• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PARA PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PROSTITUSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PARA PIHAK YANG TERLIBAT DALAM PROSTITUSI"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP PROSTITUSI DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PARA PIHAK YANG

TERLIBAT DALAM PROSTITUSI Arya Mahardhika Pradana

Abstrak

The focus of this study is about prostitution according to criminal law and so about the responsibilities to them who involved in prostitution. This study shows that prostitution has been a law issue, not just a social issue. Prostitution had approach the terminology of criminal law based on the regulation on Local regulation (Peraturan Daerah). Even though it does not written on the penal code (KUHP), part of activity in prostitution, which related to sexual activity, had been written on the penal code as a criminal act, with few conditions. With those reasons, so the people who involved in prostitution can be punished by the penal code.

Keywords: prostitution, liability, criminal offenses

Abstrak

Fokus penelitian ini adalah tentang prostitusi menurut hukum pidana dan tentang tanggung jawab kepada mereka yang terlibat dalam prostitusi. Studi ini menunjukkan bahwa prostitusi telah menjadi isu hukum, bukan hanya masalah sosial. Prostitusi memiliki pendekatan terminologi hukum pidana berdasarkan peraturan peraturan lokal (Peraturan Daerah). Meskipun tidak tertulis di KUHP, bagian dari kegiatan prostitusi, yang berkaitan dengan aktivitas seksual, telah ditulis pada hukum pidana sebagai tindak pidana, dengan beberapa kondisi. Dengan alasan-alasan, sehingga orang-orang yang terlibat dalam prostitusi dapat dihukum oleh hukum pidana.

Kata kunci: prostitusi, pertanggungjawaban, tindak pidana

I. Pendahuluan

Prostitusi merupakan permasalahan yang sangat kompleks karena menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan prostitusi menyangkut aspek sosial, gender, hukum, kesehatan, moral dan etika, agama,

(2)

pendidikan, psikologis, ekonomi dan industrialisasi, dan juga masalah politik.1

Permasalahan yang diakibatkan oleh prostitusi, antara lain:2 1. Ditinjau dari segi pendidikan, prostitusi berarti demoralisasi; 2. Ditinjau dari segi sosial, prostitusi dianggap kanker masyarakat; 3. Ditinjau dari sudut agama, prostitusi adalah haram;

4. Ditinjau dari sudut kesehatan, prostitusi membahayakan keturunan;

Dari keempat hal tersebut dapat dilihat bagaimana prostitusi dapat dikatakan sebagai perbuatan yang sewajarnya dijauhi oleh masyarakat. Dua hal yang pertama mengatakan bahwa perbuatan prostitusi itu merupakan bentuk demoralisasi dan kanker masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bagaimana tercelanya perbuatan prostitusi itu di mata masyarakat.

Kemudian hal yang ketiga adalah mengenai pandangan prostitusi dari sudut agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa prostitusi itu sangat dekat dengan tindakan persetubuhan di luar nikah, yang mana dalam pandangan Islam tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai zinah.3 Dalam Al-Quran sendiri perbuatan zinah itu tergolong sebagai perbuatan yang haram. Disebutkan antara lain dalam surah Al-Isra ayat 32:

Dan janganlah kamu sekali-sekali melakukan perzinahan, sesungguhnya perzinahan itu merupakan suatu perbuatan yang keji, tidak sopan dan jalan yang buruk.4

dan juga dalam surah An Nur ayat 2 yang menyatakan:

Perempuan dan laki-laki yang berzina, deralah kedua-duanya, masing-masing seratus kali dera. Janganlah sayang kepada keduanya dalam menjalankan hukum Agama ALLAH, kalau kamu betul-betul beriman kepada ALLAH dan hari kemudian; dan hendaklah hukuman bagi keduanya itu disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.5

Permasalahan keempat dari prostitusi adalah mengenai kesehatan. Prostitusi merupakan salah satu sumber penyebaran penyakit kelamin menular

1

Syafruddin, Prostitusi Sebagai Penyakit Sosial dan Problematika Penegakkan Hukum,

<http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=get it&lid=196>, 1 Oktober 2007.

2

Soedjono D., Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Kenyataan Dalam Masyarakat

(Bandung: Karya Nusantara, 1997), hal. 109.

3 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 3. 4

H.B. Jassin, Al-Quran Bacaan Mulia (Jakarta: Djambatan, 1978), hal. 429. 5Ibid., hal. 270.

(3)

diantaranya gonorhoe atau kencing nanah, dan syphylis. Kedua jenis penyakit tersebut secara mudah dapat diketahui sarangnya terdapat pada diri Pekerja Seks Komersil (PSK).6

Ditinjau dari segi hukum sendiri, prostitusi dipandang sebagai perbuatan yang bisa dikatakan bertentangan dengan kaidah hukum pidana.7 Tindak pidana yang terkait dengan prostitusi termuat dalam Pasal 296 KUHP yang mengancam dengan hukuman penjara kepada siapa saja yang pekerjaannya atau kebiasaannya dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang ketiga.8 Kemudian Pasal 506 KUHP yang mengatur pidana terhadap mucikari yang mengambil keuntungan dari tindakan prostitusi.9

Selain dari pasal-pasal tersebut, terdapat pula beberapa pasal lainnya dalam KUHP yang berkaitan dengan prostitusi, yaitu Pasal 297 yang mengatur tentang perdagangan perempuan dan anak laki-laki untuk dijadikan pekerja seks; dan Pasal 295 yang mengatur ketentuan yang mirip dengan Pasal 296 namun berbeda pada obyeknya, yang mana pada Pasal 295 ini ditujukan kepada anak yang belum dewasa.10

Telah dikatakan sebelumnya juga bahwa dari segi agama prostitusi itu dianggap sebagai perbuatan yang haram, dengan dasar surat dalam Al-Quran yang membicarakan mengenai zina. Jadi, jika prostitusi itu terkait dengan perbuatan zina, yang diartikan sebagai perbuatan persetubuhan di luar ikatan perkawinan, maka prostitusi itu juga bisa dianggap terkait dengan ketentuan Pasal 284 KUHP, yang juga mengatur mengenai tindakan zina. Dalam ketentuan pasal tersebut, perbuatan zina diartikan lebih sempit dibandingkan pengertian zina yang telah disebutkan sebelumnya. Pengertian tentang zina di dalam ketentuan Pasal 284 KUHP ini dipersempit dengan adanya ketentuan bahwa persetubuhan yang dilakukan di luar ikatan perkawinan itu haruslah dilakukan oleh seseorang yang telah kawin dengan orang lain yang belum kawin.11

Prostitusi juga dianggap terkait dengan ketentuan Pasal 281 KUHP tentang tindakan merusak kesopanan. Kesopanan dalam pasal ini diartikan sebagai kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu seksual misalnya bersetubuh, meraba-raba kemaluan wanita atau pria, dan lain-lain. Kemudian ditentukan juga bahwa perbuatan merusak kesopanan haruslah memenuhi dua hal, yaitu pertama, perbuatan merusak kesopanan ini dilakukan

6

Soedjono D, op. cit., hal. 110. 7 Ibid., hal. 7. 8 Ibid., hal. 60. 9 Ibid., hal. 110. 10 Ibid., hal. 61-62. 11

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal-demi Pasal (Bogor: Politeia, 1996), hal. 209.

(4)

di tempat umum, artinya perbuatan itu sengaja dilakukan di tempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya di pinggir jalan, gedung bioskop, dan lain-lain. Kedua, perbuatan merusak kesopanan sengaja dilakukan di muka orang lain yang hadir tidak dengan kemauannya sendiri, maksudnya tidak perlu di muka umum (seorang sudah cukup), asal orang ini tidak menghendaki perbuatan itu.12

Pengaturan mengenai prostitusi ini juga termuat dalam peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah, diantaranya adalah Pemerintah Daerah Kota Tangerang dan Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu. Adapun peraturan Pemerintah Daerah (PERDA) tersebut dimuat dalam:

1. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Prostitusi yang berlaku di wilayah Kota Tangerang;

2. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 tahun 1999 Tentang Prostitusi.

Ketentuan yang terkait dengan prostitusi antara lain disebutkan dalam Pasal 2 ayat 2 PERDA Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 dan Pasal 7 PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999. Kedua pasal tersebut menyebutkan bahwa:

Pasal 2 ayat 2 PERDA Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005

Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama-sama untuk melakukan perbuatan pelacuran.

Pasal 7 PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999

Pelaku Prostitusi baik laki-laki maupun perempuannya dikenakan sanksi dengan Pasal 9 Peraturan Daerah ini.

