PENTINGNYA LANDASAN PSIKOLOGIS DALAM MENGAPLIKASIKAN KEPADA PESERTA DIDIK DI SEKOLAH DASAR
Farida Tri Kususmastuti
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta e-mail: farida.tri.k@gmail.com
Abstrak: Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya landasan psikologis dalam mengaplikasikannya kepada peserta didik di sekolah dasar . hal tersebut diobservasi bersamaan dengan magang 1 yang bertempat di SD Negeri Karang Anyar, tepatnya adalah kelas 3 yang siswanya berjumlah 26 siswa. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Tahapan yang digunakan adalah observasi (pengamatan), jadi selama di magang 1 ada pengamatan tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan landasan psikologis yang diaplikasikan guru kepada siswanya. Dan alhasil, guru ternyata tidak begitu memperhatikan pokok-pokok penting landasan psikologis siswanya. Dan yang diharapkan adalah guru bisa memahami gaya belajar, karakteristik, potensi dan minat, multiple intellegensi, dll.
Kata Kunci : gaya belajar, karakteristik, potensi dan minat, multiple intellegensi
THE IMPORTANCE OF PSYCHOLOGICAL BASIS IN IMPLEMENTING TO PARTICIPANTS IN SCHOOL BASIC SCHOOL
Abstract: The writing of this journal aims to know the importance of psychological
foundation in applying it to students in elementary school. it is observed simultaneously with apprentice 1 which is located at SD Negeri Karang Anyar, exactly is the 3rd grade with 26 students. The method used is qualitative method. The stages used are observation
(observation), so during the apprenticeship 1 there are observations about some aspects related to the psychological foundation that teachers apply to their students. And consequently, the teacher was not so concerned with the important points of the
psychological basis of his students. And what is expected is the teacher can understand the learning style, characteristics, potential and interests, multiple intellegensi, ect.
Keywords: learning style, characteristics, potential and interests, multiple intellegences
PENDAHULUAN
Dalam pendidikan di sekolah dasar sangat penting menerapkan landasan-landasan psikologis kepada siswa-siswa yang memiliki keberagaman. Karena
mereka memiliki keunikan masih-masing yang perlu disalurkan potensinya memalui gaya belajar mereka masing-masing sehingga bisa mengolah kecerdasan dan
bisa berkembang sesuai dengan tahapannya. Seorang pendidik atau di lembaga sekolah biasa disebut guru, merupakan fasilitator yang sangat dibutuhkan untuk mengaplikasikan hal tersebut. Pendidikan pun tak pernah lepas dari masalah, terlebih masalah yang di hadapi individu selaku pelaku dalam pendidikan, dalam hal ini adalah anak didik itu sendiri, pentingnya pemahaman serta metode oleh para pendidik terkait dari masalah-masalah belajar siswa itu sendiri agar dalam proses pembelajaran nantinya semua anak bisa memiliki keinginan besar untuk bisa lebih aktif dalam mengikuti proses pembelajaran.
Penanaman konsep yang paling awal pada pendidikan di sekolah dasar terjadi pada kelas I, II, dan III yang biasa disebut dengan kelas rendah. Berdasarkan teori perkembangan kognitif Piaget (Shaffer and Kipp, 2007, p. 55) pada usia tersebut peserta didik berada pada tahap concrete operations (operasional konkret) dimana peserta didik mendapatkan dan menggunakan segala pengetahuannya dengan sesuatu yang logis atau masuk akal. Hal yang logis tersebut bisa didapatkan melalui kegiatan-kegiatan konkret dan bermakna. Oleh karena itu, dibutuhkan cara penanaman konsep yang baik untuk peserta didik kelas rendah tersebut.
PEMBAHASAN
Dalam landasan pendidikam sekolah dasar, landasan psikologis menjadi salah satu prinsip dasar dan konsep dasar pendidikan yang penerapannya itu penting dijadikan sebagai acuan. Mengenai landasan psikologis ini diperkuat oleh pendapat menurut Gerungan dalam khodijah; 2006, bahwa psikologis berasal dari kata Yunani “psyche” yang artinya jiwa. Logos yang berarti pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi berarti “Ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya”. Namun pengertian antara ilmu jiwa san psikologi sebenarnya berbeda karena ilmu jiwa adalah ilmu jiwa secara luas termasuk khayalan dan spekulasi tentang jiwa itu, sedangkan ilmu psikologi adalah ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis dengan metode-metode ilmiah.
Dan pada intinya adalah psikologi itu mempelajari gejala kejiwaan yang ditampakkan dalam bentuk perilaku yang yang pemanfaatannya untuk kepentingan manusia ataupun aktivitas-aktivitas individu baik yang disadari maupun tidak disadari yang diperoleh melalui suatu proses atau langkah-langkah ilmiah tertentu serta mempelajari penerapan dasar-dasar atau prinsip-prinsip, atau
metode, teknik dan pendekatan psikologis untuk memahami dan memecahkan masalah-mmasalah dalam pendidikan.
Landasan psikologis mencakup “Learners Diversity” seperti keragaman gaya belajar, karakteristik, potensi dan keunikan, macam-macam kecerdasan, dll. Di sekolah dasar siswa memiliki keragaman gaya belajar yang berbeda-beda tiap masing-masing orang, hal tersebut diperkuat oleh pendapat menurut Pidarta (2007: 206) tentang psikologi belajar bahwa belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman (bukan hasil perkembangan, pengaruh obat atau kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengomunikasikannya kepada orang lain. Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991: 12). Hal tersebut menurut para ahli bahwa gaya belajar setiap orang atau siswa itu beragam dan gaya belajar itu cenderung untuk menentukan pola-pola tingkah laku dalam memperoleh ilmu.
“Diverse Learners” pembelajaran yang beragam menunjukkan potensi dan keunikan siswa, karena potensi dan keunikan siswa itu berbeda satu sama lain,
maka secara psikologi sosial, dibutuhkan motivasi untuk mendorong siswa dalam mengembangkan potensinya, serta bisa menyesuaikan keunikan dalam diri. Dalam psikologi perkembangan manusia merupakan makhluk unik yang memiliki sejumlah kemampuan (potensi) yang terintegrasi menjadi sesuatu yang khas, perkembangan siswa dinamis, dan pada dasarnya manusia itu unprecditable. Menurut Nana Syadioh, 1998 dalam perkembangan setiap aspek tidaklah selalu sama. Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan, yaitu:
a) Pendekatan tahapan
Pendekatan tahapan yang bersifat menyeluruh (umum) yang berkembang adalah keseluruhan pribadi yang merupakan kesatuan, totalitas, dan terintegrasi . kemudian bersifat khusus yang
maksudnya adalah
mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan aja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak.
b) Pendekatan diferensial
Pendekatan ini memandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar inilah kemudian individu dibuat
menjadi beberapa kelompok yang berbeda.
c) Pendekatan ipsatif
Pendekatan insatif adalah pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individual dan individu.
Berbicara tentang karakteristik, bahwa siswa SD itu memiliki karakter yang unik dan beragam, seperti yang dikatakan Darmodjo (1992) anak usia SD adalah anak yang sedang mengalami pertumbuhan baik itu intelektual, emosional, maupun pertumbuhan badaniah, dimana kecepatan pertumbuhan anak pada masing-masing aspek tersebut tidak sama, sehingga terjadi berbagai variasi tingkat pertumbuhan dari ketiga aspek. Ini suatu faktor yang menimbulkan adanya perbedaan individual pada anak-anakSD walaupun mereka dalam usia yang sama.
Dengan karakteristik siswa yang telah diuraikan, sebagai seorang pendidik, guru harus memberikan pembelajaran yang bervariasi dan kreatif karena karakteristik siswa SD antara lain: senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, senang merasakan atau melakukan secara langsung, anak cengeng, anak sulit memahami isi pembicaraan orang lain, senang diperhatikan, senang meniru, dll.
