• Tidak ada hasil yang ditemukan

PIPANISASI GAS TRANS JAWA DAN PEMBERDAYAAN DAERAH DALAM INDUSTRI TRANSMISI GAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PIPANISASI GAS TRANS JAWA DAN PEMBERDAYAAN DAERAH DALAM INDUSTRI TRANSMISI GAS"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PIPANISASI GAS TRANS JAWA

DAN PEMBERDAYAAN DAERAH DALAM INDUSTRI TRANSMISI GAS

Andry Halim

PERTAMINA DO Hulu Kalimantan ABSTRAK

Gas alam merupakan komoditas utama yang berperan dalam perekonomian nasional sebagai penghasil devisa maupun sebagai energi dan bahan baku. Keuunggulan utama gas bumi dibandingkan komoditas energi lainnya adalah :

gas alam bersifat ramah lingkungan;

merupakan substitusi minyak bumi yang terdekat;

Cadangan gas alam nasional jauh lebih besar dibandingkan cadangan minyak bumi.

Kebutuhan gas domestik sebagian terbesar terkonsentrasi di Pulau Jawa, yaitu di Jawa Barat dan Jawa Timur.

Dalam usaha mengalirkan gas dari produsen ke konsumen, diperlukan adanya transmisi gas. Transmisi gas yang ada di Pulau Jawa pada saat ini berada di Jawa Barat (Cirebon - Cilegon) dan Jawa Timur (Pagerungan – Gresik) dan terpisah satu dengan lainnya. Guna memenuhi kebutuhan gas di seluruh Pulau Jawa yang akan meningkat di masa-masa mendatang dan dalam rangka penetrasi pasar gas baru, maka mutlak diperlukan adanya transmisi gas yang terintegrasi dari Jawa Timur hingga ke Jawa Barat yaitu dengan membangun transmisi gas dari Gresik hingga Cirebon sepanjang + 600 km.

Dalam rangka otonomi daerah dan PKPD serta dalam usaha pemberdayaan daerah, maka dalam pembangunan transmisi tersebut perlu melibatkan daerah. Dalam hal ini daerah bisa ikut serta dalam permodalan ataupun dalam konstruksi dengan melibatkan lebih banyak peran perusahaan daerah yang kompeten di bidangnya.

1. PENDAHULUAN

Gas alam merupakan, seperti diketahui, merupakan energi yang tak terbarukan dan bersifat tidak dapat disimpan, seperti layaknya minyak bumi. Salah satu keuunggulan gas alam dibandingkan energi lainnya, adalah gas alam merupakan energi bersih (tidak polutif) yang ramah lingkungan (environmentally friendly).

Pada saat ini produksi gas alam Nasional saat ini sebesar + 6.7 BSCFD, sebagian terbesar, yaitu 4.0 BSCFD (59%) diekspor dalam bentuk LNG sedangkan sebagian lainnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan gas domestik. Kebutuhan gas domestik pada saat ini terus mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada tahun 1997 sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia.

Dari pemanfaatan gas untuk kebutuhan domestik tersebut, sebagian terbesar untuk memenuhi kebutuhan gas di Pulau Jawa. Kebutuhan gas tersebut terutama dari Industri yang ada di Pulau Jawa yang terus mengalami pertumbuhan dan diperkirakan setelah krisis akan kembali pulih.

Sebagian terbesar dari penjualan gas yang ada ditujukan untuk memenuhi kebutuhan gas untuk industri listrik (PLN), yaitu sebesar 49.5%, diikuti oleh PGN (15.9%), industri lain (13.2%), own use (6.5%), pupuk (5.7%), petrokimia (5.0%), kilang (1.9%), LPG (0.6%), dan semen (0.4%). Sedangkan yang diekspor dalam bentuk LPG sebesar 1.4 %. Jika dilihat per sektor secara nasional, maka sebagian terbesar kebutuhan gas untuk pembangkit listrik berada di pulau Jawa. Dari kebutuhan gas untuk pembangkit listrik nasional sebesar 18,140,757 MSCF (604.7 MMSCFD), maka sebagian terbesar berada di pulau Jawa, yaitu sebesar 15,613,666 MSCF (520.5 MMSCFD) atau 86.1% dari kebutuhan nasional.

Berdasarkan berita “Petrominer No. 08 Vol XXVIII tanggal 15 Agustus 2001 hal. 8 & 9 dan dari suratkabar Harian Suara Karya hari Selasa, tanggal 19 September 2000 (hal. 3), dipaparkan mengenai betapa pertumbuhan permintaan listrik akan meningkat kembali seperti kepada keadaan sebelum

krisis ekonomi. Dengan kapasitas terpasang listrik yang ada saat ini, bila tidak ada penambahan pembangkit listrik baru, maka Pulau Jawa akan mengalami krisis listrik pada tahun 2003. Dengan berdasarkan pengalaman krisis pada tahun 1991, maka proses pembangunan tambahan pembangkit listrik tambahan tersebut seharusnya sudah direncanakan dan dimulai pembangunannya tahun 2001/2002. Untuk mengantisipasi shortage dan dalam rangka untuk menjamin kesinambungan pasokan listrik s/d tahun 2005 saja, maka diperlukan pembangunan power plant berkapasitas 1602 MW per tahun dengan biaya investasi ekivalen US$ 937 juta. 2. TEORI PEMASARAN, TEKNIS, DAN EKONOMIS Dalam bab ini akan dibahas mengenai teori yang mendukung analisa dalam rangka evaluasi dalam studi ini.

2.1 Bauran Pemasaran

Bauran pemasaran yang dikenal umum adalah 4P terdiri dari : Produk, Harga, Distribusi, dan Promosi.

Produk

Produk adalah sesuatu yang dapat ditawarkan kepada seseorang untuk memuaskan suatu kebutuhan atau keinginan (need and want), termasuk obyek fisik dan jasa, seperti : orang, tempat, kegiatan, organisasi, dan gagasan.

Harga

Harga adalah jumlah uang yang dibutuhkan untuk mendapatkan kombinasi dari produk dan pelayanannya. Selain itu harga merupakan satu-satunya unsur dalam bauran pemasaran yang menghasilkan pendapatan penjualan, karena elemen lainnya justru mengakibatkan keluarnya biaya. Distribusi

Saluran distribusi adalah sekelompok pedagang dan agen perusahaan yang mengkombinasikan antara pemindahan fisik

(2)

dan nama dari suatu produk untuk menciptakan kegunaan bagi pasar tertentu.

Ada beberapa bentuk-bentuk saluran distribusi yang dikenal yang secara garis besar dapat dibagi atas :

• Saluran distribusi barang konsumsi • Saluran distribusi barang industri Promosi

Promosi adalah arus informasi atau persuasi satu arah yang dibuat untuk mengarahkan seseorang / organisasi pada tindakan menciptakan pertukaran dalam pemasaran (W.G.Nickels).

2.2. Evaluasi teknis pipa transmisi

Dalam transportasi gas jarak jauh dari produsen gas hingga ke konsumen gas, maka besarnya volume menentukan perencanaan teknis maupun ekonomis. Semakin besar volume gas yang ditransportasikan, maka akan semakin ekonomis proyek tersebut. Selain itu juga akan menentukan besaran kompresor yang dibutuhkan. Analisa teknis dalam studi ini meliputi 2 bagian, yaitu :

• Pipa Transmisi

• Kompresor yang dipakai untuk menaikkan tekanan gas. Pipa transmisi

Pada awal berkembangnya industri gas, maka tekanan dan laju alir gas yang dibutuhkan adalah kecil. Dengan berkembangnya pasar gas, maka volume dan tekanan gas yang dibutuhkan semakin tinggi. Untuk itu diperlukan perhitungan yang sedikit kompleks.

Pada saat ini dikenal beberapa macam rumus yang dipakai untuk menghitung aliran gas dalam pipa, diantaranya : • Persamaan Weymouth

• Persamaan Panhandle

• Persamaan Modified Panhandle • Persamaan Clinedinst

Persamaan Weymouth diturunkan dari persamaan kesetimbangan (energy balance), Sehingga didapatkan persamaan Weymouth seperti dibawah ini :

Adapun persamaan Panhandle untuk aliran horisontal diturunkan untuk aliran gas dalam pipa dengan asumsi f bervariasi sebagai fungsi dari persamaan berikut :

Kompresor gas

Pada masa awal pengembangan lapangan gas, kompresor gas belum berkembang untuk kebutuhan pengaliran gas terutama bila tekanan gas cukup tinggi untuk mengalirkan gas ke konsumen. Namun pada saat tekanan gas mulai menurun, maka diperlukan tambahan tekanan untuk mengalirkan gas, yaitu dengan kompresor.

Dalam penentuan kompresor tersebut terdapat 2 metoda perhitungan yang umum digunakan, yaitu :

• Mollier Diagram • Metoda Analitis Evaluasi Ekonomis

Dalam studi ini juga dilakukan evaluasi ekonomis untuk menghitung keekonomian pipa transmisi gas tersebut. Evaluassi tersebut melibatkan perhitungan paramater-parameter keekonomian. Seperti : CF, NPV, ROR dalam usaha untuk menentukan besarnya toll fee dari pipa tersebut (keekonomian pipa). Adapun besaran-besaran tersebut : 1. CF (Cash Flow)

Merupakan besaran yang menggambarkan besarnya kas yang dihasilkan dari proyek pipa gas tersebut, yang dihitung dengan rumus :

2. NPV (Net Present Value)

NPV merupakan besaran CF yang dihasilkan pada tahun tertentu yang diperhitungkan dengan nilai pada saat ini.

dengan :

CFj = Cash Flow pada tahun ke-j

i = besarnya bunga rata-rata yang berlaku, % 3. ROR (Rate of Return)

ROR merupakan besarnya return yang bisa dihasilkan dari suatu proyek yang dapat dihitung dengan rumus :

3. PASAR GAS PULAU JAWA

Pemakaian energi tidak terlepas dari perkembangan ekonomi nasional. Gambaran umum perekonomian nasional dipaparkan dibawah ini.

3.1 Perkembangan Ekonomi Nasional

Selama dekade terakhir ini perekonomian nasional telah mencapai pertumbuhan yang cukup signifikan, yaitu berkisar 7 % hingga 9% per tahun. Sedangkan laju inflasi bisa ditekan dibawah 2 digit. Akibat krisis ekonomi yang melanda Indonesia, maka pertumbuhan ekonomi pernah merosot hingga –13,7% pada tahun 1998 dan inflasi mencapai 77,6%. Akan tetapi seiring dengan mulai pulihnya ekonomi nasional, maka perlahan-lahan pertumbuhan tersebut meningkat kembali hingga mencapai 4% per tahun (tahun 2000 ini). Hal ini dapat dilihat selengkapnya pada Tabel-3.1. Sedangkan besarnya pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan perekonomian nasional dapat dilihat pada tabel selanjutnya.

(

)

fZTGL

D

P

P

P

T

x

Q

b b h

2

10

944

.

1

29

.

53

22 5 2 1 9





=

(

)

2.6182 4604 . 0 5314 . 0 2 2 2 1 07881 . 1

1

87

.

435

D

G

TLZ

P

P

P

T

Q

b b h





=

j n j j n j

v

Cost

CF

CF

=

=1

(Re

)

=

=1

j j n j

i

CF

NPV

)

1

(

1

+

=

= j j n j

ROR

CF

NPV

)

1

(

0

1

+

=

=

=

(3)

Konsumsi BBM

Dari Tabel-3.2 terlihat bahwa perekonomian nasional mulai pulih dari keterpurukannya akibat krisis ekonomi tahun 1997, terbukti dengan mulai meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan itu, konsumsi energi pun mulai meningkat kembali seperti terlihat pada tabel dibawah ini. Kebutuhan Listrik

Kebutuhan listrik di Pulau Jawa akan terus meningkat sesudah krisis ekonomi. Dengan perkiraan moderat, maka pada tahun 2003 akan dibutuhkan tambahan pembangkit listrik baru berkapasitas minimal 230 MW. Selain itu dengan meningkatnya kebutuhan listrik tersebut, maka konsumsi bahan bakar pun meningkat. Pada saat – saat menjelang krisis ekonomi, maka konsumsi solar pun meningkat tajam sedangkan konsumsi gas menurun. Hal ini akibat dari sebagian pembangkit listrik (dual firing) beralih dari konsumsi gas menjadi solar. Hal ini mengakibatkan subsidi BBM terutama solar menjadi meningkat tinggi.

Untuk itu perlu kebijakan penyesuaian harga BBM, agar gas bisa bersaing secara sehat dengan BBM. Dengan mengambil asumsi harga Diesel naik 10% per tahun , maka gas akan bisa menggantikan konsumsi Diesel di tahun 2010. Bila ditingkatkan 15% per tahun akan terjadi pada tahun 2005 dan bila ditingkatkan 20% per tahun akan dicapai pada tahun 2004.

3.2. Prognosis Kebutuhan Dan Suplai Gas Pulau Jawa Konsumsi gas di Pulau Jawa, mayoritas terkonsentrasi di Jawa Barat dan Jawa Timur. Sedangkan pasar gas di Jawa Tengah belum berkembang dengan baik, meskipun memiliki potensi. Jawa Barat

Kebutuhan gas di Jawa Barat terbagi atas kebutuhan committed, prospek, dan potensial. Dari tabel tersebut terlihat bahwa kebutuhan gas di Jawa Barat terus mengalami peningkatan. Kebutuhan committed gas di Jawa Barat saat ini sebesar 740 MMSCFD (2001) dan selanjutnya terus mengalami penurunan hingga terendah sebesar 17 MMSCFD (tahun 2018).

Kebutuhan total gas Jawa Barat (2002 – 2018) adalah: • kebutuhan committed sebesar 1,64 TCF

• kebutuhan prospek sebesar 7,24 TCF • kebutuhan potensial sebesar 3,55 TCF • kebutuhan total sebesar 12,43 TCF

Kemampuan suplai gas existing dari Jawa Barat adalah sebesar 606 MMSCFD (2001) serta terus mengalami penurunan pada tahun-tahun selanjutnya hingga menjadi 3 MMSCFD (tahun 2015). Total suplai gas existing adalah 1,4 TCF. Untuk itu perlu adanya tambahan suplai untuk memenuhi kebutuhan gas melalui proyek gas. Total suplai dari proyek sebesar 0,95 TCF. Adapun dari temuan struktur gas baru diharapkan akan didapatkan tambahan suplai gas sebesar 0,66 TCF.

Dari balance gas, terlihat akan terjadi kekurangan gas pada tahun2002 sebesar –45 MMSCFD hingga –17 MMSCFD (2018). Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan potensial dengan suplai dari existing + proyek, akan terjadi kekurangan

gas mulai tahun 2003 sebesar -61 MMSCFD dan terus mengalami kekurangan hingga -1503 MMSCFD (2018). Untuk itu perlu tambahan suplai dari temuan baru. Akan tetapi tetap saja akan terjadi kekurangan gas mulai tahun 2003 sebesar -189 MMSCFD dan meningkat hingga -1204 MMSCFD (2017).

Jawa Tengah

Pada saat ini belum ada kontrak existing (committed gas) di Jawa Tengah. Demikian pula kebutuhan potensial di Jawa Tengah belum ada.

Kebutuhan gas yang ada saat ini hanyalah kebutuhan prospek yang berasal dari PGN Semarang, Kanindotex dan PLTGU Tambak Lorok yang pada saat ini masih memakai BBM. Besarnya gas yang dibutuhkan sebesar 6 MMSCFD (2001) dan meningkat hingga 196 MMSCFD (2018). Adapun kebutuhan gas secara keseluruhan adalah sebesar 0,92 TCF. Pada saat ini belum ada struktur gas yang dikembangkan di Jawa tengah dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan gas dari konsumen. Suplai gas yang tersedia adalah dari temuan struktur gas baru. Kemampuan suplai gas dari temuan tersebut adalah sebesar 0,92 TCF (2001-2018).

Jawa Timur

Kebutuhan gas di Jawa Timur terus mengalami peningkatan. Kebutuhan committed gas di Jawa Timur saat ini sebesar 468 MMSCFD (tahun 2001) dan meningkat menjadi 589 MMSCFD (tahun 2010) dan selanjutnya terus menurun hingga terendah sebesar 27 MMSCFD (2018).

Sedangkan kebutuhan prospek yang berasal dari perpanjangan kontrak committed ditambah dengan permintaan baru, maka terlihat peningkatan permintaan gas yaitu daari 103 MMSCFD (tahun 2001) meningkat hingga menjadi 1135 MMSCFD (tahun 2018). Kebutuhan total gas Jawa Timur adalah:

• kebutuhan committed sebesar 2,63 TCF • kebutuhan prospek sebesar 5,34 TCF • kebutuhan potensial sebesar 0,76 TCF • kebutuhan total sebesar 8,73 TCF

Kemampuan suplai gas existing dari Jawa Timur adalah sebesar 1,86 TCF. Sedangkan tambahan suplai dari struktur-struktur yang belum dikembangkan (undeveloped reservoir) adalah sebesar 0,75 TCF. Adapun dari temuan struktur gas baru diharapkan akan didapatkan tambahan suplai gas sebesar 1,12 TCF

Secara umum dari balance gas, untuk memenuhi kebutuhan gas committed dengan suplai existing akan terjadi kekurangan gas pada tahun 2002 sebesar –42 MMSCFD, kemudian –305 MMSCFD (2004) hingga turun menjadi –27 MMSCFD (2018). Dengan bantuan suplai dari proyek, maka akan dapat menutupi kebutuhan gas existing bahkan akan terjadi kelebihan suplai sebesar 77 MMSCFD (2001-2002), kemudian kurang sebesar -49 MMSCFD (2003). Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan potensial dengan suplai dari existing + proyek, akan terjadi kekurangan gas mulai tahun 2001 sebesar -26 MMSCFD dan terus mengalami kekurangan hingga -1088 MMSCFD (2018). Untuk itu perlu tambahan suplai dari temuan baru, sehingga terjadi kelebihan gas

(4)

sebesar 16 MMSCFD (2002)dan terus meningkat hingga 657 MMSCFD (2008) dan selanjutnya menurun.

Suplai Gas Dari Pulau Jawa

Selain itu masih terdapat potensi suplai gas dari pulau Jawa yaitu sumberdaya gas. Total sumberdaya gas yang ada di Pulau Jawa cukup besar yang masih perlu digali dan dibuktikan lebih jauh keberadaannya (sebesar 3,5 TCF). 3.3. Pipanisasi gas

Berdasarkan uraian diatas, maka untuk memenuhi kebutuhan gas yang begitu besar di Pulau Jawa, maka dibutuhkan suatu sistem transmisi yang menghubungkan ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa, yaitu :

• Pipanisasi Gas Pantura Pulau Jawa (Jangka pendek) Untuk jalur pantura, maka pipa transmisi gas yang masih diperlukan adalah menghubungkan Cirebon hingga Gresik. Adapun kota-kota yang dilalui antara lain : Brebes, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Lamongan, Gresik.

• Pipanisasi Gas Jalur Selatan Pulau Jawa (Jangka Panjang) – tidak dibahas dalam paper ini.

Pipa transmisi ini merupakan rencana jangka panjang untuk mengantisipasi kebutuhan gas akibat berkembangnya pasar gas dalam jangka panjang di daerah industri di kota-kota besar di pantai selatan Pulau Jawa dan sebagai akibat berkembangnya diversifikasi energi dan semakin kompetitifnya harga gas dibandingakn dengan BBM yang telah mulai dicabut subsidinya. Untuk jalur selatan Pulau Jawa, maka pipanisasi gas yang diperlukan adalah untuk menghubungkan pusat ekonomi di kota-kota besar di bagian selatan Pulau Jawa.

4. PEMBAHASAN

Dari uraian pada bab sebelumnya terlihat, bahwa industrialisasi yang selama ini dilaksanakan di Indonesia masih terpusat di Pulau Jawa. Oleh Karena itu kebutuhan energi di Pulau Jawa merupakan yang terbesar dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia, dalam hal ini termasuk kebutuhan energi gas alam. Selain itu seperti diketahui sebagain terbesar dari penduduk di Indonesia bermukim di Pulau Jawa (> 50 persen).

Dengan meningkatnya kebutuhan gas tersebut dan terbatasnya suplai gas dari pulau Jawa mengakibatkan pada beberapa tahun mendatang akan terjadi shortage gas. Untuk mengatasi hal ini, maka perlu didatangkan suplai gas dari daerah surplus gas lainnya di Indonesia, seperti dari Sumsel, Kaltim, Natuna, dan Irian Jaya. Untuk itu kebutuhan akan pipa transmisi gas trans pulau Jawa merupakan suatu kebutuhan yang cukup mendesak.

Dari teori dasar pemasaran, maka bauran pemasaran terdiri dari 4 P, seperti diuraikan pada bagian 2 diatas, maka salah satu sarana untuk menguasai pasar adalah dengan penguasaan Place (Distribusi, dalam hal ini Transmisi Gas). Pada saat ini Divisi Gas Hulu memiliki sarana Transmisi gas di Jawa Barat dan Jawa Timur yang terpisah satu dengan lainnya. Untu itu diperlukan transmisi gas yang menghubungkan kedua area tersebut. Fungsinya adalah untuk mengalirkan gas dari arah

dari Jawa Timur (Gresik) ke Jawa Barat (Cirebon) untuk mengatasi “shortage supply” akibat peningkatan kebutuhan gas di Jawa Barat seperti diuraikan pada bab sebelumnya. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk arah aliran gas sebaliknya (reversible) di masa mendatang. Selain itu juga sebagai sarana penetrasi pasar dalam rangka diversifikasi energi di Pulau Jawa.

Ditinjau dari harga gas pada saat ini di Pulau Jawa adalah : • Jawa Barat sebesar rata-rata US$ 2,27/MMBTU. • Jawa Timur sebesar rata-rata US$ 2,38/MMBTU. • Total Pulau Jawa sebesar rata-rata US$ 2,33/MMBTU. Berdasarkan kemampuan bayar harga gas tersebut dan diekivalenkan dengan harga BBM saat ini yang dieskalasi setiap tahun, maka kebutuhan akan pipa Transmisi gas Pulau Jawa tersebut mutlak diperlukan :

• Eskalasi 10%, akan tercapai tahun 2007, • Eskalasi 15%, akan tercapai tahun 2004, • Eskalasi 20%, akan tercapai tahun 2003,

Dari uraian tersebut terlihat bahwa kebutuhan akan pipa transmisi merupakan kebutuhan yang mutlak diperlukan minimal pada tahun 2004, dimana gas bisa bersaing dengan harga BBM. Untuk itu perlu perencanaan yang mendesak dalam waktu dekat ini.

4.1. Pipanisasi gas Pulau Jawa

Dari perhitungan teknis didapatkan bahwa dibutuhkan pipa transmisi gas di Pulau Jawa meliputi pipa berdiameter 28” dengan kapasitas laju alir 600 MMSCFD hingga 1000 MMCFD. Dari hasil perhitungan teknis didapatkan, bahwa perlu pemasangan Stasiun Kompresor untuk menaikkan tekanan, dengan alternatif :

Ø Menaikkan tekanan gas hingga mencapai 1000 Psi, maka perlu dipasang 3 Stasiun kompresor, masing-masing di Gresik, Area Pati, dan Area Pekalongan.

Ø Menaikkan tekanan gas hingga mencapai 1250 Psi, maka perlu dipasang 2 Stasiun kompresor, masing-masing di Gresik dan Area Semarang.

Ø Menaikkan tekanan gas hingga mencapai tekanan 1600 Psi, maka perlu dipasang 1 Stasiun kompresor, yaitu di Gresik.

Dari ketiga alternatif tersebut, maka didapatkan alternatif yang terbaik adalah alternaif terakhir yaitu dengan membangun Booster Compressor di Gresik yang akan menaikkan tekanan gas hingga 1600 Psi. Dari hasil run keekonomian, maka didapatkan besarnya toll fee / TF (belum memperhitungkan margin) adalah untuk :

ü Loan = 0% (own fund) TF = US$ 0.53/MMBTU ü Loan = 25%, TF = US$ 0.50/MMBTU

ü Loan = 50%, TF = US$ 0.44/MMBTU ü o Loan = 75% , TF = US$ 0.37/MMBTU ü Loan = 100%, TF= US$ 0.33/MMBTU

Jika memakai skenario loan 50%, maka toll fee untuk pipa transmisi gas tersebut adalah US$ 0.48/MMBTU (termasuk marjin keuntungan).

Investasi yang dibutuhkan untuk proyek tersebut adalah sebesar US$ 372 juta, dan akan kembali modal setelah 7 tahun dengan hasil NCF = US$ 421 juta. Dari proyek tersebut pemerintah akan mendapatkan pendapatan sebesar US$ 632 juta.

(5)

Dari kajian diatas, maka sebaiknya tersebut bisa dibangun dan dimiliki oleh Pertamina berdasarkan kompetensinya (Divisi Gas Hulu), dalam hal ini bisa membentuk badan usaha tersendiri (PT Trans Java Gas). Dengan adanya transmisi tersebut akan memudahkan kegiatan pemasaran gas dan pemasyarakatan pemakaian gas didalam negeri khususnya di Pulau Jawa dan dalam rangka mengatasi shortage gas yang terjadi. Selain itu didapat peluang diantaranya :

• Pengembangan lapangan gas marjinal disekitar Pulau Jawa dan reservoar gas yang belum diproduksikan (undeveloped).

• Pengembangan lapangan-lapangan reservoar gas (prospek & lead) disekitar Pulau Jawa.

• Untuk mentransportasikan gas dari luar Pulau Jawa dalam rangka untuk mengatasi shortage gas di Pulau Jawa. 4.2. Skema Investasi

Dalam rangka otonomi daerah dan pelaksanaan UU No 22 & UU No. 25 tahun 1999, maka peran daerah perlu dilibatkan dalam proyek-proyek yang menguntungkan seperti transmisi gas tersebut. Selai untuk pemberdayaan daerah juga berfungsi sebagai stimulus perkembangan ekonomi daerah tersebut. Keterlibatan daerah dalam proyek transmisi gas tersebut dalam bentuk penyertaan modal, sehingga kepemilikan modal terdiri dari : Pertamina, Pemda/BUMD, Koperasi, dan masyarakat (go public).

