1
Hijabers Community
: Representasi Selera dan
Habitus Muslim Kelas Menengah
Tugas Akhir Semester Mata Kuliah Teori Kritis
Program Cultural Studies - Pascasarjana Universitas Indonesia
Dosen : Prof. Melani Budianta
Listya Ayu Saraswati (1106115506)
2
Hijabers Community: Representasi Selera dan Habitus Muslim Kelas Menengah1
Dampak globalisasi yang dialami oleh masyarakat kelas menengah, yang merupakan
kelompok masyarakat ‘baru’2 di Indonesia, membawa mereka kembali pada kehidupan agama dan budaya lokal. Simbol-simbol keagamaan mulai secara bebas diperlihatkan oleh
kelompok masyarakat di kelas ini sebagai kapital simbolik dalam interaksi sosialnya. Sebagai
kelompok masyarakat yang dengan mudah berinteraksi dengan masyarakat global,
mendapatkan akses pendidikan yang layak, dan berkemampuan ekonomi tinggi, masyarakat
kelas menengah menunjukkan gejala baru dalam hal kepatuhan agama, salah satunya dengan
berhijab dan berbusana Islami. Berhijab bagi wanita masa kini bukanlah suatu pilihan hidup
yang sulit karena telah hilangnya stereotip fanatik dan mulai terbukanya berbagai peluang
eksistensi diri yang sama dengan wanita yang tidak berhijab, salah satunya dalam hal fesyen
dan kecantikan. Paper ini membahas tentang pembentukan selera berhijab dan berbusana
Islami di kalangan masyarakat kelas menengah yang dipelopori oleh Hijabers Community Indonesia. Melalui kegiatan-kegiatan komunitas ini, antara lain tausiyah yang ditambahkan
dengan agenda tutorial memakai hijab trendi yang bersifat eksklusif, kita bisa melihat
representasi selera sekaligus pembentukan habitus Muslim kelas menengah di Indonesia yang
menjadi pembeda (distinction) dengan kelompok Muslim lainnya.
Kata kunci: komunitas, Hijabers Community, kelas menengah, selera, habitus, distinction
Pendahuluan
Dian Pelangi3, seorang Muslimah muda dan desainer busana Islami, dalam wawancaranya dengan VIVAnews.com (2011) menyatakan keresahannya terhadap citra kuno,
1
Ditulis untuk tugas akhir mata kuliah Teori Kritis FIB UI tanggal 29 Desember 2011.
2
Mengutip Hasbullah (2007) dala artikel Teori Habitus Bourdieu dan Kelas Menengah Muslim Indonesia.
“ejak tahu a , di I do esia u ul se uah lapisa asyarakat aru ya g dise ut se agai kelas
menengah (middle class).
3
3 tua, dan kampungan yang melekat pada wanita Muslim berhijab. Namun kini busana Islami
dan hijab mengalami transformasi dalam hal konsumsi dan apresiasi masyarakat Indonesia
kepada pemakainya. Hasbullah (2007) beragumentasi bahwa
Busana Islami dan hijab yang pada zaman Orde Baru dipandang sebagai bentuk
fanatisme agama sehingga pemakainya terkadang mendapat diskriminasi, sekarang
menjelma menjadi bentuk afirmasi identitas dan selera penanda status sosial.
Terlebih lagi kini konsumsi busana Islami dan hijab mulai menyentuh masyarakat
kelas menengah4. Kelompok masyarakat Muslim kelas menengah ini menjadikan hijab sebagai kapital simbolik dalam membangun kerangka penafsiran syiar agama tanpa
meninggalkan gaya hidupnya. Gaya hidup tersebut menjadi pembeda kelompok ini dengan
kelompok masyarakat lainnya dalam hal selera dan habitusnya. Tulisan ini menggunakan
perspektif Pierre Bourdieu tentang selera dan habitus dalam melihat komunitas kelas
menengah berhijab melalui kegiatan-kegiatan komunitasnya.
