• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas I. PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Unggas I. PENDAHULUAN"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

Usaha perunggasan (ayam ras) di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, dimana perkembangan usaha ini memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan pertanian. Industri perunggasan memiliki nilai strategis khususnya dalam penyediaan protein hewani untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan peluang ekspor, disamping peranannya dalam memanfaatkan peluang kesempatan kerja. Saat ini diperkirakan terdapat sekitar 2 juta tenaga kerja yang dapat diserap oleh industri perunggasan, disamping mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi 80 ribu peternak yang tersebar di seluruh Indonesia. Sumbangan produk domestik bruto (PDB) sub sektor peternakan terhadap pertanian adalah sebesar 12 persen (atas dasar harga berlaku), sedangkan untuk sektor pertanian terhadap PDB nasional adalah 17 persen pada tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa peran sub sektor peternakan terhadap pembangunan pertanian cukup signifikan, dimana industri perunggasan merupakan pemicu utama perkembangan usaha di sub sektor peternakan.

Industri perunggasan di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha yang optimal, sehingga mampu bersaing dengan produk dari produk-produk unggas luar negeri. Produk unggas, yakni daging ayam dan telur, dapat menjadi lebih murah sehingga dapat menjangkau lebih luas masyarakat di Indonesia. Pembangunan industri perunggasan menghadapi tantangan yang cukup berat baik secara global maupun lokal karena dinamika lingkungan strategis di dalam negeri. Tantangan global ini mencakup kesiapan dayasaing produk perunggasan, utamanya bila dikaitkan dengan lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan, yang merupakan 60-70 persen dari biaya produksi karena sebagian besar masih sangat tergantung dari impor.

Upaya meningkatkan dayasaing produk perunggasan harus dilakukan secara simultan dengan mewujudkan harmonisasi kebijakan yang bersifat lintas Departemen. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan faktor internal seperti menerapkan efisiensi usaha,

(2)

meningkatkan kualitas produk, menjamin kontinuitas suplai dan sesuai dengan permintaan pasar. Terwujudnya industri perunggasan yang berdayasaing dicirikan oleh ketidak-tergantungan terhadap komponen bahan baku impor dan terjadinya transformasi dari skala usaha yang subsisten ke skala menengah maupun skala besar.

Dalam pembahasan ini istilah unggas akan dikelompokkan menjadi dua yakni unggas sebagai komoditas (ayam ras petelur dan pedaging) dan unggas sebagai sumberdaya (ayam lokal dan itik). Ternak ayam lokal dan itik dapat menjadi alternatif yang cukup menjanjikan dengan pangsa pasar tertentu, dimana hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa usaha peternakan ayam lokal dan itik cukup menguntungkan dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Mengingat kedua kelompok tersebut memiliki karakter yang berbeda dan guna memudahkan dalam pembahasan maka masing-masing komoditas akan diuraikan secara terpisah. Makalah ini bertujuan memberikan deskripsi tentang prospek dan arah pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas yang bermuara pada rencana kebutuhan investasi disertai dengan kebijakan pendukung beserta pelakunya.

II. KONDISI AGRIBISNIS

UNGGAS SAAT INI

A. Usaha Budidaya 1. Ayam ras pedaging

Populasi final stock ayam pedaging pada tahun 2004 mencapai 895 juta ekor dengan Jawa Barat (30 persen) dan Jawa Timur (15 persen) berturut-turut sebagai wilayah terpadat (Lampiran 1). Kapasitas produksi terpasang usaha pembibitan telah mencapai 30 - 36 juta d.o.c. per minggu, dimana saat ini hanya berproduksi sekitar 20 juta ekor d.o.c. Populasi bibit induk

(grand parent stock = GPS) ayam ras pedaging pada akhir tahun

2004 mencapai 300 ribu ekor menurun sekitar 5 persen dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Penurunan ini disebabkan penambahan dari impor hanya sebesar 52 persen, sedangkan pengurangan karena culling (replacement) dan mati sebanyak 57 persen. Populasi bibit komersial (parent stock = PS) mencapai 10 juta ekor, meningkat 8 persen dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Peningkatan ini disebabkan penambahan produksi dalam negeri sebesar 25 persen, sedangkan pengurangan karena culling dan mati sebesar 17 persen. Perkembangan impor menunjukkan bahwa impor GPS ayam ras pedaging turun sebesar 25 persen pada akhir tahun 2004, saat ini tidak terdapat impor PS.

2. Ayam ras petelur

Populasi final stock ayam petelur pada tahun 2004 mencapai 80 juta ekor dengan Jawa Timur (17 persen) dan Sumatera Utara (16 persen) berturut-turut sebagai wilayah terpadat (Lampiran 2). Kapasitas produksi terpasang usaha budidaya dapat mencapai 3.500 ton telur per hari, sedangkan produksi saat ini hanya mencapai 2.800 ton. Populasi GPS ayam petelur pada akhir tahun 2004 mencapai 28 juta ekor atau menurun sebesar 16 persen dibandingkan pada pertengahan

(3)

tahun 2004, yang disebabkan karena penambahan impor sebesar 19 persen, sedangkan pengurangan karena culling dan mati sebesar 35 persen. Populasi PS ayam petelur mencapai satu juta ekor pada periode yang sama atau menurun 5 persen dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Hal ini disebabkan

karena penambahan produksi dalam negeri yang hanya 5 persen, sedangkan pengurangan karena culling dan mati

sebesar 10 persen. Perkembangan impor menunjukkan bahwa impor GPS ayam ras petelur mencapai 3.000 ekor atau turun 40 persen dibandingkan pada pertengahan tahun 2004. Hal yang sama seperti pada ayam ras pedaging, saat ini tidak terdapat impor PS untuk ayam petelur. Sehubungan Indonesia masih belum dinyatakan bebas penyakit Avian Influenza (AI), maka ekspor d.o.c. maupun hatching egg diberhentikan sementara.

3. Ayam lokal

Populasi ayam lokal pada akhir tahun 2004 mencapai 271 juta ekor dengan Jawa Timur (13 persen) dan Jawa Tengah

(12 persen) berturut-turut sebagai wilayah terpadat (Lampiran 3). Produksi telur pada tahun 2004 mencapai 191 ribu ton (Lampiran 4) dan produksi daging sebanyak 314 ribu ton (Lampiran 5). Usaha-usaha komersial sudah mulai berkembang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Peningkatan populasi ayam juga akan mengakibatkan melimpahnya hasil samping dari tindakan pemotongan yaitu berupa cakar ayam dan jeroan. Hasil samping ini belum dimanfaatkan secara optimal, dimana melalui teknologi yang sederhana, hal ini dapat menjadi peluang usaha untuk investasi di bidang pengolahan industri pangan (keripik cakar dan jeroan).

4. Itik

Populasi ternak itik pada akhir tahun 2004 mencapai 35 juta ekor dengan Jawa Barat sebagai wilayah terpadat (14 persen) (Lampiran 6). Produksi telur mencapai 194 ribu ton

(Lampiran 7) dan produksi daging mencapai 22 ribu ton (Lampiran 8). Sebagian besar ternak itik dipelihara secara

tradisional, namun di beberapa wilayah telah berkembang usaha-usaha komersial dengan sistem pemeliharaan yang intensif. Volume ekspor bulu itik pada akhir tahun 2004 mencapai 231,5 ton dengan nilai ekspor sebesar U$ 260 ribu dollar. Hal ini menunjukkan masih banyak bulu itik yang belum dimanfaatkan untuk diolah sebagai komoditas ekspor yang bernilai. Dengan adanya teknologi separasi bulu diharapkan bulu itik yang dihasilkan dapat meningkatkan mutu dan harga menjadi relatif lebih tinggi.

B. Profil Usaha Industri Perunggasan

Usaha ayam ras dilihat dari sisi produksi telah mampu memanfaatkan peluang pasar yang ada. Peternakan ayam ras telah berkembang menjadi suatu industri yang terintegrasi secara vertikal dan sangat dinamis karena didukung oleh perusahaan yang padat modal dengan sistem manajemen yang modern. Pada segmen hulu, perusahaan besar tersebut mengembangkan dan menguasai industri mulai dari bibit, pakan dan obat serta vaksin, yang dalam peranannya bertindak sebagai motor penggerak pemasok input. Produk primer dalam bentuk karkas memang merupakan preferensi sebagian masyarakat Indonesia dengan harga terjangkau dan tidak memerlukan fasilitas pendingin (cold storage).

Analisis ekonomi usaha peternakan unggas terdiri dari komponen penerimaan dan pengeluaran, sehingga diperoleh estimasi keuntungan maupun kerugian yang menjadi salah satu indikator dalam kelayakan usaha tersebut. Komponen penerimaan terdiri dari penjualan unggas hidup dan produksi telur, disamping produk samping seperti kotoran ternak. Komponen pengeluaran terdiri atas biaya tetap dan biaya tidak tetap dalam suatu siklus produksi pada skala usaha tertentu.

1. Ayam ras pedaging

Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa usaha peternakan ayam ras pedaging banyak dilakukan dalam bentuk pola-pola kemitraan, meskipun ada juga yang melakukan secara mandiri. Beberapa pola kemitraan yang berlangsung adalah pola kemitraan

(4)

inti-plasma, poultry shop, contract farming, dan sewa kandang. Naskah ini menyajikan analisis ekonomi usaha ayam ras pedaging secara mandiri, pola kemitraan inti-plasma dan pola kemitraan dengan poultry shop pada skala usaha 15,000 ekor. Masing-masing nilai B/C yang diperoleh secara berturut-turut adalah 1,16; 1,28 dan 1,25 (Lampiran 9, 10 dan 11). Hal ini menunjukkan bahwa usaha ayam ras pedaging cukup memberikan peluang usaha yang baik, sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku.

2. Ayam ras petelur

Usaha peternakan ayam petelur banyak dilakukan secara mandiri, meskipun ada juga yang dilaksanakan melalui pola kemitraan dengan poultry shop. Pada pemeliharaan pola mandiri ayam siap bertelur (pullet) lebih banyak dipergunakan oleh peternak, dibandingkan dengan penggunaan d.o.c. seperti pada pola kemitraan dengan poultry shop. Nilai B/C yang diperoleh dari hasil estimasi pada skala usaha 10.000 ekor adalah 1,29 dan 1,13 masing-masing untuk usaha mandiri dan pola kemitraan dengan

poultry shop (Lampiran 12 dan 13). Hal ini memberikan indikasi

bahwa usaha peternakan ayam ras petelur mempunyai keuntungan yang relatif baik bagi para peternak.

3. Ayam lokal

Usaha beternak ayam lokal merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan petani di perdesaan, sehingga jenis usaha ini pada umumnya tidak diutamakan bagi perolehan keuntungan. Estimasi perhitungan B/C pada skala usaha 1.000 ekor dilakukan dalam suatu kelompok peternak di wilayah Jombang, Jawa Timur dengan nilai 1,04 (Lampiran 14). Hal ini dilakukan dengan pola semi intensif sebagai penghasil daging dengan rata-rata berat karkas 0,8 kg.

4. Ternak itik

Perkembangan usaha peternakan itik dengan cepat mengarah pada pergeseran dari sistem pemeliharaan tradisional kepada sistem intensif yang sepenuhnya terkurung. Pergeseran ini

menunjukkan bahwa usaha peternakan itik bukan saja hanya sekedar usaha sambilan, akan tetapi sudah memiliki orientasi komersial baik sebagai cabang usaha atau usaha pokok. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa usaha peternakan itik adalah cukup menguntungkan dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga, disamping prospek pasar yang cukup bagus. Hasil perhitungan estimasi B/C didasarkan atas pemeliharaan ternak itik secara kelompok pada skala usaha 1.000 ekor dengan nilai 1,20 (Lampiran 15).

C. Pasar dan Harga

Perkembangan pasar dan harga produk perunggasan untuk komoditas ayam ras, baik pedaging maupun petelur sangat berfluktuatif tergantung dari kesediaan pasokan input dan output. Hal tersebut pada perunggasan ayam lokal dan itik tidak terlalu berpengaruh. Pada akhir tahun 2004 situasi pasar komoditas ayam ras cukup memberikan keuntungan yang relatif baik dibandingkan dengan periode tahun 2003 akibat merebaknya wabah flu burung. Hal ini secara rinci disajikan masing-masing pada Lampiran 16 untuk produk daging ayam ras dan telur ayam ras di tingkat peternak. Kondisi harga daging ayam ras, telur ayam ras, telur ayam lokal dan telur itik pada tahun 2002 di tingkat konsumen ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan pada akhir tahun 2004 (Lampiran 17).

Harga rata-rata ayam hidup selama tahun 2004 adalah Rp. 7,383,-/kg dengan BEP dicapai pada tingkat harga Rp. 6.800,-/kg, dimana peternak ayam ras pedaging memperoleh keuntungan rata-rata Rp. 500,-/kg. Harga rata-rata-rata-rata telur adalah Rp. 6.465,-/kg, sedangkan BEP dicapai pada tingkat harga Rp. 7.030,-/kg. Peternak ayam petelur rata-rata mengalami kerugian Rp. 565,-/kg. Harga d.o.c. ayam ras pedaging rata sebesar Rp. 2.560,-/ekor dengan rata-rata biaya produksi sekitar Rp. 2.100,-/ekor tanpa perlakuan vaksinasi AI pada PS. Harga d.o.c. ayam ras petelur rata-rata mencapai Rp. 5.000,-/ekor meskipun di wilayah Sumatera dapat mencapai Rp. 6.500,-/ekor.

(5)

Komoditas unggas (lebih dari 90 persen adalah kontribusi dari ayam ras) menduduki komoditas pertama untuk konsumsi daging di Indonesia yakni sebesar 56 persen. Meskipun demikian, sampai dengan akhir tahun 2004, konsumsi daging ayam ras dan telur di Indonesia juga masih rendah dibandingkan dengan beberapa negara Asean lainnya. Kenyataan bahwa telah terjadi pertambahan penduduk, peningkatan pendapatan, urbanisasi, perubahan gaya hidup, serta peningkatan kesadaran akan gizi seimbang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa memicu terjadinya lonjakan permintaan produk daging ayam dan telur setiap tahun. Selama periode 1985-2003, konsumsi produk daging ayam dan telur meningkat dengan pertumbuhan masing-masing sebesar 5,31 persen dan 4,25 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa peluang pasar dalam negeri untuk pengembangan industri perunggasan masih cukup menjanjikan. Prospek pasar yang sangat baik ini didukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim, harga relatif murah dengan akses yang mudah diperoleh karena sudah merupakan barang publik.

Dari uraian diatas dapat disebutkan bahwa unggas memiliki prospek pasar yang sangat baik dan merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani nasional. Dari segi potensi dan kebutuhan terhadap protein hewani, ayam ras pedaging dan petelur memiliki prospek yang baik. Kemampuan ayam ras dalam mengkonversi protein kasar dari pakan ke protein yang dapat dimakan (edible protein) dalam bentuk daging adalah tertinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya, yakni sebesar 23 persen. Sementara itu prospek untuk mengembangkan komoditas ayam dan itik lokal juga cukup baik, karena saat ini terdapat pangsa pasar tersendiri yang sudah berkembang dengan baik. Prospek ini harus dimanfaatkan untuk memberdayakan peternak di perdesaan melalui pemanfaatan sumberdaya secara lebih optimal.

III. PROSPEK, POTENSI

DAN ARAH PENGEMBANGAN

A. Potensi

Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dalam komponen biaya input untuk tenaga kerja yang relatif lebih murah dibandingkan negara lain di Asean. Potensi dalam mengembangkan produksi jagung nasional dapat mengurangi ketergantungan impor dan menurunkan biaya produksi, sehingga mampu meningkatkan skala usaha yang optimal. Integrasi secara vertikal juga sudah mulai terlaksana dengan menerapkan pola-pola kemitraan, dimana peternak sudah banyak bergabung dengan perusahaan inti sehingga jumlah pemeliharaan ayam juga semakin meningkat. Faktor yang masih menjadi kendala di lapang adalah iklim usaha yang kurang kondusif. Permasalahan keamanan, sistim perbankan, serta tata ruang yang masih belum jelas sering menjadi penghambat dalam mengembangkan usaha peternakan unggas. Infrastruktur yang kurang memadai seperti tersedianya jalan yang memadai, kelayakan pelabuhan, maupun ketersediaan air juga dapat menciptakan permasalahan yang rumit bagi peternak disamping permasalahan ekonomi biaya tinggi akibat berbagai pungutan.

Di Indonesia industri pembibitan menghasilkan d.o.c. PS atau

final stock (FS), sedangkan untuk GPS masih diimpor. Impor ini

dilakukan atas pertimbangan bahwa usaha tersebut lebih efisien dibandingkan dengan membangun usaha pembibitan di dalam negeri yang membutuhkan waktu dan biaya sangat besar. Industri penetasan umumnya menyatu dengan industri pembibitan yaitu menetaskan telur dari PS untuk menghasilkan d.o.c. FS yang siap didistribusikan. Usaha budidaya yang saat ini banyak dilakukan adalah melalui sistem kemitraan dan komersial farm dengan pengadaan sarana input (bibit, pakan, obat dan vaksin) yang dilakukan oleh pihak inti atau perusahaan. Hasil panen dibeli oleh pihak perusahaan melalui sistem kontrak berdasarkan kesepakatan. Industri obat hewan juga dilaksanakan oleh beberapa perusahaan di Indonesia, dimana sebagian besar masih tergantung pada inovasi teknologi dan produk impor. Hasil inovasi Badan Litbang Pertanian berupa vaksin lokal merupakan salah satu prospek pasar baru yang dapat dikembangkan, mengingat vaksin tersebut telah dikembangkan sesuai dengan kondisi dan iklim di Indonesia. Industri pascapanen menghasilkan produk seperti chicken nugget, sosis ayam, corned chicken, roasted chicken, smoke chicken,

(6)

chicken burger, dan lain-lain. Industri ini hanya dilakukan oleh beberapa perusahaan dengan menggunakan teknologi yang sangat maju, dimana sebagian besar produk tersebut diserap oleh konsumen dalam negeri, namun ada juga yang diekspor.

Salah satu prospek pasar yang menarik dan perlu dikembangkan adalah industri pakan unggas. Dayasaing produk perunggasan dinilai merupakan tantangan yang cukup kuat bagi perkembangan industri perunggasan, terlebih jika dikaitkan dengan pasar global. Komponen terbesar untuk memperoleh produk yang berdayasaing terletak pada aspek pakan, dimana biaya pakan ini merupakan komponen tertinggi dalam komposisi biaya produksi industri perunggasan, berkisar antara 60-70 persen. Bukti empiris menunjukkan bahwa lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan menjadi salah satu kendala dalam menghasilkan produk unggas yang berdayasaing. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan bahan baku utama pakan unggas yang sebagian besar terdiri dari jagung, dimana impor jagung untuk kebutuhan pakan unggas terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada akhir tahun 2004 hal tersebut mencapai 1,7 juta ton. Jika konsumsi pakan unggas mencapai 7,2 juta ton, maka diperlukan jagung sebesar 3,5 juta ton. Diproyeksikan masing-masing pada tahun 2010 dan tahun 2020, impor jagung dapat mencapai 4 juta ton dan 8 juta ton jika produksi jagung nasional tidak tumbuh. Jagung untuk pakan unggas memiliki prospek pasar yang sangat baik, dimana dinyatakan bahwa jika industri unggas tumbuh dengan baik, maka kebutuhan akan jagung juga akan terus meningkat. Pengembangan komoditas jagung perlu mendapatkan perhatian baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat petani. Sementara itu Indonesia mempunyai potensi bahan pakan lain yang berasal dari limbah agroindustri. Kajian awal menunjukkan bahwa bahan-bahan tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai salah satu komponen sumber energi ayam dan itik.

B. Arah Pengembangan 1. Ayam ras

Program ekstensifikasi berupa pembukaan perkebunan jagung dengan sistem PIR dapat dilakukan guna meningkatkan produksi nasional. Salah satu prospek pasar yang perlu dipertimbangkan

adalah mendekatkan peternakan unggas dengan usaha pengembangan sapi potong di daerah perkebunan jagung. Pemanfaatan sarana transportasi jagung lewat sungai, seperti yang telah dikembangkan di Amerika melalui sungai Missisipi, terbukti sangat efisien dan menguntungkan. Dengan demikian ada jaminan kontinuitas suplai jagung yang sangat dibutuhkan oleh pabrik pakan.

Pengembangan bahan pakan ini juga diarahkan pada optimalisasi pemanfaatan bahan baku lokal yang tersedia dalam jumlah besar. Limbah industri kelapa sawit, baik berupa lumpur sawit maupun bungkil inti sawit belum dimanfaatkan sebagai bahan pakan unggas. Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa kombinasi antara lumpur sawit yang difermentasi dengan bungkil inti sawit dan beberapa campuran vitamin dan mineral mampu menggantikan jagung hingga 30 persen pada ayam ras petelur. Penelitian pengembangan bahan baku pakan lokal terus dilakukan guna memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk pakan ternak.

Untuk memantapkan dan memperluas industri perunggasan dalam rangka merespon peningkatan permintaan di dalam negeri, beberapa pembenahan perlu dilakukan. Hal ini meliputi perbaikan sistem rantai pemasok sarana input yang integratif dari hulu ke hilir, sehingga terjadi kesinambungan dan sinergi antara kegiatan pra-budidaya, pra-budidaya, sampai pada pemasaran. Pohon industri yang terkait dengan ayam ras ini antara lain industri pembibitan, penetasan, pakan, budidaya, obat hewan, dan pascapanen (Gambar 1). Masing-masing subsistem saat ini mengupayakan perolehan keuntungan maksimum, meskipun berada dalam satu pasar yang terintegrasi. Dalam hal ini pola kemitraan inti-plasma yang adil sangat diperlukan dan persaingan sehat harus terjadi antar rantai pemasok sarana input. Disinilah diperlukan inovasi agar terwujud peran pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator untuk membantu semua pihak dalam berusaha dengan memperhatikan azas efisiensi dan dayasaing.

Pengembangan unggas ke depan harus mulai dipikirkan di luar Jawa, dimana ketersediaan pasokan bahan pakan masih memungkinkan, serta prospek pemasaran yang baik. Pengalaman wabah Avian Influenza (AI) beberapa waktu yang lalu memberi

(7)

pelajaran bahwa sudah saatnya dilakukan desentralisasi industri perunggasan nasional. Upaya ini akan sangat baik ditinjau dari berbagai aspek, baik teknis, ekonomis maupun sosial, dan dalam hal ini memerlukan dukungan kebijakan termasuk ketersediaan inovasi teknologi yang sesuai dengan perkembangan usaha.

Peranan pemerintah juga harus memperhatikan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk: (a) melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil, (b) mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan di pasar dalam negeri, (c) pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular, serta (d) dukungan pembangunan infrastruktur penunjang lainnya. Untuk memberi kepastian berusaha pada peternakan mandiri perlu dibuat mekanisme yang menjamin transparansi dalam hal informasi produksi d.o.c., biaya bahan-bahan input, serta kondisi pasar (permintaan, produksi, dan harga).

2. Ayam lokal

Ayam lokal merupakan sumberdaya dalam negeri yang sudah beradaptasi dengan lingkungan di perdesaan selama berabad-abad. Mengingat populasinya yang cukup tinggi, maka secara nasional ayam lokal turut berperan sebagai penyedia protein hewani bagi masyarakat. Ayam lokal dipelihara dengan sistem tradisional dengan memanfaatkan sisa makanan dapur dan lainnya di sekitar pekarangan. Hampir setiap rumah tangga petani di perdesaan memiliki ayam lokal sebagai tabungan dan hanya mendapat perhatian sedikit dari pemiliknya. Petani yang membutuhkan uang tunai, baik untuk keperluan anak sekolah maupun kebutuhan yang mendesak lainnya, dengan mudah mendapatkannya dengan menjual ayam lokal. Dengan sistem pemeliharaan tersebut, maka ayam lokal sangat rentan terhadap serangan penyakit, khususnya penyakit tetelo (new castle diseases) dan AI.

Ayam lokal mempunyai pangsa pasar tersendiri seperti Ayam Suharti, Ayam Kalasan, Mbok Berek dll. yang hanya menggunakan ayam lokal, dengan harga jual yang lebih mahal dibandingkan dengan produk dari ayam ras. Potensi dan arah pengembangan

ayam lokal ditujukan untuk (a) penyediaan daging dan telur ayam berkualitas tertentu serta (b) resistensi terhadap pengendalian dan pencegahan penyakit. Pembuatan vaksin yang mudah diaplikasikan oleh masyarakat dengan harga murah perlu terus dilakukan dalam upaya menekan angka kematian yang sangat tinggi.

3. Itik

Di Indonesia itik umumnya diusahakan sebagai penghasil telur, sedangkan potensi itik sebagai penghasil daging masih perlu dikaji lebih lanjut. Peternakan itik didominasi oleh peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan yang masih tradisional. Saat ini, pemeliharaan itik untuk bibit dan untuk produksi di tingkat masyarakat masih belum dapat dibedakan. Pembibit umumnya menetaskan telur dari induk yang biasanya digunakan untuk produksi dan seleksi hanya terbatas pada penampilan telur, seperti bobot, ketebalan kerabang, bentuk dan warna. Industri pembibitan itik merupakan salah satu yang memiliki propek pasar yang baik, mengingat permintaan bibit itik petelur di Indonesia cukup tinggi. Ditambah lagi bahwa pemeliharaan itik dengan sistem kering telah terbukti dapat dilakukan dengan hasil yang cukup baik, sehingga peternak dapat memelihara dalam skala usaha yang relatif banyak, dibandingkan dengan sistem gembala. Itik petelur unggul, persilangan itik Mojosari dan Alabio yang dihasilkan Balai Penelitian Ternak, ternyata mampu berproduksi rata-rata sebesar 70 persen dengan konversi pakan sebesar empat.

Potensi dan arah pengembangan itik dititikberatkan pada perbaikan bibit, sehingga terjadi perbedaan antara itik untuk bibit dan itik untuk produksi. Program intensifikasi itik, dengan merubah pola pemeliharaan tradisional menjadi pemeliharaan terkurung atau intensif perlu dipertimbangkan dalam arah pengembangan peternakan unggas ke depan. Keadaan sawah yang semakin intensif menyebabkan jarak antara panen dan tanam menjadi semakin sempit yang menyebabkan semakin terdesaknya itik gembala. Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan kematian itik secara langsung dan menurunnya ketersediaan pakan itik di sawah berupa ikan kecil, cacing, katak dll, secara tidak langsung.

(8)

Gambar 1. Pohon industri agribisnis ternak unggas

IV. TUJUAN DAN SASARAN

Pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas diarahkan untuk (a) menghasilkan pangan protein hewani sebagai salah satu

upaya dalam mempertahankan ketahanan pangan nasional, (b) meningkatkan kemandirian usaha, (c) melestarikan dan

memanfaatkan secara sinergis keanekaragaman sumberdaya lokal

untuk menjamin usaha peternakan yang berkelanjutan, dan (d) mendorong serta menciptakan produk yang berdayasaing dalam

upaya meraih peluang ekspor.

Tujuan pengembangan agribisnis komoditas unggas adalah (a) membangun kecerdasan dan menciptakan kesehatan masyarakat

seiring dengan bergesernya permintaan terhadap produk yang aman dan berkualitas, (b) meningkatkan pendapatan peternak melalui peningkatan skala usaha yang optimal berdasarkan sumberdaya yang ada, (c) menciptakan lapangan kerja yang potensial dan tersebar hampir di seluruh wilayah, dan (d) meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan devisa negara.

Sasaran pengembangan agribisnis komoditas unggas terbagi sesuai pengembangan komoditas yang terdiri dari ayam ras, ayam lokal dan itik. Sasaran pengembangan agribisnis komoditas ayam ras lebih ditujukan untuk (a) meningkatkan produktivitas dan produksi ayam pedaging dan petelur sehingga produknya dapat lebih terjangkau

oleh masyarakat luas dari sisi harga dan akses perolehan, dan (b) mengurangi ketergantungan bahan baku impor, utamanya untuk

komponen pakan. Sasaran pengembangan komoditas agribisnis ayam lokal adalah (a) menekan angka kematian melalui penyediaan obat hewan dan vaksin dalam jumlah yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat, (b) meningkatkan substitusi impor dan diversifikasi produk unggas, serta (c) menciptakan produk organik berdasarkan pangsa pasar tertentu. Sasaran pengembangan komoditas agribisnis itik adalah (a) meningkatkan produktivitas dan produksi itik lokal melalui program pembibitan yang terarah, dan (b) memenuhi respon permintaan agroindustri baik untuk produk telur maupun daging itik. H U L U

1. Industri Pakan

2. Industri Obat dan Vaksin Hewan 3. Industri Pembibitan 4. Industri Peralatan Peternakan

BUDIDAYA UNGGAS

1. Ayam ras pedaging 2. Ayam ras petelur 3. Ayam ras petelur 4. Itik

H I L I R

1. Komersial Terintegrasi 2. Usaha Rakyat Bermitra 3. Usaha Mandiri (Komersial dan Usaha Rakyat) U N G G A S P E D A G I N G I N D U S T R I R P A I N D U S T R I P E N G O L A H A N M A K A N A N D A G I N G S E G A R T E L U R S E G A R P R O D U K O L A H A N Tepung Telur Telur Asin I N D U S T R I P E N G O L A H A N M A K A N A N PRODUK OLAHAN 1. Bakso 2. Sosis 3. Corned 4. Abon 5. Nugget 6. Burger I N D U S T R I P E N G O L A H A N N O N M A K A N A N U N G G A S P E T E L U R I N D U S T R I P E N G O L A H A N N O N M A K A N A N K O N S U M S I R U M A H T A N G G A P R O D U K Peralatan R T Peralatan Olah Raga Bahan Baku Makanan Ternak

(9)

V. KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROGRAM

Memperhatikan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman usaha pengembangan komoditas unggas di Indonesia, diperlukan suatu kerangka pikir (road map) untuk menjadi acuan dalam menentukan langkah-langkah operasional guna memecahkan permasalahan yang ada. Hal ini tertuang dalam penerapan program-program pembangunan jangka pendek, menengah maupun jangka panjang disertai dengan komponen pendukung mulai dari arah kebijakan dan pembiayaan pengembangan usaha perunggasan.

Roadmap pengembangan komoditas unggas meliputi kondisi awal

tahun 2005, strategi pengembangan untuk mencapai tujuan antara (2005 - 2010) dan target ideal pada tahun 2020 untuk ternak ayam ras, ayam lokal dan itik sebagai penghasil daging dan telur dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat (Gambar 2). Masing-masing komponen dikelompokkan dalam kegiatan on-farm,

off-farm, kebijakan pendukung serta aspek pemasaran dan

perdagangan.

A. Kegiatan On-farm

Usaha budidaya ayam ras pedaging dan petelur banyak dilakukan oleh peternakan rakyat dalam skala yang relatif kecil, sehingga efisiensi usaha dan keuntungan yang layak sulit dicapai. Disisi lain, sebagian besar peternak ayam ras sangat tidak rentan terhadap gejolak perubahan harga. Pada saat harga output turun, biaya input produksi tidak otomatis turun, sehingga peternak benar-benar rugi. Strategi pengembangan usaha yang dianjurkan adalah melalui bentuk pola-pola kerjasama kemitraan yang berkeadilan secara bertahap, dan akan mengarah kepada usaha mandiri. Manajemen pemeliharaan pola usaha ini harus mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku guna mencapai efisiensi usaha yang optimal. Usaha ini harus sudah mengarah kepada usaha yang berorientasi keuntungan berdasarkan skala ekonomi yang dianjurkan.

Program kerjasama pola kemitraan merupakan salah satu alternatif pilihan yang dapat dijalankan secara obyektif dan harus

menguntungkan kedua belah pihak, baik perusahaan sebagai inti maupun peternak sebagai plasma. Peraturan dan kesepakatan yang ada pada program tersebut sangat rumit pada taraf realisasinya, tetapi pemikirannya sangat bagus sehingga perlu terus disempurnakan dalam pelaksanaannya. Pola kerjasama kemitraan adalah suatu pola yang memerlukan kepercayaan dan suasana kekeluargaan diantara pelaku terkait. Oleh karenanya kesuksesan pola kerjasama kemitraan ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan usaha, permodalan, kualitas sumberdaya manusia, penyuluhan dan pembinaan. Perlu dikembangkan secara jelas siapa pelaku, penjamin, pelaksana, pengawas dan evaluasi model kemitraan agar terdapat transparansi dalam pelaksanaannya di lapangan.

Sebagian besar usaha budidaya ayam lokal dan itik masih dilakukan sebagai usaha sambilan dengan manajemen tradisional, meskipun terdapat perkembangan yang mengarah pada pergeseran dari sistem pemeliharaan ekstensif kepada sistem intensif yang sepenuhnya terkurung. Usaha kedua komoditas ini harus bersifat komplemen pada usaha peternakan ayam ras, karena sebagian besar komponen input mengandalkan penggunaan sumberdaya lokal. Strategi pengembangan usaha peternakan ayam lokal dan itik diarahkan pada usaha perbaikan bibit dalam upaya meningkatkan produktivitas itik dan pemanfaatan potensi genetik plasma nutfah lokal terhadap penyakit. Pola pembinaan peternak baik secara langsung maupun tidak langsung perlu dilakukan dengan teratur. Hal ini harus diarahkan pada aspek produksi, manajemen dan pemasaran (cara menjual hasil), agar peternak menjadi tangguh, efisien, kompetitif, tidak marjinal dan tidak konsumtif. Oleh karenanya perlu ditunjang oleh kelembagaan pembina dan informasi pasar, termasuk infrastruktur bagi stabilisasi produksi.

Produksi jagung di dalam negeri dapat ditingkatkan melalui program intensifikasi, maupun ekstensifikasi. Beberapa strategi pengembangan produksi jagung sebagai penyediaan sumber energi dalam pakan dan untuk menurunkan ketergantungan terhadap impor jagung adalah:

a. Peningkatan produksi jagung yang telah dicapai saat ini perlu dipertahankan dan dilakukan upaya-upaya perbaikan untuk ditingkatkan kembali. Sentra-sentra budidaya usaha jagung

(10)

perlu dibentuk dalam suatu kawasan, sehingga dapat meminimalkan transaction cost yang pada akhirnya dapat mengurangi biaya produksi.

b. Beberapa langkah kebijakan operasional pengembangan produksi jagung untuk menstimulir peningkatan produksi harus dijalankan, diantaranya adalah (i) menyediakan kredit lunak dengan prosedur administrasi yang sederhana, (ii) membangun infrastruktur untuk menggerakkan agribisnis jagung, (iii) menggalakkan intensifikasi budidaya jagung, (iv) memperluas areal pertanaman jagung (ekstensifikasi) serta (v) mendorong keterlibatan peran swasta dalam budidaya jagung secara modern dalam skala komersial.

B. Kegiatan Off-farm

Industri pakan unggas dengan bahan baku utama yang sebagian besar terdiri dari jagung merupakan program yang perlu dibenahi dengan strategi pengembangan jagung secara berkelanjutan. Hal ini meliputi percepatan inovasi teknologi penggunaan jagung bibit unggul (hibrida dan komposit) dan distribusi benih agar sampai langsung ke pengguna dengan mudah. Produksi jagung dalam negeri sangat sulit diprediksi dan direncanakan, sehingga strategi pengembangan dalam penyediaan silo dan mesin pengering (dryer) dengan skala yang memadai sangat diperlukan.

Industri obat hewan juga masih sepenuhnya tergantung dari komponen impor, yang sangat rentan terhadap faktor eksternal utamanya pengaruh nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. Pengembangan dan pemanfaatan obat hewan serta vaksin lokal masih belum berjalan sesuai degan harapan. Perlu adanya dorongan dalam menggunakan produk obat hewan dan vaksin dalam negeri melalui program promosi yang harus digalakkan dalam upaya pemanfaatan dan pengembangannya. Hasil inovasi Badan Litbang Pertanian merupakan salah satu alternatif strategi pengembangan yang diusulkan, mengingat obat hewan dan vaksin tersebut telah dikembangkan sesuai dengan kondisi dan iklim di Indonesia.

Di dalam perkembangan sistem pangan suatu perubahan akan terus menerus terjadi. Permintaan terhadap produk pangan terus

meningkat begitu pula dengan dimensi kualitas. Dalam perjalanannya, beberapa trend perubahan juga telah terjadi pada pengembangan industri perunggasan, antara lain adanya perubahan kegiatan ke arah pengolahan, prosesing, dan packaging. Pentingnya mengkonsumsi produk unggas yang higienis perlu terus dilakukan, misalnya dorongan kepada masyarakat untuk juga dapat menerima produk ayam beku. Strategi pengembangan yang dilakukan adalah penyediaan fasilitas prosesing pemotongan ayam dan penyimpanan (cold storage) unit-unit kecil yang benar dan baik di pusat-pusat konsumen.

C. Kebijakan Pemerintah

Perlu adanya harmonisasi kebijakan antar kelembagaan (instansi) terkait dalam pengembangan perunggasan seperti pada kebijakan perpajakan, investasi, impor, ekspor, tarif, tata ruang dan perijinan. Saat ini diperoleh kesan saling berbenturan dengan yang diperlukan masyarakat perunggasan dan tidak saling memperkuat (sinergis). Hal ini sangat penting untuk dilaksanakan agar struktur produksi dapat berjalan dengan lebih baik pada implementasinya. Pemerintah tetap harus berperan sebagai regulator yang bijaksana (adil, arif dan transparan), disamping perannya sebagai motivator, dinamisator dan fasilitator.

Perlu adanya peningkatan efektivitas dan penajaman fungsi (tugas dan tanggung jawab) kelembagaan terkait, terutama dalam hal perencanaan, pengawasan, peningkatan sumberdaya manusia, evaluasi dan kontrol. Hendaknya setiap aspek yang mempengaruhi perkembangan industri perunggasan, perijinannya harus mendapat rekomendasi dari instansi teknis dan pelaku lainnya. Contohnya dalam perijinan mengenai investasi, tata ruang, impor, dan lain sebagainya. Peraturan pemerintah yang tidak operasional belum mendapatkan kontrol yang serius. Hal tersebut harus memperoleh perhatian yang lebih baik, dan diperlukan penegakan hukum atas sangsi yang dikenakan. Sangsi bagi yang melanggar peraturan yang ada perlu diatur dengan landasan hukum yang kuat.

Kebijakan peternakan unggas diarahkan pada visi pemberdayaan peternak dan usaha agribisnis peternakan, peningkatan nilai tambah dan dayasaing dengan misi mendorong pembangunan peternakan

(11)

unggas yang tangguh dan berkelanjutan. Salah satu kebijakan yang diperlukan dan berpengaruh efektif mencapai visi tersebut adalah kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi melalui peningkatan investasi swasta, pemerintah dan masyarakat, serta kebijakan pewilayahan komoditas dan peningkatkan penelitian, penyuluhan dan pendidikan bagi peternak disertai pengembangan kelembagaan.

D. Pemasaran dan Perdagangan

Terjaminnya aspek permintaan dan penawaran produk unggas merupakan tujuan dari usaha perunggasan yang dilakukan. Transparansi informasi dalam aspek produksi dan konsumsi produk unggas perlu dibenahi sehingga diperoleh data secara lengkap dan akurat. Perlu dibentuk forum informasi industri perunggasan yang independen dari berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah, yang pada intinya dapat lebih memberikan bantuan dan peran yang positif bagi PINSAR. Forum ini dapat membahas aturan main dalam hal pengembangan, pemantapan pasar/harga dan perluasan pasar baru dan dapat mengembangkan pusat informasi pasar dan dana pembinaan serta stabilisasi, terutama stabilisasi supply produk telur dan daging ayam. Untuk merealisir pemikiran tersebut diatas, pemerintah harus mampu membangun keadaan yang kondusif dengan instrumen: fiskal, moneter, perijinan dan membangun dayasaing yang kuat dengan instrumen tarif dan pajak. Tarif impor perlu diberlakukan dan bukan dibebaskan, sementara pajak ekspor harus diturunkan, dengan catatan perlu memperhatikan kesepakatan WTO yang ada.

Diperlukan penyuluhan secara komprehensif dan menyeluruh kepada masyarakat mengenai ancaman dunia perdagangan bebas. Diharapkan terjalin jaringan kerjasama yang harmonis antar pelaku bisnis, sehingga persatuan yang solid merupakan kekuatan bersama untuk mengantisipasi era perdagangan bebas. Peluang pasar di dalam negeri maupun ekspor yang sangat besar dan ketersediaan tenaga kerja yang cukup belum mampu diwujudkan sebagai pemicu untuk mendorong perkembangan industri perunggasan di dalam negeri. Yang terjadi adalah ancaman yang berkaitan dengan kesepakatan WTO dan isu lingkungan, keamanan pangan, dan pemerataan kesempatan bekerja.

Disamping kewajiban untuk mematuhi kesepakatan global (WTO), kiranya perlu diperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan UU Anti Monopoli dan UU Otonomi Daerah dalam mengembangkan strategi industri perunggasan di Indonesia di masa yang akan datang. Semua pihak harus mampu merebut dan menciptakan pasar di dalam maupun di luar negeri, serta mempertahankan dan menumbuhkembangkan pasar yang sudah ada, agar kekuatan dan energi yang dipergunakan untuk melakukan persaingan, pertentangan dan kompetisi tidak sehat diubah menjadi bentuk kerjasama yang sinergis. Sistem perpajakan, perkreditan, penyangga harga dan pemasaran serta ketersediaan informasi yang akurat perlu secara terus menerus diperbaiki, disempurnakan dan disosialisasikan secara meluas. Kebijakan yang ada tentang hal-hal tersebut perlu secara konsisten dimonitor dan dievaluasi di dalam pelaksanaannya.

E. Strategi

Strategi untuk mencapai tujuan, sasaran dan efektivitas implementasi kebijakan tersebut adalah melalui pembangunan industri agribisnis komoditas ternak unggas, yang mencakup kegiatan-kegiatan dari sektor hulu sampai hilir. Hal ini sangat terkait dengan kunci dayasaing produk perunggasan yaitu efisiensi pada setiap segmen rantai pasokan dan keterkaitan fungsional antar segmen dalam memelihara konsistensi setiap pelaku usaha dalam memenuhi kesepakatan dan standar yang digunakan. Guna menciptakan hal tersebut diperlukan selain integrasi vertikal antar segmen rantai pasokan juga integrasi horizontal antar pelaku dalam satu segmen. Industri agribisnis dapat merupakan usaha berskala menengah dan besar. Pada dasarnya, perusahaan-perusahaan agribisnis yang didirikan diarahkan untuk berkembang secara terintegrasi baik secara individu (satu perusahaan) maupun banyak pelaku usahaternak yang bergabung dalam satu wadah kelompok. Dengan pendekatan industri agribisnis maka program-program pembangunan peternakan unggas tidak hanya terfokus pada aspek produksi tetapi meliputi program-program yang terkait dalam sistem agribisnis mulai dari hulu sampai ke hilir. Program-program tersebut terdiri atas 3 kelompok yakni:

(12)

G a m b a r 2 . R o a d m a p p e n g e m b a n g a n k o m o d it a s u n g g a s 1. Sektor hulu

Program sektor hulu diutamakan untuk menjamin ter-penuhinya penyediaan bibit berupa d.o.c., pakan, vaksin dan obat hewan serta peralatan. Program pembibitan lainnya diarahkan pada pengembangan ternak ayam lokal dan itik.

2. Sektor budidaya

Program peningkatan produktivitas dan produksi ayam ras lebih diarahkan pada pengembangan transformasi skala usaha rakyat mencapai skala menengah melalui pendekatan pola produksi yang lebih efisien dan kelembagaan. Program tersebut untuk unggas lokal ditujukan pada perbaikan manajemen usahaternak mandiri sehubungan dengan pencegahan penyakit ternak dan peningkatan produktivitas dan produksi itik.

3. Sektor hilir

Program peningkatan nilai tambah yang terkait dengan pascapanen dan proses pengolahan sehingga tercipta diversifikasi produk. Tujuan program ini adalah meningkatkan insentif bagi pelaku usaha, utamanya adalah peternak.

F. Program

Program utama pengembangan agribisnis komoditas unggas sangat terkait dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai. Guna menjamin penyediaan pasokan d.o.c. ayam ras yang akan merefleksikan kebutuhan pakan, maka transparansi dalam informasi produksi di sektor hulu sangat membantu peternak maupun pemerintah untuk menentukan langkah dan sikap bila terjadi kelangkaan atau kelebihan produk. Dorongan dan dukungan untuk pengembangan industri hilir, seperti pabrik tepung telur, cold storage, dan pabrik daging olahan diharapkan dapat membantu mengatasi bila terjadi fluktuasi harga dan pasokan yang berlebihan. Kesadaran masyarakat untuk meningkatkan konsumsi pangan protein hewani perlu dilakukan melalui dorongan program promosi yang terus menerus dan konsisten.

K O N D I S I A W A L 2 0 0 5 S T R A T E G I P E N G E M B A N G A N T U J U A N A N T A R A ( 2 0 0 5 -2 0 1 0 ) K O N D I S I I D E A L 2 0 2 0 O N -F A R M P e n in g k a ta n s k a la u sa h a y a n g o p ti m a l u n tu k a y a m r a s p e rb a ik a n b ib it i ti k l o k a l K o n se rv a si p la sm a n u tf a h a y a m l o k a l P e n in g k a ta n p ro d u k si j a g u n g P ro g ra m k e m it ra a n P ro g ra m i n te n si fi k a si P ro g ra m s e le k si t e rh a d a p k e re n ta n a n p o te n si g e n e ti k te rh a d a p p e n y a k it P e n in g k a ta n e fi si e n si u sa h a d a n d a y a s a in g p ro d u k In d u st ri p a k a n co ld s to ra g e P ro g ra m i n te n si fi k a si ta n a m a n j a g u n g P ro g ra m i n te g ra si h o ri zo n ta l P e n y e d ia a n b e n ih j a g u n g u n g g u l S ilo d a n a la t p e n g e ri n g ja g u n g P e n in g k a ta n p e n g o la h a n d a n p ro se si n g K E B IJ A K A N P E M E R IN T A H P E M A S A R A N D A N P E R D A G A N G A N In v e st a si k o n d u si f, p ro m o si p ro d u k u n g g a s, t a ta r u a n g d a n l a lu l in ta s t e rn a k , k e sw a n d a n k e sm a v e t P e n g e lo la a n p a sa r se ca ra v e rt ik a l d a n h o ri zo n ta l P e rl in d u n g a n p a sa r g lo b a l y a n g t id a k a d il P e n in g k a ta n in v e st a si d a n d is tr ib u si Te rj a m in n y a p e n a w a ra n d a n p e rm in ta a n p ro d u k u n g g a s K e ta h a n a n p a n g a n P e le st a ri a n k e a n e k a ra g a m a n su m b e rd a y a l o k a l P e n d a p a ta n p e te rn a k m e n in g k a t P ro d u k u n g g a s y a n g b e rd a y a s a in g P e lu a n g e k sp o r O F F -F A R M T in g g in y a k o m p o n e n i m p o r u n tu k b a h a n p a k a n L e m a h n y a s a ra n a p e n g o la h a n d a n p ro s e s in g P e n g e m b a n g a n in fr a st ru k tu r K re d it u sa h a U K M Tr a n sp a ra n si i n fo rm a si K e m a n d iir ia n u sa h a p e te rn a k a n u n g g a s

(13)

Program peningkatan produktivitas jagung di dalam negeri perlu dilakukan baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi dalam upaya meningkatkan dayasaing produk perunggasan. Intensifikasi melalui penanaman varietas unggul seperti jagung komposit, hibrida atau transgenik yang mempunyai produksi tinggi dapat dilakukan, dimana penerapan inovasi varietas unggul mempunyai peran yang sangat penting terhadap kontribusi peningkatan produksi jagung nasional. Hal ini sangat tergantung pada kesesuaian dengan kondisi lingkungan (tanah dan iklim) serta preferensi petani terhadap warna biji, dimana warna kuning kemerahan cenderung untuk pakan dan warna putih untuk pangan. Sampai saat ini sebagian besar pelepasan varietas jagung unggul diarahkan pada jagung kuning yang sesuai untuk pakan, sementara jagung dengan biji putih masih belum mendapat perhatian yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa selama 20 tahun terakhir pemanfaatan jagung di Indonesia telah bergeser dari pangan menjadi bahan industri terutama pakan.

Varietas jagung unggul yang banyak berkembang di tingkat petani adalah Arjuna, Bisma dan Lamuru dengan potensi produksi rata-rata sekitar 7-8 ton/ha di Kawasan Timur Indonesia, seperti Gorontalo, Nusa Tenggara dan Sulawesi Selatan. Tingkat produktivitas jagung hibrida mulai menunjukkan perbaikan, sejalan dengan semakin tingginya frekuensi pelepasan benih jagung hibrida. Program penanaman jagung hibrida masih perlu ditingkatkan karena hasil yang diperoleh selama ini masih relatif rendah dari total areal penanaman jagung yang diusahakan rakyat dengan skala luasan yang sangat sempit.

Program ekstensifikasi dapat dilakukan dengan perluasan areal tanaman jagung, misalnya dengan memanfaatkan lahan “tidak berfungsi” yang relatif masih luas. Namun lahan seperti ini biasanya merupakan lahan marjinal yang penuh tantangan, baik dari segi kesuburan, ekologi, maupun ketersediaan sarana-prasarana pendukung. Justru yang saat ini belum banyak diperhatikan adalah penanaman jagung di kawasan perkebunan melalui pola integrasi. Apabila setiap tahun terdapat peremajaan kebun sebesar 4 persen, dan penanaman tumpang sari dapat dilakukan selama 4 tahun sebelum canopy menutup permukaan lahan, maka setiap tahun tersedia sekitar 16 persen areal perkebunan yang dapat dimanfaatkan untuk

ekstensifikasi penanaman jagung. Dari kawasan perkebunan kelapa sawit saja, yang saat ini luasnya sekitar 5 juta ha, terdapat potensi

untuk mengembangkan corn

estate seluas hampir satu juta

hektar. Bila kawasan ini dimanfaatkan, maka akan tersedia tambahan jagung sedikitnya 3 juta ton, atau dua kali lipat dari total impor saat ini. Di

kawasan ini sudah terbangun prasarana jalan yang sangat baik, serta manajemen yang relatif lebih mudah. Program diversifikasi penggunaan sumber energi selain jagung juga perlu mendapat perhatian.

Program pembangunan komoditas ternak unggas lokal difokuskan pada usaha pencegahan penyakit dalam upaya melestarikan sumberdaya lokal. Program ini meliputi u s a h a p e m b i b i t a n , m e n g o p t i m a l k a n pemanfaatan laboratorium kesehatan hewan, penelitian dan pengembangan serta pelatihan, penyuluhan dan penguatan kelembagaan petani.

(14)

VI. KEBUTUHAN INVESTASI

Apabila sasaran pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan protein hewani pada 10 tahun mendatang, setara dengan 1,25 milyar ekor ayam pedaging dan 115 juta ekor ayam petelur, maka perkiraan kebutuhan investasi diestimasi berdasarkan nilai aset yang saat ini berputar dalam usaha tersebut (Tabel 1). Pelaku investasi pengembangan agribisnis komoditas unggas dibedakan dalam tiga kelompok, yakni investasi yang dilakukan oleh rumah tangga peternak (masyarakat), swasta dan pemerintah. Masing-masing kelompok dibagi dalam investasi di sektor hulu, budidaya dan hilir, berturut-turut untuk komoditas ayam ras, ayam lokal dan itik. Estimasi kebutuhan investasi total mencapai Rp. 24.5 trilyun.

A. Investasi Masyarakat

Kebutuhan investasi masyarakat untuk pengembangan agribisnis ayam ras pedaging dan petelur berkisar antara 10-20 persen, masing-masing sebesar Rp. 1 trilyun untuk memenuhi kebutuhan daging dan telur. Estimasi kebutuhan investasi masyarakat untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam lokal dan itik adalah sekitar 60 persen, berturut-turut adalah sebesar Rp. 4,5 trilyun dan Rp. 1,5 trilyun.

Investasi masyarakat dalam hal ini dapat berupa investasi sumberdaya dan produksi yang meliputi aset tetap seperti lahan, kandang dan tenaga kerja. Sumber pembiayaan dapat berupa kredit dari perbankan maupun lembaga keuangan formal lainnya, serta tidak menutup kemungkinan lembaga keuangan non-formal seperti pinjaman kelompok maupun koperasi bersama.

Bidang Investasi Masyarakat Swasta Pemerintah

Ayam ras pedaging (Rp. 11 trilyun) Perkandangan Ternak Lahan Pakan dan obat Tenagakerja Rp. 1 trilyun Pasokan bibit Pabrik pakan Kemitraan Cold storage Pengolahan dan prosesing Rp. 9,5 trilyun Peningkatan luas areal tanam jagung Promosi

Infrastruktur Regulasi

Rp. 500 milyar Ayam ras petelur

(Rp. 5 trilyun)

Perkandangan Ternak Lahan Pakan dan obat Tenagakerja Rp. 1 trilyun Pasokan bibit Pabrik pakan Kemitraan Pabrik tepung telur Rp. 3,8 trilyun Peningkatan luas areal jagung Promosi Infrastruktur Regulasi Rp. 200 milyar Ayam lokal (Rp. 6 trilyun) Perkandangan Penyediaan bibit/ternak Lahan Pakan dan obat Tenagakerja Rp. 4,5 trilyun Pabrik pakan Kemitraan Diversifikasi produk Pabrik pengolahan dan prosesing Rp. 0,5 trilyun Penggunaan laboratorium keswan Promosi Infrastruktur Penelitian dan pengembangan Rp. 1 trilyun Itik (Rp. 2,5 trilyun) Perkandangan Penyediaan bibit/ternak Lahan Pakan dan obat Tenagakerja Rp. 1,5 trilyun Pabrik pakan Diversifikasi produk Rp. 250 milyar Promosi Infrastruktur Penelitian dan pengembangan Rp. 750 milyar Total

(Rp. 24,5 trilyun) Rp. 8 trilyun Rp. 14,05 trilyun Rp. 2,45 trilyun

Tabel 1. Estimasi kebutuhan investasi pengembangan agribisnis komoditas unggas

B. Investasi Swasta

Pangsa kebutuhan investasi swasta untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam pedaging dan petelur rata-rata berkisar antara 80 persen, berturut-turut adalah sebesar Rp. 9,5 trilyun dan Rp. 3,8 trilyun. Estimasi kebutuhan investasi swasta untuk

pengem-bangan komoditas ayam lokal dan itik adalah sekitar 10 persen, dengan nilai Rp. 0,5 trilyun untuk ayam lokal dan Rp. 250 milyar untuk ternak itik.

Bentuk investasi swasta dapat berupa peningkatan penyediaan sarana input seperti peningkatan pasokan bibit, pabrik pakan, peralatan serta obat dan vaksin. Investasi di sektor hilir seperti pabrik

(15)

pengolahan dan prosesing produk unggas seperti penyediaan sarana

cold storage dan pembangunan pabrik tepung telur perlu mendapat

perhatian yang serius.

Peran swasta dalam implementasi program kemitraan menjadi sangat penting, karena disamping dapat membantu meningkatkan skala usaha di sektor budidaya, juga dapat memberikan nilai tambah di sektor hilir. Hal ini dapat dilakukan melalui penciptaan struktur pasar terbuka berdasarkan efisiensi untuk memperoleh produk yang berdayasaing.

C. Investasi Pemerintah

Investasi produksi yang berupa infrastruktur oleh pemerintah sangat diperlukan seperti penyediaan benih jagung unggul, penanganan pascapanen berupa pembuatan silo dan sarana transportasi. Estimasi kebutuhan investasi pemerintah untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam ras pedaging dan petelur masing-masing adalah sebesar 5 persen, yakni Rp. 500 milyar untuk ayam ras pedaging dan Rp. 200 milyar untuk ayam ras petelur. Pada pengembangan komoditas ayam lokal dan itik, hal tersebut rata-rata berkisar antara 30 persen, dengan nilai berturut-turut Rp. 1 trilyun dan Rp. 750 milyar.

Investasi pemerintah utamanya terfokus pada kegiatan promosi dalam upaya meningkatkan konsumsi daging dan telur yang aman, sehat, utuh dan halal. Pelayanan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat sejak usia dini tentang manfaat mengkonsumsi daging dan telur perlu dilakukan secara konsisten.

Investasi oleh pemerintah juga diperlukan dalam upaya mengoptimalkan penggunaan laboratorium maupun pos kesehatan hewan yang tersebar di seluruh propinsi. Hal ini sangat terkait dengan lalu lintas ternak antara kabupaten/kota, propinsi maupun pulau serta pengawasan kesehatan hewan.

Peran pemerintah juga diharapkan dalam aspek penelitian dan pengembangan, utamanya dalam hal menyediakan alternatif bahan baku pakan berdasarkan sumberdaya lokal. Demikian pula halnya dengan identifikasi dan evaluasi untuk pengembangan ayam lokal yang resisten terhadap penyakit, serta peningkatan mutu genetik itik.

VII. DUKUNGAN KEBIJAKAN PENDUKUNG

Untuk mencapai visi, misi dan tujuan program pembangunan pertanian diperlukan kebijakan pendukung. Beberapa kebijakan pendukung yang diperlukan:

1. Kebijakan pendukung dalam membentuk lingkungan investasi yang kondusif, utamanya dalam hal pelayanan investasi khususnya investasi di luar sektor pertanian. Sebagai contoh kebijakan pembangunan peternakan, pabrik pakan dan pemotongan ayam dan sebagainya berubah menjadi kebijakan agribisnis sehingga perijinan hanya melalui satu atap.

2. Kebijakan dalam hal mempromosikan produk unggas. Kebijakan ini diperlukan mengingat konsumsi produk unggas yang belum merata di kalangan penduduk, sehingga diperlukan suatu promosi dalam kerangka keamanan pangan serta peningkatan konsumsi.

3. Sementara itu untuk menjamin agar peternakan ayam dapat terhindar dari serangan wabah berbahaya, perlu dukungan kebijakan dan inovasi dalam hal tata ruang, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, serta penegakan aturan yang terkait dengan lalu lintas ternak dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah dan perdagangan global. Kebijakan yang benar-benar mampu memberi perlindungan kepada peternak maupun konsumen dari ancaman wabah penyakit yang berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi sangat besar.

4. Kebijakan pendukung dalam rangka pencegahan penyakit diperlukan utamanya dalam memperkuat pelayanan laboratorium dan pos-pos kesehatan hewan, serta kebijakan penyuluhan tentang bahaya dan pencegahan penularan penyakit unggas. Kebijakan pendukung ini meliputi pengaturan keluar masuk ternak dan pengaturan impor ternak unggas beserta produk turunannya.

5. Pemerintah perlu membuat kebijakan tentang kemitraan agribisnis perunggasan yang adil baik bagi mitra maupun bagi inti melalui pembagian resiko dan keuntungan yang adil.

(16)
(17)

Tahun No. Provinsi

2000 2002 2004

1. Nangroe Aceh Darussalam 965.155 992.956 938.807

2. Sumatera Utara 26.893.165 61.948.000 38.045.260 3. Sumatera Barat 10.400.682 10.882.230 8.113.818 4. Riau 8.427.829 24.107.034 25.768.981 5. Jambi 4.793.997 5.424.441 6.980.903 6. Sumatera Selatan 15.500.000 17.000.000 17.061.000 7. Bengkulu 2.453.080 2.996.897 2.092.289 8. Lampung 23.929.600 23.640.000 23.650.000 9. DKI Jakarta 889.000 1.455.000 95.354 10. Jawa Barat 196.422.402 269.778.372 354.613.486 11. Jawa Tengah 71.554.382 97.485.267 67.852.915 12. DI Yogyakarta 12.431.023 30.582.672 16.861.326 13. Jawa Timur 88.077.360 153.817.800 189.132.234 14. Bali 18.646.404 16.137.695 25.771.505

15. Nusa Tenggara Barat 2.705.129 3.981.564 9.736.208

16. Nusa Tenggara Timur 354.313 452.500 2.763.318

17. Kalimantan Barat 15.787.359 15.324.493 14.118.120 18. Kalimantan Tengah 1.616.795 1.659.954 9.705.900 19. Kalimantan Selatan 6.145.602 8.583.756 14.999.349 20. Kalimantan Timur 14.306.200 20.624.500 22.182.042 21. Sulawesi Utara 4.121.368 4.096.442 3.755.343 22. Sulawesi Tengah 974.015 1.329.577 4.173.306 23. Sulawesi Selatan 1.890.100 15.327.835 23.888.400 24. Sulawesi Tenggara 152.420 682.100 750.030 25. Maluku - 36.130 51.363 26. Papua 1.433.677 479.676 1.119.510 27. Bangka Belitung - 401.067 4.274.655 28. Banten - 55.725.252 6.502.274 29. Gorontalo - 53.775 80.783 30. Maluku Utara - 67.800 77.006 Indonesia 530.874.057 865.074.785 895.155.485

Lampiran 1. Populasi ayam ras pedaging menurut propinsi tahun 2000 -2004

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004.

Tahun

No. Provinsi

2000 2002 2004

1. Nangroe Aceh Darussalam 245.592 47.350 124.702

2. Sumatera Utara 15.723.936 14.128.403 13.826.970 3. Sumatera Barat 3.210.126 4.590.555 4.790.079 4. Riau 683.667 636.813 582.012 5. Jambi 268.497 445.253 848.989 6. Sumatera Selatan 3.000.000 5.595.000 3.057.000 7. Bengkulu 29.100 57.061 38.505 8. Lampung 3.116.304 2.051.600 1.907.802 9. DKI Jakarta 500 - - 10. Jawa Barat 12.432.950 8.588.803 10.901.145 11. Jawa Tengah 6.730.818 7.368.333 8.697.289 12. DI Yogyakarta 1.142.601 1.418.533 1.448.289 13. Jawa Timur 14.358.602 14.702.644 14.607.181 14. Bali 1.567.321 2.001.287 2.886.229

15. Nusa Tenggara Barat 53.605 90.128 95.186

16. Nusa Tenggara Timur 50.000 79.297 80.154

17. Kalimantan Barat 1.710.550 2.015.910 2.054.930 18. Kalimantan Tengah 19.162 16.834 16.160 19. Kalimantan Selatan 549.527 1.255.017 1.234.284 20. Kalimantan Timur 324.910 901.900 600.270 21. Sulawesi Utara 631.592 500.698 677.811 22. Sulawesi Tengah 395.507 462.877 387.496 23. Sulawesi Selatan 2.787.881 3.196.835 4.795.530 24. Sulawesi Tenggara 13.205 20.617 16.930 25. Maluku - 47.749 52.246 26. Papua 320.053 110.151 198.278 27. Bangka Belitung - 353.441 567.210 28. Banten - 7.198.822 5.960.477 29. Gorontalo - 156.954 178.594 30. Maluku Utara - - 1.326 Indonesia 69.366.006 78.038.865 80.633.497

Lampiran 2. Populasi ayam ras petelur menurut propinsi tahun 2000-2004

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004

(18)

Tahun No. Provinsi

2000 2002 2004

1. Nangroe Aceh Darussalam 16.192.682 17.721.490 19.355.128

2. Sumatera Utara 20.532.960 22.222.545 2.465.146 3. Sumatera Barat 7.510.267 7.784.059 5.316.493 4. Riau 7.994.993 6.475.273 7.428.062 5. Jambi 4.195.949 3.439.967 4.190.853 6. Sumatera Selatan 16.500.000 13.375.000 19.297.000 7. Bengkulu 2.919.951 3.325.250 3.023.744 8. Lampung 13.300.148 15.178.000 14.728.000 9. DKI Jakarta 150.212 91.666 49.150 10. Jawa Barat 34.091.782 30.273.580 34.488.965 11. Jawa Tengah 31.970.524 34.174.515 34.362.276 12. DI Yogyakarta 5.105.777 5.113.816 5.102.889 13. Jawa Timur 37.176.008 37.766.677 38.613.195 14. Bali 5.055.649 4.201.350 4.056.487

15. Nusa Tenggara Barat 3.325.722 3.973.925 4.547.448

16. Nusa Tenggara Timur 9.153.997 9.636.927 10.223.816

17. Kalimantan Barat 3.841.321 3.798.480 4.804.450 18. Kalimantan Tengah 3.150.775 3.431.072 4.246.950 19. Kalimantan Selatan 4.648.037 6.435.933 7.953.017 20. Kalimantan Timur 3.048.600 3.315.800 3.178.422 21. Sulawesi Utara 2.709.843 2.060.290 1.932.477 22. Sulawesi Tengah 1.219.590 1.369.134 1.421.351 23. Sulawesi Selatan 15.617.718 19.082.148 19.447.080 24. Sulawesi Tenggara 6.165.289 6.331.450 6.836.270 25. Maluku 2.140.392 1.037.677 1.172.107 26. Papua 1.538.411 1.618.836 1.688.466 27. Bangka Belitung - 2.196.127 1.929.179 28. Banten - 8.304.999 8.151.825 29. Gorontalo - 803.319 836.296 30. Maluku Utara - 752.568 1.000.299 Indonesia 259.256.597 275.291.873 271.846.841

Lampiran 3. Populasi ayam lokal menurut propinsi tahun 2000-2004

(ekor)

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004.

Tahun

No. Provinsi

2000 2002 2004

1. Nangroe Aceh Darussalam 6.801 7.443 12.194

2. Sumatera Utara 16.129 17.456 18.893 3. Sumatera Barat 3.239 3.269 3.349 4. Riau 4.811 3.108 3.565 5. Jambi 1.678 1.312 1.488 6. Sumatera Selatan 9.792 4.988 5.302 7. Bengkulu 1.160 1.260 414 8. Lampung 6.983 13.436 12.102 9. DKI Jakarta 71 37 20 10. Jawa Barat 20.908 18.566 27.232 11. Jawa Tengah 22.570 27.124 29.228 12. DI Yogyakarta 2.679 2.625 3.005 13. Jawa Timur 15.614 20.640 29.345 14. Bali 35 2.891 2.002

15. Nusa Tenggara Barat 1.257 1.669 1.910

16. Nusa Tenggara Timur 3.891 4.101 4.351

17. Kalimantan Barat 2.021 2.590 2.769 18. Kalimantan Tengah 1.034 1.702 2.371 19. Kalimantan Selatan 2.649 4.512 5.532 20. Kalimantan Timur 2.056 2.139 2.327 21. Sulawesi Utara 1.783 1.471 1.380 22. Sulawesi Tengah 512 575 597 23. Sulawesi Selatan 6.559 8.541 8.751 24. Sulawesi Tenggara 3.118 3.188 3.294 25. Maluku 990 14 492 26. Papua 615 770 907 27. Bangka Belitung - 744 1.229 28. Banten - 5.088 6.504 29. Gorontalo - 23 3 30. Maluku Utara - 409 424 Indonesia 139.023 161.691 191.008

Lampiran 4. Produksi telur ayam lokal menurut provinsi tahun 2000-2004

(ton)

(19)

Lampiran 5. Produksi daging ayam lokal menurut provinsi tahun 2000-2004 (ton) Tahun No. Provinsi 2000 2002 2004

1. Nangroe Aceh Darussalam 10.549 12.382 13.676

2. Sumatera Utara 22.860 24.741 25.138 3. Sumatera Barat 8.022 8.348 6.141 4. Riau 9.772 6.750 8.932 5. Jambi 4.451 1.756 3.228 6. Sumatera Selatan 20.328 18.914 21.695 7. Bengkulu 4.098 7.896 1.441 8. Lampung 20.899 23.403 24.448 9. DKI Jakarta 216 3.180 4.355 10. Jawa Barat 31.558 28.024 33.568 11. Jawa Tengah 34.476 36.851 39.151 12. DI Yogyakarta 5.475 6.483 7.603 13. Jawa Timur 42.651 47.662 60.673 14. Bali 5.536 4.600 4.426

15. Nusa Tenggara Barat 1.892 2.617 2.999

16. Nusa Tenggara Timur 6.408 9.107 9.662

17. Kalimantan Barat 3.596 3.703 5.744 18. Kalimantan Tengah 2.289 1.310 2.998 19. Kalimantan Selatan 3.858 3.024 3.327 20. Kalimantan Timur 3.272 3.404 3.703 21. Sulawesi Utara 2.967 2.375 2.367 22. Sulawesi Tengah 1.328 1.499 1.556 23. Sulawesi Selatan 8.121 9.923 9.879 24. Sulawesi Tenggara 6.801 6.609 6.853 25. Maluku 2.804 868 1.291 26. Papua 979 1.210 1.389 27. Bangka Belitung - 1.667 1.655 28. Banten - 9.503 4.354 29. Gorontalo - 381 465 30. Maluku Utara - 150 1.777 Indonesia 265.206 288.340 314.494

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004.

Lampiran 6. Populasi itik menurut propinsi tahun 2000-2004 (ekor)

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004.

Tahun No. Propinsi

2000 2002 2004

1. Nangroe Aceh Darussalam 3.314.103 3.358.861 3.439.278

2. Sumatera Utara 2.223.951 2.250.717 2.277.806 3. Sumatera Barat 1.711.790 1.795.425 778.717 4. Riau 401.744 359.975 489.505 5. Jambi 628.169 496.798 900.933 6. Sumatera Selatan 2.198.000 2.063.000 2.419.000 7. Bengkulu 225.650 256.786 176.551 8. Lampung 559.827 515.927 641.427 9. DKI Jakarta 140.144 57.203 43.320 10. Jawa Barat 4.204.705 4.293.637 5.076.577 11. Jawa Tengah 3.661.805 4.023.358 4.320.806 12. DI Yogyakarta 227.476 211.590 220.738 13. Jawa Timur 2.311.665 14.702.644 2.388.627 14. Bali 616.460 924.749 1.047.222

15. Nusa Tenggara Barat 490.958 566.204 499.863

16. Nusa Tenggara Timur 191.653 210.291 233.321

17. Kalimantan Barat 283.240 301.911 322.485 18. Kalimantan Tengah 150.350 114.122 232.230 19. Kalimantan Selatan 2.316.779 2.611.321 3.272.537 20. Kalimantan Timur 241.500 376.800 388.926 21. Sulawesi Utara 106.264 57.386 65.860 22. Sulawesi Tengah 151.285 204.601 210.472 23. Sulawesi Selatan 2.243.335 4.113.486 4.123.070 24. Sulawesi Tenggara 223.020 225.818 285.590 25. Maluku 122.000 66.323 96.003 26. Papua 116.449 163.796 258.120 27. Bangka Belitung - 175.592 174.612 28. Banten - 1.379.820 1.023.978 29. Gorontalo - 69.361 93.768 30. Maluku Utara - 53.380 27.501 Indonesia 29.035.322 46.000.882 35.528.843

(20)

Tahun

No. Provinsi

2000 2002 2004

1. Nangroe Aceh Darussalam 15.510 15.719 19.398

2. Sumatera Utara 10.598 10.726 10.855 3. Sumatera Barat 8.269 8.403 4.392 4. Riau 1.417 2.268 2.555 5. Jambi 2.928 2.057 2.581 6. Sumatera Selatan 10.845 8.938 9.500 7. Bengkulu 859 936 213 8. Lampung 2.838 3.270 4.025 9. DKI Jakarta 971 458 347 10. Jawa Barat 27.492 28.073 37.447 11. Jawa Tengah 15.974 15.919 17.202 12. DI Yogyakarta 1.061 961 1.175 13. Jawa Timur 10.819 16.384 17.004 14. Bali 3.000 4.974 5.463

15. Nusa Tenggara Barat 2.068 2.649 2.339

16. Nusa Tenggara Timur 901 991 1.100

17. Kalimantan Barat 1.400 1.485 1.594 18. Kalimantan Tengah 497 523 575 19. Kalimantan Selatan 11.260 13.407 20.105 20. Kalimantan Timur 1.238 1.434 2.082 21. Sulawesi Utara 580 356 409 22. Sulawesi Tengah 708 958 985 23. Sulawesi Selatan 10.449 19.680 22.153 24. Sulawesi Tenggara 1.540 1.540 1.371 25. Maluku 590 20 349 26. Papua 494 630 655 27. Bangka Belitung - 130 912 28. Banten - 6.638 7.011 29. Gorontalo - 67 76 30. Maluku Utara - 57 130 Indonesia 144.305 169.651 194.003

Lampiran 7. Produksi telur itik menurut provinsi tahun 2000-2004

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004.

Lampiran 8. Produksi daging itik menurut provinsi tahun 2000-2004

Tahun

No. Provinsi

2000 2002 2004

1. Nangroe Aceh Darussalam 1.607 1.630 2.004

2. Sumatera Utara 1.133 1.146 1.160 3. Sumatera Barat 707 741 428 4. Riau 198 277 259 5. Jambi 294 170 331 6. Sumatera Selatan 426 688 789 7. Bengkulu 63 72 139 8. Lampung 121 138 96 9. DKI Jakarta 58 4.032 4.307 10. Jawa Barat 2.634 2.689 3.180 11. Jawa Tengah 2.535 4.044 3.049 12. DI Yogyakarta 93 135 206 13. Jawa Timur 1.194 1.170 1.349 14. Bali 256 384 410

15. Nusa Tenggara Barat 133 228 405

16. Nusa Tenggara Timur 134 66 74

17. Kalimantan Barat 142 141 155 18. Kalimantan Tengah 77 73 84 19. Kalimantan Selatan 506 673 762 20. Kalimantan Timur 107 110 159 21. Sulawesi Utara 52 30 34 22. Sulawesi Tengah 75 122 125 23. Sulawesi Selatan 1.010 1.851 2.259 24. Sulawesi Tenggara 134 95 126 25. Maluku 67 - 39 26. Papua 40 71 97 27. Bangka Belitung - 137 60 28. Banten - 862 229 29. Gorontalo - 4 4 30. Maluku Utara - - 15 Indonesia 13.794 21.779 22.334

Sumber: Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004.

(21)

Lampiran 9. Analisis usaha pemeliharaan ayam pedaging mandiri Lampiran 10. Analisis usaha ayam pedaging pola inti-plasma

-Uraian Total

Jumlah d.o.c. (ekor) 15.000

Mortalitas (3,2%) 450

Jumlah ayam panen (ekor) 14.550

Lama pemeliharaan (hari) 35

Rata-rata bobot badan saat panen (kg/ekor) 1,56

Total bobot badan saat panen (kg) 22.698

FCR 1,65

I. Modal kerja: Kredit dari Inti:

d.o.c @ Rp 2,474,-/ekor 37.110.000,00

Pakan starter @ Rp 2,500,-/kg 28.088.775,00

Pakan finisher @ Rp 2,400,-/kg 62.918.856,00

Obat -obatan @ Rp 120,-/ekor 1.800.000,00

Total modal kerja 129.917.631,00

II. Biaya operasional:

Gas/brooder @ Rp 40,-/ekor 600.000,00

Sekam @ Rp 25,-/ekor 375.000,00

Listrik @ Rp 15,-/ekor 225.000,00

Tenaga kerja @ Rp 125, -/ekor 1.875.000,00

Penyusutan kandang dan alat 280.000,00

Total biaya operasional 3.355.000,00

Total modal Kerja dan biaya produksi 133.272.631,00

III. Penerimaan: Penjualan ayam @ Rp 7.500,-/kg 170.235.000,00 Penjualan pupuk 548.000,00 Total Penerimaan 170.783.000,00 Pendapatan 37.510.369,00 B/C 1,28 Uraian Total

Jumlah d.o.c (ekor) 15.000

Mortalitas (6%) 900

Jumlah ayam panen (ekor) 14.100

Lama pemeliharaan (hari) 40

Rata-rata bobot badan saat panen (kg/ekor) 1,77

Total bobot badan saat panen (kg) 24.957

FCR 1,72

I. Investasi:

Lahan 0,5 ha @ Rp 50 Juta/ha 25.000.000,00

Kandang, gudang, peralatan 16 unit @ Rp 15 juta 240.000.000,00

Total investasi 265.000.000,00

II. Biaya tetap:

Penyusutan kandang, bangunan dan peralatan 10% per tahun

4.000.000,00 Pemeliharaan/perbaikan 1% per tahun dari total

investasi

441.670,00

Gaji pegawai 3 orang @ Rp 1,2 juta/periode 3.600.000,00

Total biaya tetap 8.041.670,00

III. Biaya tidak tetap:

Pembelian d.o.c. @ Rp 2.250,-/ekor 33.750.000,00

Pakan starter @ Rp 2.600,-/kg 49.140.000,00

Pakan finisher@ Rp 2.500,-/kg 57.750.000,00

Obatobatan dan vaksin: @ Rp 250,-/ekor - 3.750.000,00

Listrik, sekam, bahan bakar @ Rp 650,-/ekor 9.750.000,00

Total biaya tidak tetap 154.140.000,00

Total biaya tetap dan tidak tetap 162.181.670,00

IV. Penerimaan:

Penjualan ayam @ Rp 7.500,-/kg 187.177.500,00

Penjualan pupuk @ Rp 2.000,-/kg 360.000,00

Penjualan karung pakan @ Rp 500,- /buah 420.000,00

Total penerimaan 189.957.500,00

Pendapatan 25.775.830,00

(22)

42

Lampiran 11. Analisis usaha ayam pedaging pola poultry shop Lampiran 12. Analisis usaha pemeliharaan ayam layer mandiri

Uraian Total

Jumlah d.o.c. 15.000

Mortalitas (4,7%) 705

Jumlah ayam panen (ekor) 14.295

Lama pemeliharaan (hari) 35

Rata-rata bobot badan saat panen (kg/ekor) 1,5

Total bobot badan saat panen (kg) 21.442,5

FCR 1,7

I. Modal kerja:

Kredit dari Poultry Shop :

d.o.c. @ Rp 2.500, -/ekor 37.500.000,00

Pakan starter @ Rp 2.525, -/kg 27.612.579,38

Pakan finisher @ Rp2.425, -/kg 61.877.694,38

Obat -obatan @ Rp100,-/ekor 1.500.000,00

Total modal kerja: 128.490.273,75

II. Biaya operasional:

Gas/brooder @ Rp 40,-/ekor 600.000,00

Sekam @ Rp 25,-/ekor 375.000,00

Listrik @ Rp 15,-/ekor 225.000,00

Tenaga kerja @ Rp 100,-/ekor 1.500.000,00

Penyusutan kandang dan alat 250.000,00

Total biaya operasional 2.950.000,00

Total modal kerja dan biaya produksi 131.440.273,75

III. Penerimaan: - Penjualan ayam: @ Rp 7.500,-/kg 164.035.125,00 - Penjualan pupuk 578.000,00 Total penerimaan 164.613.125,00 Pendapatan 33.172.851,25 B/C 1,25 43 Uraian Total

Skala usaha (ekor) 10.000

Umur ayam pullet (minggu) 16

Kebutuhan pakan (gram/ekor/hari) 115

Tingkat produksi telur (%) 78

Populasi ayam petelur produktif 93

Berat telur (gram/butir) 62,5

Mortalitas dan ayam afkir (%) 7

Umur masa aktif produksi (minggu) 20 - 90

Siklus produksi (bulan) 16,5

I. Investasi

Lahan 0,4 Ha, @ Rp 50 juta 20.000.000,00

Kandang, gudang 3,4m x 30m dan peralatan 20 unit, @ Rp 20 Juta

400.000.000,00

Ayam pullet, @ Rp 26.000 260.000.000,00

Total investasi 680.000.000,00

II. Biaya tetap

Penyusutan kandang dan peralatan, 10% per tahun 40.000.000,00

Penyusutan pullet @ Rp 14.000/ekor

130.200.000,00

Pemeliharaan/perbaikan 1% per tahun dari investasi

6.800.000,00

Gaji karyawan, @ Rp 600.000/orang/bulan 59.400.000,00

Total biaya tetap 236.400.000,00

III Biaya tidak tetap

Pakan/konsentrat, @ Rp 1.800/kg 1.072.260.000,00 Obat-obatan dan vaksin, @ Rp 1.000/ekor

10.000.000,00

Listrik, bahan bakar, @ Rp 500/ekor

5.000.000,00

Total biaya tidak tetap

1.087.260.000,00 Total biaya tetap dan tidak tetap 1.323.660.000,00 IV Penerimaan

Penjualan telur,@ Rp 6.800/kg 1.596.968.100,00 Penjualan ayam afkir, @ Rp 12.000/ekor

111.600.000,00 Total penerimaan 1.708.568.100,00 Pendapatan 384.908.100,00 B/C 1,29 43

Gambar

Gambar 1. Pohon industri agribisnis ternak unggas
Gambar 2. Road map pengembangan komoditas unggas1. Sektor hulu

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pengembangan agribisnis bawang merah mencakup: (a) menyediakan benih varietas unggul bawang merah kualitas impor sebagai salah satu upaya substitusi (pengurangan

Berdasarkan aspek pertanyaan pada tabel 4.23 dapat dilihat, Aplikasi Multimedia Interaktif Pembelajaran Agribisnis Ternak Unggas ini mendapatkan nilai 3.7 dari

Hal ini menyebabkan minat masyarakat untuk memelihara tanaman anggrek dengan tujuan komersial menjadi tinggi, mengingat kondisi pasar di dalam dan luar negeri yang sangat

Keluaran/ output yang akan dicapai dalam program tersebut adalah (1) varietas jagung unggul berbiji putih (bersari bebas) dari populasi promising MS2 yang produktivitasnya

Kebijakan pada sub-sistem pengolahan dan industri hilir diarahkan kepada upaya untuk mewujudkan tumbuh dan berkembangnya pengolahan dan industri hilir karet yang menghasilkan

Harga gula dunia yang diperkirakan akan tinggi, peluang pasar domestik dan internasional yang masih terbuka, serta kebijakan pemerintah yang relatif kondusif untuk

Di Indonesia, padi diusahakan oleh sekitar 18 juta petani dan menyumbang 66% terhadap produk domestik bruto (PDB) tanaman pangan. Selain itu, usahatani padi telah

KATA PENGANTAR Peningkatkan daya saing produk tanaman hias, khususnya anggrek dilakukan melalui reorientasi sistem usahatani tradisional menuju sistem agribisnis yang berdaya saing dan