• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menuju Jalan Kebenaran (Kritikan Muhammad Musthafa Adhami terhadap Pemikiran Joseph Schacht) Fithriady *

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menuju Jalan Kebenaran (Kritikan Muhammad Musthafa Adhami terhadap Pemikiran Joseph Schacht) Fithriady *"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Fithriady * Abstrak

Kritikan terhadap Sunnah telah muncul sejak abad pertama Hijriah dari orang-orang yang iri dan dengki terhadap sumber hukum Islam kedua ini. Pada awal abad ke-20, tuduhan datang dari para orientalis yang ingin menjauhkan umat Islam dari pengamalan Sunnah secara benar. Akan tetapi, Allah telah menyiapkan ulama-ulama yang memelihara sunnah ini dari interferensi teori-teori yang ngawur dan membingungkan umat, yaitu teori yang mencampuradukkan antara yang benar dan yang salah. Joseph Schacht merupakan salah seorang orientalis yang telah menghebohkan abad ke-20. Dengan teori projecting back-nya, Schacht mengunakan teori-teori lain yang mengindikasi terjadinya pemalsuan hadits serta projeksi sanad hadits kebelakang. Di antara indikasi tersebut adalah konsep fitnah, adanya

isnad keluarga (family isnad), Common Link, dan juga e sileutio. Namun, teori tersebut telah

dipatahkan oleh Muhammad Musthafa ‘Adhami yang mengemukakan dalil-dalil ilmiah dan benar. Menurut Azhami, kesalahan Schacht adalah dia keliru ketika menjadikan kitab-kitab sirah Nabi dan kitab-kitab fiqh sebagai dasar postulat atau asumsi penyusunan teorinya. Kitab Muwattha’ Imam Malik dan al Syaibany serta risalah Imam as Syafi’i tidak bisa dijadikan sebagai alat analisis eksistensi atau embrio kelahiran hadits Nabi. Sebab, kitab-kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

Oleh karena itu, untuk meneliti hadits Nabi, sebaiknya menggunakan dan berpedoman pada kitab-kitab hadits. Kesimpulan yang disampaikan Schacht tentang awal munculnya sanad dengan menafsirkan perkataan Ibn Sirin tentang fitnah, tidak mempunyai argumen yang kuat. Schacht tidak mengunakan referensi-referensi yang kuat, terutama data-data sejarah atau biografi Ibn Sirin. Jadi, adalah sebuah kemustahilan jika ada statemen yang dikeluarkan oleh Ibn Sirin yang menunjukkan kepada kejadian yang tidak terjadi pada masanya bahkan terjadi setelah Ibn Sirin meninggal. Jadi, jelaslah bahwa argumenasi Schacht yang menyatakan bahwa awal munculnya sanad pada awal abad kedua Hijriah sekitar tahun 126 H tidak mempunyai landasan yang kuat dan merupakan pendapat yang ngawur.

Kata kunci: pemikiran Joseph Schacht, kritikan M.M. Azami

A. Pendahuluan

Kajian tentang sumber hukum Islam telah banyak dibahas oleh para pakar, baik di kalangan umat Islam, maupun dari luar Islam. Di antaranya menyangkut dengan sumber hukum Islam terutama hadits Nabi SAW. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa hadits Nabi memiliki fungsi yang sangat urgen dalam pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam.

Di samping fungsi hadits yang secara khusus adalah sebagai salah satu sumber dalam penetapan hukum Islam, hadits juga tidak sama dengan Qur’an sebab al-Qur’an telah ditulis pada masa Nabi dan telah dibukukan pada masa pemerintahan

Utsman bin Affan. Sedangkan hadits baru dibukukan pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijrah, yaitu pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz

(61-101 H)1 yang mana masa ini merupakan

masa penutup sikap pro dan kontra tentang penulisan hadits.

Disebabkan lamanya tenggat waktu antara masa Rasulullah dengan masa pembukuan hadits ini, menjadikan hadits sebagai sasaran empuk bagi orang yang

tidak senang dengan agama Islam,

khususnya kaum orientalis yang

menginginkan umat Islam tidak percaya kepada hadits atau paling tidak membuat umat Islam meragukan sumber hukum

(2)

Islam yang kedua itu melalui hasil penelitian yang mereka lakukan.

Salah seorang orientalis yang sangat mengguncang dunia Islam melalui hasil penelitiannya adalah Joseph Schacht, salah seorang murid Ignaz Goldziher, yang mengatakan bahwa sanad hadits itu merupakan buatan para qadhi yang yang ingin melegitimasi pendapat mereka dengan menyandarkannya kepada Rasul atau kepada tokoh-tokoh yang ada di belakang mereka, yang dikenal dengan teori projecting back.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk melihat teori yang dikembangkan oleh Joseph Schacht. Penulis hanya membatasi pada bantahan yang dilakukan

oleh Muhammad Musthafa ‘Adhami

terhadap konsep fitnah dalam teori projecting back.

B.Riwayat Hidup dan Pendidikanya

Schacht lahir pada 15 Maret 1902 di Ratibor, Silesie, yang dulunya berada dalam wilayah Jerman dan sekarang termasuk Polandia, hanya menyeberangi perbatasan dari Cekoslawakia. Di kota ini ia tumbuh berkembang dan tinggal selama delapan

belas tahun pertama dari kehidupannya.2

Dia lahir dari keluarga yang relatif agamis dan terdidik, karena ayahnya Eduard

Schacht merupakan penganut agama

Katolik Roma dan merupakan guru anak-anak bisu dan tuli, sementara ibunya, Maria

Mohr, adalah ibu rumah tangga.

Lingkungan keluarga yang agamis

memberinya kesempatan untuk memahami ajaran Kristen dan juga Bahasa Yunani sejak usia kanak-kanak. Hal ini selanjutnya menjadi batu loncatan untuk memahami

agama-agama besar di Timur Tengah.3

Mengenai jenjang akademik, Schacht

memulai pendidikannya di kota

kediamannya, Ratibor, dengan mempelajari bahasa Yahudi dari seorang rabbi. Setelah menerima pendidikan Gymnasium Klasikal di sana (1911-1920 M), ia melanjutkan studinya ke Universitas Breslauw dan Universitas Leipzig di mana ia pertama kali

mengkaji filologi klasik, semantik, dan juga teologi.4

Sedangkan mengenai jejang karirnya, pada tahun 1922 ia memenangkan medali Universitas dengan satu risalah tentang perjanjian lama dan memperoleh gelar D.Phil dengan prediket Summa Cumlaude dari Universitas Breslauw pada tahun 1923. Ia mendapatkan gelar M.A. pada tahun 1947 dan gelar D.Till pada tahun 1952 yang mana kedua gelar tersebut berasal dari Universitas Oxford. Disertasi Doktornya terdiri dari dua edisi dengan terjemahan dan komentar sebagian atas Kitab Hiyai wa al-Makharij karya Khassaf, sebuah teks Arab abad pertengahan tentang perlengkapan

hukum.5

Latar belakang ilmiah tersebut

mendukung karir akademiknya dan

memungkinkannya memperoleh kombinasi akademik yang langka. Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen pada Universitas Freiburg di Breisgau, dua tahun kemudian, yaitu tahun 1927, dia dipilih sebagai Asisten Profesor. Ketika itu ia baru berusia dua puluh lima tahun. Kemudian pada tahun 1929, ketika ia menginjak usia dua puluh tujuh tahun, yang merupakan tahun yang

amat penting dalam karirnya, ia

dipromosikan menjadi Profesor penuh dalam bidang bahasa-bahasa ketimuran. Dia menduduki jabatan ini selama tiga tahun di Jerman. Pada tahun 1932, dia diminta mengisi jabatan di bidang yang sama di Universitas Konigsberg. Dia menduduki posisi ini selama dua tahun karena pada tahun 1934 ia meletakkan jabatannya

sebagai isyarat protes terhadap rezim Nazi.6

Pendidikan teoritis Schacht tidak terpisahkan dari aspek-aspek praktis yang dia lalui karena selama periode jabatan akademisnya yang pertama di Fribourg, ia mengambil manfaat dari teman-temannya yang ada di Fakultas Hukum. Oleh karena

itu, ia mendapatkan dasar-dasar

pengetahuan teknis yang cukup untuk mendukung penelitiannya tentang Hukum Islam.7

(3)

Dilihat dari perjalananya, selama tahun 1926-1933, Schacht juga sangat memahami Dunia Barat dan Dunia Timur,

terutama Islam, dengan baik. Dia

melakukan pengembaraan ke Timur Tengah dan Afrika Utara. Di musim semi tahun 1930, ia menjadi Visiting Profesor di bidang bahasa-bahasa Semit dan Hukum Islam di Cairo University dan ia memegang jabatan tersebut sampai tahun 1932. Hal itu memberikan keuntungan tersendiri bagi Schacht karena dari situ dia menjadi ahli dalam bidang bahasa Arab dan Turki dan mempunyai kesempatan meneliti naskah-naskah langka dari berbagai koleksi di daratan Arab maupun Turki. Pecahnya perang dunia kedua pada bulan September 1939 menghambatnya untuk melanjutkan kuliah-kuliah di universitas tersebut. Pada akhir perang dunia kedua, Schacht lebih suka tinggal di Inggris walaupun ia diminta

kembali ke Mesir.8

Pada tahun itu juga, yaitu 1039, Schacht pindah ke Inggris. Semenjak tinggal di Inggris, Schacht enggan kembali ke negara asalnya dan lebih memilih menetap

di Inggris. Ia bahkan melancarkan

propaganda melawan pemerintahan Nazi Jerman dan hal ini sudah tampak ketika dia mengajar di Mesir. Keenganannya kembali ke Jerman semakin diperkuat dengan dia memilih seorang wanita yang berwarga negara Inggris untuk dinikahinya yaitu Louise Isobel Doroth. Selanjutnya, dia membuat keputusan untuk menjadi warga Negara Inggris.

