Nama
: Irfan Wanata
NIM
: 0706547
Prodi
: Pendidikan Ilmu Komputer
Kelas
: Kom‐A
MK
: BPIK
Teori Pembelajaran Behavioristik, Kognitif, dan Konstruksivisme
Teori BehavioristikTeori Behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan
aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat,
minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata‐mata melatih refleks‐
refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar dari pendekatan behaviorisme ini dihasilkan oleh beberapa ahli,
diantaranya : 1. Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum‐hukum
belajar, diantaranya:
• Law of Effect: artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka
hubungan Stimulus ‐ Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek
yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus‐
Respons.
• Law of Readiness: artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan
organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit‐
unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.
• Law of Exercise: artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin
bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak
dilatih.
2. Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum‐hukum
belajar, diantaranya :
• Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam
stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka
refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
• Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang
sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa
menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3. B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung
merpati menghasilkan hukum‐hukum belajar, diantaranya :
• Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat,
• Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui
proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
menurun bahkan musnah. Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap
lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus,
melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya
adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu,
namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical
conditionin.
4. Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar
yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori‐teori belajar lainnya. Berbeda dengan
penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata‐mata
refleks otomatis atas stimulus (S‐R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil
interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar
menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi
melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih
memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang
individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. 5. Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun
stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi
walaupun dia mengakui adanya perubahan‐perubahan mental dalam diri seseorang selama
proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu
diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu‐ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang
sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan
diukur. 6. Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan
pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull,
seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar
organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan
pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral
dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun
hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul
mungkin dapat berwujud macam‐macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini,
tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991). 7. Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus‐stimulus
yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan
yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan
respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang
Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan
mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat
sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi
stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar.
Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat.
Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru
tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991). Aplikasi dan Implikasi teori Behavioristik
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan
telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan
mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau
pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada
melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari
proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan.
Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar‐standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal‐hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal‐
hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis‐mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri
mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan‐aturan yang jelas dan
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang
perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku
yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara
ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya
menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar.
Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini
menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang
sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai
kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara
individual.
Teori Kognitif
Pembelajaran kognitif mengatakan bahwa perilaku manusia tidak ditentukan oleh stimulus yang
berada diluar dirinya, melainkan oleh faktor yang ada pada dirinya sendiri. Faktor‐faktor internal itu
berupa kemampuan atau potensi yang berfungsi untuk mengenal dunia luar, dan dengan
pengenalan itu manusia mampu memberikan respon terhadap stimulus. Berdasarkan pada
pandangan itu teori pembelajaran kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur‐
unsur kognisi terutama pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari
luar. Dengan kata lain, aktivitas belajar manusia ditentukan pada proses internal dalam berpikir
yakni pengolahan informasi.
Teori ini juga banyak dipaparkan oleh para ahli, diantaranya: 1. Pembelajaran menurut Jean Piaget.
• Belajar aktif: Untuk membantu perkembangan kognitif anak, kepadanya perlu diciptakan
kondisi belajar yang memungkinkan anak belajar sendiri, misalnya melakukan percobaan.
Manipulasi symbol‐simbol, mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban sendiri,
membandingkan penemuan sendiri dengan penemuan temannya.
• Belajar lewat interakksi social: Tanpa intraksi sosial, perkembangan kognitif anank akan
tetap bersifat egosentris. Sebaliknya lewat interaksi sosial, perkembangan kognitif anak akan
mengarah pada banyak pandangan dengan macam‐macam sudut pandang dari alternatif
• Belajar lewat pengalaman sendiri: Bahasa memang memegang peranan penting dalam
perkembangan kognitif , namun bila menggunakan bahasa yang digunakan untuk
berkomunikasi tanpa pernah karena pengalaman sendiri makaperkembangan anak
cenderung mengarah pada verbalisme.
2. Pembelajaran menurut David Ausable
• Pengaturan awal: Pengaturan awal dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan
konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya.
• Deferen siasi progresif: Dalam proses belajar bermakna perlua ada pengmbangan dan
evaluasi konsep‐konsep. Caranya, unsure yang paling umum dan inklusif diperkenalkan
dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, berarti pembelajaran dari umum ke kuhsus. • Belajar super ordinat: Adalah proses struktur kognitif yang mengalami pertumbuhan kearah
deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam
struktur kognitif tersebut. • Penyesuaian integrative.
