• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Calling Orientation Terhadap Well-Being pada Pemimpin Kegiatan Pelayanan Rohani Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Calling Orientation Terhadap Well-Being pada Pemimpin Kegiatan Pelayanan Rohani Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Well-Being

1. Definisi Well-Being

Istilah well-being mengacu pada kualitas keberfungsian seseorang, baik itu pengalaman subjektif yang bersifat emosional maupun pengalaman langsung dari aktivitas yang dilakukan (Waterman, 2007).

Waterman (1993) membedakan well-being menjadi dua, yaitu eudaimonic well-being dan hedonic well-being. Istilah eudaimonic well-being kemudian banyak dikembangkan menjadi beberapa bagian, beberapa

(2)

adalah langkah mencapai kebahagiaan (Delle Fave, Massimini, & Bassi dalam Henderson & Knight, 2012). Namun psikolog kontemporer lebih memilih untuk menggabungkannya menjadi suatu konsep yang sama-sama berpengaruh positif terhadap well-being dan memunculkan istilah flourishing untuk menjelaskan gabungan kehadiran keduanya. (Huppert &

So; Huta & Ryan, dalam Henderson & Knight, 2012).

Waterman (1993) mengatakan bahwa eudaimonic well-being merupakan hal yang diperoleh seseorang karena mampu merealisasikan potensi dirinya melalui aktivitas yang dilakukannya, sementara hedonic well-being berfokus pada penikmatan aktivitas yang dilakukan seseorang.

Pada dasarnya, kedua konsep tersebut bukanlah sesuatu yang terpisah, namun memiliki korelasi satu sama lain. Saat seseorang merasa mampu merealisasikan potensi dirinya sewaktu melakukan suatu aktivitas, maka ia akan sekaligus memiliki eudaimonic well-being dan hedonic well-being yang tinggi. Namun saat seseorang menikmati aktivitas yang dilakukannya tapi aktivitas tersebut tidak berkontribusi untuk meningkatkan potensi dirinya, maka aktivitas tersebut hanya akan menaikkan hedonic well-being-nya namun tidak menaikkan eudaimonic well-being-nya. Secara

(3)

a. Eudaimonic Well-Being

Konsep eudaimonia pertama kali diungkapkan oleh Aristoteles yang juga dipengaruhi oleh filsuf-filsuf Yunani kuno sepeti Plato dan Zeno. Aristoteles mengatakan bahwa suatu keadaan di mana kita menjalani hidup yang penuh perenungan dan kebaikan sesuai dengan sifat seseorang (hidup sebagaimana adanya) merupakan langkah menuju kesejahteraan (Norton, dalam Henderson & Knight 2012). Aristoteles mendefinisikannya sebagai tindakan kebajikan yang terpuji dan layak; sering ditekankan sebagai kebajikan dari keadilan, kebaikan, keberanian, dan kejujuran. Aristoteles juga mengatakan lebih lanjut bahwa pengembangan potensi terbaik seseorang dalam mencapai sesuatu yang kompleks dan penuh makna merupakan hal yang menandai hidup yang baik.

(4)

hidup mencapai daimon danmemahami potensi-potensinya disebut dengan istilah eudaimonia (Waterman, 1993).

Norton (dalam Waterman 2007) mendeskripsikan eudaimonic well-being sebagai kondisi saat seseorang ingin dan sedang melakukan

apa yang ingin dilakukannya, di mana hal tersebut memang layak untuk dilakukan.

Pada penelitian ini, eudaimonic well-being didefinisikan sebagai kepuasan dalam hidup seseorang saat melakukan aktivitas yang membuat potensi dirinya semakin berkembang dan membuatnya merasa memiliki hidup yang lebih bermakna.

b. Hedonic Well-Being

Hedonic merupakan konsep yang berasal daerah Yunani dan dipelopori oleh para filsuf seperti Aristippus, Epicurus, Bentham, Locke, dan Hobbes (Waterman, 2008).

(5)

tersebut yang menentukan dan merasakan seberapa sejahteranya mereka (Diener, dalam Henderson & Knight 2012).

