• Tidak ada hasil yang ditemukan

KINERJA PRODUKTIVITAS SAPI PERAH IMPOR DAN HASIL TURUNANNYA DI JAWA TIMUR: STUDI KASUS DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI PASURUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KINERJA PRODUKTIVITAS SAPI PERAH IMPOR DAN HASIL TURUNANNYA DI JAWA TIMUR: STUDI KASUS DI DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI PASURUAN"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

KINERJA PRODUKTIVITAS SAPI PERAH IMPOR DAN

HASIL TURUNANNYA DI JAWA TIMUR: STUDI KASUS DI

DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI PASURUAN

(The Capable Productivity of Imported and Derivative Dairy Cattle in East

Java: Case Study in Low Land and Up Land of Pasuruan)

DIAN RATNAWATI,A.RASYID danL.AFFANDHY

Loka Penelitian Sapi Potong, Jawa Timur ABSTRACT

The milk is needed as the base matter of milk manufactured industry in Indonesia, 70% comes from imported milk and 30% from local farmer dairy cattle. The big part of local milk marketing (95%) has been distributed to the milk manufactured industry. Recently, the world milk price has been increasing, so that maximizing of local milk is the wise choice. It brings a chance to the developing of local dairy farm because competitive price of local milk. The production rate has been reached. Unfortunately, it still not enough up to now, statistical base showed that the population of dairy cattle in East Java 2000-2006 was decreased 1.8 %. Therefore, it needs to add the population of dairy cattle, by importing dairy cattle to reach self-sufficient of milk 2010-2012 with the milk rate production is 3 million ton/year. This review is done to know the capable productivity of imported and derivative dairy cattle in East Java, especially in lowland-upland of Pasuruan. The evaluation result of the capable productivity of imported dairy cattle showed that production rate in lowland 3,290.00 ± 671.91 litter/lactation and in upland 4,611.87 ± 971.36 litter/lactation. Reproduction performance of dairy cattle that developed in upland was better than in lowland, there were: anoestrus post partus (APP), days open (DO) and calving interval (CI) was shorter. Adaptation of dairy cattle in upland was easier than in lowland, it was influenced by the physiological process and had the impact to the productivity. It was concluded that to defence or increase the capable productivity of imported and derivative dairy cattle, must consider about agroecological location which interrelates with feed storage and good maintening management.

Keywords: Dairy cattle, productivity, lowland and upland

ABSTRAK

Kebutuhan susu sebagai bahan baku industri pengolahan susu (IPS) di Indonesia, 70% berasal dari susu impor dan 30% dipenuhi oleh produksi peternakan sapi perah lokal. Pemasaran susu sapi perah nasional sebagian besar (95%) disetor ke IPS. Saat ini terjadi kenaikan harga susu dunia, sehingga memaksimalkan pemanfaatan susu nasional menjadi alternatif yang bijaksana. Kondisi ini memberikan peluang terhadap perkembangan peternakan sapi perah nasional karena harga susu nasional yang mulai bersaing di pasaran. Jumlah produksi yang dicapai saat ini masih belum mencukupi kebutuhan konsumen, data statistik menunjukkan bahwa populasi sapi perah di Jawa Timur selama tahun 2000 s/d 2006 turun 1,8%. Untuk itulah masih dibutuhkan penambahan populasi sapi perah dalam negeri, misalnya dengan impor sapi dalam rangka mencapai target swasembada susu 2010-2012 dengan produksi susu sebesar tiga juta ton per tahun. Dilakukan review untuk mengetahui kinerja produktivitas sapi impor dan turunannya di Jawa Timur. Hasil evaluasi terhadap kinerja produktivitas sapi perah impor menunjukkan bahwa tingkat produksi susu di dataran rendah dapat mencapai 3.290,00 ± 671,91 liter/laktasi dan di dataran tinggi sebesar 4.611,87 ± 971,36 liter/laktasi. Performans reproduksi sapi perah yang dikembangkan di dataran tinggi lebih baik daripada di dataran rendah, yaitu ditunjukkan oleh nilai anestrus post partus (APP), days-open (DO) dan calving interval (CI) sapi perah di dataran tinggi lebih baik (lebih pendek) daripada sapi perah di dataran rendah. Adaptasi sapi perah di dataran tinggi lebih mudah daripada di dataran rendah, yang berpengaruh terhadap proses fisiologis hewan dan berimbas pada produktivitasnya. Disimpulkan bahwa untuk mempertahankan ataupun meningkatkan kinerja produktivitas sapi perah impor dan turunannya, diupayakan mempertimbangkan agroekologi lokasi kaitannya dengan ketersediaan pakan dan manajemen pemeliharaan yang sesuai.