3. Kognitif Modern
Menurut pendekatan kognitif yang mutakhir, elemen terpenting dalam proses belajar adalah
pengetahuan yang dimiliki oleh tiap individu kepada situasi belajar. Dengan kata lain apa yang
telah kita diketahui akan sangat menentukan apa yang akan menjadi perhatian, dipersepsi,
dipelajari, diingat ataupun dilupakan. Pengetahuan bukan hanya hasil dari proses belajar
sebelumnya, tapi juga akan membimbing proses belajar berikutnya. Berbagai riset terapan
tentang hal ini telah banyak dilakukan dan makin membuktikan bahwa pengetahuan dasar yang
luas ternyata lebih penting dibanding strategi belajar yang terbaik yang tersedia sekalipun.
Terlebih bila pengetahuan dan wawasan yang luas ini disertai dengan strategi yang baik tentu
akan membawa hasil lebih baik lagi tentunya.
Perspektif kognitif membagi jenis pengetahuan menjadi tiga bagian, yaitu:
• Pengetahuan Deklaratif, yaitu pengetahuan yang bisa dideklarasikan biasanya dalam bentuk
kata atau singkatnya pengetahuan konseptual.
• Pengetahuan Prosedural, yaitu pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan misalnya
dalam hal pembagian satu bilangan ataupun cara kita mengemudikan sepeda, singkatnya
“pengetahuan bagaimana”.
• Pengetahuan Kondisional, adalah pengetahuan dalam hal “kapan dan mengapa”
pengetahuan deklaratif dan prosedural digunakan.
Pengetahuan deklaratif rentangnya sangat beragam, bisa berupa pengetahuan tentang fakta
(misalnya, bumi berputar mengelingi matahari dalam kurun waktu tertentu), generalisasi (setiap
benda yang di lempar ke angkasa akan jatuh ke bumi karena adanya gaya gravitasi), pengalaman
pribadi (apa yang diajarkan oleh guru sains secara menyenangkan) atau aturan (untuk melakukan
operasi penjumlahan dan pengurangan pada pecahan maka pembilang harus disamakan terlebih
dahulu).
Menyatakan proses penjumlahan atau pengurangan pada bilangan pecahan menunjukkan
pengetahuan deklaratif, namun bila siswa mampu mengerjakan perhitungan tersebut maka dia
sudah memiliki pengetahuan prosedural. Guru dan siswa yang mampu menyelesaikan soal melalui
prosedural lainnya. Seperti halnya siswa yang mampu berenang dalam satu gaya tertentu, berarti dia
sudah menguasai pengetahuan prosedural hal tersebut, dengan kata lain penguasaan pengetahuan
ini juga dicirikan oleh praktek yang dilakukan.
Sedangkan pengetahuan kondisional adalah kemampuan untuk dapat mengaplikasikan kedua jenis
pengetahuan di atas. Dalam menyelesaikan persoalan perhitungan kimia misalnya, siswa harus
dapat mengidentifikasi terlebih dahulu persamaan apa yang perlu dipakai (pengetahuan deklaratif)
sebelum melakukan proses perhitungan (pengetahuan prosedural). Pengetahuan kondisional ini
jadinya merupakan hal yang penting dimiliki siswa, karena menentukan penggunaan konsep dan
prosedur yang tepat. Terkadang siswa mengetahui fakta dan dapat melakukan satu prosedur
pemecahan masalah tertentu, namun sayangnya mengaplikasikannya pada waktu dan tempat yang
kurang tepat.
Hal yang sangat penting jadinya untuk mengidentifikasi jenis pengetahuan ini bagi guru ketika
mengajar. Mempelajari informasi tentang pokok bahasan tertentu tidak selalu menyebabkan siswa
akan menggunakan informasi tersebut. Tidak juga latihan menyelesaikan banyak soal pada topik
bahasan tertentu, akan membantu mereka memahami satu prinsip lebih mendalam. Mengetahui
sesuatu topik, mengetahui prosedural penyelesaian masalah serta tahu kapan dan mengapa
menggunakan pengetahuan tersebut adalah hasil belajar yang berbeda‐beda, dan tentu saja ini
perlu diajarkan dengan cara yang berbeda pula. Aplikasi dan Implikasi teori Kognitif
Untuk menggunakan tiga jenis pengetahuan di atas, tentunya kita harus dapat mengingatnya
dengan baik. Hal berikutnya teori belajar yang dibahas dalam perspektif kognitif ini adalah
tentang bagaimana individu mengingat dan bagian apa saja dari memori yang bekerja dalam
proses berpikir seperti pada pemecahan masalah. Model pengolahan informasi merupakan salah
satu model dari perspektif teori belajar ini yang menjelaskan kerja memori manusia sesuai
dengan analogi komputer, yang meliputi tiga macam sistem penyimpanan ingatan: memori
sensori, memori kerja dan memori jangka panjang.
