• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Penelitian dilakukan di Kota Ternate yang merupakan salah satu kota di Propinsi Maluku Utara. Secara administratif, Kota Ternate berada pada 0°‐2° LU dan 126°‐128° BT, yang terdiri dari 4 (empat) pulau berpenghuni yaitu Pulau Ternate, Pulau Hiri, Pulau Moti dan Pulau Batangdua. Lokasi penelitian dibatasi pada kawasan reklamasi pantai yang berada di Pulau Ternate. Kota Ternate (khususnya Pulau Ternate) memiliki 2 kecamatan di pesisir timur dan selatan yang tepat berada di kawasan waterfront, yaitu Kecamatan Kota Ternate Utara dan Kecamatan Kota Ternate Tengah (Gambar 9). Luas wilayah Kota Ternate adalah 5.795,40 km2 dan lebih didominasi oleh wilayah laut. Penelitian dilaksanakan dari bulan April hingga bulan Oktober 2012.

Gambar 9. Lokasi Penelitian

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) RTRW dan RDTR Kota Ternate, (2) Peta Digital Rupabumi Indonesia (RBI) dengan NLP 2516-64, (3) Citra Satelit GeoEye tahun 2001 dan citra Quickbird tahun 2010, (4) Dokumen Perencanan Infrastruktur Kementerian PU, (5) Data tabular BPS, (6) Data Potensi

(2)

Desa (PODES) dan (7) Kuesioner. Alat yang digunakan adalah perangkat komputer berserta software Microsoft Office, Microsoft Exel, ArcGIS 9.3, Global Position System (GPS), dan kamera digital.

Jenis dan Sumber Data

Data yang dibutuhkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei di kawasan waterfront, kuesioner dan wawancara terkait dengan ketersediaan infrastruktur dan waterfront. Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait diantaranya data tabular BPS, dokumen perencanaan infrastruktur, peta dasar dan citra satelit, RTRW dan RDTR. Jenis data, sumber data, teknik analisis, serta hasil yang akan dicapai disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Hasil

Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Hasil

1. Pemetaan perubahan spasial kota  Peta RBI  Citra Satelit  Peta Administrasi • Pengamatan Lapang  BAKOSURTANAL  Google Earth  BAPPEDA • Primer

• SIG  Peta perubahan garis pantai di kawasan waterfront  Peta penggunaan lahan kawasan waterfront  Peta perubahan penggunaan lahan 2. Analisis hierarki wilayah • Potensi Desa (PODES)

• BPS • Skalogram Hierarki wilayah berdasarkan jumlah ketersediaan infrastruktur 3. Pemetaan ketersediaan infrastruktur di kota Ternate • Peta Tematik Ketersediaan infrastruktur • Batas Administrasi • Kota Ternate Dalam Angka • Data Tabular Infrastruktur • SNI Infrastruktur • Pengamatan Lapang • PU • BAPPEDA • BPS • PU, PDAM, PLN, Dinas Tata Kota

• Primer

• SIG • Analisis

Deskriptif

Peta sebaran dan ketersediaan infrastruktur di kota Ternate 4. Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2032 • Jumlah Penduduk • SNI Infrastruktur • BPS • PU • Regresi Linear Prediksi Kebutuahn Infrastruktur untuk perencanaan infrastruktur perkotaan hingga tahun 2032 5. Penentuan arahan strategi penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront • kuesioner

• AHP Persepsi stakeholder untuk arahan strategi penataan dan pengelolaan infrastruktur

(3)

Metode Analisis Data Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG)

Analisis Perubahan Garis Pantai

Pengembangan kawasan waterfront di pesisir timur dan selatan kota Ternate menyebabkan terjadinya perubahan spasial kawasan pesisir. Salah satu parameter yang dapat diukur adalah perubahan garis pantai karena adanya rekayasa teknis reklamasi pantai untuk penambahan luas daratan. Penentuan perubahan garis pantai dilakukan dengan cara tracking sepanjang garis pantai dengan menggunakan GPS (Global Position System) dan pengolahan data citra Quickbird dan GeoEye pada dua titik tahun (akuisisi citra tahun 2001 dan tahun 2010) dengan menggunakan tools Sistem Informasi Geografis (SIG).

Pengolahan data citra dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu pertama, koreksi geometri dengan sistem UTM (Universal Transverse Mercator) karena daerah penelitian relatif kecil dan kedua, delineasi garis pantai secaran visual di kawasan waterfront untuk memisahkan kawasan darat dan laut. Hasil pengolahan citra tersebut kemudian ditumpang-susunkan atau overlay (data citra tahun 2001 dan tahun 2010) untuk mendapatkan peta perubahan garis pantai. Selanjutnya analisis SIG digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan di kawasan waterfront. Analisis menggunakan citra Quickbird tahun 2010 dengan cara digitasi secara visual. Hasil analisis berupa peta kondisi eksisting penggunaan lahan kawasan waterfront.

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan

Analisis penggunaan lahan dalam dua titik tahun (tahun 2004 dan tahun 2010) dilakukan untuk membandingkan penggunaan lahan sebelum dan sesudah pengembangan kawasan waterfront. Analisis ini menggunakan data citra satelit dengan resolusi tinggi yaitu citra Quickbird dan citra GeoEye. Analisis citra dilakukan dengan menggunakan alat analisis Sistem Informasi Geografis (SIG). Pengolahan data citra dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu pertama, koreksi geometri meliputi penyiapan data dengan pengambilan titik kontrol di bumi antara citra dengan peta; penentuan titik kontrol dilakukan dengan sistem UTM (Universal Transverse Mercator) dan kedua, digitasi visual yang didasarkan pada warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan dan asosiasi spasial. Citra

(4)

resolusi tinggi memiliki kenampakan visual yang dapat membedakan antara objek satu dengan objek lainnya sehingga memudahkan dalam interpretasi tutupan lahan. Klasifikasi penggunaan lahan ditetapkan menjadi 2 kelompok, yaitu lahan terbangun (permukiman, jasa dan perdagangan, dan kawasan industri) dan lahan tidak terbangun (hutan, perkebunan, pertanian lahan kering, taman dan tubuh air).

Analisis deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara tumpang susun (overlay) peta penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010. Hasil analisis berupa peta perubahan penggunaan lahan. Selanjutnya data atribut dari peta tersebut digunakan untuk analisis perubahan luas penggunaan lahan dengan menggunakan matriks transisi.

Analisis Sebaran dan Ketersediaan Infrastruktur

Analisis SIG juga digunakan untuk menganalisis sebaran dan ketersediaan infrastruktur di kota Ternate. Penentuan sebaran dan ketersediaan infrastruktur dilakukan dengan cara on screen digitizer dan hasilnya berupa peta eksisting sebaran dan ketersediaan infrastruktur masing-masing unit kecamatan. Peta tersebut dimanfaatkan untuk mengidentifikasi radius pelayanan infrastruktur dalam hal akses pencapaian. Gambar 10 menunjukkan bagan alir penelitian dengan menggunakan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG).

Gambar 10. Bagan Alir Penelitian

Peta Perubahan Garis Pantai Citra Satelit  GeoEye tahun 2001 Quickbird tahun 2010 Survei Lapang • Peta Administrasi • Citra Quickbird 2010 • Peta Tematik Infrastruktur Sistem Informasi Geografis

(SIG)

Peta Eksisting Ketersediaan Infrastruktur

Peta Perubahan Penggunaan Lahan

Peta Penggunaan Lahan Kawasan waterfront Survei Lapang Citra Satelit  GeoEye tahun 2004 Quickbird tahun 2010

(5)

Analisis Hierarki Wilayah dengan Skalogram

Salah satu cara untuk mengukur hierarki wilayah secara cepat dan mudah adalah menggunakan metode skalogram. Pada prinsipnya suatu wilayah yang berkembang secara ekonomi dicirikan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana serta tingkat aksesibilitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Asumsi yang digunakan adalah bahwa wilayah yang memiliki rangking tertinggi adalah lokasi yang dapat menjadi pusat pelayanan. Berdasarkan analisis ini dapat ditentukan prioritas pengadaan infrastruktur atau sarana dan prasarana di setiap unit wilayah yang dianalisis dan tingkat perkembangan wilayahnya.

Data yang digunakan dalam metode skalogram meliputi data umum wilayah, aksesibilitas ke pusat pelayanan, keadaan perekonomian wilayah yang ditunjukkan oleh aktifitas masyarakat yang ada di wilayah tersebut, dan data tentang fasilitas umum yang meliputi data jumlah fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, komunikasi dan jenis data penunjang lainnya.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel-variabel yang telah dimodifikasi dengan mempertimbangkan tujuan penelitian yang berkaitan dengan infrastruktur dan waterfront city. Beberapa variabel yang digunakan adalah variabel yang bersumber dari hasil penelitian Gustiani (2005), yang sebelumnya menggunakan 33 variabel (variabel aksesibilitas dan variabel infrastruktur sosial ekonomi) untuk menentukan hierarki wilayah pesisir. Variabel yang digunakan dalam metode skalogram disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah

No Variabel 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Jumlah penduduk Luas desa/kelurahan

Jarak dari desa ke ibukota kecamatan

Waktu tempuh dari desa ke ibukota kecamatan Jarak dari desa ke ibukota kabupaten

Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten

Jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota lain terdekat

Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten/kota lain terdekat Jumlah TK

Jumlah SD Jumlah SLTP Jumlah SMU/SMK

Jumlah Perguruan Tinggi (PT) Jumlah Rumah Sakit Umum

(6)

Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah (Lanjutan) No Variabel 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.

Jumlah Rumah Sakit Bersalin Jumlah Puskesmas

Jumlah Tempat Praktek Dokter Jumlah Apotek

Jumlah Terminal Penumpang Kendaraana Bermotor Roda 4 atau Lebih Jumlah Wartel/Kiospon/Warpostel/Warparpostel

Jumlah Kios Sarana Produksi Pertanian Jumlah industri UKM

Jumlah Supermarket/ pasar swalayan/toserba/ minimarket Jumlah Restoran/rumah makan

Jumlah Toko/Warung kelontong Jumlah Hotel

Jumlah Bank Umum (Kantor Pusat/Cabang/Capem) Jumlah Bank Perkreditan Rakyat

Jumlah Koperasi Jumlah KUD

Jumlah Koperasi Simpan Pinjam Jumlah Koperasi Non KUD lainnya

Jumlah Keluarga yang menggunakan listrik PLN Jumlah Keluarga yang menggunakan air bersih PDAM Jumlah Sarana Ibadah

Selanjutnya terhadap masing-masing data atau variabel dilakukan pembobotan dan standarisasi. Struktur pusat pelayanan dalam wilayah dinilai berdasarkan indeks perkembangan wilayah tersebut. Setiap wilayah diurutkan hierarkinya berdasarkan akumulasi dari prasarana yang ada di wilayah tersebut setelah dilakukan pembobotan dan standarisasi. Wilayah dengan tingkat hierarki yang terbesar merupakan wilayah yang memiliki ketersediaan prasarana terlengkap, demikian seterusnya hingga urutan hierarki terkecil atau merupakan pusat pelayanan bagi wilayah yang hierarki wilayahnya lebih rendah. Urutan hierarki yang diperoleh kemudian dikelompokan lagi menurut selang hierarki.

Nilai indeks perkembangan (IP) masing-masing unit kelurahan/desa selanjutnya dikelompokan lagi untuk menentukan hierarki kelurahan/desa yaitu hierarki 1 (pusat pelayanan), hierarki 2 dan hierarki 3 (hinterland). Penentuan pengelompokan menggunakan selang hierarki berdasarkan nilai standar deviasi IP dan nilai rataan dari IP. Hierarki 1 adalah nilai rata-rata ditambah dengan standar deviasi, hierarki 2 adalah nilai yang berada diantara nilai hierarki 1 dan 3, sedangkan hierarki 3 adalah nilai rata-rata standar deviasi.

(7)

Analisis Ketersediaan Infrastruktur

Identifikasi ketersediaan infrastruktur menggunakan data tabular, kemudian dibandingkan dengan standar/pedoman kebutuhan infrastruktur berdasarkan ketetapan dari Kementrian Pekerjaan Umum. Jumlah penduduk dan akses pencapaian digunakan sebagai parameter untuk perhitungan ratio jumlah dan sebaran infrastruktur dengan kebutuhan masyarakat pada masing-masing kecamatan. Data yang digunakan merupakan data tabular ketersediaan infrastruktur eksisting (tahun 2010 atau 2011). Hasil analisis diinterpretasikan sebagai kondisi ketersediaan infrastruktur fisik, infrastruktur sosial dan ekonomi dan infrastruktur hijau sesudah pengembangan kawasan waterfront.

Infrastruktur Fisik a. Jaringan Jalan

Infrastruktur jalan memiliki peran penting sebagai media pergerakan manusia maupun kendaraan dari satu tempat ke tempat lainnya, serta sebagai akses pelayanan. Jalan perkotaan dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsinya, yaitu jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal/lingkungan sebagaimana termuat dalam Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990.