Hal yang harus diperhatikan dari “deverse learners” adalah multiple intelegensi (kecerdasan majemuk) dalam pembelajaran di SD. Banyak di sekolah dasar yang siswanya memiliki multiple intelegensi yang perlu diarahkan dan dibimbing agar berkembang. Menurut teori multiple intelegensi yang menyatakan bahwa kecerdasan meliputi 8 kemampuan intelektual. Teori tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kemampuan intelektual yang diukur melalui tes IQ sangatlah terbatas karena tes IQ hanya menekan pada kemampuan logika (matematika), dan bahasa (Gardner, 2003). Padahal setiap orang mempunyai cara yang unik untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kecerdasan bukan hanya dilihat dari nilai yang diperoleh seseorang karena kecerdasan merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk melihat suatu masalah, mencari solusi yang dapat bermanfaat untuk orang lain. Dari bermacam intellegensi mnurut Gardner ada beberapa kategori kecerdasan manusia, yaitu: kecerdasan linguistik (bahasa), kecerdasan matematis-logis, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan kinestetis-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial.
Dan berkaitan dengan gaya belajar siswa yang di bahas diawal,diperkuat oleh De Porter dan Hernacki (2002), gaya belajar adalah kombinasi dari menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Terdapat gaya belajar berdasarkan modalitas yang digunakan individu dalam memproses informasi (perceptual modality).
1. Visual (visual learners) adalah gaya belajar yang menitikberatkan pada ketajaman penglihatan. Ada karakteristik yang khas bagi orang atau anak yang gaya belajarnya visual, yaitu:
- Harus melihat secara langsung untuk memperoleh kebutuhan - Peka atau kuat dengan warna - Cukup paham dengan masalah
artistik
- Kesulitan berdialog secara langsung
- Terlalu reaktif dengan suara - Sulit mengikuti anjuran secara
lisan
- Sering salah
menginterpretasikan kata/ ucapan
2. Auditori (auditory learners) adalah gaya belajar yang mengandalkan pada pendengaran untuk bisa memahami dan mengingatnya. Karakteristik model belajar seperti
ini harus mendengar, baru kemudian bisa mengingat dan memahami informasi itu. Pada gaya belajar auditori ini anak lebih sulit menyerap informasi secara tulisan dan memiliki kesulitan menulis ataupun membaca.
3. Kinestetik (kinesthetic learners) adalah gaya belajar yang mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar bisa mengingatnya. Karakteristik model belajar seperti ini lebih menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi utama, karena hanya dengan memegangnya saja, seseorang yang memiliki gaya ini bisa menyerap informasi tanpa harus membaca penjelasannya.
PENUTUP
Dan penjelasan atau uraian tersebut bahwa pada landasan psikologis ada beberapa hal yang berkaitan dengan deverse learners yang berupa gaya belajar, karakteristik, potensi dan minat, multiple intellegensi, dll. yang perlu guru atau pendidik pelajari, pahami, dan diaplikasikan sesuai dengan porsi yang pas dan bervariatif kepada para peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Hadikusumo, Kunaryo dkk. 1996. Pengantar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press Irham, M & Wiyani , N. A. 2015,
Psikologi Pendidikan, Teori dan Aplikasi dalam Proses Pembelajaran, Yogyakarta: Ar-ruzz Media
Jamaludin, Awal Akbar. LANDASAN PSIKOLOGIS PENDIDIKAN. Malang, UM, 2016
Makmun, A. 2001. Psikologi Kependidikan, Perangkat Sistem Pengajaran Modul, Bandung : Rosdakarya
Mustadi, Ali, Wawan Wahyu Setyawan. ”Pengembangan Ssp Tematik-Integratif Untuk Membangun Karakter Disiplin Dan Kreatif Siswa Kelas I SD”, Jurnal Prima Edukasia, Universitas Negeri Yogyakarta, 2015.
https://journal.uny.ac.id/index
.php/jpe/article/view/4072
(diakses 25 Oktober 2017, 23.06) Nurhayati, E. 2011. Psikologi PendidikanInovatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santyasa, IW. Landasan Konseptual Media Pembelajaran. Universitas
Pendidikan Ganesha, 2007
Sugihartono, dkk. 2013. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Sukardjo, M dan Ukim Komarudin. Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya Ed.1. Rajawali Pers, 2009
Tirtarahardja, Umar. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta