PROBABILITY OF SMALL CLAIM COURT MECHANISM IN
RESOLVING INHERITANCE DISPUTES IN RELIGIOUS COURT
ADI NUR ROHMAN
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Jl. Darmawangsa 1 No. 1 Pulo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12140 Email: adi.nur@dsn.ubharajaya.ac.id
SUGENG
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Jl. Darmawangsa 1 No. 1 Pulo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12140 Email: sugeng@dsn.ubharajaya.ac.id
Diterima : 26/08/2018 Revisi : 05/12/2018 Disetujui : 05/12/2018 DOI : 10.25216/JHP.7.3.2018.387-404
ABSTRAK
Hukum acara formil yang berlaku di Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa waris relatif memakan waktu yang cukup lama. Hal ini mengakibatkan waktu serta biaya yang dikeluarkan menjadi lebih besar. Mekanisme small claim court yang diatur oleh Mahkamah Agung melalui PERMA No. 2 tahun 2015 tentang tata cara penyelesaian sengketa sederhana dalam sistem peradilan umum menjadi titik terang. Konsep small claim court tersebut diharapkan dapat diaplikasikan dalam sistem peradilan agama sehingga mampu memangkas waktu yang lama dalam penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama. Penelitian ini bertujuan untuk menawarkan terobosan baru dalam sistem peradilan agama di Indonesia khususnya terkait penyelesaian sengketa waris. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual dengan menggunakan studi kepustakaan sebagai alat analisis bahan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama dengan konsep small claim court dipandang mungkin untuk diimplementasikan sebagai bagian dari pembaharuan hukum acara peradilan agama. Namun demikian, hal itu perlu diiringi dengan pengklasifikasian perkara waris ke dalam perkara besar dan kecil dilihat dari nilai harta warisan yang disengketakan. Oleh karenanya, perluasan pengaturan mekanisme small claim court ke dalam sistem peradilan agama menjadi penting guna memangkas mekanisme penyelesaian perkara yang terlalu lama.
ABSTRAK
The formal procedural law that applies in the Religious Courts in resolving inheritance disputes takes a relatively long time. This results in greater time and costs. The small claim court mechanism regulated by the Supreme Court through Supreme Court Regulation No. 2 of 2015 concerning the procedure for resolving simple disputes in the general justice system to become a bright spot. The concept of small claim court is expected to be applied in the religious justice system so that it can cut down the long time in resolving inheritance disputes in the Religious Courts. This study aims to offer a new breakthrough in the system of religious justice in Indonesia, especially in relation to the resolving of inheritance disputes. This research is a normative juridical research with a law and conceptual approach by using literature study as a legal material analysis tool. The results showed that the resolving of dispute of inheritance in the Religious Court with the small claim court concept was considered possible to be implemented as part of the renewal of the religious court procedural law. However, this needs to be accompanied by the classification of inheritance cases into large and small cases seen from the value of the disputed inheritance. Therefore, the expansion of the small claim court mechanism into the religious justice system is deemed necessary in order to reduce the mechanism for resolving cases that are too long.
Keywords: probability; small claim court; inheritance;
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkara waris sangat erat kaitannya dengan dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, sebab setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yaitu kematian yang
mengakibatkan munculnya permasalahan tentang penyelesaian hak dan kewajiban.
Permasalahan tersebut menyangkut pembagian harta benda yang ditinggalkan si pewaris
kepada ahli waris yang masih hidup Terkait hal itu, banyak cara yang ditempuh oleh
masyarakat dalam hal pembagian harta warisan tersebut mengingat bahwa hukum
nasional memiliki tiga sistem hukum yang berlaku secara positif dalam hal kewarisan,
yaitu; hukum Adat, hukum Islam dan hukum Barat.1 Ketiga sistem hukum tersebut
berlaku sama di Indonesia mengingat bahwa Indonesia berlandaskan demokrasi Pancasila
dengan berbagai agama di dalamnya2, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia
masih memberlakukan pluralisme hukum dalam sistem hukumnya yang dapat kita lihat
1 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991).