Selama di Inggris, dia bekerja sebagai ahli dan peneliti masalah-masalah ketimuran

di Departemen Penerangan Inggris,

menyumbangkan sejumlah pembicaraan kepada program-program bahasa Arab dan Persia di perusahaan penyiaran Inggris. Beberapa diantaranya telah dicetak di penerbitan BBC yang disebut dengan al-Mu’tashim al-‘Arabi. Pada tahun 1946, dia pertama kali dipilih sebagai dosen di Universitas Oxford. Selanjutnya, ia menjadi analis di bidang kajian-kajian keIslaman. Selama beberapa tahun di Oxford, ia

melakukan sejumlah pengembaraan ke luar negeri, misalnya ke Amerika Serikat dalam

rangka kuliah pada tahun 1948,

menjalankan misi penelitian ke Negeria pada tahun 1950, dan Timur Dekat dan Afrika Timur pada tahun 1953, 1963, dan 1964. Pada tahun 1952, ia dipilih sebagai

Visiting Profesor di Universitas Al-Jazair.9

Walaupun dia bekerja untuk kepentingan Inggris serta mencapai prestasi akademik yang luar biasa dan “mengkhianati” tanah airnya sendiri, pemerintahan Inggris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya dan juga tidak mengangkatnya sebagai guru besar, tidak hanya di Oxford melainkan juga

di seluruh kerajaan Inggris.10 Penelitiannya

di Afrika sangat bermakna bagi karirnya karena ia berkesempatan kontak dengan kehidupan nyata masyarakat muslim. Lebih khusus, ia menjadi lebih akrab dengan problematika penerapan Hukum Islam dalam konteks sosial.

Pada tahun 1954, setelah meningalkan jabatanya di Oxford, Schacht meninggalkan Inggris menuju Belanda untuk menduduki posisi guru besar di bidang Bahasa Arab di Universitas Leiden. Bagaimanapun, ia tinggal di Belanda dalam waktu singkat. Ia kemudian pergi ke Universitas Kolumbia sebagai Visiting Profesor bidang bahasa Arab dan kajian keIslaman. Pada tahun 1957-1958 dan tahun 1959 Schacht kembali lagi ke sana karena pilihan regular sebagai guru besar di bidang yang sama. Setelah bulan

Januari 1970, Schacht menyatakan

mengundurkan diri dari Universitas

Kolumbia dan kembali ke Inggris

melanjutkan aktivitas sebagai sarjana dan melakukan penelitian, survey, dan menulis.

Tanggal 1 Agustus 1969, pada usia 67 tahun, Schacht meninggal dunia akibat pendarahan otak di rumahnya. Sebelum meninggal, ia mendapatkan penghargaan yang berharga yaitu medali Giorgio Levi Della Vida dari Universitas Kalifornia Los Angeles pada 9 Mei 1969. Sebelum ia berpulang, ia bercita-cita akan melengkapi beberapa edisi dan studi tentang Kitab al-Tauhid karya Maturidi dan mudawwanah.

(4)

C.Karya-Karya Joseph Schacht

Schacht termasuk ilmuwan yang produktif. Berdasarkan spesifikasi keilmuan, Schacht adalah pakar hukum tetapi karya yang telah dia hasilkan tidak hanya terbatas pada kajian hukum saja, melainkan juga dalam banyak bidang keilmuan yang ia geluti. Ia pun berhasil menuangkannya dalam berbagai bentuk karya tulisan, antara lain editor dan kritikan terhadap manuskrip-manuskrip Arab, baik berupa Fiqh Islam, kajian tentang Ilmu Kalam, sains dan filsafat, dan lain sebagainya. Walaupun hampir semua bidang ditekuninya, tetapi

yang paling menonjol dari bidang

keilmuannya adalah Fiqh. Diantara karya Schacht dalam bidang Fiqh adalah al-Hiyal wa al-Mâkharij (Honover 1924), Kitâb Idhkar al-Huqûq wa ar-Rahn (Hedelburg 1926-1927), al-Sahawî: Kitâb al-Syafâ’ah (Hedelburg, 1929-1930), dan Al-Thabârî: Ikhtilâf al-Fuqahâ’ (Leiden: 1933). Adapun karya lepas yang telah ia tulis sehubungan dengan kajian Fiqh, misalnya Luqâtah menurut Mâlik Ibn Anas, Mirâts menurut Muhammad Abduh, Taqlîd, Nikâh, Syarî’ah, Thalâq, Umm

al-Walid, Washiat Yatîm, Zakat, dan Zina.11

Dalam bidang teologi dan akidah, Schacht menulis Der Islam (Tubingen, 1931) yang mengukapkan seluk beluk akidah Islam secara ringkas dan makalah yang berjudul “Sumber-Sumber Baru Sejarah Ilmu Kalam Islam” yang kemudian diterbitkan oleh Nouvelle Clio (Prancis, 1953).

Selain kajian di atas, Schacht juga mendalami kajian syariat dan hukum di Mesir Modern. Dalam hal ini, yang dia hasilkan adalah sebentuk makalah yang berjudul “Syariat dan Hukum di Mesir Modern: Kontribusi dan Polemik tentang Pembaharuan Islam”. Isi makalah tersebut dimuat dalam Der Islam pada 1932. Tidak hanya fiqh, dan kalam, kajian kedokteran pun dia tekuni, terbukti dia telah berhasil menerbitkan kajian mengenai naskah-naskah tentang itu, seperti “Perdebatan Filosofi Kedokteran antara

Ibn Batutah dengan al-Baghdadî dan Ibn Ridwan al-Misrî” dan “Komentar Musa Ibn Maimun terhadap Galinus” yang dimuat di majalah Fakultas Sastra Universitas Mesir Kairo edisi Mei 1937.

Namun, karya monumental Schacht yang menjadi masterpeace-nya adalah The Origins Of Muhammad Jurisprudence yang terbit tahun 1950 dan An Introduction to Islamic Law yang terbit beberapa tahun kemudian, setelah The Origins, tepatnya pada tahun 1960. Buku-buku hasil karya Schacht mendapat apresiasi cukup besar di kalangan Orientalis, diantaranya Anderson. Anderson mengatakan bahwa untuk memahami dan mendalami hukum Islam, karya-karya

Schacht paling banyak memberikan

informasi penting. Abdur Rahman Badawi berpendapat bahwa Schacht termasuk tokoh yang netral dalam mengukapkan ide-idenya sehingga hal itu menjadi salah satu poin positif mengenai esensi karya yang

telah ia hasilkan.12 H.A.R. Gibb juga

menganggap bahwa buku The Origins akan menjadi pondasi seluruh kajian masyarakat mengenai hukum Islam di masa mendatang, paling tidak di Barat. Banyak sarjana Barat lain yang memuji hasil karya Schacht tersebut, seperti N.J. Coulson, J. Robson, Fitzgerald, J.N.D. Anderson dan C.E. Brosworth. Demikian pula para sarjana muslim dalam bidang Hukum Islam seperti Fazlul Rahman, A.A.A. Fyzee. Dikarenakan kesimpulannya yang sangat luar biasa, mereka telah menjadikan buku karya Schacht tersebut “kitab suci” kedua di kalangan orientalis sesudah buku Ignaz

Goldziher.13

Adapun tokoh yang telah terpengaruh pemikirannya baik dalam bentuk sebuah karya maupun sekadar cara pandang dalam

suatu isu, diantaranya adalah D.S.

Margoliouth, H. Lammens, Gotthelf

Bergstrasser (1886-1933), dan Ignaz

Goldziher (1850-1921). Ignaz Goldziher adalah orientalis pertama yang melakukan kajian yang mendalam dalam hadits, baru kemudian diikuti oleh orientalis-orientalis lain seperti Schacht.

(5)

D.Pemikiran Joseph Schacht dalam Kajian Hadits

Selain kontribusi besar yang telah ia tuangkan dalam kajian hukum, Schacht juga mempunyai kontribusi yang sangat luar biasa karena dua karya terbesanya, yaitu The

Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An

Introduction to Islamic Law, banyak

menjelaskan tentang asal-usul hadits dan teori yang dinilai baru oleh kalangan orientalis. Dari penelitiannya atas hadits, Schacht berkesimpulan bahwa hadits Nabi terutama yang berkaitan dengan hukum merupakan buatan para ulama abad kedua dan ketiga Hijriah.

