• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kekerasan Simbolik dalam Pernikahan Dini (Studi Deskriptif Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang)"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1.Pernikahan Dini

2.1.1 Pengertian Pernikahan Usia Dini

Perkawinan menurut undang-undang No. 1 tahun 1974 pasal 1, perkawinan

adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, (Jamali. A, 2006). Menurut

Puspitasari dalam Jamali. A (2006) perkawinan adalah suatu ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita, hidup bersama dalam rumah tangga,

melanjutkan keturunan menurut ketentuan hukum syariat Islam. Sedangkan menurut

Dlori (2005) mengemukakan bahwa : “ pernikahan dini merupakan sebuah

perkawinan dibawah umur yang target persiapannya belum dikatakan

maksimal-persiapan fisik, maksimal-persiapan mental, juga maksimal-persiapan materi. Karena demikian inilah

maka pernikahan dini bisa dikatakan sebagai pernikahan yang terburu-buru, sebab

segalanya belum dipersiapkan secara matang.

Pengertian lainnya, berdasarkan kampanye Badan Kependudukan dan

Keluarga Berencana (BKKBN) mengkampanyekan bahwa bila menikah di bawah

usia 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki-laki disebut sebagai

pernikahan dini. Bila berbicara mengenai batasan usia anak/remaja, menurut UU

Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2012, yaitu mereka yang belum berusia delapan

(2)

dikatakan termasuk dalam pernikahan dini. Adapun lokasi penelitian yaitu di Desa

Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa Kabupaten Deli Serdang Provinsi

Sumatera utara. Konsep dan usia pernikahan dini desa ini terjadi dalam rata-rata usia

sekitar 15-19 tahun. Praktik pernikahan dini ini tentunya masih termasuk dalam

konsep pernikahan dini berdasarkan BKKBN dan Badan Perlindunggan Anak, maka

hal ini menarik untuk diteliti.

2.1.2 Faktor yang Mendorong Pernikahan Dini

Menurut Alfiyah (2010), ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya

perkawinan usia muda yang sering ditemukan di lingkungan masyarakat kita yaitu :

a. Ekonomi

Perkawinan usia muda terjadi karena adanya keluarga yang hidup digaris

kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya

dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.

b. Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan

masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih

dibawah umur.

c. Faktor Orang Tua

Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan

(3)

d. Media Massa

Gencarnya expose seks dimedia massa menyebabkan remaja modern semakin

permisif terhadap seks.

e. Faktor Adat

Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan

perawan tua sehingga segera dikawinkan.

f. Keluarga Cerai ( Broken Home )

Banyak anak-anak korban perceraian terpaksa menikah secara dini karena

berbagai alasan, misalnya: tekanan ekonomi, untuk meringankan beban orang tua

tunggal,membantu orang tua, mendapatkan pekerjaan, meningkatkan taraf hidup.

Dalam lokasi penelitian yang dilakukan, pada umumnya masyarakat yang

melakukan pernikahan dini karena faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor paksaan

orang tua dan faktor adat atau kebiasaan masyarakat setempat. Hal ini ditemukan dari

hasil observasi dan wawancara awal dengan masyarakat setempat.

2.2 Permasalahan Gender

Gender adalah pembedaan peran, perilaku, perangai laki-laki dan perempuan

oleh budaya/masyarakat melalui interpretasi terhadap pembedaan biologis laki-laki

dan perempuan (dalam Daulay, 2007). Jadi gender, tidak diperoleh sejak lahir tapi

dikenal melalui proses belajar (sosialisasi) dari masa anak-anak hingga dewasa. Oleh

(4)

para perempuan di masyarakat saat ini adalah Double borden (beban ganda),

Stereotype (pelabelan), Marjinalisasi, Subordinasi, Violence (tindak kekerasan).

Isu-isu tersebut selalu berkaitan dengan para perempuan secara umum karena

masalah-masalah selalu muncul ketika perempuan memasuki ranah publik.

Berkaitan dengan gender, dalam ilmu Sosiologi juga membahas tentang ini.

Sosiologi gender adalah kajian terhadap persamaan hak dan kewajiban antar pria dan

wanita dalam suatu masyarakat Ilmu yang mempelajari tentang interaksi sosial antar

laki-laki dan perempuan. Suatu analisis kajian yang membahas tentang peranan antara

laki-laki dan perempuan yang saling berinteraksi dalam suatu masyarakat. Kajian

yang menghasilkan dari adanya konstruksi sosial seperangkat peran dari laki-laki dan

perempuan secara kultural dan merupakan llmu yang mempelajari kesetaraan antara

laki-laki dan perempuan yang saling berinteraksi dalam suatu masyarakat (diakses

da

Desember 2016, pukul 22.58 WIB).

Dalam masyarakat yang menjadi pelaku pernikahan dini di lokasi penelitian

juga memiliki masalah mengenai konstruksi sosial yang ada di masyarakat.

Bentuk-bentuk masalah gender yang menjadi sorotan utama di masyarakat ini khususnya

pelaku pernikahan dini kelompok perempuan yaitu stereotif berupa pelabelan,

marginalisasi berupa peminggiran hak perempuan dan violence berupa bentuk

kekerasan. Terkhusus di penelitian ini kajian utama terletak pada bentuk kekerasan

(5)

2.3 Pemikiran Piere Bourdieu

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Teori Pierre Bourdieu yaitu teori

Habitus, Kapital, Ranah/Arena karena menurut peneliti teori Pierre Bourdieu relevan

untuk digunakan dalam mengkaji tentang penelitian mengenai Kekerasan Simbolik

dalam Pernikahan Dini di Desa Medan Sinembah Kecamatan Tanjung Morawa

Kabupaten Deli Serdang. Bagi Bourdieu, konsep habitus dipakai untuk membongkar

mekanisme dan strategi dominasi yang dibatinkan yang selama ini selalu diamati dari

akibat-akibat di luar individu. Konsep arena merupakan konsep di mana pertarungan

para pemilik kapital dan strategi dominasi (dikuasai atau menguasai) hal itu terjadi

karena konsep ini tidak bisa dipisahkan dari habitus (situasi pengorganisasian sosial)

dan kepemilikan kapital (modalitas kekuasaan).

Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang dengannya orang

berhubungan dengan dunia sosial. Dalam berhubungan dengan dunia sosial, individu

tidak terlepas dari interaksi dan ruang sosial. Habitus yang ada pada waktu tertentu

merupakan hasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode

histories yang relative panjang. Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan

sosial. Tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Menurut

Bourdieu, habitus semata-mata “mengusulkan” apa yang sebaiknya dipikirkan orang

dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk sebaiknya dilakukan seperti halnya

(6)

Selain konsep habitus, kelanjutan dari pemikiran Bourdieu adalah mengenai

kapital (modal). Kapital (modal) adalah hal yang memungkinkan kita untuk

mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis kapital,

seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya

(latar belakang dan jaringan) dan kapital simbolik (prestasi dan status). Kapital bisa

diperoleh, jika orang memiliki habitus yang tepat dalam hidupnya. Setiap kapital

dalam konsep Bourdieu adalah berkaitan, juga bisa mengalami perubahan. Setiap

individu bisa melampaui batasan-batasan kapitalnya (ekonomi), demi menaikkan

kelas sosialnya di dunia sosial. Individu tersebut mempunyai modal budaya (menulis)

dan modal simbolik (prestasi). Dengan mempunyai modal budaya dan simbolik,

dapat menutupi modal ekonominya. Modal ekonomi akan individu dapati dengan

usaha menjuarai suatu lomba tulisan, jika menang menjadi modal simbolik (prestasi).

Modal simbolik ini lah yang membawa individu kepada modal sosial (jaringan

sosialnya dengan penulis atau penerbit lain). Jadi, modal saling berkaitan satu sama

lain, juga modal bisa berubah (meningkat) dan kelas sosial yang menggambarkan

status sosial individu di masyarakat. Ketika modal ini dikaitkan dengan pernikahan

dini maka dapat dikatakan bahwa modal sosial, modal budaya, modal ekonomi dan

modal simbolik yang dimiliki oleh salah satu atau kedua pasangan pernikahan dini

seperti status sosial di masyarakat tinggi, memiliki keluarga terpandang, memiliki

kepemilikan ekonomi dapat mempengaruhi terjadinya pernikahan dini yang terjadi di

kalangan remaja saat ini. Hal ini juga berkaitan dengan habitus masyarakat yang ada

(7)

Setelah habitus dan kapital yang telah dijelaskan oleh Piere Bourdieu, ada

juga teori lainnya tentang ranah/ arena. Ranah adalah sejenis pasar kompetitif yang di

dalamnya berbagai jenis modal (ekonomi, kultural, sosial, simbolis) digunakan dan

dimanfaatkan. Dengan kata lain, ranah berarti pergaulan di kampus dan saat diskusi

mata kuliah di kelas. Praktik sosial seperti kuliah di kelas antara dosen dan

mahasiswa, yang terdiri dari beberapa individu menggambarkan habitus dan kapital

yang berbeda-beda .