Melihat pada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan prostitusi di atas, dapat dilihat adanya perbedaan dalam cara pengaturannya. Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan yang dikatakan terkait dengan prostitusi, tidak ada satupun diantaranya yang menyebutkan kata prostitusi, atau memberikan batasan tertentu tentang prostitusi. Sedangkan dalam Peraturan Daerah, kata prostitusi itu dengan jelas disebutkan, bahkan dalam judul peraturannya.

Namun pengaturan yang ada juga ternyata belum mampu untuk dapat langsung dikenakan kepada pelaku prostitusi. Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di wilayah Bogor, di mana terdapat sebanyak 73 Pekerja Seks Komersial (PSK) terjaring di kota maupun Kabupaten Bogor. Sasaran operasi saat itu adalah warung remang-remang, sejumlah tempat hiburan, dan pinggir jalanan yang diduga menjadi tempat transaksi seksual. Semua PSK tersebut langsung dikenai sanksi hukum tindak pidana ringan (Tipiring), kemudian dikirim ke Panti Sosial Wanita Karya di Cibadak, Sukabumi. Tindakan tegas

12

(5)

ini dilakukan menyusul tuntutan masyarakat agar tempat-tempat yang diduga menjadi sarang prostitusi di kawasan Puncak dibersihkan.13

Berdasarkan keterangan dari pihak Pengadilan Negeri Bogor dan Pemerintah Kotamadya (PEMKOT) Bogor, diketahui bahwa tipiring yang dikenakan kepada sejumlah PSK yang terjaring dalam penertiban dikarenakan mayoritas dari mereka tidak membawa identitas dan dianggap melakukan pelanggaran terhadap Pasal 505 KUHP, yaitu disamakan sebagai gelandangan. Pada akhirnya pun mereka diminta untuk membayarkan sejumlah uang rata-rata Rp 300.000,00 untuk kemudian dikirim ke panti-panti sosial, sementara sebagian dipulangkan ke keluarga masing-masing.

Pengenaan Pasal 505 KUHP itu tentunya tidaklah tepat mengingat pasal tersebut hanya dapat dikenakan kepada seseorang yang tidak memiliki mata pencarian yang kemudian melakukan pengembaraan bagaikan gelandangan (bukan pengemis).14

Sedangkan seorang PSK dapat dikatakan memiliki mata pencarian.15 karena dari apa yang dilakukannya seorang PSK pasti akan mendapatkan sejumlah bayaran sebagai imbalan, dengan kata lain bahwa perbuatannya itu menjadi pencariannya.

Contoh tersebut dapat dijadikan sebuah gambaran bahwa pada akhirnya upaya pemberantasan prostitusi tidak menuju kepada sebuah kepastian hukum dan bahkan keadilan. Karena apa yang terjadi di Bogor itu justru membawa kepada tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Polisi seperti mencari-cari kesalahan yang bisa dikenakan kepada para PSK yang terjaring. Itupun dilakukan karena adanya tuntutan dari masyarakat.

Apabila prostitusi memang merupakan perbuatan yang tercela dan keinginan masyarakat begitu besar untuk memberantasnya (seperti yang ada di Bogor), terlebih Soedjono menyebut prostitusi sebagai sebuah tindak pidana, namun mengapa KUHP tidak dapat diimplementasikan dalam pemberantasan prostitusi sehingga pemerintah daerah juga harus membuat peraturan tersendiri? Mengapa sampai harus terjadi kasus seperti yang ada di Bogor, dimana polisi sampai kebingungan dalam menentukan aturan hukum yang tepat guna memidana PSK?

II. Permasalahan

Melihat adanya permasalahan tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian hukum terkait dengan tinjauan hukum pidana guna mencari tahu bagaimanakah prostitusi itu dapat dipandang sebagai sebuah tindak pidana dan siapa sesungguhnya pihak-pihak yang terlibat dalam aktivitas seksual ini. Mengenai bagaimana seharusnya pertanggungjawaban pidana dapat

13

Terjaring, 73 PSK di Bogor, <http://wwwkompas.com/kompascetak/0204/25/metro/terj18 htm

>, 2 Januari 2007. 14

R. Soesilo, op.cit., hal. 327.

15 Seseorang sudah dapat dikatakan melakukan perbuatan sebagai pencarian jika dari perbuatannya itu ia mendapatkan bayaran. Lihat Ibid., hal. 217 dan 327.

(6)

dilimpahkan kepada seluruh pihak yang terlibat pun akan menjadi kajian utama dalam penelitian ini. Ada 3 hal yang akan di kaji dan di cari jawabannya dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana prostitusi ditinjau menurut hukum pidana? 2. Siapa saja pihak yang terlibat dalam prostitusi?

3. Bagaimana pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam prostitusi?

III. Metode Penelitian

Ditinjau dari jenisnya, penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif. Penelitian terhadap pengertian pokok hukum dengan melihat pada sebuah peristiwa hukum yaitu kegiatan prostitusi, dan bagaimana peristiwa itu terkait dengan aturan hukum tertulis yang berlaku.

Penelitian ini menggunakan pengolahan data secara kualitatif. Dengan demikian ditinjau dari sifat penelitiannya, maka penelitian ini bersifat deskriptif analisis yang bertujuan untuk memberikan gambaran yang tepat tentang suatu aktivitas prostitusi. Untuk kemudian menganalisa hal tersebut dalam pandangan hukum pidana.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi dokumen dan pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara dan pengamatan langsung tidak terlibat. Studi dokumen dilakukan dengan penelusuran berbagai bahan hukum primer(KUHP), bahan hukum sekunder (buku-buku tentang aturan-aturan mengenai prostitusi) dan bahan hukum tertier (kamus, ensiklopedia, data internet).

Wawancara dan pengamatan langsung tidak terlibat sebagai data pendukung dilakukan di salah satu lokasi prostitusi, yang terletak di wilayah Puncak, Bogor, yang dalam skripsi ini disebut sebagai lokasi ‖X‖. Pengamatan dan wawancara dilakukan pada bulan Juli sampai bulan September 2007. Wawancara dilakukan terhadap para pihak yang terlibat dalam aktivitas prostitusi yang terjadi di wilayah tersebut.

IV. Hasil Penelitian 1. Kasus Posisi

Pada Tanggal 27 November 1974, Hwa Yin alias Indrawaty (terdakwa I) dan Komala Kamaludin (terdakwa II) menyerahkan seorang perempuan yang belum dewasa (umur tidak disebutkan di dalam putusan) yang bernama Cucu Sulastri binti Sadeli (saksi I) kepada seorang laki-laki bernama Herman untuk disetubuhi. Sebelumnya Hwa Yin alias Indrawaty telah mengadakan perjanjian dengan Herman melalui telepon, untuk menyanggupi menyediakan seorang perempuan untuk disetubuhi.

(7)

Kemudian Hwa Yin alias Indrawaty meminta bantuan Komala Kamaludin untuk mencarikan perempuan untuk yang dimaksudkan untuk disetubuhi oleh Herman. Kemudian dengan bantuan Heriyati alias Kutut (saksi II), yang ‗menemukan‘ Cucu Sulastri binti Sadeli yang sedang mencari ‗pekerjaan‘.

Kemudian sesuai permintaan, Heriyati menyerahkan Cucu Sulastri kepada Komala Kamaludin. Komala Kamaludin mempertemukan Cucu Sulastri binti Sadeli dengan Hwa Yin alias Indrawaty.

Kemudian sesuai dengan perjanjian, Hwa Yin alias Indrawaty dan Komala Kamaludin membawa Cucu Sulastri binti Sadeli untuk bertemu dengan Herman di HAI-LAY. Kemudian Hwa Yin alias Indrawaty, Cucu Sulastri binti Sadeli, serta Herman pergi ke sebuah Motel bernama Copa Cobana di daerah Bina-Ria Tanjung Priok.

Sebagai uang muka, Herman membayar sejumlah Rp 50.000,00 kepada Hwa Yin alias Indrawaty. Di tempat itu dan di waktu itu juga kemudian Herman menyetubuhi Cucu Sulastri binti Sadeli pada hari itu juga. Kemudian selesai menyetubuhi, Herman membayarkan sejumlah uang Rp 250.000,00 kepada Hwa Yin alias Indrawaty. Jadi total uang yang dibayarkan oleh Herman kepada Hwa Yin alias Indrawaty sebesar Rp 300.000,00.

Kemudian Hwa Yin alias Indrawaty membagikan uang itu, Ia memberikan Rp 50.000,00 kepada Cucu Sulastri binti Sadeli dan juga sebesar Rp 50.000,00 kepada Komala Kamaludin. Sisanya yang Rp 200.000,00 dipegang oleh Hwa Yin alias Indrawaty. Dari uang sebesar Rp 200.000,00 itu digunkan sebesar Rp 50.000,00 oleh anak Hwa Yin alias Indrawaty untuk belanja barang seperti baju dan barang-barang lainnya yang menjadi kebutuhan Cucu Sulastri binti Sadeli. Perbuatan prostitusi yang terjadi dalam kasus tersebut terlihat dari adanya hubungan seksual yang dilakukan oleh Cucu Sulastri dengan Herman, yang kemudian Herman membayarkan sejumlah uang atas jasa yang telah diberikan oleh Cucu kepadanya. Dengan demikian sudah jelas bahwa kedudukan Cucu Sulastri adalah sebagai PSK dan Herman berperan sebagai pelanggan.

Dari kasus tersebut juga terlihat adanya keterlibatan pihak-pihak lain yang menunjang terjadinya aktivitas prostitusi yang dilakukan oleh Cucu dan Herman. Mereka adalah Hwa Yin, Komala Kamaludin, dan Heriyati. Hwa Yin dan Komala Kamaludin dalam kasus ini saling berkoordinasi dalam mencarikan wanita (PSK) untuk Herman. Peran seperti ini merupakan peran dari pihak calo dalam prostitusi. Peran yang dijalankan oleh Heriyati, yaitu mencarikan wanita untuk diprostitusikan, senada dengan peran dari pihak pedagang atau penjual wanita.

Selanjutnya, berhubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana yang dapat dikenakan kepada para pihak ini, dari hasil pemeriksaan di persidangan, ditetapkan sebagai pihak yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Hwa Yin dan Komala

(8)

Kamaludin. Pihak-pihak lainnya tidak dianggap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Cucu Sulastri dan Heriyati dianggap oleh hakim sebagai pihak yang tidak mampu bertanggungjawab. Alasan bagi keduanya adalah karena keduanya masih belum dewasa. Sebenarnya alasan seperti itu tidak dapat diterima. Jika memang keduanya dapat dianggap melanggar hukum, bagi mereka berlaku Pasal 45 KUHP, yang mensyaratkan adanya keringanan hukuman bagi pelaku tindak pidana anak, yaitu hukuman pokok dikurangi sepertiganya.16

Hakim juga menganggap bahwa kehendak bukan datang dari diri Cucu Sulastri. Melihat pada sifat Cucu yang dianggap masih kekanak-kanakan, Cucu dianggap tidak mungkin berkehendak untuk mau melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Jadi dalam perkara ini Hakim berpendapat bahwa persetubuhan yang dilakukan oleh Cucu merupakan kehendak dari para terdakwa.

2. Pertanggungjawaban Pidana yang Dapat Dikenakan Terhadap Hwa Yin, Komala Kamaludin, dan Calo Lokasi “X” Sebagai Pihak Calo Prostitusi

Dari hasil pemeriksaan di pengadilan tersebut, Hwa Yin dan Komala Kamaludin dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 297 KUHP. Perbuatan keduanya menyerahkan Cucu kepada Herman untuk diprostitusikan dianggap sebagai perbuatan memperniagakan yang dimaksud dalam pasal tersebut. Sebagai obyek yang diperniagakan adalah perempuan, yaitu Cucu Sulastri.

Jika ditinjau kembali, dalam ketentuan Pasal 297 KUHP, obyek yang diperdagangkan atau diperniagakan dikatakan sebagai korban.17 Definisi korban itu sendiri, seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Selain itu pengertian korban juga terdapat dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.

Berdasarkan keterangan yang tertulis dalam surat putusan, tidak nampak adanya penderitaan fisik, mental, ataupun ekonomi yang dialami oleh Cucu. Meskipun dianggap ia tidak berkehendak melakukan persetubuhan dengan Herman, namun dari kasus posisi dan keterangan tertulis dalam surat putusan, tidak terlihat adanya tanda-tanda penderitaan fisik ataupun mental dari Cucu.

16

R Soesilo, op cit, hal. 62. 17

(9)

Bahkan secara ekonomi justru Cucu Sulastri mendapatkan keuntungan, dengan mendapatkan bayaran Rp 50.000,00 ditambah lagi dengan Rp 50.000,00 yang dibelanjakan untuk kebutuhan Cucu. Dengan demikian jelas bahwa Cucu tidaklah berkedudukan sebagai korban suatu tindak pidana, untuk itu dapat dikatakan bahwa penerapan Pasal 297 KUHP terhadap para terdakwa adalah salah.

Melihat dari kasus posisi, yang mana niat dari perbutan cabul datang dari Herman, kemudian para terdakwa memperlancar terjadinya hal tersebut dengan mencarikan wanita bagi Herman, maka ketentuan yang lebih tepat diterapkan kepada para terdakwa adalah Pasal 295 ayat (1) butir 2e jo ayat (2) KUHP, yaitu perbuatan memudahkan terjadinya perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya, belum dewasa. Unsur-unsur dalam ketentuan pasal tersebut jika diuraikan adalah sebagai berikut:

1. Barang siapa;

Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan menurut pasal ini adalah umum, dan mencakup juga para terdakwa

2. Dengan sengaja;

Kesengajaan yang dilakukan oleh para terdakwa ditunjukkan dengan sikap mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang mereka lakukan. Kesengajaan dalam kasus ini merupakan bentuk kesengajaan sebagai maksud, yaitu bermaksud untuk terjadinya perbuatan cabul antara Cucu dengan Herman

3. Menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul;

Dalam hal ini perbuatan para terdakwa mencarikan wanita untuk disetubuhi oleh Herman sehingga memperlancar terjadinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang memudahkan terjadinya perbuatan cabul. 4. Oleh orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya,

belum dewasa dengan orang lain;

Dalam kasus, orang yang dianggap atau patut dianggap belum dewasa adalah Cucu Sulastri, dengan melihat keadaan badaniyahnya Cucu patut dianggap belum dewasa, karena terlihat masih kekanak-kanakan

5. Perbuatnnya dilakukan sebagai pencarian.

Hal tersebut terlihat jelas dari adanya pembayaran yang diterima oleh para terdakwa dari hasil perbuatan yang dilakukannya.

Unsur-unsur Pasal 295 ayat (1) butir 2e jo ayat (2) KUHP terpenuhi dengan jelas dan meyakinkan, maka para terdakwa dapat dipertanggungjawabkan secara pidana berdasarkan pasal tersebut. Pertanggungjawaban yang dapat dikenakan kepada para terdakwa adalah masing-masing diancam dengan hukuman penjara paling lama lima tahun empat bulan.

Pertanggungjawaban atas perbuatan serupa juga dapat dikenakan kepada calo lokasi ―X‖. Perbedaannya hanya terletak pada obyek yang dimudahkannya melakukan perbuatan cabul. Di lokasi ―X‖, pihak yang dimudahkan untuk berbuat cabul adalah pihak pelanggan, dan pelanggan

(10)

di lokasi ini semuanya telah dewasa18

. Ketentuan yang pantas bagi calo lokasi ‖X‖ adalah Pasal 296 KUHP.

Perbuatan para calo ini bisa dikategorikan sebagai pemenuhan unsur ‗memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain‘, sebab banyak diantara calon pelanggan yang untuk memperlancar niatnya bersetubuh, datang ke lokasi ‖X‖ dengan menjadi pelanggan dalam prostitusi. Kemudian dengan tindakannya mencarikan PSK untuk disetubuhi sesuai permintaan pelanggan, para calo tersebut dapat dikatakan telah mempermudah terjadinya perbuatan cabul antara pelanggannya dengan PSK. Selanjutnya dari hasil pembayaran yang dilakukan kepada PSK oleh pelanggan, seorang calo mendapatkan imbalan sebesar Rp 20.000,00 yang dapat dikatakan bahwa hal ini memenuhi unsur ‗sebagai pencarian‘, bahkan juga ‗sebagai kebiasaan‘, karena perbuatannya dilakukan lebih dari satu kali.