Karya The Origins of Muhammadan Jurisprudence adalah karya orisinil Schacht yang memulai penyelidikan dengan meneliti

perkembangan hukum Islam sejak

permulaan. Menurutnya, perkembangan

hukum Islam hampir seluruhnya

berhubungan dengan hadits dalam segenap

tahap pertumbuhannya sehingga

penyelidikan terhadap hukum Islam akan

memberikan gambaran nyata tentang

pertumbuhan hadits. Buku Schacht ini terdiri dari empat bagian, bagian pertama chapter ketujuh membahas konsep hadits dan sunnah serta sistem isnad serta bagian kedua membahas otentisitas hadits dan juga isnad yang ada dalam hadits. Dari buku tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep yang paling penting dan berhubungan dengan hadits serta metode untuk meneliti sistem isnad dan keotentikan hadits adalah; pertama, konsep sunnah, kedua, konsep fitnah, ketiga penyebaran hadits, keempat pembukuan hadits, dan kelima, kritik hadits.

1. Konsep Sunnah

Konsep sunnah dimasukkan pada salah satu teori Schacht karena pengaruhnya dalam pemaknaan sunnah. Dari defenisi yang dicoba tuangkan oleh Schacht, ada sejumlah hadits yang dikatakan bukanlah sebuah hadits, melainkan sebuah praktek yang hanya bisa diapresiasi tanpa perlu dianggap sebagai suatu ajaran yang patut

diamalkan karena sama sekali tidak mendapat legitimasi dari Nabi.

Sementara istilah yang sering dipakai Schacht ketika mengungkapkan hadits adalah sunnah itu sendiri. Oleh karenanya, tidak jelas bahkan tidak dibedakan antara hadits dan sunnah. Sedangkan sunnah bagi Schacht adalah tradisi yang hidup “living

tradition” atau “hal-hal kebiasaan atau

adat-istiadat masyarakat” dan tidak berhubungan langsung dengan Rasulullah s.a.w. Karena dalam tradisi klasik kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum atau ‘amal al-amr al-mujtama’ ‘alaih itu hanya sebagai living tradition dan konsep ini sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang dilakukan Nabi s.a.w.14

Dari bagian sentral tesis Schacht mengenai konsep sunnah di atas, ada

beberapa definisi lain yang bisa

disimpulkan, dia berpendapat bahwa:

a. konsep awal Sunnah adalah kebiasaan

atau praktek yang disepakati secara umum yang disebutnya “tradisi yang hidup”. Untuk sampai pada kesimpulan tersebut, ia mengikuti D.S. Margoliouth dan mengutip Ibn al-Muqaffa’, yang menurutnya istilah sunnah itu pertama kali digunakan pada awal abad kedua yaitu pada masa Bani Umayyah untuk

kepentingan administratif

pemerintahan.15

b. Konsep sunnah Nabi pada asal-usulnya

relatif terlambat dibuat oleh orang-orang Irak pada sekitar abad kedua. Dalam menyusun dasar teori doktrin, mereka mentransfer istilah sunnah Nabi ke

dalam konteks politik dan teologi.16

c. Penggunaan istilah “sunnah Nabi” tidak

berarti sunnah yang sebenarnya berasal dari Nabi s.a.w, ia hanya sekadar tradisi yang hidup dari mazhab yang ada yang diproyeksikan ke belakang hingga ke

lisan Nabi s.a.w.17

Schacht juga mengatakan, pada awalnya mazhab, hukum klasik memiliki sebuah tradisi yang hidup yang didasarkan atas penalaran individu. Kemudian, tradisi itu mulai diasosiasikan dan dinisbatkan

(6)

kepada para sahabat serta tabi’in. Pada masa selanjutnya, barulah dinisbatkan kepada Nabi terutama melalui peran Syafi’i dan para muhadditsîn pada pertengahan abad

kedua Hijriah.18 Oleh karenanya, bagi

Schacht, hadits yang tercantum dalam kitab-kitab hadits baru muncul setelah Syafi’i. Kondisi tersebut manurut Schacht semakin diperkuat dengan adanya beberapa alasan. Pertama, para fuqahâ’ Madinah dan Irak pernah menolak hadits tertentu yang berasal

dari Nabi dan memilih untuk

menyimpulkan hukum dari prinsip-prinsip

umum dari pendapat sahabat.19 Kedua,

jumlah hadits yang ada dalam kitab klasik seperti Muwatha’ Imâm Mâlik dan Kitab al-Atsar karya Abû Yûsuf dan Syaibanî ternyata lebih sedikit dari pada hadits yang berasal dari sahabat dan tabi’in, hanya saja dalam karya al-Auza’î dan Thabari, jumlah

haditsnya lebih banyak.20 Ketiga, pada

awalnya, hadits Nabi tidak benar-benar menjadi dasar hukum bersama al-Qur’an, hadits baru menjadi dasar hukum pada saat sebagian besar pondasi hukum Islam telah terbentuk.21

Dari pengertian sunnah yang

dituangkan Schacht, besar kemungkinan

tidak terlepas dari pengaruh tokoh

sebelumnya seperti Goldziher yang

mengindikasikan bahwa bangsa Arab

sebelum Islam telah memiliki tradisi yang sudah terbentuk kemudian hal itu menjadi

sunnah.22 Dengan pengertian sunnah

semacam ini, berarti sunnah merupakan representasi dari dua hal, yaitu; pertama, tradisi yang sudah ada sejak masa jahiliyah yaitu tradisi milik masa yang dikontraskan dengan hadits, kedua, tradisi yang berasal dari agama lain yang tanpak dalam bentuk

yang baru yaitu hadits.23

Untuk menopang argumentasinya, Schacht juga merujuk kepada Margoliouth

dan Ibn Muqaffa’. Margoliouth

menyimpulkan bahwa sunnah sebagai prinsip hukum pada awalnya berarti pengunaan ide normatif dari masyarakat dan baru kemudian memperoleh legitimasi dari Nabi. Secara garis besar, Margoliouth

menjelaskan ada sepuluh poin yang dapat dikategorikan sunnah, pertama, praktek yang sudah diketahui sebagai lawan dari bid’ah, kedua, praktek masa lalu, ketiga, praktek yang baik sebagai lawan praktek yang buruk,

keempat, keteraturan sebagai lawan

kekacauan, kelima, praktek tanpa definisi lebih jauh, keenam, yang berasal dari Tuhan, umat Islam, dan Islam, ketujuh, praktek Nabi dan dua khalifah pertama pada tahun 35 H, kedelapan, sesuatu yang melebihi dan melampaui praktek Nabi, kesembilan, praktek yang diajarkan Nabi, dan kesepuluh, praktek

dari al-Qur’an.24

Selain merujuk kepada Margoliout, Schacht juga merujuk kepada Ibn al-Muqaffa’ yang menyatakan bahwa sunnah seperti yang dipahami pada masanya didasarkan bukan pada prosedur-prosedur yang otentik yang diletakkan Nabi dan khalifah pertama, melainkan sebagian besar

pada regulasi-regulasi administrasi

pemerintahan Bani Umayyah.25 Selain

kepada kedua tokoh tersebut, Schacht juga merujuk kepada apa yang dilakukan mazhab Madinah. Dia menyatakan bahwa konsep sunnah tidak merujuk kepada Nabi, tetapi pada ajaran sumber mazhab yang disepakati. Dia juga menyimpulkan bahwa bagi mazhab Madinah, sunnah adalah praktek atau tradisi

yang hidup dari mazhab.26

Lebih lanjut, menurut Schacht, karakteristik hadits terdiri dari dua bagian, pertama, berdasarkan bukti yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Imam Syafi’i (150-204 H), ia menyimpulkan bahwa tradisi dari Nabi tidak ada sama sekali sampai pertengahan abad dua Hijriah, bahwa kebiasaan atau sunnah pada waktu itu tidak dipandang sebagai sunnah Nabi, melainkan

sebagai sunnah masyarakat walaupun

sunnah di Madinah, misalnya, berbeda

dengan sunnah di Irak.27 Kedua, dengan

perbandingan antara beberapa versi tradisi yang awal dengan versi tradisi yang dikemudian, ia menemukan bahwa dalam periode selanjutnya terdapat tradisi-tradisi yang tidak ada pada periode sebelumnya.

(7)

selanjutnya adalah lebih lengkap dari versi sebelumnya oleh karena versi selanjutnya itu telah diperluas lewat pemalsuan.

Menanggapi rumusan yang telah dituangkan Schacht mengenai konsep sunnah, Fazlur Rahman memberikan kritik atasnya karena bagi Fazlur Rahman, Schacht tidak berhasil memberikan batasan atau perbedaan antara hadits dan sunnah,

padahal keduanya adalah berbeda.

Karenanya, Rahman sampai pada

kesimpulan bahwa pengertian Schacht atas sunnah Nabi pada kenyataannya bukanlah sunnah Nabi itu sendiri, tetapi sebaliknya

merupakan tradisi yang hidup dari

masyarakat Muslim lokal tertentu.28 Oleh

karenanya, Rahman membedakan dengan tegas antara sunnah dan hadits. Dari situ, kemudian dia membedakan beberapa implikasi penting dari pembahasan ini.

Menurut Rahman, Sunnah adalah jalan yang ditempuh, prilaku yang dapat dijadikan teladan. Sehingga, secara tidak langsung dalam hal ini ia setuju dengan apa yang dikatakan sarjana Barat bahwa sunnah

menunjukkan praktek aktual malalui

peneguhan yang lama, selama beberapa generasi berturut-turut memperoleh status normatif dan menjadi sunnah. Lebih janjut, bagi Rahman sunnah tidak semata-mata mununjukkan prilaku Nabi yang dapat

dijadikan teladan, tetapi lebih pada

penafsiran terus menerus dan progesif terhadap contoh-contoh idealnya yang terus berubah. Di sini, sunnah Nabi tidak hanya berisi teladan Nabi secara umum, tetapi juga penafsiran terhadap teladan yang dibakukan

munurut daerahnya.29

1. Sementara hadits menurut Rahman

adalah istilah agama yang berbeda tetapi tidak dapat dipisahkan dari sunnah. Hadits secara harfiah adalah tradisi yang tidak lain merupakan refleksi dalam bentuk verbal dari praktek yang aktual

atau sunnah.30 Dengan kata lain, hadits

Nabi adalah manifestasi karir sunnah Nabi. Dan penjabaran tersebut ada yang menjadikan gagasan Rahman sebagai

sasaran kritik karena pada saat yang sama

ia mendukung teori Schacht.31

Tetapi, pada waktu yang

bersamaan, dikatakan pula bahwa

Rahman secara mendasar tidak hanya gagal mengakui perbedaan antara konsep dari isi hadits atau sunnah, tetapi juga

gagal memahami gagasan-gagasan

Schacht. Kegagalan Rahman tersebut

adalah tidak berhasilnya dia

menunjukkan keberadaan apa yang disebut hadîts shahîh. Rahman juga gagal

memberikan jawaban yang jelas

mengenai pembedaan antara hadîts shahîh dan hadits yang dipalsukan. Berbeda dengan itu, melalui berbagai data,

Schacht telah berhasil menyelidiki

perkembangan hadits secara historis dan sampai pada kesimpulan bahwa apa yang disebut hadits Nabi telah dipalsukan oleh generasi belakangan dan tidak terkait

sama sekali dengan Nabi sendiri.32

Selain Rahman, perbedaan antara hadits dan sunnah juga di bedakan oleh Goldziher. Menurutnya, hadits adalah suatu disiplin ilmu teoritis, sedangkan sunnah adalah aturan-aturan praktis bahkan cenderung pada perbuatan atau hanya sekedar kebiasaan dan adat-istiadat yang dilakukan oleh para nenek moyang Arab. Hal ini disebabkan karena sunnah pada akhirnya melebar kepada sifat skeptis dan berujung pada penolakan hadits sama sekali karena menurutnya, banyak hadits yang bertentangan isinya

dengan sunnah.33

2. Penyebaran hadits

Schacht mengatakan bahwa

sunnah adalah tradisi yang hidup atau hanya sekedar adat-istiadat. Schacht juga berpendapat bahwa hadits dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga hal ini sangat

memungkinkan adanya pemalsuan

karena seorang ahli hukum ketika ingin melegitimasi pendapatnya maka mereka membuat suatu hadits yang kemudian disandarkan kepada Nabi seolah-olah itu adalah perkataan Nabi. Dengan kata lain,

(8)

para ulama abad kedua menproyeksikan

teori-teori dan keputusan-keputusan

mereka kebelakang sampai kepada Nabi untuk menambahkan otoritas kepada teori dan keputusan tersebut. Bahkan, Schacht menyakini bahwa seluruh isi hadits merupakan tipu daya yang dibikin oleh para ulama baik muhadditsin

maupun fuqaha’. Schacht juga

menyatakan bahwa hadits yang ada kaitannya dengan fiqh sangat sulit kalau dikatakan ada yang shahih karena hadits-hadits itu dibuat untuk diedarkan di kalangan masyarakat sejak paruh pertama dari abad kedua Hijriah dan dia mengatakan bahwa kita tidak akan menemukan hadits hukum apapun dari

Nabi yang dapat dianggap otentik.34

Bagi Schacht, hadits berkembang dan beredar dengan pesat. Untuk setiap hadits, diedarkan pula hadits yang bertentangan. Dengan demikian, hadits yang sampai ke tangan masyarakat dinilai penuh dan berisikan hadits-hadits yang saling bertentangan. Di sinilah letak pemikiran Schacht mengenai penyebaran hadits, yaitu hadits tersebar dengan cepat karena campur tangan para pembuat hukum untuk melegitimasi keputusan yang dikeluarkan.

3. Pembukuan hadits

Diantara keraguan yang ditujukkan orientalis, termasuk Schchat, untuk

meragukan hadits adalah tentang

pembukuan hadits itu sendiri. Dalam kritikannya, Schacht menyatakan bahwa hadits hanya disebarkan lewat mulut ke mulut atau secara lisan. Dalam bukunya, Schacht tidak menulis langsung dan jelas argumennya tentang pembukuan hadits. Walaupun demikian, dari pendapatnya bisa disimpulkan bahwa Schacht ikut andil dalam perdebatan sekitar masalah tersebut. Secara tersirat bisa dipahami bahwa Schacht menolak kesimpulan yang disepakati oleh para muhaditsin. Bagi

Schacht, pembukuan hadits yang

pertama dilakukan al-Zuhri adalah palsu. Hadits dalam sejarah pembukuannya

baru dilakukan setelah al-Zuhri karena menurutnya hadits-hadits fiqh baru muncul sesudah Umar Ibn ‘Abd al-Aziz.35

4. Kritik hadits

a. Kritik Matan

Walaupun secara langsung tidak bisa dikatakan bahwa Schacht mendasarkan penelitiannya pada kritik matan semata, sebagaimana Ignaz Goldziher, tetapi dia adalah salah satu tokoh yang ikut mendasarkan penelitiannya pada matan. Walaupun demikian, bagi Schacht, melihat otentisitas hadits didasarkan pada beberapa kriteria, diantarnya adalah merekonstruksi hipotesa terhadap perkembangan teori hukum selama abad kedua yang lebih dikedepankan pada studi Syafi’i. Kemudian, mendasarkan pada kumpulan dimana hadits-hadits itu pertama kali muncul, selanjutnya membandingkan matan hadits

serta sanad-sanad tersebut.36

Lebih lanjut, fokus utama Schacht ketika menyandarkan pernyataannya pada kritik matan adalah untuk mengetahui kapan hadits itu muncul dan digunakan sebagai sandaran hukum, yaitu:

1. hadits harus diketahui isinya terutama

pada perkembangan hukum.

2. hadits yang telah diketahui sebagai

sandaran hukum itulah yang lebih awal muncul dari pada yang didapatkan secara naratif.

3. pernyataan yang pendek diketahui lebih

awal dari pada peryataan yang mendetil.

4. teks yang mengandung pernyataan secara

implist adalah lebih awal dari pada yang

mengandung pernyataan secara

terperinci dan ekplisit.37

Jelas bahwa Schacht melakukan kritik matan tersebut setelah melakukan pada aspek yang lain dan hanya untuk mengetahi asal-usul hadits. Disini juga terlihat bahwa kritik matan yang diajukan Schacht belum teruji bahkan tidak tercover karena studinya banyak ditujukkan pada asal usul hadits yang disandarkan pada pemakaian pada taraf hukum dan lebih spesifik lagi pada abad kedua. Ini berarti sangat berhubungan

(9)

dengan sanad hadits yang akan dipaparkan selanjutnya.

b. Kritik Isnad dan validitasnya.

Dalam karyanya, permasalahan sanad termasuk hal yang menjadi perhatian besar Schacht. Pandangan utama Schacht tentang sanad terfokus pada masalah kapan sanad hadits itu muncul dan bagaimana kebenaran ilmiahnya. Schacht mengatakan bahwa sistem isnad mengkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama-ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi dan para sahabat adalah palsu dan sanad-sanad hadits itu juga belum sampai kepada bentuknya yang sempurna pada masa

penulisan kitab-kitab hadits klasik.38

Barawal dari pendapat tersebut, Schacht mempunyai beberapa kesimpulan tentang validitas isnad, yang dapat diringkas dalam enam poin:

1. Sistem isnâd dimulai pada awal abad

kedua atau paling awal pada akhir abad pertama Hijriah.

2. Isnâd-isnâd diletakkan secara

sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin memproyeksikan ke belakang doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.

3. Isnâd-isnâd secara bertahap meningkat

oleh pemalsuan. Isnâd-isnâd yang terlebih dahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi oleh masa-masa koleksi klasik.

4. Sumber-sumber tambahan diciptakan

pada masa Syafi’i untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber.

5. Isnâd-isnâd keluarga adalah palsu dan

demikian juga materi-materi yang

disampaikan di dalam isnâd tersebut.

6. Keberadaan common narrator dalam rantai

periwayatan itu merupakan indikator bahwa hadits tersebut berasal dari masa periwayatan.39

Terlepas dari pandangan dan

kesimpulan Schacht tentang validitas sanad,

akhirnya dari penelitiannya, Schacht

mempunyai beberapa teori mengenai sanad. Teori tersebut digunakan sebagai alat kritik untuk mengetahui otentisitas hadits dan teori-teori tersebut diformalisasikan dengan nama projecting back yaitu terdiri dari konsep fitnah, isnad keluarga (family isnad), Common Link, dan juga e sileutio.

Projecting back atau backward projection

adalah teori Schacht guna menelusuri asal-usul serta otentisitas hadits didasarkan pada perkembangan sanad yang ada dalam tradisi muhadditsin. Ketika suatu hadits sudah dinyatakan sebagai doktrin yang dipalsukan maka di sana ada kemungkinan dilakukan projecting back. Pada intinya, backward

projection adalah upaya, baik dari aliran fiqh

klasik maupun para ahli hadits untuk mengaitkan berbagai doktrin mereka pada otoritas yang lebih tinggi di masa lampau, seperti para tabi’in, sahabat, dan akhirnya pada Nabi. Dengan kata lain projecting back adalah isnad-isnad yang mungkin meningkat secara bertahap oleh pemalsuan, isnad yang tidak lengkap sebelumnya dilengkapi pada

waktu koleksi-koleksi klasik.40

Menurut Schacht, upaya ini dilakukan dengan segaja oleh para muhadditsin agar doktrin-doktrin mereka dipercaya oleh generasi berikutnya dan dianggap berasal dari tokoh-tokoh yang dipercaya, atau dengan kata lain penyebaran isnad itu segaja

dilakukan dengan menciptakan isnad

tambahan untuk mendukung matan hadits yang sama. Dalam kondisi ini, isnad

cenderung membesar, jumlah perawi

semakin membengkak pada generasi

belakangan dan mundur kebelakang.41

Setiap hadits yang berasal dari Nabi, kecuali jika ada bukti yang menunjukkan hal sebaliknya, tidak bisa dianggap sebagai pernyataan yang otentik dan benar-benar berasal dari masa Nabi atau masa para sahabat, melainkan sebagai ekspresi fiktif

dari doktrin hukum tertentu yang

dirumuskan belakangan.42 Oleh karena itu,

semua tradisi intelektual ulama hadits yang didasarkan terutama kepada kritik sanad dianggap oleh Schacht sebagai suatu yang

(10)

Adapun untuk menganalisis perkembangan sanad tersebut, Schacht

berkesimpulan bahwa berkembangnya

sanad tersebut berlangsung secara paralel dan tidak dapat dipisahkan. Berkembangnya sanad ke belakang menunjukkan hasrat para ulama untuk memproyeksikan doktrin-doktrin hukum jauh ke belakang kepada otoritas-otoritas yang lebih tinggi bahkan yang tertinggi. Dengan demikian, Schacht berkata, semakin sempurna dan lengkap sebuah sanad, semakin belakangan pula sebetulnya ia muncul.

Kemudian, mulainya penyandaran sanad ke masa belakangan atau teori proyeksi kebelakang menurut Schacht dibentuk oleh para hakim abad kedua Hijriah untuk mencari dasar legitimasi produk hukum mereka, kemudian disusun rantai periwayatan ke belakang hingga masa Nabi. Selain itu, saat sanad mulai

berkembang ke belakang ia juga

berkembang kesamping, otoritas-otoritas dan periwayat-periwayat baru diciptakan untuk mendukung sebuah hadits dan doktrin. Hal ini didorong oleh kebutuhan untuk menjawab kebenaran orang-orang

yang tidak menerima hadits ahad,44 padahal

hadits yang muncul belakangan biasanya memiliki sanad yang lebih memuaskan, sementara hadits-hadits yang lebih awal tidak memiliki sanad yang memuaskan. Karena itu, Schacht menyatakan Bukhari dan Muslim justru tidak memasukkam hadits-hadits yang lebih awal dalam karya

mereka.45

Dalam penerapan teori ini, pada awalnya Schacht menganalisanya terlebih dahulu pada tataran matan, ketika matan atau isi berita dianggap baik dan benar maka di situ akan dicarikan legitimasi dan

menyandarkan pada perawi-perawi

belakangan yang disebut dengan projecting back ini. Tetapi, pada perkembangannya, Schacht jarang bahkan tidak pernah menganalisis matan secara mendetail dan

sistematis, melainkan hanya mencari

legitimasi dari unsur sanad.

Untuk mendukung teori projecting back ini Schacht mengunakan teori-teori lain yang mengindikasi terjadinya pemalsuan hadits serta projeksi sanad hadits ke belakang, diantara indikasi tersebut ialah

konsep fitnah, adanya isnad keluarga (family

isnad), terdapat Common Link, dan juga e

sileutio. Adapun perincian dan elaborasi teori-teori tersebut adalah sebagai berikut:

1. Konsep Fitnah

Konsep ini akan penulis bahas secara terperinci di sanggahan Azami terhadap teori ini.

2. Isnad Keluarga (Family Isnad)

Pengertian isnad keluarga adalah segala bentuk periwayatan yang di dalam rangkaian sanadnya ada hubungan. Kata keluarga disini tidak hanya menyangkut hubungan darah, tetapi juga hubungan mawalî atau hubungan budak dengan tuannya, seperti periwayatan seorang anak dari ayahnya dari kakeknya dan seterusnya.46

Schacht mengatakan bahwa semua isnad adalah yang diriwayatkan oleh orang

yang mempunyai hubungan keluarga,

misalnya dari ayah kepada anak laki-laki, dari bibi ke kemenakan laki-laki, atau dari majikan kepada budak yang dibebaskan. Ketika hadits-hadits tersebut dianalisa, diketahui bahwa isnad keluarga adalah palsu dan bukan sebagai indikator keshahihan, tetapi sebagai alat untuk melindungi kemunculan hadits-hadits karena dengan adanya hubungan keluarga meriwayatkan

suatu berita diasumsikan adanya

persekongkolan dengan pihak keluarga sehingga tidak bisa mengeluarkan suatu

berita atau hadits yang otentik.47

Di antara sekian banyak isnad keluarga yang dianalisa oleh Schacht dan dengan jelas ditolak keotentikannya adalah rangkain sanad yang terdapat perawi Malik – Nafi’ – Ibn Umar. Suatu sanad yang dianggap untaian sanad emas atau sanad yang dianggap paling baik oleh para ulama hadits. Syafi’i menyatakan bahwa riwayat Malik dari Nafi’ dapat dipercaya karena Malik memiliki hubungan yang sangat erat dengan Nafi’.

(11)

Tetapi Schacht meragukan otentisitas sanad tersebut karena didasarkan pada dua sebab: pertama, umur Malik, kedua, hubungan Nafi’ dengan Ibn Umar, dimana Nafi’ pernah menjadi hamba sahaya Ibn Umar.

Schacht mengatakan tentang umur Malik. Nafi’ wafat sekitar tahun 117 H dan Malik wafat tahun 179 H, maka apabila ada kemungkinan keduanya berjumpa, umur Malik saat itu sedikit lebih tua dari umur seorang anak, yaitu kira-kira 15 tahun. Oleh karenanya Schacht meragukan kondisi

tersebut.48 Bahkan, Schacht dalam

keterangan yang lain mengatakan bahwa tidak ada bukti yang dapat diandalkan

tentang kapan Malik dilahirkan.49 Selain itu,

Schacht mengutip pendapat yang

mengatakan bahwa Imam Syafi’i menuduh Malik telah merahasiakan rawi-rawi yang

lemah dalam sanad-sanad yang ia

riwayatkan. Karena Syafi’i pernah

menyatakan bahwa Malik pernah melakukan

tadlis maka Schacht mempertanyakan

kemungkinan Malik meriwayatkan dari sebuah dokumen tertulis yang dinyatakan berasal dari Nafi’ tetapi bukan dari Nafi’ secara langsung. Sementara dari segi kualitas hadits Nafi’, Schacht juga menyatakan

bahwa kadang-kadang hadits yang

diriwayatkan nafi’ bertentangan satu sama lain. Bahkan, pribadi Nafi’ sendiri tampak sangat kabur dan tidak jelas. Penyebutan nama Nafi’ tampaknya hanya digunakan sebagai lebel untuk beragam tujuan karena

hadits Nafi’ tidak merepresentasikan

Mazhab fiqh Madinah klasik. Sementara, hadits-hadits yang dinisbatkan kepadanya justru harus dinisbatkan kepada para ulama hadits yang tidak diketahui namanya yaitu

pada paruh pertama abad kedua Hijriah.50

3. Common Link

Common link adalah istilah yang

dipakai untuk seorang periwayat hadits yang mendengar suatu hadits dari seorang yang

berwenang, lalu mengajarkan kepada

sejumlah murid yang pada gilirannya kebanyakan dari mereka mengajarkan lagi kepada dua atau lebih dari muridnya. Keberadaan common link, disebut juga

Common Transmitter (tokoh penghubung), dalam rantai periwayatan mengindikasikan bahwa hadits itu berasal dari tokoh tersebut. Dengan kata lain, comman link adalah periwayatan tertua yang disebut dalam bundel isnad yang meneruskan hadits kepada lebih dari satu murid. Dengan demikian, ketiga bundel isnad hadits itu mulai menyebar untuk pertama kalinya, di

sanalah ditemukan common link-nya.

Singkatnya, teori ini berangkat dari asumsi bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu pada seorang rawi maka semakin besar pula jalur periwayatan tersebut mempunyai klaim kesejarahan atau shahih. Artinya, jalur periwayatan yang dapat dipercaya secara otentik adalah jalur periwayatan yang bercabang ke lebih dari satu jalur, sementara yang bercabang ke hanya satu jalur tidak dapat dipercaya secara mutlak, kebenarannya adalah dhai’if.

Teori common link ini bertujuan untuk mengidentifikasi hadits yang berasal dari Nabi. Meski demikian, dengan studi mendalam dan kritis kita bisa sampai pada kesimpulan tentang kapan sebuah hadits tertentu diedarkan, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tunggal pada thabaqat isnad tertentu. Schacht juga menyimpulkan bahwa common link itu memungkinkan untuk menentukan masa yang pasti kapan sebuah hadits yang terkandung di dalamnya muncul. Lebih lanjut, dengan common link, Schacht dapat mengetahui posisi yang bisa diklaim sebagai sanad yang otentik dan tidak dengan dua katagori, yaitu, pertama, bagian sanad yang valid adalah para periwayat yang ada di atas common link. Kedua, bagian sanad yang palsu dari sanad adalah para periwayat yang berada di atas common link, bukan yang berasal dari sahabat atau Rasulullah. Selain itu, Schacht juga mengatakan bahwa teori common link dapat juga dipakai untuk memberikan penanggalan terhadap hadits-hadits yang digunakan sebagai doktrin oleh para ahli fiqh terutama hadits hukum, selain pada hadits hukum, juga bisa diterapkan

(12)

Sementara itu, kenyataan adanya

common link ini bukan tidak disadari oleh

para ulama hadits. Menurut Schacht, sejak awal sebagian besar hadits yang dianggab

gharib52 seperti yang dikatakan Tirmidzi

adalah fenomena common link. Akan tetapi, kelihatannya para ahli hadits dikalangan Islam tidak menyadari sepenuhnya implikasi dari gejala tersebut sebagai problem

penanggalan hadits.53

Untuk membuktikan teori tersebut,

Schacht mengambil sebuah contoh

berkenaan dengan teori common link yang ia sebut dengan istilah N.N. Dalam bukunya, teori tersebut diaplikasikan pada kasus hadits tentang ‘makanan seseorang yang berihram’. Dari hadits tersebut, Schacht mengambarkan isnad yang ada dalam bentuk suatu diagram sebagai berikut:

Schacht mengatakan bahwa pada rangkain sanad ini ‘Amr Ibn Abu Amr (di dalam istilah disebut N.N.) merupakan common link dari seluruh jalur sanad yang diriwayatkan oleh Syafi’i. ‘Amr Ibn Abu Amr-lah perawi yang menjadi titik temu bersama untuk semua sanad karena dia yang menyebarkan pada generasi berikutnya ke

lebih dari satu periwayat.54 Sanad bagian

atas ini yang dianggap otentik, sementara bagian bawah adalah buatan ‘Amr guna menyadarkan kepada otoritas yang lebih tinggi yaitu sahabat dan Nabi. Sedangkan adanya sanad tambahan yaitu seorang dari

suku bani Salamah adalah untuk

memperkuat haditsnya, walaupun demikian ‘Amr tetap menjadi common link atau common transmitter karena dia yang berperan menyebarkan hadits itu ke beberapa periwayat.

Meski demikian, teori Schacht

tersebut bisa diuji cara kerjanya hanya dengan keterangan yang dianggap cukup

minim. Oleh karenanya, penerusnya,

Juynboll, mengolaborasi kembali dengan berbagai pendekatan dan juga studi kasus atas beberapa teori Schacht dengan cukup jelas.

Menurut Juynboll, teori ini adalah sebagai ganti metode kritik hadits yang selama ini dipraktekkan di kalangan muslim karena kritik tersebut dianggap tidak lagi bisa dijadikan pijakan untuk memilih mana hadits yang shahih dan tidak, dikatakan bahwa kalau kritik hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat maka common link tidak hanya pada kualitas tapi juga pada kuantitasnya. Sehingga untuk mendapatkan hadits yang benar-benar otentik bisa diterapkan dengan kritik hadits konvesioanal kemudian dipadukan dengan teori common link. Karena bagi Juynboll, suatu hadits tidak bisa dinilai shahih jika hanya mendasarkan pada kualitas perawi yang muttashil dan keseluruhan perawinya

yang berkualitas tsiqah seperti yang

Asy-Syafi’i Seseorang yang tidak dikenal Asy-Syafi’i Asy-Syafi’i Sulaiman Ibn Bilal Ibrahim Ibn Muhammad Abd al-Aziz Ibn

Muhammad

‘Amr Ibn Abu Amr (seorang yang dimerdekakan oleh al-Muthalib

al-Muthalib al-Muthalib

Seorang dari suku bani salamah Jabir Jabir Jabir Nabi Saw Nabi Saw Nabi Saw

(13)

disepakati para muhaditsin tanpa mencari hadits yang mendukung hadits tersebut. Tapi, cara kerja common link tidaklah demikian, semakin banyak jalur isnad yang menghubungkan atau menuju kepada seorang periwayat, semakin besar pula kemungkinan jalur itu memiliki klaim

kesejarahan.55

Penolakan Juynboll atas metode kritik hadits konvensional tampak sejalan dengan Goldziher dan Schacht. Berkaitan dengan hal ini, Goldziher menyatakan bahwa kritik

yang ada selama ini hanya akan

mengeluarkan hadits palsu yang lain, selain itu juga karena baru lahir sekitar tahun 150 H. Sementara itu, Schacht beranggapan kritik isnad tidak relevan dengan tujuan

analisis sejarah, sedangkan menurut

Juynboll, kritik hadits konvensional tidak mampu menjelaskan kronologi, sumber, dan kepengarahan hadits, tiga persoalan yang sebenarnya bisa dijawab dengan mengunakan teori common link.

Adapun cara kerja common link dan metode analisis isnad disimpulkan oleh Ali Masrur dari penelitiannya atas teori common link Juynboll menjadi lima langkah:

1) Menentukan hadits yang akan diteliti

2) Menelusuri hadits dalam beberapa

koleksi hadits

3) Menghimpun seluruh isnad hadits

4) Menyusun dan merekonstruksi seluruh

jalan isnad dalam satu bundel isnad untuk mendeteksi common link yaitu periwayat yang menjadi awal penyebaran hadits.

4. E Silentio

Teori lain yang berhubungan dengan kajian Schacht atas hadits adalah teori e silentio atau argumena e silentio. E silentio adalah alat pokok yang dipakai Schacht untuk menguji kebenaran hadits Nabi berdasarkan data yang cukup untuk membuktikan bahwa sebuah hadits tidak ada pada masa tertentu dengan menunjukkan bahwa hadits itu tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam diskusi yang mengharuskan untuk

merujuk padanya, jika hadits tersebut ada.56

Artinya, sebuah hadits dinyatakan tidak ada

pada waktu tertentu jika ia tidak dipakai sebagai argumen hukum. Hal ini beranjak dari premis dasar yang ia bangun, yaitu bahwa jika suatu hadits tidak dirujuk dalam diskusi hukum, maka hadits tersebut pasti telah dipalsukan pada masa antara dua

ulama. Pada akhirnya, Schacht

mengarahkannya pada kesimpulan bahwa, “kita tidak akan menemukan hadits-hadits

hukum dari Nabi yang dapat

dipertimbangkan sebagai hadits shahih.57

Terlepas dari besarnya perhatian Schacht menyangkut masalah di atas, ada juga penelitiannya yang menyangkut bidang-bidang yang lain meliputi peranan ijma’, adat-istiadat, analog, dan bentuk-bentuk

pengambilan keputusan lainnya yang

rasional serta perdebatan sengit antara mereka yang mempertahankan pendapat perseorangan dalam pengambilan keputusan hukum serta mereka yang menghendaki dipatuhinya hadits sepenuhnya sumber hukum tersendiri. Tapi, penelitian ini tidak

terkonsentrasi terhadap bidang-bidang

tersebut sehingga penulis cenderung

mengabaikannya.

Secara keseluruhan, pemikiran

Schacht tentang hadits sudah dituangkan dalam buku The Origins Of Muhammad

Jurisprudence yang tebit tahun 1950. Buku

yang berikutnya diterbitkan pada tahun 1960, An Introduction to Islamic Law, kembali mengupas permasalah yang sama dan tidak jauh berbeda dengan buku sebelumnya. Bisa dikatakan, inilah kelebihan tersendiri dari

karya Schacht, yaitu dicantumkannya

kesimpulan pada akhir bahasan tertentu.

E.Sangahan Terhadap Teori-Teori

yang Digunakan Schacht

Dalam sanggahan ini, penulis hanya membahas konsep fitnah dalam teori

projecting back dan kritikan Azami

terhadapnya.

1. Konsep Fitnah Dan Historisitas Sistem

Isnad hadits

Salah satu tesis Schacht yang bisa dikatakan teori untuk menentukan awal mula digunakan isnad adalah pemahaman

(14)

Schacht terhadap konsep fitnah. Hasil penelitian Schacht tentang fitnah menjadi

penting karena akan mengetahui

pemikirannya terhadap awal muncul dan dipakainya isnad dalam periwayatan hadits. Argumen Schacht tersebut didasarkan pada pernyataan Ibn Sirin yang mengatakan bahwa isnad baru ada setelah terjadi fitnah. Selain itu, dengan diketahuinya kapan fitnah itu terjadi maka akan diketahui kapan hadits mulai muncul karena bagi Schacht hadits

sering kali dikarang dalam konteks

terjadinya polemik.

Schacht menyatakan bahwa peristiwa fitnah ialah perang saudara yang dimulai

dengan terbenuhnya Khalifah Bani

Umayyah Walid Ibn Yazid yang terjadi pada

awal tahun 126 H58 menjelang akhir

pemerintahan Bani Umayyah dan hal ini dijadikan sebagai patokan akhir masa keemasan lama yang selama itu sunnah masih berlaku secara umum dan pemikiran hukum Islam baru dimulai. Karenanya, Ibn Sirin yang meninggal pada tahun 110 H tidak bisa dipertimbangkan pendapatnya karena akan menghasilkan sesuatu yang palsu dan tidak benar. Oleh karenanya, pemakaian sanad baru diterapkan sejak abad kedua Hijriah, yaitu sejak adanya fitnah yang terjadi pada peristiwa terbununya Walin Ibn Yazid, sehingga bagi Schacht tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa isnad telah digunakan sebelum awal abad kedua dan

bagaimanapun juga, pendapat yang

mengatakan tentang penggunaan isnad sudah dimulai sebelum awal abad kedua

Hijriah sama sekali tidak terbukti.59

Dalam memahami peristiwa fitnah yang diperdebatkan dikalangan orientalis

termasuk Schacht, Azami lebih

menitikberatkan pada kritik sejarah.

Menurutnya, dalam sejarah Islam terdapat berbagai fitnah sebelum tahun 126 H seperti fitnah antara Ibn Zubair dengan Abd al-Malik Ibn Marwan sekitar 70 tahun, juga ada fitnah antara Muawiyyah dan Ali yang dampaknya masih terasa hingga

sekarang. Oleh karena itu, Azami

mempertanyakan apakah alasan Schacht

sehingga fitnah tersebut ditafsirkan sebagai terbunuhnya al-Walid Ibn Yazid. Lebih lanjut, Azami berkomentar bahwa apabila seseorang dapat menafsirkan kejadian-kejadian itu sesuai dengan kemauannya tanpa mempedulikan bukti-bukti sejarah maka dapat saja fitnah tersebut ditafsirkan dengan fitnah Hulagukan atau Tatar. Jelaslah bahwa semua analisis Schacht itu hanyalah berdasarkan penafsiran yang subjektif serta ceroboh dalam menafsirkan fitnah. Sebab, hakikatnya, Tarikh Islam menuturkan bahwa tahun 126 H dianggap sebagai masa peralihan dan akhir kejayaan masa lampau karena masa kejayaan itu ada

pada masa Khulafa al-Rasyidin.60

Menanggapi kesimpulan Schacht

tentang perkataan Ibn Sirin, dapat diselidiki dari Umur Ibn Sirin sendiri. Jika Ibn Sirin menyatakan hal tersebut berumur antara 30 hingga 50 tahun maka masa yang tepat baginya untuk memunculkan pernyataan tersebut sekitar tahun 60 hingga 80 Hijriah. Selanjutnya, kita merujuk kepada tahun terjadinya fitnah yang pertama yaitu terbunuhnya khalifah Ustman tahun 35 Hijriah dan dilanjutkan dengan peperangan antara Ali dan Muawiyyah tahun 39 H. Akan tetapi persoalannya, pada saat terjadi fitnah pertama Ibn Sirin baru berumur sekitar 2 tahun, umur yang tidak mungkin bagi seorang anak kecil untuk mengeluarkan statemen penting. Kalau dirujuk kepada fitnah kedua, yaitu fitnah Zubair tahun 63-73 Hijriah, dapat dikatakan Ibn Sirin telah memasuki usia yang matang. Namun, yang jelas bukan fitnah yang ketiga, yaitu terbunuhnya Walid Ibn Yazid pada tahun 126 Hijriah. Oleh karena itu, maka yang lebih tepat untuk memaknai fitnah tersebut adalah fitnah kedua sekitar tahun 63-73 Hijriah, kejadian yang disaksikannya sendiri dan beliau cukup baligh untuk memahami kondisi yang terjadi pada saat itu, sedangkan fitnah kedua tersebut pada generasi sahabat kecil.

Melalui hasil penelitian yang

dilakukan Azami tentang fitnah serta analisisnya terhadap pernyataan Ibn Sirin

(15)

sendiri, Azami menafsirkan bahwa fitnah dalam keterangan Ibn Sirin adalah fitnah antara Ali dan Muawiyah, pernyataan ini di dasarkan pada beberapa hal, yaitu:

1) Pernyataan Robson yang mengambarkan

adanya transmisi isnad dalam

penyampaian hadits di kalangan umat Islam pada pertengahan abad pertama, dan semakin diperketat sejak terjadinya fitnah yang terjadi pada dekade keempat dari abad pertama dimana pemalsuan hadits mulai muncul untuk mendukung pendapat atau aliran tertentu yang berhubungan dengan politik. Menurut Azami, hadits yang dipalsukan adalah 42 hadits palsu mengenai pribadi Nabi, 38 hadits palsu mengenai Khulafa’ al-Rasyidin, 96 hadits palsu mengenai Ali dan Fatimah, dan 14 hadits palsu

mengenai Muawiyyah.61

2) Pendapat Ibn Sirin sendiri menunjukkan

adanya tradisi yang sudah berlaku sebelum masa ia hidup. Dari segi lain, Ibn Sirin hanya mengatakan, “mereka tidak menanyakan hadits” dan tidak mengatakan, “Sanad itu tidak ada” sebab pada saat itu orang-orang tidak menyukai

masalah-masalah yang terperinci

sehingga sanad juga ditanyakan. Sanad memang sudah dipakai, tetapi hal itu tergantung kepada rawi hadits, apakah ia mau menjelaskan sumber haditsnya atau tidak.62

Penelitian Azami menyimpulkan

bahwa yang menjadi perhatiannya adalah pemakaian sanad itu sudah ada sejak dikeluarkannya perkataan Ibn Sirin, tetapi sebelum Ibn Sirin hidup dan sudah ada sejak abad pertama Hijriah, bahkan sebelum Islam datang sudah ada metode yang mirip dengan pemakaian sanad yaitu dalam menyusun buku, meskipun tidak jelas sejauh

mana metode itu diperlukan.63

Sementara itu, berhubungan dengan sanad dalam hadits, menurut Azami sejak masa Nabi telah terlihat adanya pemakaian sanad walaupun dalam bentuk yang sederhana dan ini bersamaan dengan adanya penulisan hadits walaupun dalam skala yang

terbatas pula.64 Namun, menjelang akhir

abad pertama Hijriah, ilmu tentang sanad berkembang cukup signifikan. Bahkan

dalam perkembangannya, metode ini

dijadikan standar untuk menilai shahih dan tidaknya suatu hadits dan akhirnya muncul ilmu tentang penilaian atas isnad, seperti ilmu jarh wa ta’dil, rijal hadits, ilmu ‘ilal

al-hadits, dan lain sebagainya.65

Signifikasi perkembangan isnad

tersebut pada awalnya juga bisa dilihat dari sikap Syu’bah yang selalu memperhatikan gerak mulut Qatadah (w. 117 H) karena ketika Qatadah meriwayatkan hadits, ia selalu mengunakan ‘haddatsana’ (kami diberi tahukan oleh), kemudian Syu’bah selalu menulis hadits itu. Apabila Qatadah berkata ‘qala’ Syu’bah tidak menulisnya. Pemakaian istilah-istilah tersebut menunjukkan adanya tingkat kualitas hadits yang diriwayatkan. Karena dalam tradisi muhadditsin, dalam meriwayatkan hadits pasti memakai salah satu lafadz dari delapan lafadz tahmmul wa al-‘ada’ al-hadits, yaitu sima’, ‘ard, Ijazah,

munawalah, mukatabah, I’lam al-syaikh,

washiyah, dan wijadah karena hal itu untuk

mengetahui bersambung tidaknya

periwayatan hadits antara guru dan murid.66

Lebih lanjut, Azami mengungkapkan bahwa untuk meriwayatkan atau mengajar hadits, metode isnad adalah yang paling

penting karena hadits akan terjaga

otentisitasnnya dari segala keraguan,

kemudian ilmu atau tradisi yang diciptakan sahabat adalah dengan mempertanyakan sumber suatu hadits dan hal ini semakin diperketat seutama sejak terjadinya fitnah antara Ali dan Mu’awiyah. Sedangkan fitnah yang terjadi dalam Islam adalah salah satu pemicu terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam sendiri seperti terpecahnya umat Islam ke berbagai aliran, seperti: Syi’ah,

Khawarij, Murji’ah, dan selanjutnya

membentuk aliran-aliran teologi Islam. Selain konsekuensi munculnya berbagai aliran, munculnya berbagai hadits palsu juga untuk memperkuat pendapat aliran masing-masing, oleh karena demikianlah isnad makin diperketat.

(16)

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemakaian sanad hadits memang sudah dipakai sejak zaman Nabi dan secara konsisten digunakan pada zaman sahabat. Ada dua bukti yang bisa diberikan untuk memperkuat pendapat ini, pertama, pernyataan Ibn Sirin bahwa isnad baru dipermasalahkan setelah terjadinya fitnah, sedangkan Ibn Sirin lahir tahun 33 H pada saat pemerintahan Ustman Ibn Affan dan

meninggal di Basrah pada tahun 110 H.67

kedua, analisa atas beberapa isnad yang

tersebar dalam berbagai hadits yang mencantumkan nama-nama sahabat baik sahabat besar dan kecil, tetapi pada generasi sahabat kecil setelah terjadinya fitnah kedua mereka lebih memperhatikan sumber informasi dan mulai menyelidikinya.

F. Penutup

Teori Projecting Back yang

dikemukakan oleh Joseph Schacht di atas terlihat memilik kelemahan-kelemahan yang kemungkinan akan muncul dari teori itu sendiri. Kelemahan tersebut diantaranya adalah bahwa bila sanad itu diciptakan oleh seorang qadhi dalam melegitimasi pendapat mereka maka mustahil akan terdapat banyak jalur dalam satu sanad hadits. Kemudian, apabila hadits itu berasal dari para qadhi, maka tidak akan mungkin antara qadhi yang terdapat di kufah, umpamanya sama lafaz atau bunyi yang ia ucapkan dengan qadhi yang berada di tempat yang lain.

Dari kesimpulan yang disampaikan Schacht tentang awal munculnya sanad dengan menafsirkan dari perkataan Ibn Sirin tentang fitnah, tidak mempunyai sebuah argumen yang kuat, Schacht tidak mengunakan referensi-referensi yang kuat, terutama data-data sejarah atau biografi Ibn Sirin. Jadi sebuah kemustahilan statemen yang dikeluarkan oleh Ibn Sirin yang menunjukkan kepada kejadian yang tidak terjadi pada masanya bahkan kejadian tersebut setelah Ibn Sirin meninggal. Jadi jelaslah bahwa argumenesi Schacht yang menyatakan bahwa awal munculnya sanad pada awal abad kedua Hijriah sekitar tahun

126 H tidak mempunyai landasan yang kuat dan pendapat yang ngawur.

Daftar Pustaka

al-Azami, Muhammad Musthafa, Menguji Keaslian hadits-hadits Hukum; Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Joseph Schacht, terj. Asrofi Sodri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. _______, Studies In Early Hadits Literature,

Indianapolis: American Trust

Publications, 1978.

al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj, al-Sunnah

Qabla Tadwin, Kairo: Maktabah

Wahbah, 1963.

_______, Ushul al-Hadits, terj. Qadirun, Jakarta: Gaya Media pratama, 1996. Amin, Ahmad, Fajr al-Islam, Kairo:

Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1975.

Badawi, Abdur Rahman, Ensiklopedi

Orientalis, terj. Amrol Drajat,

Yogyakarta: LKiS, 2003.

Goldziher, Ignaz, A Short History of Classical

Arabic Literature, Hildesheim: Georg

Olm, 1966.

Ma’arif, Nurul Huda, M.M. Azami Pembela Eksistensi Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Minhaji, Akh., Joseph Schacht’s Contribution to the study of Islamic Law, Canada: McGill University, 1992.

Rahman, Fazlur, Isamic Methodologi in History, Karachi: central Institut of Islamic Research, 1965.

_______, Islam, Bandung: Pustaka Salman, 1984.

Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Oxford: Clarendon Press, 1964. _______, The Origins of Muhammadan

Jurisprudence, Oxford: Clarendon

(17)

Shalah, Ibn, Muqaddimah Ibn Shalah fi Ulum

al-hadits, Beirut: Dar Kutub

al-‘Ilmuyah, 1989.

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004.

*

Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

1

Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla Tadwin, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1963), p. 373.

2

Akh Minhaji, Joseph Schacht’s Contribution to the study of Islamic Law, (Canada: McGill University, 1992), p. 4.

3

Ibid., pp. 4-5.

4

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), p. 19.

5

Akh Minhaji, Joseph Schacht’s..., p. 4.

6 Ibid., p. 7. 7 Ibid., p. 6. 8 Ibid., p. 8. 9 Ibid., p. 7. 10

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits…, p. 20

11

Abdur Rahman Badawi, Ensiklopedi Orientalis, terj. Amrol Drajat, (Yogyakarta: LKiS, 2003), p. 273.

12

Ibid., p. 274.

13

Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadits…, p. 14.

14

Joseph Schacht, The Origins…, p. 58.

15 Ibid., pp. 58-59. 16 Ibid., p. 70. 17 Ibid. 18

Joseph Schacht, The Origins…, p. 138.

19 Ibid., p. 21. 20 Ibid., p. 22. 21 Ibid., p. 40. 22

Ignaz Goldziher, A Short History of Classical Arabic Literature, (Hildesheim: Georg Olm, 1966), p. 41.

23

Joseph Schacht, The Origins…, p. 80.

24

M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum; Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, terj. Asrofi Sodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), pp. 46-49. 25 Ibid., p. 51. 26 Ibid., p. 53. 27

Joseph Schacht, The Origins…, p. 73.

28

Fazlur Rahman, Isamic Methodologi in History, (Karachi: central Institut of Islamic Reseach, 1965), p. 5. 29 Ibid., p. 14. 30 Ibid., p. 74. 31

Akh Minhaji, Joseph Schacht…, p. 33.

32

Ibid.

33

Ignaz Goldziher, A Shot History…, p. 41.

34

Joseph Schacht, The Origins…, pp. 138 dan 149.

35

Joseph Schacht, The Origins…, p. 62.

36

Ibid., pp. 176-189.

37

Ibid.

38

Joseph Schacht, The Origins…, pp. 263 dan 163.

39

M.M. Azami, Menguji Keaslian…, pp. 232-233.

40

Joseph Schacht, The Origins…, p. 165.

41 Ibid., p. 166. 42 Ibid., p. 149. 43 Ibid., p. 163. 44 Ibid., p. 166. 45 Ibid., p. 171. 46 Ibid., p. 170. 47 Ibid., 48 Ibid., pp. 176-177. 49 Ibid. 50 Ibid., pp. 177-179. 51

Joseph Schacht, The Origins…, p. 175.

52

Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi tanpa adanya perawi lain yang meriwayatkannya, ke-gharib-an riwayat ada yang dari jalur awal hingga akhir tetapi ada juga yang terjadi pada satu jalur perawi.

53

Joseph Schacht, The Origins…, p. 172.

54

Ibid.

55

Syarat yang mengharuskan banyak periwayat yang ada dalam dalam suatu hadits dalam istilah muhaditsin disebut mutawatir yaitu diriwayatkan oleh mayoritas orang dan hanya sedikit bahkan tidak ada orang yang mengikari. Sedangkan yang diriwayatkan oleh satu sampai sepuluh orang periwayat disebut Ahad, Mahmud Thahan, Taysir Musthalah al-Hadits (Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah, 1985), p. 29.

56

Koleksi klasik yang dimaksud oleh Schacht dan sering dia sebut dalam karyanya adalah Muwatha’ karya Imam Malik dan Kitab Atsar karya Abu Yusuf dan Syaibani. Joseph Schacht, The Origins…, pp. 22 dan 140.

57

Ibid., p. 149.

58

Joseph Schacht, The Origins…, p. 36.

59

Ibid., pp. 36-37.

60

M.M. Azami, Studies In…, p. 216. 61 Ibid., p. 217. 62 Ibid., p. 218. 63 Ibid., p. 212. 64 Ibid., p. 231. 65

Ibn Shalah, Muqaddimah Ibn Shalah fi Ulum al-Hadits, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmuyah, 1989), p. 7.

66

‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terj. Qadirun, (Jakarta: Gaya Media pratama, 1996), p. 233-248.

(18)

67

‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla…, pp. 526-527.

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian perlakuan bahan mineral meningkatkan bobot kering tajuk tanaman sedangkan air laut berpengaruh sebaliknya, namun tidak berpengaruh nyata pada

Dalam implementasi perancangan game ini mempunyai batasan masalah sebagai berikut: (1) Pembuatan aplikasi scrabble dengan pilihan dua kamus bahasa yaitu Bahasa

Aceh Tamiang Nanggroe Aceh Darussalam 1 TKJ_02 Rasaki_I 48 17061452517047 CHANDRA GUNAWAN Teknik Komputer dan Jaringan SMK Negeri 2 Karang Baru Kab.. Aceh Tamiang Nanggroe

Petani pada saluran III mengeluarkan biaya pemasaran berupa biaya pengumpulan, pemecahan buah, fermentasi, penjemuran, biaya penyusutan sebesar 50% dari harga biji

Menurut beberapa petani kopi yang di wawancarai serta berdasarkan hasil observasi peneliti bahwa dalam beberapa tahun terakhir terjadi pengalihan fungsi lahan

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh A.Sakir dan Nurhalis (2010) pada perusahaan yang tercatat dalam indeks LQ-45 di Bursa Efek Jakarta pada tahun

(ASIA) scale , berdasarkan tipe dan lokasi lesi atau trauma. Tujuan penatalaksanaan pada kasus cedera medula spinalis adalah untuk menjaga sel yang masih hidup agar terhindar dari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan hasil belajar matematika materi skala dapat diupayakan melalui model (STAD) siswa kelas 5 SD Kristen 04 Eben Haezer Salatiga