Remy Sjahdeini

berpendapat bahwa collateral ini sejalan dengan al-Marhun yang berlaku dalam akad rahn yang

dibicarakan ulama klasik. Perbedaannya hanya terletak pada pembayaran utang yang ditentukan

oleh bank. Al-Rahn merupakan persetujuan untuk menyerahkan harta miliknya untuk dijadikan

sebagai jaminan atau agunan(Sutan Remy Sjahdeini, 1999: 86).

Berdasarkan pengertian al-Rahndari berbagai pendapat di atas, penulis berpendapat bahwa

rahn adalah perjanjian penyerahan barang sebagai jaminan sehingga orang yang bersangkutan boleh

mengambil utang.Dengan demikian, tampak bahwa fungsi dari barang jaminan adalah untuk

memberikan keyakinan, ketenangan dan keamanan atas utang yang dipinjamkan.

2. Dasar Hukum Rahn

Dasar hukum rahn sebagai kegiatan muamalah dapat merujuk pada dalil-dalil yang

didasarkan pada al-Qur'an, sunah, ijma dan fatwa DSN-MUI. Hasil pelacakan penulis atas Mu„jam

al-Mufahras, sedikitnya terdapat tiga kata yang seakar dengan kata rahn dalam al-Qur'an: (1) rahin

dalam Q.S al-Tur (52): 21; (2) rahina dalam Q.S al-Muddatsîr (74): 38; dan (3) farihan dalam Q.S

(7)

bahwa rahn merupakan konsekuensi dari sesuatu yang telah dijanjikan atau dilakukan(Muhammad

Fu‟ad Abd al-Baqi, 1981: 400).

Al-Jaziri (w. 136 H) mengkaitkan istilah rahin dengan kasb dalam Q.S al-Tur (52): 21 di

mana penggadai (rahin) akan bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.Ia juga

menjelaskan bahwa term rahina dalam Q.S al-Muddatsîr (74): 38 adalah penahanan suatu barang

disebabkan oleh perilaku dari pemilik barang tersebut. Dengan kata lain,Ia berpendapat bahwa diri

seseorang akan tertahan utangnya sampai keadaan mampu melunasinya(Abd al-Rahman Ibn

Muhammad „Aws al-Jaziri, 1999: 319).

Selanjutnya, Muhammad „Ali al-Sayismenjelaskan bahwa kata farihan dalam Q.S

al-Baqarah (2): 283 adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam transaksi

utang-piutang berjangka.Kehati-hatian ditujukkan dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang

yang berpiutang (murtahin). Bila transaksi dilakukan saat kedua belah pihak dalam perjalanan

(musafir), maka transaksi tersebut harus dicatat dihadapan saksi. Bahkan, Ia menganggap bahwa

dengan adanya barang jaminan, rahin telah melampaui prinsip kehati-hatian suatu transaksi utang

yang hanya ditulis dan dipersaksikan(Fadhilah al-Shaykh Muhammad „Ali al-Sayis, 1986:

179).Sekalipun kata farihandalam Q.S al-Baqarah (2): 283, secara literal mengindikasikan bahwa

rahn dilakukan oleh seseorang ketika dalam keadaan musafir. Hal ini, bukan berarti dilarangnya

kegiatan tersebut bila dilakukan oleh orang yang menetap (bermukim). Sebab, keadaan musafir

ataupun menetap bukanlah syarat keabsahan transaksi rahn, melainkan contoh ekstrim dalam

bertransaksi(Muhammad Ibn Rushd bin Ahmad Rushd al-Qurtubi, 1970:351). Hal itu, dikuatkan

dengan hadis yang mengisahkan bahwa Rasulullah Saw menggadaikan baju besinya kepada seorang

Yahudi, untuk mendapatkan makanan bagi keluarganya, pada saat beliau tidak melakukan

perjalanan.

Muhammad Akram Khan menyatakan bahwa paling tidak ada empat hadis yang dijadikan

sebagai dasar rumusan gadai syariah, di antaranya: (1) hadis dari Aisyah r.a yang diriwayatkan oleh

Imam Muslim; (2) hadis dari Anas bin Malik r.a yang diriwayatkan oleh Ibn Majah; (3) hadis dari

Abu Hurayrah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari; dan (4) hadis riwayat Abu Hurayrah

r.a(Muhammad Akram Khan, 1994: 200-202).

Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksud, didasarkan pada

kisah Nabi Muhammad Saw yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari

seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh tersebut, ketika beliau beralih dari

yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada seorang Yahudi, bahwa hal itu

tidak lebih sebagai sikap Nabi yang tidak mau memberatkan para sahabat. Mereka biasanya enggan

(8)

Selain itu, dasar hukum yang dapat dijadikan rujukan dalam melakukan transaki gadai

adalah: (1) Fatwa Dewan Syariah Nasional No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn; (2) Fatwa

Dewan Syariah Nasional No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas; dan (3) Fatwa Dewan

Syariah Nasional No.68/DSN-MUI/III/2008 tentang RahnTasjily. Fatwa DSN ini menjadi rujukan

yang berlaku umum serta mengikat bagi masyarakat yang berinteraksi dengan Pegadaian Syariah,

termasuklembaga keuangan syariah lainnya, seperti perbankan syariah.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa legalitas gadai telah memiliki dasar

pijakan yang kuat karena didukung oleh dalil-dalil yang didasarkan pada al-Qur'an, sunah, ijma

ulama dan fatwa DSN-MUI. Oleh sebab itu, pegadaian saat ini harus melampaui tradisi gadai yang

dibangun pada masa Rasulullah Saw. Pengembangan gadai menjadi sebuah lembaga keuangan

mendapatkan keuntungan (profit oriented) merupakan salah satu jawaban di samping misi

sosialnya.

