• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA. Achmad Syaichu *)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA. Achmad Syaichu *)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

35

POTENSI DAN PELUANG INVESTASI AYAM BURAS SERTA PEMASARANNYA

Achmad Syaichu *) ABSTRAK

Komoditas unggas (lebih dari 90 persen adalah kontribusi dari ayam ras) menduduki komoditas pertama untuk konsumsi daging di Indonesia yakni sebesar 56 persen. Meskipun demikian, sampai dengan akhir tahun 2004, konsumsi daging ayam ras dan telur di Indonesia juga masih rendah dibandingkan dengan beberapa negara Asean lainnya. Kenyataan bahwa telah terjadi pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan, urbanisasi, perubahan gaya hidup, serta peningkatan kesadaran akan gizi seimbang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa memicu terjadinya lonjakan permintaan produk daging ayam dan telur setiap tahun. Selama periode 1985-2003, konsumsi produk daging ayam dan telur meningkat dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 5,31 persen dan 4,25 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar dalam negeri untuk pengembangan industri perunggasan masih cukup menjanjikan.

Pada akhir tahun 2004 situasi pasar komoditas ayam ras cukup memberikan keuntungan yang relatif baik dibandingkan dengan periode tahun 2003 akibat merebaknya wabah flu burung. Hal ini secara rinci disajikan masing-masing pada Lampiran 16 untuk produk daging ayam ras dan telur ayam ras di tingkat peternak. Kondisi harga daging ayam ras, telur ayam ras, telur ayam lokal dan telur itik pada tahun 2002 di tingkat konsumen ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan pada akhir tahun 2004. Harga rata-rata ayam hidup selama tahun 2004 adalah Rp. 7,383,-/kg dengan BEP dicapai pada tingkat harga Rp. 6.800,-/kg, dimana peternak ayam ras pedaging memperoleh keuntungan ratarata Rp. 500,-/kg. Harga rata-rata telur adalah Rp. 6.465,-/kg, sedangkan BEP dicapai pada tingkat harga Rp. 7.030,-/kg. Peternak ayam petelur rata-rata mengalami kerugian Rp. 565,-/kg. Harga d.o.c. ayam ras pedaging rata-rata sebesar Rp. 2.560,-/ekor dengan ratarata biaya produksi sekitar Rp. 2.100,-/ekor tanpa perlakuan vaksinasi AI pada PS. Harga d.o.c. ayam ras petelur rata-rata mencapai Rp. 5.000,-/ekor.

Kata kunci: Ayam buras, Komoditas, BEP, Vaksin PENDAHULUAN

Usaha perunggasan (ayam ras) di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, dimana perkembangan usaha ini memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan pertanian. Industri perunggasan memiliki nilai strategis khususnya dalam penyediaan protein hewani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan peluang ekspor, disamping peranannya dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja. Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 2 juta tenaga kerja yang dapat diserap oleh industri perunggasan, disamping mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi 80 ribu peternak yang tersebar di seluruh Indonesia. Sumbangan produk domestik bruto (PDB) sub sektor peternakan terhadap pertanian adalah sebesar 12 persen (atas dasar harga berlaku), sedangkan untuk sektor pertanian terhadap PDB nasional adalah 17 persen pada tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa peran sub sektor peternakan terhadap pembangunan pertanian cukup signifikan, dimana

(2)

36

industri perunggasan merupakan pemicu utama perkembangan usaha di sub sektor peternakan.

Industri perunggasan di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha yang optimal, sehingga mampu bersaing dengan produk dari produk-produk unggas luar negeri. Produk unggas, yakni daging ayam dan telur, dapat menjadi lebih murah sehingga dapat menjangkau lebih luas masyarakat di Indonesia. Pembangunan industri perunggasan menghadapi tantangan yang cukup berat baik secara global maupun lokal karena dinamika lingkungan strategis di dalam negeri. Tantangan global ini mencakup kesiapan dayasaing produk perunggasan, utamanya bila dikaitkan dengan lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan, yang merupakan 60-70 persen dari biaya produksi karena sebagian besar masih sangat tergantung dari impor.

Upaya meningkatkan dayasaing produk perunggasan harus dilakukan secara simultan dengan mewujudkan harmonisasi kebijakan yang bersifat lintas Departemen. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan faktor internal seperti menerapkan efisiensi usaha, meningkatkan kualitas produk, menjamin kontinuitas suplai dan sesuai dengan permintaan pasar. Terwujudnya industri perunggasan yang berdayasaing dicirikan oleh ketidak-tergantungan terhadap komponen bahan baku impor dan terjadinya transformasi dari skala usaha yang subsisten ke skala menengah maupun skala besar.

KONDISI AGRIBISNIS UNGGAS SAAT INI A. Usaha Budidaya

1. Ayam ras pedaging

Populasi final stock ayam pedaging pada tahun 2004 mencapai 895 juta ekor dengan Jawa Barat (30 persen) dan Jawa Timur (15 persen) berturut-turut sebagai wilayah terpadat (Lampiran 1). Kapasitas produksi terpasang usaha pembibitan telah mencapai 30 - 36 juta d.o.c. per minggu, dimana saat ini hanya berproduksi sekitar 20 juta ekor d.o.c. Populasi bibit induk (grand parent stock = GPS) ayam ras pedaging pada akhir tahun 2004 mencapai 300 ribu ekor menurun sekitar 5 persen dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Penurunan ini disebabkan penambahan dari impor hanya sebesar 52 persen, sedangkan pengurangan karena culling (replacement) dan mati sebanyak 57 persen. Populasi bibit komersial (parent stock = PS) mencapai 10 juta ekor, meningkat 8 persen dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Peningkatan ini disebabkan penambahan produksi dalam negeri sebesar 25 persen, sedangkan pengurangan karena culling dan mati sebesar 17 persen. Perkembangan impor menunjukkan bahwa impor GPS ayam ras pedaging turun sebesar 25 persen pada akhir tahun 2004, saat ini tidak terdapat impor PS. 2. Ayam ras petelur

Populasi final stock ayam petelur pada tahun 2004 mencapai 80 juta ekor dengan Jawa Timur (17 persen) dan Sumatera Utara (16 persen) berturut-turut sebagai wilayah terpadat (Lampiran 2). Kapasitas produksi terpasang usaha budidaya dapat mencapai 3.500 ton telur per hari, sedangkan produksi saat ini hanya mencapai 2.800 ton. Populasi GPS ayam petelur pada akhir tahun 2004 mencapai 28 juta ekor atau menurun sebesar 16 persen dibandingkan pada pertengahantahun 2004, yang disebabkan karena penambahan impor sebesar 19 persen, sedangkan pengurangan karena culling dan mati sebesar 35 persen. Populasi PS ayam petelur mencapai satu juta ekor pada periode yang sama atau menurun 5 persen dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Hal ini disebabkan karena

(3)

37

penambahan produksi dalam negeri yang hanya 5 persen, sedangkan pengurangan karena culling dan mati sebesar 10 persen. Perkembangan impor menunjukkan bahwa impor GPS ayam ras petelur mencapai 3.000 ekor atau turun 40 persen dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Hal yang sama seperti pada ayam ras pedaging, saat ini tidak terdapat impor PS untuk ayam petelur. Sehubungan Indonesia masih belum dinyatakan bebas penyakit Avian Influenza (AI), maka ekspor d.o.c. maupun hatching egg diberhentikan sementara.

3. Ayam lokal

Populasi ayam lokal pada akhir tahun 2004 mencapai 271 juta ekor dengan Jawa Timur (13 persen) dan Jawa Tengah (12 persen) berturut-turut sebagai wilayah terpadat (Lampiran 3). Produksi telur pada tahun 2004 mencapai 191 ribu ton (Lampiran 4) dan produksi daging sebanyak 314 ribu ton (Lampiran 5). Usaha-usaha komersial sudah mulai berkembang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Peningkatan populasi ayam juga akan mengakibatkan melimpahnya hasil samping dari tindakan pemotongan yaitu berupa cakar ayam dan jeroan. Hasil samping ini belum dimanfaatkan secara optimal, dimana melalui teknologi yang sederhana, hal ini dapat menjadi peluang usaha untuk investasi di bidang pengolahan industri pangan (keripik cakar dan jeroan).

4. Itik

Populasi ternak itik pada akhir tahun 2004 mencapai 35 juta ekor dengan Jawa Barat sebagai wilayah terpadat (14 persen). Produksi telur mencapai 194 ribu ton dan produksi daging mencapai 22 ribu ton. Sebagian besar ternak itik dipelihara secara tradisional, namun di beberapa wilayah telah berkembang usaha-usaha komersial dengan sistem pemeliharaan yang intensif. Volume ekspor bulu itik pada akhir tahun 2004 mencapai 231,5 ton dengan nilai ekspor sebesar U$ 260 ribu dollar. Hal ini menunjukkan masih banyak bulu itik yang belum dimanfaatkan untuk diolah sebagai komoditas ekspor yang bernilai. Dengan adanya teknologi separasi bulu diharapkan bulu itik yang dihasilkan dapat meningkatkan mutu dan harga menjadi relatif lebih tinggi.

B. Profil Usaha Industri Perunggasan

Usaha ayam ras dilihat dari sisi produksi telah mampu memanfaatkan peluang pasar yang ada. Peternakan ayam ras telah berkembang menjadi suatu industri yang terintegrasi secara vertikal dan sangat dinamis karena didukung oleh perusahaan yang padat modal dengan sistem manajemen yang modern. Pada segmen hulu, perusahaan besar tersebut mengembangkan dan menguasai industri mulai dari bibit, pakan dan obat serta vaksin, yang dalam peranannya bertindak sebagai motor penggerak pemasok input. Produk primer dalam bentuk karkas memang merupakan preferensi sebagian masyarakat Indonesia dengan harga terjangkau dan tidak memerlukan fasilitas pendingin (cold storage).

1. Ayam ras pedaging

Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa usaha peternakan ayam ras pedaging banyak dilakukan dalam bentuk pola-pola kemitraan, meskipun ada juga yang melakukan secara mandiri. Beberapa pola kemitraan yang berlangsung adalah pola kemitraan inti-plasma, poultry shop, contract farming, dan sewa kandang. Naskah ini menyajikan analisis

(4)

38

ekonomi usaha ayam ras pedaging secara mandiri, pola kemitraan inti-plasma dan pola kemitraan dengan poultry shop pada skala usaha 15,000 ekor. Masing-masing nilai B/C yang diperoleh secara berturut-turut adalah 1,16; 1,28 dan 1,25 (Lampiran 9, 10 dan 11). Hal ini menunjukkan bahwa usaha ayam ras pedaging cukup memberikan peluang usaha yang baik, sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku.

2. Ayam ras petelur

Usaha peternakan ayam petelur banyak dilakukan secara mandiri, meskipun ada juga yang dilaksanakan melalui pola kemitraan dengan poultry shop. Pada pemeliharaan pola mandiri ayam siap bertelur (pullet) lebih banyak dipergunakan oleh peternak, dibandingkan dengan penggunaan d.o.c. seperti pada pola kemitraan dengan poultry shop. Nilai B/C yang diperoleh dari hasil estimasi pada skala usaha 10.000 ekor adalah 1,29 dan 1,13 masing-masing untuk usaha mandiri dan pola kemitraan dengan poultry shop (Lampiran 12 dan 13). Hal ini memberikan indikasi bahwa usaha peternakan ayam ras petelur mempunyai keuntungan yang relatif baik bagi para peternak.

3. Ayam lokal

Usaha beternak ayam lokal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan petani di perdesaan, sehingga jenis usaha ini pada umumnya tidak diutamakan bagi perolehan keuntungan. Estimasi perhitungan B/C pada skala usaha 1.000 ekor dilakukan dalam suatu kelompok peternak di wilayah Jombang, Jawa Timur dengan nilai 1,04 (Lampiran 14). Hal ini dilakukan dengan pola semi intensif sebagai penghasil daging dengan ratarata berat karkas 0,8 kg.

4. Ternak itik

Perkembangan usaha peternakan itik dengan cepat mengarah pada pergeseran dari sistem pemeliharaan tradisional kepada sistem intensif yang sepenuhnya terkurung. Pergeseran ini menunjukkan bahwa usaha peternakan itik bukan saja hanya sekedar usaha sambilan, akan tetapi sudah memiliki orientasi komersial baik sebagai cabang usaha atau usaha pokok. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa usaha peternakan itik adalah cukup menguntungkan dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga, disamping prospek pasar yang cukup bagus. Hasil perhitungan estimasi B/C didasarkan atas pemeliharaan ternak itik secara kelompok pada skala usaha 1.000 ekor dengan nilai 1,20

C. Pasar dan Harga

Perkembangan pasar dan harga produk perunggasan untuk komoditas ayam ras, baik pedaging maupun petelur sangat berfluktuatif tergantung dari kesediaan pasokan input dan output. Hal tersebut pada perunggasan ayam lokal dan itik tidak terlalu berpengaruh. Pada akhir tahun 2004 situasi pasar komoditas ayam ras cukup memberikan keuntungan yang relatif baik dibandingkan dengan periode tahun 2003 akibat merebaknya wabah flu burung. Hal ini secara rinci disajikan masing-masing pada Lampiran 16 untuk produk daging ayam ras dan telur ayam ras di tingkat peternak. Kondisi harga daging ayam ras, telur ayam ras, telur ayam lokal dan telur itik pada tahun 2002 di tingkat konsumen ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan pada akhir tahun 2004. Harga rata-rata ayam

(5)

39

hidup selama tahun 2004 adalah Rp. 7,383,-/kg dengan BEP dicapai pada tingkat harga Rp. 6.800,-/kg, dimana peternak ayam ras pedaging memperoleh keuntungan ratarata Rp. 500,-/kg. Harga rata-rata telur adalah Rp. 6.465,-/kg, sedangkan BEP dicapai pada tingkat harga Rp. 7.030,-/kg. Peternak ayam petelur rata-rata mengalami kerugian Rp. 565,-/kg. Harga d.o.c. ayam ras pedaging rata-rata sebesar Rp. 2.560,-/ekor dengan ratarata biaya produksi sekitar Rp. 2.100,-/ekor tanpa perlakuan vaksinasi AI pada PS. Harga d.o.c. ayam ras petelur rata-rata mencapai Rp. 5.000,-/ekor meskipun di wilayah Sumatera dapat mencapai Rp. 6.500,-/ekor.

PROSPEK, POTENSI DAN ARAH PENGEMBANGAN A. Potensi

Salah satu prospek pasar yang menarik dan perlu dikembangkan adalah industri pakan unggas. Dayasaing produk perunggasan dinilai merupakan tantangan yang cukup kuat bagi perkembangan industri perunggasan, terlebih jika dikaitkan dengan pasar global. Komponen terbesar untuk memperoleh produk yang berdayasaing terletak pada aspek pakan, dimana biaya pakan ini merupakan komponen tertinggi dalam komposisi biaya produksi industri perunggasan, berkisar antara 60-70 persen. Bukti empiris menunjukkan bahwa lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan menjadi salah satu kendala dalam menghasilkan produk unggas yang berdayasaing. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan bahan baku utama pakan unggas yang sebagian besar terdiri dari jagung, dimana impor jagung untuk kebutuhan pakan unggas terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada akhir tahun 2004 hal tersebut mencapai 1,7 juta ton. Jika konsumsi pakan unggas mencapai 7,2 juta ton, maka diperlukan jagung sebesar 3,5 juta ton. Diproyeksikan masing-masing pada tahun 2010 dan tahun 2020, impor jagung dapat mencapai 4 juta ton dan 8 juta ton jika produksi jagung nasional tidak tumbuh. Jagung untuk pakan unggas memiliki prospek pasar yang sangat baik, dimana dinyatakan bahwa jika industri unggas tumbuh dengan baik, maka kebutuhan akan jagung juga akan terus meningkat. Pengembangan komoditas jagung perlu mendapatkan perhatian baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat petani. Sementara itu Indonesia mempunyai potensi bahan pakan lain yang berasal dari limbah agroindustri. Kajian awal menunjukkan bahwa bahan-bahan tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai salah satu komponen sumber energi ayam dan itik.

B. Arah Pengembangan 1. Ayam ras

Program ekstensifikasi berupa pembukaan perkebunan jagung dengan sistem PIR dapat dilakukan guna meningkatkan produksi nasional. Salah satu prospek pasar yang perlu dipertimbangkan adalah mendekatkan peternakan unggas dengan usaha pengembangan sapi potong di daerah perkebunan jagung. Pemanfaatan sarana transportasi jagung lewat sungai, seperti yang telah dikembangkan di Amerika melalui sungai Missisipi, terbukti sangat efisien dan menguntungkan. Dengan demikian ada jaminan kontinuitas suplai jagung yang sangat dibutuhkan oleh pabrik pakan.

Pengembangan unggas ke depan harus mulai dipikirkan di luar Jawa, dimana ketersediaan pasokan bahan pakan masih memungkinkan, serta prospek pemasaran yang baik. Pengalaman wabah Avian Influenza (AI) beberapa waktu yang lalu memberi pelajaran bahwa sudah saatnya dilakukan desentralisasi industri perunggasan nasional. Upaya ini akan sangat baik ditinjau dari berbagai aspek, baik teknis, ekonomis maupun

(6)

40

sosial, dan dalam hal ini memerlukan dukungan kebijakan termasuk ketersediaan inovasi teknologi yang sesuai dengan perkembangan usaha. Peranan pemerintah juga harus memperhatikan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk: (a) melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil, (b) mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan di pasar dalam negeri, (c) pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular, serta (d) dukungan pembangunan infrastruktur penunjang lainnya. Untuk memberi kepastian berusaha pada peternakan mandiri perlu dibuat mekanisme yang menjamin transparansi dalam hal informasi produksi d.o.c., biaya bahan-bahan input, serta kondisi pasar (permintaan, produksi, dan harga).

2. Ayam lokal

Ayam lokal merupakan sumberdaya dalam negeri yang sudah beradaptasi dengan lingkungan di perdesaan selama berabad-abad. Mengingat populasinya yang cukup tinggi, maka secara nasional ayam lokal turut berperan sebagai penyedia protein hewani bagi masyarakat. Ayam lokal dipelihara dengan sistem tradisional dengan memanfaatkan sisa makanan dapur dan lainnya di sekitar pekarangan. Hampir setiap rumah tangga petani di perdesaan memiliki ayam lokal sebagai tabungan dan hanya mendapat perhatian sedikit dari pemiliknya. Petani yang membutuhkan uang tunai, baik untuk keperluan anak sekolah maupun kebutuhan yang mendesak lainnya, dengan mudah mendapatkannya dengan menjual ayam lokal. Dengan sistem pemeliharaan tersebut, maka ayam lokal sangat rentan terhadap serangan penyakit, khususnya penyakit tetelo (new castle diseases) dan AI.

3. Itik

Di Indonesia itik umumnya diusahakan sebagai penghasil telur, sedangkan potensi itik sebagai penghasil daging masih perlu dikaji lebih lanjut. Peternakan itik didominasi oleh peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional. Saat ini, pemeliharaan itik untuk bibit dan untuk produksi di tingkat masyarakat masih belum dapat dibedakan. Pembibit umumnya menetaskan telur dari induk yang biasanya digunakan untuk produksi dan seleksi hanya terbatas pada penampilan telur, seperti bobot, ketebalan kerabang, bentuk dan warna. Industri pembibitan itik merupakan salah satu yang memiliki propek pasar yang baik, mengingat permintaan bibit itik petelur di Indonesia cukup tinggi.

(7)

41

Gambar 1. Pohon industri agribisnis ternak unggas

TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan pengembangan agribisnis komoditas unggas adalah (a) membangun kecerdasan dan menciptakan kesehatan masyarakat seiring dengan bergesernya permintaan terhadap produk yang aman dan berkualitas, (b) meningkatkan pendapatan peternak melalui peningkatan skala usaha yang optimal berdasarkan sumberdaya yang ada, (c) menciptakan lapangan kerja yang potensial dan tersebar hampir di seluruh wilayah, dan (d) meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan devisa negara.

Sasaran pengembangan agribisnis komoditas unggas terbagi sesuai pengembangan komoditas yang terdiri dari ayam ras, ayam lokal dan itik. Sasaran pengembangan agribisnis komoditas ayam ras lebih ditujukan untuk (a) meningkatkan produktivitas dan produksi ayam pedaging dan petelur sehingga produknya dapat lebih terjangkau oleh masyarakat luas dari sisi harga dan akses perolehan, dan (b) mengurangi ketergantungan bahan baku impor, utamanya untuk komponen pakan. Sasaran pengembangan komoditas agribisnis ayam lokal adalah (a) menekan angka kematian melalui penyediaan obat hewan dan vaksin dalam jumlah yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat, (b) meningkatkan substitusi impor dan diversifikasi produk unggas, serta (c) menciptakan produk organik berdasarkan pangsa pasar tertentu. Sasaran pengembangan komoditas agribisnis itik adalah (a) meningkatkan produktivitas dan produksi itik lokal

(8)

42

melalui program pembibitan yang terarah, dan (b) memenuhi respon permintaan agroindustri baik untuk produk telur maupun daging itik.

KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROGRAM

Memperhatikan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman usaha pengembangan komoditas unggas di Indonesia, diperlukan suatu kerangka pikir (road map) untuk menjadi acuan dalam menentukan langkah-langkah operasional guna memecahkan permasalahan yang ada. Hal ini tertuang dalam penerapan programprogram pembangunan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang disertai dengan komponen pendukung mulai dari arah kebijakan dan pembiayaan pengembangan usaha perunggasan. Roadmap pengembangan komoditas unggas meliputi kondisi awal tahun 2005, strategi pengembangan untuk mencapai tujuan antara (2005 - 2010) dan target ideal pada tahun 2020 untuk ternak ayam ras, ayam lokal dan itik sebagai penghasil daging dan telur dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat (Gambar 2). Masing-masing komponen dikelompokkan dalam kegiatan on-farm, off-farm, kebijakan pendukung serta aspek pemasaran dan perdagangan.

A. Kegiatan On-farm

Program kerjasama pola kemitraan merupakan salah satu alternatif pilihan yang dapat dijalankan secara obyektif dan harus menguntungkan kedua belah pihak, baik perusahaan sebagai inti maupun peternak sebagai plasma. Peraturan dan kesepakatan yang ada pada program tersebut sangat rumit pada taraf realisasinya, tetapi pemikirannya sangat bagus sehingga perlu terus disempurnakan dalam pelaksanaannya. Pola kerjasama kemitraan adalah suatu pola yang memerlukan kepercayaan dan suasana kekeluargaan diantara pelaku terkait. Oleh karenanya kesuksesan pola kerjasama kemitraan ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan usaha, permodalan, kualitas sumberdaya manusia, penyuluhan dan pembinaan. Perlu dikembangkan secara jelas siapa pelaku, penjamin, pelaksana, pengawas dan evaluasi model kemitraan agar terdapat transparansi dalam pelaksanaannya di lapangan.

B. Kegiatan Off-farm

Industri pakan unggas dengan bahan baku utama yang sebagian besar terdiri dari jagung merupakan program yang perlu dibenahi dengan strategi pengembangan jagung secara berkelanjutan. Hal ini meliputi percepatan inovasi teknologi penggunaan jagung bibit unggul (hibrida dan komposit) dan distribusi benih agar sampai langsung ke pengguna dengan mudah. Produksi jagung dalam negeri sangat sulit diprediksi dan direncanakan, sehingga strategi pengembangan dalam penyediaan silo dan mesin pengering (dryer) dengan skala yang memadai sangat diperlukan.

Industri obat hewan juga masih sepenuhnya tergantung dari komponen impor, yang sangat rentan terhadap faktor eksternal utamanya pengaruh nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Pengembangan dan pemanfaatan obat hewan serta vaksin lokal masih belum berjalan sesuai degan harapan. Perlu adanya dorongan dalam menggunakan produk obat hewan dan vaksin dalam negeri melalui program promosi yang harus digalakkan dalam upaya pemanfaatan dan pengembangannya. Hasil inovasi Badan Litbang Pertanian merupakan salah satu alternatif strategi pengembangan yang diusulkan,

(9)

43

mengingat obat hewan dan vaksin tersebut telah dikembangkan sesuai dengan kondisi dan iklim di Indonesia.

C. Pemasaran dan Perdagangan

Terjaminnya aspek permintaan dan penawaran produk unggas merupakan tujuan dari usaha perunggasan yang dilakukan. Transparansi informasi dalam aspek produksi dan konsumsi produk unggas perlu dibenahi sehingga diperoleh data secara lengkap dan akurat. Perlu dibentuk forum informasi industri perunggasan yang independen dari berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah, yang pada intinya dapat lebih memberikan bantuan dan peran yang positif bagi PINSAR. Forum ini dapat membahas aturan main dalam hal pengembangan, pemantapan pasar/harga dan perluasan pasar baru dan dapat mengembangkan pusat informasi pasar dan dana pembinaan serta stabilisasi, terutama stabilisasi supply produk telur dan daging ayam. Untuk merealisir pemikiran tersebut diatas, pemerintah harus mampu membangun keadaan yang kondusif dengan instrumen: fiskal, moneter, perijinan dan membangun dayasaing yang kuat dengan instrumen tarif dan pajak. Tarif impor perlu diberlakukan dan bukan dibebaskan, sementara pajak ekspor harus diturunkan, dengan catatan perlu memperhatikan kesepakatan WTO yang ada.

Disamping kewajiban untuk mematuhi kesepakatan global (WTO), kiranya perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan UU Anti Monopoli dan UU Otonomi Daerah dalam mengembangkan strategi industri perunggasan di Indonesia di masa yang akan datang. Semua pihak harus mampu merebut dan menciptakan pasar di dalam maupun di luar negeri, serta mempertahankan dan menumbuhkembangkan pasar yang sudah ada, agar kekuatan dan energi yang dipergunakan untuk melakukan persaingan, pertentangan dan kompetisi tidak sehat diubah menjadi bentuk kerjasama yang sinergis. Sistem perpajakan, perkreditan, penyangga harga dan pemasaran serta ketersediaan informasi yang akurat perlu secara terus menerus diperbaiki, disempurnakan dan disosialisasikan secara meluas. Kebijakan yang ada tentang hal-hal tersebut perlu secara konsisten dimonitor dan dievaluasi di dalam pelaksanaannya.

E. Strategi

Strategi untuk mencapai tujuan, sasaran dan efektivitas implementasi kebijakan tersebut adalah melalui pembangunan industri agribisnis komoditas ternak unggas, yang mencakup kegiatan-kegiatan dari sektor hulu sampai hilir. Hal ini sangat terkait dengan kunci dayasaing produk perunggasan yaitu efisiensi pada setiap segmen rantai pasokan dan keterkaitan fungsional antar segmen dalam memelihara konsistensi setiap pelaku usaha dalam memenuhi kesepakatan dan standar yang digunakan. Guna menciptakan hal tersebut diperlukan selain integrasi vertikal antar segmen rantai pasokan juga integrasi horizontal antar pelaku dalam satu segmen. Industri agribisnis dapat merupakan usaha berskala menengah dan besar. Pada dasarnya, perusahaan-perusahaan agribisnis yang didirikan diarahkan untuk berkembang secara terintegrasi baik secara individu (satu perusahaan) maupun banyak pelaku usahaternak yang bergabung dalam satu wadah kelompok. Dengan pendekatan industri agribisnis maka program-program pembangunan peternakan unggas tidak hanya terfokus pada aspek produksi tetapi meliputi programprogram yang terkait dalam sistem agribisnis mulai dari hulu sampai ke hilir. Program-program tersebut terdiri atas 3 kelompok yakni:

(10)

44 1. Sektor hulu

Program sektor hulu diutamakan untuk menjamin terpenuhinya penyediaan bibit berupa d.o.c., pakan, vaksin dan obat hewan serta peralatan. Program pembibitan lainnya diarahkan pada pengembangan ternak ayam lokal dan itik.

2. Sektor budidaya

Program peningkatan produktivitas dan produksi ayam ras lebih diarahkan pada pengembangan transformasi skala usaha rakyat mencapai skala menengah melalui pendekatan pola produksi yang lebih efisien dan kelembagaan. Program tersebut untuk unggas lokal ditujukan pada perbaikan manajemen usahaternak mandiri sehubungan dengan pencegahan penyakit ternak dan peningkatan produktivitas dan produksi itik. 3. Sektor hilir

Program peningkatan nilai tambah yang terkait dengan pascapanen dan proses pengolahan sehingga tercipta diversifikasi produk. Tujuan program ini adalah meningkatkan insentif bagi pelaku usaha, utamanya adalah peternak.

F. Program

Program utama pengembangan agribisnis komoditas unggas sangat terkait dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Guna menjamin penyediaan pasokan d.o.c. ayam ras yang akan merefleksikan kebutuhan pakan, maka transparansi dalam informasi produksi di sektor hulu sangat membantu peternak maupun pemerintah untuk menentukan langkah dan sikap bila terjadi kelangkaan atau kelebihan produk.

Program ekstensifikasi dapat dilakukan dengan perluasan areal tanaman jagung, misalnya dengan memanfaatkan lahan “tidak berfungsi” yang relatif masih luas. Namun lahan seperti ini biasanya merupakan lahan marjinal yang penuh tantangan, baik dari segi kesuburan, ekologi, maupun ketersediaan sarana-prasarana pendukung. Justru yang saat ini belum banyak diperhatikan adalah penanaman jagung di kawasan perkebunan melalui pola integrasi. Apabila setiap tahun terdapat peremajaan kebun sebesar 4 persen, dan

(11)

45

penanaman tumpang sari dapat dilakukan selama 4 tahun sebelum canopy menutup permukaan lahan, maka setiap tahun tersedia sekitar 16 persen areal perkebunan yang dapat dimanfaatkan untuk ekstensifikasi penanaman jagung. Dari kawasan perkebunan kelapa sawit saja, yang saat ini luasnya sekitar 5 juta ha, terdapat potensi untuk mengembangkan corn estate seluas hampir satu juta hektar. Bila kawasan ini dimanfaatkan, maka akan tersedia tambahan jagung sedikitnya 3 juta ton, atau dua kali lipat dari total impor saat ini. Di kawasan ini sudah terbangun prasarana jalan yang sangat baik, serta manajemen yang relatif lebih mudah. Program diversifikasi penggunaan sumber energi selain jagung juga perlu mendapat perhatian.

INVESTASI

A. Investasi Masyarakat

Investasi masyarakat dalam hal ini dapat berupa investasi sumberdaya dan produksi yang meliputi aset tetap seperti lahan, kandang dan tenaga kerja. Sumber pembiayaan dapat berupa kredit dari perbankan maupun lembaga keuangan formal lainnya, serta tidak menutup kemungkinan lembaga keuangan non-formal seperti pinjaman kelompok maupun koperasi bersama.

B. Investasi Swasta

Pangsa kebutuhan investasi swasta untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam pedaging dan petelur rata-rata berkisar antara 80 persen, berturut-turut adalah sebesar Rp. 9,5 trilyun dan Rp. 3,8 trilyun. Estimasi kebutuhan investasi swasta untuk pengembangan komoditas ayam lokal dan itik adalah sekitar 10 persen, dengan nilai Rp. 0,5 trilyun untuk ayam lokal dan Rp. 250 milyar untuk ternak itik. Bentuk investasi swasta dapat berupa peningkatan penyediaan sarana input seperti peningkatan pasokan bibit, pabrik pakan, peralatan serta obat dan vaksin. Investasi di sektor hilir seperti pabrik pengolahan dan prosesing produk unggas seperti penyediaan sarana cold storage dan pembangunan pabrik tepung telur perlu mendapat perhatian yang serius.

(12)

46 C. Investasi Pemerintah

Investasi pemerintah utamanya terfokus pada kegiatan promosi dalam upaya meningkatkan konsumsi daging dan telur yang aman, sehat, utuh dan halal. Pelayanan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat sejak usia dini tentang manfaat mengkonsumsi daging dan telur perlu dilakukan secara konsisten. Investasi oleh pemerintah juga diperlukan dalam upaya mengoptimalkan penggunaan laboratorium maupun pos kesehatan hewan yang tersebar di seluruh propinsi. Hal ini sangat terkait dengan lalu lintas ternak antara kabupaten/kota, propinsi maupun pulau serta pengawasan kesehatan hewan. Peran pemerintah juga diharapkan dalam aspek penelitian dan pengembangan, utamanya dalam hal menyediakan alternatif bahan baku pakan berdasarkan sumberdaya lokal. Demikian pula halnya dengan identifikasi dan evaluasi untuk pengembangan ayam lokal yang resisten terhadap penyakit, serta peningkatan mutu genetik itik.

PENUTUP

Penelitian tentang potensi dan peluang investasi ayam buras ini bertujuan agar dapat dipergunakan sebagai acuan dalam mengembangkan dan membina kawasan agribisnis ayam buras dan sekaligus merupakan kelengkapan pedoman umum pengembangan kawasan agribisnis berbasis peternakan.

Selain kebutuhan minimal komponen kawasan yang harus ada dalam suatu kawasan peternakan ayam buras baik untuk usaha ayam pedaging, dalam buku ini diuraikan pula komponen kawasan yang dapat dipergunakan sebagai pedoman evaluasi untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan upaya pengembangan dan pembinaannya.

Diharapkan penelitian ini dapat dipergunakan oleh semua pihak yang terkait dalam pengembangan dan kawasan agribisnis peternakan ayam buras maupun ayam lokal.

*) Dosen Teknik Industri STT POMOSDA Nganjuk DAFTAR PUSTAKA

Ariani. 1999. Perspektif pengembangan ayam buras di Indonesia (Tinjauan dari aspek konsumsi daging ayam). hlm. 700-705. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Fuadi, A. 1996. Analisis Permintaan Ayam Kampung oleh Restoran di Kotamadya Pontianak. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

Gunawan. 2002. Evaluasi Model Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras dan Upaya Perbaikannya. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Hastono. 1999. Peluang pengembangan ayam buras di lahan pasang surut Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. hlm. 691-699. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 1-2 Desember 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.

Gambar

Gambar 1. Pohon industri agribisnis ternak unggas

Referensi

Dokumen terkait