Dalam evaluasi ini dibuat beberapa alternatif, yaitu

1. Alt-1 : Menggunakan pinjaman (loan) 50%), dengan skenario :

Ø Alt-1A: Komposisi kepemilikan modal terdiri dari : Pertamina (60%), Pemda/BUMD (5%), Koperasi (5%), dan Masyarakat (30%);

Ø Alt-1B: Komposisi kepemilikan modal terdiri dari : Pertamina (60%), Pemda/BUMD (10%), Koperasi (10%), dan Masyarakat (20%);

Ø Alt-1C: Komposisi kepemilikan modal terdiri dari : Pertamina (60%), Pemda/BUMD (15%), Koperasi (15%), dan Masyarakat (10%);

2. Alt-2 : Menggunakan pinjaman (loan) 25%), dengan skenario :

Ø Alt-2A: Komposisi kepemilikan modal terdiri dari : Pertamina (51%), Pemda/BUMD (5%), Koperasi (5%), dan Masyarakat (39%);

Ø Alt-2B: Komposisi kepemilikan modal terdiri dari : Pertamina (51%), Pemda/BUMD (10%), Koperasi (10%), dan Masyarakat (29%);

Ø Alt-2C: Komposisi kepemilikan modal terdiri dari : Pertamina (51%), Pemda/BUMD (15%), Koperasi (15%), dan Masyarakat (19%);

Dari evaluasi alternatif tersebut dihasilkan :

1. Alt-1A : Pendapatan untuk masing – masing pemilik modal selama umur proyek adalah : Ø Pertamina : US$ 329 juta, return = 253%, Ø Pemda/BUMD : US$ 45 juta, return = 161%, Ø Koperasi : US$ 45 juta, return = 161%, Ø Masyarakat : US$ 126 juta, return = 441%, 2. Alt-1B : Pendapatan untuk masing – masing pemilik modal selama umur proyek adalah :

Ø Pertamina : US$ 329 juta, return = 253%, Ø Pemda/BUMD : US$ 61 juta, return = 219%, Ø Koperasi : US$ 61 juta, return = 219%, Ø Masyarakat : US$ 84 juta, return = 441%,

3. Alt-1C : Pendapatan untuk masing – masing pemilik modal selama umur proyek adalah :

Ø Pertamina : US$ 320 juta, return = 264%, Ø Pemda/BUMD : US$ 82 juta, return = 253%, Ø Koperasi : US$ 82 juta, return = 253%, Ø Masyarakat : US$ 42 juta, return = 441%, 4. Alt-2A : Pendapatan untuk masing – masing pemilik modal selama umur proyek adalah :

Ø Pertamina : US$ 375 juta, return = 192%, Ø Pemda/BUMD : US$ 60 juta, return = 144%, Ø Koperasi : US$ 60 juta, return = 144%, Ø Masyarakat : US$ 189 juta, return = 336%, 5. Alt-2B : Pendapatan untuk masing – masing pemilik modal selama umur proyek adalah :

Ø Pertamina : US$ 375 juta, return = 192%, Ø Pemda/BUMD : US$ 77 juta, return = 184%, Ø Koperasi : US$ 77 juta, return = 184% Ø Masyarakat : US$ 140 juta, return = 336%, 6. Alt-2C : Pendapatan untuk masing – masing pemilik modal selama umur proyek adalah :

Ø Pertamina : US$ 346 juta, return = 207%, Ø Pemda/BUMD : US$ 109 juta, return = 195%, Ø Koperasi : US$ 109 juta, return = 195%, Ø Masyarakat : US$ 92 juta, return = 336%, Dari beberapa alternatif diatas, maka alternatif-1 C adalah yang terbaik, karena didapat return yang optimal untuk masing-masing pemilik modal. Modal yang disetor oleh masing-masing pemilik modal adalah :

Ø Pertamina : US$ 121 juta, Ø Pemda/BUMD : US$ 32,6 juta Ø Koperasi : US$ 32,6 juta,

Ø Masyarakat : US$ 9,5 juta (belum memperhitungkan capital gain) ,

5. KESIMPULAN

Dari hasil studi didapatkan beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Untuk mengatasi “gas shortage” perlu dibangun pipa

Transmisi Gas Trans Jawa (minimal sudah beroperasi mulai tahun 2005). Transmisi gas merupakan sarana untuk menguasai pasar gas.

2. Untuk itu dibutuhkan pipa berdiameter 28” berkapasitas laju alir 600 MMSCFD denngan besarnya investasi US$ 372 juta.

3. Dari 3 case study untuk pipa transmisi gas tersebut didapatkan case-3 adalah yang terbaik yaitu dengan pembangunan satu Booster Compressor di Gresik untuk menaikkan tekanan hingga 1600 Psi.

4. HP Kompresor yang dibutuhkan sebesar 48.307 HP. 5. Dari hasil run keekonomian didapatkan besarnya toll fee

pipa Transmisi Gas Trans Jawa adalah US$ 0,48/MMBTU dengan skenario loan 50% dan didapatkan NCF = US$ 226 juta, POT = 8 tahun, dan pendapatan pemerintah = US$ 497 juta.

6. Dari hasil beberapa alternatif skema permodalan dengan melibatkan pemda, koperasi, dan masyarakat didapatkan alternatif-1C adalah yang paling optimum.

6. SARAN

1. Agar proyek transmisi gas tersebut segera diwujudkan (crash program) dalam rangka untuk mengatasi shortage gas di Pulau Jawa yang akan terjadi dalam beberapa tahun mendatang.

(6)

2. Pendanaan perusahaan tsb (no.1) dapat melalui pinjaman dari bank maksimal sebesar 50%.

3. Memberdayakan daerah dengan melibatkan dalam proyek tersebut misal dalam pengerjaan dan pengerahan tenaga kerja lokal baik non skill maupun skill dan mengikutsertakan perusahaan daerah yang berkompeten dibidangnya.

4. Kepemilikan saham bagi koperasi bisa dengan cara melakukan pinjaman lunak dari bank dan melibatkan sebanyak mungkin koperasi daerah.

DAFTAR PUSTAKA

1. H.W. Boyd, Jr, O.C.Walker, Jr, Jean-Claude Larreche. (1995) Marketing management : A Strategic Approach With A Global Orientation, second Edition, Richard D. Irwin, Inc., Chicago.

2. Philip Kotler.(1994) Marketing Management : Analysis, Planning, Implementation, and Control, Eight Edition, Prentice-Hall Inc., New Jersey, hal. 382-393.

3. Chi U Ikoku. Natural Gas Engineering.

4. Petrominer (2001) Electricity Crisis Threatens, No. 08 Vol. XXVIII, p. 8-9.

5. Andry Halim (2000) Peluang Penguasaan Pasar Gas Pulau Jawa Dengan Pembangunan Pipa Gas Trans Jawa. Pertamina Divisi Gas Hulu, Jakarta. (tidak dipublikasikan).

TABEL 3.1

PERKEMBANGAN MAKRO EKONOMI INDONESIA NO Faktor Ekonomis 1996 1997 1998 1999 2000 1 Perkembangan nyata PDB (Real PDB), % 8,0 4,7 -13,7 2,0 4,0 2 Inflasi Pertengahan Periode,% 8,0 6,7 57,6 20,2 -1,0 3 Inflasi Akhir Periode,% 6,5 11,1 77,6 1,2 9,7 4 Bunga Deposito,% 13,31 14,0 45,0 29,0 15,0 5 Kurs Akhir Periode,

(Rp/US$)

2383 5402 8025 6200 9000

6 Ekspor Total, $Milyar 49,81 53,44 48,84 50,20 53,10 7 Impor Total, $Milyar 42,93 41,69 27,42 32,20 30,40 8 Balance (E – I),$Milyar 6,89 11,75 21,42 18,00 22,70 9 Cadangan Devisa, US$

Milyar

18,25 16,59 22,71 19,85 19,98

Sumber : Depkeu/IMF/WB/ADB

TABEL 3.2

KONSUMSI BBM NASIONAL (RIBU KL)

PRODUK 95/96 96/97 97/98 98/99 2000 PREMIUM 9.481 10.391 11.040 11.127 11.760 SOLAR 17.621 19.706 22.585 19.487 20.964 DIESEL 1.637 1.576 1.494 1.405 1.599 M.BAKAR 4.356 5.126 5.908 5.671 6.315 M.TANAH 9.497 9.954 10.083 10.583 12.009 LAIN-LAIN 1.841 2.094 2.016 1.200 1.200 TOTAL 42.725 47.538 51.927 44.125 53.487

(7)

Gambar

Tabel Lampiran

Referensi

Dokumen terkait

Kalimantan - SKG Bontang Migas Distribusi Kalimantan Timur Kota Bontang 108. Pertamina EP Asset

dengan ini, Dekan menyesuaikan penyelenggaraan perkuliahan dan praktikum pada semester genap tahun akademik 2020-2021 secara online dan offline dalam rangka

Persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam upaya perlindungan Hak Cipta atas karya cipta digital ini adalah masalah proses penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap

• Penerapan instrumen semacam unexplained wealth yang berlaku di negara lain ke Indonesia dapat dipastikan akan membawa konsep yang relatif baru dalam praktek hukum di

Teknik analisis data dilakukan dengan cara (1) mengidentifikasi setiap kriteria kualitas buku teks pelajaran muatan lokal bahasa Gorontalo, yang meliputi kelayakan isi, bahasa,

Dijelaskan Hoy & Miskel (2008:303) bahwa karakteristik sekolah efektif yang berimplikasi pada mutu sekolah tersebut adalah: kepemimpinan yang memahami bidang