B. Peraturan Perundang-Undangan Yang Secara Langsung Mengatur Pegadaian Syariah

1. Pegadaian Syariah dalam Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2011

Salah satu persoalan mendasar berkaitan denganPegadaian Syariah di Indonesia adalah

belum adanya regulasi yang mengatur secara otonom atas usaha tersebut. Oleh karena itu,

pemerintah saat ini telah memberlakukan PP No.51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan

Hukum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). PP No.51 Tahun 2011 telah

ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono, di Jakarta pada tanggal 13 Desember

2011.Adapun materi muatan PP ini terdiri dari enam pasal dan enam ayat. Sedangkan Pasal yang

mengaturPegadaian Syariah hanya terdapat pada Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi:

“Maksud dan tujuan pegadaian adalah untuk melakukan usaha di bidang gadai dan fidusia, baik secara konvensional maupun syariah, dan jasa lainnya di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terutama untuk masyarakat, dan usaha menengah, serta optimalisasi pemanfaatan sumber daya Perseroan dengan menerapkan prinsip Perseroan Terbatas (PT).”

Dari ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa suatu pegadaian dalam melaksanakan

kegiatan usahanya selain dapat dilakukan secara konvensional, juga dapat dilakukan berdasarkan

prinsip syariah. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan PP tersebut, suatu pegadaian, dalam hal

menjalankan fungsinya atau melaksanakan kegiatan usahanya ada dua pilihan, yakni dapat

dilakukan secara konvensional (sistem bunga) dan/atau berdasarkan prinsip syariah.

Dengan diakuinya keberadaan pegadaian yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, maka

dengan sendirinya dalam sistem pegadaian nasional terdapat dua sistem pegadaian sekaligus.

(9)

pegadaian nasional yang berlaku di Indonesia. Konsekuensi dari kedudukan sistem Pegadaian

Syariah dalam operasionalnya harus tunduk pada PP di atas, selain harus tunduk pada ketentuan

fatwa-fatwa di bidang gadai syariah itu sendiri, ia juga harus tunduk pada segala aturan umum yang

menjadi landasan hukum bagi sebuah perusahaan gadai.Pengecualian bisa terjadi apabila secara

khusus ditentukan oleh peraturan perundang-undangan gadai tersebut.

Beberapa kali perubahan bentuk badan hukum pegadaian ini menunjukkan adanya dinamika

dalam perkembangan usaha gadai di Indonesia. Tonggak awal perubahan tersebut dimulai sejak

dikeluarkannya PP No.10 Tahun 1990, Pasal 3 menyatakan bahwa pegadaian merupakan badan

usaha tunggal yang diberi wewenang untuk menyalurkan kredit atas dasar hukum gadai. Meskipun

dalam PP tersebut di atas dinyatakan badan usaha tungggal, namun dilihat dari praktiknya di

masyarakat, gadai berdasarkan KUHPerdatasaat ini telah berkembang menjadi PegadaianSyariah

berdasarkan PP No.51 Tahun 2011 dan berdasarkan pada fatwa DSN-MUI. Lebih dari itu, usaha

gadai emas telah dilakukan secara terbuka oleh lembaga keuangan lainnya seperti Perbankan

Syariah, BPRS, Koperasi Syariah. Dengan demikian, persaingan dalam bisnis gadai syariah mulai

terbuka, baik yang bersifat suplementer yaitu berupa jaminan tambahan maupun yang berupa

transaksi tunggal(Laporan Akhir Tim Naskah Akademik, 2011: 42).

Bertitik tolak dari uraian di atas, maka keberadaan PP No.51 Tahun 2011 sebagai regulasi

yang mengatur kegiatan usaha gadai syariah di Indonesia sedikit lebih maju bila dibandingkan

dengan PP No.103 Tahun 2000 tentang Perum Pegadaian yang belum menyatakan secara tegas

mengenai posisi Pegadaian Syariah. Walau begitu, perkembangan hukum di bidang gadai syariah

masih jauh berada di bawah perbankan syariah terutama dari sisi perangkat hukumnya. Oleh sebab

itu, perlu adanya usulan yang mengarah kepada penguatan gadai syariah secara hukum dalam UU

atau PP yang khusus mengatur gadai syariah berdasarkan prinsip syariah.

2. Kedudukan Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2011 dalam Hierarki Perundang-Undangan

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kedudukan sistem Pegadaian Syariah tidak lain

merupakan bagian integral dari sistem pegadaian nasional yang berlaku saat ini.Permasalahan

selanjutnya adalah apakah kedudukan hukum PP No.51 Tahun 2011 sebagai dasar

pengembanganPegadaian Syariah cukup kuat bila ditinjau dari hierarki perundang-undangan? Hal

ini karena PP No.51 Tahun 2011secara tata perundang-undangan kedudukan hukumnya berada di

bawah undang-undang. Menurut Ismail Sunny, sekilas posisi PP berada di bawah undang-undang,

namun kedudukan hukumnya dinilai cukup kuat. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam

praktik penyelenggaraan pemerintahan, Presiden sebagai kepala pemerintahan sering mengeluarkan

(10)

A. Hamid S. Attamimi, Guru Besar dan Ahli Hukum Tata Negara Universitas Indonesia

menyatakan bahwa untuk mengetahui kedudukan hukum suatu lembaga tersebut kuat atau tidak,

dapat dilihat padahierarki perundang-undangan negara Republik Indonesia yang berturut-turut dan

berjenjang dari atas ke bawah(A. Hamid S. Attamimi, 1999: 286-290). Tata urut

perudang-undangan dimaksud merujuk pada Pasal 7 ayat (1) UU No.12 Tahun 201 tentang Pembentukan

Perundang-Undangan sebagai berikut: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Undang-Undang/Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Peraturan Daerah Provinsi;

dan (6) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota(UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan dikutip dari Lembaran Negara Tahun 2011 No.53diakses pada 3 Mei 2012).

Dengan demikian, kedudukan peraturan perundang-undangan Pegadaian Syariah di

Indonesia cukup kuat karena telah diatur dalam bentuk PP dan dilegitimasi oleh pemerintah dan

lembaga lainnya dalam bentuk fatwa DSN-MUI.Namun demikian, dinilai belum memadai sehingga

status hukumnya masih perlu ditingkatkan, untuk itu para praktisi maupun para ahli di bidang

Pegadaian Syariah mengharapkan adanya UU yang secara khusus mengatur tentang Pegadaian

Syariah.