2Adi Nur Rohman, “Riddah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia,” Jurnal
dari beberapa sistem hukum yang berlaku.3 Pemberlakuan beberapa sistem hukum
tersebut dapat ditemui dalam beberapa aspek hukum termasuk dalam hal kewarisan.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan
dan merupakan bagian terkecil dari hukum keluarga.4 Oemarsalim berpendapat bahwa
warisan adalah suatu cara penyelesaian perhubungan-perhubungan hukum dalam
masyarakat, yang melahirkan sedikit banyaknya kesulitan akibat meninggalnya
seseorang.5 Objek kewarisan berupa harta benda yang dalam pembagiannya cenderung
melahirkan persoalan akibat ketidakpuasan bagi sebagian ahli waris disamping karena
ketidaktahuannya terkait bagian-bagian yang diatur dalam Islam juga akibat keserakahan
dan rasa egois.6 Oleh sebab itu, hukum waris hadir untuk mengurai
permasalahan-permasalahan yang kerap muncul akibat sengketa atau perselisihan keluarga menyangkut
penguasaan harta warisan dan tak jarang penyelesaian sengketa waris berujung di
Pengadilan Agama bagi ahli waris yang beragama Islam mengingat bahwa hukum Islam
menjadi sebuah keharusan bagi Pengadilan Agama dalam memutus suatu perkara.7
Peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman, hal mana
memiliki kompetensi relatif maupun kompetensi absolut. Kewenangan relatif berkaitan
dengan wilayah yurisdiksi pengadilan, sedangkan kompetensi absolut merupakan
kewenangan peradilan agama dalam materi hukum, seperti sengketa pada wakaf, baik
tingkat pertama, banding maupun kasasi.8 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang telah diubah dengan perubahan pertama dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009, dalam undang-undang tersebut di dalamnya membahas tentang kompetensi absolut
berkaitan dengan Penyelesaian perkara sengketa waris (Ps. 49 ayat [1] huruf b UU
Peradilan Agama).9
3 Teguh Prasetyo, “Membangun Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila,” Jurnal Hukum dan
Peradilan 3, no. 3 (2014): 213–222.
4 Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia.
5 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1991). 6 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, 4th ed. (Jakarta: Kencana, 2004).
7Anang Setio Budi et al., “The Existence of Islamic Legal Compilation in Islamic Inheritance Law
Context As Material Law on Religious Courts,” International Journal of Education and Research 1, no. 12 (2013): 1–10.
8 A Gofar, “Mengkaji Ulang Hukum Acara Perceraian Di Pengadilan Agama,” Wacana Hukum
Islam dan Kemanusiaan, November (2012): 105–124.
9 Abdul Manan, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan
Apabila terjadi perkara atau sengketa yang berhubungan dengan waris, baik yang
terjadi antar sesama ahli waris atau di luar dari ahli waris dapat diselesaikan melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat, dan apabila penyelesaian sengketa melalui
musyawarah untuk mencapai mufakat tidak berhasil, sengketa dapat diselesaikan melalui
mediasi, arbitrase, atau pengadilan.10 Namun demikian, penyelesaian perkara waris di
Pengadilan Agama kerap memakan waktu yang relatif lama, hal ini disebabkan oleh
penerapan sistem peradilan berjenjang berawal dari pengadilan tingkat pertama, tingkat
banding dan Mahkamah Agung. Penerapan proses peradilan berjenjang seperti ini tentu
akan berimbas kepada lamanya mekanisme penyelesaian sengketa waris melalui jalur
litigasi (pengadilan).
Salah satu asas yang dipedomani dalam mekanisme peradilan adalah prinsip
pengadilan yang dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan. Prinsip-prinsip
tersebut diupayakan untuk diaplikasikan dalam seluruh sistem peradilan perdata, terutama
dalam sistem perdata.11 Prinsip sederhana diartikan sebagai pemeriksaan dan
penyelesaian perkara yang dilakukan dengan cara efisien dan efektif.12 Selanjutnya,
prinsip cepat harus dimaknai sebagai upaya strategis untuk menjadikan sistem peradilan
sebagai institusi yang dapat menjamin terwujudnya atau tercapainya keadilan dalam
penegakan hukum secara cepat oleh masyarakat pencari keadilan sehingga tidak harus
menunggu dalam jangka waktu yang lama untuk memperoleh keadilan dan kepastian
hukum.13
Proses penyelesaian sengketa secara sederhana di beberapa negara terkait perkara
perdata dengan nilai objek sengketa yang tergolong kecil dapat ditempuh melalui
mekanisme small claim court. Small claim court merupakan sebuah mekanisme
penyelesaian sengketa dalam lingkup perdata dengan nilai klaim yang tergolong kecil
secara cepat, sederhana dan biaya murah dengan putusan yang memiliki kekuatan hukum
mengikat, sehingga konsep ini dirasa mampu mengurangi beban penumpukan perkara di
10Rahmatullah, “Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Perkara Waris,”
Jurnal Ilmiah Abdil Ilmu 4, no. 1 (2011): 126–133.
11 Bustamar, “Small Claim Court Dalam Sistem Peradilan Perdata Di Indonesia Dan Peluang
Penerapannya Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pada Peradilan Agama,” Al-Hurriyah : Jurnal Hukum Islam 01, no. 01 (2016): 94–108.
pengadilan dan juga memangkas proses beracara.14 Sejalan dengan itu, Mahkamah Agung
melalui Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian
Sengketa Sederhana (selanjutnya disebut Perma No. 2 tahun 2015) mengatur tentang
mekanisme penyelesaian sengketa secara sederhana guna memudahkan masyarakat untuk
mencapai keadilan (access to justice) dengan mengedepankan pemulihan keadaan semula
(restorative justice). Penerapan mekanisme small claim court dengan demikian dapat berlaku secara positif dalam sistem hukum peradilan di Indonesia. Hal ini kemudian
menjadi sebuah pemikiran baru dalam hal rekonstruksi hukum acara peradilan agama
dalam menyelesaikan sengketa waris melalui mekanisme small claim court.