(2)

PENDAHULUAN

Seiring meningkatnya sadar gizi masyarakat, maka kebutuhan susu dalam negeri terus meningkat. Peningkatan ini disertai dengan peningkatan harga susu dalam negeri. Harga susu saat ini yang semakin baik menjadi peluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan peternak sapi perah. Untuk memenuhi swasembada susu nasional pada tahun 2010-2012 dengan produksi sebesar 3 juta ton per tahun diperlukan peningkatan populasi sapi perah impor dari luar negeri sampai tahun 2015 (ANONIMUS, 2008). Populasi sapi perah di Jawa Timur pada tahun 2000-2006 menurun sekitar 1,8%. Tahun 2007 jumlah populasi sapi perah di Jawa Timur berkisar antara 131–136 ribu ekor dengan jumlah induk produktif sekitar 60–70 ribu ekor per tahun. Berdasarkan data statistik menunjukkan bahwa produksi susu di Jawa Timur tahun 2007 sebesar 298.854 ton per tahun (600-800 ton per hari) berasal dari peternakan rakyat (ANONIMUS, 2008). Tingkat produksi tersebut masih kurang memenuhi kebutuhan masyarakat. Diperlukan upaya peningkatan produksi susu nasional melalui peningkatan populasi dan kapasitas produksi. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mengimpor sapi perah. Jawa Timur merupakan salah satu lokasi pengembangan sapi perah impor.

Pengembangan sapi perah impor sebagian besar tersebar di wilayah Kabupaten Malang dan Pasuruan mulai dataran rendah sampai dataran tinggi. Di beberapa wilayah di Jawa Timur, agribisnis sapi perah mempunyai peranan penting dan nyata dalam menopang struktur ekonomi masyarakatnya, sehingga keberadaan agribisnis sapi perah tersebut perlu dipertahankan dan bahkan sangat perlu terus dikembangkan. Hasil evaluasi terhadap kinerja produksi sapi perah impor di Jawa Timur menunjukkan bahwa produksi susu sapi perah impor masih berada di bawah kemampuan tingkat produksi yang tercantum dalam identification record yaitu berkisar 4.500 liter (ANONIMUS, 1988). Tujuan penulisan review ini adalah untuk memperoleh informasi tentang kinerja produktivitas sapi perah impor dan turunannya di Jawa Timur (studi kasus di Pasuruan).

SEJARAH SAPI PERAH DI JAWA TIMUR

Masuknya sapi impor dari negara Australia dan Selandia Baru di Jawa Timur dimulai dari tahun 1979 s/d 1987 sebanyak 22.685 ekor (ANONIMUS, 1988). Setelah tiga tahun pengimporan sapi tersebut, perkembangan sapi perah di Indonesia memperlihatkan kemajuan yang pesat. Hal ini disebabkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang menuju swasembada produksi susu. Beberapa jenis bangsa sapi perah yang ada di Jawa Timur antara lain: Jersey, Ayrshire, dan Friesian Holstein (FH). Namun bangsa sapi FH dan hasil turunannya lebih berkembang dan lebih disenangi oleh peternak.

