• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAJAH CERAH DARI UFUK SERANG POTRET PEND

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "WAJAH CERAH DARI UFUK SERANG POTRET PEND"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

WAJAH CERAH DARI UFUK SERANG: POTRET PENDIDIKAN GRATIS, ILMIAH DAN DEMOKRATIS BANGKITKAN SENYUMAN KECIL MASA DEPAN

Oleh : Amanah Nurtasari

Fakultas Ekonomi/Jurusan Manajemen 089673807086

”Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” -Nelson

Mandela-Dari kutipan diatas, kita memaknai bahwa pendidikan adalah konstituen yang dapat digunakan guna mengadakan transformasi dunia. Pendidikan mempengaruhi secara ekstensif pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Dampak pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah semakin berkembangnya kesempatan masyarakat untuk meningkatkan kesehatan, pengetahuan, keterampilan, keahlian dan wawasan agar mereka berdaya kerja secara produktif guna mensejahterakan kehidupan berbangsa. Pendidikan berasal dari bahasa Yunani, yaitu Paedagogi. Paedagogi terdiri dari dua kata “paid” dan “agogos” yang artinya anak dan membimbing. Sehingga pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak” (the art and science of teaching children). Sedangkan dalam bahasa Inggris Pendidikan adalah education, yang berasal dari bahasa Latin, yaitu ducare. Ducare memiliki arti “menuntun, mengarahkan, atau memimpin”. Tambahan e, memiliki arti “keluar”. Maka, dapat diartikan bahwa pendidikan adalah “menuntun, mengarahkan dan memimpin keluar”.

Menurut Ki Hadjar Dewantara pendidikan diselenggarakan berintensi membantu manusia menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka dalam arti tidak hidup terperintah, berdiri tegak karena kekuatan sendiri, serta cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Beriringan dengan eksistensi pendidikan, sesuai Pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan bangsa ini ialah mencerdaskan kehidupan berbangsa, hal ini pun diperkuat dengan pasal 31 ayat 1 bahwa setiap orang berhak mendapatkan pengajaran.

(2)

dimensi yaitu ekonomi. Ekonomi menjadi kausa problematika tertinggi, merasuknya kapitalisme dan imprealisme menyelusur hingga mengalir pada nadi utama kehidupan bernegara telah mendistorsi tujuan Negara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945. Negara justru menjadi alat penindas oleh kapitalis dengan watak akumulatif, ekspantif dan eksploitatif.

Penancapan kuku kapitalis dan imprealis yang semakin menusuk telah menodai kedaulatan bangsa, rakyat terkondisikan menjadi komoditas sebagai jalan memuluskan muslihat kapitalis melipatgandakan margin. Adapun rakyat menjadi budak kapitalis belaka. Iklim perekonomian yang terkonstruksi sebatas melambungkan para pemilik modal tanpa menilik kelas kecil (Baca: buruh, nelayan dan kaum miskin kota), adapun yang menjadi kebijakan pemerintah telah memboncengi sistem ekonomi liberal, sekalipun sebenarnya poros ekonomi Indonesia ialah bercermin dari Pancasila. Namun nilai-nilai Pancasila telah redup seiring merasuknya kapitalis dengan penetrasi budayanya yang mengubur jati diri bangsa melalui aparatur ideologisnya seperti media, pemerintah dan lainnya, sebagai usaha berekspansi.

Terbentur ungkapan dari Ki Hadjar Dewantara, bahwa pendidikan ialah bermuara membantu pengenyam pendidikan menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Tentu dalam perkembangannya kini, rakyat terasingkan dari kemerdekaan sejatinya. Kemandirian yang dicita-citakan nihil realisasi. Nyatanya, kini Indonesia masih memiliki keterpautan dengan kapitalis asing. Maka dalam hal ini, diperlukan lakon pendidikan dalam masyarakat, sesuai UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, bahwa “pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat”. Pendidikan menjadi ruang memanusiakan manusia, tak berorientasi pada intelektual saja.

(3)

akan mengubah arah tatanan kehidupan dan Indonesia kembali pada tugas fakultatif Negara yaitu dapat menyejahterakan, baik moral, intelektual, sosial, maupun ekonomi.

Namun muncul permasalahan baru, bahwa pendidikan era globalisasi kini telah dirasuki arwah kapitalisme dan liberalisme pula. Menjerumuskan pendidikan tak lebih alat akumulasi kapital negara. Institusi pendidikan berdimensi ruang belajar kritis menjadi pabrik yang mencetak tenaga kerja siap pakai di pasar kerja dan menghasilkan riset yang berguna untuk memecahkan masalah industri. Berubahnya kapitalisme dari bercorak industri menjadi pasca-industri, turut mengubah tatanan global. Pasokan tenaga kerja ‘kerah putih’ dibutuhkan secara besar-besaran. Peranan universitas dan lembaga pendidikan sejenis menjadi semakin vital sebagai pemasok. Degradasi pendidikan mengantarkan masyarakat pada batas ruang gerak untuk berkembang dan mandiri menggarap potensi negeri secara bijak dan arif guna mensejahterakan bangsa. Melihat historisnya pendidikan di Indonesia muncul sebagai Politik Etis dari Belanda yang mencari utilitas berupa pasokan tenaga kerja murah terdidik sebagai administrator belanda di Indonesia. Lambat laun pendidikan membuka tabir, cendikia tersadar akan hasrat merdeka, kaum cendikia terus mengkonstruksi kesadaran dengan sekolah-sekolah liar. Akhirnya mereka mengintergrasikan diri dan mengambil panggung dalam pencapaian kemerdekaan Indonesia.

Hanya saja dewasa kini nilai-nilai progresif pendidikan kian bias seiring di stirnya pendidikan oleh liberalisme yang masih satu induk pada kapitalisme dan imprealisme. Pendidikan kita saat ini masih bercorak konvensional, yang hanya memempa siswa menjadi pasif, tunduk, dan jauh dari keberanian berpikir kritis. Pendidikan yang demikian hanyalah memperkokoh penindasan manusia atas manusia, menguntungkan penguasa yang hendak mempertahankan imperiumnya. Sehingga, pendidikan bukannya menjadi wadah pembebasan melainkan pembunuh perubahan dan kemajuan. Pendidikan kita yang demikian, telah membiasakan masyarakat kita hanya menetap dari keadaan yang telah di rancang oleh atas, nalar kritis terbunnuh secara alamiah tanpa gagasan inisiatif dan privatisasi pendidikan di luncurkan kapitalis guna melipatgandakan keuntungan.

(4)

“Bantuan Langsung Tunai”. Pendidikan tinggi dengan sistem ini justru menambahkan sederet problematika negeri. Kebijakan-kebijakan yang diambil, seperti menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan dan pemberian modal usaha belum cukup menjawab persoalan pengangguran, karena apabila kondisi dan kebijakan ekonomi-politik masih carut marut, maka usaha itupun akan bangkrut. Pendidikan lebih tinggi, kebanyakan menyebabkan anak muda justru menolak untuk mengerjakan pekerjaan dengan sistem manual, yang dinilai kurang sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Sarjana cenderung mencari pekerjaan sektor jasa. Sedangkan, pertumbuhan kerja di sektor jasa tidak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja terdidik.

Di balik carut marut pendidikan kini, masih ada secercah harapan yang muncul dari tawa renyah anak-anak yang bermimpi membangun Indonesia, yaitu muncul dari Sanggar Belajar Untuk Rakyat milik masyarakat Pakupatan-Serang dengan sistem Pendidikan Gratis, Ilmiah Dan Demokratis. Dimana anak-akan kecil belajar dan bermain disana dengan guru-guru sukarelawan. Sistem disana dianggap mewadahi kebutuhan masyarakat. Pendidikan bersistem ini akan memanjukan pola pikir generasi muda.

Mengapa harus gratis? Menengok pada pasal 31 ayat 2 bahwa seharusnya pendidikan ialah gratis, karena adanya kesadaran bahwa pendidikan merupakan elemen fundamental untuk kemajuan bangsa dan merupakan tanggung jawab negeri. Menegok pada Firlandia, mereka menggratiskan pendidikan, Pemerintah Firlandia menyediakan anggaran 5.200 euro atau sekitar Rp 70 juta untuk setiap siswa per tahun. Alasannya memungut biaya dari orang tua murid adalah tindakan ilegal dan melawan hukum. Di Indonesia, anggaran pendidikan dasar sembilan tahun sekitar Rp 21 triliun dari total anggaran pendidikan nasional Rp 43,4 triliun per tahun. Namun, anggaran itu diperuntukkan bagi jutaan murid di seluruh Indonesia. Privatisasi pendidikan di Indoensia menyebabkan orang miskin dilarang sekolah. Tentu hal itu berdampak kesenjangan sosial yang timpang.