Hedonic well-being sering disamakan dengan istilah happiness

atau subjective well-being, karena yang menjadi fokus pada hedonic well-being merupakan sensasi atau hal menyenangkan yang dialami oleh seseorang. Subjective well-being terdiri dari 3 komponen, yaitu life satisfaction (kepuasan dalam hidup), the presence of positive mood

(adanya suasana hati yang positif), dan ketiadaan suasana hati yang negatif (Diener & Lucas, dalam Ryan & Deci, 2001).

Pada penelitian ini, hedonic well-being yang dimaksudkan adalah kondisi emosi positif dan menyenangkan yang dialami seseorang saat melakukan aktivitas tertentu.

2. Motivasi Intrinsik dalam Konsep Well-Being

Bergerak dari perbedaan antara eudaimonic well-being dan hedonic well-being, Waterman (2005) mengatakan bahwa konstruk motivasi intrinsik merupakan konsep yang mempengaruhi kedua hal ini karena ―enjoyment” terhadap aktivitas merupakan definisi operasional utama

yang menyusun konsep motivasi intrinsik.

(6)

a. Interest

Interest merupakan bentuk ekspresi senang melakukan suatu aktivitas (Sansone & Harackiewicz, dalam Waterman, 2005). Hal ini merupakan kecenderungan seseorang untuk lebih terlibat dalam suatu jenis aktivitas dibandingkan aktivitas yang lain (Krapp, Hidi, & Renninger dalam Waterman, 2005).

b. Flow experiences

Csikszentmihalyi (dalam Waterman, 2005) mengatakan bahwa flow experiences merupakan kombinasi dari elemen-elemen kognitif-afektif diantaranya (a) adanya tujuan yang jelas, (b) kesadaran akan perlunya masukan yang jelas, tepat sasaran, dan tidak ambigu terhadap hasil dari suatu aktivitas yang dilakukan, (c) kesatuan konsep aksi dan kesadaran, (d) pemusatan atensi terhadap stimulus yang terbatas yang berhubungan dengan kesadaran, (e) merasa memiliki kontrol terhadap aktivitas dan lingkungan, (f) tidak berfokus terhadap kegagalan, (g) tidak berpusat pada ego, dan (h) terjadinya perasaan distorsi waktu

c. Feelings of Personal Expressiveness

(7)

dalam aktivitas yang mengekspresikan personal seseorang, individu akan mengalami:

(a) keterlibatan secara mendalam,

(b) kesesuaian dan kecocokan terhadap aktivitas,

(c) perasaan benar-benar hidup (intensely being alive),

(d) perasaan sempurna dan dipenuhkan (fulfillment),

(e) kesan bahwa sesuatu itu memang dimaksudkan untuk dilakukan, dan

(f) perasaan menjadi diri yang sesungguhnya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Well-Being

Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi well-being, baik hedonic well-being maupun eudaimonic well-being.

a. Jenis Kelamin

(8)

Walaupun secara matematis perbedaan tersebut kurang dari 1%, namun perbedaan dalam hal intensitas emosional mencapai 13%. Itu sebabnya, lebih banyak wanita yang berada pada tingkat ekstrem skala (Diener, Such, Lucas, & Smith, dalam Diener, 2008). Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), terdapat perbedaan well-being yang signifikan, di mana wanita cenderung akan memiliki well-being yang lebih tinggi.

b. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989), menemukan adanya perbedaan tingkat well-being pada orang dari berbagai kelompok usia, sesuai dengan dimensi-dimensinya well-being yang dikemukakan oleh Ryff (1989).

c. Pernikahan, perceraian, dan hubungan Sosial

Jumlah atau kualitas hubungan sosial yang dimiliki seseorang berkorelasi secara signifikan terhadap well-being yang dimiliki seseorang. Pada umumnya, individu cenderung lebih bahagia saat mereka berada di antara teman dekat dan keluarga yang mendukung mereka, sedangkan orang-orang yang tidak memiliki teman dekat dan keluarga lebih cenderung tidak puas.

(9)

kehidupan, dan mungkin diperlukan waktu yang cukup bagi orang untuk bangkit kembali dari dampak negatif yang dialaminya, seperti perceraian (Lucas, dalam Diener 2008).

d. Pendidikan

Tidak terdapat hubungan antara tingkat inteligensi seseorang yang diperoleh dari hasil tes IQ terhadap well-being secara umum, namun emotional intelligence dihubungkan secara konsisten terhadap well-being (Furnham & Petrides; Schutte et al., dalam Diener 2008).

e. Pekerjaan

(10)

demands (yang dilihat dari work load (beban kerja) dan work complexity (kompleksitas pekerjaan)) berhubungan dengan calling seseorang, di mana semakin tinggi calling seseorang, makanya tingkat burn-out dalam bekerja juga akan semakin kecil.

f. Kepuasan diri personal, kehidupan agama atau spiritual, pembelajaran dan pertumbuhan, dan rekreasi

Bagi banyak orang ini adalah sumber kepuasan. Ketika kepuasan diri personal tidak tercapai, maka individu dapat mengalami frustrasi dan menjadi sumber kuat pemicu ketidakpuasan. Selain itu, ada hal-hal lain yang menjadi sumber kepuasan dan ketidakpuasan, seperti kesehatan, dan lain-lain sesuai dengan keunikan setiap individu (Ryff, 1989).

g. Tempramen dan Kepribadian

Sejumlah penelitian telah menunjukkan adanya peran temperamen dan kepribadian terhadap well-being. Penelitian membuktikan bahwa individu yang kembar identik menunjukkan kesamaan well-being yang lebih besar dibandingkan dengan individu yang kembar

(11)

B. Calling Orientation

Sebelum membahas mengenai calling orientation dalam bekerja, terlebih dahulu akan dibahas mengenai pemaknaan dari pekerjaan itu sendiri. Menurut Pratt dan Ashfort (dalam Rosso 2010), pemaknaan bekerja adalah hasil pemaknaan terhadap sesuatu sebagaimana individu menginterpretasikan makna pekerjaannya, atau sumbangsih dari pekerjaannya dalam konteks kehidupannya (misalnya: pekerjaan adalah gaji, calling, sesuatu yang dilakukan, suatu paksaan).

Persepsi mengenai pemaknaan bekerja sangat ditentukan oleh masing-masing individu, meskipun hal tersebut juga dipengaruhi oleh lingkungan dan konteks sosial (Wrzesniewski dkk, 2003). Fakta bahwa suatu bagian dari pekerjaan memiliki arti tertentu bukan berarti langsung menentukan bahwa pekerjaan tersebut memiliki kebermaknaan pada seseorang. Kebermaknaan mengacu pada jumlah hal yang signifikan bagi seseorang (Pratt & Ashfort dalam Rosso, 2010). Jumlah persepsi atau perasaan signifikan terhadap sesuatu dapat sangat berbeda pada seseorang dengan individu lainnya. Kebermaknaan kerja cenderung diasosiasikan dengan hal yang signifikan memberi peranan positif bagi seseorang.

(12)

Salah satu hal yang mempengaruhi orientasi seseorang dalam bekerja menurut Dubin (dalam Rosso, 2008) adalah keyakinannya terhadap pekerjaan itu sendiri. Memenuhi calling berarti adanya keyakinan pribadi yang signifikan terhadap pekerjaannya (Elangovant dalam Hagmaier & Abele, 2012).

Individu yang bekerja dengan calling orientation adalah individu yang merasa ada panggilan yang harus dipenuhi pada pekerjaannya, menikmati dan memaknai pekerjaannya secara intrinsik, dan melihat pekerjaannya sebagai pusat identitasnya (Wrzesniewski, dalam Duffy 2013). Sedangkan menurut Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schawrtz (1997), calling merupakan pekerjaan yang sangat memuaskan seseorang dan diyakini bisa membuat dunia menjadi tempat tinggal yang lebih baik. Berdasarkan pandangan tradisional, calling bermula dari konsep teologi Kristen. Menurut tradisi ini, individu ―dipanggil‖ oleh Tuhan untuk melakukan pekerjaan tertentu yang bertujuan untuk melayani Tuhan dan komunitasnya. Luther & Calvin menyatakan bahwa Tuhan akan menunjukkan calling atau panggilan bagi individu, baik melalui bakat kemampuan tertentu yang dimilikinya maupun keadaan lingkungannya (Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, 2009). Calvin & Luther (dalam Hagmaier & Abele, 2012) juga mengatakan bahwa calling merupakan konsep religius saat Tuhan memanggil seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan yang sesuai dengan talenta dan keadaan lingkungannya.

(13)

bekerja saat merasa dirinya terlibat, termotivasi secara intrinsik, dan pekerjaan yang dilakukannya juga dirasakan berdampak positif bagi area-area lainnya. Konsep calling juga lebih berorientasi pada eksplorasi diri pemenuhan kebutuhan (Dobrow, 2006; Elangovan, Pinder, & McLean, 2006; dan Wrzesniewski, McCauley, Rozin, & Schwartz, 1997; dalam Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, 2009).

Pandangan mengenai calling mungkin agak bergeser dari pandangan tradisional yang hanya ditemukan saat mengerjakan atau mencari jenis pekerjaan apapun yang diyakini seseorang dipanggil Tuhan untuk dikerjakan (Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, Calling, 2009). Namun baik pada pandangan tradisional maupun pandangan modern, ada asumsi eksplisit bahwa calling berlaku untuk semua jenis pekerjaan, tidak bersifat khusus bagi pekerjaan yang dianggap orang lain layak (Wrzesniewski, Dekas, & Rosso, Calling, 2009).

(14)

memperoleh kesenangan dan kepuasan yang lebih besar dari pekerjaannya (Wrzesniewski A. , McCauley, Rozin, & Schawrtz, 1997).

Selain keuntungan yang diperoleh individu dalam bentuk kepuasan, bekerja dengan calling orientation memiliki harga yang harus dibayar. Individu akan mengalami perubahan perilaku, sikap dan emosional yang lebih besar yang ditunjukkan dengan kecenderungan untuk menghabiskan waktu yang lebih banyak di tempat kerja dan memiliki kecenderungan untuk mengabaikan area-area aktivitas kehidupan yang lain (Wrzesniewski A. , McCauley, Rozin, & Schawrtz, 1997).

Pada penelitian ini, individu yang memiliki calling orientation didefinisikan sebagai individu yang menikmati pekerjaannya karena pekerjaan tersebut dapat meningkatkan potensi yang dimilikinya, memiliki kontribusi yang penting untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, serta sesuai dengan nilai-nilai pribadi yang dimilikinya sehingga pekerjaan tersebut melekat dalam dirinya sebagai identitas pribadinya.

1. Dimensi Calling Orientation

Menurut Hagmaier dan Abele (2012), ada beberapa dimensi yang terdapat dalam calling orientation, diantaranya:

a. Trancendent Guiding Force

(15)

b. Person-Environment-Fit

Kondisi di mana terjadi kesesuaian kemampuan, bakat, dan kualifikasi seseorang dengan pekerjaan yang dilakukannya.

c. Sense and Meaning-Value Driven Behavior

Mengacu pada nilai-nilai moral dan etis yang mempengaruhi hal-hal yang berhubungan dengan perilaku, seperti kejujuran, keadilan, dan sebagainya serta bagaimana pemaknaan seseorang terhadap pekerjaannya.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Calling Orientation

Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat calling orientation seseorang dalam bekerja menurut Longman (2011):

a. Pengaruh Teologis atau “Keimanan”

(16)

b. Kondisi Keluarga atau Relasi dalam “Keluarga”

Dukungan atau penolakan keluarga atau orang-orang yang dipersepsikan individu sebagai keluarga (kerabat atau teman) akan mempengaruhi calling orientation karena akan menentukan sense of self dan kesempatan-kesempatan yang bisa diambil seseorang.

c. Kondisi Lingkungan

Aspek-aspek dalam lingkungan (kondisi ekonomi, lokasi geografis, komunitas lokal, gereja, teman sebaya, lingkungan kerja, dan lain-lain) akan mempengaruhi apakah seseorang bisa untuk bisa memaksimalkan calling yang dimilikinya.

d. Budaya

Keyakinan bersama dan ritual-ritual dalam kebudayaan akan mempengaruhi semua aspek dalam kehidupan (misalnya warisan kebudayaan).

3. Cara Menaikkan Calling Orientation

Sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Dik & Duffy (dalam Duffy & Dik, 2013) bahwa calling merupakan suatu spektrum yang bersifat kontinum, artinya calling bisa mengalami kondisi naik dan turu. Berikut ini beberapa cara untuk menaikkan level calling seseorang, dinantaranya adalah:

a. Behavioral Involvement (Keterlibatan Perilaku)

(17)

meningkatkan calling-nya akan meningkatkan calling seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa musisi yang berada dalam sekolah musik memiliki calling yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak.

b. Social Encouragements (Dorongan Sosial)

Orang yang mendapatkan dukungan sosial dari sekelilingnya, seperti orangtua, guru, teman atau significant person yang lain akan memiliki tingkat calling yang lebih tinggi (Dobrow, 2013).

C. Pemimpin Kelompok Kecil

1. Definisi Pemimpin Kelompok Kecil

Pemimpin dalam konteks Kekristenan berbeda dengan pemahaman kita sehari-hari. Kita sering mengasosiasikan bahwa seorang pemimpin adalah orang-orang yang duduk di bangku pemerintahan atau orang yang mengepalai suatu perusahaan, atau mereka yang memiliki jabatan tertinggi dalam suatu institusi (Sendjaya, 2012). Pemimpin dianggap sebagai orang yang menggunakan kedudukan untuk melindungi diri sendiri, memperoleh status pribadi dan kekuasaan orang lain (Barker, 2000). Sebaliknya, orang Kristen berbicara tentang pemimpin yang menjadi hamba (Barker, 2000). Kepemimpinan tidak identik dengan posisi. Kepemimpinan adalah sebuah fungsi (Sendjaya, 2012).

(18)

kelompok kecil adalah setiap tindakan yang dilakukan untuk menolong kelompok mencapai tujuannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggota (Barker, 2010). Dalam kelompok kecil, pemimpin melayani kelompok dengan cara mengajukan usul-usul untuk perjanjian kelompok, mengambil inisiatif untuk mengadakan aktivitas agar anggota kelompok mengenal satu sama lain, memberikan dorongan kepada anggota kelompok untuk memimpin dan menggunakan kemampuan mereka dengan cara memberikan kesempatan untuk melayani kelompoknya dengan menyanyi, memimpin Pemahaman Alkitab, dsb, serta menentukan harapan-harapan kelompok (Barker, 2010).

2. Peran Seorang Pemimpin Kelompok Kecil

Barker (2000), dalam bukunya yang berjudul Buku Pegangan Pemimpin Kelompok Kecil mengatakan bahwa pemimpin kelompok kecil memiliki peran-peran sebagai berikut:

a. Peranan dalam Kepemimpinan

(19)

Kedua, kebutuhan akan adanya tugas. Kelompok dapat melakukan penggalian terhadap Alkitab, melakukan pekabaran Injil, menolong satu dengan yang lain, dan sebagainya. Setiap kegiatan tersebut dilakukan secara bergantian sesuai kebutuhan dan agar anggota kelompok tidak merasa bosan. Setiap anggota perlu mengetahui apa yang menjadi tugasnya.

Ketiga, kebutuhan akan pemeliharaan kelompok. Tidak hanya kebutuhan pribadi anggota kelompok yang harus diperhatikan, tetapi kebutuhan kelompok juga. Ada saat untuk bersenang-senang, ada saat untuk menghadapi konflik, dan ada saat untuk mengevaluasi kelompok

i. Peranan Pemimpin dalam Tugas 1) Pemberi informasi dan opini 2) Pencari informasi dan opini

3) Pemrakarsa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh kelompok

4) Pengarah yang memusatkan perhatian kelompok terhadap pekerjaan yang harus dilakukan dan cara menyelesaikannya

5) Pembuat ringkasan hal-hal pokok yang telah dibicarakan dalam diskusi kelompok

(20)

7) Pembuat diagnosa yang menganalisa masalah-masalah yang dihadapi kelompok dalam menjalankan suatu tugas untuk mencapai tujuan

8) Pemberi semangat

9) Penguji yang merangsang kelompok untuk memikirkan manfaat dan kemungkinan lain dari usulan-usulan yang telah diberikan anggota kelompok

10)Penilai yang memperkirakan seberapa jauh kelompok telah berhasil mencapai tujuannya

ii. Peranan Pemimpin dalam Pemeliharaan Kelompok 1) Pendorong partisipasi anggota

2) Pencipta keharmonisan dan kesepakatan 3) Mengurangi ketegangan

4) Penolong dalam komunikasi 5) Penilai keadaan emosi 6) Pengamat proses 7) Penentu standar 8) Pendengar yang aktif 9) Pembangun kepercayaan

10)Menyelesaikan masalah atau konflik antar pribadi

D. Dinamika Calling Orientation Terhadap Well-Being pada PKK

(21)

pengalaman langsung dari aktivitas yang dilakukan (Waterman, 2007). Waterman (1993) membedakan well-being menjadi dua, yaitu eudaimonic well-being dan hedonic well-being. Eudaimonic well-being didefinisikan sebagai kepuasan dalam hidup seseorang saat melakukan aktivitas yang membuat potensi dirinya semakin berkembang dan membuatnya merasa memiliki hidup yang lebih bermakna. Sementara itu, hedonic well-being merupakan kondisi emosi positif dan menyenangkan yang dialami seseorang saat melakukan aktivitas tertentu, terlepas dari apakah aktivitas tersebut berhubungan dengan pengembangan potensi dirinya atau tidak.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi well-being seseorang, diantaranya jenis kelamin (Diener, Such, Lucas, & Smith dalam Diener, 2008); Ryff (1989); & Jaramillo (2011), usia (Ryff, 1989); hubungan sosial (Helliwell, Barrington-Leigh, Harris & Huang, dalam Diener, 2008), pendidikan (Furnham & Petrides; Schutte dan koleganya, dalam Diener 2008), kepuasan diri personal (Ryff, 1989), tempramen atau kepribadian (Diener, Lucas, & Fujita, dalam Diener & Ryan, 2009), dan pekerjaan (Wrzesniewski, dalam Diener, 2009); Boyd (2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) pada sampel orang dewasa dengan berbagai latar belakang untuk melihat tingkat well-being mereka, menunjukkan adanya perbedaan well-being jika ditinjau dari jenis kelamin.

(22)

dewasa madya dan dewasa akhir, memiliki tingkat well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan dewasa muda.

Pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi well-being seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Bowling & Hammond (dalam Jaramillo, 2011) menunjukkan bahwa kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya mempengaruhi well-being seseorang. Lebih lanjut, Kwok dan koleganya mengatakan bahwa motivasi pekerja voluntir berhubungan dengan well-being seseorang (Kwok, Chui, & Wong, 2013), di mana semakin tingggi motivasinya, maka well-being-nya juga akan semakin tinggi. Seniati (2006) mengatakan bahwa kepuasan kerja seseorang (yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi well-being) juga dipengaruhi oleh masa bekerja seseorang. Wrzesniewski (dalam Diener, 2009) mengatakan bahwa orang yang memiliki well-being yang lebih tinggi dalam pekerjaannya adalah orang yang bekerja karena calling orienation. Saat seseorang bekerja karena calling orientation, tidak berpengaruh apakah pekerjaan tersebut dibayar ataupun tidak dibayar, dia akan cenderung memiliki kepuasan hidup dan memiliki well-being yang lebih tinggi.

(23)

dimanifestaskan dalam bentuk kegiatan-kegiatan rohani yang didalamnya tercakup berdoa, penyembahan, dan meditasi (Glock & Starck, dalam Nelson, 2009). Pada penelitian ini, kegiatan rohani yang difokuskan adalah yang dilakukan di kampus dalam bentuk Kelompok Kecil. Forsyth, (dalam Aamodt, 2007) mengatakan bahwa kelompok kecil terdiri dari 4-20 orang. Pada penelitian ini, Kelompok Kecil diwadahi oleh suatu organisasi Kristen dalam kampus yang didalamnya terdiri dari Anggota Kelompok Kecil dan Pemimpin Kelompok Kecil. Seorang Pemimpin Kelompok Kecil adalah orang yang bertanggungjawab untuk mengarahkan dan membina Anggota Kelompok Kecil (AKK) yang dipimpinnya yaitu dengan memperlengkapi, memampukan, dan memperkuat orang yang dipimpinnya (Whallon, dalam Our Heritage, 2006). Gosling, Marturano, dan Dennison (2003) menyebut kepempinan yang seperti ini sebagai kepemimpinan yang melayani (servant leadership). PKK merupakan pekerjaan yang dilakukan secara sukarela tanpa mendapatkan uang maupun adanya peningkatan karir, sehingga jika ditinjau dari tiga orientasi kerja yang dikemukakan oleh Wrzesniewski (dalam Diener, 2008), pekerjaan yang dilakukan oleh PKK adalah karena calling orientation yaitu orang yang bekerja karena panggilan jiwa.

(24)

karena calling berarti individu tersebut menikmati pekerjaannya karena pekerjaan tersebut dapat meningkatkan potensi yang dimilikinya, memiliki kontribusi yang penting untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, serta sesuai dengan nilai-nilai pribadi yang dimilikinya sehingga pekerjaan tersebut melekat dalam dirinya sebagai identitas pribadinya.

Semakin tinggi calling seseorang dalam bekerja, maka well-being-nya juga akan semakin tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Boyd (2010), bahwa burn-out karena job demands (yang dilihat dari work load (beban kerja) dan work complexity (kompleksitas pekerjaan) berhubungan dengan calling seseorang, di mana semakin tinggi calling seseorang, maka tingkat burn-out dalam bekerja juga akan semakin

kecil, dan kepuasan kerjanya akan cenderung lebih besar. Kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi well-being seseorang (Kwok, Chui, & Wong, 2013).

(25)

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

a. Ho: Tidak ada pengaruh calling orientation terhadap eudaimonic well-being pada PKK di UKM KMK USU.

b. Ho: Tidak ada pengaruh calling orientation terhadap hedonic well-being pada PKK di UKM KMK USU.

c. Ha : Ada pengaruh calling orientation terhadap eudaimonic well-being pada PKK di UKM KMK USU.

Referensi

Dokumen terkait

Yaitu kelima skripsi diatas membahas mengenai dampak media sosial bagi remaja pada masa-masa pembelajaran serta mahasiswa pada proses interaksi dan fokus pada

Internet Connection Sharing merupakan sebuah fasilitas yang diberikan oleh Microsoft Windows yang berfungsi untuk menyediakan jaringan komputer dengan kemampuan untuk

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan ada pengaruh konsumsi teh hitam kemasan cup terhadap kadar hemoglobin pada mahasiswa semester

The results for the knowledge measure also showed that subjects in the High-InfoControl condition had a higher level of knowledge for the relationship between the values of

Then, in Study 1, we test the validity and convergence of IAT-based measures of implicit brand attitudes and con- sumer–brand relationship strength, contrasting them with

Tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu saat pada sapi perah di Indonesia juga dapat terjadi resistensi cacing terhadap antelmintik yang diberikan, mengingat pola pemberian obat

Apabila harga transaksi dalam suatu pasar yang tidak aktif berbeda dengan nilai wajar instrumen sejenis pada transaksi pasar terkini yang dapat diobservasi atau berbeda dengan

Kepada Jemaat yang baru pertama kali mengikuti ibadah dalam Persekutuan GPIB Jemaat “Immanuel” Depok dan memerlukan pelayanan khusus, dapat menghubungi Presbiter yang