3. Pengembangan Pegadaian Syariah dalam Fatwa DSN-MUI

Sebuah produk syariah tidak bisa dikeluarkan tanpa landasan aturan yang tetap ketika

hukum positif itu belum ada, maka fatwa dari lembaga yang menaungi kesyariahan (DSN-MUI)

menjadi pengganti sebelum adanya hukum positif tentang produk tersebut. Pada posisi inilah,

kebutuhan akan fatwa dalam kasus seperti di atas menjadi sangat urgen.Proses dikeluarkannya

fatwa oleh MUI biasanya didasarkan pada permasalahan atau kasus yang diajukan oleh pelaku

usaha yang hendak mengeluarkan produk syariahnya. Berarti, fatwa di sini cenderung bersifat

responsif. Ia merupakan jawaban hukum (legal opinion) yang dikeluarkan setelah adanya suatu

pertanyaan atau permintaan fatwa. Namun demikian, Ma‟ruf Amin menyatakan bahwa fatwa juga

dapat dikeluarkan tanpa harus ada peminta fatwa (mustafti)(KH. Ma‟ruf Amin, 2008: 20).

Menurut Hasanudin, pada dasarnya semua fatwa yang dibuat oleh DSN adalah berdasarkan

adanya permintaan dari mustafti. Tidak adanya penyebutan nama mustafti dalam fatwa-fatwa DSN

ini bisa jadi karena kurangnya ketelitian dan ketertiban administrasi dari DSN itu sendiri

(Wawancara dengan Hasanudin, Wakil Sekretaris BPH DSN-MUI, Jakarta, 13 Agustus 2010).

Pengecualianini, menurut Hasanudin berlaku pada penerbitan fatwa DSN

No.25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn yang tidak didasarkan pada permintaan mustafti. DSN berpendapat

(11)

penerbitan fatwa No.26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas dan fatwa

No.68/DSN-MUI/III/2008 tentang RahnTasjily yang diajukan oleh Bank Syariah Mandiri dan Perum Pegadaian.

Produktivitas fatwa sangat bergantung kepada seberapa banyak masyarakat pelaku usaha

mengajukan permintaan kepada DSN. Sebagai contoh terdapat 58 fatwa tentang Perbankan Syariah

dari jumlah total 82 fatwa yang diputuskan oleh DSN saat ini. Dari sini terlihat bahwa perhatian

DSN lebih besar kepada permasalahan perbankan dari pada Pegadaian Syariah. Akan tetapi,

mungkin juga perhatian ini muncul karena pihak perbankan yang lebih aktif untuk meminta fatwa

kepada DSN. Sedangkan pihak PT Pegadaian merasa sudah cukup hanya dengan memiliki beberapa

fatwa. Selama ini, PT Pegadaian lebih memberikan kepercayaan kepada DPS di perusahaannya

untuk memberikan opini syariah atas permasalahan kesyariahan yang timbul di Pegadaian Syariah

yang belum tercover oleh fatwa DSN(Wawancara dengan Ihsan Paloloi, Asisten Manajer Divisi

Usaha Syariah Perum Pegadaian, Jakarta, 13 April 2010). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan

interaksi antara pihak PT Pegadaian dengan DSN kurang intensif, sehingga pihak DSN tidak

sebanyak perbankan syariah. Sebenarnya fatwa-fatwa itu, bukan inisiatif DSN, akan tetapi karena

adanya permintaan pasar atau para pelaku usaha.

Terbatasnya jumlah fatwa tentang Gadai Syariah, menurut pendapat penulis, bukan hanya

karena kurangnya hubungan interaksi antarkedua lembaga tersebut. Akan tetapi, kurangnya

dukungan dana dari PT Pegadaian dalam membantu kelancaran penyusunan peraturan-peraturan

yang berkaitan dengan gadai syariah. Alasan ini didasarkan pada pandangan M. Cholil Nafis, yang

menyatakan bahwa mengapa fatwa DSN tentang Perbankan Syariah jumlahnya lebih banyak bila

dibandingkan dengan LKS lainnya, hal itu disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya: (1) pihak

BI yang memiliki kepentingan atas fatwa telah menyadari posisi DSN sebagai lembaga swasta tidak

mempunyai anggaran untuk membiayai operasionalnya. Dalam hal ini BI memberikan bantuan

dana kepada DSN secara berkala. Dana tersebut dipergunakan sebagai penunjang kegiatan DSN

dalam menetapkan fatwa yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya; (2) selain itu juga

memberikan kemudahan penggunaan ruang musyawarah kepada DSN; (3) pola hubungan antara

DSN dengan lembaga regulator selain BI tidak seintensif hubungannya dengan BI.(M. Cholil Nafis,

2011: 97-98).

Pola hubungan antara DSN dan Kemenkeu, serta Bapepam LK selama ini lebih banyak

didasarkan atas keperluan memberikan informasi. Jika Kemenkeu dan Bapepam LK memerlukan

keterangan tentang fatwa, maka DSN diundang untuk menjelaskannya. Sebaliknya, jika DSN akan

menetapkan fatwa-fatwa yang ada hubungannya dengan asuransi, pasar modal dan Pegadaian

(12)

informasinya.Kemungkinan ketiga faktor inilah yang menyebabkan mengapa fatwa di bidang gadai

syariah hingga sekarang jumlahnya tidak sesignifikan fatwa di bidang Perbankan Syariah.

Permasalahan selanjutnya adalah apakah kedudukan fatwa tentang Gadai Syariah cukup

kuat bila ditinjau dari hierarki perundang-undangan? Sekilas posisi fatwa DSN tentang Gadai

Syariah belum kuat. Alasannya karena fatwa DSN tentang Gadai Syariah belum diserap ke dalam

peraturan perundang-undangan. Sedangkan PP No.51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan

Hukum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) hanya baru mengatur

penyelenggaraan kegiatan usaha gadai, baik syariah maupun konvensional, akan tetapi belum

mengatur tentang urgensi dan kedudukan fatwa DSN dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. Namun

demikian, posisi Pegadaian Syariah bisa dikatakan kuat apabila kita merujuk pada UU No.3 Tahun

2006 tentang Peradilan Agama Pasal 49, yang menyatakan bahwa sengketa ekonomi syariah seperti

Pegadaian Syariah menjadi otoritas Peradilan Agama. Ketentuan penyelesaian sengketa menurut

undang-undang adalah serapan dari fatwa mengenai gadai syariah yang menetapkan bahwa

penyelesaian sengketa melalui musyawarah, Badan Arbitrase Syari‟ah dan jika tidak dapat

mencapai kesepakatan, dapat diselesaikan melalui Peradilan Agama agar lebih memenuhi

kepatuhan syariah. Oleh sebab itu, untuk membangun penguatan fatwa DSN tentang Gadai Syariah

perlu diusulkan kepada Kemenkeu dan Bapepam LK agar diserap ke dalam PP maupun UU yang

khusus mengatur gadai berdasarkan prinsip syariah.

