• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hijabers Community Representasi Selera d

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hijabers Community Representasi Selera d"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1

Hijabers Community

: Representasi Selera dan

Habitus Muslim Kelas Menengah

Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Teori Kritis

Program Cultural Studies - Pascasarjana Universitas Indonesia

Dosen : Prof. Melani Budianta

Listya Ayu Saraswati (1106115506)

(2)

2

Hijabers Community: Representasi Selera dan Habitus Muslim Kelas Menengah1

Dampak globalisasi yang dialami oleh masyarakat kelas menengah, yang merupakan

kelompok masyarakat ‘baru’2 di Indonesia, membawa mereka kembali pada kehidupan agama dan budaya lokal. Simbol-simbol keagamaan mulai secara bebas diperlihatkan oleh

kelompok masyarakat di kelas ini sebagai kapital simbolik dalam interaksi sosialnya. Sebagai

kelompok masyarakat yang dengan mudah berinteraksi dengan masyarakat global,

mendapatkan akses pendidikan yang layak, dan berkemampuan ekonomi tinggi, masyarakat

kelas menengah menunjukkan gejala baru dalam hal kepatuhan agama, salah satunya dengan

berhijab dan berbusana Islami. Berhijab bagi wanita masa kini bukanlah suatu pilihan hidup

yang sulit karena telah hilangnya stereotip fanatik dan mulai terbukanya berbagai peluang

eksistensi diri yang sama dengan wanita yang tidak berhijab, salah satunya dalam hal fesyen

dan kecantikan. Paper ini membahas tentang pembentukan selera berhijab dan berbusana

Islami di kalangan masyarakat kelas menengah yang dipelopori oleh Hijabers Community Indonesia. Melalui kegiatan-kegiatan komunitas ini, antara lain tausiyah yang ditambahkan

dengan agenda tutorial memakai hijab trendi yang bersifat eksklusif, kita bisa melihat

representasi selera sekaligus pembentukan habitus Muslim kelas menengah di Indonesia yang

menjadi pembeda (distinction) dengan kelompok Muslim lainnya.

Kata kunci: komunitas, Hijabers Community, kelas menengah, selera, habitus, distinction

Pendahuluan

Dian Pelangi3, seorang Muslimah muda dan desainer busana Islami, dalam wawancaranya dengan VIVAnews.com (2011) menyatakan keresahannya terhadap citra kuno,

1

Ditulis untuk tugas akhir mata kuliah Teori Kritis FIB UI tanggal 29 Desember 2011.

2

Mengutip Hasbullah (2007) dala artikel Teori Habitus Bourdieu dan Kelas Menengah Muslim Indonesia.

“ejak tahu a , di I do esia u ul se uah lapisa asyarakat aru ya g dise ut se agai kelas

menengah (middle class).

3

(3)

3 tua, dan kampungan yang melekat pada wanita Muslim berhijab. Namun kini busana Islami

dan hijab mengalami transformasi dalam hal konsumsi dan apresiasi masyarakat Indonesia

kepada pemakainya. Hasbullah (2007) beragumentasi bahwa

Busana Islami dan hijab yang pada zaman Orde Baru dipandang sebagai bentuk

fanatisme agama sehingga pemakainya terkadang mendapat diskriminasi, sekarang

menjelma menjadi bentuk afirmasi identitas dan selera penanda status sosial.

Terlebih lagi kini konsumsi busana Islami dan hijab mulai menyentuh masyarakat

kelas menengah4. Kelompok masyarakat Muslim kelas menengah ini menjadikan hijab sebagai kapital simbolik dalam membangun kerangka penafsiran syiar agama tanpa

meninggalkan gaya hidupnya. Gaya hidup tersebut menjadi pembeda kelompok ini dengan

kelompok masyarakat lainnya dalam hal selera dan habitusnya. Tulisan ini menggunakan

perspektif Pierre Bourdieu tentang selera dan habitus dalam melihat komunitas kelas

menengah berhijab melalui kegiatan-kegiatan komunitasnya.

Konsep Bourdieu: Selera dan Habitus

Selera menurut Bourdieu (1984) adalah bentuk manifestasi dari pilihan yang berasal

dari tindakan afirmasi terhadap kelas sosialnya. Selera bisa menyatukan sekelompok individu

yang berasal pada posisi kapital yang sama dan membedakan mereka dari kelompok sosial

dengan kapital yang berbeda. Dalam hal ini selera fesyen dalam berbusana Islami dan

berhijab yang menyatukan sekelompok wanita muda urban dari kelas menengah untuk

membentuk sebuah komunitas kelas menengah berhijab.

muslim karena masih jarangnya busana muslim kontemporer. Diunduh dari

http://www.jakartafashionweek.co.id/id/designer/dian.pelangi/001/004/8 tanggal 12 Desember 2011 pukul 10:10 WIB

4 survei Nielsen secara online mencatat, ada sekitar 29 juta warga kelas menengah premium di Indonesia. Mereka tumbuh seiring dengan pendapatan per kapita sekitar 3.000 dollar AS (sekitar Rp 27 juta) per tahun. Diunduh dari

(4)

4 Bourdieu (1984) juga menghubungkan selera dengan habitus. Selera yang dibentuk

oleh penempatan atau afirmasi yang membentuk kesatuan paradigma akan mengakar kuat

dan bertahan lama, yang disebut habitus. Habitus dapat menghasilkan perkembangan dan

inovasi bentuk budaya populer baru, seperti gaya berpakaian. Menurut Bourdieu (1984)

‘selera sebagai pengatur interaksi habitus dengan habitus lain, yang membedakan kelas satu

dengan kelas lainnya’, yang dalam hal ini akan membentuk pembeda (distinction) atau pembeda sekelompok individu dalam kelas dominan kepada mereka yang berasal dari kelas

terdominasi.

Habitus terbentuk dari perilaku sosial dan pola pikir yang dianggap biasa dan

dilakukan berulang-ulang secara sadar ataupun tanpa sadar. Perilaku yang dianggap biasa

tersebut sesungguhnya mempunyai makna yang lebih jauh (Bourdieu: 1984). Komunitas

Muslim kelas menengah kini tidak lagi menyukai kegiatan keagamaan yang bersifat tertutup

dan sembunyi-sembunyi. Mereka menolak alienasi dari kehidupan urban metropolis, contohnya kelompok Muslimah muda kelas menengah di Jakarta yang secara terang-terangan

mempublikasikan kegiatan mereka melalui jejaringan sosial dan media massa lainnya untuk

mempromosikan eksistensi komunitas mereka. Dari contoh tersebut kita bisa melihat bahwa

komunitas Muslim kelas menengah telah membentuk suatu tindakan yang dianggap biasa

bagi kehidupan masyarakat urban dalam menunjukkan eksistensi keislaman mereka sehingga

kelompok masyarakat lainnya sadar akan dan memperhitungkan keberadaan mereka.

Habitus lain yang mereka perlihatkan untuk menunjukkan identitas komunitasnya

adalah melalui simbol-simbol identitas tertentu, seperti hijab. Meskipun begitu sering kali

bersifat kolektif maka gaya dan selera pun cenderung sama dan seragam.

Muslim Kelas Menengah

Globalisasi tidak membawa tatanan budaya baru ke dalam tatanan lokal suatu

masyarakat. Globalisasi justru meruntuhkan totalitas dan menciptakan perbedaan-perbedaan

yang berasal dari lokalitas (Abdullah, 2010:107). Budaya global bukan lagi budaya asing

yang baru, melainkan integrasi budaya-budaya lokal. Integrasi budaya lokal yang sarat

perbedaan ini menjadi dasar dalam membentuk kebebasan berekspresi. Globalisasi, menurut

(5)

5 adalah agama. Budaya global juga ikut mengkontekstualisasi agama dengan tata nilai yang

berbeda.

Globalisasi merupakan hasil dari keberhasilan pembangunan ekonomi yang

menyebabkan terjadinya perubahan budaya (Lukens-Bull, 2003). Efek yang timbul setelah

terjadinya globalisasi karena keberhasilan pembangunan ekonomi adalah meningkatnya taraf

hidup dan kesejahteraan masyarakat. Namun seperti halnya masalah-masalah pembangunan

di banyak negara, Indonesia mengalami masalah pembangunan yang tidak merata. Ada

golongan masyarakat tertentu yang mendapat akses globalisasi lebih mudah daripada

golongan lainnya.

Kemunculan kelas menengah di Indonesia difasilitasi oleh keberhasilan pembangunan

ekonomi dan misi modernisasi sejak masa Orde Baru. Hasbullah (2007) berpendapat bahwa

keberhasilan masyarakat menengah atas dalam mengakses pendidikan membuat Indonesia

menciptakan gelombang kelas sosial baru yang terdiri atas orang-orang tenaga professional

ahli yang tinggal di daerah perkotaan (metropolitan) dan memegang jabatan penting baik di

lembaga pemerintahan maupun swasta. Kesejahteraan dan konsumsi masyarakat di kelas ini

pun semakin tinggi dibarengi dengan selera yang tinggi juga.

Fenomena yang terjadi di kalangan menengah atas di Indonesia selain pertumbuhan

ekonomi-nya yang pesat dan peningkatan kesejahteraan hidup, adalah meningkatnya

semangat kembali kepada kehidupan agama (Hasbullah: 2007). Fenomena ini cenderung

terlihat pada awal tahun 1990an ketika masyarakat kelas menengah yang paling banyak

tersentuh pembangunan ekonomi dan mengalami perubahan sosial berbondong-bondong

kembali kepada hidup taat beragama. Menurut Naisbitt (Hasbullah: 2007) kecenderungan ini

sebagai bentuk kebutuhan spiritual yang sudah terintersifikasi. Argumentasi lain mengatakan

bahwa kecenderungan ini muncul sebagai refleksi dari sikap pembebasan diri spiritual dalam

masyarakat yang pernah dibatasi oleh kebijakan di era Orde Baru yang dianggap tidak adil

bagi kaum Muslim sebagai mayoritas (The Asia Foundation Conference).

Kebutuhan spiritual, intensitas keagamaan, dan kesamaan kelas serta gaya hidup

menjadi komitmen atau landasan terbentuknya kelompok kelas menengah Muslim di

kalangan masyarakat menengah atas. Kelompok ini membawa identitas kelompok atau

(6)

6 dan Rayner (Robins: 1996) adalah bentuk penguatan dari proses interaksi yang berkelanjutan

dengan kelompoknya. Proses pembentukan identitas kolektif dijelaskan bahwa:

‘a process that requires each community to see itself from the perspective of others,

and incorporate those perspectives through the prism of its own consciousness in a

continuous reflexive process. Collective identity would be recognized as selectively

chosen (within certain parameters) rather than merely given’ (79)

Menurut Robins (1994:79) pembentukan identitas kolektif biasanya berdasarkan

parameter tertentu bukan hanya sekedar ditentukan. Kode-kode budaya sebagai bentuk

kesetiaan, komitmen, atribut, dan afiliasi yang menentukan identitas suatu kelompok.

Kode-kode budaya ini dapat berupa selera fesyen, makanan, musik, dan lainnya. Menurut Rao

(Hasbullah: 2007) kode-kode ini kemudian mengikat setiap anggota kelompok dan

memunculkan modal yang pada akhirnya menjadi sebuah identitas kolektif. Sebagai contoh,

dalam kegiatan atau acara tertentu anggota komunitas memiliki ketentuan berbusana sesuai

dengan kode-kode yang ditentukan, misalnya memakai tone warna pastel yang feminin dan di

lain kesempatan tampil dengan busana yang lebih kasual dan sporty. Kode-kode berbusana ini memang tidak disampaikan dengan paksaan untuk anggotanya namun seringkali menjadi

modal budaya bagi mereka untuk berbaur dan mengusung identitas kolektif komunitasnya.

Hal ini mendukung pernyataan Bourdieu (1990: 13) bahwa sekelompok orang dari posisi dan

kelas sosial yang sama cenderung memiliki habitus yang sama.

Kode budaya yang dibawa oleh komunitas Muslim kelas menengah yang akan

dibahas dalam tulisan ini adalah hijab. Hijab berdasarkan pemaknaan dari Kamus Bahasa

Indonesia adalah sebagai dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain dan/atau dinding

yang membatasi hati manusia dan Allah SWT. Pemaknaan hijab yang saya pakai dalam paper

ini adalah model berpakaian sederhana menurut ajaran Islam5 yang menutupi aurat

5

(7)

7 perempuan, kecuali telapak tangan serta wajah. Kode budaya berupa hijab dan Muslimah

kemudian membentuk tatanan penting dalam komunitas berhijab ini dan menjadi identitas

kolektif anggota komunitasnya. Kode budaya tersebut menjadi ‘benang merah’ bagi masing-masing anggota yang pada akhirnya membuat mereka menyatu dalam suatu komunitas.

Muslimah Indonesia dan Hijab

Pemakaian hijab oleh perempuan Muslim pada awal masa kepemerintahan Orde baru

sampai tahun pada akhir tahun 1980an masih dipandang sebagai praktik politik yang

memberikan stereotip negatif terhadap fundamentalisme Indonesia (Brenner: 1996). Oleh

karena itu wanita berhijab seringkali mendapat perlakuan diskriminatif sosial, seperti dibatasi

atau dilarang memakai hijab pada saat bekerja dan sekolah. Hijab juga dipandang sebagai

bentuk perlawanan terhadap pemerintah dengan menunjukkan identitas yang berbeda dengan

orang kebanyakan (Marcoes-Natsir: 2004). Keputusan untuk berhijab pada masa itu

merupakan suatu pilihan yang sulit bagi Muslimah di Indonesia, bahkan mungkin tidak

diperhitungkan sebagai pilihan.

Akhir tahun 1980an terjadi gelombang globalisasi Islam di dunia yang juga

mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat dari kelas menengah

dan atas (Hasbullah: 2007). Masyarakat Islam Indonesia mulai merasa menjadi bagian

masyarakat Islam global. Mereka pun mulai senang mengekspresikan identitasnya sebagai

Muslim dan Muslimah melalui atribut keagamaan, salah satunya hijab. Fenomena ini dikenal

sebagai kebangkitan Islam di Indonesia (Hasbullah: 2007).

Popularitas hijab dan busana Islami pun semakin tinggi. Awal tahun 1990an hingga

kini Muslimah dengan hijab dan busana Islami umum ditemui di kota-kota besar di

Indonesia, seperti Jakarta; dan di arena yang lebih urban dan heterogen, sepeti perkantoran,

kampus, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Gejala lain ditunjukkan dengan terbitnya banyak

majalah-majalah perempuan Muslimah baik di dalam negeri (seperti Noor dan Ummi) serta

terbitan luar negeri (seperti Aquila Asia terbitan Malaysia) yang menandakan kemunculan

(8)

8 dan pertumbuhan segmentasi pembaca Muslimah6. Majalah-majalah Muslimah modern ini menekankan pada gaya hidup modern masa kini dengan tetap tampil dengan keselarasan

Islami.

Hijabers Community Indonesia

Hijabers Community didirikan pada bulan November 2010 di Jakarta. Anggotanya berjumlah 30 orang dari latar belakang profesi yang berbeda. Anggota komunitas ini berusia

dari 20-30 tahun dan berasal dari kelas masyarakat menengah7. Komunitas ini didirikan oleh tiga wanita Muslimah yang memiliki persamaan visi dan misi dalam hal syiar agama dan

fesyen Islami. Ketiga wanita pendiri Hijabers Community adalah desainer busana Islami yang

memiliki label busana masing-masing, yaitu Dian Pelangi dengan label busana DP by Dian

Pelangi, Jenahara Nasution8 dengan label busana Jenahara, dan Ria Miranda9 dengan label busana Shabby Chic by Ria Miranda.

Gaya berbusana atau style yang diusung oleh ketiga desainer ini hampir mirip

sehingga mereka merasa ada kecocokan dalam berbusana. Kecocokan dalam selera berbusana

ini kemudian berkembang pada ide syiar. Terbentuknya Hijabers Community ini difokuskan pada melakukan syiar agama dan penyampaian akidah dengan cara yang lebih modern namun

tetap dalam sesuai dengan kaidah. Hal ini serupa dengan pernyataan Dian Pelangi, sebagai

salah satu pendiri Hijabers Community, bahwa:

6Merujuk pada artikel Di a ika Musli at Kelas Me e gah oleh Er awati ya g diakses elalui

http://busana-muslim.asia/dinamika-muslimat-kelas-menengah pada tanggal 27 Desember 2011 pukul 21.05 WIB

7

DIlihat dari latar belakang pendidikan, keluarga, dan pekerjaan. Lebih lanjut lihat tabel 1.

8

Jenahara Nasution adalah putri dari desainer busana muslim, Ida Royani. Ia lulusan dari Susan Budiharjo Fashion School. “aat i i ia e iliki la el usa a Isla i, Je ahara. Je ahara se diri sekara g e ja at se agai President of Hijabers Community. (Informasi mengenai Jenahara Nasution saya dapatkan dari jejaring sosial Facebook http://www.facebook.com/jenahara.nasution dan blog http://jenahara-shop.blogspot.com/ )

9

Ria Miranda, 26 tahun, adalah seorang desainer busana Islami dengan label Shabby Chic by Ria Miranda. Ia

sekara g e ja at se agai Vice President of Hijabers Community. (Informasi mengenai Ria Miranda saya dapatkan dari jejaring sosial Facebook http://www.facebook.com/pages/Ria-Miranda dan blog

(9)

9 Prinsip kami, syiar itu nggak mesti dilakukan di masjid, bisa saja syiar (menyebarkan

ajaran-ajaran Islam) dilakukan di mall dengan memakai busana Islami yang menarik.

Nggak zamannya lagi seorang muslimah itu tertutup. 10

Lambat laun anggota komunitas ini semakin banyak sehingga terbentuklah 30 orang

sebagai pengurus Hijabers Community. Komunitas ini dibentuk dengan tujuan untuk menyambung tali persaudaraan (sisterhood) antar Muslimah muda yang saling menginspirasi

dan berbagi ide-ide dalam hal berbusana Islami dan berhijab. Oleh karena itu

anggota-anggota Hijabers Community mengakui bahwa yang menyatukan mereka adalah ‘kiblat’ dan selera fesyen mereka sama. Dan mereka akan melakukan syiar melalui busana Islami dan

hijab trendi yang mereka kenakan dan menjadi identitas kolektif komunitasnya, seperti yang

saya kutip dari pernyataan Dian Pelangi berikut.

Kami hanya sebagai wadah yang ingin menginspirasi wanita untuk mengenakan

busana Islami. Karena selama ini berbusana Islami itu dianggap nggak keren, kampungan, nggak bisa tampil trendy. 11

Anggota Hijabers Community memiliki motto berkampanye ‘mari berhijab’. Kampanye ini pun disponsori oleh produk susu kesehatan untuk Muslimah dengan tujuan

dapat selalu menginspirasi Muslimah untuk berhijab. Kegiatan berdakwah dengan berusaha

menginspirasi kaum Muslimah muda untuk berhijab (direpresentasikan dengan kegiatan hijab

class dan hijab tutorial) dan berbusana Islami serta syair di mall dan tempat-tempat ramai, seperti acara urban fest dan kampus, telah menjadi agenda rutin Hijabers Community. Agenda-agenda rutin ini tanpa mereka sadari telah menjadi suatu kebiasan yang merumuskan

kepada habitus komunitas mereka yang dimanifestasi dan terintegrasi dari skema-skema

persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama (Jenkins, 1992: 46).

10

Diambil dari wawancara Vivanews.com dengan Dian Pelangi dala artikel Berjilbab Bukan Berarti Kampungan diu duh dari http://kosmo.vivanews.com/news/read/238605--berjilbab-bukan-berarti-kampungan- pada tanggal 8 Desember 2011 pukul 16.43 WIB.

11

(10)

10 Habitus Hijabers Community

Hijabers Community memiliki banyak kegiatan baik yang ditujukan untuk syiar maupun fesyen. Namun dalam paper ini saya akan membahas tiga agenda rutin12 Hijabers Community yaitu:

1. Rangkaian kegiatan pengajian, seminar, hijab class yang dilaksanakan setiap satu bulan.

2. Hijab and Beauty Class with HC yang dilaksanakan setiap satu bulan.

3. Charity atau beramal

Di samping agenda-agenda lain yang dilakukan oleh anggota Hijabers Community, ketiga agenda diatas yang paling sering dilakukan sejak komunitas ini berdiri. Anggota

Hijabers Community selalu mengundang Muslimah lain yang bukan anggota komunitasnya untuk datang dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang mereka buat.

Kegiatan pengajian, seminar, dan hijab class dikenakan biaya sebesar Rp 250.000 – Rp 300.000 per orang sebagai biaya pendaftaran (booking) untuk mengikuti semua rangkaian

kegiatan dan Rp 25.000 per orang jika ingin mengikuti kegiatan pengajian dan seminar saja.

Rangkaian kegiatan seperti ini biasanya dibuka pendaftaran dengan jumlah pesera yang

dibatasi. Namun ada juga kegiatan yang bersifat gratis dan tanpa harus booking karena mendapat sponsor dari beberapa produk, misalnya susu dan kosmetik Muslimah.

Rangkaian kegiatan ini biasanya dilaksanakan di hotel, butik, mall ataupun kampus.

Tema-tema yang diangkat dalam kegiatan pengajian dan seminar pun beragam. Misalnya

pada agenda di bulan Desember 2011 komunitas ini mengangkat tema “Brain, Beauty, & Be a Positive Thinker” dengan judul seminar “Hidup Sehat & Bahagia dengan Berpikir Positif” oleh Rahmadysah (Master Mind Therapist) dan Kiki Andryanto dan dengan tema pengajian

atau tausiyah “Husnudzhan vs. Su’udzhan” oleh KH. Muh Mujib Burahman. Sedangkan tema

untuk hijab class menyesuaikan menjadi “Combine Your Signature Style” oleh tutorial Tantri Havid dan Restu Anggraini dari anggota Hijabers Community. Sebagai ciri khas dari setiap kegiatannya, komunitas ini menambahkan kegiatan konsultasi dan tutorial berhijab yang

12

Informasi mengenai agenda kegiatan Hijabers Community saya dapatkan di jejaring sosial Facebook

(11)

11 trendi dan cantik mengikuti tema yang sudah ditentukan di akhir kegiatan lainnya. Tutorial

hijab ini sendiri dikenakan biaya Rp 200.000 – Rp 275.000 per orang.

Pada kegiatan hijab class sendiri, seluruh peserta akan mendapatkan bingkisan paket

hijab dari sponsor kegiatan; yang tak lain adalah label fesyen dari anggota Hijabers Community itu sendiri, seperti Jenahara, Casa Elana, atau DP by Dian. Tutor pada kegiatan hijab class adalah anggota dari Hijabers Community sendiri yang dianggap menjadi inspirasi dalam style hijab.

Pada kegiatan pertama kita bisa melihat bahwa selera komunitas ini dalam memilih

tempat mengadakan kegiatan syiar sudah berbeda dengan komunitas Muslim lainnya yang

biasanya memilih untuk menyelenggarakan syiar di masjid. Kegiatan syiar yang dilakukan

oleh Hijabers Community lebih memilih tempat yang mudah diakses oleh anggotanya dan peserta non-anggota karena tempat-tempat yang dipilih sering menjadi pusat mobilitas.

Alasan lain adalah untuk menguatkan tujuan mereka yang ingin memberikan kerangka

penafsiran baru dari kegiatan syiar itu sendiri yang seharusnya terbuka dan modern.

Tema-tema pengajian dan seminar yang diangkat pun ringan dan dekat dengan kehidupan

sehari-hari.

Hijabers Community masih menunjukkan hijab sebagai modal simbolik yang dimiliki dan juga sebagai bagian dari misi Hijabers Community. Hijab bagi komunitas ini berperan sebagai habitus yang membangun kesadaran pembentukan kelas sosial mereka. Oleh karena

itu hijab yang menjadi ciri anggota komunitas ini terus menerus ditampilkan sebagai

pengulangan ekspresi penampilan yang kemudian berkembang menjadi struktur sosial baru

(Bourdieu, 1992: 73). Habitus berhijab bagi Hijabers Community selaras dengan kampanye mereka; mari berhijab.

Untuk kegiatan charity, anggota Hijabers Community biasanya akan menggelar fashion show yang diakhiri dengan melelang baju yang ditampilkan. Kegiatan charity ini bersifat internal, hanya untuk anggota Hijabers Community saja. Selama komunitas ini berdiri, kegiatan charity baru dilaksanakan dua kali pada bulan Ramadhan tahun 2010 dan tahun 2011. Uang hasil lelang tersebut mereka sumbangkan kepada anak-anak yatim di

Yayasan Az Zahra milik Wanda Hamidah. Komunitas Muslimah berhijab ini menunjukkan

(12)

12 membuat lelang untuk kegiatan charity. Tindakan meniru budaya biasa dilakukan oleh kelas

menengah, yang disebut dengan kelas‘borjuis kecil’. Refleksi Hijabers Community

Habitus berhijab yang dibentuk Hijabers Community mengarah pada selera dan style orang-orang tertentu yang menjadi dominan dalam komunitas sehingga habitus dan kesadaran

yang ditersampaikan lebih bersifat kolektif dan seragam, bukanlah sebagai ekspresi

individual. Sedangkan hijab adalah identitas yang sarat akan ekspresi individual. Dresscode yang ada di setiap kegiatan Hijabers Community membuat kode-kode sosial yang harus

diikuti oleh anggota komunitas. Hal ini berbeda dengan hijabers yang ada di London, UK.

Hijabers di London UK lebih menunjukkan selera berbusana dan berhijab secara individual,

bukan kelompok. Gaya berbusana yang menjadi habitus mereka lebih bertujuan untuk

mencapai penandaan identitas di tengah masyarakat sekuler13, bukan bertujuan untuk mengaktualisasikan komunitas menjadi kelas sosial tertentu.

Fenomena terbentuknya Hijabers Community yang ingin berdakwah dan syiar melalui

gaya berbusana bukannya tidak menuai pro-kontra. Pro dan kontra tetap ada mengkritisi

habitus mereka yang dinilai konsumtif dan tidak mencerminkan kesederhanaan Muslimah

berhijab14. Perekrutan anggota yang dilakukan secara eksklusif juga bisa dikritisi sebagai habitus kelas menengah yang ditampilkan, bukan habitus berhijab dan Islami.

Konsumerisme yang ditunjukkan oleh anggota Hijabers Community adalah dengan menempatkan hijab menjadi komoditi fesyen yang menghasilkan keuntungan materi bagi

komunitas (dilihat dari kegiatan hijab class) . Hal ini berbeda dengan visi komunitas di awal

yang bertujuan untuk syiar dengan menampilkan selera berbusana Islami dan hijab, bukan

‘mengangkat’ budaya konsumerisme dibalik habitus berhijab dan kegiatan syiar. Pembentukan habitus keislaman masyarakat kelas menengah dari selera fesyen yang trendi

dalam berbusana Islam dan berhijab tetap tidak bisa melepaskan diri dari budaya-budaya

13

Pernyataan ini saya dapatkan dari hasil diskusi dengan Bapak Sonny Muchlison, di kediamannya (Taman Manggu Indah Bintaro) pada tanggal 27 Desember 2011 pukul 11.00 WIB.

14Per yataa i i saya kutip dari respo ya g di erika pe a a u tuk artikel

Hijabers Community, Bersyiar

elalui Fashio Taat Kaidah ya g di uat di KOMPA“. o Ka is, Agustus . Diakses di

(13)

13 yang melekat pada globalisasi, seperti konsumerisme. Hijabers Community sebaiknya lebih memperhatikan habitus yang terbentuk dari perilaku yang dianggap biasa karena

sesungguhnya mempunyai makna yang lebih jauh, seperti yang diungkapkan Bourdieu.

Referensi

Abdullah, Irwan. 2010. Kontruksi dan reproduksi kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Barnard, Malcolm. 1996. Fashion as Communication. London: Routledge.

Basuki, Orin dan Agus Mulyadi. 2011. Kelas Menengah Indonesia, Kondisioner Rambut

Dibeli Tiga Kali Lebih Banyak.

http://www.jakartafashionweek.co.id/id/designer/dian.pelangi/001/004/8 diunduh

tanggal 12 Desember 2011 pukul 10:10 WIB.

Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: a social critique of the judgement of taste. Cambridge: Harvard University Press.

Bourdieu, Pierre. 1992. The logic of practice. Stanford University Press.

Bourdieu, Pierre. 1993. The field of cultural production: essays on art and literature. Columbia University Press.

Brenner. Suzzane. 1996. Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and “the

Veil” dalam American Enthologist, Vol. 23, No. 4. American Anthropological Association. Diunduh melalui

http://links.jstor.org/sici?sici=0094-0496%28199611%2923%3A4%3C673%3ARSASJM%3E2.0.CO%3B2-N pada 8

Desember 2011 pukul 17.05 WIB.

Djumena, Erlangga. 2011. Kelas Menengah Tidak Diantisipasi. Diunduh dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/19/07433945/Kelas.Menengah.Tid

ak.Diantisipasi tanggal 12 Desember 2011 pukul 10:10 WIB.

Ernawati. 2011. Dinamika Muslimat Kelas Menengah. Diakses melalui http://busana-muslim.asia/dinamika-muslimat-kelas-menengah pada tanggal 27 Desember 2011

pukul 21.05 WIB.

Fazriyati, Wardah. 2011. Hijabers Community, Bersyiar melalui Fashion Taat Kaidah

(14)

14 http://female.kompas.com/read/2011/08/11/13253987/Hijabers.Community.Bersyia

r.Melalui.Fashion.Taat.Kaidah tanggal 12 Desember 2011 pukul 08.24 WIB.

Geertz, Clifford. Traditional Islamic Dress.

http://faculty.uccb.ns.ca/philosophy/203/fourth%20reading.htm diunduh pada 10

Desember 2011 pukul 07.45 WIB.

Hasbullah, Moeflich. 2007. Teori Habitus Bourdieu dan Kelas Menengah Muslim Indonesia.

http://moefarticles.wordpress.com/2011/01/07/teori-habitus-bourdieu-dan-kelas-menengah-muslim-indonesia/ diunduh pada 12 Desember 20122 pukul 04.07 WIB.

Jenkins, Richard. 1992. Pierre Bourdieu. New York: Routledge.

Lukens-Bull, Ronald A. 2003. Ronald McDonald as a Javanese Saint and an Indonesian Freedom Fighter: reflection on the global and the local. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian Studies, Vol. 17, No. 1 pp. 108-128.

Northern Illinois University Center for Southeast Asian Studies.

Marcoes-Natsir, Lies. 2004. Symbol of Defiance or Symbol of Loyalty?. http://www.qantara.de/webcom/show_article.php/_c-549/_nr-5/_p-1/i.html diunduh

pada 10 Desember 2011 pukul 09.02 WIB.

Robins, Kevin. 1996. Interrupting Identities Turkey/Europe, Questions of Cultural identities.

London: SAGE Publications, Ltd.

Berjilbab Bukan Berarti Kampungan. http://kosmo.vivanews.com/news/read/238605--berjilbab-bukan-berarti-kampungan- diunduh pada tanggal 8 Desember 2011 pukul

16.43 WIB.

2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-empat. Jakarta: PT Gramedia dengan Kementerian Pendidikan Nasional.

2011. Redefining Muslim Wear.

http://www.jakartafashionweek.co.id/2012/en/pressReleaseDetail/redefining.muslim

(15)
(16)

16 Division Member of Hijabers Community

10 Dian Ayu Professional

Make-Up Artist, desainer busana Islami dengan label Aluyya, Events Division Member of Hijabers Community

11 Inna Rovi Penyanyi, Member

of HC Branch Development 12 Fifi

Alvianto

24 tahun

Lulusan Multimedia ITB

Latar belakang sosial suami dan Fifi sendiri adalah sosialita

Ibu rumah tangga, pemilik dan desainer busana Islami Casa Elana (kolaborasi dengan Hanna Faridl dan Anneke Scorpy)

(17)
(18)

Gambar

Tabel 1
Gambar 1
Gambar 2 17

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada landasan teori yang ada dapat diajukan hipotesis bahwa tablet effervescent kombinasi ekstrak etanol daun dewandaru dan herba sambiloto mempunyai

 Dengan membaca wacana tentang perubahan wujud benda mencair, siswa dapat mengidentifikasi informasi yang terkait dengan perubahan wujud mencair dengan tepat?.

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Almilia dan Kristijadi (2003) yang menunjukkan hasil bahwa debt ratio tidak memiliki pengaruh

MENIMBANG : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 42 ayat (4a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan

Lahan sawah tadah hujan di kabupaten Gunungkidul pada umumnya hanya ditanami padi sekali dalam setahun, dan pada musim berikutnya atau Musim Tanam ke-2 hanya

dari segala hal yang berhubungan dengan materi yang sedang dipelajari ketika kegiatan belajar berlangsung. Penggunaan kedua pendekatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan

Perhitungan total sedimen dilakukan dengan pengukuran sampel kadar sedimen/total padatan tersuspensi ( Total Suspended Solid ,TSS) di 3 (tiga) lokasi yaitu inlet

Dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki seperti panorama alam yang indah, sejuk dan masih asli, sumber air yang melimpah, kondisi keamanan yang baik, suasana