Di era Soekarno, pendidikan digratiskan dan digencarkan penghapusan buta aksara. Hal ini disesuaikan dengan tujuan bangsa yaitu mencapai sosialisme Indonesia. Namun saat era Soeharto pendidikan diubah tidak lagi berporos pada sosialisme Indonesia, privatisasi pendidikan mulai mencuat. Rakyat mulai bersaing untuk merasakan bangku pendidikan. Pemerintah mulai menggeser tanggung jawabnya. Tentu untuk memajukan negeri, pendidikan harus digratiskan, agar mampu dinikmati siapapun dia yang berlabel pribumi Indonesia. Perlu ada perhatian khusus pemerintah dalam mengkualitaskan rakyatnya.

(5)

masih jauh dari kata ilmiah, pendidikan tidak bertumpu objektifitas. Ilmu yang diajarkan hanya sebatas teori usang dan hanya merakit manusia tersistem sebagai robot siap cetak sebagai buruh murah. Hari ini pendidikan menyebutkan 1 x 0 adalah 0, namun apakah ada dari kita dapat menjelaskan mengapa 1 yang dikalikan 0 akan menghasilkan 0 bukan 1 atau tak terhingga? Itu sama halnya seperti kita tahu teori ekonomi, namun mengapa sampai detik ini kemiskinan kian meluas dan mendalam di negeri ini? Kurikulum yang digunakan haruslah ilmiah, dalam arti disesuaikan dengan kondisi objektif, sehingga apa yang menjadi kebutuhan rakyat terwadahi bukan sekedar kebutuhan pasar yang dilayani.

Penyempurnanya ialah demokratis. Pendidikan menjadi wadah memederkakan siswa, namun di kondisi lapangan pencabutan hak terlihat nyata. Ia tertekan di sekolah, tugas yang bertumpuk, jam sekolah yang padat, mekanisme ujian yang menyebabkan tekanan untuk mendapat nilai tertinggi yang memuarakan budaya menyontek, serta disiplin ilmu yang banyak dipelajari sekalipun Ia tak menyukainya. Menoleh kembali Negara Firlandia sebagai Negara pendidikan terbaik di dunia, disana tidak melanggengkan sistem belajar yang padat. Belajar hanya 45 menit dengan 15 menit istirahat, meniadakan evaluasi atau ranking sekolah, murid hanya akan datang pada jadwal pelajaran yang mereka pilih, tidak ada Kelas Unggulan, semua kemampuan berada pada kelas yang sama. Maka asas demokrasi “dari murid, untuk murid dan oleh murid” terealisasi dengan baik. Setiap murid dapat berkembang kearah yang dia inginkan tanpa terbentur logika kebutuhkan pasar. Ia tidak berorientasi apa yang dibutuhkan namun apa yang dapat diciptakan. Institusi pendidikan merupakan ruang demokrasi yang harusnya mampu memberikan hak-hak kepada peserta didik untuk memerdekakan diri dan mengembangkan potensi.

Referensi

Dokumen terkait

• Pemenuhan kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung, didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang dan berkelanjutan, efisien,

Pada tahap evaluating atau penilaian proses kerja dan hasil proyek siswa. Pada tahap ini, 1) kegiatan guru atau siswa dalam pembelajaran sebagai pekerjaan yang telah

Berdasarkan hasil uji normalitas dengan metode grafik yang dilakukan untuk variabel ROA sebagai variabel dependen pada gambar diatas, maka model regresi memenuhi asumsi

) mestinya berprinsip pada Gusjigang yakni dengan budipekerti yang baik (masalah moralitas, ahklak), kemudian dengan didasari ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh da‟I yang

Harta kekayaan perusahaan, zakat profesi, dan kepemilikan saham tidak luput menjadi objek harta kena zakat, hal ini didiskusikan dan diputuskan pada Muktamar ke-3 yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi terbaik hidrolisis enzim yaitu pada konsentrasi enzim selulase 5% v/v selama 12 jam pada hidrolisat asam sulfat 1%

Manfaat dari kerja sama yang saling ketergantungan antarsiswa di dalam pembelajaran kooperatif berasal dari empat faktor diungkapkan oleh Slavin (dalam Eggen dan Kauchak, 2012:

Imbalan yang dialihkan dalam suatu kombinasi bisnis diukur pada nilai wajar, yang dihitung sebagai hasil penjumlahan dari nilai wajar pada tanggal akuisisi atas seluruh aset