• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUSAT SAINS DAN TEKNOLOGI ATMOSFER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PUSAT SAINS DAN TEKNOLOGI ATMOSFER"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Variabilitas Cuaca dan Iklim

di Indonesia

Penanggung Jawab:

Halimurrahman, M.T.

Penyunting Isi:

Penyelia:

Suaydhi, M.Sc

Anggota:

Prof. Dr. Eddy Hermawan

Drs. Arief Suryantoro, M.Si

Drs. Bambang Siswanto, M.Si

Drs. Sri Kaloka Prabotosari

Penyunting Naskah:

Farid Lasmono, ST

Aisya Nafiisyanti, ST

Fanny Aditya Putri, S.Si

(3)

ii

Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia – Buku 1

ISBN: 978-979-1458-81-8

Penyunting Naskah: Farid Lasmono, ST, Aisya Nafiisyanti, ST, dan Fanny Aditya Putri, S.Si,

Desain Isi dan Kulit Muka: Aisya Nafiisyanti, ST

Dicetak oleh CV. Andira Cetakan Pertama, 2014

Penerbit Andira

Istana Pasteur Regency Blok CRB 70, Sukaraja Bandung. Tlp/Fax: (022) 86065361

Email: andiraputra90@yahoo.com

Buku ini dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta.

Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Perpustakaan nasional RI: Data Katalog dalam Terbitan (KDT)

Judul/Penyunting Isi: Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia/ Suaydhi, M.Sc, Prof. Dr. Eddy Hermawan, Drs. Arief Suryantoro, M.Si, Drs. Bambang Siswanto, M.Si, Drs. Sri Kaloka Prabotosari

- Cetakan Pertama – Bandung CV. Andira 2014

(4)

iii

DARI PENERBIT

Sebagai salah satu dari dua kepusatan dibawah Kedeputian Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (PSTA) mempunyai visi untuk menjadi pusat keunggulan sains atmosfer. Visi ini dicapai dengan misi membangun kompetensi dan kapasitas di bidang pemodelan atmosfer, komposisi atmosfer, dan teknologi atmosfer.

Dalam rangka mencapai misi tersebut, salah satunya adalah dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas media publikasi ilmiah. Selain penyelenggaran seminar dan publikasi hasil penelitian dalam bentuk prosiding dan jurnal, PSTA juga melakukan publikasi pada buku ilmiah.

Buku ilmiah Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia memuat hasil-hasil penelitian yang dilakukan di PSTA, yang diharapkan dapat menjadi sarana meningkatkan kemampuan dalam menyampaikan hasil penelitian bagi para penulis, dan dapat memberikan pemahaman akan topik-topik seputar sains atmosfer bagi para pembaca.

(5)

Kata Pengantar

iv

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, Buku Ilmiah Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer (Buku PSTA) tahun 2014 dapat diterbitkan pada waktunya. Ada dua Buku PSTA yang diterbitkan pada tahun 2014 ini. Buku pertama diberi judul "Variabilitas Cuaca dan Iklim di Indonesia" dan buku kedua diberi judul "Kualitas Udara dan Komposisi Atmosfer Indonesia". Semua makalah dalam

Buku PSTA 2014 telah menjalani tahapan review dan

penyuntingan.

Buku ini adalah buku pertama dari Buku PSTA 2014 yang berjumlah 10 makalah yang membahas tentang variabilitas cuaca dan iklim di Indonesia. Makalah-makalah tersebut membahas berbagai permasalahan, mulai dari evaluasi dan penggunaan data reanalisis untuk kawasan Indonesia, analisis tentang fenomena yang terjadi di atmosfer dan perairan Indonesia, penentuan awal musim, analisis hujan diurnal dari model, sampai ke rancang bangun instrumen pengamatan. Data pengamatan untuk kawasan Indonesia sering tidak lengkap baik dari segi ruang maupun waktu. Oleh karena itu, keberadaan data reanalisis sangat membantu dalam kajian cuaca dan iklim di Indonesia. Evaluasi tentang data reanalisis mana yang paling sesuai untuk kawasan Indonesia akan bermanfaat bagi kajian-kajian selanjutnya.

Pemahaman tentang fenomena atmosfer, seperti curah hujan dan monsun, dan suhu permukaan laut perairan Indonesia sangat berguna dalam penentuan awal musim dan dalam melakukan evaluasi luaran model. Sifat diurnal pada curah hujan di Indonesia sangat kuat, karena kawasan ini terdiri dari banyak pulau dan banyak menghasilkan awan konvektif. Awan ini bisa dideteksi melalui radar X-band. Namun, alternatif penggunaan radar yang lebih kecil dan lebih murah, seperti radar Furuno, juga akan sangat bermanfaat dalam menunjang pengamatan curah hujan di Indonesia.

Penelitian cuaca dan iklim memerlukan banyak instrumen pengamatan. Banyak di antara instrumen pengamatan tersebut sangat mahal harganya dan alokasi anggaran penelitian yang ada sering tidak mencukupi untuk membeli peralatan baru. Usaha

untuk membangun instrumen sendiri, seperti Wind Profiling Radar

(6)

v

atmosfer di Indonesia. Meskipun masih jauh dari sempurna, hasil awal dari rancang bangun FMCW WPR yang dimuat dalam buku ini patut kita apresiasi.

Demikian gambaran sekilas dari makalah-makalah yang diterbitkan dalam buku ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para penulis yang telah berpartisipasi dalam Buku PSTA tahun 2014 ini, para penyunting isi dan penyunting naskah yang telah bekerja keras dalam memperbaiki isi dan tampilan makalah-makalah dalam buku ini. Semoga isi buku ini bisa bermanfaat bagi perkembangan penelitian atmosfer di Indonesia.

(7)

Daftar Isi

1. VARIABILITAS CURAH HUJAN DI BENUA MARITIM

DARI EMPAT SISTEM REANALISIS TERBARU 1

Suaydhi

2. ESTIMASI SUMBER PANAS BERBASIS REANALISIS

MERRA DI INDONESIA 16

Sinta Berliana Sipayung dan Indah Susanti

3. STUDI KARAKTERISTIK KONVEKTIF TERKAIT

MONSUN DI INDONESIA 29

Krismianto

4. ANALISIS PENGARUH DINAMIKA ATMOSFER DAN

LAUT TERHADAP ANOMALI HUJAN WILAYAH

INDONESIA PERIODE JANUARI SAMPAI JUNI 2013 38

Lely Qodrita Avia

5. KARAKTERISTIK SUHU PERMUKAAN LAUT

PERAIRAN INDONESIA 52

Martono

6. PENENTUAN AWAL MUSIM HUJAN, KEMARAU DAN

TRANSISI DI YOGYAKARTA DAN KAWASAN

SEKITARNYA BERBASIS DATA INDEKS MONSUN

GLOBAL 62

Eddy Hermawan dan Naziah Madani

7. KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DIURNAL LUARAN

MODEL WEATHER RESEARCH FORECASTING

(WRF) DI WILAYAH INDONESIA 80

(8)

vii

8. KARAKTERISTIK FREKUENSI PERTUMBUHAN

AWAN KONVEKTIF DI ATAS WILAYAH PANTAI

PAMEUNGPEUK DARI OBSERVASI X-BAND RADAR 97

Noersomadi, Ginaldi Ari Nugroho, Tiin Sinatra, dan Aries Kurniawan

9. HASIL PENGAMATAN SCANNER HUJAN DAN AWS

PADA KEJADIAN HUJAN TANGGAL 2-3 MARET

2014 DI DAERAH BANDUNG DAN SEKITARNYA 112

Ginaldi Ari Nugroho, Soni Aulia Rahayu, dan Asif Awaludin

10. RANCANG BANGUN FMCW WIND PROFILING

RADAR BERBASIS USRP N210 DAN GNU RADIO:

HASIL AWAL 125

(9)
(10)

1

VARIABILITAS CURAH HUJAN DI BENUA MARITIM DARI

EMPAT SISTEM REANALISIS TERBARU

Sistem reanalisis menggabungkan hasil pengamatan dan model iklim untuk memberikan data sistem iklim empat dimensi secara global yang mencakup banyak proses fisis dan dinamis. Keberadaan sistem reanalisis sangat membantu studi iklim di wilayah-wilayah tertentu yang terkendala oleh keterbatasan data pengamatan, seperti wilayah Benua Maritim. Curah hujan adalah besaran yang sangat penting dalam sistem iklim yang sangat sulit dimodelkan untuk wilayah ini, sehingga kualitas data curah hujan dari sistem reanalisis yang ada perlu dievaluasi. Dalam makalah ini empat sistem reanalisis terbaru (ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55) digunakan untuk meneliti variabilitas curah hujan di wilayah Benua Maritim. Dua data analisis curah hujan (GPCP dan CMAP) dipakai sebagai rujukan dan juga untuk mengestimasi ketidakpastian dalam data pengamatan. Hasil estimasi ketidakpastian ini menunjukkan bahwa curah hujan pada bulan Mei dan Desember lebih bervariasi dari tahun ke tahun dibandingkan pada bulan Juli, Agustus dan September. Sedangkan, hasil analisis curah hujan dari data reanalisis menunjukkan bahwa perubahan data yang diasimilasikan ke dalam sistem reanalisis memengaruhi kualitas data reanalisis di wilayah Benua Maritim. Dari keempat sistem reanalisis yang dievaluasi, NASA MERRA menunjukkan kinerja paling baik untuk Benua Maritim dan JRA-55 yang paling buruk. Oleh karena itu, JRA-55 sebaiknya tidak digunakan untuk kajian iklim di Benua Maritim.

Kata-kata kunci: variabilitas, curah hujan, Benua Maritim, sistem reanalisis terbaru.

ABSTRACT

(11)

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

2

difficult to be modeled for this area, so the quality of the rainfall data from the available reanalysis system needs to be evaluated. In this paper, four latest reanalysis systems (ERA Interim, NCEP CFSR,

NASA MERRA, dan JRA-55) are used to investigate the rainfall

variability over the Maritime Continent. Two analysed rainfall datasets (GPCP and CMAP) are used as references and are also used to estimate the uncertainty in the observational data. This estimate shows that rainfall in May and December has more variability from year to year than that in July, August, and September. Meanwhile, the analysis of rainfall from the reanalyses data shows that a change in the data assimilated into the system has significant impacts on the quality of the reanalysis data over the Maritime Continent. From the four evaluated reanalysis system, NASA MERRA has the best performance for the Maritime Continent and JRA-55 is the worst. Therefore, JRA-55 is not recommended for climate studies over the Maritime Continent.

Key words: variability, rainfall, Maritime Continent, latest

reanalysis system.

1 PENDAHULUAN

Salah satu kendala utama dalam penelitian iklim dan cuaca, terutama untuk wilayah Benua Maritim, adalah ketersediaan data yang tidak teratur, baik dalam ruang maupun waktu. Sejak pertengahan dekade 1990-an, penelitian iklim banyak terbantu

oleh data hasil reanalisis yang disebut dengan National Center for

Environmental Prediction/National Center for Atmospheric Research

(NCEP/NCAR) Reanalysis (Kalnay et al. 1996). Reanalysis adalah

kependekan dari retrospective analysis yang berarti analisis

mundur dalam waktu, karena sistem ini menggabungkan data pengamatan yang sudah tersedia menggunakan suatu sistem analisis yang terdiri atas suatu model prediksi iklim dan suatu skema asimilasi data. Model iklim digunakan untuk menghasilkan data dalam sistem grid yang seragam sesuai resolusi yang diinginkan. Sedangkan skema asimilasi data digunakan untuk memandu model iklim tersebut agar menghasilkan data yang tak teramati konsisten dengan data-data yang memang teramati.

(12)

3

merupakan salah satu kuantitas yang paling rentan terhadap ketidakpastian ini, karena curah hujan dari model dihasilkan oleh parameterisasi fisis. Curah hujan juga merupakan komponen integral dalam siklus air, energi dan sirkulasi dinamis, maka curah hujan bisa menjadi pengukur kualitas reanalisis dalam studi iklim (Bosilovich et al. 2008).

Kajian tentang kinerja reanalisis sangat penting untuk studi iklim di suatu wilayah. Secara umum, fitur curah hujan dari reanalisis mirip dengan pengamatan, tetapi perbedaan secara regional sangat mungkin banyak terjadi (Cullather et al. 1998). Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh seberapa efektif masukan dari hasil pengamatan dari wilayah tersebut yang digunakan dalam sistem reanalisis (Bromwich et al. 2000). Hal ini bisa mengurangi keakuratan suatu data reanalisis untuk wilayah-wilayah yang data pengamatan curah hujannya tidak memadai dalam kehandalan (reliability) dan kesinambungan (continuity), seperti Benua Maritim Indonesia (Hamada et al. 2002).

Sistem reanalisis terus mengalami perbaikan. Sebagai contoh, NCEP/NCAR Reanalysis (dikenal sebagai NR1; Kalnay et al. 1996)

diperbarui menjadi NCEP-Department of Energy (DOE) atau dikenal

sebagai NR2 (Kanamitsu et al. 2002), dan sistem reanalisis yang

paling baru adalah NCEP Climate Forecast System Reanalysis

(CFSR; Saha et al. 2010). Dalam penelitian ini, empat set data curah

hujan dari sistem reanalisis terbaru, yaitu NCEP CFSR, the interim

version of the European Centre for Medium-Range Weather Forecasts

(ECMWF) Reanalysis (ERA Interim; Dee et al. 2011), National

Aeronautics and Space Administration Modern Era Retrospective-Analysis for Research and Applications (NASA MERRA; Rienecker et

al. 2011), dan Japanese 55-year Reanalysis (JRA-55; Ebita et al.

2011), akan digunakan dalam studi perbandingan kinerja data reanalisis di wilayah Benua Maritim. Data dari keempat reanalisis

tersebut akan dibandingkan dengan data curah hujan dari Global

Precipitation Climatology Project versi 2 (GPCP; Adler et al. 2003). Adler et al. (2001) menyebutkan bahwa data pengamatan curah hujan global sendiri juga mempunyai ketidakpastian yang cukup mendasar, terutama untuk daerah tropis. Salah satu cara yang dipakai oleh Phillips and Gleckler (2006) untuk membuat estimasi ketidakpastian dalam data pengamatan ini adalah dengan

(13)

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

4

Center (CPC) Merged Analysis Precipitation (CMAP; Xie and Arkin 1996). Hal ini dilakukan karena kedua set data tersebut mempunyai persamaan dalam sumber data pengamatan, tetapi keduanya menggunakan jaringan pengukuran penakar curah hujan yang sedikit berbeda dan juga pemilihan algoritma yang berbeda dalam interpolasi dari stasiun pengamatan ke grid datanya (Phillips and Gleckler 2006).

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan data reanalisis yang paling sesuai untuk kawasan Indonesia dari empat data reanalisis terbaru. Penentuan ini sangat berguna untuk dipakai oleh basis kajian iklim wilayah Indonesia selanjutnya.

2 DATA DAN METODOLOGI 2.1 Data

Dalam penelitian ini GPCP versi 2 (Adler et al. 2003) dan CMAP (Xie and Arkin 1996) dipakai sebagai data rujukan karena kedua data ini merupakan data curah hujan gabungan antara penakar hujan dipermukaan bumi dan pengamatan satelit. GPCP akan dipakai sebagai rujukan utama, karena GPCP menggunakan koreksi pada data mentah dari penakar curah hujan untuk memperhitungkan error pengukuran sistematis yang diakibatkan oleh penguapan, hujan yang tertiup oleh angin, dan sebagainya. (Phillips and Gleckler 2006). Meskipun kedua data tersebut diturunkan dari hasil pengamatan, keduanya tidak terlepas dari ketidakpastian (mempunyai rentang error). Kedua data ini akan dibandingkan satu sama lain untuk memperoleh estimasi ketidakpastian.

Empat data reanalisis yang akan dikaji adalah ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55. Periode analisis dalam makalah ini adalah antara 1979 dan 2009 yang merupakan irisan umum data yang tersedia dari dua data analisis dan empat data reanalisis. Data GPCP dan CMAP tersedia dari Januari 1979 sampai

mendekati sekarang (near real time). Semua data reanalisis juga

tersedia dalam periode yang sama seperti data analisis, kecuali NCEP CFSR yang baru tersedia sampai Desember 2009 dan JRA-55 yang tersedia dari tahun 1958. Domain analisis dibatasi pada

wilayah antara 12°LS – 12°LU dan 90° – 150°BT.

(14)

5

hujan di wilayah Benua Maritim. Dua data analisis, GPCP dan CMAP, mempunyai resolusi horizontal 2,5° x 2,5°, sedangkan empat data reanalisis mempunyai resolusi yang berbeda-beda. ERA Interim mempunyai resolusi horizontal maksimum 0,75° x 0,75°, NCEP CFSR mempunyai resolusi maksimum 38 km x 38 km, NASA

MERRA mempunyai resolusi maksimum 1

2° x 23°, dan JRA

mempunyai resolusi maksimum 1,25° x 1,25°. Oleh karena itu, semua data dikonversi ke grid GPCP untuk memudahkan dalam komputasi statistik (korelasi spasial dan bias).

2.2 Metodologi

Dalam penelitian ini, diagram Taylor (Taylor 2001) digunakan untuk membandingkan kinerja keempat reanalisis dengan data analisis dari GPCP dan CMAP. Metode ini secara ringkas menggabungkan kesesuaian pola beberapa kuantitas dalam hal korelasi spasialnya dan nisbah simpangan bakunya pada sebuah diagram sederhana. Korelasi spasial menunjukkan tingkat kesesuaian pola suatu kuantitas terhadap kuantitas rujukan,

sedangkan simpangan baku membandingkan amplitudo

variasinya. Dalam penelitian ini, korelasi spasial dari curah hujan rata-rata bulanan untuk CMAP dan semua data reanalisis terhadap GPCP dihitung dan simpangan bakunya dibandingkan. Penyertaan data CMAP dalam diagram Taylor merupakan salah satu cara

memperkirakan ketidakpastian yang terdapat pada data

pengamatan. Perbandingan GPCP dan CMAP tidak memberikan ketidakpastian yang menyeluruh seperti dari pengamatan yang berbeda sumber, sebab sumber data untuk kedua data analisis tersebut hampir sama (data satelit dan data penakar curah hujan). Perbandingan ini hanya memberi satu ukuran ketidakpastian minimum yang diharapkan dari data reanalisis (Bosilovich et al.

2008).

(15)

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

6

kemungkinan bahwa curah hujan dari bulan yang sama dan tahun berbeda bisa menghasilkan korelasi positif. Korelasi ini disebut “korelasi tak bersesuaian” (unmatched correlation) dan bisa didefinisikan sebagai nilai minimum korelasi spasial antara dua set data (Bosilovich et al. 2008), sementara nilai maksimumnya didefinisikan dari korelasi dua set data dari bulan dan tahun yang sama. Jika suatu set data mempunyai koefisien korelasi lebih rendah dari nilai minimum ini, data tersebut bisa dikatakan tak banyak berguna untuk wilayah yang sedang dikaji.

Formula untuk korelasi tak bersesuaian antara data curah hujan GPCP (Pg) dan CMAP (Pc) adalah:

Untuk memperoleh rata-ratanya, jumlah korelasi N

ditentukan dengan menjumlahkan

ij, dan siklus musiman

korelasi tak bersesuaian (unmatched correlation) ini (menjumlahkan

hanya Januari, Februari, ...) juga dapat ditentukan. Nilai korelasi tak bersesuaian ini mewakili rata-rata korelasi spasial dari tahun-tahun yang berbeda. Nilai korelasi tak bersesuaian yang tinggi berarti bahwa pola curah hujan tersebut terjadi secara teratur, sedangkan nilai yang rendah berarti bahwa pola curah hujan bervariasi dari tahun ke tahun (Bosilovich et al. 2008).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

(16)

7

Korelasi spasial maksimum antara GPCP dan CMAP (garis biru pada Gambar 1) mempunyai koefisien yang paling rendah (kurang dari 0,6) pada masa transisi juga, yaitu bulan Maret dan April. Sedangkan pada musim kemarau, koefisien korelasi maksimum ini bisa mencapai 0,87. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan teknik dalam pemaduan data satelit dan data penakar hujan dalam kedua set data analisis tersebut, perbedaan sumber data curah hujan permukaan di wilayah Benua Maritim, serta variabilitas curah hujan di wilayah ini.

Gambar 1. Perbandingan nilai minimum (diagram batang) dengan nilai maksimum (garis biru) korelasi spasial antara data GPCP dan CMAP untuk Benua Maritim.

Gambar 2 menunjukkan diagram Taylor untuk korelasi bulanan dan simpangan baku untuk bulan Januari, April, Juli, Oktober, dan rata-rata tahunannya dari tahun 1979 sampai dengan 2009 untuk data CMAP, ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55. Bulan-bulan ini dipilih untuk mewakili musim hujan, transisi ke musim kemarau, musim kemarau, dan transisi ke musim hujan. Simpangan baku dari tiap data tersebut telah

dinormalisasi terhadap data GPCP, sehingga nilai 1,0

mencerminkan simpangan baku yang sama dengan simpangan baku dari GPCP. Korelasi spasial ditunjukkan oleh garis radial dari 0,0 sampai 1,0, nilai minimum korelasi spasial antara data GPCP dan CMAP ditunjukkan oleh garis radial warna coklat dan nilai maksimum oleh garis radial warna biru.

(17)

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

8

(18)

9

(19)

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

10

Gambar 3. Bias curah hujan rata-rata dari data CMAP dan data reanalisis untuk musim DJF (lajur kiri) dan JJA (lajur kanan).

Deret waktu antar tahunan dan siklus tahunan dari korelasi spasial dan bias curah hujan rata-rata bulanan seluruh wilayah Benua Maritim ditunjukkan pada Gambar 4. Semua data reanalisis

menunjukkan kecenderungan (trend) membaiknya koefisien

korelasi spasial dari tahun 1979 ke tahun 2009 (Gambar 4.a). Tiga sistem reanalisis (ERA Interim, NCEP CFSR, dan NASA MERRA) mempunyai koefisien korelasi spasial yang hampir sama dari tahun ke tahun, sedangkan JRA-55 mempunyai koefisien korelasi lebih

rendah dari yang lainnya. Trend antar tahunan ini menunjukkan

(20)

11

NASA MERRA dengan GPCP pada sekitar tahun 1987. Hal ini

disebabkan oleh awal penggunaan data SSM/I (Special Sensor

Microwave Imager) dalam sistem asimilasi kedua reanalisis tersebut pada Juli 1987 (Ebita et al. 2011; Rienecker et al. 2011). Siklus tahunan korelasi spasial juga menunjukkan koefisien korelasi spasial dari JRA-55 lebih rendah dari tiga reanalisis lainnya (Gambar 4.b). Namun, semua koefisien korelasi spasial dari data reanalisis masih lebih rendah dari pada CMAP.

Gambar 4. Deret waktu antar tahunan (lajur kiri) dan siklus tahunan (lajur kanan) korelasi ruang (baris atas) dan bias (baris bawah) dari data CMAP dan data reanalisis terhadap GPCP dari tahun 1979 sampai tahun 2009.

Koreksi bias curah hujan yang sangat mencolok dari JRA-55 dan NASA MERRA terhadap GPCP juga terlihat pada tahun 1987 (Gambar 4.c). Koreksi bias yang lebih kecil pada NASA MERRA terlihat pada tahun 1990 dan 1991 akibat adanya penambahan data dari kanal lain SSM/I pada sistem asimilasinya dan pada tahun 2008 dan 2009 akibat tidak tersedianya data dari kanal-kanal tertentu (Rienecker et al. 2011). Hal ini membuktikan dampak yang signifikan perubahan sumber data pengamatan terhadap kualitas data reanalisis. ERA Interim dan NCEP CFSR mempunyai

bias yang berfluktuasi dari tahun ke tahun, tetapi tak ada trend

(21)

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

12

rendah (tinggi) untuk setiap bulan dibandingkan data reanalisis lainnya. Bias klimatologi bulanan NASA MERRA bahkan lebih baik dari pada CMAP.

Korelasi spasial curah hujan dari semua sistem reanalisis menunjukkan koefisien paling rendah terjadi pada bulan Mei dan Desember dan paling tinggi pada bulan Juli, Agustus dan September, seperti halnya dengan data CMAP (Gambar 4.b). Sedangkan, bias paling rendah pada bulan Agustus dan paling tinggi pada bulan Desember. Bias yang rendah membuat korelasi spasialnya tinggi dan sebaliknya. Hubungan berbanding terbalik antara bias dan koefisien korelasi ini ditunjukkan oleh Gambar 5, meskipun untuk kasus NCEP CFSR (Gambar 5.b) pengaruh bias terhadap koefisien korelasi tidak begitu jelas.

Gambar 5. Korelasi antara bias data dan korelasi spasial klimatologi bulanan (Januari sampai dengan Desember) dari data reanalisis dan GPCP, a) ERA Interim, b) NCEP CFSR, c) NASA MERRA, dan d) JRA-55.

(22)

13

bisa disebabkan oleh sedikit perbedaan dalam data pengamatan, cara memproses datanya, model yang digunakan, dan metode analisis yang digunakan.

4 KESIMPULAN

Ketersediaan data yang teratur dalam ruang dan waktu sangat diperlukan dalam studi iklim. Keberadaan data reanalisis telah banyak membantu studi iklim di wilayah-wilayah yang terkendala oleh keterbatasan data pengamatan, seperti wilayah Benua Maritim. Penelitian ini telah mengkaji variabilitas curah hujan di wilayah ini menggunakan empat sistem reanalisis terbaru (ERA Interim, NCEP CFSR, NASA MERRA, dan JRA-55). Kinerja keempat data reanalisis dibandingkan dengan data pengamatan. Dalam hal ini, data GPCP dipakai sebagai data rujukan utama. Satu data pengamatan lainnya, yaitu data CMAP, digunakan untuk membuat estimasi ketidakpastian yang ada pada data pengamatan.

Korelasi spasial yang bersesuaian (dari bulan dan tahun yang

sama) dan korelasi spasial tak bersesuaian atau unmatched

correlation (dari bulan yang sama tapi dengan tahun-tahun yang berbeda) antara GPCP dan CMAP telah memberikan informasi yang sangat berguna. Rendahnya nilai korelasi tak bersesuaian mengindikasikan bahwa curah hujan di wilayah Benua Maritim sangat bervariasi dari tahun ke tahun untuk bulan Mei dan Desember. Curah hujan pada musim kemarau tidak banyak bervariasi, sehingga musim ini relatif lebih mudah diprediksi.

Kualitas data reanalisis untuk wilayah Benua Maritim menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini mungkin disebabkan makin meningkatnya kualitas dan kuantitas data pengamatan (terutama data pengamatan dari satelit) yang diasimilasikan ke dalam sistem reanalisis tersebut. Diantara keempat reanalisis terbaru ini, data curah hujan dari NASA MERRA menunjukkan kinerja yang paling realistis. Sementara itu, data dari sistem JRA-55 sebaiknya tidak digunakan untuk kajian curah hujan untuk wilayah Benua Maritim.

Ucapan terima kasih

Data ERA Interim yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh

(23)

Curah Hujan di Benua Maritim dari Empat Reanalisis Terbaru (Suaydhi)

14

DAFTAR RUJUKAN

Adler, R. F., C. Kidd, G. Petty, M. Morissey, and H. M. Goodman, 2001: Intercomparison of Global Precipitation Products: The

Third Precipitation Intercomparison Project (PIP-3). Bull.

Amer. Meteor. Soc., 82, 1377-1396

Adler, R. F., and Coauthors, 2003: The Version 2 Global

Precipitation Climatology Project (GPCP) Monthly

Precipitation Analysis (1979-Present). J. Hydrometeor., 4,

1147-1167

Bosilovich, M. G., J. Chen, F. R. Robertson, and R. F. Adler, 2008:

Evaluation of Global Precipitation in Reanalyses. Journal of

Applied Meteorology and Climatology, 47, 2279-2299

Bromwich, D. H., A. N. Rogers, P. Kalberg, R. I. Cullather, J. W. C. White, and K. J. Kreutz, 2000: ECMWF analyses and reanalyses depiction of ENSO signal in Antarctic

precipitation. J. Climate, 13, 1406-1420

Cullather, R. I., D. H. Bromwich, and M. L. Van Woert, 1998: Spatial and temporal variability of Antarctic precipitation from

atmospheric methods. J. Climate, 11, 334-367

Dee, D. P., and Coauthors, 2011: The ERA-Interim reanalysis: configuration and performance of the data assimilation

system. Q. J. Roy. Meteor. Soc., 137, 553-597,

10.1002/qj.828

Ebita, A., and Coauthors, 2011: The Japanese 55-year Reanalysis

"JRA-55": an interim report. Scientific Online Letters on the

Atmosphere, 7, 149-152

Hamada, J.-I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A. Winarso, and T. Sribimawati, 2002: Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link

to ENSO. J. Meteor. Soc. Japan, 80, 285-310

Kalnay, E., and Coauthors, 1996: The NCEP/NCAR 40-Year

Reanalysis Project. Bull. Amer. Meteor. Soc., 77, 437-471

Kanamitsu, M., W. Ebisuzaki, J. Woollen, S.-K. Yang, J. J. Hnilo, M. Fiorino, and G. L. Potter, 2002: NCEP-DEO AMIP-II

Reanalysis (R2). Bull. Amer. Meteor. Soc., 83, 1631-1643

Phillips, T. J., and P. J. Gleckler, 2006: Evaluation of continental precipitation in 20th century climate simulations: The utility

of multimodel statistics. Water Resources Research, 42,

(24)

15

Rienecker, M. M., and Coauthors, 2011: MERRA: NASA's Modern

Era Retrospective Analysis for Research and Applications. J.

Climate, 24, 3624-3648, 10.1175/JCLI-D-11-00015.1 Saha, S., and Coauthors, 2010: The NCEP Climate Forecast System

Reanalysis. Bull. Amer. Meteor. Soc., 91, 1015-1057,

10.1175/2010BAMS3001.1

Taylor, K. E., 2001: Summarizing multiple aspects of model

performance in a single diagram. J. Geophys. Res., 106,

7183-7192

Xie, P., and P. Arkin, 1996: Analysis of global monthly precipitation using gauge observations, satellite estimates, and numerical

(25)

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

16

ESTIMASI SUMBER PANAS BERBASIS REANALISIS MERRA

DI INDONESIA

Sinta Berliana Sipayung dan Indah Susanti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN

Jln. Dr. Djunjunan 133 Bandung 40173 e-mail: s_berlianasipayung@yahoo.com

ABSTRAK

Pemanasan atmosfer yang beragam menurut ruang dan waktu diduga memiliki peran yang cukup signifikan terhadap sirkulasi atmosfer, khususnya yang terjadi di kawasan ekuator Indonesia. Atas dasar itulah, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui hujan konvektif berdasarkan distribusi profil sumber panas yang ada di Benua Maritim Indonesia (BMI) dan sekitarnya

berbasis hasil analisis data satelit dari reanalisis MERRA (Modern

Era Retrospective-Analysis for Research and Applications) selama 10 tahun pengamatan (2003-2012) untuk 11 level ketinggian. Dengan

menggunakan reverse method dari parameter suhu dan angin

(26)

17

Kata-kata kunci: estimasi panas, presipitasi dan MERRA

ABSTRACT

Warming of the atmosphere that varies according to time and space is suspected to have a significant role to the atmospheric circulation, particularly in the equatorial region of Indonesia. On this basis, the research was conducted with the aim of knowing the convective rain based on the profile distribution of heat sources in the Indonesian Maritime Continent (IMC) and the surrounding satellite-based data analysis results of the reanalysis MERRA (Modern Era Retrospective-Analysis for Research and Applications) for 10 years of observation (2003-2012) to 11 altitude levels. By using a reverse method of the parameters of temperature and wind in 3 dimensions each zonal (West-East), meridional (North-South) and vertical (Up-Down), the obtained heat source in IMC are relatively strong in the surface and rises slowly going up to 850 mb layer (approximately 1.45 km above mean sea level, msl), particularly for the region that is located on top of the Southern Hemisphere (SH) which is dominated by strong rains during the wet season (DJF). At the same time, there is also a minimum heat equivalent to an altitude of about 1.45 and 5 km above sea level. Set of convective clouds is actually already formed in the lower layer (about 1.45 km msl). If only one layer of the atmosphere would, perhaps resulting precipitation meager. However, there are two main layers of the convective clouds reached as described above. This indicates that the role of the convective clouds big enough to contribute in the rain in Pontianak. If Pontianak can be considered representative of BMI, then during La-Nina 2010, BMI collection is dominated by convective clouds, although there is also a collection of stratiform clouds, but relatively small.

Key words: estimation of heat, precipitation, and MERRA

1 PENDAHULUAN

Distribusi vertikal pemanasan atmosfer mempunyai peranan sangat penting dalam menentukan sirkulasi atmosfer (Hartmann dkk. 1984). Banyak studi telah menerapkan persamaan dinamis

untuk mengestimasi sumber panas di atmosfer dengan

(27)

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

18

dengan beberapa model. Walaupun tidak terkait secara langsung dengan topik di atas, diduga ada keterkaitan erat antara hujan konvektif terhadap profil vertikal panas pada fase basah, yakni fase

musim hujan. Perilaku MJO (Madden-Julian Oscillation) di

sepanjang Samudra Hindia diduga terkait erat dengan aktivitas panas. Ini merupakan penyebaran pemanasan skala besar dengan anomali sirkulasi atmosfer (Murakami and Nakazawa 1985; Hagos dkk. 2010; Lin and Johnson 1996 dan Yanai dkk. 1973, 2000).

Pemanasan laten merupakan komponen kunci dalam sumber panas selama berlangsungnya presipitasi yang merupakan hasil dari transisi fase air di atmosfer. Untuk memperoleh gambaran yang lengkap mengenai proses pemanasan atmosfer, maka diperlukan adanya satu pemahaman yang mendalam tentang neraca uap air yang ada di atmosfer. Banyak usaha telah dilakukan untuk menentukan distribusi spasial dan temporal sumber panas

atmosfer diantaranya menggunakan metode langsung (direct

method), yakni dengan cara mengestimasi radiasi, kondensasi, dan komponen pemanasan sensibel secara bebas. Sementara, metode

pembalikkan (reverse method) adalah memperoleh pemanasan

netto dari sisi persamaan termodinamika dengan menggunakan data rutin meteorologi seperti komponen angin zonal dan meridional serta suhu.

Dalam direct method, Chen (1982) dan Johnson dkk (1987),

telah menghitung distribusi sumber panas di atas Dataran Tibet berdasarkan keseimbangan radiasi atmosfer dengan menggunakan

data dari Earth Radiation Budget Experiment (ERBE). Hasilnya

menunjukkan keseimbangan panas permukaan dengan fitting

formula yang berasal dari radiasi permukaan panas sensibel dan fluks panas di Asia adalah sama.

Berbeda dengan reverse method digunakan dalam distribusi

pemanasan vertikal, yaitu untuk menganalisis distribusi sumber panas di wilayah Monsun Asia seperti mengestimasi distribusi panas global berdasarkan data asimilasi global empat dimensi

selama Global Weather Experiment (Wei dkk, 1983), Nitta (1983)

telah menganalisis keseimbangan panas dan kelembaban dengan menggunakan set data observasi udara atas FGGE II-b selama musim panas tahun 1979, bahwa tingkat pemanasan nyata dalam

skala besar telah mengalami penurunan dari fase pre-onset Monsun

(28)

19

Bumi Selatan (Mukarami dkk, 1984). Hoskins dkk. (1989) telah

mengestimasi sumber panas atmosfer skala global untuk periode

1979-1989 dan menunjukkan adanya variabilitas interannual dan

musiman dari pemanasan atmosfer. Hal ini konsisten dengan

mekanisme sistem monsun India yang dinyatakan oleh Krishnamurti dan Bhalme (1976).

Bo (2006) menyatakan bahwa diketahui terdapat ditribusi pemanasan berupa tiga mesin panas di wilayah Monsun Asia, yaitu pemanasan di Semenanjung India bagian barat dan Laut Arabia Timur, serta pendinginan dari lautan Hindia Barat, begitu pula pemanasan di atas Teluk Benggala dan pendinginan di atas Lautan Hindia Tengah dan pemanasan di atas Laut Cina Selatan/Pasifik Barat dan pendinginan di atas Australia.

2 DATA DAN METODOLOGI 2.1 Data

Data yang digunakan adalah set data reanalisis MERRA (Modern Era-Restrospective Analysis for Research and Application) bulanan dengan dimensi grid 288 bujur x 144 lintang (1,25°x1,25°),

untuk 42 level ketinggian mulai 1000 – 1 mb, dengan cakupan

wilayah bujur 80-150° dan lintang -20° – 20° dari tahun 2003

hingga 2012. Data tersebut dihitung dengan menggunakan reverse

method dari parameter suhu, komponen arah dan kecepatan angin dalam tiga dimensi (angin zonal, meridional, dan vertikal). Parameter yang digunakan ini, diambil dari data MERRA yang merupakan data reanalisis atmosfer yang dikelola NASA untuk era

satelit dengan menggunakan versi baru dari the Goddard Earth

Observing System Data Assimilation System Version 5 (GEOS-5). Data MERRA fokus pada analisis historis terhadap siklus hidrologis dalam skala waktu iklim dan cuaca. Terdapat banyak sumber data yang merupakan input bagi asimilasi data MERRA,

diantaranya adalah MODIS Winds, AIRS, TOVS, QuikScat, GEOS

(29)

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

20

2.2 Metodologi

Metode yang digunakan adalah berdasarkan distribusi

pemanasan reverse method,yaitu pemanasan wilayah Monsun Asia

di Semenanjung India bagian barat dan Laut Arabia timur, serta pendinginan dari lautan Hindia barat, pemanasan di atas Teluk Benggala dan pendinginan di atas Lautan Hindia Tengah dan pemanasan di atas Laut Cina Selatan/ Pasifik Barat dan pendinginan di atas Australia. Sumber panas dapat ditentukan dengan menggunakan formula:

=

� � �

+ � ∙ ∇� + �

..………… (1)

dimana: �= suhu, � = suhu potensial, � = kecepatan vertikal dan �

= kecepatan zonal. Persamaan 1 banyak dirujuk oleh peneliti lainnya. Salah satunya adalah Johnson dkk (2009) untuk mengestimasi tingkat pemanasan radiatif terhadap aspek termodinamika dan kinematika aliran dan distribusi panas serta kelembaban di daerah Amerika Utara. Begitu juga Wong (2011) memperkenalkan formula baru dalam mengestimasi sumber panas di atmosfer yang diturunkan berdasarkan persamaan yang diungkapkan oleh Bo (2011) dan Yanai (1973), bahwa estimasi

Persamaan 2 di atas diterapkan untuk mengetahui estimasi

sumber panas (Q) dan dibandingkan dengan pembentukan

awan-awan aktif yaitu pada saat MJO aktif atau lemah pada 11 level ketinggian untuk wilayah Indonesia yang akan dibahas pada makalah ini. Hujan konvektif berdasarkan distribusi profil sumber panas yang ada di Benua Maritim Indonesia (BMI) akan dijelaskan

pada 11 level ketinggian dengan menggunakan metode reverse

(reverse method).

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

(30)

masing-21

masing 1000, 925, 850, 700, 600, 500, 400, 300, 250, 200, dan 150 mb.

Gambar 1. Sumber panas (Q) rata-rata untuk periode DJF pada 11 level ketinggian.

Estimasi sumber panas Benua Maritim Indonesia (BMI) relatif kuat di permukaan dan merambat naik secara perlahan hingga lapisan 850 mb (sekitar 1,45 km di atas permukaan laut, dpl), khususnya untuk kawasan yang letaknya di atas Belahan Bumi Utara (BBU) yang didominasi hujan kuat selama bulan basah (DJF). Sementara, di Belahan Bumi Selatan (BBS) Indonesia, terdapat pula sumber panas dengan intensitas yang relatif lebih rendah, terutama di lapisan 925 mb selama musim DJF yang didominasi hujan konvektif.

(31)

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

22

Gambar 2. Sumber panas (Q) rata-rata bulanan pada periode JJA pada level 11 ketinggian.

(32)

23

satu hal menarik untuk dianalisis, yakni distribusi sebaran panas yang terjadi berdasarkan perubahan warna. Jika warna merah mengindikasikan adanya kumpulan sumber panas, sebaliknya, warna biru menunjukkan sumber dingin.

Gambar 3. Profil sumber panas (Q) rata-rata bulanan selama 10 tahun (2003-2012) pada bulan Januari, April, Juli, dan Oktober pada ketinggian 850 mb.

(33)

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

24

Gambar 4. Distribusi sebaran panas di atas wilayah Indonesia (panel atas), dan distribusi curah hujan konvektif pada periode yang sama, tetapi pada tahun 2010 saat terjadinya La-Nina (panel bawah).

Sebagaimana diketahui, pada tahun 2010 BMI dilanda La-Nina. Namun, satu hal yang harus dipahami bahwa tidak semua kawasan di BMI sensitif terhadap dampak La-Nina. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk dilakukan analisis profil vertikal sumber panas saat terjadinya La-Nina. Kota yang dipilih adalah Pontianak yang terletak di garis ekuator. Dipilihnya kota ini selain memiliki data pengamatan yang relatif lengkap, kota ini juga memiliki dua kali puncak curah hujan (dikenal dengan istilah SAO, Semi Annual Oscillation). Analisis ini lebih menarik manakala dilakukan di saat La-Nina diduga melanda Pontianak dan kawasan

(34)

25

Gambar 5. Profil vertikal sumber panas, hujan konvektif dan hujan stratiform pada periode yang sama, tahun 2010 saat terjadinya La-Nina di Pontianak.

Walaupun agak rumit didiskusikan, tetapi dapat

disampaikan berdasarkan Gambar 5 di atas, terlihat jelas bahwa profil vertikal panas (Q) mencapai maksimum di ketinggian sekitar 500 mb (setara dengan ketinggian sekitar 5,8 km di atas permukaan laut, dpl). Nilai ini ternyata tidak jauh berbeda dengan yang dicapai oleh tipe hujan stratiform pada ketinggian sekitar 400 mb (setara dengan 6,0 km dpl). Ini mengindikasikan bahwa pada saat terjadinya La-Nina 2010 di atas Pontianak banyak terbentuk kumpulan awan stratiform. Awan-awan ini memang diduga tidak menghasilkan hujan karena memang terbentuk bukan akibat adanya konveksi yang cukup kuat di Pontianak. Bisa saja, kumpulan awan ini berasal dari kawasan sekitar Pontianak yang memang bukan berasal dari lautan/samudera, sehingga diduga relatif sedikit dengan kumpulan uap air.

(35)

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

26

Kumpulan awan konvektif ini justru sudah terbentuk di lapisan bawah (sekitar 1,45 km dpl). Jika hanya pada satu lapis atmosfer saja, mungkin curah hujan yang dihasilkan tidak seberapa. Namun, terdapat dua lapisan utama yang dicapai awan-awan konvektif sebagaimana dijelaskan di atas. Ini mengindikasikan bahwa peranan awan-awan konvektif cukup besar dalam memberi sumbangsih terjadinya hujan di Pontianak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebab utama terjadinya peningkatan intensitas hujan tahun 2010 di Pontianak dan kawasan sekitarnya, secara dominan disebabkan oleh adanya kumpulan awan-awan konvektif yang mencapai puncaknya di dua lapisan utama, yakni sekitar 850 dan 600 mb yang berada relatif tepat di garis ekuator, diduga pada saat itu (tahun 2010) pengaruh La-Nina cukup dominan di atas Pontianak.

4 KESIMPULAN.

Dengan menggunakan reverse method dapat disimpulkan

bahwa sumber panas di setiap level diketahui relatif kuat ada di permukaan hingga mencapai puncaknya di ketinggian 850 mb (sekitar 1,45 km di atas permukaan laut), terutama untuk Belahan Bumi Selatan (BBS), yakni saat periode musim basah (DJF). Sementara pada musim kemarau (JJA), sumber panas relatif kuat di Belahan Bumi Utara (BBU). Adanya perbedaan ini diduga erat terkait dengan adanya pergerakan semu matahari terhadap bumi, dimana pada saat matahari di BBU, pusat pemanasan berada di BBU, begitupun sebaliknya. Selain itu, diketahui adanya perbedaan signifikan sebaran panas pada periode yang sama. Dengan mengambil studi kasus tahun 2010 saat terjadinya La-Nina, diperoleh indikasi bahwa pada periode tersebut, September-Oktober-November (SON) 2010, hampir seluruh kawasan Indonesia mengalami musim basah, yakni saat terjadinya La-Nina. Hal ini

dibuktikan dengan analisis profil vertikal sumber panas, hujan

(36)

27

efek (pengaruh) La-Nina begitu dirasakan di beberapa kawasan di Indonesia, khususnya kawasan yang letaknya relatif dekat dengan garis ekuator, seperti Pontianak.

DAFTAR RUJUKAN

Bo Z., C. Longxun, X. Jianmin, H. Jinhai, Z. Congwen, and L. Wei, 2006: Atmospheric Heat Sources and Their Characteristics

in Asia during Summer:Comparison of Results Calculated

using Multiple Reanalysis Datasets. J.Meteor. Res., 2009, 23

(5), 585-597

Bo, Z., C. Longxun, X. Jianmin, H.. Jinhai, Z. Congwen, L. Wei.,

2011: Atmospheric Heat Source and Their Characteristics in

Asia during Summer : Comparison of Result Calculated using Multiple Reanalisis Dataset. ADVANCES IN ATMOSPHERIC

SCIENCES, 28, NO. 5, 1039-1048

Chen, L. X., and Li, W. L. 1982: The structure of monthly atmosphere heat sources over the Asian Monsun region. Proceedings of National Seminar on Tropical Summer Monsun (II). pp. 246–255. Yunnan People’s Publishing House, Kunming (in Chinese).

Hagos, S., and Coauthors., 2010: Estimates of tropical diabatic

heating profiles: Commonalities and uncertainties. J.

Climate, 23, 542–558

Hoskins, B. J., H. H. Hsu, I. N. James, M. Masutani, P. D. Sardeshmukh, and G. H.White., 1989: Diagnostics of the global atmospheric circulation based on ECMWF analyses 1979-1989. World Climate Research Programme-27, WMO/TD-326, 217pp.

Hartmann, D. L., H. H. Hendon, and R. A. Houze Jr., 1984: Some Implications of the Mesoscale Circulations in Cloud Clusters

for Large-Scale Dynamics and Climate. J. Atmos. Sci., 41,

113–121

Johnson, D.R., M. Yanai and T.K. Schaack, 1987: Global and regional distributions of atmospheric heat sources and sinks during the GWE. Monsun Meteorology, Edited by C.P. Chang and T.N. Krishnamarti, Oxford University Press, 271-297

Johnson R. H., P. E. Ciesielski, T. S. L’ecuyer, and A. J. Newman.,

2009: Diurnal Cycle of Convection during the 2004 North

American Monsun Experiment. J. of Climate., 23,

1060-1078

Krishnamurti, T. N. and H. N. Bhalme, 1976: Oscillations of a

Monsun system. Part I: Observational aspects, J. Atmos. Sci.,

(37)

Estimasi Sumber Panas Berbasis Merra di Indonesia (Sinta B.Sipayung)

28

Lin, X., and R. H. Johnson., 1996: Heating, moistening, and rainfall

over the western Pacific warm pool during TOGA COARE. J.

Atmos. Sci., 53, 3367–3383

Murakami, T., T. Nakazawa, and J. He., 1984: On the 40-50 day oscillation during 1979 Northern Hemisphere summer.

Part I: Phase propagation. J. Meteor. Soc. Japan, 62, 440–

468

Nitta, T., 1983: Observational study of heat sources over the eastern

Tibetan Plateau during the summer Monsun. J. Meteor.Soc.

Japan, 61, 590–605

Wei, M.-Y., D. R. Johnson, and R. D. Townsend, 1983: Seasonal distributions of diabatic heating during the First GARP

Global Experiment, Tellus, 35A, 241-255

Yanai, M., S. Esbensen, and J.-H. Chu, 1973: Determination of bulk properties of tropical cloud clusters from large-scale heat

and moisture budgets. J. Atmos. Sci., 30, 611–627

Yanai, M., B. Chen, andW.-W. Tung, 2000: The Madden–Julian

oscillation observed during the TOGA COARE IOP: Global

(38)

29

STUDI KARAKTERISTIK KONVEKTIF TERKAIT MONSUN DI

INDONESIA

Krismianto

Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Jl. Dr. Djundjunan no. 133, Bandung 40173

e-mail : krismianto.lapan@gmail.com

ABSTRAK

Pengaruh monsun terhadap distribusi curah hujan di wilayah Indonesia sangat penting untuk dipelajari. Monsun yang sangat berpengaruh terhadap distribusi curah hujan di Indonesia adalah monsun Asia-Australia. Aktivitas konvektif memiliki karakteristik yang sama dengan karakteristik curah hujan sehingga pengaruh monsun terhadap distribusi curah hujan dapat dipelajari dengan melihat pengaruh monsun terhadap karakteristik dari aktivitas konvektif. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui seberapa besar pengaruh monsun Asia-Australia terhadap aktivitas konvektif di masing-masing wilayah di Indonesia. Analisis komposit terhadap monsun dan pengaruhnya terhadap aktivitas konvektif di wilayah Indonesia telah dilakukan. Data yang digunakan untuk analisis adalah data angin zonal dan meridional dari NCEP/NCAR dan data TBB dari satelit MTSAT. Set data yang digunakan adalah data tahun 1998 hingga tahun 2009. Hasilnya adalah monsun Asia-Australia sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas konvektif di wilayah Indonesia bagian selatan. Perubahan aktivitas konvektif akibat monsun sangat jelas di wilayah tersebut. Monsun Asia

sangat berpengaruh terhadap peningkatan aktivitas konvektif

sedangkan monsun Australia sangat berpengaruh terhadap penurunan aktivitas konvektif. Wilayah Indonesia yang berada di sekitar garis ekuator, aktivitas konvektifnya relatif konstan tinggi sepanjang tahun. Hal tersebut membuktikan bahwa pengaruh monsun lebih kecil di wilayah tersebut. Khusus untuk wilayah Papua lebih didominasi oleh sirkulasi Walker dan tidak terlalu terpengaruh oleh monsun.

Kata-kata kunci: Monsun, karakteristik, konvektif, Indonesia.

ABSTRACT

(39)

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

30

determine how much the influence of the Asian-Australian monsoon to the convective activity in each region in Indonesia. Composite analysis of the monsoon and its effect on convective activity in Indonesia has been done. The data for analysis is the zonal and meridional wind data from NCEP/NCAR and TBB data from MTSAT. The data is from 1998 to 2009. The result is Asian-Australian monsoon have very large effect on convective activity in the southern part of Indonesia. Changes due to monsoon convective activity are very evident in that region. Asian monsoon was very influential on the increase in convective activity while the Australian monsoon was very influential on the decrease in

convective activity.As for Indonesia, which is located in the region around

the equator, the convective activity is relatively constant high throughout the year. It is proved that the influence of the monsoon is smaller in that region. Especially for the Papua region, it is dominated by the Walker circulation and not too affected by the monsoon.

Keywords: Monsoon, characteristics, convective, Indonesia.

1 PENDAHULUAN

Salah satu fenomena global yang sangat berpengaruh terhadap cuaca dan iklim di Indonesia adalah monsun. Monsun merupakan angin yang berbalik arah secara musiman yang disebabkan oleh perbedaan pemanasan antara daratan dan lautan. Salah satu ciri suatu wilayah didominasi oleh pengaruh monsun adalah wilayah tersebut memiliki perbedaan yang tegas antara musim hujan dan musim kemarau.

Monsun yang sangat berpengaruh terhadap distribusi curah hujan di Indonesia adalah monsun Asia-Australia yang onsetnya berlangsung

dari barat laut ke tenggara (Aldrian, et al., 2003). Monsun Asia dapat

diidentifikasi menggunakan IMI (Indian Monsoon Index) dan WNPMI

(Western North Pacific Monsoon Index) (Wang, et al., 2001) serta WYMI (Webster and Yang Monsoon Index) (Webster, et al., 1992), sedangkan

monsun Australia dapat diidentifikasi menggunakan AUSMI (Australian

Monsoon Index) (Kajikawa, et al., 2009).

Indonesia masuk dalam wilayah ekuatorial dan dilewati oleh garis ekuator sehingga wilayah Indonesia ada yang berada di belahan Bumi Bagian Utara (BBU) dan ada yang berada di Belahan Bumi Bagian Selatan (BBS). Wilayah ekuatorial merupakan wilayah konveksi aktif ditandai dengan banyaknya awan-awan konvektif yang tumbuh di wilayah tersebut. Wilayah konveksi aktif tersebut merupakan bagian dari

daerah ITCZ (Intertropical Convergence Zone). ITCZ bergerak ke arah

(40)

31

sangat dipengaruhi oleh gerak semu matahari, maka ITCZ yang berada di wilayah Indonesia terkait erat dengan fenomena monsun.

Keterkaitan monsun dengan aktivitas konvektif telah banyak dipelajari. Pertumbuhan dan pergerakan konvektif musiman telah dianalisis di atas Darwin, Australia, untuk melihat karakteristiknya

secara statistik (May, et.al, 2006). Hasil analisis data 8 tahun radar

presipitasi dari satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission)

menunjukkan bagaimana sistem konvektif memiliki kontribusi terhadap

presipitasi di wilayah monsun Asia Selatan (Romatschke, et.al, 2011).

Pengaruh monsun terhadap karakteristik konvektif di wilayah Indonesia sangat penting untuk dipelajari karena karakteristik konvektif sangat berpengaruh terhadap karakteristik distribusi curah hujan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh monsun Asia-Australia terhadap aktivitas konvektif di masing-masing wilayah di Indonesia.

2 DATA DAN METODOLOGI

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data NCEP/NCAR angin zonal dan meridional bulanan di ketinggian 850 mb tahun 1998 sampai dengan tahun 2009. Khusus untuk data angin zonal, selain akan digunakan untuk mencari vektor angin juga akan digunakan untuk mencari nilai indeks monsun. Indeks monsun yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah indeks monsun Asia dan indeks monsun Australia (AUSMI). Indeks monsun Asia yang digunakan hanya WYMI karena diasumsikan sudah mampu menggambarkan karakteristik dari monsun Asia. digunakan data suhu puncak awan (TBB) yang diperoleh dari data satelit

MTSAT (Multi-functional Transport Satellites) kanal IR1. Data TBB yang

(41)

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

32

dengan tahun 2009. Data TBB digunakan untuk melihat aktivitas konvektif dimana ketika TBB-nya rendah berarti aktivitas konvektifnya tinggi dan sebaliknya.

Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analisis komposit. WYMI dan AUSMI dikompositkan sehingga diperoleh data indeks rata-rata bulanan. Pola dari data indeks tersebut kemudian dianalisis keterkaitannya dengan pola pergerakan arah angin serta aktivitas konvektif di setiap wilayah di Indonesia.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan Gambar 1, dapat dilihat bahwa nilai AUSMI pada bulan Maret sebesar 0,8, menurun drastis dari bulan sebelumnya yang memiliki nilai AUSMI sebesar 1,7. Penurunan tersebut berlanjut hingga bulan Mei serta mencapai nilai terendahnya yaitu sekitar -1,0 pada bulan Juli dan Agustus. Pada bulan September, terlihat mulai ada peningkatan nilai indeksnya meskipun hanya sedikit, tetapi terus berlanjut hingga mencapai puncaknya pada bulan Februari sebesar 1,7. Nilai WYMI berkebalikan dengan nilai AUSMI. Bulan Juli dan Agustus justru mencapai nilai tertingginya dengan nilai indeks sebesar 1,5 dan mulai bulan September terlihat nilai indeksnya mulai turun dan terus turun hingga mencapai nilai terendahnya yaitu sebesar -1,1 pada bulan Januari dan Februari. AUSMI dan WYMI memiliki pola yang (sekitar -1,0) yaitu pada bulan Desember, Januari dan Februari (DJF), pengaruh monsun Asia terhadap wilayah Indonesia justru mencapai puncaknya. Pada bulan-bulan tersebut wilayah Indonesia di bagian

(42)

33

selatan didominasi oleh angin baratan yang kecepatannya ada yang mencapai 10 m/s serta membawa banyak massa uap air dari Samudera Hindia. Aktivitas konvektif di sebagian besar wilayah Indonesia bagian selatan pada saat itu mencapai puncaknya ditandai dengan nilai TBB kurang dari 260K seperti yang terlihat dalam Gambar 2. Angin baratan kurang begitu terlihat di wilayah Indonesia bagian utara meskipun nilai TBB-nya juga kurang dari 260K. Angin baratan bertubrukan dengan angin dari Samudera Pasifik yang lebih kuat di wilayah tersebut sehingga terlihat lebih didominasi oleh angin dari Samudera Pasifik.

Gambar 2. Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan DJF.

(43)

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

34

Gambar 3. Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan MAM.

Pada saat bulan JJA, aktivitas konvektif di wilayah Indonesia bagian selatan, kecuali Papua rendah sekali. Nilai TBB-nya sangat tinggi, yaitu lebih dari 275K seperti yang terlihat dalam Gambar 4. Monsun Australia yang menguat dan melemahnya monsun Asia mengakibatkan wilayah Indonesia yang berada di bagian selatan didominasi oleh angin timuran yang kuat dengan kecepatan hingga 10 m/s. Angin timuran tersebut hanya sedikit membawa massa uap air karena berasal dari Australia yang berupa daratan dan hanya melewati perairan antara Australia dan Indonesia yang relatif tidak luas. Wilayah Indonesia yang berada di sekitar garis ekuator, aktivitas konvektifnya masih relatif sedang dengan nilai TBB-nya berkisar 260K hingga 275K meskipun tampak angin timuran juga mendominasi di wilayah tersebut. Hal ini disebabkan karena wilayah tersebut mengalami pemanasan yang relatif tinggi dan konstan sepanjang tahun.

(44)

35

Pada saat bulan September, Oktober, dan Nopember (SON), aktifitas konvektif di wilayah Indonesia mulai menguat. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai TBB yang mulai menurun hingga kurang dari 275K seperti yang terlihat dalam Gambar 5. Khusus untuk wilayah Indonesia bagian selatan dekat Australia, aktivitas konvektifnya masih relatif rendah dengan nilai TBB yang masih lebih tinggi dari 275K. Hal ini disebabkan meskipun angin timuran akibat monsun Australia mulai melemah (ditandai dengan kecepatannya yang menurun hingga kurang dari 4 m/s) tetapi masih mendominasi.

Gambar 5. Vektor angin dan TBB di Indonesia pada bulan SON.

Pengaruh monsun terhadap karakteristik aktivitas konvektif di wilayah Indonesia sekitar ekuator yang didominasi oleh wilayah berpola hujan ekuatorial berbeda dengan aktivitas konvektif di wilayah Indonesia bagian selatan yang didominasi oleh wilayah berpola hujan monsunal. Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa pengaruh monsun hanya terlihat jelas untuk wilayah Indonesia bagian selatan dengan dicirikan oleh fluktuasi indeks konvektifnya yang tinggi.

(45)

Studi Karakteristik Konvektif Terkait Monsun di Indonesia (Krismianto)

36

Khusus untuk wilayah Papua hanya dipengaruhi oleh monsun Asia saja dan itu hanya terjadi pada bulan DJF dimana pada saat itu kecepatan angin baratannya sangat kuat (sekitar 10 m/s). Aktivitas konvektif di wilayah Papua relatif tinggi sepanjang tahun meskipun tidak mendapatkan pemanasan yang relatif konstan tinggi sepanjang tahun seperti wilayah yang berada di sekitar garis ekuator. Hal tersebut disebabkan pengaruh sirkulasi Walker yang banyak membawa massa uap air dari Samudera Pasifik seperti yang terlihat dalam Gambar 7.

Gambar 7. Aktivitas konvektif di wilayah Papua lebih didominasi oleh pengaruh dari sirkulasi Walker.

4 KESIMPULAN

Berbeda dengan pengaruh monsun Australia yang kuat ketika nilai indeksnya besar (>1), pengaruh monsun Asia terhadap aktivitas konvektif di wilayah Indonesia justru semakin kuat ketika nilai indeksnya kecil (<-1). Tinggi rendahnya aktivitas konvektif dapat dilihat dari nilai TBB-nya dimana jika nilai TBB-nya kurang dari 260K berarti aktivitas konvektifnya tinggi, jika lebih dari 280K berarti aktivitas konvektifnya rendah, dan jika diantara keduanya berarti aktivitas konvektifnya sedang. Monsun Asia dan Australia sangat besar pengaruhnya terhadap aktivitas konvektif di wilayah Indonesia bagian

selatan, kecuali Papua (10°LS–4°LS; 95°BT-130°BT). Perubahan aktivitas

konvektif akibat monsun sangat jelas di wilayah tersebut yang dicirikan oleh nilai fluktuasi indeks konvektifnya yang sangat tinggi, yaitu antara

JJA

SON

(46)

37

–2,5 hingga 1,5. Fluktuasi indeks konvektif di wilayah Indonesia sekitar

garis ekuator (4°LS–6°LU; 95°BT-130°BT) sangat rendah hanya berkisar

0,0 hingga 1,0 sehingga pengaruh monsun terhadap aktivitas konvektif di wilayah tersebut kurang begitu terlihat. Rendahnya fluktuasi indeks konvektif tersebut disebabkan penerimaan radiasi matahari yang relatif tinggi sepanjang tahun di wilayah tersebut sehingga aktivitas konvektifnya juga relatif tinggi sepanjang tahun. Khusus untuk wilayah

Papua (4°LS–EQ; 130°BT-140°BT) lebih didominasi oleh sirkulasi Walker

dan tidak terlalu terpengaruh oleh monsun. Meskipun demikian, secara umum hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh monsun Asia-Australia.