Konsep Bourdieu: Selera dan Habitus
Selera menurut Bourdieu (1984) adalah bentuk manifestasi dari pilihan yang berasal
dari tindakan afirmasi terhadap kelas sosialnya. Selera bisa menyatukan sekelompok individu
yang berasal pada posisi kapital yang sama dan membedakan mereka dari kelompok sosial
dengan kapital yang berbeda. Dalam hal ini selera fesyen dalam berbusana Islami dan
berhijab yang menyatukan sekelompok wanita muda urban dari kelas menengah untuk
membentuk sebuah komunitas kelas menengah berhijab.
muslim karena masih jarangnya busana muslim kontemporer. Diunduh dari
http://www.jakartafashionweek.co.id/id/designer/dian.pelangi/001/004/8 tanggal 12 Desember 2011 pukul 10:10 WIB
4 survei Nielsen secara online mencatat, ada sekitar 29 juta warga kelas menengah premium di Indonesia. Mereka tumbuh seiring dengan pendapatan per kapita sekitar 3.000 dollar AS (sekitar Rp 27 juta) per tahun. Diunduh dari
4 Bourdieu (1984) juga menghubungkan selera dengan habitus. Selera yang dibentuk
oleh penempatan atau afirmasi yang membentuk kesatuan paradigma akan mengakar kuat
dan bertahan lama, yang disebut habitus. Habitus dapat menghasilkan perkembangan dan
inovasi bentuk budaya populer baru, seperti gaya berpakaian. Menurut Bourdieu (1984)
‘selera sebagai pengatur interaksi habitus dengan habitus lain, yang membedakan kelas satu
dengan kelas lainnya’, yang dalam hal ini akan membentuk pembeda (distinction) atau pembeda sekelompok individu dalam kelas dominan kepada mereka yang berasal dari kelas
terdominasi.
Habitus terbentuk dari perilaku sosial dan pola pikir yang dianggap biasa dan
dilakukan berulang-ulang secara sadar ataupun tanpa sadar. Perilaku yang dianggap biasa
tersebut sesungguhnya mempunyai makna yang lebih jauh (Bourdieu: 1984). Komunitas
Muslim kelas menengah kini tidak lagi menyukai kegiatan keagamaan yang bersifat tertutup
dan sembunyi-sembunyi. Mereka menolak alienasi dari kehidupan urban metropolis, contohnya kelompok Muslimah muda kelas menengah di Jakarta yang secara terang-terangan
mempublikasikan kegiatan mereka melalui jejaringan sosial dan media massa lainnya untuk
mempromosikan eksistensi komunitas mereka. Dari contoh tersebut kita bisa melihat bahwa
komunitas Muslim kelas menengah telah membentuk suatu tindakan yang dianggap biasa
bagi kehidupan masyarakat urban dalam menunjukkan eksistensi keislaman mereka sehingga
kelompok masyarakat lainnya sadar akan dan memperhitungkan keberadaan mereka.
Habitus lain yang mereka perlihatkan untuk menunjukkan identitas komunitasnya
adalah melalui simbol-simbol identitas tertentu, seperti hijab. Meskipun begitu sering kali
bersifat kolektif maka gaya dan selera pun cenderung sama dan seragam.
Muslim Kelas Menengah
Globalisasi tidak membawa tatanan budaya baru ke dalam tatanan lokal suatu
masyarakat. Globalisasi justru meruntuhkan totalitas dan menciptakan perbedaan-perbedaan
yang berasal dari lokalitas (Abdullah, 2010:107). Budaya global bukan lagi budaya asing
yang baru, melainkan integrasi budaya-budaya lokal. Integrasi budaya lokal yang sarat
perbedaan ini menjadi dasar dalam membentuk kebebasan berekspresi. Globalisasi, menurut
5 adalah agama. Budaya global juga ikut mengkontekstualisasi agama dengan tata nilai yang
berbeda.
Globalisasi merupakan hasil dari keberhasilan pembangunan ekonomi yang
menyebabkan terjadinya perubahan budaya (Lukens-Bull, 2003). Efek yang timbul setelah
terjadinya globalisasi karena keberhasilan pembangunan ekonomi adalah meningkatnya taraf
hidup dan kesejahteraan masyarakat. Namun seperti halnya masalah-masalah pembangunan
di banyak negara, Indonesia mengalami masalah pembangunan yang tidak merata. Ada
golongan masyarakat tertentu yang mendapat akses globalisasi lebih mudah daripada
golongan lainnya.