Friesien Holstein (FH)

Sapi Friesian Holstein merupakan sapi perah luar negeri, biasanya di impor dari negara Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat. Sapi perah FH berasal dari daerah temperate, sehingga perbedaan lingkungan menyebabkan kemampuan produksi susu mengalami penurunan. Meskipun demikian, bangsa sapi perah FH merupakan bangsa sapi perah yang terbaik yang dapat dikembangkan di daerah tropis. Sapi tersebut menghasilkan produksi susu tertinggi bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa sapi perah lainnya, baik di daerah iklim sedang maupun di daerah tropis. Selain sebagai penghasil susu, dapat pula sebagai penghasil daging dengan cara digemukkan (SUDONo, 1983). Sebagai gambaran, produksi susu sapi FH di Amerika Serikat rata-rata 7.245 kg per laktasi. Sementara itu, produksi rata-rata di Indonesia 10 liter/ekor per hari atau lebih kurang 3.050 kg per laktasi (SUDONO, 2005).

Peranakan Friesian Holstein (PFH)

Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan sapi perah hasil keturunan dari induk FH baik yang dikawinkan secara alamiah maupun Inseminasi Buatan (IB) dengan FH murni. Keunggulan dari sapi PFH diantaranya lebih tahan panas daripada sapi FH dan mudah menyesuaikan pada iklim tropis dengan tidak mengurangi produksi susu maksimal. Oleh

(3)

karena itu sapi PFH merupakan sapi yang paling cocok untuk dibudidayakan di Indonesia.

Sapi perah lokal dan sapi Grati

Sapi perah lokal adalah sapi perah Peranakan FH (PFH) atau sapi perah lain yang tidak jelas asal-usulnya serta telah lama dipelihara oleh peternak. Selain sapi perah lokal, dikenal juga sapi Grati. Sapi Grati adalah sapi perah lokal yang telah beradaptasi dan berkembang di wilayah dataran rendah yaitu Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan dan sekitarnya. Sapi Grati merupakan hasil-hasil persilangan antara sapi lokal (sapi Jawa, sapi Madura) dengan sapi-sapi Ayrshire, Jersey dan Friesian Holstein (PAYNE, 1970). Menurut MERKENS (1957), proses crossbreeding ini telah berjalan sejak tahun 1925 di daerah Pasuruan-Probolinggo yang merupakan daerah panas dan kering di Pulau Jawa. Warna kulit sapi Grati umumnya mirip warna sapi FH yaitu belang hitam putih, tetapi terkadang berwarna belang merah putih atau merah saja, dimana warna merah bersifat resesif (WIDODO, 1979). Sejak berkembangnya program kawin suntik (IB) dengan sapi FH, sapi Grati sulit ditemui.

POPULASI SAPI PERAH DAN PRODUKSI SUSU

Populasi sapi perah di Jawa Timur pada tahun 1980 ( 31.426 ekor) dan tahun 1989 (90.421 ekor) meningkat sebesar 58.995 ekor (187%). Data produksinya meningkat sebesar

86,61 ribu ton (313%). Perkembangan populasi dan produksi sapi perah di Jawa Timur disebabkan adanya impor sapi dari luar negeri yang dimulai dari tahun 1979 s/d 1987 sebanyak 22.685 ekor (ANONIMUS, 1988). Sedangkan pada tahun 1990–1999 populasinya hanya meningkat sebesar 36.006 ekor (38,4%) dan produksi sebesar 89,96 ribu ton (81,6%). Hal ini sangat berbeda dengan kondisi pada tahun (2000-2006), dimana populasi sapi perah mengalami penurunan sebesar 1,8%. Meskipun demikian produksi susunya meningkat sebesar 13,9%. Penurunan populasi terjadi pada tahun 2001 sebesar 5,8% dengan produksi menurun sebesar 8,2% (Tabel 1).

Peningkatan populasi sapi perah yang lamban berarti juga pengembangan usaha pemeliharaan sapi perah yang lamban, dan berakibat kepada rendahnya peningkatan produksi susu nasional (KUSNADI dan JUARINI, 2007). Pengembangan sapi perah impor di Jawa Timur tersebar di berbagai daerah mulai dari dataran rendah yang beriklim kering hingga dataran tinggi yang beriklim basah (WIJONO et al., 1993), dan terpusat di Kabupaten Malang dan Pasuruan. Populasi sapi perah di Pasuruan yang meliputi 24 kecamatan pada tahun 2006 dan 2007 adalah 47.410 ekor dan 50.017 ekor (DINAS PETERNAKAN DAN

KEHEWANAN KABUPATEN PASURUAN), dengan demikian meningkat 5,5% pada tahun 2007. Jumlah populasi ini tersebar meliputi dataran rendah dan dataran tinggi. Hasil evaluasi terhadap kinerja produksi sapi impor dan hasil turunannya di Pasuruan, menunjukan bahwa produksi susu di dataran tinggi lebih baik dibanding dataran rendah (Tabel 2).

Tabel 1. Populasi dan produksi susu sapi perah di Jawa Timur 2000-2006

Populasi Produksi No Tahun

(ekor) (% perkembangan per tahun) (ribu ton) (% perkembangan per tahun)

1. 2000 139.075 214.58 2. 2001 130.992 -5,8 196.95 -8,2 3. 2002 131.262 0,2 197.46 0,3 4. 2003 131.827 0,4 235.94 19,5 5. 2004 132.789 0,7 237.66 0,7 6. 2005 134.043 0,9 239.91 0,9 7. 2006 136.497 1,8 244.30 1,8

(4)

Tabel 2. Kinerja produksi sapi perah di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur Produksi susu (liter/laktasi) No Jenis sapi

Dataran rendah Dataran tinggi Sumber 1. Sapi lokal

Sapi lokal 2.211,99 ± 467,68 2.961,24 ± 647,17 WIJONOet al., 1993 Sapi Grati 2.137,88 ± 645,79 - KOMARUDIN-MA’SUMet al., 1992 2. Sapi peranakan FH (PFH)

Sapi turunan 3.290,00 ± 671,91 4.611,87 ± 971,36 MARIYONOet al., 1993 Sapi turunan 2.498,92 ± 584,77 3.788,61 ± 742,59 WIJONOet al.,1993 3. Sapi impor

Sapi impor 3.241,66 ± 934,88 4.052,61 ± 819,11 WIJONOet al., 1993 Sapi impor 1.459,00 ± 120,23 2.585,54 ± 741,98 ANONIMUS, 1988

Produksi susu sapi impor lebih baik daripada sapi turunan maupun sapi perah lokal. Menurut WIJONO et al. (1993), faktor bangsa yaitu sapi perah impor, turunan dan lokal mempunyai pengaruh yang nyata terhadap produksi susu. Demikian pula produksi susu pada semua bangsa sapi perah yang dipelihara di dataran tinggi juga memberikan produksi susu yang lebih baik. Hasil penelitian MARIYONO (1993) melaporkan bahwa sapi perah produksi tinggi memiliki tingkat produksi yang lebih baik di dataran tinggi daripada di dataran rendah.

Penampilan produksi sapi perah dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan, yang mempengaruhi proses fisiologis ternak. Nilai heritabilitas kemampuan produksi susu berkisar antara 30-40% (WARWICK et al., 1983), yang berarti bahwa faktor lingkungan lebih dominan daripada faktor genetik (SCHIMIDT dan VAN

VLECK, 1974). Sedangkan menurut MARIYONO

(1988), tingkat produksi susu dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor fisiologis dan faktor lingkungan. Faktor fisiologis dibedakan menjadi faktor genetik (meliputi: bangsa dan sifat individu) dan faktor non genetik

(meliputi: bulan laktasi, berat badan, masa birahi dan kebuntingan, umur dan tingkat laktasi). Sedangkan faktor lingkungan yang berpengaruh yaitu pakan, frekuensi pemerahan, temperatur lingkungan dan musim serta penyakit. Adaptasi di dataran rendah mengakibatkan terjadinya manifestasi fisiologis tubuh yang ditunjukkan dalam bentuk konsumsi pakan yang menurun, konsumsi air minum, respirasi dan suhu tubuh meningkat pada lingkungan yang panas diikuti penurunan produksi susu (SCHIMIDT dan VAN