• Memori Sensori adalah sistem mengingat stimuli secara cepat sehingga analisis persepsi
dapat terjadi.
• Memori Kerja atau memori jangka pendek, menyimpan lima sampai sembilan informasi pada
satu waktu sampai sekitar 20 detik, yang cukup lama untuk pengolahan informasi terjadi.
Informasi yang dikodekan (decode) serta persepsi tiap individu akan menentukan apa yang
perlu disimpan di memori kerja ini.
• Memori Jangka Panjang menyimpan informasi yang sangat besar dalam waktu yang lama.
Informasi di dalamnya disimpan dalam bentuk secara verbal dan visual.
Memori sensori adalah sistem yang bekerja seketika melalui alat indera dinama kita memberikan
arti kepada stimuli yang datang dinamakan persepsi. Arti yang diberikan berasal dari realitas
objektif serta dari pengetahuan kita sebelumnya. Contohnya, suatu symbol ‘l’ akan dipersepsi
sebagai huruf alpabet tertentu kalau kita menggolongkannya dalam urutan j, k. l, m; namun
dalam kesempatan berbeda seperti l, 2, 3, 4 maka symbol yang sama bermakna angka satu.
Memori sensori akan menangkap stimuli dan mempersepsi, atau memberikan makna; dalam hal
‘l’ konteks dan pengetahuan kita akan menentukan makna yang akan diberikan, bagi seseorang
yang tidak mempunyai pengetahuan tentang angka atau huruf, maka symbol itu kemungkinan
orang lain yang tidak mengerti bahasa Indonesia ataupun yang buta huruf, walaupun matanya
melihat deretan simbol yang sama seperti Anda; ataupun saat kita membaca huruf kanji dari
koran berbahasa Jepang dimana kita tidak punya kemampuan untuk memahaminya. Memori
sensori tidak hanya bekerja untuk simbol saja namun juga dalam hal warna, gerakan, suara, bau,
suhu dan lainnya yang semuanya harus dipersepsi secara simultan. Namun karena keterbatasan
kemampuan, kita hanya dapat memfokuskan pada beberapa stimuli saja dan mengingkari yang
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian sangatlah selektif; dengan kata lain saat
perhatian penuh sangat diperlukan, biasanya stimuli lainnya akan ditolak.
Perhatian adalah tahap pertama dalam belajar. Siswa tidak dapat memahami apa yang mereka
tidak kenali atau tidak dapat dipersepsi. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi perhatian
siswa. Tampilan atau aksi yang dramatis dapat mencuri perhatian siswa pada awal
pembelajaran. Cara lainnya adalah melalui perlakuan pada kata yang diucapkan atau ditulis oleh
guru dengan warna yang kontras, digaris bawahi atau ditandai; memangil siswa secara acak,
memberikan kejutan siswa, menanyakan hal yang menantang, memberikan masalah yang
dilematis, mengubah metoda mengajar dan tugas, mengubah frekuensi suara dan jedanya akan
dapat membantu menarik perhatian dari siswa. Namun menarik perhatian siswa adalah hal
pertama, membuat mereka untuk tetap fokus pada pelajaran dan tugasnya juga hal yang kritis
berikutnya harus dilakukan oleh guru.
Saat stimulus dipersepsi dan diubah menjadi suatu pola gambar atau suara, informasi yang
didapat menjadi tersedia untuk proses selanjutnya. Memori kerja adalah tempat dimana
informasi baru ini berada dan digabungkan dengan pengetahuan yang berasal dari memori
jangka panjang. Kapasitas memori kerja ini sangat terbatas, dari berbagai eksperimen kapasitas
yang dapat disimpan sekitar lima sampai sembilan hal baru dalam satu waktu. Satu nomor
telepon sepanjang tujuh desimal dapat diingat oleh rata‐rata manusia dewasa, namun hal yang
berbeda bila disuruh untuk mengingat dua buah nomor telepon (14 desimal). Kita tidak dapat
memanggil kedua nomor telepon tadi karena terbatasnya kapasitas memori kerja ini. Hal lainnya
dari memori kerja ini adalah waktu yang digunakannya pun hanya sekitar 5 sampai 20 detik saja.
Namun walaupun begitu waktu tersebut sangat cukup misalnya untuk mengingat dan
memahami apa yang anda baca dalam bagian awal kalimat ini sebelum mencapai akhir kalimat.
Tanpa adanya memori kerja, kita tidak bisa memahami susunan kata dalam satu kalimat dan
gabungan antara kalimat yang berdekatan.
Karena sedikit dan sempitnya memori ini bekerja, maka jenis memori ini harus terus diaktifkan,
kalau tidak maka informasi yang didapat menjadi hilang. Supaya apa yang diingat bisa lebih
panjang dari 20 detik, kebanyakan orang memakai strategi tertentu untuk mengingatnya. Cara
yang pertama adalah strategi latihan yang terbagi menjadi pengelolaan dan elaboratif. Latihan
pengelolaan dilakukan dengan pengulangan informasi di pikiran anda. Sepanjang anda terus
melakukan pengulangan informasi, hal itu akan berada di memori kerja. Cara ini dapat berguna
untuk mengingat sesuatu, seperti nomor telepon, yang kemudian untuk dipergunakan dan
setelah itu tidak perlu diingat lagi. Cara latihan elaboratif adalah dengan menghubungkan
sesuatu yang baru dengan apa yang sudah diketahui, yaitu informasi yang sudah terdapat di
memori jangka panjang. Latihan elaboratif ini tidak hanya meningkatkan memori kerja, tetapi
membantu memindahkan informasi memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Cara
kedua adalah dengan pengelompokkan (chunking) yang dipergunakan untuk menanggulangi
terbatasnya kapasitas memori kerja. Banyaknya bit informasi, bukannya ukuran setiap bit,
mengelompokkan tiap‐tiap bit menjadi unit yang berarti. Deretan enam angka seperti 1, 5, 1, 8,
2, dan 0 akan lebih mudah diingat dalam bentuk dua digit (15, 18 dan 20) atau tiga digit (151,
820). Jika dilakukan cara ini, maka kita cukup perlu mengingat dua atau tiga informasi saja dalam
satu waktu dibanding enam buah.
Informasi memasuki memori kerja dengan cepat, namun untuk dapat disimpan di memori jangka
panjang membutuhkan usaha tertentu. Dalam memori jangka panjang inilah berbagai informasi
disimpan dan dihubungkan dalam bentuk gambaran dan skema, suatu pola struktur data yang
membuat kita bisa menggabungkan informasi kompleks yang sangat besar, membuat
kesimpulan dan memahami informasi baru. Bila kapasitas memori kerja sangat terbatas, namun
kapasitas memori jangka panjang dapat dikatakan hampir tak terbatas. Kebanyakan kita tidak
pernah menghitung kapasitasnya, dan saat satu informasi secara aman sudah disimpan, akan
tetap ada disana dalam waktu yang tak terbatas. Secara teoritis walaupun kita mampu untuk
mengingat sebanyak yang kita mau namun tantangannya justru adalah memanggilnya yaitu
mendapatkan informasi yang tepat sesuai keinginan. Akses pada informasi membutuhkan waktu
dan usaha karena kita harus mencarinya dalam lautan informasi yang luas dalam memori jangka
panjang, dan informasi yang jarang dipakai biasanya akan makin sulit untuk ditemukan.
Terdapat tiga jenis memori jangka panjang, yaitu: episodik, prosedural dan semantik. Episodik
adalah jenis memori yang berhubungan dengan informasi pada waktu dan tempat tertentu,
khususnya ingatan yang bersifat pribadi. Memori jenis ini bersifat teratur, contohnya kita bisa
menceritakan detail percakapan, atau jalannya cerita dari satu film. Memori yang berhubungan
dengan bagaimana melakukan sesuatu disebut memori prosedural. Untuk mempelajari suatu
prosedur seperti mengendarai sepeda, namun setelah dipelajari, pengetahuan ini dapat terus
diingat dalam waktu yang lama. Biasanya makin sering satu prosedur dilakukan, maka makin
otomatis reaksi yang dilakukan. Sedangkan semantik memori adalah memori untuk pemahaman,
yaitu memori untuk konsep, prinsip dan hubungannya; dua hal yang disimpan dalam semantik
memori disebut dengan imaji dan skema. Imaji adalah representasi yang didasarkan pada
persepsi visual terhadap struktur informasi. Pada saat kita membentuk bayangan tertentu kita
mengingat atau mengkreasi kembali karakteristik fisik dan struktur spasial dari informasi. Imaji
dapat berguna misalnya dalam menyusun keputusan praktis bagaimana menempatkan meja di
satu ruangan atau jalur yang akan di tempuh ke satu lokasi. Sedangkan skema adalah stuktur
pengetahuan abstrak yang mengatur sejumlah besar informasi. Skema adalah pola atau panduan
untuk memahami kejadian, konsep atau keterampilan.
Untuk memanggil dan menambah informasi di memori jangka panjang, kita dibantu dengan
elaborasi, organisasi dan penggunaan konteks. Elaborasi adalah memberikan arti pada
infrormasi baru dengan menghubungkannya dengan pengetahuan yang sudah ada. Dengan kata
lain, kita menerapkan skema yang ada dan melukiskannya pada pengetahuan sebelumnya untuk
membentuk pemahaman yang baru saat kita memperbaiki pengetahuan yang ada. Terkadang
elaborasi terjadi secara otomatis, misalnya saat guru menerima info baru tentang pengalaman
yang sudah dipahaminya, maka dia akan langsung mengaktifkan pengetahuan yang ada dan
memberikan pemahaman yang lebih baik serta lengkap. Informasi yang dielaborasi ketika
pertama dipelajari mudah untuk dipanggil karena elaborasi adalah bentuk pengaktifan memori
kerja yang membuat informasi terus aktif untuk kemudian disimpan di memori jangka panjang.
Elaborasi juga membangun hubungan tambahan pada pengetahuan yang sudah dipunyai. Makin
banyak informasi dihubungan dengan hal lainnya, makin banyak peta jalan tersedia untuk diikuti
baru, maka dia akan membuatnya dengan bahasa dia sendiri yang menyebabkan makin baiknya
pemahamannya dia tentang pengetahuan tersebut. Kita membantu siswa dalam elaborasi
dengan menyuruh mereka menuliskan informasi sesuai dengan kata yang mereka susun sendiri
atau dengan membuat contoh yang relevan. Hal yang sebaliknya bisa terjadi, saat siswa
melakukan elaborasi informasi baru dengan menghubungkannya ke hal yang tidak tepat dan
mengembangkan penjelasan yang rancu, maka miskonsepsi ini pun akan disimpan dan terus
diingat oleh siswa.
Organisasi pengetahuan yang dimiliki juga meningkatkan belajar. Bahan ajar yang terorganisir
dengan baik tentunya akan lebih mudah dipelajari dibandingkan yang tidak teratur, khususnya
bila informasi didalamnya juga kompleks. Menempatkan konsep dalam suatu struktur
membantu anda belajar dan mengingat baik untuk definisi umum dan contoh spesifiknya.
Konteks adalah elemen lainnya dari proses yang mempengaruhi belajar. Aspek fisik dan
emosional dari konteks dipelajari bersamaan degan informasi lainnya. Ketika anda mencoba
mengingat satu informasi, hal itu akan dibantu jika konteks yang ada mirip dengan dengan
kondisi kita mendapat informasinya. Sehingga mengkondisikan suasana test sebelum ujian yang
sesungguhnya akan berpengaruh memperbaiki kinerja. Tentu saja kita tidak bisa selalu pergi ke
tempat yang sama saat anda mulai memahami suatu hal, namun kalau anda dapat
menggambarkannya secara mental hal tersebut anda dapat meningkatkan daya ingat anda.
Implikasinya adalah keaktifan siswa biasanya akan lebih berkembang, dikarenakan proses belajar
ini lebih cenderung memaksa siswa untuk lebih mau belajar dan mencari. Semakin siswa
tersebut merangsang otaknya, maka akan semakin cepat dan berhasil pula proses pembelajaran.
