• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

Pada penelitian ini studi pustaka dilakukan terhadap sumber-sumber tertulis yang berhubungan dengan objek dan topik penelitian cerita rakyat Rawa

Pening yang berasal dari Jawa Tengah. Data penelitian didapatkan dari hasil

observasi perpustakaan dan media sosial.

Pertama, penelitian cerita rakyat Rawa Pening pernah dilakukan oleh Ernawati (2010) dengan judul Cerita Rakyat di Kota Salatiga dan Sekitarnya. Penelitian tersebut berupa skripsi FKIP Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi tersebut meneliti tentang stuktur cerita Asal Usul kota Salatiga, Rawa Pening, dan Sendang Senjaya dengan tujuan ingin menyebarkan nilai-nilai pendidikan cerita tersebut kepada pelajar. Hasil penelitian ini, yaitu struktur cerita rakyat Asal-usul kota Salatiga bertema divine, dan beralur kronologis. Latar terdiri dari tempat dan sosial. Tokoh dan penokohan dalam cerita rakyat ini dibedakan atas tokoh berdasarkan peranannya dalam cerita, berdasarkan fungsi penampilan, dan berdasarkan jenisnya. Nilai pendidikan dalam cerita rakyat ini terdiri dari nilai religius, nilai sosial, nilai moral dan nilai budaya. Struktur cerita rakyat Asal-usul Rawa Pening bertema sosial. Alur yang terdapat dalam cerita rakyat ini adalah alur kronologis. Latar terdiri dari tempat, waktu, dan sosial. Tokoh dan penokohan dalam cerita

(2)

rakyat ini dibedakan atas tokoh berdasarkan peranannya dalam cerita, berdasarkan fungsi penampilan serta berdasarkan jenisnya. Nilai pendidikan dalam cerita rakyat ini terdiri dari nilai religius, nilai sosial, nilai moral, dan nilai budaya. Analisis struktur cerita rakyat Sendang Senjaya bertema sosial, dan alur campuran. Pemerintah Kota Salatiga lewat Dinas Pariwisata Kota Salatiga telah mendokumentasikan cerita rakyat Asal-usul Kota Salatiga, namun belum disebarkan ke sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Pemerintah Kabupaten Semarang akan mendokumentasikan cerita rakyat Rawa Pening dan disebarkan ke sekolah-sekolah, namun belum mendokumentasikan cerita rakyat Sendang

Senjaya, baru perawatan sebagai salah satu aset wisata air.

Kedua, penelitian yang berjudul Poetika Naratif: Teori Prosa Naratif

berdasarkan Konvensi Kesastraan Cerita Rakyat Daerah di Indonesia oleh

Soedjijono pada tahun 2007, Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Satra, Universitas Negeri Malang. Penelitian tersebut membahas kekhasan motif cerita legenda, kekhasan unsur struktur legenda, kekhasan latar belakang masyarakat legenda, dan konvensi kesastraan legenda. Salah satu motif yang dibahas adalah cerita rakyat Rawa Pening. Analisis aspek historis diperoleh temuan adanya motif-motif cerita rakyat yang khas pada daerah tertentu. Analisis aspek ekstrinsik diperoleh temuan adanya latar belakang masyarakat tempat legenda hidup, yakni latar belakang masyarakat primitif, tertutup, tradisional, pedesaan, dan urban. Dari analisis aspek intrinsik diperoleh temuan, genre legenda terdiri atas dua komponen utama, yakni komponen dasar (gagasan) dan komponen dunia fiksional (latar, tokoh, dan adegan). Di sini, genre legenda memiliki ciri umum dan memiliki ciri spesifik bertolak dari kearifan lokal. Genre legenda Indonesia

(3)

merupakan genre naratif lisan tradisional yang oleh masyarakat pemiliknya tidak saja dianggap sebagai cerita faktual dan mengandung hal-hal yang bersifat realistis, sakral, dan historis, tetapi juga mengandung khayalan.

Ketiga, cerita rakyat Rawa Pening telah dialihwahanakan oleh Handi Purnawan, Program Studi Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Dian Nuswantoro Semarang dalam tugas akhir yang berjudul Film

Animasi Legenda Terbentuknya Rawa Pening pada tahun 2013. Menurut Handi

Purnawan cerita rakyat Rawa Pening sangat menarik sehingga memunculkan ide untuk memvisualisasikan cerita tersebut ke dalam bentuk film animasi karena ingin lebih mengenalkan lagi Rawa Pening tidak hanya di wilayah Jawa Tengah namun agar lebih luas lagi dan juga bertujuan untuk menjadikan hiburan serta menyampaikan pesan moral yang terdapat pada cerita tersebut, dengan bantuan

software Adobe Flash CS3, Cool Edit Pro, dan Adobe Premiere Pro CS3 maka

terselesaikanlah Film Animasi Legenda Terbentuknya Rawa Pening. Dengan hasil film ini dapat disimpulkan bahwa dengan pemvisualisasian cerita rakyat terbentuknya Rawa Pening tersebut dapat menghibur bagi yang melihatnya, tersampaikannya moral dan juga saran yang diberikan adalah untuk memperjelas dan memperhalus dari Film Animasi Legenda Terbentuknya Rawa Pening.

Keempat, penelitian berjudul Pengembangan Media Pembelajaran

Berbasis Aplikasi Sdobe Flash CS5 Professional pada Materi Menyimak Legenda Rawa Pening untuk Siswa Kelas VII Sekolah Menengah Pertama oleh Prima

Erwianisya Program Studi Bahasa Jawa Jurusan Pendidikan Bahasa Jawa Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta pada tahun 2014. Penelitian tersebut berupa skripsi. Penelitian yang dilakukanoleh Prima Erwianisya sama

(4)

seperti penelitian yang dilakukan oleh Handi Purnawan, yaitu mengalihwahanakan cerita Rawa Pening. Namun, alih media yang dilakukan oleh Prima guna menunjukkan bahwa melalui media visual, siswa yang duduk dikelas VIII Sekolah Menengah Pertama lebih mudah menangkap cerita dalam bahasa Jawa.

Melihat keempat penelitian di atas, penelitian ini melakukan penelitian yang berbeda dari penelitian yang telah ada tentang cerita rakyat Rawa Pening. Penelitian ini mendekontruksi atau mengkaji ulang cerita rakyat Rawa Pening. Penelitian ini diberi judul Cerita Rakyat “Rawa Pening”: Kajian Pascakolonial. Penelitian ini tidak hanya memperlakukan cerita rakyat sebagai media pengajaran moralitas tetapi menunjukkan bahwa cerita rakyat dapat meruntuhan oposisi biner peninggalan kuasa kolonialisme. Penelitian ini dimulai dengan menganalisis bentuk-bentuk wacana pascakolonial yang terdapat dalam cerita rakyat Rawa

Pening dan kemudian menganalisis bagaimana reaksi masyarakat pemilik cerita

rakyat Rawa Pening atau bagaimana peran cerita rakyat Rawa Pening dalam menyiasati kebudayaan sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat Semarang dalam berbagai bidang.

2. Landasan Teori

Kajian pascakolonial pada dasarnya mempelajari berbagai akibat yang ditimbulkan oleh penjajahan baik pada satu periode pendudukan penjajah di koloni maupun ketika penjajah sudah meninggalkan budaya dan pengaruh mereka. Pertemuan dua bangsa yang memiliki akar berbeda, antara penjajah barat dan orang-orang yang terjajah bangsa timur, memunculkan berbagai fenomena pascakolonial seperti hibriditas. Bagi Said, wacana tentang Timur yang

(5)

dikontraskan dengan Barat hanya merupakan bentuk dari hasrat untuk membesarkan citra Eropa sebagai pelopor peradaban dan dilakukan demi kolonialisasi, menguasai, menjinakkan, dan mengontrol keberadaan “Timur” (Said, 1978: 3). Dengan Orientalisme, Said berupaya melakukan redefinisi atas wacana “Timur”. Menurut Melani Budianta dalam Budi Susanto, muncul dua dasar penting yang dikembangkan dalam teori pascakolonial (Susanto, 2009: 17). Pertama adalah mempertanyakan hierarki dikotomi oposisi biner. Wacana oposisi biner yang tidak adil dan menindas. Misalnya, dalam wacana Barat-Timur, selalu muncul hierarki Barat lebih tinggi, lebih ideal, dan lebih berkuasa. Wacana pascakolonial mulai dengan pembalikan oposisi biner ini. Kedua adalah kesadaran bahwa wacana tersebut bersifat anggotaan (constructedness).

Ada dua tipe kebudayaan yang ada di daerah bekas kolonialisasi terutama tanah Jawa, yaitu budaya adiluhung (high culture) dan budaya “kasar” (sub

culture) (Sobary, 1996: 43-59). Kebudayaan adiluhung, yang halus, kuat dalam

politik dan ekonomi berasal dari golongan elite penguasa (dominan) dan kebudayaan “kasar” masyarakat kecil yang lemah (subordinat). Tentu saja anggapan ini atas dasar penilaian kaum elite. Secara luas elite Indonesia menjadikan dirinya “pusat yang patut dicontoh” dan sumber keselarasan. Maka, ukuran kehalusan sebuah penampilan menentukan harga identitas sebagai orang Jawa.

Hibriditas merupakan tanda produktivitas kuasa kolonial, pergeserannya memaksa dan menentukan. Hibriditas adalah pembalikan strategi dari proses dominasi melalui pengingkaran. Hibriditas merupakan penilaian ulang dari asumsi identitas terjajah melalui repetisi dari efek identitas diskriminatoris.

(6)

It unsettles the mimetic or narcissistic demands of coloni power but reimplicates its identification in strategies of subversion that turn the gaze of discriminated back upon the eye of power, for the colonial hybrid is the articulation of the ambivalent space where the rite of power is enacted on the site of desire, making its objects at once disciplinary and disseminatory or, in my mixead metaphor a negative transparency

(Bhabha, 1994: 112).

Jadi menurut Bhabha hibriditas menganggu kebutuhan mimetik atau narasistik dari kekuasaan kolonial tetapi mengimplikasikan kembali dengan mengidentifikasinya dalam strategi subversi yang mengubah pandangan dari yang terdiskriminasi kembali kepada mata kuasa, sebab hibrid terjajah merupakan artikulasi dari ruang ambivalen dimana ritus kekuasaan dijalankan pada situs hastrat, menjadikan objeknya terdisiplinkan sekaligus melipatgandakan diri.

Konsep “melampaui” yang diperkenalkan Bhabha, memosisikan budaya di antara ruang, dimana budaya tersebut berkolaborasi sekaligus kontestasi antara masa kini dan masa lampau. Konsep “melampaui” tersebut mendasarkan ambivalensi, mimikri-ejekan dan hibriditas. Klasifikasi hibriditas bila diterapkan dalam cerita rakyat Rawa Pening adalah hibriditas yang berciri meniru dan kemudian melakukan suatu perlawanan, yaitu terjadinya pembacaan ulang terhadap nilai yang berlaku pada budaya dominan atau penjajah. Budaya dari penjajah atau budaya dominan tidak hanya ditiru, tetapi dipermainkan. Kemudian keadaan ini oleh Bhabha disebut dengan “almost the same, but not quite” (Bhabha, 1994: 86). Proses saling melintasi batas garis perbedaan bukan berarti melebur sepenuhnya, budaya menjadi proses yang melampaui subjektivitas asli yang dengannya masyarakat sebagai subjek bisa mengkontruksi strategi kedirian di tengah-tengah perbedaan dan kekuasaan yang menjadikan mereka subordinat.

(7)

The subject for Lacan is always constitude through an enigmatic and illusive instince which he calls the object pait a. the subject is constituted not as a total person, not as a totality not as an individual, but as a series or set of metonymic relationships. The subject in Lacan is a network. One of the interesting things in the literature of colonization was this idea that colonial subject were always dependent subject, that they feel secondary to the hegemonies of western of Eurocentric thinking, thet they were secondary to eurocentism (Anfeng , 2009: 162).

Dari konsep “melampaui” tersebut Bhabha membongkar sekaligus “mengganggu” keutuhan pengetahuan kebudayaan yang diwacanakan dalam formasi biner sebagai fondasi bagi keberlangsungan kekuasaan oleh kelompok dominan. Bhabha mendasarkan teorinya dengan melakukan dua kesadaran, kesadaran teoretis dan historis. Kesadaran teoretis adalah melakukan pembacaan kristis terhadap wacana dan dekonstruksi untuk menemukan celah yang bisa digunakan memformulasi pemikiran-pemikiran yang melampaui masyarakat. Menurut Bhabha, kesadaran historis adalah mendorong pemikiran-pemikiran tersebut ke latar pascakolonial dimana persoalan budaya dan wacana-wacana mengkonstruksinya secara biner menempatkan subjek subordinat ke dalam struktur sosial dan politik yang tidak setara.

