• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Monosodium Glutamat (MSG)

Dalam kehidupan sehari-hari, MSG banyak dipakai dalam makanan sebagai bahan penyedap masakan untuk merangsang selera makan. Penggunaan MSG dalam makanan biasanya dilakukan dalam jangka waktu pemakaian yang cukup lama dan MSG diperjualbelikan secara bebas (Sukawan, 2008).

MSG ditemukan pertama kali oleh dr. Kikunae Ikeda seorang ahli kimia jepang pada tahun 1909, dr. Ikeda mengisolasi asam glutamat tersebut dari rumput laut ‘kombu’ yang biasa digunakan dalam masakan Jepang, kemudian dia menemukan rasa lezat dan gurih dari MSG yang berbeda dengan rasa yang pernah dikenalnya oleh karena itu maka dia menyebut rasa itu dengan sebutan ‘umami’ yang berasal dari bahasa jepang ’umai’ yang berarti enak dan lezat (Geha dan Beiser, 2000), rasa umami ini dapat bertahan lama, di dalamnya terdapat komponen L-glutamat dan 5- ribonukleotida (Yamaguchi dan Ninomiya, 2000). Rangsangan selera dari makanan yang diberi MSG disebabkan oleh kombinasi rasa yang khas dari efek sinergis MSG dengan 5-ribonukleotida yang terdapat di dalam makanan, yang bekerja pada membran sel reseptor kecap atau lidah (Sukawan, 2008).

MSG sendiri sebenarnya sama sekali tidak menghadirkan rasa yang enak, bahkan sering menghadirkan rasa yang dideskripsikan sebagai rasa pahit, dan asin.

(2)

Akan tetapi ketika MSG ditambahkan dengan konsentrasi rendah pada makanan yang sesuai maka rasa, kenikmatan dan penerimaan terhadap makanan tersebut akan meningkat (Halpern, 2002).

MSG kemudian menjadi bahan penambah rasa yang dipakai di seluruh dunia (Geha dan Beiser, 2000) dan menjadi bahan penambah rasa yang banyak dipakai di asia tenggara (Prawirohardjono, 2000). MSG banyak digunakan pada masakan Cina dan Asia Tenggara yang dikenal dengan nama Ajinomoto, Sasa, Vetsin, Miwon (Geha dan Beiser, 2000).

Asam glutamat, asam bebas dari MSG, adalah unsur pokok dari protein yang terdapat pada bermacam-macam sayuran daging, seafood, dan air susu ibu. Asam glutamat digolongkan pada asam amino non essensial karena tubuh manusia sendiri dapat menghasilkan asam glutamat. Asam glutamat terdiri dari 5 atom karbon dengan 2 gugus karboksil yang pada salah satu karbonnya berkaitan dengan NH2 yang menjadi ciri pada asam amino. Struktur kimia MSG sebenarnya tidak banyak berbeda dengan asam glutamat, hanya pada salah satu gugus karboksil yang mengandung hidrogen diganti dengan natrium. Gugus karboksil setelah diionisasi dapat mengaktifkan stimulasi rasa pada alat pengecap. (Sukawan, 2008). Rumus kimia dari MSG (Lolinger, 2000) seperti yang terlihat pada Gambar 2.1.

(3)

2.1.1 Efek MSG Terhadap Tubuh

Batasan aman (bagi orang dewasa) yang pernah dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization), asupan MSG per hari sebaiknya sekitar 0-120 mg/kg berat badan. Jadi, jika berat seseorang 50 kg, maka konsumsi MSG yang aman menurut perhitungan tersebut 6 gr (kira-kira 2 sendok teh) per hari. WHO tidak menyarankan penggunaan MSG pada bayi di bawah 12 minggu. Jika digunakan secara berlebihan, MSG mempunyai efek negatif terhadap tubuh, seperti:

a. Sebuah penelitian menunjukkan pemberian MSG yang dicampur dalam makanan tidak menunjukkan gejala kerusakan otak. Asam glutamat meningkatkan transmisi signal dalam otak, gamma-asam aminobutrat menurunkannya. Oleh karenanya, mengkonsumsi MSG berlebihan pada beberapa individu dapat

b.

merusak kesetimbangan antara peningkatan dan penurunan transmisi signal dalam otak.

Kanker , MSG menimbulkan kanker betul adanya kalau kita melihatnya dari sudut pandang berikut. Glutamat dapat membentuk pirolisis akibat pemanasan dengan suhu tinggi dan dalam waktu lama, pirolisis ini sangat karsinogenik. Padahal masakan protein lain yang tidak ditambah MSG pun, bisa juga membentuk senyawa karsinogenik bila dipanaskan dengan suhu tinggi dan dalam waktu yang lama. Karena asam amino penyusun protein, seperti triptopan, penilalanin, lisin, dan metionin juga dapat mengalami pirolisis dari penelitian tadi jelas cara memasak amat berpengaruh.

(4)

c. Alerg

Penelitian yang dilakukan Diniz (2005), terhadap tikus yang pada makanannya ditambah MSG 10 g/kg BB/hari, setelah 45 hari memperlihatkan adanya disfungsi metabolik berupa peningkatan kadar glukosa darah, triasilgliserol, insulin dan leptin. Keadaan tersebut karena terjadinya stres oksidatif berupa peningkatan kadar hiperperoksidasi lipid. Keadaan stres oksidatif juga dijumpai setelah pemberian MSG 4 g/kg BB pada tikus ditandai dengan peningkatan pembentukan malondialdehyde (MDA) pada hati, ginjal dan otak (Farombi dan Onyema, 2006).

i, MSG tidak mempunyai potensi untuk mengancam kesehatan masyarakat umum, tetapi juga bahwa reaksi hypersensitif atau alergi akibat mengkonsumsi MSG memang dapat terjadi pada sebagian kecil sekali dari konsumen. Beberapa peneliti bahkan cenderung berpendapat nampaknya glutamat bukan merupakan senyawa penyebab yang efektif, tetapi besar kemungkinannya gejala tersebut ditimbulkan oleh senyawa hasil metabolisme seperti misalnya GABA (Gama Amino Butyric Acid), serotinin atau bahkan oleh histamin (Hidayah, 2012).

2.1.2 Efek MSG Terhadap Fungsi Reproduksi

Dari berbagai macam penelitian yang umumnya dilakukan pada hewan percobaan dalam periode neonatal atau infant dengan pemberian MSG dosis tinggi melalui penyuntikan, telah ditemukan beberapa bukti bahwa MSG dapat menyebabkan nekrosis pada neuron hipotalamus, nukleus arkuata hipotalamus, kemandulan pada jantan dan betina, berkurangnya berat hipofisis, anterior, adrenal, tiroid, uterus, ovarium, dan testis, kerusakan fungsi reproduksi, dan berkurangnya jumlah anak (Sukawan, 2008).

(5)

Penelitian yang dilakukan Franca dan Suescun (2006), menunjukkan bahwa pada tikus neonetus yang dipajankan MSG terjadi gangguan perkembangan testis, sel sertoli dan sel leydig pada masa prapubertasnya. Ternyata selain menyebabkan gangguan pada aksis neuroendokrin sistem reproduksi MSG juga mengakibatkan stres oksidatif yang dapat menyebabkan gangguan pada sistem reproduksi.

Pemberian MSG 4 g/kg BB secara intraperitonial pada tikus yang baru lahir selama 2 hari sampai usia 10 hari dan diperiksa pada usia prapubertas dan dewasa, memperlihatkan pada usia prapubertas terjadi hiperleptinemia, hiperadiposit, dan peningkatan kadar kortikosteron, penurunan berat testis, jumlah sel sertoli dan sel leydig per testis, serta penurunan kadar Luteinizing Hormone (LH), Folicle Stimulating Hormone (FSH), Thyroid (T), dan Free T4 (FT4). Sementara pada saat dewasa memperlihatkan hiperleptimia yang lebih tinggi dan penurunan dar FSH dan LH dan tidak nampak perubahan pada struktur testis (Miskowiak, et al., 1993).

Pada penelitian dengan menggunakan tikus jantan yang diberi MSG selama 15 hari (pajanan jangka pendek) dan 30 hari (pajanan jangka panjang) yang diberi 4 g/kg BB intraperitonial memperlihatkan pengaruhnya berupa penurunan berat testis, jumlah sperma dan peningkatan jumlah sperma yang rusak atau abnormal. Jumlah sperma yang normal pada tikus yang dipajankan dengan MSG jangka panjang lebih sedikit dibanding dengan yang dipajankan dengan jangka pendek. Pada penelitian ini juga disimpulkan bahwa salah satu mekanisme yang mungkin terjadi akibat dari efek toksik yang ditimbulkan oleh MSG pada sistem

(6)

reproduksi mencit jantan adalah dengan cara menurunkan kadar asam askorbat testis (Nayanatara dan Vinodini, 2008).

Penelitian lain dilakukan pada anak mencit jantan dan betina yang baru dilahirkan dengan melakukan penyuntikan subkutan dari hari 2 sampai hari ke-11, dengan dosis berangsur-angsur meningkat, dari 2,2 sampai 4,2 mg/kg BB. Ternyata setelah dewasa, bila mencit jantan dikawinkan dengan mencit betina yang diberi MSG, maka jumlah kehamilan dan jumlah anak berkurang secara bermakna pada mencit betina yang diberi MSG. Pada mencit betina dan mencit jantan yang diberi MSG, terjadi pengurangan berat kelenjar endoktrin, yaitu pada kelenjar hipofisis, tiroid, ovarium, atau testis. Setelah dewasa, pada mencit betina yang diberi MSG terjadi kelambatan kanalisasi vagina dan mempunyai siklus estrus yang lebih panjang daripada kontrol. Setelah dewasa, pada mencit jantan yang diberi MSG didapatkan tanda-tanda infertilitas, misalnya berkurangnya berat testis (Pizzi, et al.,1977).

Siregar (2009), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pemberian MSG 4 g/kg BB tidak memberikan hasil yang bermakna terhadap penurunan jumlah sperma tetapi memberikan hasil yang bermakna terhadap penurunan jumlah sel leydig, juga dengan pemberian antioksidan vitamin C 0,2 g/kg BB tidak memberikan hasil yang bermakna terhadap peningkatan jumlah sperma tetapi memberikan hasil yang bermakna terhadap peningkatan jumlah sel leydig.

Terdapat perbedaan jumlah sperma dan perbedaan rata-rata persentase morfologi sperma normal tetapi tidak menunjukkan hasil yang bermakna terhadap kelompok perlakuan yang diberikan MSG 4 g/kg BB dan vitamin C 0,2 g/kg BB secara tersendiri maupun bersamaan pada perlakuan (Suparni, 2009).

(7)

2.2 Antioksidan

Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas terhadap sel normal, protein, dan lemak (Hariyatmi, 2004). Antioksidan berfungsi untuk mencegah terjadinya oksidasi atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi, dengan cara menyumbangkan hidrogen dan atau elektron (Silalahi, 2006).

Radikal bebas merupakan molekul atau atom yang tidak stabil karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas ini berbahaya karena amat reaktif mencari pasangan elektronnya (Hariyatmi, 2004). Sehingga dengan mudah menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol, menghasilkan ikatan silang (cross-link) pada DNA, protein, lipida atau kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada biomolekul ini. Perubahan ini akan menyebabkan proses penuaan. Radikal bebas juga terlibat dan berperan dalam patologi dari berbagai penyakit degeneratif, yakni kanker, aterosklerosis, rematik, jantung koroner, katarak, dan penyakit degenerasi saraf seperti parkinson (Silalahi, 2006).

Radikal bebas yang terbentuk dalam tubuh akan menghasilkan radikal bebas baru melalui reaksi berantai yang akhirnya jumlahnya terus bertambah (Hariyatmi, 2004). Tubuh memiliki pertahanan antioksidan dalam bentuk enzim antioksidan dan zat antioksidan untuk menetralisir radikal bebas. Akan tetapi karena perkembangan industri yang pesat, manusia berkontak dengan berbagai sumber radikal bebas yang berasal dari lingkungan dan dari kegiatan fisik yang tinggi sehingga sistem pertahanan antioksidan dalam tubuh tidak memadai.

(8)

Ketidakseimbangan antara pengaruh degeneratif dari ROS dengan pertahanan disebut tekanan oksidatif. Maka, dibutuhkan tambahan antioksidan yang cukup karena tekanan oksidatif yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan sel bahkan kematian (Silalahi, 2006).

Antioksidan menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif (Hariyatmi, 2004).

Antioksidan dalam tubuh dibedakan atas tiga kelompok, yaitu (1) antioksidan primer yang bekerja dengan cara mencegah terbentuknya radikal bebas yang baru dan mengubah radikal bebas menjadi molekul yang tidak merugikan, misalnya glutation peroksidase; (2) antioksidan sekunder yang berfungsi untuk menangkap radikal bebas dan menghalangi terjadinya reaksi berantai, misalnya vitamin C, vitamin E, dan β-karoten; dan (3) antioksidan tertier yang bermanfaat untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan oleh radikal bebas, misalnya DNA repair enzime (Silalahi, 2006).

2.2.1 Vitamin E

Istilah vitamin E sering digunakan untuk menyatakan setiap campuran dari tokoferol yang aktif secara biologis. Tokoferol adalah suatu antioksidan yang sangat efektif, yang dengan mudah menyumbangkan atom hidrogen pada gugus hidroksil (OH) dari struktur cincin ke radikal bebas sehingga radikal bebas menjadi tidak reaktif. Vitamin E adalah vitamin yang larut baik dalam lemak yang melindungi tubuh dari radikal bebas (Silalahi, 2006). Struktur dari vitamin E ditunjukkan pada Gambar 2.2.

(9)

Gambar 2.2 Struktur vitamin E

Vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksida lipid yang banyak muncul karena adanya reaksi antara lipid dan radikal bebas dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal bebas (Hariyatmi 2004).

Jumlah vitamin E yang dianjurkan setiap hari (recommended daily allowance; RDA) adalah 8-10 mg. Dosis yang lebih tinggi (36-100 mg/hari) dianjurkan untuk mencegah PJK dan kanker. Sumber vitamin E yang utama adalah minyak nabati dan margarin yang dibuat dari minyak nabati (Silalahi, 2006).

2.2.2 Vitamin C

Vitamin C (L-asam askorbat) merupakan suatu antioksidan penting yang larut dalam air. Vitamin C secara efektif menangkap radikal bebas dan juga berperan dalam regenerasi vitamin E (Silalahi, 2006). Reaksi reversibel dari oksidasi askorbat (vitamin C) ditunjukkan pada Gambar 2.3.

(10)

Gambar 2.3 Reaksi reversibel dari oksidasi askorbat (vitamin C)

Vitamin C merupakan donor elektron, yang mendonorkan dua elektron dari dua ikatan antara karbon kedua dan ketiga dari 6 molekul karbon. Vitamin C disebut sebagai antioksidan karena dengan mendonorkan elektronnya ia mencegah zat-zat komposisi yang lain teroksidasi. Bagaimanapun akibat dari reaksi ini secara alamiah vitamin C juga akan teroksidasi. Setelah vitamin C mendonorkan elektronnya, dia akan menghilang dan digantikan oleh radikal bebas semidehydroaskorbic acid atau radikal ascorbyl, yang merupakan zat yang terbentuk akibat asam askorbat kehilangan 1 elektronnya. Hal inilah yang menyebabkan asam askorbat menjadi antioksidan pilihan, karena radikal bebas yang reaktif dan berbahaya dapat berinteraksi dengan asam askorbat, lalu direduksi dan radikal ascorbyl yang kemudian terbentuk menggantikannya ternyata kurang reaktif bila dibandingkan dengan radikal bebas tersebut. Bila radikal ascorbyl dan dehydroascorbic acid sudah dibentuk maka dia akan dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat sedikitnya dengan tiga jalur enzym yang terpisah dengan cara mereduksi komponen yang terdapat di sistem biologi seperti glutation, akan tetapi pada manusia hanya sebagian yang direduksi kembali menjadi asam askorbat yang lain tidak dapat direduksi kembali menjadi asam askorbat. Dehydroascorbic acid yang telah terbentuk kemudian dimetabolisme dengan cara hidrolisis (Iswara, 2009).

(11)

2.3 Efek Protektif Vitamin C dan Vitamin E Terhadap Sperma

Secara fisiologis vitamin C adalah pemakan radikal bebas yang kuat hingga 24 % dari radikal bebas yang ada dalam plasma, jaringan mata, otak, paru– paru, hati, jantung, sperma dan berperan melindungi sel-sel dari kerusakan oksidatif (Li dan Schellorn, 2007).

Dalam suatu penelitian membuktikan pemberian vitamin C dosis tertentu selama 15 hari dapat meningkatkan jumlah spermatozoa pada mencit yang dipapar gelombang ultrasonik. Paparan gelombang ultrasonik dengan frekuensi 30 kHz daya 3.5 watt/cm2 selama 20 menit dan frekuenzi 60 kHz daya 0.5 watt/cm2 selama 15 menit dapat menyebabkan munculnya radikal bebas. Pemberian vitamin C sampai dosis 0.20 mg/gram berat badan/hari dapat mengurangi jumlah spermatozoa yang mengalami kerusakan akibat radikal bebas karena vitamin C mampu menetralisir radikal bebas (Wibisono, 2001).

Pemberian vitamin C 0,2 mg/g BB secara oral selama 36 hari pada mencit jantan mampu berperan sebagai antioksidan untuk melindungi efek senyawa radikal bebas yang ditimbulkan oleh senyawa plumbum asetat 0,1 % yang ditandai oleh berkurangnya kadar malondialdehyde di dalam sekresi epididimis (Fauzi, 2008).

Iswara (2009), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa antioksidan vitamin C dan vitamin E dapat menangkal radikal bebas dari allethrin dalam obat nyamuk elektrik terhadap kualitas spermatozoa tikus putih (Rattus norvegicus) strain Wistar jantan.

Penelitian yang dilakukan pada testis tikus yang dipaparkan cadmium (Cd) 10 mg/g BB memperlihatkan bahwa pemberian vitamin C 10 mg/kg BB secara

(12)

intraperitoneal mampu mengurangi kadar MDA dalam testis dan peningkatan jumlah sperma disertai penurunan persentase sperma yang berbentuk abnormal, pada pemberian vitamin E 100 mg/kg BB secara intraperitonial memperlihatkan efek yang mirip pada pemberian vitamin C, akan tetapi efek dari vitamin E lebih rendah (Acharya dan Mishra, 2006).

Asmarawati (2009), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa penambahan vitamin E dalam pengencer sperma ayam dapat menjaga tingkat motilitas, viabilitas, dan spermatozoa normal setelah disimpan selama 72 jam pada suhu 4ºC, sedangkan vitamin C cenderung menurunkan motilitas spermatozoa, pH sperma dan viabilitas spermatozoa.

Pada penelitian untuk menguji efek suplementasi vitamin E dan selenium terhadap lipid peroksidasi dengan parameter sperma, didapati peningkatan kualitas semen dan pemakaiannya dianjurkan untuk penanganan infertilitas pada pria, dan ditemukan juga bahwa durasi maksimum fertlitas dapat diperbaiki dengan mengkonsumsi vitamin E pada usia 49 minggu pada ayam jantan. (Lin dan Chang, 2005).

Dalam beberapa studi in vitro disebutkan bahwa vitamin E merupakan antioksidan pemutus rantai yang utama dalam membran sperma dan efektivitasnya tergantung dari dosis (Huszar dan Vigue, 1994). Dalam randomized double-blind controlled trial, pasien asthenospermia mendapatkan vitamin E oral (300 mg/hari), perlakuan ini menurunkan konsentrasi malondialdehyde dalam spermatozoa dan meningkatkan motilitas secara signifikan (Ken, 1992).

Vitamin E yang berperan sebagai antioksidan dilaporkan juga mampu melindungi spermatozoa terhadap kerusakan peroksidatif dan penurunan motilitas

(13)

(Therond dan Auger, 1996). Regina dan Traber (1999), menyatakan bahwa defisiensi vitamin E pada testis tikus menyebabkan degenerasi epitel tubulus seminiferus dan menghentikan produksi spermatozoa. Pemberian vitamin E secara oral pada pasien astenospermia dilaporkan mampu meningkatkan motilitas spermatozoa secara signifikan (Suleiman dan Ali, 1996).

2.4 Organ Reproduksi Mencit Jantan

Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantong skrotum, epididimis dan vas deferens, sisa sistem eksretori pada masa embrio yang berfungsi untuk transport sperma, uretra dan penis. Selain uretra dan penis semua struktur ini berpasangan (Suparni, 2009).

Testis merupakan organ kelamin jantan yang berfungsi sebagai tempat sintesis hormon androgen (terutama testosteron) dan tempat berlangsungnya proses spermatogenesis. Kedua fungsi testis ini menempati lokasi yang terpisah didalam testis. Biosintesis androgen berlangsug dalam sel leydig dijaringan inter tubuler, sedangkan proses spermatogenesis berlangsung dalam epitel tubulus seminiferus. Testis mengandung banyak tubulus seminiferus. Tubulus seminiferus tersebut terdiri atas deretan sel epitel yang mengadakan pembelahan mitosis dan meiosis sehingga menjadi sperma (Syahrum, 1994).

Tubulus seminiferus adalah bagian utama dari massa testis yang bertanggung jawab terhadap produksi sekitar 30 juta spermatozoa perhari selama masa produksi (Saryono, 2008). Pada tubulus seminiferus mengandung banyak sel epitel germinativum yang berukuran kecil, dinamakan spermatogenia menjadi spermatosit membelah diri membentuk dua spermatosit yang masing-masing mengandung 23 kromosom. Setelah beberapa minggu menjadi spermatozoa

(14)

spermatid, pertama kali dibentuk masih mempunyai sifat umum sel epiteloid. Kemudian sitoplasma menghilang memanjang menjadi spermatozoa terdiria atas kepala, leher, badan dan ekor (Syaifuddin, 2006).

Sel sperma yang normal terdiri dari kepala, leher, bagian tengah dan ekor. Kepala ditutupi oleh tulang protoplasmic (galea kapitis). Galea kapitis biasanya larut bila sperma diberi pelarut lemak yang biasanya digunakan untuk pengecatan. Bila bergerak sperma berenang dalam cairan suspensinya seperti ikan dalam air. Bila mati sperma akan terlihat datar dengan permukaan. Pada mencit ujung kepala sperma berbentuk kait. Leher dan ekor tersusun dari flagellum tunggal yang padat tetapi dari 9-18 fibril yang dibungkus oleh satu selubung. Pada ujung ekor selubung menghilang. Fibril menyembul dalam bentuk sikat yang telanjang (Siregar, 2009).

2.5 Kelainan Morfologi Sperma

Beberapa penyimpangan dari morfologi normal dianggap sebagai abnormalitas. Antara lain sel sperma dengan kepala raksasa atau kepala kerdil, kepala rangkap, sel sperma tanpa kepala atau tanpa ekor, kepala dengan banyak ekor, ekor bengkok atau melingkar, dan kepala-kepala protoplasmik dibagian tengah. Bila abnormalitas ditemukan dalam jumlah besar, fertilitas pejantan pemilik semen tersebut terganggu. Sebagai patokan bila jumlah sel sperma abnormal mendekati 50% dari total sel sperma pada ejakulat, jantan tersebut dianggap steril, meskipun jumlah sperma yang normal pada ejakulat seharusnya secara teoritis jauh lebih cukup untuk memungkinkan terjadinya fertilisasi (Nalbandov, 1990).

(15)

2.6 Parameter Mutu Sperma

Secara garis besar semen manusia terdiri dari atas 2 bagian besar yaitu plasma semen dan sperma/spermatozoa. Plasma semen yang merupakan secret kelenjar seks tambahan pria mempunyai nilai volume normal antara 2–6 ml. Istilah pada analisis semen manusia dengan akhiran spermia berhubungan dengan volume semen. Istilah dengan akhiran Zoospermia berhubungan sperma/spermatozoa. Jadi apabila volume semen < 2 ml disebut hipospermia; Volume semen > 6 ml disebut hiperspermia; Semen tidak ada disebut aspermia.

Sperma/spermatozoa manusia mempunyai nilai normal: a. Konsentrasi sperma: ≥ 20 juta/ml

b. Motilitas sperma (a+b): ≥ 50%

c. Morfologi sperma normal: ≥ 30% (Nukman, 2005).

Jadi apabila konsentrasi sperma < 20 juta/ml disebut oligozoospermia; motilitas sperma < 50% disebut asteno-zoospermia; morfologi sperma normal < 30% disebut teratozoospermia; tidak ada sperma dalam ejakulat disebut azoospermia (Nukman, 2005).

Pemeriksaan Mikroskopis motilitas spermatozoa diperiksa dengan meneteskan 1 tetes semen pada gelas objek dan ditutup dengan kaca penutup. Kemudian dilihat dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa objektif 40 kali. Lapangan pandang diperiksa secara sistematik dan motilitas setiap sperma yang dijumpai dikategorikan a, b, c atau d, sesuai dengan pengamatan apakah sperma menunjukkan:

a. gerakan cepat dan maju lurus

(16)

c. tidak bergerak maju/gerak di tempat d. tidak bergerak

Jumlah sperma setiap kategori dicacah dengan alat pencacah laboratorium. Biasanya diperiksa 100 sperma secara berurutan, kemudian diklasifikasikan sehingga menghasilkan persentase setiap kategori motilitas (Nukman, 2005).

Pemeriksaan morfologi spermatozoa dengan pengecatan Giemsa. Hapusan dibuat pada gelas objek dan dilakukan pengecatan dengan Giemsa. Sediaan hapusan yang telah dicat kemudian diperiksa pada mikroskop cahaya dengan lensa objek pembesaran 100 kali. Untuk menghitung jumlah spermatozoa berbentuk normal atau abnormal, diperiksa 100 spermatozoa secara berurutan, kemudian dihitung persentase masing-masing bentuk spermatozoa (Nukman, 2005).

Untuk menghitung spermatozoa dengan preparat basah dilakukan dengan cara ejakulat disedot dengan pipet TOMA leukosit, bila perlapangan pandang dijumpai spermatozoa > 100, maka sedot ejakulat sampai angka 0,5 kemudian sedot larutan OT sampai angka 11. disebut pengenceran 20 kali. Bila perlapangan pandang dijumpai spermatozoa < 100, maka sedot ejakulat sampai angka 1,0 kemudian sedot larutan sampai angka 11, disebut pengenceran 10 kali. Campuran dikocok dan didiamkan 15–20 menit. Buang tetes pertama melalui ujung pipet kemudian teteskan kedalam bilik hitung yang telah ditutup cover glass melalui tepi, diamkan sebentar agar merata. Dilihat di bawah mikroskop pembiasan lensa 40 kali. Bidang A + B + C + D × 2000 × pengenceran Bidang E × 10.000 × pengenceran (Nukman, 2005).

(17)

Pemeriksaan terhadap semen manusia dilakukan terhadap plasma semen dan spermatozoanya. Apabila plasma semen dan spermatozoanya baik dikatakan semen tersebut normal. Kalau plasma semen dan spermatozoanya tidak baik dikatakan semen tersebut tidak normal. Namun dari kesimpulan interprestasi Hasil Analisa Sperma biasanya dilakukan berdasarkan hasil analisa spermatozoanya. Sehingga kesimpulan interprestasi Hasil Analisa Sperma dapat berupa: konsentrasi sperma < 20 juta/ml disebut oligozoospermia; motilitas sperma < 50% disebut astenozoospermia; morfologi sperma normal < 30% disebut teratozoospermia; tidak ada sperma dalam ejakulat disebut azoospermia; ekombinasi gangguan lebih daripada 1 parameter spermatozoa, misalnya konsentrasi sperma < 20 juta/ml dan motilitas sperma < 50% disebut oligoastenozoospermia (Nukman, 2005).

2.7 Pengaruh ROS Terhadap Spermatozoa

Ada dugaan bahwa stres oksidatif akibat dari ketidakseimbangan antara radikal bebas dan antioksidan, adalah salah satu penyebab dari infertilitas (Dahlan, 2002). Dalam kondisi fisiologis, spermatozoa memproduksi ROS dalam jumlah yang kecil. Dalam jumlah yang kecil, ROS dibutuhkan untuk regulasi fungsi sperma, kapasitasi sperma dan reaksi akrosom. Sedangkan dalam jumlah yang besar ROS toxic terhadap sel normal dan menurunkan potensi fertilitas dari sperma melalui kerusakan DNA dan apoptosis. Peningkatan ROS dapat menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis sehingga dapat menyebabkan adanya kelainan pada morfologi dari sel spermatozoa (Widodo, 2009).

(18)

Stres oksidatif pada spermatozoa merupakan penyebab utama disfungsi spermatozoa dengan menghambat proses oksidasi fosforilasi. Oksidasi fosforilasi yang terganggu menyebabkan peningkatan reactive oxygen species (ROS) spermatozoa. Kadar ROS yang tinggi dalam sel dapat mengoksidasi lipid, protein, dan DNA. Lipid membran plasma spermatozoa memiliki fosfolipid dengan kadar yang tinggi sehingga menyebabkan spermatozoa sangat rentan terhadap ROS. Hal ini menunjukkan bahwa membran spermatozoa adalah target utama ROS dan lipid merupakan sasaran yang potensial oksidasi lipid (lipid peroksidase) pada membran spermatozoa menghasilkan senyawa malondialdehyde (MDA), yang bersifat toksik pada sel sehingga menyebabkan kerusakan membran spermatozoa. Membran spermatozoa yang rusak akan menyebabkan penurunan integritas membran spermatozoa, sehingga pada akhirnya menyebabkan penurunan kualitas sperma (Lamarinde, 1997).

Gambar

Gambar 2.1 Rumus kimia Monosodium Glutamat (MSG)
Gambar 2.2 Struktur vitamin E
Gambar 2.3 Reaksi reversibel dari oksidasi askorbat (vitamin C)

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian di atas, dapat memberi pemahaman bahwa an-Nubuwwah adalah sebuah gelar atau anugerah yang tidak dapat dicari, yang diberikan oleh Allah kepada

Dasar Teknologi Maklumat dan Komunikasi Universiti Sains Malaysia (dikenali selepas ini sebagai Dasar ICT USM) adalah terpakai kepada semua pekerja, ahli akademik, pelajar,

Manakala untuk menyelesaikan masalah kita perlu berfikir sejenak dan men(ari jalan serta memeikirkan langkah#langkah tertentu yang mungkin tidak pernah di(uba sebelum itu,

Dengan memanfaatkan penyedot debu portebel sebagai mesin utama penghisapnya ditunjang dengan motor DC sebagai motor penggerak roda belakang alat ini, servo

Sifat penata yang senang menyendiri, tidak percaya diri dan suka memendam perasaan merupakaan watak yang terdapat pada watak melankolis yang sempurna dan

Namun tetaplah harus diingat, bahwa fokus dari hermeneutika, atau proses menafsirkan, menurut Gadamer, adalah untuk membangkitkan makna tentang tema utama pembicaraan, dan

Pendidikan merupakan faktor penting dalam mendukung berkembangnya suatu bangsa. Pendidikan menunjang berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dan ilmu

- Auditor harus memperoleh bukti audit yang cukup dan tepat untuk menentukan apakah manajemen atau pihak lain dalam perusahaan memiliki pengetahuan atau tindakan pelanggaran