• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Efendi Ari Wibowo dan Dr. Suharno, M.Si.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh: Efendi Ari Wibowo dan Dr. Suharno, M.Si."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

IMP

Stu

Suar

PLEMEN

ER

udi atas P

raSenyapL

PENDIDI UN

NTASI KE

RA REFO

elarangan

LembarK

RIN EFE N IKAN KEW FAKU NIVERSITA

EBIJAKA

ORMASI

n Buku L

Kebudaya

NGKASAN Oleh ENDI ARI W NIM 09401 WARGANE ULTAS ILM AS NEGER 2014

AN PELA

DI INDO

LekraTakM

aanHarian

N SKRIPSI : WIBOWO 241034 EGARAAN MU SOSIA RI YOGYA 4

ARANGA

ONESIA

Membaka

nRakyat 1

N DAN HUK AL AKARTA

N BUKU

arBuku:

1950-1965

KUM

5

(2)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PELARANGAN BUKU ERA REFORMASI DI INDONESIA

Studi atas Pelarangan Buku LekraTakMembakarBuku: SuaraSenyapLembarKebudayaanHarianRakyat 1950-1965

Oleh:

Efendi Ari Wibowo dan Dr. Suharno, M.Si.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk praktik kebijakan pelarangan buku era reformasi di Indonesia. Disamping itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bentuk perlawanan atau advokasi warga negara terhadap kebijakan pelarangan buku tersebut.

Penelitianinimerupakanpenelitiandeskriptifdenganmenggunakanpendekata nkualitatif. Subjek penelitian ini adalah penulis buku yaitu Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Staf Intelejen Kejaksaan Tinggi D.I. Yogyakarta yaitu Arif Raharjo, S.H., dan pengamat perbukuan yaitu Eko Prasetyo. Subjek penelitian ditentukan menggunakan teknik purposive sampling. Lokasi penelitian dilaksanakandi Kejaksaan Tinggi D.I Yogyakarta dan Perpusatakaan Indonesia Boekoe, Yogyakarta. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan wawancaramendalam, dan dokumentasi.Data dianalisis secara induktif.Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik cross chek.

Hasil penelitian mendeskripsikan bahwa:(1) bentuk praktik kebijakan pelarangan buku berlandaskan UU No.4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan Yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan UUNo.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Hal tersebut dilakukan melalui alur kerja sebagai berikut: pengumpulan informasi, rapat clearing house, pengeluaran surat keputusan pelarangan oleh Jaksa Agung, kemudian penyitaan dan pemusnahan buku. Buku tersebut dilarang melalui Keputusan Jaksa AgungNomor KEP-141/A/JA/12/2009 pada tanggal 22 Desember 2009dengan kriteria penilaian bahwa sampul buku bagian depan bergambar palu arit, mencantumkan istilah “G30S” tanpa diikuti istilah PKI, dan mendiskreditkan pemerintah khususnya Angkatan Bersenjata; (2) perlawanan atau advokasi yang dilakukan oleh penulis sebagai warga negara adalah perlawanan non litigasi dan perlawanan litigasi. Perlawanan non litigasi menggunakan metode diskusi, seminar dan pameran buku terlarang di Jakarta dan Surabaya selain itu juga memanfaatkan jejaring sosial. Perlawanan litigasi melalui uji materi (judicial

review) UU No.4/PNPS/1963 dan UU No.16 Tahun 2004 ke Mahkamah

Konstitusi. Hasil dari uji materi tersebut adalah UU No.4/PNPS/1963 tidak mempunyai kekuatan hukum lagi sedangkan UU No.16 tahun 2004 tetap berlaku.

(3)

I. PENDAHULUAN

Pelarangan buku adalah antitesa bagi kemerdekaan hak politik warga negara yang telah dirasakan bangsa Indonesia sejak era kolonial hingga era reformasi. Kebijakan pelarangan ini merupakan bentuk kesewenang-wenangan untuk membatasi kebebasan berpikir dan berpendapat di era reformasi. Pembredelan buku menandakan ketakutan rezim penguasa terhadap kritik kondisi masyarakat terkini. Hasil pemikiran manusia berbentuk buku yang pada dasarnya berperan sebagai media penyampai informasi dan pengetahuan bagi masyarakat ditafsir musuh negara. Hal tersebut mengakibatkan tertutupnya saluran informasi dan pengetahuan. Masyarakat dipaksa untuk mengkonsumsi pemaknaan tunggal terhadap pengetahuan yang sejatinya mempunyai beragam sudut pandang.

Buku yang juga merupakan manifestasi tujuan nasional dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang dalam amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan represif diberangus oleh rezim penguasa melalui aparat-aparat negara. Selain itu, buku merupakan simbol hak politik warga negara yang dilindungi dan diamanatkan kostitusi. Hal tersebut didasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya di tetapkan dengan undang-undang”. Oleh karena itu maka jaminan terhadap freedom of

expression, freedom of speech, dan fredom of the press warga negara telah

diatur dan dijamin oleh negara.

Kemerdekaan berekspresi juga dipertegas di dalam UU Pers No. 44 tahun 1999 yang berisi: 1. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; 2. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak-hak asasi manusia, menghormati kebhinekaan; 3. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar; 4. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran

(4)

terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; 5. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran (Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 3).

Pelarangan buku yang terjadi di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru. Menurut Iwan Awaludin Yusuf (2010: 4), sejarah mencatat, pada awal terbentuknya Orde Baru, pelarangan sejumlah buku pernah dilakukan secara membabi buta, terutama setelah peristiwa G-30 S. Tiga bulan setelah peristiwa kelabu tersebut, yaitu pada 30 November 1965, Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Bidang Teknis Pendidikan, Kol. (Inf) Drs K. Setiadi Kartohadikusumo, melarang 70 judul buku. Pelarangan ini kemudian disusul dengan pelarangan terhadap semua karya 87 penulis yang dituduh beraliran Kiri. Jadi, saat itu dan bahkan hingga kini, pelarangan buku bukan sekedar karena isinya, melainkan karena “alasan politis”yang ditujukan kepada penulis, penerbit, dan bahkan editornya.

Praktik kebijakan pelarangan buku di dalam era Orde Baru tersebut melalui Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 yang ditandatangani oleh Pembantu Menteri Bidang Teknis Pendidikan, Kol. (Inf) Drs. M. Setiadi Kartohadikusumo. Di dalam bagian konsiderans disebutkan bahwa untuk mengadakan tindak lanjut di dalam usaha menumpas gerakan yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” khususnya dibidang mental ideologi, dipandang perlu melarang buku-buku pelajaran, perpustakaan, dan kebudayaan yang dikarang oleh oknum-oknum dan anggota-anggota Ormas/Orpol yang dibekukan untuk sementara waktu kegiatannya (Jaringan Kerja Budaya, 1999: 27). Berkat Instruksi ini menurut Jaringan Kerja Budaya dalam waktu yang singkat angka buku yang dilarang terus bertambah, sehingga diperkirakan mencapai 2000 judul. Ini adalah pelarangan buku massal yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia.

Di tahun 1998 akhirnya rezim Orde Baru tumbang oleh gerakan massa. Era ini kemudian disebut sebagi era reformasi dimana diharapkan

(5)

adanya iklim yang lebih demokratis dalam berbagai bidang di Indonesia. Reformasi juga mendorong adanya perubahan konstitusional yang memperkuat supremasi hukum terhadap jaminan hak asasi manusia. Hal ini diperkuat dengan adanya ratifikasi dua kovenan internasional utama hak asasi manusia, yakni kovenan hak sipil dan politik dan kovenan internasional hak ekonomi sosial dan budaya pada tahun 2005 melalui UU No. 11 dan 12 tahun 2005 (Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 53).

Namun, keberlangsungan praktik pelarangan buku oleh intitusi negara tidak pernah hilang bahkan di era reformasi. Pemerintah dengan berbagai dalih melakukan tindak pelarangan buku yang dianggap menggangu ketertiban. Tercatat, di penghujung tahun 2009, terjadi pelarangan lima buku di tanah air. Kelima buku yang dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), itu adalah (Iwan Awaludin Yusuf, 2010: 1) (1) Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karya John Rosa; (2) Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman; (3) Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; (4) Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan; (5) Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad.

Salah satu buku yang di larang sepihak di era reformasi adalah buku berjudul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Penulis buku tersebut tidak mendapatkan surat pemberitahuan dan alasan yang jelas dari Kejagung mengapa bukunya dilarang untuk beredar di masyarakat. Padahal buku ini mengetengahkan situasi nasional Indonesia di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965) melalui sudut pandang Harian Rakyat.