Kemunculan kelas menengah di Indonesia difasilitasi oleh keberhasilan pembangunan
ekonomi dan misi modernisasi sejak masa Orde Baru. Hasbullah (2007) berpendapat bahwa
keberhasilan masyarakat menengah atas dalam mengakses pendidikan membuat Indonesia
menciptakan gelombang kelas sosial baru yang terdiri atas orang-orang tenaga professional
ahli yang tinggal di daerah perkotaan (metropolitan) dan memegang jabatan penting baik di
lembaga pemerintahan maupun swasta. Kesejahteraan dan konsumsi masyarakat di kelas ini
pun semakin tinggi dibarengi dengan selera yang tinggi juga.
Fenomena yang terjadi di kalangan menengah atas di Indonesia selain pertumbuhan
ekonomi-nya yang pesat dan peningkatan kesejahteraan hidup, adalah meningkatnya
semangat kembali kepada kehidupan agama (Hasbullah: 2007). Fenomena ini cenderung
terlihat pada awal tahun 1990an ketika masyarakat kelas menengah yang paling banyak
tersentuh pembangunan ekonomi dan mengalami perubahan sosial berbondong-bondong
kembali kepada hidup taat beragama. Menurut Naisbitt (Hasbullah: 2007) kecenderungan ini
sebagai bentuk kebutuhan spiritual yang sudah terintersifikasi. Argumentasi lain mengatakan
bahwa kecenderungan ini muncul sebagai refleksi dari sikap pembebasan diri spiritual dalam
masyarakat yang pernah dibatasi oleh kebijakan di era Orde Baru yang dianggap tidak adil
bagi kaum Muslim sebagai mayoritas (The Asia Foundation Conference).
Kebutuhan spiritual, intensitas keagamaan, dan kesamaan kelas serta gaya hidup
menjadi komitmen atau landasan terbentuknya kelompok kelas menengah Muslim di
kalangan masyarakat menengah atas. Kelompok ini membawa identitas kelompok atau
6 dan Rayner (Robins: 1996) adalah bentuk penguatan dari proses interaksi yang berkelanjutan
dengan kelompoknya. Proses pembentukan identitas kolektif dijelaskan bahwa:
‘a process that requires each community to see itself from the perspective of others,
and incorporate those perspectives through the prism of its own consciousness in a
continuous reflexive process. Collective identity would be recognized as selectively
chosen (within certain parameters) rather than merely given’ (79)
Menurut Robins (1994:79) pembentukan identitas kolektif biasanya berdasarkan
parameter tertentu bukan hanya sekedar ditentukan. Kode-kode budaya sebagai bentuk
kesetiaan, komitmen, atribut, dan afiliasi yang menentukan identitas suatu kelompok.
Kode-kode budaya ini dapat berupa selera fesyen, makanan, musik, dan lainnya. Menurut Rao
(Hasbullah: 2007) kode-kode ini kemudian mengikat setiap anggota kelompok dan
memunculkan modal yang pada akhirnya menjadi sebuah identitas kolektif. Sebagai contoh,
dalam kegiatan atau acara tertentu anggota komunitas memiliki ketentuan berbusana sesuai
dengan kode-kode yang ditentukan, misalnya memakai tone warna pastel yang feminin dan di
lain kesempatan tampil dengan busana yang lebih kasual dan sporty. Kode-kode berbusana ini memang tidak disampaikan dengan paksaan untuk anggotanya namun seringkali menjadi
modal budaya bagi mereka untuk berbaur dan mengusung identitas kolektif komunitasnya.
Hal ini mendukung pernyataan Bourdieu (1990: 13) bahwa sekelompok orang dari posisi dan
kelas sosial yang sama cenderung memiliki habitus yang sama.
Kode budaya yang dibawa oleh komunitas Muslim kelas menengah yang akan
dibahas dalam tulisan ini adalah hijab. Hijab berdasarkan pemaknaan dari Kamus Bahasa
Indonesia adalah sebagai dinding yang membatasi sesuatu dengan yang lain dan/atau dinding
yang membatasi hati manusia dan Allah SWT. Pemaknaan hijab yang saya pakai dalam paper
ini adalah model berpakaian sederhana menurut ajaran Islam5 yang menutupi aurat
5
7 perempuan, kecuali telapak tangan serta wajah. Kode budaya berupa hijab dan Muslimah
kemudian membentuk tatanan penting dalam komunitas berhijab ini dan menjadi identitas
kolektif anggota komunitasnya. Kode budaya tersebut menjadi ‘benang merah’ bagi masing-masing anggota yang pada akhirnya membuat mereka menyatu dalam suatu komunitas.
Muslimah Indonesia dan Hijab
Pemakaian hijab oleh perempuan Muslim pada awal masa kepemerintahan Orde baru
sampai tahun pada akhir tahun 1980an masih dipandang sebagai praktik politik yang
memberikan stereotip negatif terhadap fundamentalisme Indonesia (Brenner: 1996). Oleh
karena itu wanita berhijab seringkali mendapat perlakuan diskriminatif sosial, seperti dibatasi
atau dilarang memakai hijab pada saat bekerja dan sekolah. Hijab juga dipandang sebagai
bentuk perlawanan terhadap pemerintah dengan menunjukkan identitas yang berbeda dengan
orang kebanyakan (Marcoes-Natsir: 2004). Keputusan untuk berhijab pada masa itu
merupakan suatu pilihan yang sulit bagi Muslimah di Indonesia, bahkan mungkin tidak
diperhitungkan sebagai pilihan.
Akhir tahun 1980an terjadi gelombang globalisasi Islam di dunia yang juga
mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat dari kelas menengah
dan atas (Hasbullah: 2007). Masyarakat Islam Indonesia mulai merasa menjadi bagian
masyarakat Islam global. Mereka pun mulai senang mengekspresikan identitasnya sebagai
Muslim dan Muslimah melalui atribut keagamaan, salah satunya hijab. Fenomena ini dikenal
sebagai kebangkitan Islam di Indonesia (Hasbullah: 2007).
Popularitas hijab dan busana Islami pun semakin tinggi. Awal tahun 1990an hingga
kini Muslimah dengan hijab dan busana Islami umum ditemui di kota-kota besar di
Indonesia, seperti Jakarta; dan di arena yang lebih urban dan heterogen, sepeti perkantoran,
kampus, pusat perbelanjaan, dan lainnya. Gejala lain ditunjukkan dengan terbitnya banyak
majalah-majalah perempuan Muslimah baik di dalam negeri (seperti Noor dan Ummi) serta
terbitan luar negeri (seperti Aquila Asia terbitan Malaysia) yang menandakan kemunculan
8 dan pertumbuhan segmentasi pembaca Muslimah6. Majalah-majalah Muslimah modern ini menekankan pada gaya hidup modern masa kini dengan tetap tampil dengan keselarasan
Islami.
Hijabers Community Indonesia
Hijabers Community didirikan pada bulan November 2010 di Jakarta. Anggotanya berjumlah 30 orang dari latar belakang profesi yang berbeda. Anggota komunitas ini berusia
dari 20-30 tahun dan berasal dari kelas masyarakat menengah7. Komunitas ini didirikan oleh tiga wanita Muslimah yang memiliki persamaan visi dan misi dalam hal syiar agama dan
fesyen Islami. Ketiga wanita pendiri Hijabers Community adalah desainer busana Islami yang
memiliki label busana masing-masing, yaitu Dian Pelangi dengan label busana DP by Dian
Pelangi, Jenahara Nasution8 dengan label busana Jenahara, dan Ria Miranda9 dengan label busana Shabby Chic by Ria Miranda.
Gaya berbusana atau style yang diusung oleh ketiga desainer ini hampir mirip
sehingga mereka merasa ada kecocokan dalam berbusana. Kecocokan dalam selera berbusana
ini kemudian berkembang pada ide syiar. Terbentuknya Hijabers Community ini difokuskan pada melakukan syiar agama dan penyampaian akidah dengan cara yang lebih modern namun
tetap dalam sesuai dengan kaidah. Hal ini serupa dengan pernyataan Dian Pelangi, sebagai
salah satu pendiri Hijabers Community, bahwa:
6Merujuk pada artikel Di a ika Musli at Kelas Me e gah oleh Er awati ya g diakses elalui
http://busana-muslim.asia/dinamika-muslimat-kelas-menengah pada tanggal 27 Desember 2011 pukul 21.05 WIB
7
DIlihat dari latar belakang pendidikan, keluarga, dan pekerjaan. Lebih lanjut lihat tabel 1.
8
Jenahara Nasution adalah putri dari desainer busana muslim, Ida Royani. Ia lulusan dari Susan Budiharjo Fashion School. “aat i i ia e iliki la el usa a Isla i, Je ahara. Je ahara se diri sekara g e ja at se agai President of Hijabers Community. (Informasi mengenai Jenahara Nasution saya dapatkan dari jejaring sosial Facebook http://www.facebook.com/jenahara.nasution dan blog http://jenahara-shop.blogspot.com/ )
9
Ria Miranda, 26 tahun, adalah seorang desainer busana Islami dengan label Shabby Chic by Ria Miranda. Ia
sekara g e ja at se agai Vice President of Hijabers Community. (Informasi mengenai Ria Miranda saya dapatkan dari jejaring sosial Facebook http://www.facebook.com/pages/Ria-Miranda dan blog
9 Prinsip kami, syiar itu nggak mesti dilakukan di masjid, bisa saja syiar (menyebarkan
ajaran-ajaran Islam) dilakukan di mall dengan memakai busana Islami yang menarik.
Nggak zamannya lagi seorang muslimah itu tertutup. 10
Lambat laun anggota komunitas ini semakin banyak sehingga terbentuklah 30 orang
sebagai pengurus Hijabers Community. Komunitas ini dibentuk dengan tujuan untuk menyambung tali persaudaraan (sisterhood) antar Muslimah muda yang saling menginspirasi
dan berbagi ide-ide dalam hal berbusana Islami dan berhijab. Oleh karena itu
anggota-anggota Hijabers Community mengakui bahwa yang menyatukan mereka adalah ‘kiblat’ dan selera fesyen mereka sama. Dan mereka akan melakukan syiar melalui busana Islami dan
hijab trendi yang mereka kenakan dan menjadi identitas kolektif komunitasnya, seperti yang
saya kutip dari pernyataan Dian Pelangi berikut.
Kami hanya sebagai wadah yang ingin menginspirasi wanita untuk mengenakan
busana Islami. Karena selama ini berbusana Islami itu dianggap nggak keren, kampungan, nggak bisa tampil trendy. 11
Anggota Hijabers Community memiliki motto berkampanye ‘mari berhijab’. Kampanye ini pun disponsori oleh produk susu kesehatan untuk Muslimah dengan tujuan
dapat selalu menginspirasi Muslimah untuk berhijab. Kegiatan berdakwah dengan berusaha
menginspirasi kaum Muslimah muda untuk berhijab (direpresentasikan dengan kegiatan hijab
class dan hijab tutorial) dan berbusana Islami serta syair di mall dan tempat-tempat ramai, seperti acara urban fest dan kampus, telah menjadi agenda rutin Hijabers Community. Agenda-agenda rutin ini tanpa mereka sadari telah menjadi suatu kebiasan yang merumuskan
kepada habitus komunitas mereka yang dimanifestasi dan terintegrasi dari skema-skema
persepsi, pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama (Jenkins, 1992: 46).
10
Diambil dari wawancara Vivanews.com dengan Dian Pelangi dala artikel Berjilbab Bukan Berarti Kampungan diu duh dari http://kosmo.vivanews.com/news/read/238605--berjilbab-bukan-berarti-kampungan- pada tanggal 8 Desember 2011 pukul 16.43 WIB.
11
10 Habitus Hijabers Community
Hijabers Community memiliki banyak kegiatan baik yang ditujukan untuk syiar maupun fesyen. Namun dalam paper ini saya akan membahas tiga agenda rutin12 Hijabers Community yaitu:
1. Rangkaian kegiatan pengajian, seminar, hijab class yang dilaksanakan setiap satu bulan.
2. Hijab and Beauty Class with HC yang dilaksanakan setiap satu bulan.
3. Charity atau beramal
Di samping agenda-agenda lain yang dilakukan oleh anggota Hijabers Community, ketiga agenda diatas yang paling sering dilakukan sejak komunitas ini berdiri. Anggota
Hijabers Community selalu mengundang Muslimah lain yang bukan anggota komunitasnya untuk datang dan berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang mereka buat.
Kegiatan pengajian, seminar, dan hijab class dikenakan biaya sebesar Rp 250.000 – Rp 300.000 per orang sebagai biaya pendaftaran (booking) untuk mengikuti semua rangkaian
kegiatan dan Rp 25.000 per orang jika ingin mengikuti kegiatan pengajian dan seminar saja.
Rangkaian kegiatan seperti ini biasanya dibuka pendaftaran dengan jumlah pesera yang
dibatasi. Namun ada juga kegiatan yang bersifat gratis dan tanpa harus booking karena mendapat sponsor dari beberapa produk, misalnya susu dan kosmetik Muslimah.
Rangkaian kegiatan ini biasanya dilaksanakan di hotel, butik, mall ataupun kampus.
Tema-tema yang diangkat dalam kegiatan pengajian dan seminar pun beragam. Misalnya
pada agenda di bulan Desember 2011 komunitas ini mengangkat tema “Brain, Beauty, & Be a Positive Thinker” dengan judul seminar “Hidup Sehat & Bahagia dengan Berpikir Positif” oleh Rahmadysah (Master Mind Therapist) dan Kiki Andryanto dan dengan tema pengajian
atau tausiyah “Husnudzhan vs. Su’udzhan” oleh KH. Muh Mujib Burahman. Sedangkan tema
untuk hijab class menyesuaikan menjadi “Combine Your Signature Style” oleh tutorial Tantri Havid dan Restu Anggraini dari anggota Hijabers Community. Sebagai ciri khas dari setiap kegiatannya, komunitas ini menambahkan kegiatan konsultasi dan tutorial berhijab yang
12
Informasi mengenai agenda kegiatan Hijabers Community saya dapatkan di jejaring sosial Facebook
11 trendi dan cantik mengikuti tema yang sudah ditentukan di akhir kegiatan lainnya. Tutorial
hijab ini sendiri dikenakan biaya Rp 200.000 – Rp 275.000 per orang.
Pada kegiatan hijab class sendiri, seluruh peserta akan mendapatkan bingkisan paket
hijab dari sponsor kegiatan; yang tak lain adalah label fesyen dari anggota Hijabers Community itu sendiri, seperti Jenahara, Casa Elana, atau DP by Dian. Tutor pada kegiatan hijab class adalah anggota dari Hijabers Community sendiri yang dianggap menjadi inspirasi dalam style hijab.
Pada kegiatan pertama kita bisa melihat bahwa selera komunitas ini dalam memilih
tempat mengadakan kegiatan syiar sudah berbeda dengan komunitas Muslim lainnya yang
biasanya memilih untuk menyelenggarakan syiar di masjid. Kegiatan syiar yang dilakukan
oleh Hijabers Community lebih memilih tempat yang mudah diakses oleh anggotanya dan peserta non-anggota karena tempat-tempat yang dipilih sering menjadi pusat mobilitas.
Alasan lain adalah untuk menguatkan tujuan mereka yang ingin memberikan kerangka
penafsiran baru dari kegiatan syiar itu sendiri yang seharusnya terbuka dan modern.
Tema-tema pengajian dan seminar yang diangkat pun ringan dan dekat dengan kehidupan
sehari-hari.
Hijabers Community masih menunjukkan hijab sebagai modal simbolik yang dimiliki dan juga sebagai bagian dari misi Hijabers Community. Hijab bagi komunitas ini berperan sebagai habitus yang membangun kesadaran pembentukan kelas sosial mereka. Oleh karena
itu hijab yang menjadi ciri anggota komunitas ini terus menerus ditampilkan sebagai
pengulangan ekspresi penampilan yang kemudian berkembang menjadi struktur sosial baru
(Bourdieu, 1992: 73). Habitus berhijab bagi Hijabers Community selaras dengan kampanye mereka; mari berhijab.
Untuk kegiatan charity, anggota Hijabers Community biasanya akan menggelar fashion show yang diakhiri dengan melelang baju yang ditampilkan. Kegiatan charity ini bersifat internal, hanya untuk anggota Hijabers Community saja. Selama komunitas ini berdiri, kegiatan charity baru dilaksanakan dua kali pada bulan Ramadhan tahun 2010 dan tahun 2011. Uang hasil lelang tersebut mereka sumbangkan kepada anak-anak yatim di
Yayasan Az Zahra milik Wanda Hamidah. Komunitas Muslimah berhijab ini menunjukkan
12 membuat lelang untuk kegiatan charity. Tindakan meniru budaya biasa dilakukan oleh kelas
menengah, yang disebut dengan kelas‘borjuis kecil’. Refleksi Hijabers Community
Habitus berhijab yang dibentuk Hijabers Community mengarah pada selera dan style orang-orang tertentu yang menjadi dominan dalam komunitas sehingga habitus dan kesadaran
yang ditersampaikan lebih bersifat kolektif dan seragam, bukanlah sebagai ekspresi
individual. Sedangkan hijab adalah identitas yang sarat akan ekspresi individual. Dresscode yang ada di setiap kegiatan Hijabers Community membuat kode-kode sosial yang harus
diikuti oleh anggota komunitas. Hal ini berbeda dengan hijabers yang ada di London, UK.
Hijabers di London UK lebih menunjukkan selera berbusana dan berhijab secara individual,
bukan kelompok. Gaya berbusana yang menjadi habitus mereka lebih bertujuan untuk
mencapai penandaan identitas di tengah masyarakat sekuler13, bukan bertujuan untuk mengaktualisasikan komunitas menjadi kelas sosial tertentu.
Fenomena terbentuknya Hijabers Community yang ingin berdakwah dan syiar melalui
gaya berbusana bukannya tidak menuai pro-kontra. Pro dan kontra tetap ada mengkritisi
habitus mereka yang dinilai konsumtif dan tidak mencerminkan kesederhanaan Muslimah
berhijab14. Perekrutan anggota yang dilakukan secara eksklusif juga bisa dikritisi sebagai habitus kelas menengah yang ditampilkan, bukan habitus berhijab dan Islami.
Konsumerisme yang ditunjukkan oleh anggota Hijabers Community adalah dengan menempatkan hijab menjadi komoditi fesyen yang menghasilkan keuntungan materi bagi
komunitas (dilihat dari kegiatan hijab class) . Hal ini berbeda dengan visi komunitas di awal
yang bertujuan untuk syiar dengan menampilkan selera berbusana Islami dan hijab, bukan
‘mengangkat’ budaya konsumerisme dibalik habitus berhijab dan kegiatan syiar. Pembentukan habitus keislaman masyarakat kelas menengah dari selera fesyen yang trendi
dalam berbusana Islam dan berhijab tetap tidak bisa melepaskan diri dari budaya-budaya
13
Pernyataan ini saya dapatkan dari hasil diskusi dengan Bapak Sonny Muchlison, di kediamannya (Taman Manggu Indah Bintaro) pada tanggal 27 Desember 2011 pukul 11.00 WIB.
14Per yataa i i saya kutip dari respo ya g di erika pe a a u tuk artikel
Hijabers Community, Bersyiar
elalui Fashio Taat Kaidah ya g di uat di KOMPA“. o Ka is, Agustus . Diakses di
13 yang melekat pada globalisasi, seperti konsumerisme. Hijabers Community sebaiknya lebih memperhatikan habitus yang terbentuk dari perilaku yang dianggap biasa karena
sesungguhnya mempunyai makna yang lebih jauh, seperti yang diungkapkan Bourdieu.
Referensi
Abdullah, Irwan. 2010. Kontruksi dan reproduksi kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Barnard, Malcolm. 1996. Fashion as Communication. London: Routledge.
Basuki, Orin dan Agus Mulyadi. 2011. Kelas Menengah Indonesia, Kondisioner Rambut
Dibeli Tiga Kali Lebih Banyak.
http://www.jakartafashionweek.co.id/id/designer/dian.pelangi/001/004/8 diunduh
tanggal 12 Desember 2011 pukul 10:10 WIB.
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction: a social critique of the judgement of taste. Cambridge: Harvard University Press.
Bourdieu, Pierre. 1992. The logic of practice. Stanford University Press.
Bourdieu, Pierre. 1993. The field of cultural production: essays on art and literature. Columbia University Press.
Brenner. Suzzane. 1996. Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and “the
Veil” dalam American Enthologist, Vol. 23, No. 4. American Anthropological Association. Diunduh melalui
http://links.jstor.org/sici?sici=0094-0496%28199611%2923%3A4%3C673%3ARSASJM%3E2.0.CO%3B2-N pada 8
Desember 2011 pukul 17.05 WIB.
Djumena, Erlangga. 2011. Kelas Menengah Tidak Diantisipasi. Diunduh dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/12/19/07433945/Kelas.Menengah.Tid
ak.Diantisipasi tanggal 12 Desember 2011 pukul 10:10 WIB.
Ernawati. 2011. Dinamika Muslimat Kelas Menengah. Diakses melalui http://busana-muslim.asia/dinamika-muslimat-kelas-menengah pada tanggal 27 Desember 2011
pukul 21.05 WIB.
Fazriyati, Wardah. 2011. Hijabers Community, Bersyiar melalui Fashion Taat Kaidah
14 http://female.kompas.com/read/2011/08/11/13253987/Hijabers.Community.Bersyia
r.Melalui.Fashion.Taat.Kaidah tanggal 12 Desember 2011 pukul 08.24 WIB.
Geertz, Clifford. Traditional Islamic Dress.
http://faculty.uccb.ns.ca/philosophy/203/fourth%20reading.htm diunduh pada 10
Desember 2011 pukul 07.45 WIB.
Hasbullah, Moeflich. 2007. Teori Habitus Bourdieu dan Kelas Menengah Muslim Indonesia.
http://moefarticles.wordpress.com/2011/01/07/teori-habitus-bourdieu-dan-kelas-menengah-muslim-indonesia/ diunduh pada 12 Desember 20122 pukul 04.07 WIB.
Jenkins, Richard. 1992. Pierre Bourdieu. New York: Routledge.
Lukens-Bull, Ronald A. 2003. Ronald McDonald as a Javanese Saint and an Indonesian Freedom Fighter: reflection on the global and the local. Crossroads: An interdisciplinary journal of Southeast Asian Studies, Vol. 17, No. 1 pp. 108-128.
Northern Illinois University Center for Southeast Asian Studies.
Marcoes-Natsir, Lies. 2004. Symbol of Defiance or Symbol of Loyalty?. http://www.qantara.de/webcom/show_article.php/_c-549/_nr-5/_p-1/i.html diunduh
pada 10 Desember 2011 pukul 09.02 WIB.
Robins, Kevin. 1996. Interrupting Identities Turkey/Europe, Questions of Cultural identities.
London: SAGE Publications, Ltd.
Berjilbab Bukan Berarti Kampungan. http://kosmo.vivanews.com/news/read/238605--berjilbab-bukan-berarti-kampungan- diunduh pada tanggal 8 Desember 2011 pukul
16.43 WIB.
2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke-empat. Jakarta: PT Gramedia dengan Kementerian Pendidikan Nasional.
2011. Redefining Muslim Wear.
http://www.jakartafashionweek.co.id/2012/en/pressReleaseDetail/redefining.muslim
16 Division Member of Hijabers Community
10 Dian Ayu Professional
Make-Up Artist, desainer busana Islami dengan label Aluyya, Events Division Member of Hijabers Community
11 Inna Rovi Penyanyi, Member
of HC Branch Development 12 Fifi
Alvianto
24 tahun
Lulusan Multimedia ITB
Latar belakang sosial suami dan Fifi sendiri adalah sosialita
Ibu rumah tangga, pemilik dan desainer busana Islami Casa Elana (kolaborasi dengan Hanna Faridl dan Anneke Scorpy)