Penelitian ini menitkberatkan kepada hukum acara yang berlaku di Pengadilan
Agama dalam menyelesaikan perkara waris. Hal ini didasarkan atas prosedur
penyelesaian perkara waris yang relatif lama sehingga dirasa perlu dilakukan upaya
rekonstruksi guna memangkas waktu yang lama namun tetap menghasilkan putusan yang
baik hingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Mekanisme small claim court
yang lebih dahulu digulirkan dalam menyelesaikan sengketa bisnis menjadi menarik
untuk dikaji dalam hal penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama. Hal ini akan
menjadi konsep baru yang akan ditawarkan terhadap pembaharuan dan reformulasi
hukum acara di Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara waris.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, kiranya dapat dirumuskan beberapa
pertanyaan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep small claim court dalam penyelesaian perkara menurut Perma No. 2 tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Sederhana?
2. Bagaimanakah probabilitas penerapan small claim court dalam penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama?
C. Metode Penelitian
Teori rekonstruksi menjadi dasar analisis yang digunakan untuk mengkaji
mekanisme small claim court dalam penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Penelitian secara yuridis normatif akan
14Efa Laela Fakhriah, “Mekanisme Small Claims Court Dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan
diarahkan kepada Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2015 tentang Penyelesaian
Sengketa Secara Sederhana dan Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Penelusuran dan kajian kepustakaan dilakukan untuk menggali lebih dalam
tentang penyelesaian sengketa waris di Pengadilan Agama yang terdiri dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil kajian terhadap bahan
hukum tersebut akan dideskripsikan dan dianalisis secara kualitatif sehingga
menghasilkan pemahaman yang komprehensif dan utuh.
II. PEMBAHASAN
A. Penyelesaian Sengketa Waris di Pengadilan Agama
Peradilan Agama merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 49 ayat
(1) Undang-Undang Peradilan Agama menegaskan bahwa Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: 1) Perkawinan; 2) Waris; 3) Wasiat;
4) Hibah; 5); Wakaf; 6) Zakat; 7) Infaq; 8) Shadaqah; dan 9) Ekonomi Syariah.15
Dalam melaksanakan tugas penegakkan hukum dan keadilan, Pengadilan Agama
mendasarkan pada Hukum Acara Perdata pada Peradilan Umum, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 54 Undang-Undang Peradilan Agama (selanjutnya disebut
UUPA):
“Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.”
Hukum acara atau hukum formal merupakan hukum yang mengedepankan pada
kebenaran prosedural, yang dibuat dalam aturan-aturan hukum tersendiri di luar hukum
materil, untuk memastikan dan menjamin ditaatinya norma-norma hukum materil
sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 54 sampai dengan Pasal 91 UUPA. Dalam
memeriksa dan memutus perkara, hakim harus berpedoman pada asas-asas Hukum
Peradilan Agama, yang meliputi: asas personalitas keislaman; asas kebebasan; asas tidak
boleh menolak perkara; asas hakim wajib mendamaikan; asas sederhana, cepat, dan
berbiaya ringan; asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak; dan asas
persidangan terbuka untuk umum.16 Secara garis besar, penyelesaian sengketa waris bisa
dilakukan melalui dua jalur baik melalui jalur non-litigasi maupun jalur litigasi
(persidangan).
1. Jalur Non-Litigasi
Dalam hukum acara Peradilan Agama sengketa waris diatur penyelesaiannya oleh UUPA pada Pasal 56 ayat (2) yakni: “Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai”. Pada intinya, pasal ini menegaskan bahwa Pengadilan Agama dalam menyelesaikan suatu perkara
harus melalui upaya damai (mediasi) atau melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).
Penyelesaian sengketa non-litigasi dapat dilakukan di dalam maupun di luar
pengadilan yang antara lain dapat berupa perdamaian, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan
lainnya. Lembaga APS non-litigasi yang sering digunakan dalam berbagai penanganan
jenis sengketa perdata adalah mediasi. Dalam sistem hukum acara di Indonesia, pranata
perdamaian di pengadilan disebut dading.17 Secara formal, pedoman hakim untuk mengarahkan penyelesaian sengketa melalu dading diatur dalam Pasal 130 HIR. Para pihak yang terlibat dalam sengketa dalam membuat kesepakatan perdamaian mengacu
pada Pasal 1831 KUH Perdata.
