• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBABILITAS MEKANISME SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN AGAMA PROBABILITY OF SMALL CLAIM COURT MECHANISM IN RESOLVING INHERITANCE DISPUTES IN RELIGIOUS COURT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PROBABILITAS MEKANISME SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA WARIS DI PENGADILAN AGAMA PROBABILITY OF SMALL CLAIM COURT MECHANISM IN RESOLVING INHERITANCE DISPUTES IN RELIGIOUS COURT"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PROBABILITY OF SMALL CLAIM COURT MECHANISM IN

RESOLVING INHERITANCE DISPUTES IN RELIGIOUS COURT

ADI NUR ROHMAN

Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Jl. Darmawangsa 1 No. 1 Pulo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12140 Email: adi.nur@dsn.ubharajaya.ac.id

SUGENG

Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Jl. Darmawangsa 1 No. 1 Pulo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12140 Email: sugeng@dsn.ubharajaya.ac.id

Diterima : 26/08/2018 Revisi : 05/12/2018 Disetujui : 05/12/2018 DOI : 10.25216/JHP.7.3.2018.387-404

ABSTRAK

Hukum acara formil yang berlaku di Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa waris relatif memakan waktu yang cukup lama. Hal ini mengakibatkan waktu serta biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Mekanisme small claim court yang diatur oleh Mahkamah Agung melalui PERMA No. 2 tahun 2015 tentang tata cara penyelesaian sengketa sederhana dalam sistem peradilan umum menjadi titik terang. Konsep small claim court tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dalam sistem peradilan agama sehingga mampu memangkas waktu yang lama dalam penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama. Penelitian ini bertujuan untuk menawarkan terobosan baru dalam sistem peradilan agama di Indonesia khususnya terkait penyelesaian sengketa waris. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual dengan menggunakan studi kepustakaan sebagai alat analisis bahan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama dengan konsep small claim court dipandang mungkin untuk diimplementasikan sebagai bagian dari pembaharuan hukum acara peradilan agama. Namun demikian, hal itu perlu diiringi dengan pengklasifikasian perkara waris ke dalam perkara besar dan kecil dilihat dari nilai harta warisan yang disengketakan. Oleh karenanya, perluasan pengaturan mekanisme small claim court ke dalam sistem peradilan agama menjadi penting guna memangkas mekanisme penyelesaian perkara yang terlalu lama.

(2)

ABSTRAK

The formal procedural law that applies in the Religious Courts in resolving inheritance disputes takes a relatively long time. This results in greater time and costs. The small claim court mechanism regulated by the Supreme Court through Supreme Court Regulation No. 2 of 2015 concerning the procedure for resolving simple disputes in the general justice system to become a bright spot. The concept of small claim court is expected to be applied in the religious justice system so that it can cut down the long time in resolving inheritance disputes in the Religious Courts. This study aims to offer a new breakthrough in the system of religious justice in Indonesia, especially in relation to the resolving of inheritance disputes. This research is a normative juridical research with a law and conceptual approach by using literature study as a legal material analysis tool. The results showed that the resolving of dispute of inheritance in the Religious Court with the small claim court concept was considered possible to be implemented as part of the renewal of the religious court procedural law. However, this needs to be accompanied by the classification of inheritance cases into large and small cases seen from the value of the disputed inheritance. Therefore, the expansion of the small claim court mechanism into the religious justice system is deemed necessary in order to reduce the mechanism for resolving cases that are too long.

Keywords: probability; small claim court; inheritance;

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkara waris sangat erat kaitannya dengan dengan ruang lingkup kehidupan

manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yaitu kematian yang

mengakibatkan munculnya permasalahan tentang penyelesaian hak dan kewajiban.

Permasalahan tersebut menyangkut pembagian harta benda yang ditinggalkan si pewaris

kepada ahli waris yang masih hidup Terkait hal itu, banyak cara yang ditempuh oleh

masyarakat dalam hal pembagian harta warisan tersebut mengingat bahwa hukum

nasional memiliki tiga sistem hukum yang berlaku secara positif dalam hal kewarisan,

yaitu; hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat.1 Ketiga sistem hukum tersebut

berlaku sama di Indonesia mengingat bahwa Indonesia berlandaskan demokrasi Pancasila

dengan berbagai agama di dalamnya2, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia

masih memberlakukan pluralisme hukum dalam sistem hukumnya yang dapat kita lihat

1 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991).

2Adi Nur Rohman, “Riddah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia,” Jurnal

(3)

dari beberapa sistem hukum yang berlaku.3 Pemberlakuan beberapa sistem hukum

tersebut dapat ditemui dalam beberapa aspek hukum termasuk dalam hal kewarisan.

Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan

dan merupakan bagian terkecil dari hukum keluarga.4 Oemarsalim berpendapat bahwa

warisan adalah suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam

masyarakat, yang melahirkan sedikit banyaknya kesulitan akibat meninggalnya

seseorang.5 Objek kewarisan berupa harta benda yang dalam pembagiannya cenderung

melahirkan persoalan akibat ketidakpuasan bagi sebagian ahli waris disamping karena

ketidaktahuannya terkait bagian-bagian yang diatur dalam Islam juga akibat keserakahan

dan rasa egois.6 Oleh sebab itu, hukum waris hadir untuk mengurai

permasalahan-permasalahan yang kerap muncul akibat sengketa atau perselisihan keluarga menyangkut

penguasaan harta warisan dan tak jarang penyelesaian sengketa waris berujung di

Pengadilan Agama bagi ahli waris yang beragama Islam mengingat bahwa hukum Islam

menjadi sebuah keharusan bagi Pengadilan Agama dalam memutus suatu perkara.7

Peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, hal mana

memiliki kompetensi relatif maupun kompetensi absolut. Kewenangan relatif berkaitan

dengan wilayah yurisdiksi pengadilan, sedangkan kompetensi absolut merupakan

kewenangan peradilan agama dalam materi hukum, seperti sengketa pada wakaf, baik

tingkat pertama, banding maupun kasasi.8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang telah diubah dengan perubahan pertama dengan Undang-undang

Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun

2009, dalam undang-undang tersebut di dalamnya membahas tentang kompetensi absolut

berkaitan dengan Penyelesaian perkara sengketa waris (Ps. 49 ayat [1] huruf b UU

Peradilan Agama).9

3 Teguh Prasetyo, “Membangun Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila,” Jurnal Hukum dan

Peradilan 3, no. 3 (2014): 213–222.

4 Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia.

5 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1991). 6 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 4th ed. (Jakarta: Kencana, 2004).

7Anang Setio Budi et al., “The Existence of Islamic Legal Compilation in Islamic Inheritance Law

Context As Material Law on Religious Courts,” International Journal of Education and Research 1, no. 12 (2013): 1–10.

8 A Gofar, “Mengkaji Ulang Hukum Acara Perceraian Di Pengadilan Agama,” Wacana Hukum

Islam dan Kemanusiaan, November (2012): 105–124.

9 Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan

(4)

Apabila terjadi perkara atau sengketa yang berhubungan dengan waris, baik yang

terjadi antar sesama ahli waris atau di luar dari ahli waris dapat diselesaikan melalui

musyawarah untuk mencapai mufakat, dan apabila penyelesaian sengketa melalui

musyawarah untuk mencapai mufakat tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui

mediasi, arbitrase, atau pengadilan.10 Namun demikian, penyelesaian perkara waris di

Pengadilan Agama kerap memakan waktu yang relatif lama, hal ini disebabkan oleh

penerapan sistem peradilan berjenjang berawal dari pengadilan tingkat pertama, tingkat

banding dan Mahkamah Agung. Penerapan proses peradilan berjenjang seperti ini tentu

akan berimbas kepada lamanya mekanisme penyelesaian sengketa waris melalui jalur

litigasi (pengadilan).

Salah satu asas yang dipedomani dalam mekanisme peradilan adalah prinsip

pengadilan yang dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan. Prinsip-prinsip

tersebut diupayakan untuk diaplikasikan dalam seluruh sistem peradilan perdata, terutama

dalam sistem perdata.11 Prinsip sederhana diartikan sebagai pemeriksaan dan

penyelesaian perkara yang dilakukan dengan cara efisien dan efektif.12 Selanjutnya,

prinsip cepat harus dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem peradilan

sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya atau tercapainya keadilan dalam

penegakan hukum secara cepat oleh masyarakat pencari keadilan sehingga tidak harus

menunggu dalam jangka waktu yang lama untuk memperoleh keadilan dan kepastian

hukum.13

Proses penyelesaian sengketa secara sederhana di beberapa negara terkait perkara

perdata dengan nilai objek sengketa yang tergolong kecil dapat ditempuh melalui

mekanisme small claim court. Small claim court merupakan sebuah mekanisme

penyelesaian sengketa dalam lingkup perdata dengan nilai klaim yang tergolong kecil

secara cepat, sederhana dan biaya murah dengan putusan yang memiliki kekuatan hukum

mengikat, sehingga konsep ini dirasa mampu mengurangi beban penumpukan perkara di

10Rahmatullah, “Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Perkara Waris,”

Jurnal Ilmiah Abdil Ilmu 4, no. 1 (2011): 126–133.

11 Bustamar, “Small Claim Court Dalam Sistem Peradilan Perdata Di Indonesia Dan Peluang

Penerapannya Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pada Peradilan Agama,” Al-Hurriyah : Jurnal Hukum Islam 01, no. 01 (2016): 94–108.

(5)

pengadilan dan juga memangkas proses beracara.14 Sejalan dengan itu, Mahkamah Agung

melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian

Sengketa Sederhana (selanjutnya disebut Perma No. 2 tahun 2015) mengatur tentang

mekanisme penyelesaian sengketa secara sederhana guna memudahkan masyarakat untuk

mencapai keadilan (access to justice) dengan mengedepankan pemulihan keadaan semula

(restorative justice). Penerapan mekanisme small claim court dengan demikian dapat berlaku secara positif dalam sistem hukum peradilan di Indonesia. Hal ini kemudian

menjadi sebuah pemikiran baru dalam hal rekonstruksi hukum acara peradilan agama

dalam menyelesaikan sengketa waris melalui mekanisme small claim court.