Unsur-unsur Pasal 296 KUHP terpenuhi oleh calo yang ada di lokasi ‖X‖ dengan jelas. Dengan demikian, calo lokasi ―X‖ dapat dikenakan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Jika calo prostitusi ini, baik para terdakwa maupun calo di lokasi ‖X‖, melakukan tindakannya di wilayah Tangerang, perbuatan mereka dianggap melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, yang unsur-unsurnya adalah:

1. Setiap orang di Daerah;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga para terdakwa kasus Cucu Sulastri dan calo prostitusi yang ada di lokasi ‖X‖. Subyek tersebut kemudian dikhususkan dengan menyebutkan kata ‗di Daerah‘, yang dalam PERDA ini dimaksudkan sebagai wilayah Kota Tangerang.

2. Baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama;

Dalam kasus, para terdakwa melakukannya secara bersama-sama, sedangkan calo di lokasi ―X‖ untuk karyawan villa dikatakan melakukan perannya sendiri-sendiri, tetapi dalam keadaan tertentu, yaitu ketika ada koordinasi antara karyawan villa dan SU dapat dikatakan bahwa calo di lokasi ―X‖ bekerja bersama-sama. Jadi, baik para terdakwa maupun calo lokasi ―X‖ memenuhi unsur ini.

3. Mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau orang untuk melakukan prostitusi;

Baik yang terjadi dalam kasus maupun praktik di lokasi ‖X‖ adalah mengusahakan atau menyediakan orang untuk melakukan persetubuhan dengan adanya pembayaran, yang kemudian disebut sebagai perbuatan prostitusi. Dalam kasus, para terdakwa mengusahakan seorang wanita untuk disetubuhi oleh Herman, kemudian Herman membayar jasa dari persetubuhan tersebut. Begitu juga dengan calo yang ada di lokasi ‖X.

18

Pengertian dewasa di sini dapat dilihat dengan memperlawankannya dengan ketentuan usia anak dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan anak, yaitu antara 8-18 tahun, yang berarti usia di atas 18 tahun dapat dikatakan telah dewasa.

(11)

Mereka mengusahakan untuk mencarikan wanita dengan bantuan mucikari untuk diprostitusikan.

Dengan demikian para terdakwa dan juga para calo yang ada di lokasi ‖X‖ memenuhi unsur Pasal 2 ayat (1) PERDA ini. Dengan terpenuhinya unsur pasal ini, maka para terdakwa kasus Cucu Sulastri serta para calo di lokasi‖X‖ dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan ancaman pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) PERDA ini.

Jika para terdakwa dalam kasus atau pihak calo lokasi ‖X‖ melakukan aktivitasnya di wilayah Kabupaten Indramayu, dianggap melanggar Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 7 tahun 1999, yang menyebutkan

Siapapun dilarang baik secara sendiri maupun kelompok, melakukan, menghubungkan, mengusahakan atau menyediakan orang untuk melakukan Perbuatan Prostitusi.

Dengan unsur-unsur perbuatan yang serupa dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005. Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan menghubungkan, mengusahakan atau menyediakan orang untuk melakukan Perbuatan Prostitusi.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa perbuatan Hwa Yin dan Komala Kamaludin serta para calo lokasi ‖X‖, dapat memenuhi unsur sebagai perbuatan mengusahakan atau menyediakan orang untuk melakukan prostitusi. Hwa Yin dan Komala Kamaludin menyediakan Cucu Sulastri untuk disetubuhi Herman, serta calo di lokasi ‖X‖ mengusahakan seorang PSK untuk disetubuhi pelanggannya.

Dapat diketahui juga bahwa dengan adanya peran dari para terdakwa, pertemuan antara Cucu Sulastri dan Herman dapat terjadi. Begitu juga dengan adanya peran dari calo di lokasi ‖X‖, PSK yang ada juga bisa bertemu dengan pelanggannya. Perbuatan yang sebagaimana dapat dikatakan sebagai menghubungkan orang untuk melakukan aktivitas prostitusi.

Jadi perbuatan dari para terdakwa dan calo lokasi ‖X‖ memenuhi ketentuan perbuatan menghubungkan, mengusahakan atau menyediakan orang lain untuk melakukan prostitusi, yang merupakan unsur Pasal 3 Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 7 tahun 1999. Dengan demikian para pelaku ini dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan mengenakan ancaman hukuman berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA tersebut, yaitu hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana pertanggungjawaban secara pidana yang dapat dikenakan kepada pihak calo dalam prostitusi. Peran calo yang dalam kasus diperankan oleh Hwa Yin dan Komala Kamaludin, serta calo di lokasi ―X‖, masing-masing dapat dikenakan pertanggungjawaban berdasarkan KUHP dan dua PERDA, yaitu PERDA

(12)

Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 dan PERDA Kabupaten Indramayu Nomor 7 tahun 1999.

3. Pertanggungjawaban Pidana yang Dapat Dikenakan Terhadap Cucu Sulastri, Herman, PSK dan Pelanggan di Lokasi “X” Sebagai Pihak PSK dan Pelanggan dalam Prostitusi

Telah diketahui dari penjelasan sebelumnya, yang dapat dilihat juga dari tabel 2.1 dan tabel 2.2, bahwa bagi pihak PSK dan pelanggan, menurut KUHP diatur menurut Pasal 281 dan Pasal 284 KUHP. Jika melihat pada kasus dan praktik di lokasi ―X‖, maka dapat dikatakan bahwa perbuatan para pihak ini tidak lah dilakukan di muka umum ataupun di muka orang lain, dan bahkan tidak diketahui sama sekali apakah salah satu pihak dari PSK atau pelanggan telah kawin. Jadi perbuatan pihak-pihak ini tidak dikenakan pidana menurut KUHP. Jadi benar jika kemudian menjadikan Cucu sebagai saksi, dan Herman tidak diperiksa sama sekali, karena berdasarkan KUHP, yang dijadikan acuan dalam memidana terdakwa dalam kasus ini, Cucu (sebagai PSK) dan Herman (sebagai pelanggan) tidak dapat dikenakan pidana.

Akan tetapi, jika perbuatan mereka dilakukan di wilayah kota Tangerang dan Kabupaten Indramayu, kedua PERDA yang ada mengatur secara jelas ketentuan larangan dan pemidanaan bagi mereka. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah:

1. Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005

Pasal 2 ayat (2)

Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama-sama untuk melakukan perbuatan prostitusi

Pasal 9 ayat (1)

Barangsiapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah ini, diancam kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)

2. Peraturan Daerah Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999

Pasal 7

Pelaku Prostitusi baik laki-laki maupun perempuannya dikenakan sanksi dengan Pasal 9 Peraturan Daerah ini

Pasal 9 ayat (1)

Barang siapa yang melanggar Pasal 2, 3, 4, 5, 6 dan 8 ayat (1) Peraturan Daerah ini diancam dengan Hukuman Kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau Denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Dalam pembahasan mengenai pertanggungjawaban ini juga, status Cucu Sulastri sebagai orang yang belum dewasa, tidak mengikuti ketentuan dalam Pasal 45 KUHP. Dalam kurun waktu berlakunya kedua PERDA yang dapat mempertanggungjawabkan pihak PSK, keberlakuan

(13)

Pasal 45 tersebut telah dicabut dengan adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Pengaturannya antara lain:

Pasal 26

(1) Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa.

(2) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2

huruf a, melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 (sepuluh) tahun.

(3) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2

huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut hanya dapat dijatuhkan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b.

(4) Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2

huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Pasal 27

Pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

Pasal 28

(1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling

banyak ½ (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa.

(2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.

(3) Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama

90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.

Perbuatan Herman menyetubuhi Cucu Sulastri dan kemudian melakukan pembayaran atas ‗jasa‘ yang diberikan oleh Cucu Sulastri, tergolong sebagai perbuatan prostitusi. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan mengenai perbuatan prostitusi yang ada dalam PERDA seperti telah disebutkan sebelumnya, yaitu yang diatur dalam Pasal 1 butir 4 PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005 dan Pasal 1 butir e PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999.

(14)

Jika perbuatannya dilakukan di wilayah Tangerang, berdasarkan PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, perbuatan mereka berdua dianggap melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (2), yang unsur-unsurnya 1. Siapapun di Daerah;

Unsur ini menyatakan yang dapat menjadi subyek tindak pidana ini adalah sipapun yang berada di wilayah kota Tangerang

2. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk melakukan perbuatan prostitusi;

Perbuatan Herman dan Cucu untuk melakukan perbuatan prostitusi sudah jelas ada karena perbuatan prostitusinya telah terjadi.

Perbuatan Herman dan Cucu Sulastri secara jelas memenuhi unsur pasal 2 ayat (2) PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005. Atas perbuatannya itu mereka diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA ini.

Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, Herman dapat diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Bagi Cucu Sulastri, berdasarkan Pasal 27 Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pidana kurungan yang dapat diancam kepadanya menurut Pasal 9 ayat (1) PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, adalah dikurangi setengahnya, menjadi paling lama satu bulan lima belas hari. Kemudian berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, pidana denda yang dapat diancamkan kepada Cucu Sulastri berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA tersebut, dikurangi setengahnya menjadi setinggi-tingginya Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

Jika perbuatan mereka dilakukan di wilayah Kabupaten Indramayu, maka perbuatan mereka dianggap melanggar ketentuan Pasal 7 PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999, yang menyatakan bahwa pelaku prostitusi, baik laki-lakinya maupun perempuannya dikenakan sanksi menurut Pasal 9 PERDA tersebut. Dapat diketahui bahwa dari aktivitas prostitusi yang dilakukan, Cucu Sulastri berperan sebagai ‗perempuannya‘ dan Herman berperan sebagai ‗laki-lakinya‘.

Jelas bagaimana keduanya memenuhi ketentuan Pasal 7 PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal tersebut juga, Cucu Sulastri dan Herman dapat diancam sanksi menurut Pasal 9, yaitu bagi Herman adalah hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Sedangkan bagi Cucu Sulastri yang statusnya belum dewasa dikenakan potongan menurut ketentuan Pasal 27 dan 28 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak ancaman sanksi yang dikenakan kepadanya menjadi, kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

(15)

Penjelasan di atas menunjukkan bagaimana kedua PERDA yang ada dapat mempertanggungjawabkan secara pidana para pihak PSK dan pelanggan. Kedua PERDA tersebut juga dengan jelas dapat menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Cucu Sulastri dengan Herman adalah prostitusi.

5. Pertanggungjawaban Pidana yang Dapat Dikenakan Terhadap Heriyati Sebagai Pihak Pedagang Atau Penjual Wanita

Telah disebutkan sebelumnya, bahwa peran yang dilakukan oleh Heriyati adalah sebagai pihak pedagang atau penjual wanita. Sebagai pihak yang ikut terlibat dalam terjadinya kasus di atas, dan memiliki peran yang cukup penting, Heriyati juga perlu dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya. Perbuatannya itu bisa dikatakan sebagai perbuatan yang mempermudah terjadinya perbuatan cabul antara Cucu dengan Herman.

Dengan demikian, perbuatan Heriyati ini melanggar ketentuan Pasal 295 ayat (1) butir 2e KUHP, yaitu perbuatan memudahkan terjadinya perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya, belum dewasa. Unsur-unsur dalam ketentuan pasal tersebut jika diuraikan adalah sebagai berikut:

1. Barang siapa;

Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan menurut pasal ini adalah umum, dan mencakup juga para terdakwa

2. Dengan sengaja;

Kesengajaan yang dilakukan oleh Heriyati ditunjukkan dengan sikap mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang mereka lakukan. Kesengajaan dalam kasus ini merupakan bentuk kesengajaan sebagai maksud, yaitu bermaksud untuk mencarikan seseorang untuk diserahkan kepada Komala Kamaludin, yang Heriyati sendiri dalam keterangannya di persidangan telah mengetahui bahwa Komala Kamaludin memang ‗pekerjaannya‘ mencari wanita untuk diprostitusikan.

3. Menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul;

Dalam hal ini perbuatan Heriyati mencarikan wanita untuk Komala Kamaludin yang Heriyati sendiri telah mengetahui bahwa Komala Kamaludin memang ‗pekerjaannya‘ mencari wanita untuk diprostitusikan, dan kemudian wanita yang diserahkan olehnya, yaitu Cucu melakukan perbuatan cabul dengan Herman, maka perbuatan Heriyati merupakan perbuatan yang memudahkan untuk terjadinya persetubuhan antara Herman dengan Cucu.

4. Oleh orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya, belum dewasa dengan orang lain.

Dalam kasus, orang yang dianggap atau patut dianggap belum dewasa adalah Cucu Sulastri, dengan melihat keadaan badaniyahnya Cucu patut dianggap belum dewasa, karena terlihat masih kekanak-kanakan

(16)

Unsur-unsur Pasal 295 ayat (1) butir 2e KUHP terbukti dengan jelas dan meyakinkan, maka Heriyati dapat dipertanggungjawabkan secara pidana berdasarkan pasal tersebut. Pertanggungjawaban yang dapat dikenakan kepada Heriyati juga mengacu pada Pasal 45 KUHP. Dengan demikian ia diancam dengan hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Jika ditinjau dalam PERDA, perbuatan Heriyati ini bisa dipertanggungjawabkan. Seperti halnya Cucu Sulastri, dalam membahas pertanggungjawaban terhadap Heriyati, ketentuan mengenai pertanggungjawaban orang yang belum dewasa mengacu pada Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Ketentuan Pasal 45 KUHP menjadi tidak berlaku, mengingat bahwa kurun waktu keberlakuan PERDA adalah pada waktu dimana Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak berlaku.

Berdasarkan PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, jika perbuatannya dilakukan di Kota Tangerang, perbuatan Heriyati melanggar Pasal 2 ayat (1), yang unsur-unsurnya:

1. Setiap orang di Daerah;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga Heriyati. Subyek tersebut kemudian dikhususkan dengan menyebutkan kata ‗di Daerah‘, yang dalam PERDA ini dimaksudkan sebagai wilayah Kota Tangerang.

2. Baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama;

Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan, baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Dalam kasus, perbuatannya dilakukan oleh Heriyati seorang diri.

3. Mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau orang untuk melakukan prostitusi.

Perbuatan yang Heriyati lakukan adalah mengusahakan seseorang untuk diprostitusikan oleh para terdakwa. Orang itu adalah Cucu Sulastri.

Unsur-unsur Pasal 2 ayat (1) PERDA tersebut terpenuhi dengan jelas dan meyakinkan. Dengan demikian Heiyati dapat dikenakan ancaman hukuman berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA ini, yang juga mengacu pada Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya menjadi kurungan paling lama satu bulan lima belas hari atau denda setinggi-tingginya Rp 7.500.000,00.

Jika seandainya perbuatan Heriyati dilakukan di Kabupaten Indramayu, maka berdasarkan PERDA Kabupaten Indramayu Nomor 7 tahun 1999, perbuatan Heriyati melanggar ketentuan Pasal 3, yang unsur-unsurnya:

1. Siapapun;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga Heriyati. 2. Baik sendiri-sendiri maupun kelompok;

(17)

Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan, baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Dalam kasus, perbuatannya dilakukan oleh Heriyati seorang diri.

3. Melakukan, menghubungkan, mengusahakan atau menyediakan orang untuk melakukan Perbuatan Prostitusi.

Perbuatan yang Heriyati lakukan adalah mengusahakan seseorang untuk diprostitusikan oleh para terdakwa. Orang itu adalah Cucu Sulastri.

Unsur-unsur Pasal 3 PERDA tersebut terpenuhi dengan jelas dan meyakinkan. Dengan demikian Heriyati dapat dikenakan ancaman hukuman berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA ini, yang juga mengacu pada Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya menjadi kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 2.500.000,00.

Pihak lain yang juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, namun tidak ada dalam kasus, melainkan terdapat di lokasi ‖X‖. Pihak-pihak tersebut adalah Mucikari, Pihak-pihak keamanan, dan pemilik lokasi. 6. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Mucikari di Lokasi “X”

Pertanggungjawaban terhadap mucikari diatur dalam Pasal 506 KUHP. Unsur pertama dari pasal tersebut adalah ‗barangsiapa menjadi mucikari‘, yang jelas menyebutkan bahwa subyek tindak pidana menurut pasal ini adalah siapapun yang merupakan mucikari.

Unsur selanjutnya adalah ‗mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya pencarian‘. Perbuatan dari seorang mucikari di lokasi ―X‖ adalah menarik keuntungan dari perbuatan cabul yang dilakukan oleh PSK-nya (yang seluruhnya wanita) dengan pelanggan. Pengambilan keuntungan itu nampak dari jatah Rp.80.000,00 yang didapat seorang mucikari dari hasil Rp 150.000,00 yang dibayarkan oleh pelanggan kepada PSK-nya atas jasa seksual yang diberikan PSK-nya kepada pelanggan. Dengan mendapatkan bayaran tersebut juga dapat dikatakan bahwa mucikari ini menjadikan perbuatannya sebagai pencarian.

Unsur-unsur Pasal 506 KUHP terpenuhi dengan jelas dan meyakinkan. Dengan demikian, berdasarkan Pasal 506 KUHP, mucikari di lokasi ―X‖ tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dengan ancaman hukuman kurungan paling lama satu tahun.

Perbuatan sebagai mucikari ini juga dapat dikenakan Pasal 296 KUHP, yang unsur-unsurnya:

1. Barang siapa

Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan menurut pasal ini adalah umum, dan mencakup juga pihak mucikari di lokasi ―X‖. 2. Dengan sengaja

Kesengajaan yang dilakukan oleh pihak mucikari ditunjukkan dengan sikap mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang mereka lakukan.

(18)

Kesengajaannya merupakan bentuk kesengajaan sebagai maksud, yaitu bermaksud untuk memudahkan dilakukannya perbuatan cabul dengan menyediakan PSK-PSK.

3. Memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain

Perbuatannya menyediakan PSK-PSK, merupakan perbuatan yang dapat mempermudah terjadinya perbuatan cabul. Orang-orang yang memiliki niat untuk berbuat cabul dapat mewujudkan niatnya itu dengan lebih mudah dengan menggunakan jasa PSK yang telah disediakan oleh mucikari. 4. Perbuatannya dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan

Sebagaimana telah diketahui sebelumnya bahwa mucikari di lokasi ―X‖ ini mendapatkan jatah bayaran sebesar Rp 80.000,00 dari hasil satu kali transaksi seksual. Perbuatan mucikari ini juga dilakukan lebih dari dua kali yang menjadikannya sebagai kebiasaan.

Dapat dilihat bahwa unsur Pasal 296 KUHP terpenuhi dengan jelas dan meyakinkan. Dengan demikian mucikari di lokasi ―X‖ ini dapat dikenakan pertanggungjawaban dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Pertanggungjawaban pidana yang dapat dikenakan kepada mucikari ini, jika seandainya perbuatan mucikari dilakukan di wilayah kota Tangerang adalah berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 9 ayat (1) PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005. Perbuatan yang dilarang menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) PERDA ini jika diuraikan unsur-unsurnya dalah sebagai berikut:

1. Setiap orang di Daerah;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga para mucikari lokasi‖X‖. Subyek tersebut kemudian dikhususkan dengan menyebutkan kata ‗di Daerah‘, yang dalam PERDA ini dimaksudkan sebagai wilayah Kota Tangerang.

2. Baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama;

Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan, baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Di lokasi ―X‖ sendiri perbuatan mucikari dilakukan secara sendiri-sendiri meskipun terkoordinir, namun tetap masing-masing mucikari bekerja sendiri tidak saling bekerja sama. 3. Mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau

orang untuk melakukan prostitusi.

Yang terjadi di lokasi‖X‖ mucikari mengusahakan atau menyediakan orang (PSK) untuk melakukan persetubuhan dengan adanya pembayaran, yang kemudian disebut sebagai perbuatan prostitusi.

Terpenuhinya unsur pasal tersebut menyebabkan mucikari lokasi ―X‖ dapat dikenakan pelanggaran atas Pasal 2 ayat (1) PERDA tersebut, dan diancam dengan hukuman yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PERDA tersebut. Ancaman hukuman yang dapat dikenakan kepada mucikari adalah pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Jika seandainya perbuatan mucikari ini dilakukan di Kabupaten Indramayu, maka menurut ketentuan PERDA Kabupaten Indramayu No.

(19)

7 Tahun 1999, mengenai perbuatan mucikari diatur dalam Pasal 3, yang unsur-unsur pasalnya serupa dengan Pasal 2 ayat (1) PERDA kota Tangerang. Perbuatan yang dilarang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

1. Siapapun;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga para mucikari lokasi‖X‖.

2. Baik sendiri-sendiri maupun kelompok;

Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan, baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Di lokasi ―X‖ sendiri perbuatan mucikari dilakukan secara sendiri-sendiri meskipun terkoordinir, namun tetap masing-masing mucikari bekerja sendiri tidak saling bekerja sama. 3. Melakukan, menghubungkan, mengusahakan atau menyediakan orang

untuk melakukan Perbuatan Prostitusi.

Yang terjadi di lokasi‖X‖ mucikari mengusahakan atau menyediakan orang (PSK) untuk melakukan persetubuhan dengan adanya pembayaran, yang kemudian disebut sebagai perbuatan prostitusi.

Dengan demikian perbuatan mucikari tersebut jika dilakukan di wilayah Kabupaten Indramayu, dapat dikenakan ancaman pidana berdasarkan Pasal 9 ayat (1) PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999, yaitu hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

7. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pihak Keamanan di Lokasi “X”

Dari keterangan tabel 2.1 dan tabel 2.2 dapat dilihat bahwa ketentuan dalam Undang-Undang yang dapat dikenakan kepada pihak keamanan ini hanyalah ketentuan dalam KUHP. Perbuatannya mengamankan lokasi prostitusi dapat dikatakan sebagai perbuatan yang memperlancar atau memudahkan jalannya aktivitas prostitusi. Perbuatannya memudahkan terjadinya prostitusi tersebut merupakan pelanggaran Pasal 295 KUHP atau Pasal 296 KUHP. Mengingat orang-orang yang berada dilokasi ―X‖ yang melakukan perbuatan cabul keseluruhannya adalah orang dewasa, maka pihak keamanan ini melanggar ketentuan Pasal 296 KUHP, yang unsur-unsurnya:

Barangsiapa;

Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan menurut pasal ini adalah umum, dan mencakup juga pihak keamanan.

Dengan sengaja;

Kesengajaan yang dilakukan oleh pihak keamanan ditunjukkan dengan sikap mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang mereka lakukan. Kesengajaannya merupakan bentuk kesengajaan sebagai maksud, yaitu bermaksud untuk mengamankan sehingga dapat

(20)

memudahkan dilakukannya perbuatan cabul antara PSK dengan pelanggan.

Memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain; Perbuatannya mengamankan lokasi ―X‖ dapat mempermudah terjadinya perbuatan cabul yang dilakukan oleh PSK dengan pelanggannya.

Perbuatannya dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan.

Dari keterangan salah seorang pihak keamanan di lokasi ―X‖ ini, mereka mendapatkan bayaran tiap bulannya sebagai imbalan dari pengamanan yang dilakukannya. Selain itu perbuatan yang mereka lakukan dilakukan lebih dari dua kali yang menjadikannya kebiasaan.

Dapat dilihat bahwa unsur Pasal 296 KUHP terpenuhi dengan jelas dan meyakinkan. Dengan demikian pihak keamanan lokasi ―X‖ ini dapat dikenakan pertanggungjawaban dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

X. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pemilik Lokasi “X”

Pihak ini dapat dikenakan pertanggungjawaban atas perbuatan menyediakan tempat bagi prostitusi, yang mana diatur dalam Pasal 296 KUHP jika diuraikan adalah sebagai berikut:

1. Barang siapa;

Ketentuan mengenai subyek tindak pidana yang dapat dikenakan menurut pasal ini adalah umum, dan mencakup juga para terdakwa

2. Dengan sengaja;

Kesengajaan yang dilakukan oleh pemilik lokasi ditunjukkan dengan sikap mereka yang memang dapat menginsyafi perbuatan yang mereka lakukan. Kesengajaannya merupakan bentuk kesengajaan sebagai maksud, yaitu bermaksud untuk menyediakan tempat guna dilakukannya perbuatan cabul antara PSK dengan pelanggan.

3. Memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain;

Unsur ini sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya merupakan perbuatan menyediakan atau menyewakan kamar untuk memberikan kesempatan kepada orang lain melakukan perbuatan cabul dengan orang ketiga. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan apa yang menjadi perbuatan dari pemilik lokasi ‖X‖, yaitu menyediakan tempat untuk dilakukannya perbuatan cabul antara PSK dengan pelanggannya.

4. Perbuatannya dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan.

Hal tersebut terlihat jelas dari adanya pembayaran yang diterima oleh pemilik lokasi dari hasil penyewaan tempat guna dilakukannya prostitusi.

Dapat dilihat bahwa unsur Pasal 296 KUHP terpenuhi dengan jelas dan meyakinkan. Dengan demikian pemilik lokasi ini dapat dikenakan pertanggungjawaban dengan ancaman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

(21)

Perbuatan pemilik lokasi ―X‖ tersebut jika seandainya dilakukan di kota Tangerang, maka dapat dianggap melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, jika diuraikan unsur-unsurnya dalah sebagai berikut:

1. Setiap orang di Daerah;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga pemilik lokasi ‖X‖. Subyek tersebut kemudian dikhususkan dengan menyebutkan kata ‗di Daerah‘, yang dalam PERDA ini dimaksudkan sebagai wilayah Kota Tangerang.

2. Baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama;

Unsur ini ditujukan kepada pelaku, yaitu bahwa pasal ini dapat dikenakan, baik untuk pelaku tunggal ataupun jamak. Di lokasi ―X‖ sendiri kepemilikan ini dilakukan bersama-sama.

3. Mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau orang untuk melakukan prostitusi.

Jelas terlihat bahwa pemilik lokasi‖X‖ mendirikan dan menyediakan tempat untuk melakukan prostitusi.

Terpenuhinya unsur pasal tersebut menyebabkan pemilik lokasi ―X‖ dapat dikenakan pelanggaran atas Pasal 2 ayat (1) PERDA tersebut, dan diancam dengan hukuman yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PERDA tersebut. Ancaman hukuman yang dapat dikenakan kepada mucikari adalah pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).

Kemudian jika perbuatan pemilik lokasi ―X‖ ini dilakukan di Kabupaten Indramayu, maka perbuatannya dapat dikenakan Pasal 2 PERDA Kabupaten Indramayu Nomor 7 tahun 1999, yang unsur-unsurnya:

1. Siapapun;

merupakan subyek tindak pidana yang dapat diikenakan ketentuan pasal ini, yang berarti dapat dikenakan kepada siapa saja, termasuk juga pemilik lokasi‖X‖.

2. Dilarang mendirikan dan atau mengusahakan serta menyediakan tempat untuk melakukan Prostitusi.

Jelas terlihat bahwa pemilik lokasi ‖X‖ mendirikan dan menyediakan tempat untuk melakukan prostitusi.

Dengan memenuhi unsur tersebut, pemilik lokasi ―X‖ dapat dikenakan ancaman hukuman berdasarkan Pasal 9 PERDA tersebut, yaitu hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau dendan sebanyak-banyaknya Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Penjelasan di atas menunjukkan pihak-pihak yang terlibat dalam prostitusi, baik menurut kasus maupun praktik di lokasi ―X‖, yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, yaitu:

1. Calo, yaitu calo lokasi ―X‖ dan calo yang perannya dijalankan oleh Hwa Yin dan Komala Kamaludin;

2. PSK dan pelanggan, yaitu PSK dan pelanggan di lokasi ―X‖ serta Cucu Sulastri (PSK) dan Herman (pelanggan);

(22)

3. Pedagang atau penjual wanita yang dalam kasus perannya dijalankan oleh Heriyati;

4. Mucikari, yaitu mucikari yang ada di lokasi ―X‖; 5. Pihak keamananan di lokasi ―X‖; dan

6. Pemilik lokasi, yaitu pemilik lokasi ―X‖.

XI. Pembahasan

1. Pertanggungjawaban Pidana Para Pihak yang Terlibat dalam Prostitusi Dilihat Secara Umum

Penjelasan sebelumnya telah mengutarakan bagaimana kedudukan prostitusi sebagai sebuah tindak pidana, yaitu tidak jelas. Dari ketidak jelasan itu kemudian timbul pertanyaan apakah setiap pelaku prostitusi dan pihak-pihak lainnya yang terlibat pantas dipertanggungjawabkan secara pidana?

Pertanggungjawaban pidana itu sendiri dimaksudkan guna menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa tindak pidana dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya atau tidak.19

Bahwa seseorang itu dapat dipidana atau tidak bukanlah bergantung kepada perbuatan, melainkan apakah pada dirinya melekat unsur kesalahan atau tidak. Dapat dikatakan bahwa seseorang tidak mungkin dijatuhi hukuman pidana kalau tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia melakukan tindak pidana, tidaklah selalu ia dapat dipidana. Karena dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar daripada dipidananya si pembuat tindak pidana adalah asas ―tiada pidana tanpa kesalahan‖.20

Kesalahan itu sendiri pada dasarnya hanyalah suatu hal yang melekat pada diri seseorang jika ia melakukan suatu tindakan yang dicela oleh masyarakat, dan ia sepantasnya dapat melakukan perbuatan lain jika memang ia tidak ingin berbuat demikian.21

Telah dijelaskan juga bahwa unsur-unsur dalam kesalahan itu antara lain:22

a. Kemampuan bertanggungjawab (toerekenings-Vatbaarheid);

b. Hubungan kejiwaan (Psichologische betrekking) antara pelaku, tindakannya dan akibat yang ditimbulkan (termasuk pula tindakan yang tidak bertentangan dengan hukum dalam kehidupannya sehari-hari);

c. Dolus dan culpa.

Unsur kemampuan bertanggungjawab dan hubungan kejiwaan antara pelaku, tindakan dan akibatnya, keduanya terkait satu sama lain.

19

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 250. 20

Roeslan Saleh, op.cit., hal. 76. 21

Ibid., hal. 77. 22

(23)

Hubungan pelaku dengan tindakannya serta akibat yang ditimbulkan ditentukan oleh kemampuannya bertanggungjawab. Pelaku dapat mengetahui ketercelaan dari tindakannya dan dapat menentukan apakah tindakannya itu akan dilakukannya atau tidak. Dapat dikatakan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab itu ada dua faktor, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal, yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak dibolehkan.23

Kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak. Mengenai kehendak ini juga POMPE mengatakan bahwa dalam hal hubungan pelaku dengan tindakannya yang ditinjau dari sudut kehendak, kesalahan yang melekat pada diri pelaku merupakan bagian dalam dari kehendak tersebut, dan sifat melawan hukum merupakan bagian luar dari kehendak itu sendiri24.

Berhubungan dengan hal ini, para pihak yang terlibat dalam prostitusi dapat dikatakan melakukan aktivitasnya dengan akal yang sehat, dan dapat membedakan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan yang disampaikan oleh koordinator mucikari dan salah seorang PSK yang ada di lokasi ‖X‖, yang keduanya sama-sama mengatakan bahwa perbuatan mereka adalah perbuatan yang salah dan tidak patut diikuti oleh orang lain. Mereka mengetahui bahwa perbuatan yang mereka lakukan adalah perbuatan yang menurut mereka tidak boleh dilakukan.

Mengenai kehendak yang ada dari para pihak yang terlibat dalam prostitusi ini dapat dilihat dari alasan ekonomi yang secara umum merupakan alasan mereka mau terjun dalam bisnis prostitusi. Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa pendapatan yang bisa didapat dalam bisnis prostitusi ini dijadikan alasan seseorang untuk terjun ke dalam bisnis prostitusi. Ditambah lagi, yaitu salah satu unsur dari prostitusi adalah dilakukannya pembayaran, yang semakin menjelaskan adanya kehendak seseorang terlibat dalam aktivitas prostitusi.

Selain itu juga disyaratkan adanya beberapa hal untuk dapat mengatakan bahwa seseorang mampu untuk bertanggungjawab, yaitu:25

a. Keadaan jiwanya:

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara; 2. Tidak cacat dalam pertumbuhan, misalnya bisu, idiot, dan

sebagainya; dan

3. Tidak terganggu karena terkejut, hipnotis, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar, mengigau, dan lain sebagainya. Dengan kata lain dalam keadaan tidak sadar.

23 Roeslan Saleh, op.cit., hal. 80. 24

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, op.cit., hal. 251. 25Ibid., hal. 249.

(24)

b. Kemampuan jiwanya:

1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya; 2. Dapat menentukan kehendak atas tindakannya;

3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakannya tersebut.

Dengan kata lain kemampuan bertanggungjawab seseorang sebenarnya lebih didasarkan kepada keadaan dan kemampuan jiwanya, yang kemudian mempengaruhi kepada dua faktor sebelumnya, yaitu akal dan kehendak.

Adanya akal dan kehendak tersebut juga yang kemudian bisa menentukan bahwa suatu tindakan itu tergolong kepada tindakan kesengajaan atau kealpaan. Dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk kesengajaan ketika seseorang berkehendak dan dapat menginsyafi perbuatan beserta akibat yang dapat ditimbulkan.26

Mengenai kealpaan itu sendiri berhubungan dengan keadaan akal. Dimana seseorang yang melakukan kealpaan bukanlah seseorang yang kurang sehat akalnya, melainkan orang yang berakal sehat namun ada kesalahan dalam menggunakannya.27

Hal tersebut juga nampak dari perilaku para pihak yang terlibat dalam prostitusi. Jika dikaitkan dengan permasalahan kesengajaan atau kealpaan, maka tindakan para pihak dalam prostitusi itu tergolong pada tindakan kesengajaan. Mereka dengan jelas mempunyai kehendak melakukan hal tersebut dengan adanya tujuan yang dapat diinsyafi, dengan kata lain mereka itu melakukan bentuk kesengajaan sebagai maksud28.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebagai pihak yang terlibat dalam prostitusi ini, mereka dianggap mampu bertanggungjawab dan ada hubungan antara keadaan jiwa mereka dengan apa yang mereka lakukan. Apa yang mereka lakukan juga termasuk dalam lingkup kesengajaan atau kealpaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada diri mereka melekat adanya kesalahan, yang kemudian berarti bahwa mereka dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang mereka lakukan.

Tetapi tidaklah berguna juga mempertanggungjawabkan seseorang atas tindakan yang dilakukan apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum. Justru karena seseorang melakukan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum dan ia dapat mengetahui (atau setidak-tidaknya dapat menduga) ketercelaan dari tindakannya, maka dapat diketahui sejauh mana pertanggungjawaban pidananya.29 Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa seharusnya terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya tindak pidana, dan kemudian semua unsur 26 Ibid., hal. 167. 27 Ibid., hal. 192. 28

Lihat Ibid., hal 172. 29Ibid., hal. 251.

(25)

kesalahan yang ada pada pelaku dihubungkan dengan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan.30

Pembahasan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban para pihak yang terlibat dalam prostitusi, akan dilakukan melalui analisa kasus (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara No.13a.b./75/UT/WNT/Sumir tanggal 5 Maret 1975) dan juga mengaitkannya dengan hasil penelitian lapangan penulis di lokasi ―X‖. Kasus yang akan dianalisa ini terjadi di wilayah Jakarta Utara pada tahun 1975, yang melibatkan dua orang terdakwa, Hwa Yin dan Komala Kamaludin, yang keduanya didakwa atas perbuatan memperniagakan perempuan berdasarkan Pasal 297 KUHP. Penjabaran kasus selengkapnya akan diuraikan dalam kasus posisi di bawah ini.

2. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Para Pihak yang Terlibat dalam Prostitusi Menurut Ajaran Penyertaan dalam Tindak Pidana

Penjelasan sebelumnya telah menyebutkan bagaimana suatu aktivitas prostitusi itu juga dapat berhubungan dengan ajaran penyertaan dalam tindak pidana. Contoh yang telah disebutkan adalah dalam hubungan kerjasama yang dilakukan oleh calo dan mucikari. Berhubungan dengan hal tersebut, maka di sini juga akan dibahas bagaimana pertanggungjawaban pidana bagi pihak-pihak dalam prostitusi yang ada dalam kasus serta yang ada di lokasi ―X‖, berdasarkan ajaran penyertaan dalam tindak pidana.

Sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan menurut doktrin hukum pidana dibagi ke dalam dua sistem, yaitu:

1. Pertama, yang mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama ke

dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun apa yang ada dalam sikap badannya.31

2. Kedua, yang mengatakan bahwa masing-masing orang yang bersama-sama

terlibat ke dalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat ringannya sesuai dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang dalam mewujudkan tindak pidana.32

Hasil analisa di atas menunjukkan bagaimana para pihak yang terlibat dalam kasus dan praktik di lokasi ―X‖ masing-masing memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan tindak pidana. Namun kemudian, dalam mewujudkan tindakan yang dilakukan, para pihak ini tidak melakukannya secara sendiri-sendiri. Seperti dalam kasus, agar terjadinya persetubuhan yang diinginkan oleh Herman, atau dengan kata

30

Roeslan Saleh, op.cit., hal. 79. 31

Adami Chazawi (d), op.cit., hal. 78. 32

(26)

lain agar terjadinya perbuatan cabul antara Herman dengan Cucu, ada kerjasama antara Hwa Yin, Komala Kamaludin, dan Heriyati.

Kerjasama yang terjadi antara mereka itu jika dikaitkan dengan ajaran penyertaan dalam tindak pidana, maka mereka itu tergolong sebagai ‗mereka yang melakukan (pleger)‘ dalam Pasal 55 KUHP.

Seperti yang telah dijelaskan bahwa pleger itu setiap petindaknya dapat memenuhi unsur-unsur dalam ketentuan suatu tindak pidana. Seperti yang dikatakan oleh Hazewinkel-Suringga juga, bahwa pleger itu jika terlepas dari bentuk penyertaan, juga dapat dipidana karena telah memenuhi unsur tindak pidana.

Begitu juga dengan pihak-pihak yang ada di lokasi ―X‖, yaitu mucikari, calo, pemilik lokasi, dan keamanan, yang dalam analisa di atas pihak-pihak tersebut bahkan dapat dikenakan ketentuan pasal yang sama, yaitu Pasal 296 KUHP, dan mereka masing-masing memenuhi unsur-unsur Pasal 296 KUHP. Perbuatan yang mereka lakukan adalah bentuk kerjasama dalam mewujudkan hubungan yang terjadi antara PSK dengan pelanggan, yaitu mucikari yang siap menyediakan PSK, dan dengan calo yang siap menunggu pelanggan dan menjadi perantara. Pihak pemilik lokasi yang menyediakan tempat, dan keamanan yang mengamankan jalannya aktivitas PSK dan pelanggan. Jadi, dapat dilihat bahwa mereka merupakan pleger, dengan adanya kerjasama dan masing-masing dari mereka memenuhi unsur tindak pidana dalam memenuhi perannya.

Bentuk penyertaan mutlak perlu ini jika dikaitkan dengan prostitusi, baik menurut kasus maupun praktik di lokasi ―X‖, dapat dilihat dalam hubungan antara Cucu Sulastri dan Herman dengan Hwa Yin dan Komala Kamaludin, juga hubungan antara Cucu Sulastri dan Herman dengan Heriyati. Di lokasi ―X‖ penyertaan mutlak perlu ini nampak dari hubungan antara mucikari dengan PSK dan/atau pelanggan, hubungan antara calo dengan PSK dan/atau pelanggan, hubungan antara pemilik lokasi dengan PSK dan/atau pelanggan, serta hubungan antara pihak keamanan dengan PSK dan/atau pelanggan.

Dapat dilihat bahwa semua hubungan itu terkait dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang, yang dalam hal ini antara lain Pasal 295 KUHP, Pasal 296 KUHP, Pasal 506 KUHP, Pasal 2 ayat 1 PERDA Kota Tangerang Nomor 8 Tahun 2005, serta Pasal 3 PERDA Kabupaten Indramayu No. 7 Tahun 1999. Masing-masing ketentuan tersebut menujukkan keterkaitan antara pihak-pihak yang disebutkan di atas.

Pasal 295, khususnya ayat 1 butir 2e menyebutkan:

Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, barangsiapa yang dengan sengaja, diluar hal-hal yang tersebut pada 1e, menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang dikerjakan oleh orang belum dewasa yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa ia belum dewasa.

Dalam penjelasan sebelumnya telah disebutkan bahwa pelaku perbuatan yang melanggar pasal tersebut adalah Hwa Yin dan Komala

Referensi

Dokumen terkait

anak itu belum melakukan perbuatan yang dapat diancam pidana baik dalam.. KUHP maupun dalam undang-undang

Departemen Agama RI, Al Qur‟an Dan Terjemahnya, (Semarang: Karya Toha, 2002).. Maka perbuatan itu dalam Islam dikategorikan dalam jarimah ta’zir. Disebutkan dalam KUHP

Pengaturan mengenai tindak pidana penipuan secara umum diatur dalam pasal 378 KUHP yaitu mengenai perbuatan menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan

Pidana mati dapat dijatuhkan kepada setiap orang yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara

36 dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri Makassar, dengan sengaja melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya

Dalam Penjelasan Umum RUU KUHP Tahun 2015 Buku Ke Satu angka 4 antara lain dinyatakan: “Mengingat kemajuan yang terjadi dalam bidang keuangan, ekonomi dan

Ibid, hal.. 1) Untuk menentukan pertanggungjawaban korporasi dalam hukuk pidana, maka persyaratan pada umumnya menyangkut segi perbuatan dan segi orang (sebagai pelaku atau

Androphy: 1998 KUHP menganut sistem yang pertama karena korporasi tidak dapat melakukan sendiri suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana dan tidak dapat memiliki kalbu yang salah,