• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Membangun Dengan Pengan Ditengah Perubahan Studi Kasus Perilaku Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Orang Mbatakapidu T2 092013003 BAB V"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

61

Li m a

Ritus dan Tempat Penyembahan Orang

Mbatakapidu

Ritus M enebas H utan (parahu omangu)

Parahu omangu

sering dilakukan oleh mereka yang tidak

memiliki lahan pertanian di dataran rendah. Sisi-sisi lembah yang

memiliki kemiringan tertentu yang dipenuhi semak belukar, tanaman

liar dan tanaman umur panjang lainnya akan digunakan untuk

membuka lahan baru.

Parahu omangu

harus serentak atau

bersama-sama dilakukan oleh orang M batakapidu yang hendak membuka lahan

baru. Kesepakatan ini diperoleh melalui musyawarah yang dilakukan

oleh para tokoh-tokoh adat yang berasal dari masing-masing suku.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

(2)

62

Di sini, tanaman umur panjang seperti mahoni, kaduru, jati,

gaharu dan sebagainya biasanya tidak ditebang, tetapi hanya dipangkas

ranting-rantingnya agar tidak menghambat laju pertumbuhan tanaman

pangan yang akan ditanam, sedangkan pada lahan yang berada di

dataran rendah (telah sering digunakan untuk bercocok tanam) akan

dilakukan ritus

kangohungu rumba

(membersihkan rumput).

Lokasi untuk melakukan penebasan telah didiskusikan oleh

sang pemilik lokasi penebasan, juru sembahyang (

tanggu hamayangu)

,

wunang dan beberapa orang yang ditokohkan pada suatu suku. Ritus

ini dipimpin langsung oleh seorang juru sembahyang

dengan cara

melakukan ritual yang disebut dengan

hamayangu

di depan tumpukan

batu (

katoda).

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Gambar 12. Katoda ukur sebagai tempat penyembahan ritus parahu

(3)

63

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014

Gambar 13. Katoda miha sebagai tempat penyembahan ritus parahu

omangu di kampung Maringu Lambi

Terkait dengan hal ini, bapak M baha Huru Landja

1

menyebut:

“Ritus ini dilakukan persis dilakukan di samping sebuah

katoda ukur atau katoda miha yang berada di sekitar lokasi penebasan. Di katoda ukur akan dipersembahkan kepada leluhur berupa kurban seperti ayam atau anjing atau babi dan nasi (dimasak dalam periuk tanah atau wurungu persis di sebelah katoda). Dalam proses hamayangu ini maka sang juru sembahyang akan menghaturkan doa kepada sang leluhur yang mendiami lokasi tersebut. Hal ini dilakukan untuk meminta ijin pada penghuni tempat tersebut, sehingga saat melakukan parahu omangu tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti luka terkena parang, digigit ular dan terutama untuk memudahkan proses penebasan tersebut (jauh dari segala halangan dan rintangan)”.

Senada dengan penuturan bapak M baha Huru Landja, maka

W unnu Balla,

2

Karipi Njandji

3

dan Kalikit Landjamara

4

juga menyebut:

(4)

64

“M erupakan sebuah keharusan bahwa dalam melakukan

parahu omangu harus dilakukan hamayangu di katoda. Tindakan ini dilakukan dengan tujuan untuk minta permisi terhadap tuan tanah atau namma lunggu dangu namma babba”. Ritus parahu omangu akan dipimpin oleh seorang

ratu (juru sembahyang) di tepat depan sebuah katoda. Di sini akan dihaturkan doa kepada sang leluhur. Doa ini dimaksudkan untuk meminta ijin kepada sang leluhur sebelum proses penebasan akan dilakukan. Dalam menjalankan ritus parahu omangu maka kita wajib menyiapkan ayam dan nasi saat dimulai prosesi hamayangu

di katoda. Setelah sembahyang maka kita akan makan bersama-sama dan sisanya di bawa untuk dimakan kembali di rumah. Tanaman yang ditebas pun hanya berupa semak-semak, sedangkan tanaman umur panjang hanya dipangkas ranting-rantingnya”.

Secara komprehensif, bapak Alexander Viktor Umbu Retangu

menyebut:

5

“M ulai dari bulan M ei saat daun belum gugur maka akan serentak dilakukan ritus parahu omangu (tebas hutan). Ritus ini berupa penghaturan doa kepada leluhur untuk meminta ijin dan agar proses penebasan dapat berjalan dengan baik. Dalam ritus ini akan dikorbankan ternak seperti ayam atau anjing atau babi, dan juga disiapkan panganan seperti nasi, sedangkan ternak tadi akan di masak (direbus atau panggang). Setelah dilakukan hamayangu maka makanan yang sudah tersedia akan dibagi pada semua kerabat yang hadir dan sekaligus dilakukannya acara makan bersama. Saat ini kita hanya tebas rumput belalang (rumba tai kabala) saja dan tidak tebas pohon dengan sembarangan, sehingga tidak merusak ekosistem di sekitar lokasi tersebut. Tebas hutan dilakukan karena memang orang tersebut tidak memiliki lahan yang datar dan luas untuk ditanami dengan panganan lokal”.

Dari penuturan bapak M baha Huru Landja, W unnu Balla,

Karipi Njandji, Kalikit Landjamara dan Alexander Viktor Umbu

2 W awancara tanggal 12 September 2014

(5)

65

Retangu tergambar bahwa orang M batakapidu masih sangat taat

terhadap leluhur dan bersahabat dengan alam. Artinya penebasan tidak

dilakukan secara membabi-buta, yang notabene akan merusak alam.

Ritus M embakar Tebasan (

tunnu kanggumma)

Setelah melewati tahap

parahu omangu

maka tahap berikutnya

adalah membakar hasil tebasan. Ritus

tunnu kanggumma

ini

menunjukkan bahwa rumput liar, ranting-ranting, maupun

semak-semak yang telah mengering sebagai akibat dari penebasan sebelumnya

harus dibakar, dan pembakarannya pun harus dilakukan secara

serentak.

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

Gambar 14. Tunnu kanggumma yang dilakukan oleh orang M batakapidu

Terkait dengan hal di atas, beberapa informan seperti bapak

M baha Huru Landja,

6

W unnu Balla,

7

Karipi Njandji,

8

Kalikit

(6)

66

Landjamara,

9

Umbu Ngguti Nggandung,

10

Bimbu W ohangara,

11

Yacob

Tanda

12

dan Alexander Viktor Umbu Retangu

13

menyebut:

“M emasuki bulan Agustus atau September maka harus serentak dilakukan pembakaran terhadap hasil tebasan. Sama halnya dengan tahapan parahu omangu maka harus dilakukan hamayangu di katoda ukur atau katoda miha

dengan mengurbankan ternak. Ritus ini masih dilakukan dan dilestarikan oleh orang M batakapidu. Hasil tebasan yang telah kering tersebut dikumpulkan di tengah kebun lalu dibakar. Hal ini dilakukan agar api tidak menjalar sampai ke padang dan mengakibatkan kebakaran padang maupun hutan”.

Dari penuturan bapak M baha Huru Landja, W unnu Balla,

Karipi Njandji, Kalikit Landjamara, Umbu Ngguti Nggandung, Bimbu

W ohangara, Yacob Tanda dan Alexander Viktor Umbu Retangu

tergambar bahwa dalam proses pembakaran hasil tebasan akan

disesuaikan dengan awal musim turunnya hujan, sehingga api hasil

pembakarannya tidak menjalar ke hutan maupun padang rumput.

Ritus M emilih Bibit dan M enanam (

pindi winingu dangu

tondungu

)

Ketika mulai memasuki bulan November (musim hujan) maka

bibit (jagung, sorgum, jewawut dan sebagainya) akan dipersiapkan dan

akan didoakan terlebih dahulu oleh seorang juru sembahyang (

tanggu

hamayangu)

di

katoda ukur

atau

katoda miha

.

Terkait dengan hal ini, bapak M baha Huru Landja

14

menyebut:

“Kalau kita mau tondungu (tanam), saat hujan pertama maka kita mulai porak (memisahkan bulir jagung dari tongkolnya)

8 W awancara tanggal 15 September 2014

(7)

67

jagung lalu letakkan di mbolahu (tempat untuk menampung barang atau makanan yang dianyam dari pandan) untuk persiapan bibit. Saat memilih bibit pun maka harus melewati prosesi hamayangu (potong ayam lalu remi15 selama satu hari

penuh). Setelah hujan mulai turun secara intensif baru mulai

tondungu (proses menanam jagung dan jewawut dengan

menggunakan sebatang kayu tugal). Saat melakukan

tondungu maka harus melakukan hamayangu di katoda ukur

atau miha dan melakukan remi”.

Senada dengan penuturan bapak M baha Huru Landja, maka

Dommu W ulang,

16

Umbu Ngguti Nggandung

17

dan Alexander Viktor

Umbu Retangu

18

juga menyebut:

“Ketika menyiapkan bibit dan tanam jagung harus lakukan

hamayangu di katoda ukur agar jagung ini bisa menghasilkan jagung dengan bulir yang berkualitas serta bebas dari hama maupun wereng. Setelah jagung dan bibit lainnya ditanam maka kayu tugalnya maka harus dicuci dan masih melalui proses sembahyang”.

Dari penuturan bapak M baha Huru Landja, Dommu W ulang,

Umbu Ngguti Nggandung dan Alexander Viktor Umbu Retangu

tergambar bahwa ada ketaatan secara komunal dari orang M batakapidu

untuk mensyukuri segala kebaikan Tuhan dalam setiap usaha mereka

dalam mengolah lahan. Hal ini tentu semakin menumbuhkan

kedekatan dan pengakuan yang murni terhadap Tuhan.

Ritus M emanen (

pungguhu wataru

)

Saat tiba musim panen jagung tiba (bulan M aret) maka harus

dilaksanakan ritual di

katoda.

Terkait dengan hal ini, bapak M baha

Huru Landja

19

menyebut:

15 Iringan gong dan tabuhan gendang yang diikuti dengan tarian 16 W awancara tanggal 12 September 2014

(8)

68

“Saat jagung sudah isi (siap dipanen) maka kami akan pergi ke katoda ukur untuk melakukan proses sembahyang. Tujuan dari sembahyang ini untuk mensyukuri hasil yang telah diberikan oleh sang pencipta. Contoh, karena kami ada 8 rumah maka maka kami siapkan 8 periuk kecil dan di bawa ke katoda dengan masing-masing ayam. Setelah selesai melakukan hamayangu maka langsung turun di kebun lalu panen jagung”.

Senada dengan penuturan bapak M baha Huru Landja, maka

Umbu Ngguti Nggandung

20

juga menyebut:

“Saat hendak melakukan panen maka harus lakukan sembayang lagi. Bangun pagi harus sembayang di

katoda miha. Sisa atau beberapa pohon jagung yang masih ada tongkolnya yang berada di atas kepala kebun harus dibiarkan tetap berdiri. Artinya supaya burung-burung, tikus, babi hutan dan hama

Nggandung tergambar bahwa orang M batakapidu selalu memberikan

penghargaan terhadap alam di mana tempat tumbuh tanaman ini.

Inilah bentuk ketaatan orang M batakapidu untuk mensyukuri segala

berkat yang diberikan oleh sang pencipta.

Ritus Perjamuan (

Pamangu

)

Orang M batakapidu masih melakukan ritus

pamangu,

yang

hampir sama dengan tradisi kristiani yang disebut sebagai PM K. Ritus

ini dilakukan di rumah

marapu

dan

katoda kawindu.

19 W awancara tanggal 11 September 2014

(9)

69

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

Gambar 15 dan 16. Rumah marapu suku M arapeti di kampung Manu Rara (kiri) dan Rumah marapu suku Andang di kampung Kullu (kanan)

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2014.

Gambar 17. Katoda kawindu di kampung Kullu

Terkait dengan hal ini, bapak M baha Huru Landja

21

menyebut:

“Pada tanggal 17 sampai 18 November 2014 kami dari suku M arapeti telah melakukan ritus ini. Pelaksanaan ritus ini sudah bergeser dari waktu pelaksanaan yang sesungguhnya (bulan Agustus). Hal ini dikerenakan pada bulan-bulan

(10)

70

sebelumnya banyak acara kedukaan maupun urusan adat peminangan, sehingga kami tidak sempat melakukan ritus ini. Saya sendiri yang bertindak sebaga juru sembahyang. Saat kami lakukan perjamuan (pamangu) dengan menyediakan 12 mbolahu (bakul) beras. Setiap satu bakul beras harus ada pasangan ayam merah. Setelah hamayangu

baru remi lalu potong ayam. Acara dimulai jam 08 malam

Kalikit Landjamara,

22

Umbu Ngguti Nggandung,

23

Bimbu W ohangara,

24

Alexander Viktor Umbu Retangu

25

juga menyebut:

“Setiap tahun tepatnya bulan Agustus akan dilakukan perjamuan (pamangu rudungu). Karena banyak kesibukan di acara kematian (li meti) yang berturut-turut maka tidak sempat dilakukan pamangu. Juru sembahyang kami (suku Andangu) adalah Dommu W ulang. Hamayangu ini dilakukan di katoda kawindu dan di rumah marapu selama 1 hari penuh dan diiringi dengan remi di depan (la taluara)

rumah marapu. Dalam ritus ini akan dipersiapkan uhu kawungangu (dalam satu bakul terdapat satu atau dua blek), namun saat ini sudah bergeser. Artinya beras yang disediakan sekarang merupakan beras yang dibeli di pasar ataupun raskin (beras miskin). Begitu pun dengan jagung. Ada istilah yang mengatakan uhu nama nda puru panjangu dangu wataru nama he ndolaku. Artinya padi yang tidak pernah turun dan jagung yang tidak pernah naik. Dengan kata lain, beras dan atau jagung yang yang digunakan merupakan hasil kebun sendiri, bukan hasil pungut atau hasil minta-minta (pandiamangu). Sama halnya dengan Kristiani maka akan ada hasil bumi yag di bawa ke rumah marapu yang dijadikan sebagai hulu hasil. Ini yang dipersembahkan sebagai tanggu marapu. Pamangu menurut orang M batakapidu merupakan persembahan kepada leluhur agar terhindar dari malapetaka dan minta berkat (kanyuruhu). Kalau ada kesibukan atau kurang anggaran maka kami hanya lakukan hamayangu

pakuddungu atau hamayangu kawindungu. Saat ritus

22 W awancara tanggal 17 September 2014 23 FGD tanggal 12 September 2014

(11)

71

berlangsung maka akan disampaikan dalam doa kepada leluhur bahwa kita hanya buat ritual yang kecil, tetapi yang besar akan dilakukan pada tahun depan. Jadi uhu pakawunga

hanya disiapkan satu bakul saja dengan 1 ekor ayam. Jika dalam hamayangu bakulu semua kepala keluarga harus siapkan masing-masing periuk beserta ayam atau babi. Kalau sudah masak semua makanan baru lakukan hamayangu. Setelah pamangu maka periuk dicuci dan dinaikkan kembali ke atas hindi (loteng). Pamangu dilakukan sekaligus untuk lakukan pengakuan dosa (hawari kawadaku), di mana setiap rumah tangga harus siapkan persembahan berupa uang dan benda lainnya. Semua persembahan akan diberikan kepada suku Kihi (juru sembahyangnya adalah bapak Diki Talundiawa) yang disebut sebagai waimaringu26.

Ditentukannya suku ini sebagai waimaringu karena sejak turun-temurun marapu ini yang merupakan pemikul dosa (yang panas dan dingin dia semua yang tanggung). Sesampainya di rumah, dia akan persembahkan kepada

marapu-nya seperti persembahkan babi, uang, pisau, mamuli, jagung, beras, periuk dan sebagainya. Dia potong ayam dan lakukan hamayangu. Sebelum semua barang tersebut dipakai maka harus dilakukan hamayangu agar tidak menjadi dosa. Ritus pamangu (perjamuan) sebenarnya dilakukan pada bulan Agustus (dalam rentang waktu tanggal 1 - 31)”.

Dari penuturan bapak M baha Huru Landja, Kalikit Landjamara,

Bimbu W ohangara dan Alexander Viktor Umbu Retangu tergambar

bahwa orang M batakapidu benar-benar taat kepada Tuhan Yang M aha

Esa (sila yang pertama) atau dalam bahasa adatnya disebut sebagai

ana

pakawurungu ina pakawurung, i wulu tau ji tau, na ilu paniningu

ngadu katandaru dan bakullu wua mata mbalaru wua kahilu.

Kesimpulan

Eksistensi dari tempat penyembahan dan ritus ini sampai saat

ini masih dilaksanakan oleh orang M batakapidu. Sebenarnya masih ada

beberapa ritus yang dilakukan oleh orang M batakapidu, yang belum

sempat diobservasi karena kedatangan penulis di M batakapidu tidak

(12)

72

bertepatan dengan penyelenggaraan ritus tersebut. Ini merupakan

sebuah bentuk ketaatan orang M batakapidu yang menumbuhkan

kedekatan dan pengakuan yang murni terhadap sang pencipta melalui

leluhur, sehingga Dhavamony (1995 : 175-176) menyebut ritus tidak

saja diejawantahkan melalui kurban untuk bagi para leluhur dan

pelaksanaan magi, tetapi juga lewat pelaksanaan tindakan atau perilaku

yang diwajibkan oleh anggota-anggota jemaah dalam konteks peranan

sekular mereka.

Penggunaan kurban oleh orang M batakapidu pun hanya

berupa ternak seperti ayam, babi dan sebagainya. Hal ini berbeda

dengan temuan Berger (1976) yang menyebut suku Aztec memberi

kurban berupa manusia kepada dewa, sehingga praktek ini sudah tidak

dapat lagi diterima oleh kebudayaan modern.

Gambar

Gambar 11. Kegiatan parahu omagu yang dilakukan oleh orang
Gambar 12. Katoda ukur sebagai tempat penyembahan ritus parahu omangu di kampung Kullu
Gambar 13. Katoda miha sebagai tempat penyembahan ritus parahu
Gambar 14. Tunnu kanggumma yang dilakukan oleh orang
+2

Referensi

Dokumen terkait

[r]

BOOKMARK NOT

Dan pemberian cindera mata dari Asisten 2008 kepada Asisten 2007, yang diakhiri dengan bernyanyi bersama mengenang saat-saat bersama menjalani jati diri sebagai asisten lab. “lho,

2 Penulis melihat bahwa bahasa Indonesia yang mulai berkembang peminatnya di negara Ustralia merupakan suatu topik yang mnearik untuk dibahas, mengingat bahasa Indonesia

copy kelengkapan dokumen sesuai dengan data kualifikasi yang saudara upload dalam dokumen isian kualifikasi elektronik pada aplikasi SPSE untuk diserahkan

 Hak istimewa orang Melayu,Islam sebagai agama persekutuan dan Bahasa Melayu diterima sebagai bahasa kebangsaan menjadi prasyarat penerimaan hak kewarganegaraan oleh etnik

Pokja ULP Kegiatan Pembangunan gedung kantor Pekerjaan Pengawas Pembanguan Gedung DPU Kota Tegal Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Tegal akan melaksanakan Seleksi Sederhana

Dalam hal tersebut, Perusahaan mempertimbangkan, berdasarkan fakta dan situasi yang tersedia, termasuk namun tidak terbatas pada jangka waktu hubungan dengan pelanggan