Potensi dan kemauan dari siswa adalah penentu keberhasilan teori ini. Disini guru dapat saja
menjadi sumber ilmu sekaligus sebagai pengarah siswa untuk lebih mengembangkan
pengetahuan mereka guna mencapai target belajar yang maksimal.
Teori Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah
suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan
landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak
sekonyong‐konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta‐fakta, konsep, atau kaidah yang siap
untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna
melalui pengalaman nyata. Sedangkan menurut Tran Vui, Konstruktivisme adalah suatu filsafat
belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan memfreksikan pengalaman‐pengalaman
sendiri. Sedangkan teori Konstruktivisme adalah sebuah teori yang memberikan kebebasan terhadap
manusia yang ingin belajar atau mencari kebutuhannya dengan kemampuan untuk menemukan
keinginan atau kebutuhannya tersebut dengan bantuan fasilitasi orang lain. Teori ini memberikan
keaktifan terhadap manusia untuk belajar menemukan sendiri kompetensi, pengetahuan atau
teknologi, dan hal lain yang diperlukan guna mengembangkan dirinya sendiri. Secara umum tujuan
pembelajaran ini adalah:
• Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri. • Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri
• Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara
lengkap.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri. • Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Secara garis besar, prinsip‐prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah : • Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri
• Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan
murid sendiri untuk menalar.
• Murid aktif megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
ilmiah.
• Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan
lancer.
• Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.
• Struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan. • mencari dan menilai pendapat siswa.
• Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Dari semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh hanya semata‐
mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan didalam
benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini dengan cara‐cara mengajar yang
membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide‐ide dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi‐strategi mereka sendiri untuk belajar.
Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan dapat
membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar
siswa itu sendiri yang memanjatnya.
Aplikasi dan Implikasi teori Kontruksivisme
Pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang berasaskan Konstruktivisme akan memberi
peluang kepada guru untuk memilih kaidah pengajaran dan pembelajaran yang sesuai dan murid
dapat menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperoleh suatu konsep atau
pengetahuan. Disamping itu, guru dapat membuat penilaian sendiri dan menilai kefahamannya
tentang sesuatu bidang pengetahuan dapat ditingkatkan lagi. Selain itu, beban guru sebagi
pengajar akan berkurangan di mana guru lebih bertindak sebagai pemudahcara atau fasilitator.
Setiap guru akan pernah mengalami bahwa suatu materi telah dibahas dengan jelas‐jelasnya
namun masih ada sebagian siswa yang belum mengerti ataupun tidak mengerti materi yang
diajarkan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi
kepada sisiwa dengan baik, namun seluruh atau sebagian siswanya tidak belajar sama sekali.
Usaha keras seorang guru dalam mengajar tidak harus diikuti dengan hasil yang baik pada
siswanya. Karena, hanya dengan usaha yangkeras para sisiwa sedirilah para siswa akan betul‐
betul memahami suatu materi yang diajarkan.
Tugas setiap guru dalam memfasilitasi siswanya, sehingga pengetahuan materi yang dibangun
atau dikonstruksi para siswa sendirisan bukan ditanamkan oleh guru. Para sisiwa harus dapat
kognitifnya. Untuk mengajar dengan baik, guru harus memahami model‐model mental yang
digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka dan penalaran yang dikembangkandan
yang dibuat para sisiwa untuk mendukung model‐model itu.
Siswa perlu mengkonstruksi pemahaman yang mereka sendiri untuk masing‐masing konsep
materi sehingga guru dalam mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya‐upaya
sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa tetapi menciptakan situasi bagi siswa yang
membantu perkembangan mereka membuat konstruksi‐konstruksi mental yang diperlukan.
Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan
dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Latihan memecahkan masalah seringkali
dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari‐hari.
Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai dengan
dirinya. Guru hanya sebagai fasilitator, mediator, dan teman yang membuat situasi kondusif
untuk terjadinya konstruksi engetahuan pada diri peserta didik.
Sedangkan Pandangan Konstruktivisme Tentang Belajar adalah sebagai berikut:
• Konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan non objektif, bersifat temporer, selalu
berubah dan tidak menentu.
• Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari dari pengalaman konkrit, aktifitas kolaboratif
dan refleksi dan interpretasi.
• Si belajar akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung