BAB V
PELA GANDONG
SEBAGAI PENDEKATAN KONSELING ORANG BASUDARA
A. LANDASAN FILOSOFIS DAN NILAI SPIRITUAL HUBUNGAN ISLAM-KRISTEN DALAM PELA GANDONG
Berdasarkan hasil temuan dan kajian konseling Lintas agama dan Budaya terhadap hubungan Islam-Kristen dalam Pela Gandong maka ditemukan landasaran filosofis dan nilai spiritual konseling orang basudara, sebagai berikut:
Pela Gandong menggambarkan hubungan sebagai Orang Basudara
sebagaifalsafah hidup orang Maluku. Falsafah tersebut merupakan nilai budaya warisan leluhur. Pada periode sebelum konflik 1999, falsafah Pela Gandong
dengan gagasan inti Gandong: sebagai “saudara sekandung” telah merangkul
semua lapisan masyarakat Maluku (asli), bahkan pada sebagian orang luar (pendatang) dari berbagai latarbelakang etnis, agama yang beragam dalam satu komunitas masyarakat adat. Falsafah budaya Pela Gandong bagi orang Ambon (Islam-Kristen) memiliki makna dan nilai guna signifikan kala berada di tengah krisis yang dideritanya akibat konflik. Olehnya, pemahaman komprehensif Pela Gandong sebagai falsafah hidup orang Maluku tersebut dapat ditelusuri melalui tiga hal utama, yakni tentang arti, makna dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Pertama, pengertian, ungkapan Pela dapat dirumuskan artinya sebagai berikut:
Pela Gandong adalah “Persekutuan sebagai orang basudara yang dibentuk untuk saling menjaga, menguatkan, mengokohkan antar individu-komunitas
(negeri). Masing-masing negeri berjanji untuk hidup saling mengasihi,
memiliki hak dan berkewajiban untuk saling menolong, membantu, saling melayani”.
Kedua, makna. Pengertian etimologi falsafah Pela sebagaimana yang
diuraikan di atas, merupakan konsep abstrak yang memiliki substansi ideal
Ambon (dalam konteks hubungan Pela negeri Batumerah-Passo: Islam-Kristen) pada satu sisi, membedakan istilah Pela (tidak berlatar geneologis) dan Gandong (berlatar hubungan geneologis) berlandaskan pada pengetahuan tentang historis pembentukan hubungan Pela Gandong. Pada sisi lain, Pela Gandong termaknai
“sama”, faktual dalam praktiknya, ketika persekutuan Pela Gandong ini tidak hanya meliputi negeri-negeri yang berPela atau berGandong secara eksklusif tetapi juga mergakomodir negeri-negeri yang memiliki hubungan Pela Gandong. Pela Gandong dengan ini adalah hubungan yang terbuka mengakomodir seluruh komponen masyakat adat berPela Gandong. Terbukti, ketika dalam konflik, praktik hubungan Pela Gandong telah berhasil menghambat, menghentikan kekerasan dan menjadi instrumen penyelesaian konflik dengan pendekatan kultur.
Ketiga, nilai-nilai. Hubungan persaudaraan ini sarat dengan nilai-nilai
kolektifitas yang mengintegrasikan individu-individu dan kelompok yang berbeda satu dengan yang lain. Masyarakat Pela Gandong mengalami satu realitas bahwa masyarakat itu berbeda dalam kesatuan, dan bersatu dalam perbedaan. Kolektifitas, dalam arti kesatuan dalam kebersamaan termanifestasikan dalam
sikap dan perilaku praktis hidup bermasyarakat maupun beragama yang saling menghargai, saling menerima, saling mempercayai, saling menolong. Dalam berinteraksi antar pemeluk agama-agama, orang Islam dengan Orang Kristen di Ambon, hidup berdampingan, saling memberi atau berbagai. Dalam Pela
Gandong: sebagai “orang basudara” terdapat hubungan keakraban, yang
terbahasakan dalam istilah-istilah familier, seperti: laeng lia laeng pung
kekurangan, laeng bantu laeng pung kesusahan, saling “batanggong”.
memberikan penyelamatan, pertolongan, dan berbagi kelebihan yang dimiliki masing-masing
Solidaritas kemanusiaan yang kuat antar sesama masyarakat berPela
Gandong tidak dapat direduksi bahkan dirusak oleh adanya perbedaan dalam
agama dan keyakinan. Solidaritas ini bahkan sudah dibangun dalam berbagai kelompok sosial, entah keluarga, rukun tetangga, bahkan lintas negeri (Baca: Desa). Nilai kemanusian Pela Gandong telah menjadi pelopor solidaritas, malah ditengah krisis konflik telah tampil sebagai penghambat bagi perilaku kekerasan. Nilai-nilai kemanusiaan dipertegas melalui sapaan relasional dalam bahasa masyarakat adat berpela Gandong: seperti ade-kaka, bongso, gandong. Oleh karena itu, hanya dengan menyapa sesama masyarakat berPela Gandong, orang tersebut perlakukan yang manusiawi.
Kedua, nilai persaudaraan sejati. Merujuk kepada isi janji atau ikrar Pela
Gandong, antar negeri Batumerah-Passo berkaitan dengan larangan tidak boleh kawin-mengawini sesama individu berPela, norma ini sama dimiliki pada umumnya negeri-negeri berGandong. Hal ini hendak menjelaskan bahwasannya,
esensi Gandong: saudara sekandung merupakan nilai dasar terciptanya hubungan-hubungan Pela Gandong antara negeri-negeri di Ambon. Pela Gandong adalah
hubungan kekerabatan sebagai “Orang Basudara”, dan dapat dibedakan sebagai
persaudaraan yang sejati, sekandungan: Gandong dan persaudara biasa: sesama masyarakat berPela dipandang sebagai saudara. Bahkan persaudaraan ini teruji bukan dalam kesamaan-kesamaan identitas melainkan dalam kepelbagaian yang ada, sebagaimana dalam hubungan Pela Gandong Islam-Kristen.
Inti sejarah masyarakat adat pela gandong adalah bahwa semua manusia: Islam-Kristen berasal dari pusat yang sama dan diikat oleh sumpah leluhur. Terlepas dari asal daerah yang sama atau berbeda dan satu (teritorial), tetapi masyarakat terkokohkan dalam kesatuan masyarakat adat untuk memegang teguh kekeluargaan dan persaudaraan sejati (diperlakukan sebagai gandong:
Persaudaraaan sejati tidak sebatas mempertemukan anggota keluarga secara geneologis. Lebih daripada itu, merupakan spirit menentang ambisi dan keserakahan demi kepentingan individu atau golongan. Dengan pengakui nilai persaudaraan sejati maka sesama orang berPela Gandong tidak mengorbankan saudaranya, tidak merusak tatanan hidup bersama, dan menskenariokan kekacauan dalam masyarakat. Persaudaan sejati mempersilahkan masyarakat untuk bersatu dengan tidak mengabaikan perbedaan keagamaan, melainkan hidup berdampingan antara pemeluk agama: Islam di wilayah Kristen dan Kristen di wilayah Islam.
Wujud nyata persaudaraan sejati tampak dalam kebersamaan, solidaritas, saling mengerti, saling menerima, saling terbuka, saling berbagi, saling memberdayakan bagi kesejahteraan bersama. Orang Basudara: Bersaudara hidup tidak untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain. Hal tersebut dilandasai oleh sifat penghargaan terhadap kehidupan. Semua orang tanpa membedakan agama dan etnis dipandang sebagai sesama yang setara dengan diri sendiri dan menempatkan sesama sebagai “saudara”. Tindakan-tindakan yang ditujukan
kepada sesama masyarakat berpela dipandang sebagai tindakan yang ditujukan kepada diri sendiri.
Konseling Lintas Agama dan Budaya secara filosofis berlandaskan pada hakekat manusia dalam Pela Gandong: individu-komunitas (sebagai: “orang
basudara”) yang mengandung nilai dan sikap hidup yang membentuk manusia
saling menghargai martabat kemanusiaan untuk hidup saling berdampingan, menolong atau membantu, dan bekerjasama demi membangun kerukunan antar manusia dalam sebuah persekutuan. Hakekat manusia dalam Pela Gandong
mengandung makna, manusia hidup memandang atau memperhatikan orang lain sebagai bagian dari dirinya sendiri. Kehidupan manusia yang bermakna mampu menyelesaikan masalahnya, menghilangkan ancaman konflik yang mengganggu psikis dan fisik. Manusia hidup dalam kebersamaan (kolektifitas) mampu untuk mensejahterakan, mendamaikan dirinya dengan sesamanya dalam kebersamaan
sebagai persekutuan “orang basudara”.
mengandung nilai-nilai dasar sebagai landasan, pendorong, pengendali untuk kelangsungan hidup dan pengembangan diri; 2) konsep abstrak yang mengandung nilai-nilai dasar yang menggambarkan makna, dan identitas yang mengungkapkan tentang kekuatan, kelebihan dan kekurangan Pela Gandong; 3) konsep ideal normatif adalah implementasi nlai moral dan etika dalam kehidupan masyarakat
berpela Gandong; 4) konsep aktual sebagai pedoman melakukan transformasi
sikap dan perilaku bermasyakat: beragama dan berbudaya.
Konseling Lintas Agama dan Budaya yang berbasis budaya Pela Gandong
mengandung nilai-nilai spiritual yang menjadi kekuatan atau fondasi membangun relasi antar sesama yang berbeda keyakinan (perbedaan budaya) sebagai konselor-konseli. Artinya bagi masyarakat berPela Gandong, hubungan sebagai orang basudara menjadi prioritas dalam mengarahkan seluruh perilaku hidup. Nilai-nilai spiritual dalam konteks praktik Pela Gandong intinya menempatkan manusia harus hidup mengasihi sesama: saling menghargai, saling menerima, saling berbagi, melengkapi dan memberdayakan. Nilai spiritual Pela Gandong pada kenyataannya, menjadi pendorong bagi manusia untuk berbuat baik terhadap
sesamanya. Nilai spiritualitas dengan sendirinya menjadi dasar bagi munculnya nilai-nilai hidup yang lain, terutama yakni menjunjung tinggi harkat dan martabat sesama (kesetaraan manusia) yang terwujud dalam sikap solider kemanusiaan. Hal tersebut sejalan dengan Matius: 22:39 “dan hukum yang kedua, yang sama
dengan itu, ialah: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.
Orientasi nilai-nilai spiritual dalam Pela Gandong menggambarkan hubungan seseorang dengan sesamanya: sikap terhadap sesama, kewajiban terhadap sesama, kebersamaan dan solidaritas.
B. Desain Konseling Orang Basudara
Bagan di atas mengambarkan tentang pendekatan konseling orang basudara yang berbasis pada Budaya Pela Gandong. Budaya tersebut mengandung landasan folosofis yang melihat orang Islam-Kristen (konselor-konseli) sebagai orang Basudara; dan nilai-nilai spiritual, yaitu: saling menghargai, saling menerima, saling berbagi, saling melengkapi, dan saling memberdayakan. Bertolak pada pendekatan konseling lintas agama dan budaya sebagai teori utama, maka kelima nilai-nilai spiritual tersebut masing-masing memiliki satu teknik konseling Orang Basudara yaitu, harga diri sosial,
penerimaan sosial, kepedulian sosial, integritas sosial dan pemberdayaan sosial; yang
dapat digunakan untuk menjawab permasalahan konseling Orang Basudara, yaitu:
martabat sosial, keterbatasan sosial, ketidakpekaan sosial, keretakan sosial, dan
keterpurukan sosial.
Selanjutnya, kelima nilai-nilai spiritual, teknik dan permasalahan yang telah
disebutkan juga memiliki tujuan konseling Orang Basudara yaitu: mengeksplorasi
kekuatan dan kelemahan sosial, mengidentifikasi kekuatan untuk mengelolah kelemahan
sosial, meningkatkan solidaritas sosial, mengintergasikan kepelbagaian menjadi
sumberdaya sosial, dan memberdayakan untuk mengaktualisasikan hidup. Berikutnya,
sasaran pencapaian konseling pastoral Orang Basudara dari masing-masing kelima teknik, permasalahan dan tujuan konseling Orang Basudara, yaitu:penghargaan diri, penerimaan
sosial, kepedulian sosial, intergarasi sosial, dan pemberdayaan sosial. Terakhir, sasaran
dari bangunan teori konseling Orang Basudara adalah agen perdamaian.
1. Pendekatan, teknik, permasalahan, tujuan, dan sasaran pencapaian Konseling
Orang Basudara
Berangkat dari teori konseling lintas agama dan budaya sebagai pendekatan utama konseling orang basudara dengan lima teknik yang telah disebutkan diatas maka, permasalahan, tujuan, sasaran pencapaian, dan sasaran akhir konseling orang
basudarakonseling “Orang Basudara” dapat teruraikan sebagai berikut:
1.1.Teknik, permasalahan, tujuan, dan sasaran pencapaian konseling “Orang
Basudara”
1.1.1. Teknik harga diri sosial, dapat mengatasi masalah martabat sosial. Artinya bahwa
dalam masyarakat. Tujuannya agar mereka dapat mengeksplorasi kekuatan dan
kelemahan diri. Konkritnya, teknik dan tujuan tersebut hendak menjelaskan bahwa
semua orang ambon adalah mereka yang tidak saling mendominasi, tetapi sebagai manusia yang bermartabat setara, serta sama-sama memiliki hak, kesempatan dan peluang untuk berkompetisi dalam ruang-ruang publik: politik, sehingga sasaran pencapaiannya, yakni penghargaan diri dapat digapai.
1.1.2.Teknik penerimaan sosial, dapat mengatasi masalah keterbatasan sosial. Artinya setiap individu-komunitas Islam-Kristen sadar akan keterbatasan eksistensial- dan di sisi yang lain juga keterbatasan sumberdaya- dan sekaligus bersikap terbuka
untuk saling menerima bukanya mempertentangkan keunikan dan perbedaan, tujuannya agar dapat mengidentifikasi kekuatan untuk mengelolah kelemahan,
dengan sasaran pencapaiannya adalah penerimaan sosial.
1.1.3.Teknik kepedulian sosial, dapat mengatasi masalah ketidak pekaan sosial. Dampak konflik yang meluluh lantahkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini,
“Kehilangan” yang dialami masyarakat merupakan gambaran perilaku pihak-pihak berkepentingan yang tidak memanusiakan. Prespektif “korban” menjadi starting
point masyarakat sebagai subjek konseling. Tujuannya agar masyarakat dapat
meningkatkan solidaritas sosial, sehingga kepedulian sosial sebagai sasaran
pencapaian konseling ini dapat dicapai.
Kepelbagaian dapat dipahami sebagai kondisi adanya perbedaan agama, suku, bahkan ketika kepelbagaian tersebut digunakan sebagai alat pemenuhan kepentingan politik. Kepelbagian merupakan realitas kehidupan dan karena itu harus dipahami dan dimanfaatkan, sehingga integrasi sosial sebagai sasaran pencapaian dapat digapai. Integrasi sosial yang dipahami adalah kesatuan masyarakat yang mengkonfirmasi kepelbagaian dan kesamaan.
1.1.5.Teknik pemberdayaan sosial dapat mengatasi masalah keterpurukan sosial.
Keterpurukan sosial dalam pengertian bahwa konflik telah menempatkan Islam-Kristen, secara khusus masyarakat kelas menengah kebawah sebagai korban dari
sebuah “permainan kepentingan kekuasaan. Tujuannya agar terciptannya ruang-ruang memberdayakan untuk mengaktualisasikan diri, dengan sasaran
pencapaiannya adalah pemberdayaan sosial. Pemberdayaan sosial dalam pengertian individu-komunitas Islam-Kristen dapat memberdayakan dirinya dan orang lain.
2. Sasaran akhir konseling Orang Basudara
Sasaran akhir konseling orang basudara adalah agen perdamaian. Agen perdamaian dalam pengertian individu-komunitas dapat menjadi subjek/aktor/pelaku/fasilitator
penjaga, penciptaan, dan pembangun perdamaian dalam jalinan kerjasama seluruh komponen masyarakat Pela-Gandong. Perdamaian yang dimaksudkan adalah bahwa bukan hanya suatu keadaan yang aman dan tentram, tetapi harus dilihat sebagai suatu keadaan sejahtera yang berkeadilan dan merata dialami oleh segenap masyarakat.
Jadi, konseling orang basudara sebagai sebuah pendekatan konseling lintas agama dan budaya yang berbasis budaya masyarakat Maluku, yakni Pela Gandong dapat dipahami secara horisontal berpatokan pada komponen-komponen teori, antara lain: landasan filosofis, nilai-nilai spiritual, pendekatan, teknik, permasalahan, tujuan, dan sasaran pencapaian konseling. Secara vertikal menghasilkan relasi saling menghargai, saling menerima, saling memberi, saling melengkapi, dan saling memberdayakan.