Pertanyaannya yang kemudian muncul, kepentingan apa yang berada dibalik kebijakan pelarangan buku tersebut? Pertanyaan ini

(6)

berusaha keluar dan mendedah lebih dalam penjelasan yuridis dalam produk hukum kebijakan pelarangan buku. Dimana kebijakan tersebut menyatakan bahwa pelarangan buku dibentuk untuk melindungi kepentingan umum atau demi menjaga stabilitas nasional.

Dengan adanya permasalahan seperti di atas, penulis tertarik mengadakan penelitian tentang Politik Kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia dengan mengambil studi kasus atas pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Hal tersebut dengan harapan agar dapat ditangkap konteks atas perlindungan hak politik warga negara pascatumbangnya rezim Orde Baru.

II. KAJIAN PUSTAKA 1. Definisi Politik

Politik merupakan usaha untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoteles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Namun demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu masyarakat yang lebih baik daripada yang dihadapinya, atau yang disebut Peter Merkl:”Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Politics, at its best is a noble quest for agood order

and justice)” –betapa samar-samar pun –tetap hadir sebagai latar belakang

serta tujuan kegiatan poitik. Dalam pada itu tentu perlu disadari bahwa persepsi mengenai baik dan adil dipengaruhi oleh nilai-nilai dan ideologi masing-masing dan zaman yang bersangkutan (Miriam Budiarjo, 2008: 15).

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) menurut Miriam Budiarjo (2008: 15) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha

(7)

menggapai the good life ini menyangkut bermacam-macam kegitan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem politik itu dan hal ini menyangkut pilihan antara beberapa alternatif serta urutan prioritas dari tujuan-tujuan yang telah ditentukan itu.

2. Definisi Kebijakan Negara/Publik

Kebijakan (Policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan itu. pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Berikut ini ada beberapa definisi mengenai kebijkan publik (Miriam Budiarjo, 2008: 21): Hoogerwerf menyebutkan bahwa objek dari ilmu politik adalah kebijakan pemerintah proses terbentuknya serta akibat-akibatnya. Yang dimaksud dengan kebijakan umum (public policy) di sini menurut Hogewerft ialah, membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan (doelbewuste vormgeving aan de samenleving door

middel van machtsuitoefening).

Sedangkan Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Konsep kebijakan ini kita anggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu, konsep ini juga membedakan secara tegas anatara kebijakan (policy) dan keputusan (decision) yang mengandung arti pemilihan di antara berbagai alternatif yang ada (Suharno, 2010: 13).

3. Ciri Kebijakan Publik

Ciri-ciri khusus yang melekat pada kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan, yang oleh David Easton disebut, orang-orang yang memiliki wewenang dalam sistem politik, yakni para tetua adat, para ketua suku, para eksekutif, para legislator, para hakim, para administrator, para monarki, dan lain sebagainy

(8)

kolonial. Terdapat berbagai bentuk imlementasi kebijakan pelarangan buku terhadap penulis karena hasil karaya tulisnya berlawanan pandangan politik dan kebijakan dengan pemerintah yang berkuasa.

a) Masa Kolonial

Pada masa kolonial belum dibentuk peraturan khusus yang bertujuan melakukan pelarangan buku. Para penulis diasingkan atau di penjara oleh pemerintah kolonial dengan alasan karya yang dibuat berlawanan atau bertentangan dengan pandangan politik dan kebijakan pemerintah kolonial. Pelarangan brosur karya Soewardi Soerjaningrat bertajuk Seandainya saya Warga Belanda (Als ik eens

Nerderlander was).

b) Masa Orde Lama

Praktik pelarangan buku di era Orde Lama dimulai tanggal 14 September 1956 dengan adanya pengumuman dari KSAD Mayjen A.H. Nasution mengenai Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat (AD) selaku penguasa militer mengeluarkan peraturan No. PKM/001/9/1956 yang memberikan kewenangan untuk mengontrol kebebasan berekspresi, terutama pemberitaan pers (Fauzan, 2003: 116).

Angkatan Darat dengan landasan peraturan tersebut dapat melarang peredaran barang-barang cetakan yang dianggap memuat atau mengandung “ketzaman-ketzaman”, persangkaan (insinuaties), bahkan “penghinaan” terhadap pejabat negara, memuat atau mengandung “pernjataan permusuhan, kebencian atau penghinaan” terhadap golongan-golongan masyarakat, atau menimbulkan “keonaran”. Batasan-batasan tersebut sepenuhnya ditentukan subjektif oleh Angkatan Darat (Iwan Awaludin Yusuf, 2003: 47).

c) Masa Orde Baru

Periode Orde Baru adalah pemerintahan yang represif. Kehidupan masyarakat mengalami berbagai bentuk pengekangan. Banyak aktivis yang ditahan dengan alasan menyebarkan ideologi yang bertentangan

(9)

dengan Pancasila. Pada tahun 1989 dalam Media Kerja Budaya edisi 04 tahun 2000, diberitakan tiga orang aktivis dari Yogyakarta, Bonar Tigor Naispospos, Bambang Isti Nugroho, dan Bambang Subono, ditangkap dan dipenjarakan bertahun-tahun karena mengedarkan buku Rumah Kaca karya Pramoedya Ananta Toer. Dalam proses persidangan jaksa mendakwa mereka melakukan kejahatan besar, antara lain menyimpan dan mendiskusikan diktat kuliah tentang Marxisme-Leninisme yang disusun oleh Frans Magnis Suseno (Fauzan, 2003: 1).

Nasib serupa juga menimpa Rachmad Buchori alias Buyung RB, seorang sekretaris Subadrio Sastoatomo pengarang Brosur Era Baru Pemimpin Baru yang dilarang melalui Surat Keputusan No. Kep-020/JA/3/1997 (Jaringan Kerja Budaya, 1999: 40). Rachmad Buchori sejak 9 April 1997 ditahan. Dia dituduh telah mengedarkan selebaran gelap kepada masyarakat dan menggangu ketertiban umum.

d) Masa Reformasi

Di bawah kepemimpinan Jaksa Agung Hendarman Supandji, tahun 2009, Kejagung kembali melarang peredaran lima buku. Buku-buku tersebut adalah: Dalih Pembunuhan Massa Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto karangan John Rosa, Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karangan Cocratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya duet Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karangan Darmawan dan Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad. Dasar hukum yang digunakan untuk melarang peredaran buku adalah Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Peredaran Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Menggangu Ketertiban Umum. Ini adalah

(10)

Undang_undang yang keluar apada keadaan darurat periode Demokrasi Terpimpin (Sudaedi, 2012: 5).

Demonstrasi gencar dilaksanakan oleh para mahasiswa, setelah Pemerintah Orde Baru mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Demonstrasi mahasiswa di kampus-kampus seluruh Indonesia ini berlangsung hampir satu tahun. Akhirnya usaha mahasiswa berhasil memaksa Presiden Soeharto berhenti dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998. Menurut Amien Rais, ada lima argumen mengapa suksesi harus berlangsung pada tahun 1998, diantaranya yaitu:

a) Pimpinan nasional yang berlangsung telah memerintah sejak tahun 1967, sehingga pada waktu tahun 1998 berarti telah berusia 31 tahun. Berhubung telah lama berkuasa segenap unsur pemimpin nasional kiranya cukup arif untuk memahami aksioma dari Lord Acton, yaitu

power tends to curropt and absolute power tends to corropts absolutely. Kekuasaan cenderung untuk korup dan kekuasaan yang

mutlak cenderung untuk korup secara mutlak pula. Aksioma politik ini berlaku secara universal, baik di timur maupun di barat.

b) Pemimpin nasional atau elite yang terlalu lama berkuasa dapat melahirkan penyakit kultus individu (the cult of individual). Dulu sebagai bangsa kita pernah melakukan kultus individu terhadap Bung Karno, sampai MPRS mengangkat Bung Karno sebagai presiden seumur hidup. Sudah tentu kita tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama sebagai akibat tidak berani memilih figur lain sebagai pimpinan nasional yang baru. Hormat dan cinta kita kepada pimpinan nasional tidak boleh berlebihan sehingga dapat mematikan akal sehat. c) Suksesi, rotasi atau regenerasi elite adalah sebuah keharusan dalam

sistem demokrasi. Berbeda dengan sistem kerajaan atau monarki yang tidak mengenal pergantian pemimpin kecuali bila pemimpin itu mati. Maka demokrasi mengatur rotasi elite itu, dalam sistem demokrasi masa jabatan kepala negara biasanya dibatasi, apakah untuk satu atau

(11)

dua periode. Tanpa adanya pembatasan masa jabatan kepala negara, proses politik dapat berjalan semakin jauh dari demokrasi dan dapat memperkokoh versted intersts lapisan elite secara irrasional.

d) Kelompok elite yang terlalu lama memegang kekuasaan atau pemerintahan cenderung mengalami penumpulan visi dan kreatifitas. Hal ini mudah dipahami mengingat pimpinan nasional yang sudah terjebak dalam rutinisme akan menjadi kurang peka terhadap dinamika perubahan yang terjadi di sekeliling. Keputusan-keputusan yang diambil oleh kepemimpinan nasional menjadi out of touch dari realitas, sehingga menjadi keputusan yang anakronistik, keputusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat banyak.

e) Sebuah lapisan elite yang sudah lama kelewat memegang kekuasaan atau pemerintahan, secara perlahan akan meyakini bahwa dirinya adalah personifikasi stabilitas dan eksistensi negara. Dan ini membahayakan demokrasi. Apalagi bila sindrom Louis XIV dari prancis mengatakan L’etat c’est moi sampai menghinggapi seorang pemimpin, amak setiap kritik yang diarahkan kepadanya dianggap sebagi kritik terhadap negara sebagai lembaga, atau bahkan lebih gawat lagi, dianggap kritik terhadap ideologi negara.

III. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Kirk dan Miller dalam Lexy J. Moleong (2006: 4), penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental tergantung dari pengamatan manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil objek kasus pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar

(12)

Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Sedangkan lokasi yang menjadi fokus penelitian adalah perpustakaan Indonesia Boekoe yang menyediakan literatur mengenai kebijakan pelarangan buku era reformasi di Indonesia sekaligus tempat penulis bekerja dan Kejaksaan Tinggi D.I. Yogyakarta. Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2013 sampai dengan Februari 2014.

3. Subjek Penelitian

Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber

data dengan perimbangan tertentu, seperti orang tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan dalam penelitian (Sugiyono, 2010: 53). Dalam penentuan subjek penelitian menggunakan teknik purposive sampling, peneliti memberikan kriteria sebagai berikut:

a) Arif Raharjo, S.H selaku staf Asisten Intelejen Kejaksaan Tinggi D.I Yogyakarta bagian Sosial-Politik (Kasi II) yang mengurusi pengawasan barang cetakan.

b) Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan selaku penulis buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965.

c) Eko Prasetyo selaku pengamat perbukuan, penulis buku, dan Direktur penerbit Resistbook).

4. Teknik Pengumpulan Data

a) Wawancara mendalam

Menurut Lexy J. Moleong (2006: 186), wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak yakni pewawancara(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.

(13)

Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dokumen sebagai sumber data dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan hasil penelitian (Moleong, 2002:161).

5. Validitas Data

Validitas data atau teknik pemeriksaan keabsahan data sangat penting dilakukan agar data yang diperoleh di lapangan pada saat penelitian dilakukan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk menjamin validitas data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini, peneliti mengggunakan teknik cross check. Penggunaan teknik cross check data dilakukan dengan membandingkan atau mengecek data hasil dokumentasi dan wawancara (Bungin, 2001:2005).

6. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis data induktif. Dalam model analisis ini ada empat komponen analisis yaitu reduksi data, unitisasi dan kategorisasi data,penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi, aktivitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses yang berlanjut, berulang, dan terus-menerus hingga membentuk sebuah siklus.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Buku tersebut dicetak pertama kali pada bulan September 2008 dan diterbitkan oleh Penerbit Merakesumba Lukamu Sakitku yang beralamatkan di Pugeran, Maguwoharjo, Yogyakarta. Buku ini disusun oleh dua orang penulis, yaitu Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. Pada bagian desain sampul buku dibuat oleh Eddy Susanto dan desain isi oleh Kalam Jauhari. Buku yang bergenre esai dengan tebal 584 halaman ini berukuran 15 x 24 cm dan didaftarkan dengan nomor ISBN, yaitu 978-979-18475-0-6. Sedangkan untuk isi, buku dibagi menjadi

(14)

sepuluh bagian dengan tambahan tulisan tentang catatan penulis, singkatan dan akronim, lampiran, indeks, dan tentang penulis. Pada bagian satu sebagai pembuka diberi judul bab Mukaddimah.

Berdasarkan keterangan Arif Raharjo, S.H selaku staf Asisten Intelejen Kejaksaan Tinggi D.I Yogyakarta bagian Sosial-Politik (Kasi II) yang mengurusi pengawasan barang cetakan. Dia menjelaskan bahwa pengawasan buku oleh kejaksaan menggunakan landasan hukum UU No.4/PNPS/1963 dan UU Kejaksaan. Peraturan perundangan tersebut juga diperkuat dengan produk hukum berupa Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Jaksa Agung JUKLAK-001/A/J.A.3.2003, tanggal 25 Maret 2003 tentang Pengertian Ketertiban Umum dan Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-190/A/J.A/3/2003, tanggal 25 Maret 2003 tentang Clearing House Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Perlawanan secara non litigasi melalui pengubahan design sampul buku, kedua penulis melakukan beberapa tindakan untuk memperjuangkan agar buku yang mereka tulis tetap dapat beredar di masyarakat. Beberapa diantara usaha perlawanan tersebut adalah dengan mengadakan diskusi bedah buku dan pameran buku-buku terlarang di berbagai kota besar di Indonesia. Mereka juga menggunakan jejaring sosial untuk mengkampanyekan dan meminta dukungan masyarakat dalam menolak kebijakan pelarangan buku. Tindakan perlawanan secara kultural ini membuahkan hasil dengan munculnya dukungan dari berbagai elemen masyarakat yang prodemokrasi.

Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan selaku penulis buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 selain menempuh jalur perlawan kultural juga melakukan perlawanan melalui jalur hukum. Dua penulis buku ini mengajukan permohonan uji materi terhadap UU No.4/PNPS/1963 dan UU Kejaksaan RI. Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi berdasarkan berbagai pertimbangan, maka permohonan Para Pemohon Nomor 13/PUU-VIII/2010, dan Nomor 20/PUUVIII/ 2010 dikabulkan untuk

(15)

sebagian. Keputusan hasil uji materi tersebut dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Oktober 2010. Waktu pengajuan uji materi sampai mendapatkan keputusan dari Mahkamah Konstitusi menurutkedua penulis memakan waktu sampai 1 tahun. Di dalam Amar Putusan Mahkamah Kostitusi dalam perkara uji materi tersebut terdapat 1 hakim yang dissenting opinion (berbeda pendapat) yaitu Hamdan Zoelva.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan pemaparan hasil penelitian dan pembahasan terhadap politik kebijakan pelarangan buku era reformasi di Indonesia studi atas pelarangan buku Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Praktik kebijakan pelarangan buku yang dilakukan pemerintah berlandaskan UU No.4/PNPS/1963 dan UU No.16 Tahun 2004

Kebijakan pelarangan buku di era reformasi tersebut menggunakan landasan yuridis UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Alur kerja pelarangan buku di mulai dari pengumpulan informasi yang merupakan inisiatif dari kejaksaan dilanjutkan pengkajian dalam rapat clearing house yang menghasilkan temuan sebagai kriteria penilaian dalam pelarangan buku sebagai berikut:

a) Sampul buku bagian depannya memuat gambar Palu Arit yang cukup besar berwama putih (sama dengan warna sampul buku); b) Mencantumkan istilah "G 30 S" atau "Gerakan 30 September"

atau "Gerakan 30 September 1965" tanpa diikuti sebutan "PKI";

(16)

c) Mendiskreditkan Pemerintah, khususnya Angkatan Bersenjata dengan tuduhan telah melakukan penghukuman penjara puluhan tahun, pengejaran, penggorokan leher, dan penembakan-penembakan sistematik, serta mengatur aksi massa yang sangat brutal terhadap para budayawan.

Berdasarkan rekomendasi penilaian dari kajian clearing house tersebut, maka dilanjutkan dengan penerbitan Surat Keputusan pelarangan buku oleh Jaksa Agung melalui Keputusan Jaksa Agung Nomor KEP-141/A/JA/12/2009 pada tanggal 22 Desember 2009. Keputusan Jaksa Agung ini kemudian dilanjutkan dengan langkah-langkah penyitaan dan pemusnahan buku oleh aparat kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri.