C. Peluang Pengembangan Pegadaian Syariah dalam Peraturan Perundang-Undangan

Lainnya

Sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan DSN-MUI tidak lain merupakan

upaya untuk melengkapi aturan hukum agar Pegadaian Syariah dapat beroperasi secara optimal,

akan tetapi pengaturan tersebut belum memadai untuk dijadikansebagai pengembangan operasional

Pegadaian Syariah. Akibatnya Pegadaian Syariah belum dapat berkembang sebagaimana layaknya

perbankan syariah.

Berkaitan hal itu, upaya melengkapi aturan hukum tersebut, terdapat sebelas peraturan

perundang-undangan lain yang secara tidak langsung mengatur, tetapi memberi peluang bagi

pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia.

1. UUD 1945

Dari sisi konstitusi atau UUD 1945, sebenarnya persoalan Pegadaian Syariah sudah

mendapatkan tempat, terutama pada Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 yang menetapkan bahwa:

(13)

kebersamaan, efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Demokrasi ekonomi berarti produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah

pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat(Tim Naskah Akdemik, 2011: 42).

Kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat luas harus diutamakan, bukan kemakmuran orang

perorang melainkan sebagai usaha bersama berdasar atas asaskekeluargaan (Andi Fahmi Lubis,

2009: 16). Artinya, semua orang berhak mendapatkanpekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan dan kesempatan untuk majudan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

2. KUHPerdata

Gadai menurut KUHPerdata merupakan perjanjian riil, yaitu perjanjian yang di samping

kata sepakat diperlukan suatu perbuatan nyata (dalam hal ini penyerahan kekuasaan atas barang

gadai). Penyerahan itu dilakukan olehdebitor pemberi gadai dan ditujukan kepada kreditor penerima

gadai. Namundemikian, menurut Tim Penyusun Nasakah Akademik sesuai dengan Pasal 1152 ayat

(1) KUHPerdata penyerahan itu boleh ditujukan kepada pihak ketiga asalkan disetujui bersama

antaradebitor dan kreditor. Penguasaan barang gadai harus mutlak beralih dari pemberigadai, karena

Pasal 1152 ayat (2) KUHPerdata secara tegasmelarang penguasaan barang gadai oleh debitor atau

pemberi gadai. Jika hal inidilanggar maka gadai tersebut akan batal(Tim Naskah Akdemik, 2011:

42).

Dari ketentuan pasal di atas, dapat dijelaskan bahwa apabila pemegang gadai beritikad baik,

maka pemegang gadai dilindungi terhadap pemberi gadai yang tidak berwenang menguasai barang

gadai. Namun, jika pemegang gadai beritikad jahat, atau benda gadaiadalah benda yang hilang atau

benda yang dicuri oleh pemberi gadai, maka yangdiperlindungi adalah pemilik yang sebenarnya.

Perlindungan terhadap pemilik yangsebenarnya ini berlangsung selama tiga tahun (Pasal 1977

KUHPerdata)(Subekti dan R Tjiptosudibio, tt: 495).

3. Undang-Undang Lelang

Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 49, Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement

Ordonantie 28 Pebruari 1908Staatsblad 1908:189 joStaatsblad 1941:3)mengatur tentang ”barang

yang tidak ditebus oleh pemiliknya dapat dilelang dimuka umum dengan penawaran harga yang

makin meningkat,atau dimana orang-orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberi tahukan

kepada orang-orangyang akan membeli.Adapun pelaksanaan lelang tersebut, dapat dilakukan

dilakukan olehrumah-rumah gadai negeri dari kantor urusan lelang.

Dengan adanya ketentuan tersebut, sehingga pihak perusahaan gadai berwenang utuk

meyelenggarakan pelelangan sendiri dan terhindar dari kerugian yang diakibatkan oleh

(14)

4. Undang-Undang No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi

Dalam Pasal 43 ayat (2), UU Perkoperasian disebutkan bahwa kelebihan kemampuan

pelayanan koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota

koperasi. Adapun yang dimaksud dengan kelebihan kemampuan usaha koperasi, menurut Tim

Penyusun Nasakah Akademik adalah kelebihan kapasitas dana dan sumber daya yang dimiliki oleh

koperasi untuk melayani anggotanya.

Kelebihan kapasitas tersebut oleh koperasi dapat dimanfaatkan untuk berusaha dengan

bukan anggotanya dengan tujuan mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar volume

usaha dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada anggotanya,

serta untuk memasyarakatkan koperasi (Tim Naskah Akdemik, 2011: 42).Dengan demikian,

bentukbadan hukum Perseroan Terbatas dan Koperasi dapat menjadi alternatif bentuk badanhukum

Perusahaan Gadai di masa mendatang.

5. Undang-Undang No.8 Tahun 1999tentang Perlindungan Konsumen

Perlindungan UU perlindungan konsumen, terutama dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa

masyarakat sebagai konsumen memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Namun

demikian, tidak sedikit dari masyarakat yang belum tahu akan hak-haknya tesebut, bahkan tidak

sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan

Konsumen

ini(http://vanezintania.wordpress.com/2011/05/19/sanksi-pidana-uu-perlindungan-konsumen/ diakses pada 4 Mei 2012).Karena itu, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau

memperdagangkan barangdan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar

yangdipersyaratkan danketentuan peraturan perundang-undangan.

Dengan demikian, agar masyarakat pengguna jasa gadai ini tidak dirugikan oleh para pelaku

usaha gadai illegal yang sedang marak belakangan ini, maka Pasal 4 tentang hak dan kewajiban

konsumen, UU Perlindungan Konsumen dapat dijadikan sebagai solusi alternatif dalam

memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen jasa gadai.

6. Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerakmaupun tidak bergerak, khususnya

bangunan yangtidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No.4 Tahun

1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaanpemberi fidusia, sebagai

agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikankedudukan yang diutamakan kepada

penerima fidusia terhadap kreditor lainnya(Pasal 1 angka 2, UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan

Fidusia).

Pemberian kegiatan usaha dariperusahaan gadai dalam hal barang bergerak diperlukan untuk

(15)

Dengan diperkenankannya perusahaan gadai memberikan uang pinjamandengan jaminan fidusia,

maka apabila nasabah cidera janji eksekusi terhadap barangyang menjadi objek jaminan fidusia

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undanganyang mengatur tentang Jaminan Fidusia,

sehingga dengan adanya aturan ini dapat dijadikan peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah.

7. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat

Dengan diundangkannya UU No.5 Tahun 1999 tentang AntiMonopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat, setiap warga negara mempunyaikesempatan yang sama untuk berpartisipasi di

dalam proses produksi dan pemasaranbarang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif

dan efisien sehingga dapatmendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar secara

wajar. Menurut Pasal 1 ayat (2) UU No.5 Tahun 1999, dinyatakan bahwa praktik monopoli adalah

pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya

produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu, sehingga menimbulkan persaingan

usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

Dari gambaran tersebut, dapat diketahui bahwa bisnis gadai tidak lagi menjadi monopoli

pemerintah dan warga masyarakat memiliki kesempatan untuk membuka usaha gadai swasta.

Dengan adanya pengaturan yang jelas ini, akan menciptakan iklim usaha gadai yang kondusif dan

tujuan untuk membantu usaha kecil akan mudah terwujud.

8. Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

Sebagaimana diatur dalam Pasal 12, UU 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

(BUMN) dinyatakan bahwa maksud dan tujuan pendirian Persero adalah untukkemanfaatan umum

berupa penyediaan barang atau jasa yang bermutu tinggisekaligus mengejar keuntungan

berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat.

Karena persaingan usaha gadai semakin ketat, maka perusahaan dituntut untuk senantiasa

melakukan penyempurnaan proses bisnis, manajemen risiko yang baik dan mengimplementasikan

prinsip-prinsip dasar pengelolaan yang baik, yang didukung oleh sistem teknologi informasi yang

sesuai kebutuhan, budaya berbasis kinerja serta sumber daya manusia yang profesional dan

kompeten.Dengan diterbitkannya UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dapat menjadi peluang

bagi dunia usaha gadai, khususnya Pegadaian Syariah yang tidak hanya menyentuh pada bagian

operasionalnya saja, tetapi harus meningkatkan kualitas pelayanannya sehingga kinerja perusahaan

semakin membaik.

9. Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Berdasarkan UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1yang dimaksud

(16)

berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usahadengan modal dasar yang seluruhnya terbagi

dalam saham dan memenuhipersyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini, serta

peraturanpelaksana lainnya (Tim Naskah Akdemik, 2011: 46).

Lebih dari itu, pada tahun 2012 pegadaian telah berubah bentuk usahanya menjadi Perseroan

Terbatas, maka disyaratkan modalnya harus besar. Perusahaan gadai yang modalnya kecil akan

berpotensi merugikan masyarakat. Karena itu, perusahaan gadai menyangkut kepentingan rakyat

banyak, perlu mendapat perlindungan dan pembinaan dari pemerintah.

10. Undang-Undang No.20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Dunia usaha saat ini, khususnya usaha mikro dan kecil mengalami perkembangan seiring

dengan diterbitkannya UU tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) (Zubairi

Hasan,2009: 242).Dengan dikeluarkannya UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, peluang

Pegadaian Syariah semakin terbuka lebar karena dimungkinkan untuk terlibat secara maksimal

dalam pemberdayaan UMKM.

Peluang tersebut, dapat dilihat pada Pasal 22yang menyatakan bahwa usaha mikro sangat

dimungkinkan untuk meningkatkan dan memajukan, serta memberdayakan masyarakat ekonomi

lemah sehingga keberaadaan UMKM akan mampu menciptakan perekonomian yang adil dan penuh

kebersamaan yang berpijak pada pemberdayaan masyarakat.

11. Undang-Undang No.8Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 dijelaskan bahwa jika terdapat indikasi transaksi

keuangan mencurigakan, maka dianjurkan kepada pegadaian untuk menyampaikan laporan kepada

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan: (1) transaksi keuangan mencurigakan; (2)

transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp 500.000.000,00

atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara, baik dilakukan dalam satu kali transaksi

maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.

Dengan adanya UU ini, menurut hemat penulis para pengelola usaha jasa gadai harus ekstra

hati-hati karena bisa jadi lembaga pegadaian oleh para pelaku dijadikan sebagai sasaran tempat

penyimpanan berbagai macam barang berharga hasil tindak kejahatan. Kemudian, pegadaian dapat

ditunduh menjadi sebagai penadah oleh aparat kepolisian karena kurangnya pengetahuan para

pengelola tentang UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Oleh sebab

itu, UU tersebut dapat dijadikan peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah agar terhindar dari

risiko kerugian akibat ketidaktahuan para pengelolanya.

D. Politik Hukum IndonesiaTentang Pegadaian Syariah

(17)

Permasalahan yang krusial saat ini adalah banyaknya bermunculan lembaga-lembaga

keuangan dan sektor riil syariah, namun kemunculannya tidak dibarengi dengan adanya regulasi

yang mengatur kegiatan usaha tersebut. Hal ini apabila didiamkan, maka akan mengancam

kedudukan negara sebagai negara hukum. Seperti diketahui bersama, sejak didirikan pada tanggal

17 Agustus 1945, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)melalui UUD 1945 menyatakan diri

sebagai negara hukum.(Muhammad Amin Suma, 2006: 14).Sebelum UUD 1945 diamandemen,

pencantuman Indonesia sebagai negara hukum dijumpai dalam bagian penjelasan yang menyatakan

bahwa: “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum.” Negara Indonesia berdasar atas hukum

tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Setelah UUD 1945 diamandemen, pernyataan Indonesia

sebagai negara termaktub dalam Bab I Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa: Negara Indonesia

adalah negara hukum.

Permasalahannya sekarang adalah bagaimana keberadaan hukum ekonomi Islam

dipositivikasi ke dalam perundang-undangan, semisal UU Pegadaian Syariah yang tengah

diperbincangkan. Penyusunan UU Pegadaian Syariah secara legal formal melalui Prolegnas, dewasa

ini tampak telah menjadi kebutuhan mendesak yang harus segera ditangani. Selain momentumnya

yang benar-benar tepat karena kehadiran sistem ekonomi syariah dipandang sebagai salah satu

solusi terbaik dalam menata kembali ekonomi Indonesia yang carut-marut. Di samping itu juga

mengingat arah perkembangan hukum nasional Indonesia ke depan tampak lebih mengacu kepada

hukum tertulis atau lebih tepatnya lagi merujuk kepada peraturan perundang-undangan. Ia

megemukakan bahwa kedudukan dan peran hukum ekonomi syariah di Indonesia semakin terasa

penting manakala dihubungkan dengan pembangunan ekonomi nasional Indonesia yang

disebut-sebut berorientasi atau berbasis kerakyatan. Urgensi dari kedudukan dan peran hukum ekonomi

syariah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang misalnya sudut pandang sejarah, komunitas

bangsa Indonesia, kebutuhan masyarakat, dan bahkan dari sisi falsafah dan konstitusi negara

sekalipun(Muhammad Amin Suma, 2006: 14-16).

Dari sudut pandang kesejarahan, jauh sebelum NKRI dibentuk, bahkan lebih jauh sebelum

para penjajah mengangkangi wilayah Nusantara apapun sebutan atau namanya ketika itu, negeri ini

telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama, khususnya Islam yang kemudian keluar

sebagai mayoritas tunggal sampai kini.

Dari sisi komunitas yang mendiami NKRI, bagian terbesarnya adalah pemeluk agama Islam.

Atas dasar ini maka sungguh merupakan kewajiban bila hukum sebuah negara dipengaruhi oleh

hukum agama yang dianut oleh bagian terbesar penduduknya. Pemberlakuan hukum ekonomi

syariah di Indonesia sama sekali tidak terkait dengan apa yang lazim dikenal dengan sebutan

(18)

syariah tidak dilakukan secara paksa apalagi dipaksakan. Sistem ekonomi Islam termasuk sistem

hukumnya berjalan sebanding dan sederajat dengan sistem ekonomi dan sistem hukum ekonomi

konvensional.

Dari sudut pandang kebutuhan masyarakat, kehadiran sistem ekonomi Islam di Indonesia

juga disebabkan kebutuhan masyarakat pada umumnya. Terbukti dengan keterlibatan aktif

lembaga-lembaga keuangan ekonomi lain yang juga menerima kehadiran sistem ekonomi syariah.

Atau, paling sedikit berkenaan dengan hal-hal ekonomi dan keuangan tertentu, ada kemungkinan

bersinergi antara lembaga ekonomi atau keuangan Islam. Demikian juga dengan para pengguna jasa

lembaga ekonomi dan atau keuangan Islam. Teramat banyak untuk disebutkan satu persatu

nama-nama lembaga keuangan khususnya bankdi samping lembaga-lembaga keungan non bank lainya

yang secara aktif dan terencana justru membuka atau mendirikan lembaga-lembaga keuangan

syariah(Bank Indonesia, 2005: vii).

Di negara hukum Indonesia, kedudukan atau posisi hukum ekonomi Islam sesungguhnya

sangatlah kuat sebagaimana kedudukan atau posisi hukum Islam secara umum dan keseluruhan.

Demikian pula dengan signifikasi fungsi atau peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan,

terutama dalam upaya penopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi

sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan keseluruhan dalam

menopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional.

Kehadiran hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, dewasa ini sesungguhnya

tidak hanya sekedar karena tuntunan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam)

seperti anggapan sebagai orang atau pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan

kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem

ekonomi syariah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan dan

NKRI.

Kedudukan hukum ekonomi syariah seperti dipaparkan sebelum ini, akan semakin kuat

manakala dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan UUD 1945.

Singkatnya, sistem ekonomi syariah sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila

terutama”Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,” juga sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan

UUD baik bagian pembukaan yang di dalamnya antara lain termaktub kalimat:”...dengan

mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” maupun dengan bagian isinya

terutama yang tertera dalam BAB XI (Agama) Pasal 29 ayat (1) dan (2), serta BAB XIV Pasal 33

dan 34 yang mengatur perihal perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial Indonesia.

(19)

Untuk memperkuat sistem ekonomi syariah, khususnya Pegadaian Syariah paling tidak

terdapat tiga langkah strategis yang harus dilakukan oleh umat Islam, baik para alim ulama dan para

tokoh, para pakar, umat Islam secara luas yang terdiri atas pengembangan sistem Pegadaian Syariah

dalam bentuk regulasi dan peraturan perundang-undangan. Ketiga langkah dimaksud, diungkapkan

sebagai berikut: Pertama, pengembangan sistem Pegadaian Syariah dapat dilakukan melalui dunia

pendidikan formal maupun nonformal, baik itu di kampus-kampus, lembaga penelitian ilmiah,

kelompok-kelompok kajian, media massadan lain sebagainya, sehingga dikaji dan dipelajari secara

sistematis dan terorganisasi dengan baik. Kedua, ditumbuhkembangkan regulasi-regulasi yang

mendukung penguatan Pegadaian Syariah dalam praktik, peran Bapepam LK Kementerian

Keuangan bekerjasama dengan DSN-MUI sangat diperlukan dalam melahirkan berbagai regulasi.

Kerjasama yang harmonis selama ini terus-menerus dijaga dan diperkuat, apalagi salah satu agenda

utama sekarang adalah mengusahakan RUU Pergadaian menjadi sebuah undang-undang yang

memiliki kekuatan hukum yang bersifat pasti. Ketiga, Ketika Pegadaian Syariah dikembangkan dan

didukung oleh sebuah sistem yang baik, maka yang paling penting adalah membangun

perekonomian umat secara nyata, sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara

luas. Pada akhirnya, diharapkan produktivitas dan kegiatan ekonomi masyarakat akan lebih

meningkat.