VLECK, 1974; DIGGINs et al., 1984). Hal tersebut bukan hanya disebabkan oleh makanan (kuantitas dan kualitas hijauan/ konsentrat) yang kurang baik, tetapi dapat pula oleh perbedaan kondisi lingkungan yang kurang sesuai bagi pengembangan sapi perah yang berasal dari daerah subtropis. Faktor lingkungan yang lain adalah iklim, meliputi suhu, kelembaban, temperatur dan curah hujan. Pengaruh kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan tersebut akan membatasi penampilan produksi (TASRIPIN et al., 1995). Kondisi lingkungan berpengaruh terhadap status faal hewan. Berikut tampilan faal sapi impor dan turunannya.

Tabel 3. Tampilan status faal sapi impor dan turunannya

No Jenis sapi Parameter Dataran rendah Dataran tinggi Sumber Frek. Nadi (/menit) 78,10 ± 5,37 69,90 ± 6,59

Frek. Respirasi (/menit) 58,86 ± 13,43 33,34 ± 5,47 1 Sapi impor

Suhu rektal (º C) 39,16 ± 0,35 38,06 ± 0,23

ANONIMUS,1988 Frek. Nadi (/menit) 81,21 ± 8,66 81,27 ± 8,62

Frek. Respirasi (/menit) 59,20 ± 17,26 37,07 ± 6,51 2 Sapi turunan produksi tinggi Suhu rektal (º C) 39,29 ± 0,46 38,40 ± 0,37 KOMARUDIN -MA’SUM, 1994

(5)

Lokasi sapi perah di dua ketinggian tempat berbeda tidak menimbulkan peningkatan suhu di atas normal. Keadaan ini erat hubungannya dengan sifat hewan homeotherm. Jika suhu lingkungan naik maka tubuh akan beradaptasi dengan melakukan peningkatan denyut jantung dan laju respirasi sehingga panas tubuhnya akan cepat dialirkan oleh darah dan dikeluarkan dari tubuh baik dengan konduksi, evaporasi dan radiasi. Sebaliknya jika suhu lingkungan dingin maka produksi panas tubuh akan digunakan untuk menjaga suhu tubuh agar tidak menurun. Produksi panas sapi tergantung pada beberapa faktor, diantaranya jumlah pakan yang dikonsumsi, tingkat produksinya dan tingkah laku peternak. Produksi panas yang dihasilkan sapi akan mencapai maksimum tiga jam setelah waktu pemberian pakan, sehingga pada saat itu suhu tubuh mencapai kondisi maksimum (DJAFAR, 1996). Frekuensi respirasi rata-rata sapi perah di daerah dataran rendah lebih besar dibandingkan dengan daerah dataran tinggi. Tingginya frekuensi respirasi di daerah dataran rendah ini dikarenakan suhu udara yang lebih panas daripada di daerah dataran tinggi. Frekuensi denyut nadi dan suhu rektal sapi perah di dataran rendah maupun dataran tinggi genetik sama. Bila dibandingkan, antara sapi impor dan sapi induk turunan berproduksi tinggi terlihat bahwa sapi perah induk berkemampuan produksi tinggi mempunyai aktivitas faali yang lebih tinggi. Diduga bahwa proses metabolisme pada sapi-sapi induk berkemampuan produksi tinggi berlangsung lebih cepat, guna mengimbangi produksi susu.

Untuk mencapai produksi susu yang baik, diperlukan penyediaan pakan yang cukup, kontrol penyakit serta manajemen yang baik sehingga faktor-faktor penghambat produksi susu dapat ditekan. Hal ini perlu untuk pengembangan sapi perah agar ternak tersebut mampu beraklimatisasi dan beradaptasi terhadap pola pakan yang tersedia di daerahnya (ANONIMUS yang disitasi oleh SUGIARTI et al., 1995).