2.4Dominasi Maskulin dalam Pemikiran Piere Bourdieu

Dalam teori Perbedaan (difference) menjabarkan usaha manusia dalam tuturan

dan tulisan untuk membedakan makna sebagai "penanda". Artinya, kata dan konsep

mendapatkan makna hanya dalam referensi relasional dengan kata-kata dan penanda

lain yang menjelaskan makna secara berbeda dari mereka (dalam Sarup, 2008).

Misalnya, istilah maskulinitas memiliki makna hanya selama maskulinitas dibedakan

dan yang bukan maskulin, yaitu feminin (yang memerlukan pemaknaan hanya dalam

hubungannya dengan perbedaannya dengan maskulin). Sehingga secara sosiologis,

istilah laki-laki dan perempuan dalam hubungan satu sama lain dan memiliki makna

hanya dengan keterwakilannya terhadap istilah lain. Untuk menjadi "laki-laki tulen"

berarti menjadi nonfeminin sebaliknya juga demikian. Dilihat dari cara ini, kelelakian

dan keperempuanan tidak dicirikan oleh esensi invariant sosial dan biologis namun

hanva dalam konteks apa yang bukan mereka, yang "lain" dari mereka. Dalam

budaya patriarki kita, laki-laki bersifat dominan terhadap perempuan, yang berarti

(8)

ketidakseimbangannya

22.34 WIB).

Persoalan gender selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan

dan di buku Dominasi Maskulin oleh Pierre Bourdieu mencoba menjelaskan tentang

analisis etnografis terhadap pembagian kerja berbasis gender yang berlaku dalam

masyarakat Qubail yang merepresentasikan budaya Mediterania. Bourdieu membahas

bagaimana konsep pembagian kerja berbasis gender dimulai dari perspektif

konstruksi sosial tubuh, kekerasan simbolik, hingga kekuatan yang terkandung dalam

struktur yang ada. Semuanya dijelaskan Bourdieu dalam kerangka pemaknaan

simbol. Misalnya tentang perempuan yang selalu diidentikkan dengan dapur, sumur,

dan kasur. Sedangkan lelaki yang selalu diidentikkan dengan kegiatan-kegiatan yang

membutuhkan usaha keras. Konon hal-hal sederhana seperti itu, diterima begitu saja

oleh masyarakat, seperti yang diungkapkan Bourdieu di pendahuluan bukunya

"Sesungguhnya, tiada hentinya saya selalu terheran-heran dengan apa yang disebut

paradokz doxa: yaitu fakta bahwa tatanan dunia sebagaimana adanya itu secara

grosso modo ditaati, meskipun tatanan dunia itu hadir dengan makna-makna yang

unik maupun yang terlarang, dalam pengertian denotasi maupun kiasan, dengan

kewajiban-kewajiban dan sanksi-sanksinya." Lebih lanjut lagi Bourdieu berpendapat

bahwa "tatanan yang telah mapan itu dilestarikan dengan cara yang sedemikian

(9)

mencakup hubungan-hubungan dominasi yang ada di dalamnya, dengan segala

perlakuan istimewa, dengan privilese dan ketidakadilannya"

Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa menurut Bourdieu dalam buku ini,

kekerasan simbolik yang dialami perempuan kadangkala tidak dipahami sebagai

sebuah kekerasan sebab kekerasan yang tidak terlihat secara fisik. Contoh

sederhananya yaitu: laki-laki mencaci perempuan ketika perempuan gagal melakukan

pekerjaan yang ditugaskan laki kepadanya dan jika perempuan itu berhasil,

laki-laki tidak akan memujinya (dalam Yuwono, 2010: 47). Disposisi-disposisi semacam

inilah yang menurut Bourdieu menjadi penyebab terlestarikannya dominasi maskulin.

Atau contoh sederhana lain, yaitu para orangtua yang tidak mengijinkan anak

perempuannya memilih jurusan yang "berbau lelaki" seperti teknik mesin misalnya,

adalah contoh konkret sehari-hari yang mudah kita temui. Tidak sedikit pula

posisi-posisi pekerjaan sulit diduduki oleh perempuan, sebab posisi-posisi-posisi-posisi tersebut telah

dianggap khusus untuk laki-laki.

Lebih lanjut Bourdieu membahas bahwa salah satu efek dominasi maskulin

yang bisa kita amati di keseharian yaitu dimana dominasi tersebut menjadikan

perempuan sebagai barang-barang simbolik. Secara sederhana misalnya bagaimana

perempuan merasa bangga dapat menjadi pasangan yang tampak membanggakan

pasangannya. Orang mengharap bahwa kalau bisa perempuan itu bersifat "feminin",

yaitu murah senyum, simpatik, penuh perhatian, tunduk, tidak banyak bicara, dll.

Bahkan disebutkan dalam buku ini, perempuan membutuhkan pandangan

(10)

perempuan banyak menghabiskan waktu, uang, dan energi untuk kecantikan. Sebab

mereka terus diorientasikan untuk mendapatkan tubuh, wajah, dan penampilan yang

ideal menurut standart baku yang ada. Dalam era sekarang ini propaganda iklan-iklan

kecantikan tentu sangat mempengaruhi. Buku ini ibarat seperangkat alat analisis

untuk mengetahui logika-logika yang bekerja dalam tatanan sosial masyarakat secara

umum, meskipun yang dijadikan bahan riset Bourdieu adalah masyarakat Qubail,

namun prinsip-prinsip yang dibahas adalah prinsip-prinsip yang berlaku universal dan

sangat relevan dengan kondisi kekinian.

2.5Kekerasan Simbolik dalam Pemikiran Piere Bourdieu

Selain teori-teori diatas, terdapat juga teori tentang kekerasan simbolik oleh

Piere Bourdieu. Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan

kategori-kategori pemikiran dan persepsi terhadap agen-agen sosial terdominasi, yang

kemudian menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil.” Ini adalah

penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur

tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang

posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.” Kekerasan simbolik dalam arti

tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu

melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan

(11)

Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang secara paksa (dipaksakan)

seseorang yang menerimanya mendapat kepatuhan yang tidak dirasakannya sebagai

paksaan dengan bersandar pada harapan kolektif yang sudah tertanam secara sosial

(Fauzi, 2007). . Legitimasinya meneguhkan relasi kekuasaan yang menyebabkan

pemaksaan tersebut berhasil. Selama hal (sesuatu) diterima sebagai sesuatu yang sah,

selama itu pula (kebudayaan) melalui relasi (dominasi) kekuasaan memberikan

reproduksi yang terus-menerus dan sistematis. Kekerasan simbolik terjadi dalam

ruang-ruang sosial kehidupan masyarakat keseharian, tetapi mereka yang terkena

kekerasan simbolik tidak merasakannya, karena itu dianggap sah, sebagai bagian dari

tugas dan pekerjaan orang bawahan, yang dikuasai dan yang diperintah.

Dalam penelitian ini yang mengacu pada pelaku pernikahan dini, kerap

terjadinya bentuk-bentuk kekerasan yang berupa kekerasan simbolik seperti bentuk

ucapan kasar atau menyindir dan menyudutkan satu pihak pasangan. Praktik-praktik

kekerasan simbolik ini lah yang nantinya akan mengacu pada bentuk

kekerasan-kekerasan lainnya seperti kekerasan-kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi.

2.6Penelitian atau Pembahasan Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu ataupun referensi yang relevan dengan

penelitian ini, diantaranya Martono (2012) Kekerasan simbolik salah satunya terjadi

di dunia pendidikan, ketika seorang guru menyatakan harga dirinya lebih tinggi dan

harus dipatuhi oleh muridnya, ketika seorang guru menunjuk dan mengatakan peserta

(12)

tidak berupa kekerasan fisik, ketika seorang guru melihat peserta didiknya menyontek

dan langsung menatap peserta didiknya dengan tatapan sinis (dalam Martono, 2012)..

Bila kembali dikaitkan dengan pernikahan dini atau pernikahan usia muda yang

terjadi maka kekerasan simbolik juga kerap terjadi tetapi tidak dipahami dan

dirasakan secara langsung oleh pasangan muda ini. Seperti cara berbicara yang

sedikit meremehkan salah satu pihak atau penggunaan bahasa isyarat dalam

memerintah suatu pekerjaan.

Sumber referensi lainnya Effendi (2015) menyatakan bahwa adalah pekerjaan

yang didominasi oleh anak-anak yang ada di Desa Bogak dan sudah disosialisasikan

secara turun temurun disebut dengan anak itik. Sebagaimana anak-anak pada

umumnya, mereka banyak menghabiskan waktu untuk bermain bersama

teman-temannya dan menyelesaikan pendidikan mereka sebagai hak yang harus mereka

terima. Berbeda dengan “anak itik”, sebagian besar hak mereka sebagai anak-anak

tidak diberikan oleh masyarakat, namun hal itu tidak disadari oleh mereka ataupun

masyarakat. Hal yang demikian itu disebut juga sebagai kekerasan simbolik, yaitu

kekerasan yang tidak disadari karena berbagai simbol yang menutupinya.

Selanjutnya, kekerasan simbolik juga merupakan bagian yang ikut disosialisasikan

bersamaan dengan “anak itik” di Desa bogak (dalam Effendi, 2015). Dalam penelitian

ini menyatakan bahwa kekerasan simbolik ini tidak dirasakan oleh para pelakunya

dan membuat para anak menjadi korbannya. Hal ini juga dibuat sebagai acuan

penelitian bahwa kekerasan simbolik juga dapat terjadi di kalangan pasangan

(13)

Selain itu, sumber referensi lainnya Niko (2016), tulisan ini mengkaji tentang

perkawinan anak di daerah pedesaan yang masih menjunjung tinggi hukum adat di

Kalimantan barat. Studi kasus yang dilakukan di Desa Cowet Kalimantan Barat yang

mayoritas penduduknya etnis Dayak Mali. Isu tentang perkawinan anak di Indonesia

memang sudah lama bergejolak, namun upaya-upaya yang dilakukan untuk

menghentikannya masih dirasa kurang maksimal dikarenakan tidak adanya ketegasan

hukum. Justru sebaliknya, hukum seolah mendukung terhadap praktik perkawinan

anak di bawah umur. Praktik seperti ini memang sudah sejak ratusan tahun terjadi di

daerah desa pedalaman di Kalimantan Barat, sebagai akibat dari kemiskinan yang

terjadi. Dalam hukum adat Dayak Mali tidak ada ketentuan khusus yang menjadi

dasar hukum untuk pernikahan anak. Jika terdapat anak laki-laki atau perempuan

yang berumur di bawah 15 tahun hendak menikah, maka ketentuannya harus

mendapatkan izin dari orang tua kedua belah pihak (pihak antara laki-laki dan pihak

perempuan).

Dalam tulisan ini menyatakan bahwa,melalui adanya kemiskinan maka akan

menjadi salah satu faktor yang membuat pernikahan dini tetap terjadi di kalangan

masyarakat khususnya pedesaan (Niko, 2016). Ketika pernikahan dini terjadi dan

diiringi dengan masalah kemiskinan maka akan rentang terjadi kekerasan simbolik

diantara pasangan pernikahan dini ini yang mungkin saja akan berujung pada

kekerasan-kekerasan jenis lainnya. Melalui sumber referensi dan penelitian terdahulu

ini, maka peneliti hendak melakukan penelitian tentang kekerasan simbolik dalam

Referensi

Dokumen terkait

Artinya: Rasulullah SAWW bersabda, ” Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika seorang lelaki mengumpuli isterinya sedang di dalam rumah ada anak kecil yang terjaga

Mahasiswa Baru falur SNMPTN DIVISI IPS Universitas Negeri Yogyakarta Tahun 2012, sebagai:. PENANGGTING JAWAB

The first Humboldt Kolleg in Indonesia under the heading “Synergy, Networking and the Role of Fundamental Research Development in ASEA”, together with the International Conference

Dari pengamatan yang dilakukan, hasil pelaksanaan tindakan siklus I secara klasikal telah mencapai indikator yang ditetapkan yakni telah mencapai 62,5 % siswa.

In addition to the many fan souvenirs also found key types of keychains and magnetic patches, the shape of the keychain is very diverse ranging from Shushi Japanese food shapes,

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM MELINDUNGI ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM.. LINGKUNGAN KELUARGA

Pada tahap perencanaan siklus I hal yang dilakukan adalah persiapan yang terdiri dari menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dengan menerapkan model

financial reward in the banking industry especially in Bank Nusantara Parahyangan.The company uphold the vision of the company, that declared that PT Bank Nusantara