Untuk itu, MUI dan para pemuka agama, serta para ahli ekonomi Islam diharapkan akan

mampu meyakinkan pemerintah untuk mengizinkan Pegadaian Syariah bisa beroperasi di

Indonesia. Apalagi pegadaian yang mempunyai motto “mengatasi masalah tanpa masalah”

sebenarnya cukup memberatkan bagi masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari bunga (disebut sewa

modal) yang dibebankan. Karena itu, apabila Pegadaian Syariah sebagai pegadaian swasta dapat

diwujudkan, prospeknya akan cukup baik dan cerah. Sebab dukungan umat yang sangat besar dan

mendambakan berdirinya lembaga keuangan yang bebas riba, akan menjadi pasar potensial bagi

Pegadaian Syariah. Lembaga keuangan syariah lainnya juga sangat mendukung keberadaan

Pegadaian Syariah ini, bahkan akan membuat sinergi yang lebih baik(Sasli Rais, 2006: 2). Oleh

karena itu, diperlukan lobi kuat kepada pemerintah agar bisa menggoalkan pegadaian swasta

termasuk Pegadaian Syariah sehingga dapat beroperasi.

3. Kesiapan Sumber Daya Manusia

Salah satu problematika yang mendasar dihadapi oleh para pelaku usaha syariah di

Indonesia adalah apabila pihak swasta diberikan izin untuk mendirikan Pegadaian Syariah, maka

persoalan berikut yang perlu mendapat perhatian adalah masalah SDM. Oleh karena itu, untuk

memenuhi kebutuhan tersedianya tenaga-tenaga ahli Pegadaian Syariah secara memadai, perlu

(20)

akan terus terjaga “syariahnya” tanpa menghambat perkembagan pegadaian itu sendiri. Bahkan jika

perlu setiap karyawan (SDM) yang mau menjadi tenaga di perusahaan Pegadaian Syariah, terlebih

dahulu mengikuti pendidikan dan pelatihan di pusat lembaga pendidikan Pegadaian Syariah,

sehingga pertumbuhan Pegadaian Syariah di Indonesia akan diimbangi dan pada akhirnya

kekurangan SDM akan dapat diantisipasi(Sasli Rais, 2006:3). Bagaimana pun tanpa ahli Pegadaian

Syariah, sebuah lembaga Pegadaian Syariah sulit berkembang. Sebab untuk membuka unit syariah,

minimal ada satu ahli Pegadaian Syariah.

E.Kesimpulan

Berdasarkan uraian bab-bab terdahulu dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum PP

No.51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan HukumPerum Pegadaian Menjadi Perusahaan

Perseroan Pegadaian (Persero) merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi yang secara

langsung memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah di PT Pegadaian (Persero).

Dalam kaitan ini fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI telah menjadi rujukan yang melandasi

pengembangan gadai syariah dan akomodasinya oleh regulasi pemerintah memberikan

rambu-rambu kepada pemerintah dan masyarakat untuk pengembangan usaha gadai syariah. Selain itu,

terdapat sebelas peraturan perundang-undangan lain yang secara tidak langsung memberi peluang

bagi pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia, yaitu: (1) UUD 1945, Pasal 33 ayat 4 tentang

Perekonomian Nasional; (2) KUHPerdata, Pasal 1152 tentang Gadai; (3) UU Lelang (Vendu

ReglementOrdonantie), Pasal 49 tentang Lelang Sebagai Tahap Penyelesaian Akhir Gadai Tak

Ditebus; (4) UU No.25 Tahun 1992 tentang Koperasi, Pasal 43 ayat 2 tentang Pelayanan Koperasi;

(5) UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 tentang Hak dan Kewajiban

Konsumen; (6) UU No.42 Tahun 1999 tentangJaminanFidusia, Pasal 1 ayat 2 tentang Penerima

Fidusia; (7) UU No.5 Tahun 1999 tentangLaranganPraktekMonopolidanPersaingan Usaha

TidakSehat, Pasal 1 ayat 2 tentang Pemusatan Kekuatan Ekonomi; (8) UU No.19 Tahun 2003

tentang BUMN, Pasal 12 tentang Tujuan Persero; (9) UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas, Pasal 1 tentang Modal Perusahaan; (10) UU No.20 Tahun 2008 tentang UMKM, Pasal 22

tentang Pembiayaan Usaha Mikro; dan (11) UU No.8 Tahun 2010 tentangPencegahan dan

PemberantasanTindakPidanaPencucianUang, Pasal 1 tentang Pusat Pelaporan dan Analisis

Transaksi Keuangan.

Adapun politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah belum nampak pada periode

1945-2002. Politik hukum Indonesia tentang Pegadaian Syariah diinisiasi sejak dibukanya unit

layanan gadai syariah oleh Perum Pegadaian pada tahun 2003. Upaya pemerintah untuk

(21)

politik hukum pemerintah yang semakin kuat agar usaha jasa gadai termasuk jasa gadai syariah

dapat dilakukan oleh masyarakat luas. Jika RUU tersebut disahkan oleh DPR akan berdampak pada

perkembangan usaha gadai syariah. Namun demikian, politik hukum Pegadaian Syariah dikatakan

paripurna apabila para penggiat ekonomi syariah berhasil mengusung pengusulan RUU Pegadaian

Syariah sebagaimana keberhasilan pengusulan dan pengesahan UU Perbankan Syariah.

F. Saran dan Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan dan implikasi tersebut, penulis memandang penting

merekomendasikan hal-hal berikut:

1. Para penggiat ekonomi syariah (MES, IAEI dan lain sebagainya) harus bahu-membahu agar

memungkinkan diterbitkannya aturan yang membolehkan usaha jasa gadai syariah dikelola

oleh swasta. Dengan cara ini, akan terjadi perkembangan Pegadaian Syariah karena dilakukan

oleh perusahaan-perusahaan selain PT Pegadaian(pihak swasta).Adanya keterlibatan berbagai

pihak, masyarakat dan jugapolitical willdari pemerintah yang memungkinkan UU Pegadaian

Syariah itu akan segera diterbitkan.

2. Bagi lembaga-lembaga terkait: (PT Pegadaian Persero, Perbankan Syariah, MUI, Para

Akademisi dan lain sebagainya) dapat melakukan koordinasi secara intensif dengan Tim

Penyusun RUU Pergadaian ini. Misalnya dengan melakukan telaah terhadap isi RUUsebelum

akhirnya diputuskan di DPR RI.

3. Bagi lembaga legislatif, peran politik partai yang berasaskan Islam maupun nasionalis

diharapkan dapat membantu mendorong untuk memasukkan poin-poin substansi gadai syariah

dalam RUU Pergadaian ini yang mendukung terhadap perkembangan jasa gadai syariah di

Indonesia.

4. Bagi pemerintah disarankan untuk membentuk lembaga pengawas dan pengatur sentral

lembaga keuangan nonbank, sehingga akan memberikan kemudahan bagi pengembangan

lembaga keuangan nonbank, khususnya Pegadaian Syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Akademika Pressindo.Jakarta.

Al-Jaziri, „Abdu al-Rahman Ibn Muhammad „Aws. 1999. Kitab al-Fiqh „ala Madhahib al-Arba„ahMaktabah al-Iman.Mansurah.

(22)

Al-Baqi, Muhammad Fu‟ad Abd. 1981. al-Mu„jam al-Mufahras li Alfazhi al-Qur‟an al-Karim. Dar al-Fikr.Kairo.

Al-Husayni, Taqiyyuddin Abu Bakr.tt. Kifayah al-Akhyar. PT. Al-Ma‟arif.Bandung.

Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Gadai Syariah. Sinar Grafika.Jakarta.

Al-Nawawi, Sharf Muhyiddin Ibn AbuZakariyya.tt. al-Majmu„ Sharh al-Muhadhab. Dar al- Fikr.Beirut.

Al-Qurtubî, Muhammad Ibn Rusyd bin Ahmad Rusyd. 1970. Bidâyah al-Mujtahid wa al-Nihâyah al-Muqtashid. Maktabah Kuliyah al-Azhâriyah.Kairo.

Amin, KH. Ma‟ruf. 2008. Fatwa dalam Sistem Hukum Islam. eLSAS.Jakarta.

Attamimi, A. Hamid S. 1999. Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi S3, Fakultas Pascasarajana UI, Jakarta.

Bank Indonesia. 2009. Statistik Perbankan Indonesia. Bank Indonesia.Jakarta.

Hasan, Zubairi. 2009. Undang-undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional. Rajawali Pers.Jakarta.

Hasanuzzaman, M.S.1995. Islamic Law and Finance on Encyclopaedia of Islamic Banking and Insurance. Institute of Islamic Banking and Insurance.London.

Ibn Qudamah, Ibn Abi Muhammad Abdullah Ibn Ahmad.1994. Kitab al-Mughni. Maktabah al-Raiyad al-Hadithah.Riyad.

Khan, Javed Ahmed dan Shariq Nisar.2004.Collateral (al-Rahn) as Practiced by Muslim Funds of North IndiaIslamic Econ., Vol.17, No.1.

Ma‟luf, Louis.1986. al-Munjid. Darul Masyrik.Beirut.

Mengubah UU Gadai yang Usang.http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=980. (3 Maret 2010).

Nafis, M. Cholil.2011. Teori Hukum Ekonomi Syariah; Kajian Komprehensif tentang Teori Hukum Ekonomi Islam, Penerapannya dalam Fatwa DSN dan Penyerapannya ke dalam Peraturan Perundang-undangan. UI-Press.Jakarta.

Pegadaian Syariah Berekspansi.Republika, 9 April 2010.

Rais, Sasli.2006.Pegadaian Syariah, di mana peran Swasta,Sharia Economic Magazine, University of Trisakti, Vol. 5, No. 6.

(23)

Sehan, M.A., Isu-isu dalam Perlaksanaan Pajak Gadai Islam di Negara Serantau. Paper Presentedat

the “Konvensyen Ar-RahnuSerantau” on 12th – 13thOctober2004, Kuala Lumpur.

Sjahdeini, Remy Sutan.1999. Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Pustaka Utama Grafiti.Jakarta.

Subekti dan R Tjiptosudibio. tt.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradya Pramita, tt.Jakarta.

Suma, Amin Muhammad “Arah Pengembangan Hukum Ekonomi Islam/Syariah di Indonesia,”

Makalah, dalah seminar Nasional Reformulasi Sistem Ekonomi Syariah dan Legislasi Nasional di Grand Candi Hotel, Semarang tanggal 6-8 Juni 2006.

Tim Naskah Akdemik.2011. Laporan Akhir Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang

(RUU) tentang Pergadaian. Badan Pembinaan Hukum Nasional.Jakarta.

UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dikutip dari Lembaran Negara Tahun 2011 No.53 diakses pada 3 Mei2012.

Wignjosoebroto, Soetandyo.2002. Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. ELSAM dan HUMA.Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Dari lampiran 4 dapat dilihat bahwa semua sampel garam dapur mengandung kalium iodat dengan kadar yang berbeda-beda, kadar tertinggi dalam sampel B yaitu 76,63

Berdasarkan kebiasaan konsumsi masyarakat Indonesia yang didominasi dengan beras dan sagu sebagai makanan pokok, kami berinisiatif untuk membuat produk makanan sebagai

Mengacu pada Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum (2006), pembangunan hutan Kota memiliki makna mengamankan ekosistem alam yang besar

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Fiksi dan mitos

Tutkimuksemme antaa vahvistusta sille, että niin kodin kuin opettajien pitäisi huomioida välittämänsä tuen ja tavoiteorientaatioiden merkitys oppilaan matematiikan opiskelussa

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian “Hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan darah pada mahasiwa fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara

kerana dengan izin, limpah dan kurniaNya jua dapat saya menyampaikan sepatah dua kata bagi mengisi ruangan di Modul Latihan Sukan Untuk Guru Penasihat Kelab Sukan Sekolah

Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah Post-positivisme, dikarenakan dalam penelitian ini peneliti hanya ingin memaparkan Strategi apa yang dipakai