KINERJA REPRODUKSI

Berdasarkan sifat fisiologis tubuh dan jenis produksi yang dihasilkan oleh sapi perah, maka sifat reproduksi sapi induk juga berperan

penting dalam menentukan tingkat keuntungan usaha ternak sapi perah maupun terhadap laju perbaikan genetik populasi dalam upaya meningkatkan kualitas genetik sapi perah. Berikut kinerja reproduksi sapi perah di Pasuruan ( Tabel 4).

Ukuran reproduksi yang utama pada sapi perah adalah selang beranak. Selang beranak ditentukan oleh penampilan days-open (selang waktu antara saat beranak sampai dengan terjadinya konsepsi setelah beranak) dan lama kebuntingan. Days-open terbentuk dari Anestrus Post Partus (APP) dengan Service per Conception (S/C) (YUSRAN dan MARIYONO, 1994). Dari ketiga parameter reproduksi di atas diketahui bahwa lama periode APP, DO dan CI pada sapi perah lebih besar dari batasan optimal namun masih dalam batas fisiologis yang layak bagi seekor sapi perah induk. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor genetik dan lingkungan. Nilai heritabilitas sifat reproduksi menunjukkan angka berkisar 5%. Hal ini berarti bahwa faktor non genetik, seperti lingkungan klimat, tata laksana pemeliharaan, ketersediaan pakan dan kondisi fisiologis ternak lebih berperan.

Kinerja reproduksi sapi perah di dataran tinggi lebih baik (lebih pendek) daripada di dataran rendah. Kondisi tubuh saat beranak serta konsumsi pakan pada awal-awal masa laktasi merupakan faktor fisiologis tubuh yang diketahui mempunyai hubungan dengan penampilan lama periode anestrus post partus. Hal ini disebabkan karena pada awal laktasi terjadi pembongkaran cadangan energi untuk produksi susu. Faktor nutrisi sangat dominan mempengaruhi aktivitas reproduksi pasca beranak pada sapi perah, terutama kondisi nutrisi pada periode waktu tiga bulan pertama pasca beranak apabila dilihat pengaruhnya terhadap lama periode anestrus post partus (YUSRAN dan MARIYONO, 1994). Lama periode APP mempunyai hubungan negatif dengan kemampuan produksi susu dikarenakan adanya hubungan antagonik antara prolaktin (produksi susu) dengan hormon gonadotropik. Periode anestrus post partus menentukan periode days open (DO). Memanjangnya DO dapat disebabkan oleh IB yang kurang sempurna atau faktor kesengajaan dari peternak untuk tidak mengawinkan sapinya agar produksi susu tetap terjaga (HAFEz, 1987).

(6)

Tabel 4. Kinerja reproduksi sapi perah di Pasuruan, Jawa Timur Rata-rata Dataran

rendah

Dataran tinggi No. Kinerja reproduksi

hari

Sumber

1. Anoestrus post partus 75,9 ± 35,8 69,4 ± 34,8

Calving interval 442,58 ± 128,37 398,12 ± 84,19

Days open 164,63 ± 128,25 111,46 ± 59,09

KOMARUDIN-MA’SUMet al., 1994 2. Days open 120,51 ± 42,36 - YUSRANet al., 1990 3. Kawin pertama Post partus 162 100 ANONIMUS, 1988

Perbedaan lingkungan, khususnya keadaan iklim mikro dapat bervariasi di tiap daerah karena adanya perbedaan ketinggian tempat (PAYNE, 1970). Keadaan iklim mikro yang tidak sesuai dapat berperan sebagai faktor penghambat terhadap kenormalan proses fisiologis ternak dan akhirnya akan menekan kemampuan ternak untuk berproduksi secara normal (YOUSEP, 1982; KEMAN, 1986). Proses adaptasi yang tidak baik, dapat tercermin dari jarak beranak (CI) yang lebih dari 365 hari (ANONIMUS yang disitasi oleh SUGIARTI et al., 1995).