Mediasi adalah salah satu jalan penyelesaian sengketa yang menempatkan kedua
belah pihak dalam posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenangkan ataupun
dikalahkan (win-win solution).18 Prosedur mediasi di pengadilan menjadi bagian hukum
acara perdata yang dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan
dalam penyelesaian sengketa. Mediasi bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antara
para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Mediasi dapat
mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen dan
lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan kedua belah
16 Mardjono Reksodiputro, Hukum Pidana (Jakarta: Alumni, 2018).
17Meita Djohan, “Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Mediasi Sebagai Upaya Perdamaian,”
Keadilan Progresif 8, no. 1 (2017): 68–83.
pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenanggkan atau pihak yang
dikalahkan. Dalam mediasi para pihak yang bersengketa pro-aktif dan berwenang penuh
dalam pengambilan keputusan. Mediator tidak mempunyai kewenangan dalam
mengambil keputusan, ia hanya membantu para pihak dalam menjaga proses mediasi
guna mewujudkan kesepakatan damai mereka.19
Pada setiap sengketa waris di Pengadilan Agama terlebih dahulu hakim
melakukan mediasi kepada para pihak karena hal ini merupakan kewajiban yang harus
dilakukan hakim sebelum memerikasa gugatan sengketa waris. Mediasi dapat dilakukan
di luar pengadilan dengan menjadikan orang selain hakim sebagai pihak ketiga. Dalam
praktiknya, proses penyelesaian sengketa melalui mediasi memang sulit dilakukan,
namun bukan berarti tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Sesuai ketentuan Pasal
5 Perma No. 1 Tahun 2016 bahwa proses mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali
para pihak menghendaki lain.
Bila direnungkan lebih dalam, hasil kesepakatan yang diperoleh melalui mediasi
sejatinya jauh lebih baik bila dibandingkan dengan para pihak yang terus menerus berada
dalam persengketaan yang tidak pernah selesai, meskipun kesepakatan tersebut tidak
seluruhnya mengakomodasikan keinginan dan kepentingan para pihak.
2. Jalur Litigasi
Sengketa dan konflik merupakan situasi atau kondisi adanya pertentangan atau
ketidaksesuaian antara para pihak yang akan dan sedang mengadakan hubungan kerja
sama. Pada umumnya konflik akan terjadi di mana saja sepanjang terjadi interaksi atau
hubungan antara sesama manusia.20 Kaidah hukum yang digunakan untuk menegakkan
hak dan kewajiban keperdataan melalui presedur ajudikasi adalah hukum acara perdata
(Reglement op de Rechsvordering) yang menentukan dan mengatur tentang bagaimana melaksanakan hak-hak dam kewajiban perdata.
Salah satu badan pelaksana dalam menyelesaikan perkara waris bagi orang Islam
adalah Pengadilan Agama. Hukum acara peradilan agama dilaksanakan untuk
menemukan kebenaran dan keadilan bagi para pihak dengan cara mengajukan
19 Muhammad Saifullah, “Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Jawa Tengah,” Al-Ahkam 25, no. 2 (2015): 181–204.
permohonan atau gugatan perkara ke Pendadilan Agama baik secara langsung (in person) atau melalui kuasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR.
Pada dasarnya, hakim di Pengadilan Agama bersikap pasif, artinya hakim tidak
mencari-cari perkara kewarisan atau perkara lain di masyarakat, melainkan hanya
menunggu perkara yang masuk lalu diperiksa, kemudian dilakukan mediasi atau diputus
melalui pengadilan sesuai hukum acara yang berlaku.21 Prinsip musyawarah untuk
mencapai perdamaian lebih utama dalam penyelesaian perkara perdata.
Jika perdamaian melalui mediasi tidak tercapai, mediator wajib menyatakan
mediasi tidak berhasil mencapai kesepakatan dan memberitahukannya secara tertulis
kepada hakim pemeriksa perkara. Dengan demikian, sidang perkara dilanjutkan, sesuai
dengan ketentun hukum acara perdata yang meliputi: (a) tahap pembacaan gugatan
(termasuk jawaban, replik, duplik); (b) tahap pembuktian, untuk membuktikan suatu
peristiwa yang disengketakan; (c) pengajuan kesimpulan oleh para pihak; dan terakhir (d)
tahap putusan.
Dalam setiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim diwajibkan untuk memberikan
nasihat kepada para pihak. Jika para pihak sepakat untuk berdamai di tengah-tengah
pemeriksaan pokok perkara, maka untuk memperkuat kesepakatan tersebut dibuatlah akta
perdamaian (van dading), yang memuat kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut dan bersifat eksekutorial. Artinya, jika
salah satu pihak mengingkari isi akta perdamaian tersebut, maka pengadilan dapat
melakukan eksekusi terhadap obyek sengketa.22
Putusan (vonnis) yang merupakan produk Pengadilan Agama, memuat perintah dari pengadilan kepada pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu atau untuk
melepaskan sesuatu. Perintah dari pengadilan ini jika tidak diikuti dengan suka rela, maka
dapat diperintahkan untuk dilaksanakan secara paksa (eksekusi). Apabila salah satu pihak
merasa belum mendapatkan keadilan atas putusan yang diterimanya, maka ia dapat
mengajukan upaya hukum biasa melalui banding pada Pengadilan Tinggi Agama,
21 Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk menemukan penyelesaian yang memuaskan dan lebih memenuhi rasa keadilan (Konsiderans PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia).
22 Rilda Murniati, “Relevansi Dan Kekuatan Hukum Akta Perdamaian Dalam Penyelesaian
maupun Kasasi pada Mahkamah Agung, dan upaya hukum luar biasa apabila ditemukan
bukti baru (novum) melalui Peninjauan Kembali (PK) pada Mahkamah Agung. Semua upaya hukum tersebut diajukan melalui Pengadilan Agama yang memutus perkara.
B. Penyederhanaan Mekanisme Peradilan Dengan Small Claim Court
Hukum acara perdata yang merupakan peninggalan masa Pemerintahan Hindia
Belanda memiliki banyak kelemahan dan dalam beberapa hal tertinggal dari
perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan yang sangat cepat. Sehingga dalam
kenyataannya menimbulkan beberapa persoalan dalam masyarakat. Salah satu masalah
yang sering dihadapi oleh para pencari keadilan adalah proses eksekusi terhadap putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang terkadang dalam eksekusinya
memerlukan waktu cukup lama, sehingga tidak dapat menampung aspirasi masyarakat
yang menghendaki penyelesaian secara cepat, karena semakin lama berarti kerugian yang
ditimbulkan semakin besar.
Menurut Yahya Harahap lamanya penyelesaian perkara pada umumnya
diakibatkan proses pemeriksaan sangat formalistik dan sangat teknis sekali. Selain itu,
arus perkara semakin deras sehingga pengadilan dijejali dengan beban yang terlampau
banyak.23 Kenyataan tersebut menjadi faktor yang paling utama penyebab turunnya
kepercayaan masyarakat kepada institusi pengadilan yang disebabkan oleh sistem
peradilan yang terlalu formalitas dan teknis. Akibatnya penyelesaian perkara menjadi
terbengkalai dan memakan waktu yang sangat panjang.
Asas-asas yang berlaku dalam bidang Hukum Acara Perdata telah diperkenalkan
oleh van Boneval Faure pada tahun 1873 dalam bukunya Het Nederlandse Burgerlijke Procesrecht. Sejak tahun 1970-an dikenal istilah Asas-asas Umum Peradilan yang Baik (Algemene beginselen van beheerlijkrechtspraak) atau Asas-asas Hukum Acara yang Baik (Algemene beginsele behoorlijk procesrecht).24 Tahun 1993 Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan berupa SEMA Nomor 6 Tahun 1993 jo KMA Nomor
MA/007/SK/IV/1994 yang pada intinya, Pengadilan diharapkan dalam waktu maksimal
6 (enam) bulan setiap perkara perdata telah diputus.
23 M Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama; Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997).
Selain itu, Pasal 2 ayat (4) dan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mensyaratkan adanya asas penting dalam Hukum
Acara Perdata yaitu sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sederhana adalah pemeriksaan
dan penyelesaian perkara dilakukan dengan caraefisien dan efektif. Sedangkan biaya
ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat, namun demikian asas
sederhana, cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak
mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.
Sementara itu, masyarakat para pencari keadilan sudah lama menghendaki agar
pengadilan mampu menyelesaikan sengketa yang cepat dan tidak formalistik. Pada
kenyataannya, masyarakat atau para pencari keadilan tersebut, sering mengeluhkan
berbagai hal, terutama yang berkaitan dengan proses beracara di pengadilan (khususnya
proses beracara perdata) yang cenderung lama dan berbelit-belit, sehingga sangat
merugikan para pencari keadilan, baik ditinjau dari sisi waktu, biaya, pelayanan pihak
pengadilan, maupun dari sisi putusan pengadilan itu sendiri.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019,
mengamanatkan reformasi system hukum perdata yang mudah dan cepat untuk mengatur
permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi melalui penyelesaian sengketa acara cepat,
atau lazim disebut small claim court (SCC). Mekanisme small claim court sendiri merupakan suatu mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi secara
sederhana dan cepat yang berbeda dengan penerapan mekanisme beracara di pengadilan
pada umumnya. Walhasil, mekanisme ini nantinya dapat melahirkan sebuah putusan
pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak untuk dapat
dilakukan upaya eksekusi. Small Claim Court pertama kali digagas oleh Pengadilan
Cleveland pada tahun 1913 yang bertujuan untuk menciptakan dan menegakkan keadilan
bagi seluruh lapisan masyarakat dengan proses yang cepat dan berbiaya ringan.25
Penyelesaian gugatan sederhana merupakan langkah baru dalam penyederhanaan
mekanisme dan prosedur penyelesaian perkara perdata yang diatur melalui Perma No. 2
Tahun 2015. Penyederhanaan tersebut bertujuan untuk menyediakan jasa dan
infrastruktur bagi pencari keadilan agar dapat menyelesaikan perkara perdata di
lingkungan peradilan umum secara cepat, sederhana, dan biaya ringan untuk perkara
perdata yang sifatnya sederhana. Jangka waktu penyelesaian perkara ini maksimal 25 hari
harus sudah diputuskan. Putusannya pun bersifat final dan mengikat di tingkat pertama
setelah diajukan keberatan yang diputus majelis hakim.
Perma No.2 Tahun 2015 mendefinisikan gugatan sederhana sebagai tata cara
pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling
banyak Rp. 200.000.000, (dua ratus juta rupiah), yang diselesaikan dengan tata cara dan
pembuktian yang sederhana. Gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh pengadilan
dalam lingkup kewenangan peradilan umum, terhadap perkara cidera janji dan atau
perbuatan melawan hukum (PMH). Sedangkan yang tidak termasuk dalam gugatan
sederhana adalah: a) perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui
pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan; atau b)
sengketa hak atas tanah.
Selain itu, Pasal 4 Perma No. 2 Tahun 2015 juga menentukan persyaratan untuk
mengajukan gugatan sederhana. Perkara dapat diselesaikan melalui gugatan sederhana
apabila telah memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan itu merupakan kriteria untuk
menentukan masuk atau tidaknya sebuah perkara pada mekanisme gugatan sederhana,
antara lain:
a. Penggugat adalah orang perseorangan atau badan hukum;
b. Adanya hubungan hukum yang menjadi dasar sengketa dengan pihak tergugat; c. Tergugat berada dalam domisili atau bertempat tinggal di wilayah hukum yang
sama;
d. Sengketa tersebut tidak berkaitan dengan hak atas tanah ataupun perkara lain yang diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan, seperti persaingan usaha sengketa konsumen dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
e. Nilai gugatan yang diajukan atas kerugian tersebut paling banyak Rp 200.000.000.
Jika keseluruhan persyaratan tersebut dipenuhi, maka perkara perdata yang
diajukan ke pengadilan akan diselesaikan melalui penyelesaian gugatan sederhana.
Sebaliknya, apabila ada persyaratan yang tidak terpenuhi, maka gugatan dikembalikan
kepada penggugat. Besaran panjar biaya perkara ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri
setempat. Panjar biaya tersebut dibayar oleh penggugat, sedangkan biaya perkara
Pengadilan akan memenangkan suatu gugatan berdasarkan sepenuhnya pada
alasan atau dalil dan kekuatan bukti-bukti yang ada. Pengadilan akan memutus bahwa
pihak yang kalah harus membayar biaya perkara dan melaksanakan perintah pengadilan
sesuai dengan isi amar putusan hakim, diantaranya, seperti membayar sejumlah uang
memenuhi perjanjian atau menyerahkan suatu barang. Pihak yang kalah dapat
melaksanakan putusan secara sukarela, apabila tidak melaksanakan putusan secara
sukarela, maka pihak yang menang dapat mengajukan permohonan pelaksanaan putusan
(eksekusi) kepada ketua pengadilan.
Secara garis besar, prosedur gugatan sederhana adalah sebagai berikut:
1. Setelah gugatan didaftarkan, penggugat menunggu panggilan dari pengadilan. Petugas pengadilan akan mencatat gugatan dalam buku register khusus gugatan sederhana. Setelah dicatatkan, berkas akan diserahkan kepada ketua pengadilan; 2. Ketua pengadilan menunjuk hakim yang akan memeriksa dan memutus perkara
yang diajukan. Panggilan dilakukan oleh jurusita ke alamat yang tertera di dalam formulir gugatan. Pemberitahuan terkait informasi sidang dapat juga dilakukan melalui pesan teks (SMS) ataupun surat elektronik (Email) yang dicantumkan dalam formulir gugatan.
3. Hakim yang ditunjuk akan melakukan pemeriksaan atas perkara. Apabila hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana, maka hakim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara setelah dipotong biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pengadilan, di antaranya biaya panggilan dan biaya-biaya lainnya yang sudah dikeluarkan. 4. Jika gugatan dinyatakan bukan gugatan sederhana, penggugat dapat mengajukan
gugatan ke dalam gugatan biasa.
5. Apabila hakim berpendapat bahwa gugatan yang diajukan penggugat adalah gugatan sederhana, maka hakim menetapkan hari sidang pertama. Baik penggugat maupun tergugat akan dipanggil oleh pengadilan untuk hadir pada sidang pertama.
C. Probabilitas Penerapan Small Claim Court Dalam Menyelesaikan Perkara
Waris
Keberadaan small claim court sejatinya adalah sarana untuk mengakomodir dua model penyelesaian sengketa, yaitu penyelesaian melalui jalur non-litigasi dan jalur
litigasi. Masing-masing dari model tersebut terdapat perbedaan mendasar dimana jalur
non-litigasi hanya menghasilkan suatu keputusan yang tidak memiliki kekuatan mengikat
para pihak sehingga rentan terjadi sengketa lain di kemudian hari. Sementara jalur litigasi
mengharuskan para pihak untuk menyiapkan waktu, tenaga serta materi yang tidak sedikit
sehingga membuat sebagian masyarakat mengambil langkah mundur daripada harus
Mekanisme small claim court menempuh jalur pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, tetapi mekanisme beracara yang diambil lebih sederhana sehingga tidak
memakan waktu lama. Dan mengingat bahwa jalur pengadilan yang ditempuh, maka
mekanisme small claim court juga menghasilkan putusan pengadilan yang bersifat mengikat dan berkekuatan hukum yang sama dengan putusan-putusan pengadilan pada
umumnya.
Namun demikian, konsep small claim court yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung pada dasarnya hanya terbatas dalam penyelesaian sengketa ekonomi di lingkungan
peradilan umum saja. Tetapi jika dilihat dari muatan unsur-unsur yang dipersyaratkan
dalam Perma No. 2 Tahun 2015 terlihat bahwa mekanisme ini dipandang dapat
diimplementasikan dalam penyelesaian perkara lain di luar sengketa ekonomi, seperti
salah satunya adalah sengketa waris di Pengadilan Agama.
Perlu difahami, bahwa proses penyederhanaan penyelesaian sengketa di
Pengadilan Agama menjadi sebuah keharusan mengingat kebutuhan masyarakat pencari
keadilan di Indonesia akan proses persidangan yang sederhana. Proses penyederhanaan
tersebut adalah berawal dari metode pengklasifikasian perkara yang masuk dilihat dari
besar kecilnya nilai perkara serta tingkat kerumitannya. Hal ini lah yang akan menjadikan
proses pemeriksaan perkara relatif lebih singkat (sederhana) sehingga berdampak kepada
biaya yang tidak terlalu besar. Keberhasilan dalam menekan biaya beracara di pengadilan
pada akhirnya menjadikan tujuan daripada mekanisme small claim court tetap dapat terwujud dalam menyelesaikan perkara waris di Pengadilan Agama.
Proses penyederhanaan penyelesaian sengketa di Pengadilan Agama nampaknya
sejalan dengan Perma No. 2 Tahun 2015. Meskipun pasal 2 menyebutkan bahwa gugatan
sederhana diperiksa dan diputus oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum, akan
tetapi sejatinya mekanisme penyederhanaan juga dibutuhkan di Pengadilan Agama
khususnya perkara waris. Ketentuan yang menyebutkan bahwa mekanisme penyelesaian
sengketa sederhana hanya dapat dilakukan di lingkungan peradilan umum saja
menunjukkan bahwa ketentuan Perma No. 2 Tahun 2015 sangat bersifat limitatif serta
ketidaksempurnaan suatu norma hukum dimana seharusnya ketentuan tersebut dapat
berlaku secara luas termasuk peradilan agama mengingat akan hajat masyarakat yang
menginginkan penyelesaian perkara waris khususnya dapat diselesaikan secara singkat
Hadirnya Perma No. 2 Tahun 2015 sejatinya berkedudukan sebagai pintu masuk
(entrance) bagi Pengadilan Agama untuk merekonstruksi hukum acaranya dalam penyelesaian perkara waris. Ini tentu bernilai positif sebagai bagian dari proses
pembaharuan hukum acara peradilan agama di Indonesia. Sistem yang diterapkan dalam
penyelesaian perkara waris dimulai dari proses pendaftaran perkara. Perkara waris yang
masuk hendaknya dipilah dan dikategorisasikan ke dalam dua jenis, yaitu peradilan biasa
dan peradilan sederhana yang akan diperiksa oleh hakim tunggal. Perkara waris yang
masuk ke dalam peradilan sederhana harus sesuai dan memenuhi unsur-unsur perkara
sederhana yang dimaksud, seperti nilai gugatan kecil yang batas maksimalnya adalah Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta), dan perkara yang masuk tidak melibatkan pihak lain atau
subjek hukum lain yang beragama non Islam.
Perkara waris yang masuk nantinya akan dilihat dari segi nilai gugatannya.
Umumnya, perkara waris berkaitan dengan harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris
yang pada saat pembagiannya menimbulkan sengketa diantara para ahli waris. Harta
waris dengan nilai kecil (dibawah dua ratus juta) tentu lebih mudah penghitungannya oleh
hakim mengingat bahwa hukum kewarisan Islam harus berlandaskan kepada
bagian-bagian yang telah ditetapkan (furudh muqaddarah) dalam Alquran. Di samping itu, subjek hukum yang terlibat dengan perkara harus beragama Islam, ini mengingat bahwa
perkara waris yang berhubungan dengan subjek hukum beragama non-Islam dinyatakan
bukan menjadi kewenangan absolut dari Pengadilan agama dan akan dialihkan
penyelesaiannya ke peradilan umum.
Penerapan mekanisme small claim court dalam menyelesaikan perkara waris akan menjadi model baru dalam hukum acara peradilan agama. Hakim tunggal akan
memeriksa, menyelesaikan dan memutus perkara waris secara cepat dan proses yang
sederhana dengan tetap menghasilkan putusan yang berkeadilan bagi semua pihak.
Walhasil, keuntungan penyelesaian perkara waris melalui mekanisme sederhana akan
meringkas durasi waktu yang ditempuh karena diperiksa oleh hakim tunggal dan tentunya
akan menghemat biaya yang dikeluarkan karena proses pemeriksaan yang sederhana.
III. PENUTUP
Sesuai dengan Perma No.2 Tahun 2015 gugatan sederhana didefiniskan sebagai
tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan
tata cara dan pembuktian yang sederhana. Lebih lanjut, ketentuan tersebut menyebutkan
bahwa gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh pengadilan dalam lingkup
kewenangan peradilan umum yang nantinya akan diperiksa oleh hakim tunggal.
Ketentuan Perma No. 2 tahun 2015 ini menjadi celah masuknya Pengadilan
Agama sebagai upaya pembaharuan hukum acara peradilan agama serta upaya
rekonstruksi hukum acara yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa waris. Penerapan
mekanisme small claim court dalam menangani perkara waris dengan nilai gugatan kecil dipandang memungkinkan untuk diterapkan dengan terlebih dahulu perkara yang masuk
harus dipilah dan dikategorisasi kedalam dua jenis, yaitu gugatan biasa dan gugatan
sederhana. Dengan demikian, proses beracara di Pengadilan Agama menjadi relatif lebih
singkat dan sederhana yang sejalan dengan prinsip peradilan yang cepat dan sederhana.
Konsep rekonstruksi hukum acara peradilan agama yang ditawarkan ini
hendaknya menjadi masukan dan acuan bagi otoritas yang berwenang dalam mengkaji
kembali persoalan mekanisme persidangan di tanah air yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Dengan begitu, proses persidangan di Pengadilan Agama dapat berjalan
sesuai dengan hajat masyarakat luas dengan tidak menafikan rambu-rambu serta
prinsip-prinsip hukum yang berkeadilan melalui ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi institusi Pengadilan Agama sendiri hendaknya terus melakukan inovasi dan
pembaharuan demi menjawab tuntutan dan kebutuhan masyarakat dengan terus
meningkatkan kualitasnya secara institusi maupun hakim-hakim yang bernaung di
dalamnya dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahamannya dalam
IV. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abbas, Syahrizal. Mediasi. Jakarta: Kencana, 2010.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991.
Harahap, M Yahya. Kedudukan, Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama; Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini, 1997.
Oemarsalim. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.
Reksodiputro, Mardjono. Hukum Pidana. Jakarta: Alumni, 2018.
Setiawan. Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, 1992.
Sunaryo Sidik. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press, 2005.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. 4th ed. Jakarta: Kencana, 2004.
Usman, Rachmadi. Pilihan Sengketa Di Luar Pengadilan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Artikel Jurnal
Budi, Anang Setio, Thohir Luth, A Rachmad Budiono, and Gatot Dwi Hendro W. “The Existence of Islamic Legal Compilation in Islamic Inheritance Law Context As Material Law on Religious Courts.” International Journal of Education and Research 1, no. 12 (2013): 1–10.
Bustamar. “Small Claim Court Dalam Sistem Peradilan Perdata Di Indonesia Dan Peluang Penerapannya Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Pada Peradilan Agama.” Al-Hurriyah : Jurnal Hukum Islam 01, no. 01 (2016): 94–108. Djohan, Meita. “Penyelesaian Perkara Perceraian Melalui Mediasi Sebagai Upaya
Perdamaian.” Keadilan Progresif 8, no. 1 (2017): 68–83.
Fakhriah, Efa Laela. “Mekanisme Small Claims Court Dalam Mewujudkan Tercapainya Peradilan Sederhana, Cepat, Dan Biaya Ringan.” Mimbar Hukum 25, no. 2 (2013): 258–270.
Gofar, A. “Mengkaji Ulang Hukum Acara Perceraian Di Pengadilan Agama.” Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan, no. November (2012): 105–124.
Manan, Abdul. “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama.” Jurnal Hukum dan Peradilan 2, no. 2 (2013): 189–202. Murniati, Rilda. “Relevansi Dan Kekuatan Hukum Akta Perdamaian Dalam Penyelesaian
Prasetyo, Teguh. “Membangun Hukum Nasional Berdasarkan Pancasila.” Jurnal Hukum dan Peradilan 3, no. 3 (2014): 213–222.
Rahmatullah. “Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa Perkara Waris.” Jurnal Ilmiah Abdil Ilmu 4, no. 1 (2011): 126–133.
Rohman, Adi Nur. “Riddah Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif Indonesia.” Jurnal Hukum Prioris 6, no. 2 (2017): 149–165.
Saifullah, Muhammad. “Efektivitas Mediasi Dalam Penyelesaian Perkara Perceraian Di Pengadilan Agama Jawa Tengah.” Al-Ahkam 25, no. 2 (2015): 181–204.
Supriyatni, Renny, and Andi Fariana. “Model Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Yang Efektif Dikaitkan Dengan Kompetensi Di Peradilan Agama Dalam Rangka Pertumbuhan Ekonomi Nasional.” Jurnal Jurisprudence 7, no. 1 (2017): 68–79.
Undang-Undang
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Republik Indonesia, Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama