BAB 8
MASA DEPAN
SUSTAINABLE LIVELIHOOD
ORANG WORKWANA
Pembangunan Kabupaten Keerom pada umumnya, khususnya di Distrik Arso Kampung Workwana dan sekitarnya merupakan sebuah proses transformasi sosial yang menghasilkan berbagai perubahan. Perubahan-perubahan tersebut berdampak memajukan masyarakat dan daerah tetapi juga menimbulkan tekanan dan goncangan bahkan mengakibatkan terjadinya marjinalisasi atau ketersingkiran penduduk setempat. Uraian selanjutnya merupakan penegasan mengenai permasalahan pokok studi ini terkait dampak perubahan yang terjadi berhubungan dengan masuknya perkebunan sawit di Workwana dan sekitarnya.
membawa perubahan-perubahan di daerah ini. Perubahan-perubahan yang signyifikan terjadi berkaitan dengan keadaan lingkungan alam, kehidupan ekonomi, tradisi dan kebiasaan hidup serta sistem kelembagaan penduduk. Dari sejumlah studi dokumen diketahui juga bahwa pemerintah Belanda melalui berbagai survei yang dilakukan di daerah Keerom sebenarnya telah menetapkan wilayah ini sebagai salah satu daerah pertanian dan perkebunan yang dapat menjadi penyangga ekonomi bagi daerah sekitarnya. Dengan demikian apa yang kemudian dikembangkan di Keerom khususnya wilayah Arso dan sekitarnya sebagai daerah pertanian dan perkebunan sesungguhnya merujuk pada program-program pemerintah Belanda khususnya setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda (Meteray, 2012, 149-165). Ketika wilayah Papua diintegrasikan ke dalam NKRI, posisi Keerom sebagai wilayah pertanian dan perkebunan semakin dipertegas melalui program Transmigrasi umum dan Transmigrasi PIR (Suparlan, dalam Bulletin of West Irian Developmnet, 1972; Tim YPMD-Irja, 1987; Budiardjo & Liong, 1988, 63-76; Aditjondro, 2003, 403-426).
Bila dilihat dari perspektif Livelihood (Chambers & Conway, 1991; Krantz, 2001), daerah ini memang mempunyai natural capital, yakni keadaan alam dan tanah yang subur serta kekayaan alam lainnya yang memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi pengembangan bidang pertanian dan perkebunan serta pembangunan bidang lainnya. Namun perubahan dan perkembangan daerah ini sebagai daerah yang makin terbuka dengan berbagai dampak yang menyertainya dalam berbagai aspek kehidupan dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
perbatasan menurut penduduk setempat dilakukan melalui penggundulan hutan, agar hutan tidak menjadi tempat berkeliarannya kelompok separatis. Penggundulan seperti ini menurut perspektif lingkungan disebut sebagai proses deforestasi; tiga, pendekatan menjadikan tokoh-tokoh adat dan masyarakat sebagai karyawan perusahaan kelapa sawit. Pendekatan ini secara manifest juga merupakan realisasi janji-janji perusahaan melibatkan penduduk setempat sebagai karyawan perusahaan. Tetapi sesungguhnya secara laten tokoh-tokoh ini merupakan tameng perusahaan manakala muncul permasalahan terkait dengan penduduk setempat. Bila kita mencermati beberapa pengalaman terkait dengan resistensi penduduk terhadap perusahaan selama ini, nampaknya pendekatan ini tidak begitu efektif.
penggunduluan hutan secara besar-besaran. Karena itu penduduk setempat selalu menyatakan pengambilan tanah ini terjadi tanpa ada ganti rugi, sehingga tidak ada dasar yang kuat untuk pemerintah menyebut tanah ini tanah pemerintah. Cara lain peminggiran dan perlakuan tidak manusiawi terhadap penduduk juga dirasakan ketika mereka terlibat dalam pekerjaan proyek pembangunan rumah bantuan Menteri Sosial di Workwana tahun 1984. Sejumlah orang mengisahkan bahwa ketika bekerja mereka diperlakukan dengan kasar dan tidak manusiawi oleh aparat keamaman yang mengawasi pekerjaan tersebut. Peminggiran penduduk juga dialami melalui manipulasi luas lahan yang dilakukan pemerintah setempat dan perusahaan. Pengalaman ini semuanya menjadi memori kolekitf penduduk setempat yang selalu dibicarakan hingga saat ini, khususnya pada momen-momen pembicaraan tentang urusan kelapa sawit di daerah ini.
Dari sisi pembangunan ekonomi, pendekatan perkebunan kelapa sawit berbeda dengan pendekatan ekonomi perspektif sustainable livelihood. Pendekatan perkebunan kelapa sawit merupakan usaha skala besar yang mengutamakan hasil produksi yang besar pula. Relasi-relasi yang terbangun dalam industri perkebunan sawit ialah relasi antara buruh, pekerja, orang upahan dan majikan atau pemilik modal. Konsekuensinya penduduk setempat hanya menjadi buruh, pekerja dan orang upahan, bergantung pada majikan dan pemodal perusahaan dan pemerintah. Dalam kasus di Workwana, penduduk setempat yang awal mulanya merupakan tuan tanah kemudian menjadi tuna lahan diposisikan sebagai alat produksi industri kelapa sawit dan perusahaan sebagai produsen, penguasa dan majikan yang mempunyai modal. Relasi-relasi ini ternyata berdampak menimbulkan eksploitasi majikan terhadap buruh atau pekerja. Pendekatan ini kemudian menimbulkan ketersingkiran, keterasingan penduduk dari lingkungan alam, hasil kerja dan sesamanya sehingga terjadi dislokasi dan disorientasi penduduk setempat (Magnis Suseno, 2001, 87-104). Dari jenis usaha pendekatan perkebunan sawit merupakan sistem usaha yang monokultur. Industri perkebunan sawit merupakan usaha berskala besar, mengutamakan hasil produksi, berpusat pada kepentingan pemodal dunia industri, menimbulkan ketergantungan penduduk hanya pada usaha sawit, menguntungkan perusahaan sebagai majikan. Pendekatan ini tentu berbeda dengan pendekatan sustainable livelihood yang berpusat pada kepentingan masyarakat atau penduduk, mengutamakan kemandirian, kerja berjejaring dengan memperhatikan aspek makro-mikro, usaha skala kecil, dan berpusat pada masyarakat, memanfaatkan modal-modal yang ada dan mendorong terjadinya diversifikasi livelihood berkelanjutan.
rumahtangga-rumahtangga berada dalam keadaan tekanan dan goncangan hidup. Ada berbagai bentuk strategi yang ditawarkan dalam pendekatan sustainable livelihood agar seseorang atau rumahtangga-rumahtangga bisa keluar dari tekanan dan goncangan atau vulnerable context. Dalam studi yang dilakukan ini ditemukan beberapa bentuk strategi coping penduduk di Workwana. Pertama, strategi resistensi sebagai bentuk collective action. Resistensi merupakan suatu gerakan moral-sosial penduduk memperjuangkan hak-hak dasar, aset-aset dan akses hidupnya. Oleh karena itu resistensi ini bukan sutau gerakan politik. Kedua, strategi coping yang dilakukan oleh penduduk. Ada beberapa kategori kelompok penduduk di Workwana yang melakukan coping. Kelompok-kelompok dimaksud ialah kelompok berpendidikan (berbagai profesi pegawai negeri, politisi, pengusaha, pegawai swasta) dan kelompok perempuan (berjualan di pasar, beternak, usaha kios) serta kaum muda tunakarya (tukang ojek dan kerja borongan, pengawas pos adat).
perkebunan sawit sesuai kapabilitasnya; (2) ruang kehidupan subsisten tidak menjanjikan lagi bagi masa depan hidup generasi baru. Sekalipun kelompok ini memilih profesi baru, mereka selalu mendukung generasi pertama mempertahankan hak ulayatnya. Tiga, kaum perempuan. Kelompok ini melihat bahwa ada peluang mengembangkan sustainable livelihood dengan menjadi penjual atau pedagang di pasar, mengurus ternak dan kios di rumah atau menjadi buruhtani sawit di Arso Timur. Kelompok ini dikategorikan sebagai kelompok yang mampu melakukan coping sesuai dengan peluang yang tersedia dan akses-akses yang ada. Peluang dan akses-akses yang ditangkap kelompok ini di Workwana didukung oleh motivasi yang kuat seperti diungkapkan oleh sejumlah ibu, kalau mau bekerja atau mau berusaha pasti bisa. Kelompok ini ada yang merupakan bagian dari petani plasma dan ada pula generasi kedua yang secara mandiri melakukan coping dengan melihat peluang-peluang yang ada untuk melakukan diversifikasi livelihood. Empat, kelompok tunakarya. Kelompok ini pada umumnya merupakan generasi ketiga penduduk Workwana yang putus sekolah dan tunakarya. Dengan ketrampilan yang terbatas kelompok ini berusaha melakukan coping melalui pekerjaan informal seperti menjadi tukang ojek dan pekerja borongan di kampung.
pembangunan ekonomi melalui kelapa sawit. Mereka pun menilai bahwa pendekatan pengalihfungsian hutan untuk perkebunan sawit merupakan bentuk penipuan dengan alasan untuk kepentingan negara sehingga masyarakat tidak mendapat imbalan yang memadai. Ungkapan tersebut secara fenomenologis menunjukkan ungkapan kekesalan sekaligus megandung protes penduduk yang amat dalam, karena terjadi relasi-relasi yang bersifat eksploitatif dan relasi yang memarjinalkan penduduk, bukan relasi-relasi pertukaran antarsubyek atau diri yang setara antara penguasa, korporasi dan penduduk.
sedemikian rupa sehingga nampak kapabilitasnya (Chambers & Conway, 1991) untuk mengembangkan livelihood rumahtangga secara berkelanjutan. Dengan begitu dapat dikatakan strategi coping yang dilakukan orang-orang Workwana tersebut sejalan dengan sejumlah unsur livelihood rumahtangga yang disebut Chambers dan Conway sebagai hal-hal pokok livelihood rumahtangga. Unsur-unsur pokok rumahtangga dimaksud ialah, (1) adanya kapabilitas yang didukung oleh human capital, (2) adanya aktivitas (berjualan, bisnis, birokrat, politisi), (3) adanya aset-aset atau modal (yang kelihatan, seperti uang, barang-barang yang dijual dan yang tak kelihatan seperti, kesadaran moral keluarga untuk tanggungjawab, hak-hak penduduk dan lain-lain) serta (4) adanya hasil karya yang dapat dinikmati dari aktivitas-aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan tersebut.
Selanjutnya bagian ini akan diakhiri dengan sebuah penjelasan yang merangkum seluruh proses berpikir, yang di dalamnya termuat kerangka teori yang digunakan, kondisi empiris penduduk, yang di dalamnya terdapat sikap resistensi dan coping yang dilakukan penduduk dan suatu usulan pemberdayaan penduduk. Penjelasan tersebut dibuat dalam tabel berikut ini.
Tabel 8.1
Proses marjinalisasi, resistensi dan coping: suatu rangkuman
menggunakan human capital-nya menanggapi krisis dan vulnerable context tersebut dengan membangun strategi-strategi setempat. Strategi pertama yang dibangun ialah bersikap resistensi sebagai upaya colletive action gerakan moral sosial mencari keadilan atas hak ulayatnya sebagai warga negara RI terhadap perusahaan kepala sawit dan pemerintah. Resistensi tersebut dilakukan dengan berbagai cara seperti yang telah disebutkan lebih dahulu. Kemudian strategi yang kedua, kelompok berpendidikan, kelompok perempuan dan kaum muda tunakarya melakukan coping agar bisa tetap eksis sehingga sustainable livelihood tetap berlangsung dalam situasi yang terus berubah.
Jadi menurut hemat penulis ada berbagai kasus kegagalan pembangunan di Papua, khususnya di kampung-kampung, terjadi antara lain karena tidak dibangunnya relasi saling percaya antara penduduk dan agen pembangunan baik pemerintah maupun pihak terkait lainnya. Karena penduduk setempat masih dijadikan obyek program dan sasaran kegiatan politik pembangunan bukan sebagai subyek dan pelaku pembangunan itu sendiri. Pendekatan-pendekatan pembangunan yang menimbulkan kesenjangan seperti ini dari sisi etika pembangunan disebut Goulet (1995) sebagai pendekatan rasionalitas politis dan rasionalitas teknis, bukan rasionalitas etis. Dengan demikian diharapkan akan terjadi model-model pembangunan yang lebih bersifat inklusif di mana penduduk dapat terlibat secara langsung sebagai subyek yang setara dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang berlangsung secara berkelanjutan sehingga terwujud sustainable livelihood yang mensejahterakan penduduk dalam berbagai aspek kehidupan.