KESIMPULAN

Pengembangan sapi perah (impor dan turunannya) di dataran tinggi menunjukkan hasil kinerja produktivitas lebih baik daripada di dataran rendah. Agroekositem, ketersediaan pakan dan manajemen pemeliharaan yang sesuai, akan mendukung produktivitas sapi perah.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMUS. 1988. Peningkatan produktivitas sapi perah impor di Jawa Timur. Laporan Penelitian. Bappeda Provinsi Dati I Jawa Timur-Sub Balai Penelitian Ternak Grati. ANONIMUS. 2008. Produksi susu sapi perah di Jawa

Timur aman dari Enterobacter sakazakii. http://d-infokom-jatim.go.id/news.php?id= 13312

DIGGINS, R. V., C. E. BUNDY and V. W. CHRISTENSEN. 1984. Dairy production.

Prentice-Hall. Inc., Englewood Cliffs. New Jersey.

HAFEZ,E.S.E. 1987. Reproduction In Farm Animal. 5st ed. LEA FEBIGER. Philadelphia.

KEMAN. S. 1986. Keterkaitan produktivitas ternak dengan iklim di daerah tropik, Masalah dan tantangan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

KUSNADI. U DAN E. JUARINI. 2007. Optimalisasi pendapatan usaha pemeliharaan sapi perah dalam upaya peningkatan roduksi susu nasional. WARTAZOA. Vol. 17, No. 1, Tahun 2007. ISSN 0216-6461. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Departemen Pertanian. KOMARUDIN-MA’SUM. K., D. B. WIJONO., M. A.

YUSRAN., A. RASYID dan MARIYONO. 1992. Kemampuan produksi susu sapi perah lokal pada peternakan rakyat di daerah Grati Pasuruan. Pros. Agro Industri Peternakan di Pedesaan. Balitnak. Bogor, 10-11 Agustus 1992.

KOMARUDIN-MA’SUM. K., M. A. YUSRAN., MARIYONO., U. UMIYASIH dan A. RASYID. 1994. Studi tentang beberapa kinerja sapi perah berkemampuan produksi tinggi di Kabupaten Pasuruan. Pros. Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Hlm: 56-68.

MERKENS, J. 1957. The Influence of climate on animals and animal production. Pub. Europ. Ass. Anim. Prod., No. 5, 100.

PAYNE, W. J. A. 1970. Cattle production in the tropics. Logman Group Ltd. London.

RASYID. A., K. MA’SUM., MARIYONO dan U. UMIYASIH. 1994. Profil sapi perah induk berkemampuan produksi tinggi di daerah dataran tinggi dan rendah. Pros. Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Hlm: 69-76.

(7)

SCHIMIDT,G.H.andVAN VLECK. 1974. Principles of Diary Science. Cornel University. W. H. Freeman and Co. San Francisco.

SUDONO, A.,R.F.ROSDIANA danB.S.SETIAWAN. 2005. Beternak sapi perah secara intensif. Agromedia Pustaka. Jakarta.

SUGIARTI, T., P. MAHYUDDIN dan N. HIDAYATI. 1995. Tingkat daya tahan panas sapi perah FH dan produksi susu pada peternakan rakyat di Kecamatan Tanjungsari, Sumedang. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi

Peternakan. Ciawi-Bogor, 25-26 Januari 1995. TASRIPIN. D. S, A. SUDONO. T. SUTARDI dan W.

MANALU. 1995. Pengaruh pengontrolan suhu tubuh melalui penyemprotan air terhadap produksi susu dan perubahan faali pada sapi perah laktasi. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Peternakan. Ciawi-Bogor, 25-26 Januari 1995.

WARWICK, E. J., J.M. ASTUTI dan W. HARDJOSUBROTO. 1983. Pemuliaan Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. WIDODO.M.W. 1979. Beberapa performance sapi

Grati. Pros. Seminar Penelitian dan Penunjang Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan. Badan Litbang Pertanian.

YOUSEP, M. K. 1982. Animal production in the tropics. Proc. of the International Symposium. Animal Production In The Tropics. Praeger Publisher. New York.

YUSRAN. M.A.,MARIYONO.,L.AFFANDHY danU. UMIYASIH. 1994. Tampilan beberapa sifat reproduksi kelompok sapi perah produksi susu tinggi di daerah dataran tinggi. Pros. Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Hlm: 109-114. YUSRAN. M. A dan MARIYONO. 1994. Pengaruh

kondisi tubuh saat beranak dan nutrisi pasca beranak terhadap periode anestrus post partum pada sapi perah. Pros. Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balai Penelitian Ternak Grati. Hlm: 122-130.

DISKUSI

Pertanyaan:

1. Mengapa yang disampaikan hanya kinerja sapi perah impor, sedangkan dijudul termasuk keturunannya?

2. Bagaimana hasil produksi susu sapi hasil keturunannya (PFH)?

3. Di NTB, bibit sapi perah dari Grati performansnya kurang bagus dibandingkan dengan sapi dari Lembang. Apakah hal tersebut disebabkan karena faktor genetik atau faktor lain?

Jawaban:

1. Pada abstrak memang hanya disebutkan kinerja produktivitas sapi impor, namun pada makalah telah dibahas secara tuntas perbandingan produktivitas antara sapi impor dan turunannya/lokal. Akan menjadi koreksi pada abstrak makalah ini.

2. Nilai heritabilitas produksi susu 30-40%. Secara genetik tingkat produksi susu sai turunan (PFH) lebih rendah dibandingkan dengan sapi impor dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi lokal. Di luar faktor genetik/ turunan, faktor lingkungan sangat menentukan kemampuan produksi susu, diantanya: iklim mikro, manajemen pakan, dll.

3. hal tersebut lebih disebabkan oleh faktor lingkungan. Meskipun sebagian basar agroekosistem lkasiny tetap berbeda. Dimana agroekosistem lokasi tersebut sangat berpengaruh terhadap ketersediaan pakan (kualitas dan kuantitas) maupun lingkungan kondusif bagi proses fisiologis sapi perah yang pada akhirnya akan berpengaruh pada tingkat produksi susunya.

Gambar

Tabel 1. Populasi dan produksi susu sapi perah di Jawa Timur 2000-2006
Tabel 2. Kinerja produksi sapi perah di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur  Produksi susu (liter/laktasi)  No Jenis  sapi
Tabel 4. Kinerja reproduksi sapi perah di Pasuruan, Jawa Timur  Rata-rata  Dataran

Referensi

Dokumen terkait

Lampiran 1 Roadmap ILOS Penambahan dan Penghapusan Paket Penyesuaian dan Penggantian Atribut Distribusi Induk Pembuatan ILOS ILOS Membuat Tim Administrator Membuat Tim

,QGRQHVLD PHQMDGLNDQ 3DQFDVLOD VHEDJDL VDWX VDWXQ\D DVDV GDODP NHKLGXSDQ EHUPDV\DUDNDW EHUEDQJVD GDQ EHUQHJDUD 3HUPLQWDDQ 3UHVLGHQ 6RHKDUWR LQL WHQWX EHUVHQWXKDQ ODQJVXQJ GHQJDQ

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya pada bagian awal, seyogyanya kepada Notaris sebagai jabatan kepercayaan yang diwajibkan menjaga rahasia jabatannya

Tender adalah tawaran untuk mengajukan harga, memborong pekerjaan, atau mengajukan harga, memborong pekerjaan, atau menyediak menyediakan an barang yang diberikan oleh syarikat

Ditarik kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tenaga kesehatan yang dikunjungi ibu saat ANC dengan kejadian bayi berat lahir rendah.. Moewardi

dengan: I usahatani (Rp) TR total penerimaan (Rp) TCe total biaya ekspisit (Rp) Untuk mengetahui tujuan yang ketiga yaitu perbedaan pendapatan sistem pengolahan bahan

Kebiasaan membolos yang sering dilakukan oleh siswa tentu akan berdampak negatif pada dirinya, misalnya dihukum, diskorsing, tidak dapat mengikuti ujian, bahkan bisa dikeluarkan

Mereka menari dengan lemah gemulai, sangat indah. Para tamu undangan terpukau melihatnya. Yang bertanggung jawab untuk iringan adalah Mantri Karawitan yang juga Lurah Kadipaten,