Tabel 5. Klasifikasi Jalan Perkotaan Sistem

Jaringan Jalan Perkotaan

Dimensi dari Elemen-Elemen Jalan

Kendaraan yang diizinkan Jalur (m) Bahu (m) Trotoar (m) Separator (m) Median (m) Arteri Primer 6.0-7.0 1.0 2.0 1.5 2.5 Mobil, motor, kendaraan umum bus, angkutan barang berat Kolektor Primer 5.0-6.0 1.0 1.5 1.0 1.5 Mobil, motor, bus, angkutan barang berat Lokal Primer 4.5-5.0 0.7 1.5 - - Mobil, motor, bus, kendaraan angkutan barang Arteri Sekunder 6.0-7.0 1.0 2.0 1.0 2.0 Mobil, motor, bus, angkutan barang ringan, Kolektor Sekunder 5.0-6.5 1.0 2.0 1.0 1.5 Mobil, motor, bus Lokal

Sekunder 3.0-4.5 0.5 2.0 - - Mobil, motor,

(8)

Evaluasi ketersediaan jaringan jalan di Kota Ternate dianalisis dengan data jalan dalam deret waktu (time series) untuk mengetahui tingkat perkembangan jaringan jalan yang ada. Selain itu parameter kerapatan jalan juga dianalisis guna mengidentifikasi kecamatan-kecamatan mana yang memiliki tingkat kerapatan jalan tinggi dalam penyediaan infrastruktur jalan. Kondisi eksisting ketersediaan jalan saat ini dibandingkan dengan pedoman pada Tabel 5, untuk menunjukkan kesesuaian kondisi jaringan jalan berdasarkan standar/pedoman tersebut.

b. Jaringan Listrik

Penyediaan infrastruktur jaringan listrik perkotaan meliputi pembangkit, gardu dan jaringan kabel. Umumnya setiap kota memiliki pembangkit sebagai sumberdaya listrik misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) maupun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). Penelitian ini difokuskan untuk evaluasi distribusi daya listrik yang disebarkan melalui gardu listrik yaitu: gardu tiang/portal, gardu tembok/beton, gardu cantol atau gardu kios, dan jaringan kabel yang ada di Kota Ternate. Analisis deskriptif dilakukan untuk menggambarkan sarana dan prasarana listrik di Kota Ternate. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi cakupan pelayanan (jumlah pelanggan/penduduk yang terlayani) jaringan listrik berdasarkan SNI 03-1733-2004. Data yang digunakan meliputi data tabular dalam deret waktu (time series), sehingga dapat mengetahui perkembangan cakupan pelayanan jaringan listrik sesudah pengembangan kawasan waterfront.

Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan listrik yang harus disediakan pada lingkungan perumahan di perkotaan adalah:

a) kebutuhan daya listrik; dan b) jaringan listrik.

Beberapa persyaratan, kriteria dan kebutuhan sarana dan prasarana listrik yang harus dipenuhi berdasarkan SNI 03-1733-2004 adalah:

a) Penyediaan kebutuhan daya listrik

1) Setiap lingkungan perumahan harus mendapatkan daya listrik dari PLN atau dari sumber lain; dan

(9)

2) Setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450 VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari jumlah kebutuhan rumah tangga.

b) Penyediaan jaringan listrik

1) Penyediaan jaringan listrik lingkungan mengikuti hierarki pelayanan, dimana besar pasokannya telah diprediksikan berdasarkan jumlah unit hunian yang mengisi blok siap bangun;

2) Penyediaan tiang listrik sebagai penerangan jalan yang ditempatkan pada area damija (daerah milik jalan) pada sisi jalur hijau yang tidak menghalangi sirkulasi pejalan kaki di trotoar;

3) Penyediaan gardu listrik untuk setiap 200 KVA daya listrik ditempatkan pada lahan yang bebas dari kegiatan umum;

4) Penerangan jalan yang disyaratkan memiliki kuat penerangan 500 lux dengan tinggi >5 meter dari muka tanah;

5) Daerah di bawah tegangan tinggi sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk tempat tinggal atau kegiatan lain yang bersifat permanen karena akan membahayakan keselamatan.

c. Air Bersih

Data lokasi sumber air bersih diambil dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS), wawancara dan observasi. Analisis deskriptif digunakan untuk identifikasi ketersediaan pelayanan instalasi air bersih pada sarana publik misalnya pasar, pertokoan/mall, dan mesjid maupun terhadap kebutuhan untuk rumah penduduk. Hasil analisis dibandingkan dengan SNI-03-1733-2004 dan standar kebutuhan air bersih dari PDAM sebagai bahan acuan (Tabel 6).

(10)

Tabel 6. Kebutuhan Air Domestik dan Non Domestik Perkotaan

Jenis Sarana Kebutuhan

Rumah Tangga Sekolah

100 lt/org/hari 10 1t/murid/hari Rumah sakit 200 lt/tempat tidur/hari

Puskesmas 2 m3/hari

Mesjid 2 m3/hari

Kantor 10 1t/pegawai/hari

Pasar 12 m3/ha/hari

Hotel 150 1t/tempat tidur/hari

Rumah makan 100 1t/tempat duduk/hari Kompleks militer 60 1t/orang/hari Kawasan industri 0,2-0,8 lt/dt/ha Kawasan pariwisata 0,1-0,3 lt/dt/ha Sumber : PDAM Kota Ternate (2007)

d. Drainase

Sistem drainase merupakan rangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga fungsi kawasan/lahan tersebut tidak terganggu. Analisis ketersediaan sistem drainase perkotaan dilakukan dengan identifikasi jenis saluran yang terlayani pada masing-masing kecamatan. Hasil analisis data di lapang dikomparasikan dengan SNI 02-2406-1991 tentang Tata Cara Perencanaan Umum Drainase Pekotaan (Tabel 7) dan Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan No.008/T/BNKT/1990.

Tabel 7. Bagian Jaringan Drainase

Jenis Sarana Prasarana

Badan Penerima Air Sumber air di permukaan tanah (laut, sungai, danau) Sumber air di bawah permukaan tanah (air tanah akuifer) Bangunan pelengkap Pertemuan saluran

Bangunan terjun Jembatan Street inlet Pompa Pintu air Sumber : SNI 02-2406-1991 e. Sampah

Pengelolaan sampah menurut Tchobanoglous (1997 diacu dalam Soma, 2010) dapat dikelompokan kedalam 6 (enam) elemen terpisah yaitu :

(11)

1. Pengendalian bangkitan (control of generation) 2. Penyimpanan (storage)

3. Pengumpulan (collection)

4. Pemindahan dan pengangkutan (transfer and transport) 5. Pemrosesan (processing)

6. Pembuangan (disposal)

Keterkaitan antar elemen-elemen tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam pengelolaan sampah. Untuk mewujudkan efisiensi dalam pengelolaan sampah, maka setiap elemen harus dikelola secara optimal dengan tetap mempertimbangkan faktor kendala misalnya teknologi, biaya, pendidikan maupun perilaku masyarakat (Soma, 2010). Identifikasi sistem pengelolaan sampah dalam penelitian ini meliputi perilaku pembuangan sampah, timbulan sampah (sumber dan tipe sampah), pewadahan sampah, frekuensi pelayanan kebersihan (pengumpulan), proses pemindahan dan pengangkutan sampah, serta pembuangan akhir (TPA). Analisis deskriptif digunakan untuk meninjau sistem persampahan rumah tangga dalam unit masing-masing kecamatan. Pedoman standar yang digunakan sebagai acuan adalah SNI 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan dan SNI 19-3983-1995 tentang Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil dan Sedang di Indonesia (Tabel 8).

Tabel 8. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen-Komponen Sumber Sampah

Komponen Sumber Sampah Satuan Volume (liter) Berat (kg) Rumah permanen per org/hari 2,25 - 2,50 0,350 - 0,400 Rumah semi permanen per org/hari 2,00 - 2,25 0,300 - 0,350 Rumah non permanen per org/hari 1,75 - 2,00 0,250 - 0,300 Kantor per pegawai/hari 0,50 - 0,75 0,025 - 0,100 Toko/ruko per petugas/hari 2,50 - 3,00 0,150 - 0,350 Sekolah per murud/hari 0,10 - 0,15 0,010 - 0,020 Jalan arteri sekunder per meter/hari 0,10 - 0,15 0,020 - 0,100 Jalan kolekter sekunder per meter/hari 0,10 - 0,15 0,010 - 0,050 Jalan lokal per meter/hari 0,05 - 0,10 0,005 - 0,025 Pasar per meter2/hari 0,20 - 0,60 0,100 - 0,300

(12)

Infrastruktur Sosial dan Ekonomi

Penyediaan infrastruktur sosial dan ekonomi berdasarkan jumlah penduduk terlayani, radius area layanan terkait dengan kebutuhan pelayanan yang harus dipenuhi. Standar kebutuhan dan pelayanan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi mengacu pada SNI-03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan (Tabel 9). Analisis deskriptif digunakan untuk evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi dengan cara tabulasi, perhitungan dan penyajian dalam bentuk angka.

Tabel 9. Kebutuhan Sarana dan Prasarana Sosial dan Ekonomi

Jenis Sarana & Prasarana Jumlah Penduduk Pendukung (jiwa) Kebutuhan per satuan sarana Standar (m2/jiwa) Kriteria Luas Lantai Min. (m2) Luas Lahan Min. (m2) Radius (m’) Lokasi dan Penyelesaian Pertokoan 6.000 1.200 3.000 0,5 2.000 Di pusat kegiatan sub

lingkungan. KDB 40% dapat berbentuk P&D Pusat Pertokoan + Pasar Lingkungan 30.000 13.500 10.000 0,33 Dapat dijangkau dengan kendaraan umum Pusat Perbelanjaan dan Niaga (toko + pasar + bank + kantor)

120.000 36.000 36.000 0,3 Terletak di jalan utama, termasuk sarana parkir sesuai ketentuan setempat Mesjid (Kecamatan) 120.000 3.600 5.400 0,03 Berdekatan dengan pusat lingkungan/ kelurahan. Sebagian sarana berlantai 2, KDB 40% Gedung Serbaguna 120.000 1.500 3.000 0,025 100 Dapat dijangkau dengan kendaraan umum Gedung Bioskop 120.000 1.000 2.000 0,017 100 Terletak di jalan utama, dapat merupakan bagian dari pusat perbelanjaan Terminal wilayah (tiap kecamatan) 120.000 2.000 jarak jangkauan

pejalan kaki ideal ke titik transit lain /daerah tujuan = 400m

(13)

Infrastruktur Hijau

Infrastruktur hijau (green infrastructure) merupakan konsep pengembangan kota ekologis (eco-city) atau seimbang dengan alam dan berkelanjutan. Pendekatan konsep infrastruktur hijau menurut Jongman dan Pungetti (2004 diacu dalam Herwirawan, 2009) adalah hubungan multi fungsi antar kawasan terbuka termasuk taman, kebun, areal tanaman hutan, koridor hijau, saluran air, pohon-pohon di sepanjang jalan, dan daerah terbuka lainnya serta kondisi fisik lingkungan di pedesaan maupun perkotaan. Dalam penelitian ini, analisis kapasitas pemenuhan infrastruktur hijau dimaksudkan untuk evaluasi karakteristik dan standar penyediaan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Ternate.

Berdasarkan Undang-Undang No.26 Tahun 2007, Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun sengaja ditanam. Ketentuan UU No. 26/2007 menyatakan bahwa penyediaan RTH 30%, terdiri dari RTH publik di kawasan perkotaan minimal 20% dan RTH privat minimal 10% dari luas wilayah kota. Dalam kasus ini, kondisi eksisting ketersediaan RTH tiap kecamatan di Kota Ternate (kecamatan-kecamatan yang berada di pusat kota) dikomparasikan dengan ketentuan UU No.26/2007 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (Tabel 10).

Tabel 10. Fungsi dan Penerapan RTH Berdasarkan Tipologi Kawasan Perkotaan Tipologi Kawasan

Perkotaan

Karakteristik RTH

Fungsi Utama Penerapan Kebutuhan RTH Pantai  Pengaman wilayah pantai

 Sosial budaya  Mitigasi bencana

 Berdasarkan luas wilayah  Berdasarkan fungsi tertentu Pegunungan  Konservasi tanah

 Konservasi air

 Keanekaragaman hayati

 Berdasarkan luas wilayah  Berdasarkan fungsi tertentu Rawan Bencana  Mitigasi/evakuasi bencana  Berdasarkan fungsi tertentu Berpenduduk jarang

sampai sedang

 Dasar perencanaan kawasan

 Sosial  Berdasarkan fungsi tertentu  Berdasarkan jumlah penduduk Berpenduduk padat  Ekologis

 Sosial  Hidrologis

 Berdasarkan fungsi tertentu  Berdasarkan jumlah penduduk Sumber : PERMEN PU No.05/PRT/M/2008

(14)

Analisis Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2032

Prediksi kebutuhan infrastruktur dimaksudkan untuk membantu merencanakan sistem penyediaan infrastruktur di masa mendatang. Analisis prediksi kebutuhan infrastruktur diantaranya adalah air bersih, listrik, sampah, sarana kesehatan serta niaga dan perdagangan. Analisis ini menggunakan parameter jumlah penduduk dalam 20 tahun kedepan (hingga tahun 2032) untuk menentukan besarnya kebutuhan infrastruktur yang harus disediakan di suatu wilayah.

Metode proyeksi penduduk dapat dibagi atas proyeksi secara global, proyeksi secara kategorik dan proyeksi menurut lokasi (distribusi menurut lokasi (Tarigan, 2006). Dalam studi kasus ini, metode yang digunakan adalah proyeksi global dimana semua penduduk dianggap memiliki karakteristik yang sama (hanya jumlah penduduk yang diproyeksi). Proyeksi secara global menggunakan metode regresi linear dengan persamaan sebagai berikut :

Linear Regression

a dan b dapat dihitung :

Y = a + bX

Pt = a + bX b Dimana:

Pt = Penduduk pada tahun t a = Konstanta

b = Arah garis

X = variabel independen (jumlah penduduk)

Analisis Persepsi Stakeholders dengan Analitycal Hierarchy Process (AHP)

Setelah pengembangan kawasan waterfront masih menyisahkan beberapa permasalahan dalam penataan maupun pengelolaan infrastruktur. Untuk dapat menangani permasalahan tersebut, maka diperlukan integrasi antara stakeholder untuk dapat merumuskan kebijakan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront. Stakeholder yang dipilih terkait langsung dengan bidang infrastruktur, diantaranya adalah instansi pemerintah (BAPPEDA Kota Ternate,

(15)

Dinas Tata Kota, dan Dinas PU), pihak swasta (konsultan perencana dan kontraktor) dan akademis dengan jumlah responden sebanyak 11 responden.

Metode Analitycal Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk analisis persepsi stakeholders terkait dengan permasalahan dalam ketersediaan infrastruktur di kawasan waterfront. Prinsip kerja AHP ialah menyederhanakan suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dengan berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2000 diacu dalam Faizu, 2011).

Hal-hal yang diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam AHP adalah dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas dan konsistensi logika. Adapun tahapan pendekatan AHP diuraikan dibawah ini.

a. Identifikasi Sistem

Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan dan memerlukan variabel yang berpengaruh dan solusi yang diinginkan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, bahwa metoda AHP digunakan untuk mendapatkan solusi dalam permasalahan terkait dengan infrastruktur di kawasan waterfront. Untuk itu pertanyaan diajukan dalam pendekatan 3 (tiga) kelompok infrastruktur yaitu infrastruktur fisik, infrastruktur sosial dan ekonomi, dan infrastruktur hijau.

b. Penyusunan Sistem Hierarki

Penyusunan struktur hierarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkat kriteria paling bawah (Gambar 11).

c. Pembuatan Matriks Perbandingan Berpasangan

Matriks perbandingan berpasangan menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria/kepentingan setingkat diatasnya. Perbandingan berdasarkan persepsi responden dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya.

(16)

Penilaian dilakukan dengan pembobotan masing-masing komponen dengan perbandingan berpasangan dimulai dari level tertinggi sampai pada level terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan persepsi responden dengan skala komparasi 1-9 (Saaty, 1991 diacu dalam Faizu, 2011). Nilai komparasi digunakan untuk mengkuantitatifkan data yang bersifat kualitatif.

(17)

Tingkat 1: Fokus Tingkat 2 : Aspek Tingkat 3: Sub Aspek Tingkat 4: Alternatif

Gambar 11. Struktur Hierarki AHP

Arahan Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan Waterfront

Infrastruktur Fisik Infrastruktur Sosial & Ekonomi Infrastruktur Hijau

Jaringan Jalan Saluran Drainase Sampah Perbaikan Saluran Drainase Pengelolaan Sampah Terpadu Revitalisasi kawasan Pasar Tradisional Penataan Lansekap Taman Kota “Dodoku-Ali” Pelayanan Air Bersih Jaringan Listrik Pasar Tradisional Taman Kota Pertokoan/ Mall Mesjid Terminal Angkutan Lapangan Olahraga Penataan Kawasan PKL Penataan Jalur Pedestrian Penataan Lansekap Kawasan Gelanggang Remaja 6 2

(18)

1) Perhitungan Matriks Pendapat Individu Formulasi matriks individu, sebagai berikut :

C1 C2 .... Cn C1 1 a12 .... a1n A = (aij) = C2 1/a12 1 .... a2n .... .... .... .... .... Cn 1/a1n 1/a2n .... dimana :

C1, C2, ..., Cn = set elemen pada satu tingkat keputusan dalam hierarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj

2) Perhitung Matriks Pendapat Gabungan

Matriks pendapat gabungan merupakan matriks baru yang elemen-elemennya ( ∑ij ) berasal dari rata-rata geometrik elemen matrik pendapat individu yang nilai rasio konsistensinya (CR) memenuhi syarat. Tujuan dari penyusunan matriks pendapat gabungan ini adalah untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat individu yang ada. Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mengukur tingkat konsistensi serta prioritas dari elemen-elemen hierarki yang mewakili semua responden. Pendapat gabungan ini menggunakan formula sebagai berikut ;

√∏

dimana :

gij = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i kolom ke-j aij = elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i kolom ke-j k = 1,2, ...m. dan m = jumlah responden

(19)

3) Pengolahan Vertikal

Pada penyusunan prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama dilakukan pengolahan vertikal. Bila CVij merupakan nilai prioritas pengaruh elemen ke-i pada tingkat ke-j terhadap sasaran utama, maka :

Untuk, i = 1,2,3,...p j = 1,2,3,...r dan t = 1,2,3...s

Dimana :

Cvij = nilai prioritas pengaruh ke-i pada tingkat ke-j terhadap sasaran utama

Chij (t,i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i=1)

VWt(i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-1) terhadap sasaran utama

p = jumlah tingkat hierarki keputusan

r = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i ke (i-1) s = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (i-1)

4) Revisi Pendapat

Revisi pendapat dilakukan apabila nilai konsistensi ratio (CR) pendapat cukup tinggi (>0,1) dengan mencari deviasi RMS (Root Mean Square) dari baris-baris (aij) dan perbandingan nilai bobot kolom (Wi/Wj) dan merevisi pendapat pada baris yang mempunyai nilai terbesar, dengan persamaan :

∑ ( ⁄ )

Catatan dari beberapa ahli bahwa jika jumlah revisi terlalu besar, sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Oleh karena itu penggunaan revisi ini sangat terbatas sekali mengingat akan terjadi penyimpangan dari jawaban.

Gambar

Gambar 9. Lokasi Penelitian
Tabel 3. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Hasil
Gambar 10. Bagan Alir Penelitian
Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah (Lanjutan)  No  Variabel  15.  16.  17
+6

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengetahui kemampuan Fuzzy Kohonen Clustering Network dalam pengenalan pola tanda tangan maka dilakukan pengujian, yang datanya diambil diluar data pelatihan

Berdasarkan pengertian tersebut elemen-elemen penting yang harus ada dalam sebuah kebijakan publik adalah tindakan-tindakan pemerintah yang dilakukan secara obyektif

Gambar 8 Perbandingan Kualitas Pertanyaan Kegiatan Pra siklus dan Siklus II Hasil observasi mengenai kategori pembicaraan dalam proses pembelajaran siklus I dapat dilihat

Suatu Komunikasi yang baik akan menciptakan lingkungan yang terapetik dan kondusif, Untuk menghindari konflik adalah dengan menerapkan komunikasi yang efektif dalam

Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase daya keeambah benih normal lebih tinggi pada varietas Anjasmoro (93,0%), yang berbeda nyata dengan varietas lainnya, kecuali dengan

Menetapkan : PERATURAN BADAN PENGATUR HILIR MINYAK DAN GAS BUMI TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN ATAS PELAKSANAAN PENYEDIAAN DAN PENDISTRIBUSIAN BAHAN

Masalah yang dibahas dalam penulisan ini adalah cara memberikan warna kepada semua simpul-simpul yang ada, sedemikian rupa sehingga 2 simpul yang berdampingan

Pewangi Laundry Rejang Lebong Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik BERIKUT INI TARGET MARKET PRODUK NYA:.. Kimia Untuk Keperluan