Penelitian ini menitkberatkan kepada hukum acara yang berlaku di Pengadilan

Agama dalam menyelesaikan perkara waris. Hal ini didasarkan atas prosedur

penyelesaian perkara waris yang relatif lama sehingga dirasa perlu dilakukan upaya

rekonstruksi guna memangkas waktu yang lama namun tetap menghasilkan putusan yang

baik hingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Mekanisme small claim court

yang lebih dahulu digulirkan dalam menyelesaikan sengketa bisnis menjadi menarik

untuk dikaji dalam hal penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama. Hal ini akan

menjadi konsep baru yang akan ditawarkan terhadap pembaharuan dan reformulasi

hukum acara di Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara waris.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, kiranya dapat dirumuskan beberapa

pertanyaan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah konsep small claim court dalam penyelesaian perkara menurut Perma No. 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Sederhana?

2. Bagaimanakah probabilitas penerapan small claim court dalam penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama?

C. Metode Penelitian

Teori rekonstruksi menjadi dasar analisis yang digunakan untuk mengkaji

mekanisme small claim court dalam penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Penelitian secara yuridis normatif akan

14Efa Laela Fakhriah, “Mekanisme Small Claims Court Dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan

(6)

diarahkan kepada Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2015 tentang Penyelesaian

Sengketa Secara Sederhana dan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Penelusuran dan kajian kepustakaan dilakukan untuk menggali lebih dalam

tentang penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama yang terdiri dari bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil kajian terhadap bahan

hukum tersebut akan dideskripsikan dan dianalisis secara kualitatif sehingga

menghasilkan pemahaman yang komprehensif dan utuh.

II. PEMBAHASAN

A. Penyelesaian Sengketa Waris di Pengadilan Agama

Peradilan Agama merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 49 ayat

(1) Undang-Undang Peradilan Agama menegaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama

antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 1) Perkawinan; 2) Waris; 3) Wasiat;

4) Hibah; 5); Wakaf; 6) Zakat; 7) Infaq; 8) Shadaqah; dan 9) Ekonomi Syariah.15

Dalam melaksanakan tugas penegakkan hukum dan keadilan, Pengadilan Agama

mendasarkan pada Hukum Acara Perdata pada Peradilan Umum, sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 54 Undang-Undang Peradilan Agama (selanjutnya disebut

UUPA):

“Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.”

Hukum acara atau hukum formal merupakan hukum yang mengedepankan pada

kebenaran prosedural, yang dibuat dalam aturan-aturan hukum tersendiri di luar hukum

materil, untuk memastikan dan menjamin ditaatinya norma-norma hukum materil

sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 54 sampai dengan Pasal 91 UUPA. Dalam

memeriksa dan memutus perkara, hakim harus berpedoman pada asas-asas Hukum

Peradilan Agama, yang meliputi: asas personalitas keislaman; asas kebebasan; asas tidak

boleh menolak perkara; asas hakim wajib mendamaikan; asas sederhana, cepat, dan

(7)

berbiaya ringan; asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak; dan asas

persidangan terbuka untuk umum.16 Secara garis besar, penyelesaian sengketa waris bisa

dilakukan melalui dua jalur baik melalui jalur non-litigasi maupun jalur litigasi

(persidangan).

1. Jalur Non-Litigasi

Dalam hukum acara Peradilan Agama sengketa waris diatur penyelesaiannya oleh UUPA pada Pasal 56 ayat (2) yakni: “Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai”. Pada intinya, pasal ini menegaskan bahwa Pengadilan Agama dalam menyelesaikan suatu perkara

harus melalui upaya damai (mediasi) atau melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).

Penyelesaian sengketa non-litigasi dapat dilakukan di dalam maupun di luar

pengadilan yang antara lain dapat berupa perdamaian, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan

lainnya. Lembaga APS non-litigasi yang sering digunakan dalam berbagai penanganan

jenis sengketa perdata adalah mediasi. Dalam sistem hukum acara di Indonesia, pranata

perdamaian di pengadilan disebut dading.17 Secara formal, pedoman hakim untuk mengarahkan penyelesaian sengketa melalu dading diatur dalam Pasal 130 HIR. Para pihak yang terlibat dalam sengketa dalam membuat kesepakatan perdamaian mengacu

pada Pasal 1831 KUH Perdata.

Mediasi adalah salah satu jalan penyelesaian sengketa yang menempatkan kedua

belah pihak dalam posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan ataupun

dikalahkan (win-win solution).18 Prosedur mediasi di pengadilan menjadi bagian hukum

acara perdata yang dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan

dalam penyelesaian sengketa. Mediasi bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antara

para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat

mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan

lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah

16 Mardjono Reksodiputro, Hukum Pidana (Jakarta: Alumni, 2018).

17Meita Djohan, “Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Mediasi Sebagai Upaya Perdamaian,”

Keadilan Progresif 8, no. 1 (2017): 68–83.

(8)

pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenanggkan atau pihak yang

dikalahkan. Dalam mediasi para pihak yang bersengketa pro-aktif dan berwenang penuh

dalam pengambilan keputusan. Mediator tidak mempunyai kewenangan dalam

mengambil keputusan, ia hanya membantu para pihak dalam menjaga proses mediasi

guna mewujudkan kesepakatan damai mereka.19

Pada setiap sengketa waris di Pengadilan Agama terlebih dahulu hakim

melakukan mediasi kepada para pihak karena hal ini merupakan kewajiban yang harus

dilakukan hakim sebelum memerikasa gugatan sengketa waris. Mediasi dapat dilakukan

di luar pengadilan dengan menjadikan orang selain hakim sebagai pihak ketiga. Dalam

praktiknya, proses penyelesaian sengketa melalui mediasi memang sulit dilakukan,

namun bukan berarti tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Sesuai ketentuan Pasal

5 Perma No. 1 Tahun 2016 bahwa proses mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali

para pihak menghendaki lain.

Bila direnungkan lebih dalam, hasil kesepakatan yang diperoleh melalui mediasi

sejatinya jauh lebih baik bila dibandingkan dengan para pihak yang terus menerus berada

dalam persengketaan yang tidak pernah selesai, meskipun kesepakatan tersebut tidak

seluruhnya mengakomodasikan keinginan dan kepentingan para pihak.

2. Jalur Litigasi

Sengketa dan konflik merupakan situasi atau kondisi adanya pertentangan atau

ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan kerja

sama. Pada umumnya konflik akan terjadi di mana saja sepanjang terjadi interaksi atau

hubungan antara sesama manusia.20 Kaidah hukum yang digunakan untuk menegakkan

hak dan kewajiban keperdataan melalui presedur ajudikasi adalah hukum acara perdata

(Reglement op de Rechsvordering) yang menentukan dan mengatur tentang bagaimana melaksanakan hak-hak dam kewajiban perdata.

Salah satu badan pelaksana dalam menyelesaikan perkara waris bagi orang Islam

adalah Pengadilan Agama. Hukum acara peradilan agama dilaksanakan untuk

menemukan kebenaran dan keadilan bagi para pihak dengan cara mengajukan

19 Muhammad Saifullah, “Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Jawa Tengah,” Al-Ahkam 25, no. 2 (2015): 181–204.

(9)

permohonan atau gugatan perkara ke Pendadilan Agama baik secara langsung (in person) atau melalui kuasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR.

Pada dasarnya, hakim di Pengadilan Agama bersikap pasif, artinya hakim tidak

mencari-cari perkara kewarisan atau perkara lain di masyarakat, melainkan hanya

menunggu perkara yang masuk lalu diperiksa, kemudian dilakukan mediasi atau diputus

melalui pengadilan sesuai hukum acara yang berlaku.21 Prinsip musyawarah untuk

mencapai perdamaian lebih utama dalam penyelesaian perkara perdata.

Jika perdamaian melalui mediasi tidak tercapai, mediator wajib menyatakan

mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan dan memberitahukannya secara tertulis

kepada hakim pemeriksa perkara. Dengan demikian, sidang perkara dilanjutkan, sesuai

dengan ketentun hukum acara perdata yang meliputi: (a) tahap pembacaan gugatan

(termasuk jawaban, replik, duplik); (b) tahap pembuktian, untuk membuktikan suatu

peristiwa yang disengketakan; (c) pengajuan kesimpulan oleh para pihak; dan terakhir (d)

tahap putusan.

Dalam setiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan untuk memberikan

nasihat kepada para pihak. Jika para pihak sepakat untuk berdamai di tengah-tengah

pemeriksaan pokok perkara, maka untuk memperkuat kesepakatan tersebut dibuatlah akta

perdamaian (van dading), yang memuat kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut dan bersifat eksekutorial. Artinya, jika

salah satu pihak mengingkari isi akta perdamaian tersebut, maka pengadilan dapat

melakukan eksekusi terhadap obyek sengketa.22

Putusan (vonnis) yang merupakan produk Pengadilan Agama, memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu atau untuk

melepaskan sesuatu. Perintah dari pengadilan ini jika tidak diikuti dengan suka rela, maka

dapat diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa (eksekusi). Apabila salah satu pihak

merasa belum mendapatkan keadilan atas putusan yang diterimanya, maka ia dapat

mengajukan upaya hukum biasa melalui banding pada Pengadilan Tinggi Agama,

21 Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan lebih memenuhi rasa keadilan (Konsiderans PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia).

22 Rilda Murniati, “Relevansi Dan Kekuatan Hukum Akta Perdamaian Dalam Penyelesaian

(10)

maupun Kasasi pada Mahkamah Agung, dan upaya hukum luar biasa apabila ditemukan

bukti baru (novum) melalui Peninjauan Kembali (PK) pada Mahkamah Agung. Semua upaya hukum tersebut diajukan melalui Pengadilan Agama yang memutus perkara.

B. Penyederhanaan Mekanisme Peradilan Dengan Small Claim Court

Hukum acara perdata yang merupakan peninggalan masa Pemerintahan Hindia

Belanda memiliki banyak kelemahan dan dalam beberapa hal tertinggal dari

perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan yang sangat cepat. Sehingga dalam

kenyataannya menimbulkan beberapa persoalan dalam masyarakat. Salah satu masalah

yang sering dihadapi oleh para pencari keadilan adalah proses eksekusi terhadap putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang terkadang dalam eksekusinya

memerlukan waktu cukup lama, sehingga tidak dapat menampung aspirasi masyarakat

yang menghendaki penyelesaian secara cepat, karena semakin lama berarti kerugian yang

ditimbulkan semakin besar.

Menurut Yahya Harahap lamanya penyelesaian perkara pada umumnya

diakibatkan proses pemeriksaan sangat formalistik dan sangat teknis sekali. Selain itu,

arus perkara semakin deras sehingga pengadilan dijejali dengan beban yang terlampau

banyak.23 Kenyataan tersebut menjadi faktor yang paling utama penyebab turunnya

kepercayaan masyarakat kepada institusi pengadilan yang disebabkan oleh sistem

peradilan yang terlalu formalitas dan teknis. Akibatnya penyelesaian perkara menjadi

terbengkalai dan memakan waktu yang sangat panjang.

Asas-asas yang berlaku dalam bidang Hukum Acara Perdata telah diperkenalkan

oleh van Boneval Faure pada tahun 1873 dalam bukunya Het Nederlandse Burgerlijke Procesrecht. Sejak tahun 1970-an dikenal istilah Asas-asas Umum Peradilan yang Baik (Algemene beginselen van beheerlijkrechtspraak) atau Asas-asas Hukum Acara yang Baik (Algemene beginsele behoorlijk procesrecht).24 Tahun 1993 Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan berupa SEMA Nomor 6 Tahun 1993 jo KMA Nomor

MA/007/SK/IV/1994 yang pada intinya, Pengadilan diharapkan dalam waktu maksimal

6 (enam) bulan setiap perkara perdata telah diputus.

23 M Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama; Undang-Undang No.

7 Tahun 1989 (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997).

(11)

Selain itu, Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mensyaratkan adanya asas penting dalam Hukum

Acara Perdata yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sederhana adalah pemeriksaan

dan penyelesaian perkara dilakukan dengan caraefisien dan efektif. Sedangkan biaya

ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat, namun demikian asas

sederhana, cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak

mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Sementara itu, masyarakat para pencari keadilan sudah lama menghendaki agar

pengadilan mampu menyelesaikan sengketa yang cepat dan tidak formalistik. Pada

kenyataannya, masyarakat atau para pencari keadilan tersebut, sering mengeluhkan

berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan proses beracara di pengadilan (khususnya

proses beracara perdata) yang cenderung lama dan berbelit-belit, sehingga sangat

merugikan para pencari keadilan, baik ditinjau dari sisi waktu, biaya, pelayanan pihak

pengadilan, maupun dari sisi putusan pengadilan itu sendiri.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019,

mengamanatkan reformasi system hukum perdata yang mudah dan cepat untuk mengatur

permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi melalui penyelesaian sengketa acara cepat,

atau lazim disebut small claim court (SCC). Mekanisme small claim court sendiri merupakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi secara

sederhana dan cepat yang berbeda dengan penerapan mekanisme beracara di pengadilan

pada umumnya. Walhasil, mekanisme ini nantinya dapat melahirkan sebuah putusan

pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak untuk dapat

dilakukan upaya eksekusi. Small Claim Court pertama kali digagas oleh Pengadilan

Cleveland pada tahun 1913 yang bertujuan untuk menciptakan dan menegakkan keadilan

bagi seluruh lapisan masyarakat dengan proses yang cepat dan berbiaya ringan.25

Penyelesaian gugatan sederhana merupakan langkah baru dalam penyederhanaan

mekanisme dan prosedur penyelesaian perkara perdata yang diatur melalui Perma No. 2

Tahun 2015. Penyederhanaan tersebut bertujuan untuk menyediakan jasa dan

infrastruktur bagi pencari keadilan agar dapat menyelesaikan perkara perdata di

lingkungan peradilan umum secara cepat, sederhana, dan biaya ringan untuk perkara

(12)

perdata yang sifatnya sederhana. Jangka waktu penyelesaian perkara ini maksimal 25 hari

harus sudah diputuskan. Putusannya pun bersifat final dan mengikat di tingkat pertama

setelah diajukan keberatan yang diputus majelis hakim.

Perma No.2 Tahun 2015 mendefinisikan gugatan sederhana sebagai tata cara

pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling

banyak Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah), yang diselesaikan dengan tata cara dan

pembuktian yang sederhana. Gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh pengadilan

dalam lingkup kewenangan peradilan umum, terhadap perkara cidera janji dan atau

perbuatan melawan hukum (PMH). Sedangkan yang tidak termasuk dalam gugatan

sederhana adalah: a) perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui

pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan; atau b)

sengketa hak atas tanah.

Selain itu, Pasal 4 Perma No. 2 Tahun 2015 juga menentukan persyaratan untuk

mengajukan gugatan sederhana. Perkara dapat diselesaikan melalui gugatan sederhana

apabila telah memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan itu merupakan kriteria untuk

menentukan masuk atau tidaknya sebuah perkara pada mekanisme gugatan sederhana,

antara lain:

a. Penggugat adalah orang perseorangan atau badan hukum;

b. Adanya hubungan hukum yang menjadi dasar sengketa dengan pihak tergugat; c. Tergugat berada dalam domisili atau bertempat tinggal di wilayah hukum yang

sama;

d. Sengketa tersebut tidak berkaitan dengan hak atas tanah ataupun perkara lain yang diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan, seperti persaingan usaha sengketa konsumen dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

e. Nilai gugatan yang diajukan atas kerugian tersebut paling banyak Rp 200.000.000.

Jika keseluruhan persyaratan tersebut dipenuhi, maka perkara perdata yang

diajukan ke pengadilan akan diselesaikan melalui penyelesaian gugatan sederhana.

Sebaliknya, apabila ada persyaratan yang tidak terpenuhi, maka gugatan dikembalikan

kepada penggugat. Besaran panjar biaya perkara ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri

setempat. Panjar biaya tersebut dibayar oleh penggugat, sedangkan biaya perkara

(13)

Pengadilan akan memenangkan suatu gugatan berdasarkan sepenuhnya pada

alasan atau dalil dan kekuatan bukti-bukti yang ada. Pengadilan akan memutus bahwa

pihak yang kalah harus membayar biaya perkara dan melaksanakan perintah pengadilan

sesuai dengan isi amar putusan hakim, diantaranya, seperti membayar sejumlah uang

memenuhi perjanjian atau menyerahkan suatu barang. Pihak yang kalah dapat

melaksanakan putusan secara sukarela, apabila tidak melaksanakan putusan secara

sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan

(eksekusi) kepada ketua pengadilan.

Secara garis besar, prosedur gugatan sederhana adalah sebagai berikut:

1. Setelah gugatan didaftarkan, penggugat menunggu panggilan dari pengadilan. Petugas pengadilan akan mencatat gugatan dalam buku register khusus gugatan sederhana. Setelah dicatatkan, berkas akan diserahkan kepada ketua pengadilan; 2. Ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara

yang diajukan. Panggilan dilakukan oleh jurusita ke alamat yang tertera di dalam formulir gugatan. Pemberitahuan terkait informasi sidang dapat juga dilakukan melalui pesan teks (SMS) ataupun surat elektronik (Email) yang dicantumkan dalam formulir gugatan.

3. Hakim yang ditunjuk akan melakukan pemeriksaan atas perkara. Apabila hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, maka hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara setelah dipotong biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pengadilan, di antaranya biaya panggilan dan biaya-biaya lainnya yang sudah dikeluarkan. 4. Jika gugatan dinyatakan bukan gugatan sederhana, penggugat dapat mengajukan

gugatan ke dalam gugatan biasa.

5. Apabila hakim berpendapat bahwa gugatan yang diajukan penggugat adalah gugatan sederhana, maka hakim menetapkan hari sidang pertama. Baik penggugat maupun tergugat akan dipanggil oleh pengadilan untuk hadir pada sidang pertama.

C. Probabilitas Penerapan Small Claim Court Dalam Menyelesaikan Perkara

Waris

Keberadaan small claim court sejatinya adalah sarana untuk mengakomodir dua model penyelesaian sengketa, yaitu penyelesaian melalui jalur non-litigasi dan jalur

litigasi. Masing-masing dari model tersebut terdapat perbedaan mendasar dimana jalur

non-litigasi hanya menghasilkan suatu keputusan yang tidak memiliki kekuatan mengikat

para pihak sehingga rentan terjadi sengketa lain di kemudian hari. Sementara jalur litigasi

mengharuskan para pihak untuk menyiapkan waktu, tenaga serta materi yang tidak sedikit

sehingga membuat sebagian masyarakat mengambil langkah mundur daripada harus

(14)

Mekanisme small claim court menempuh jalur pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, tetapi mekanisme beracara yang diambil lebih sederhana sehingga tidak

memakan waktu lama. Dan mengingat bahwa jalur pengadilan yang ditempuh, maka

mekanisme small claim court juga menghasilkan putusan pengadilan yang bersifat mengikat dan berkekuatan hukum yang sama dengan putusan-putusan pengadilan pada

umumnya.

Namun demikian, konsep small claim court yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung pada dasarnya hanya terbatas dalam penyelesaian sengketa ekonomi di lingkungan

peradilan umum saja. Tetapi jika dilihat dari muatan unsur-unsur yang dipersyaratkan

dalam Perma No. 2 Tahun 2015 terlihat bahwa mekanisme ini dipandang dapat

diimplementasikan dalam penyelesaian perkara lain di luar sengketa ekonomi, seperti

salah satunya adalah sengketa waris di Pengadilan Agama.

Perlu difahami, bahwa proses penyederhanaan penyelesaian sengketa di

Pengadilan Agama menjadi sebuah keharusan mengingat kebutuhan masyarakat pencari

keadilan di Indonesia akan proses persidangan yang sederhana. Proses penyederhanaan

tersebut adalah berawal dari metode pengklasifikasian perkara yang masuk dilihat dari

besar kecilnya nilai perkara serta tingkat kerumitannya. Hal ini lah yang akan menjadikan

proses pemeriksaan perkara relatif lebih singkat (sederhana) sehingga berdampak kepada

biaya yang tidak terlalu besar. Keberhasilan dalam menekan biaya beracara di pengadilan

pada akhirnya menjadikan tujuan daripada mekanisme small claim court tetap dapat terwujud dalam menyelesaikan perkara waris di Pengadilan Agama.

Proses penyederhanaan penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama nampaknya

sejalan dengan Perma No. 2 Tahun 2015. Meskipun pasal 2 menyebutkan bahwa gugatan

sederhana diperiksa dan diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum, akan

tetapi sejatinya mekanisme penyederhanaan juga dibutuhkan di Pengadilan Agama

khususnya perkara waris. Ketentuan yang menyebutkan bahwa mekanisme penyelesaian

sengketa sederhana hanya dapat dilakukan di lingkungan peradilan umum saja

menunjukkan bahwa ketentuan Perma No. 2 Tahun 2015 sangat bersifat limitatif serta

ketidaksempurnaan suatu norma hukum dimana seharusnya ketentuan tersebut dapat

berlaku secara luas termasuk peradilan agama mengingat akan hajat masyarakat yang

menginginkan penyelesaian perkara waris khususnya dapat diselesaikan secara singkat

(15)

Hadirnya Perma No. 2 Tahun 2015 sejatinya berkedudukan sebagai pintu masuk

(entrance) bagi Pengadilan Agama untuk merekonstruksi hukum acaranya dalam penyelesaian perkara waris. Ini tentu bernilai positif sebagai bagian dari proses

pembaharuan hukum acara peradilan agama di Indonesia. Sistem yang diterapkan dalam

penyelesaian perkara waris dimulai dari proses pendaftaran perkara. Perkara waris yang

masuk hendaknya dipilah dan dikategorisasikan ke dalam dua jenis, yaitu peradilan biasa

dan peradilan sederhana yang akan diperiksa oleh hakim tunggal. Perkara waris yang

masuk ke dalam peradilan sederhana harus sesuai dan memenuhi unsur-unsur perkara

sederhana yang dimaksud, seperti nilai gugatan kecil yang batas maksimalnya adalah Rp.

200.000.000,00 (dua ratus juta), dan perkara yang masuk tidak melibatkan pihak lain atau

subjek hukum lain yang beragama non Islam.

Perkara waris yang masuk nantinya akan dilihat dari segi nilai gugatannya.

Umumnya, perkara waris berkaitan dengan harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris

yang pada saat pembagiannya menimbulkan sengketa diantara para ahli waris. Harta

waris dengan nilai kecil (dibawah dua ratus juta) tentu lebih mudah penghitungannya oleh

hakim mengingat bahwa hukum kewarisan Islam harus berlandaskan kepada

bagian-bagian yang telah ditetapkan (furudh muqaddarah) dalam Alquran. Di samping itu, subjek hukum yang terlibat dengan perkara harus beragama Islam, ini mengingat bahwa

perkara waris yang berhubungan dengan subjek hukum beragama non-Islam dinyatakan

bukan menjadi kewenangan absolut dari Pengadilan agama dan akan dialihkan

penyelesaiannya ke peradilan umum.

Penerapan mekanisme small claim court dalam menyelesaikan perkara waris akan menjadi model baru dalam hukum acara peradilan agama. Hakim tunggal akan

memeriksa, menyelesaikan dan memutus perkara waris secara cepat dan proses yang

sederhana dengan tetap menghasilkan putusan yang berkeadilan bagi semua pihak.

Walhasil, keuntungan penyelesaian perkara waris melalui mekanisme sederhana akan

meringkas durasi waktu yang ditempuh karena diperiksa oleh hakim tunggal dan tentunya

akan menghemat biaya yang dikeluarkan karena proses pemeriksaan yang sederhana.

III. PENUTUP

Sesuai dengan Perma No.2 Tahun 2015 gugatan sederhana didefiniskan sebagai

tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan

(16)

tata cara dan pembuktian yang sederhana. Lebih lanjut, ketentuan tersebut menyebutkan

bahwa gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh pengadilan dalam lingkup

kewenangan peradilan umum yang nantinya akan diperiksa oleh hakim tunggal.

Ketentuan Perma No. 2 tahun 2015 ini menjadi celah masuknya Pengadilan

Agama sebagai upaya pembaharuan hukum acara peradilan agama serta upaya

rekonstruksi hukum acara yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa waris. Penerapan

mekanisme small claim court dalam menangani perkara waris dengan nilai gugatan kecil dipandang memungkinkan untuk diterapkan dengan terlebih dahulu perkara yang masuk

harus dipilah dan dikategorisasi kedalam dua jenis, yaitu gugatan biasa dan gugatan

sederhana. Dengan demikian, proses beracara di Pengadilan Agama menjadi relatif lebih

singkat dan sederhana yang sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat dan sederhana.

Konsep rekonstruksi hukum acara peradilan agama yang ditawarkan ini

hendaknya menjadi masukan dan acuan bagi otoritas yang berwenang dalam mengkaji

kembali persoalan mekanisme persidangan di tanah air yang sesuai dengan kebutuhan

masyarakat. Dengan begitu, proses persidangan di Pengadilan Agama dapat berjalan

sesuai dengan hajat masyarakat luas dengan tidak menafikan rambu-rambu serta

prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan melalui ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Bagi institusi Pengadilan Agama sendiri hendaknya terus melakukan inovasi dan

pembaharuan demi menjawab tuntutan dan kebutuhan masyarakat dengan terus

meningkatkan kualitasnya secara institusi maupun hakim-hakim yang bernaung di

dalamnya dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya dalam

(17)

IV. DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abbas, Syahrizal. Mediasi. Jakarta: Kencana, 2010.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.

Harahap, M Yahya. Kedudukan, Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama; Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.

Oemarsalim. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Reksodiputro, Mardjono. Hukum Pidana. Jakarta: Alumni, 2018.

Setiawan. Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, 1992.

Sunaryo Sidik. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press, 2005.

Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. 4th ed. Jakarta: Kencana, 2004.

Usman, Rachmadi. Pilihan Sengketa Di Luar Pengadilan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.

Artikel Jurnal

Budi, Anang Setio, Thohir Luth, A Rachmad Budiono, and Gatot Dwi Hendro W. “The Existence of Islamic Legal Compilation in Islamic Inheritance Law Context As Material Law on Religious Courts.” International Journal of Education and Research 1, no. 12 (2013): 1–10.

Bustamar. “Small Claim Court Dalam Sistem Peradilan Perdata Di Indonesia Dan Peluang Penerapannya Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pada Peradilan Agama.” Al-Hurriyah : Jurnal Hukum Islam 01, no. 01 (2016): 94–108. Djohan, Meita. “Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Mediasi Sebagai Upaya

Perdamaian.” Keadilan Progresif 8, no. 1 (2017): 68–83.

Fakhriah, Efa Laela. “Mekanisme Small Claims Court Dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan Sederhana, Cepat, Dan Biaya Ringan.” Mimbar Hukum 25, no. 2 (2013): 258–270.

Gofar, A. “Mengkaji Ulang Hukum Acara Perceraian Di Pengadilan Agama.” Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, no. November (2012): 105–124.

Manan, Abdul. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama.” Jurnal Hukum dan Peradilan 2, no. 2 (2013): 189–202. Murniati, Rilda. “Relevansi Dan Kekuatan Hukum Akta Perdamaian Dalam Penyelesaian

(18)

Prasetyo, Teguh. “Membangun Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila.” Jurnal Hukum dan Peradilan 3, no. 3 (2014): 213–222.

Rahmatullah. “Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Perkara Waris.” Jurnal Ilmiah Abdil Ilmu 4, no. 1 (2011): 126–133.

Rohman, Adi Nur. “Riddah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia.” Jurnal Hukum Prioris 6, no. 2 (2017): 149–165.

Saifullah, Muhammad. “Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Jawa Tengah.” Al-Ahkam 25, no. 2 (2015): 181–204.

Supriyatni, Renny, and Andi Fariana. “Model Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Yang Efektif Dikaitkan Dengan Kompetensi Di Peradilan Agama Dalam Rangka Pertumbuhan Ekonomi Nasional.” Jurnal Jurisprudence 7, no. 1 (2017): 68–79.

Undang-Undang

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Republik Indonesia, Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Ada hubungan antara jumlah kehadiran anggota Persatuan Diabetes Indonesia RSU Banyumas dengan perilaku promosi kesehatan komponen pemahaman manfaat dan

It involves the temporary displacement of people to other region, country, for the satisfaction of varied needs other than exciting a renumareted function.” Terjemah :

Tujuan dari penelitian ini adalah menghasilkan rancangan pengendalian persediaan bahan baku yang optimal, dengan menentukan jumlah pemesanan yang optimal, dan frekuensi

bahwa dengan pertimbangan huruf a, perlu ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat tentang Pengaturan Lalu Lintas dan Pengaturan Angkutan

Luas layak untuk permukiman dibandingkan dengan proyeksi kebutuhan lahan dapat menunjukkan kemampuan lahan suatu wilayah berdasarkan nilai Daya Dukung Lahan

In contrast, on another game I was hired not only to create the world bible and biogra- phies, but I also had to come up with the backstory, game story, overall quest, the

Penelitian ini merupakan upaya untuk meningkatan hasil belajar IPA pokok bahasan cahaya dan sifat-sifatnya melalui model pembelajaran VAK yang diterapkan pada siswa kelas