2. Proses perlawanan atau advokasi yang dilakukan oleh penulis sebagai warga negara terhadap kebijakan pelarangan buku berupa advokasi non litigasi dan litigasi

Proses perlawanan yang dilakukan oleh penulis buku tersebut ditempuh melalui dua bentuk, advokasi non litigasi dan advokasi litigasi. Pertama, perlawanan non formal atau advokasi non litigasi yang dilakukan penulis dengan mengubah design sampul buku yang bergambar palu arit menjadi seolah-olah ditutup. Kemudian penulis buku bersama aktifis prodemokrasi melakukan diskusi, seminar dan pameran buku terlarang di kota Jakarta dan Surabaya. Selain langkah tersebut mereka juga menggunakan jejaring sosial untuk meminta dukungan masyarakat dan mengkampanyekan penolakan kebijakan pelarangan buku.

Kedua, perlawanan secara formal atau advokasi litigasi yang dilakukan penulis buku tersebut dengan mengajukan uji materi terhadap UU No.4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia kepada Mahkamah Konstitusi.

(17)

Saran

1. Pemerintah di dalam pengawasan buku pada proses pengkajian sebuah barang cetakan oleh tim clearing house harus mendatangkan ahli dari berbagai bidang yang berhubungan dengan isi buku, perwakilan masyarakat dari berbagai kalangan, dan pejabat pemerintah. Selain itu, penulis buku harus diberi hak jawab terhadap penilaian buku yang ditulis dan pengambilan kebijakan pelarangan sebuah buku harus dilakukan dengan pembuktian di pengadilan terlebih dahulu.

2. Semua penulis buku selain memahami tata cara penulisan buku yang baik. Mereka juga harus dibekali pengetahuan tentang produk hukum yang berhubungan dengan barang cetakan dan metode advokasi litigasi dan non litigasi yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Burhan Bungin. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif-Pemahaman Filosofis

dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Fauzan. (2002). Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.

Iwan Awaludin Yusuf,dkk. (2010). Pelarangan Buku di Indonesia : Sebuah

Paradoks Demokrasi dan kebebasan Berekspresi. Jogjakarta: pemantau Regulasi

dan Regulator Media (PR2Media).

Jaringan Kerja Budaya. (1999). Menentang Peradaban: Pelarangan Buku di

Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Lexy J. Moleong. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Miriam Budiardjo.(2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik . Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan. (2008). Lekra Tak Membakar

Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. Yogyakarta:

Merakesumba Lukamu Sakitku.

(18)

Sudaedi. (2012). Ketika Baris Kata Begitu Menakutkan. Yogyakarta: Marhaen Institut

Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Suharno. (2010). Dasar-Dasar Kebijakan Publik:Kajian Proses dan Analisis

Kebijakan. Yogyakarta: UNY Press.

Peraturan Perundang-undangan:

Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.6-13-20/PUU-VIII/2010 Tentang Uji Materi Undang-Undang No.4/PNPS/1963 dan Undang-Undang No.16 Tahun 2004.

Undang-Undang No.44 Tahun 1999 Tentang Pers.

Undang-Undang No.4/PNPS/1963 Tentang Pengamanan Terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji KLT-Bioautografi menunjukkan bahwa daun mimba dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang ditandai dengan terbentuknya zona bening masing-masing dengan Rf 0,4

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan normatif yaitu penelitian terhadap sinkroisasi hukum.. vertical atau sesuai dengan

Untuk mengetahui adanya pengaruh peningkatan kadar VCO yang digunakan pa da sediaan, maka dilakukan analisis statistika One-Way Anova dengan derajat kepercayaan α=0,05

Pakaian pelindung harus dipilih secara spesifik untuk tempat bekerja, tergantung konsentrasi dan jumlah bahan berbahaya yang ditangani. Daya tahan pakaian pelindung kimia harus

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Zhao, Zhang & Xu (2016) yang menemukan bahwa seseorang yang memiliki skor tinggi pada Dark

Jl. Untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas perairan pada waduk dimasa mendatang, penting dilakukan pengukuran tingkat kesuburan perairan waduk secara berkala.

Namun bersamaan dengan hal itu, yang mana diperkirakan pada tanggal 15 Juli 1950, Negara Republik Maluku Selatan pada akhirnya mmebuat suatu pengumuman mengenai keadaan negara

1) Memberi tugas kepada bawahan bila memang itu pekerjaan mereka. 2) Menegur bawahan bila mereka berbuat kesalahan. Namun perlu diingat, sampaikan dengan cara yang baik. Hal