DAFTAR RUJUKAN

Aldrian, E., and R. D. Susanto, 2003: Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea

surface temperature. Int. J. Climatol., 23, 1435-1452

Kajikawa, Y., B. Wang and J. Yang, 2009: A multi-time scale Australian

monsoon index, Int. J. Climatol, doi: 10.1002/joc.1955

May, P. T., A. Ballinger, 2007: The Statistical Characteristics of Convective Cells in a Monsoon Regime (Darwin, Northern

Australia). Mon. Wea. Rev., 135, 82–92

Romatschke, U., R. A. Houze, 2011: Characteristics of Precipitating

Convective Systems in the South Asian Monsoon. J. Hydrometeor,

12, 3–26

Wang, B., R. Wu, K.-M. Lau, 2001: Interannual variability of Asian summer monsoon: Contrast between the Indian and western

North Pacific-East Asian monsoons. J. Climate, 14, 4073-4090

Webster, P. J. and S. Yang, 1992: Monsoon and ENSO: Selectively

(47)

Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)

38

ANALISIS PENGARUH DINAMIKA ATMOSFER DAN LAUT

TERHADAP ANOMALI HUJAN WILAYAH INDONESIA

Tingginya intensitas hujan yang terjadi sampai dengan musim kemarau tahun 2013 ini telah memberikan dampak negatif di wilayah Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2013) melaporkan bahwa selama semester pertama tahun 2013, tampak kejadian bencana hidrometeorologi yang hampir mencapai 90% dari total kejadian bencana di Indonesia. Apa sesungguhnya yang terjadi pada dinamika atmosfer dan laut di Indonesia dan sekitarnya? Hal ini akan menjadi bahasan pada penelitian ini. Oleh

karena itu, data intensitas hujan dari satelit TRMM 3B43V7 dan

data-data iklim global di sekitar wilayah Indonesia periode Januari sampai Juni 2013 digunakan sebagai data utama pada penelitian. Diharapkan dari penelitian ini akan diperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai kaitan antara dinamika atmosfer dan laut terhadap intensitas hujan di wilayah Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan intensitas hujan hampir di seluruh wilayah Indonesia dimana terlihat dominasi anomali intensitas hujan yang positif mencapai 0,50 mm/jam. Suhu permukaan laut di sekitar perairan Indonesia dan Samudera Pasifik bagian barat tampak lebih hangat, yaitu lebih tinggi 0,5°C sampai 1,5°C dari kondisi normalnya. Sedangkan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian tengah dan timur relatif lebih rendah dari pada suhu permukaan laut di sekitar perairan Indonesia. Maka dari itu, penguapan di Indonesia cukup besar sehingga meningkatkan intensitas hujan. Selain itu, tampak pergerakan angin zonal di 850 mb pada bulan April sampai Mei dominan menuju wilayah Indonesia baik angin timuran maupun angin baratan dengan anomali kecepatan yang sama, yaitu 4 m/s sampai 8 m/s. Hal ini menjadikan pertumbuhan awan-awan konvektif tetap aktif di wilayah Indonesia.

(48)

39

ABSTRACT

The high intensity of rainfall occuring until the dry season of 2013 has a negative impact on the Indonesian territory. Reported by the National Agency for Disaster Management (BNPB, 2013) during the first semester of 2013, it seems the hydrometeorological disasters almost reached 90% of the total disasters in Indonesia. What actually happened in the dynamics of the atmosphere and the sea in Indonesia and surrounding areas? This will be discussed in this research. Therefore, rainfall data 3B43V7 of TRMM satellite data and global climate data in the area around Indonesia from January to June 2013 were used as the main data on the research. This research is expected to obtain a better understanding of the relationship between the atmosphere and ocean dynamics and the intensity of rainfall in Indonesia regions. Result shows an increase of the rainfall intensity in almost regions of Indonesia which the dominance of positive rainfall intensity anomalies reached 0.50 mm/hour. The surface temperature around Indonesian water of Indonesia and western Pacific Ocean seemed warmer from 0.5 °C to 1, 5 °C from normal condition. While sea surface temperature in eastern and central of Pacific Ocean relatively lower than the sea surface temperature around the waters of Indonesia. Therefore, evaporation in Indonesia is quite large to increase the intensity of the rainfall. Furthermore, the movement of the zonal wind at 850 mb in April to May seems being dominant toward Indonesian region which is both easterlies and westerlies wind with the same velocity anomaly that is 4 m/s to 8 m/s. This makes the growth of convective clouds remain active in Indonesia.

Key words: anomalies, rain rate, global climate index, TRMM 3B43V7

1 PENDAHULUAN

(49)

Anomali Hujan Indonesia Periode Januari Sampai Juni 2013 (Lely Q. Avia)

40

kategori parah, sedang dan ringan. Pada umumnya, kejadian bencana banjir maupun longsor tersebut berkaitan dengan intensitas hujan yang tinggi dan berlangsung dalam waktu yang lama.

Iklim maupun cuaca berkaitan erat dengan atmosfer, tetapi dipengaruhi oleh interaksi antara atmosfer dan laut, biosfer, permukaan tanah, dan kriosfer. Oleh karena itu, iklim bervariasi pada semua skala waktu dan ruang (Mitchell, 1976; NRC, 1995). Variabel iklim ini memiliki pengaruh paling besar terhadap hidup dan kesejahteraan manusia. Bahkan, iklim memiliki pengaruh mendasar dari kegiatan ekonomi suatu negara (NRC, 1998). Curah hujan merupakan salah satu dari variabel iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannya sangat tinggi baik menurut waktu maupun tempat.

Wilayah Indonesia memiliki banyak keunikan, terdiri dari banyak pulau yang tersebar di daerah tropis bahkan dilalui garis khatulistiwa, diapit oleh dua samudra dan dua benua. Posisi ini menjadikan Indonesia sebagai daerah pertemuan sirkulasi meridional (Utara-Selatan) yang dikenal sebagai sirkulasi Hadley dan sirkulasi zonal (Timur-Barat) yang dikenal sebagai sirkulasi

Walker. Kedua sirkulasi tersebut sangat mempengaruhi

keragaman iklim di Indonesia. Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi iklim di Indonesia yaitu faktor global (El Nino/La

Nina dan Dipole Mode), faktor regional (sirkulasi monsoon

Asia-Australia, suhu permukaan laut, ITCZ), dan faktor lokal yang juga tidak bisa diabaikan dimana kondisi topografi Indonesia yang banyak gunung, lembah, dan pantai yang menyebabkan semakin beragam kondisi iklim di Indonesia baik secara spasial maupun temporal (BMKG, 2009).

Di samping itu, tampak adanya fenomena MJO (Madden

Gambar

Gambar 2.  Diagram Taylor untuk bulan Januari (a),  April (b), Juli
Gambar 3.  Bias curah hujan rata-rata dari data CMAP dan data
Gambar 5. Korelasi antara bias data dan korelasi spasial klimatologi
Gambar 1.
+7

Referensi

Dokumen terkait

50,00.. Sebagai penyedia data dan informasi maka fokus BPS Kabupaten Halmahera Utara adalah menyediakan data yang berkualitas. Dengan kata lain kualitas data

Nilai f yang lebih besar menghasilkan peningkatan keuntungan yang lebih besar pula bagi klaster maupun bagi IKM Namun hal tersebut menyebabkan penurunan keuntungan Karya

Kalman Filter bekerja dengan cara memisahkan noise dari data asli dan dari segi teori Kalman Filter lebih baik dalam menangani eror dari output sensor sehingga

Pendidikan jasmani dan olahraga adalah laboratorium bagi pengalaman manusia, karena dalam pendidikan jasmani menyediakan kesempatan untuk memperlihatkan mengembangan

saran Bagi Orang tua diharapkan bagi orang tua untuk memberikan stimulasi pendidikan anak usia dini berupa play group supaya tingkat kemandirian anak berkembang

Indonesia Enterprise Risk Management Award III 2019 Penyelenggara/ Organizer Economic Review Tanggal/ Date 3 Agustus 2019/ August 3, 2019 PENgHARgAAN | aWaRd.. Penghargaan

Rasa syukur dan terima kasih penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul “Pengembangan Sistem Informasi

Demikian pula dapat dilakukan penghapusan data video yang sudah tersimpan dalam database dengan terlebih dahulu memilih/menyorot data video pekerjaan pada kotak Data Video