Dengan kedua kesadaran tersebut, persoalan wacana dan kuasa relasi berlangsung dalam ambivalensi. Konsep ambivalensi adalah proses melihat bagaimana subordinat memandang yang dominan dan bagaimana dominan memandang subordinat. Mereka menganggu pengetahuan diskriminatoris sebagai basis relasi satu sama lain dengan mimikri. Dalam situasi yang demikian, “proyek nasional” yang mengidealisasi keutuhan pengetahuan modern sebagai basis kekuasaan yang disebarluaskan pihak dominan termasuk di dalamnya melalui produk tulisan, tidak serta-merta diterima atau berjalan natural karena mimikri

(8)

berlangsung dalam pengulangan yang tidak utuh dan kegandaan, bukannya representasi utuh yang mengikuti keinginan atau ancaman dari pihak dominan.

Ketika membincangkan ancaman yang dihadirkan oleh mimikri kolonial, bukan berarti mempersoalkan ancaman secara fisik. “The meance of mimicry is its

double vision which in disclosing the ambivalence of colonial discourse also disrupts its authority. And double vision that is a result of what I’ve described as the partial representation/recognition of the colonial object….” (Bhabha, 1994:

88). Ancaman yang dimaksud adalah ancaman yang menganggu tatanan wacana dan pengetahuan kolonial melalui visi ganda mimikri. Visi ganda mimikri maksudnya ketika subordinat melakukan apropriasi sekaligus inapropriasi yang mengakibatkan ketidakutuhan perbedaan rasial dan kebudayaan sebagaimana yang diyakini oleh subjek dominan.

Bagi subordinat mimikri menjadi ejekan terhadap kesatuan atau keutuhan wacana dan pengetahuan yang selama ini dikontruksikan sebagai rezim kebenaran sebagai basis mekanisme kekuasaan. Subordinat bisa mengapropriasi model wacana dan kekuasaan dominan dalam tulisan mereka untuk melakukan proyek subjektivitas yang berada dalam kegandaan yang sekaligus mengingkari kebenaran wacana dan kekuasaan tersebut untuk memperluas kedaulatan. Konsep tersebut dinamakan metonimi kehadiran oleh Bhabha.“…then colonial mimicry is

the desire for a reformed, recognizable other, as a subject of a difference is almost the same, but not quaite (Bhaba, 1994: 86). Bhabha mengatakan bahwa

konsep mimikri yang serupa tapi tak sama dan hampir sama tapi tidak sepenuhnya.

(9)

B. Kerangka Pikir

Sekaran (1984: 91) mengatakan bahwa kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah penting.

1. Pada tahap awal penelitian menentukan permasalahan dalam cerita rakyat

Rawa Pening asal Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Permasalahan yang

timbul adalah bentuk-bentuk wacana pascakolonial dalam cerita rakyat Rawa

Pening dan siasat masyarakat pemilik cerita rakyat Rawa Pening dalam

kebudayaan Jawa.

2. Tahap selanjutnya adalah menentukan teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan tersebut. Pada penelitian ini digunakan teori pascakolonial.

3. Pembahasan untuk menemukan bentuk-bentuk wacana pascakolonial dalam cerita rakyat Rawa Pening dan siasat masyarakat pemilik cerita rakyat Rawa

Pening dalam kebudayaan Jawa dengan menganalisis latar histori kemunculan

cerita rakyat Rawa Pening, menganalisis struktur cerita rakyat Rawa Pening dan menganalisis konteks cerita rakyat Rawa Pening.

4. Tahap akhir adalah simpulan, yaitu menyimpulkan jawaban dari permasalah yang ada berdasarkan analisis yang terdapat dalam cerita rakyat Rawa Pening.

(10)

BAGAN

Kerangka Pikir

Permasalahan (bentuk-bentuk wacana pasccakolonial dan siasat

kebudyaan) Cerita Rakyat Rawa Pening Pascakolonial Latar Historis Kemunculan Cerita Rakyat Rawa Pening

Simpulan

Bentuk-bentuk Wacana Pascakolonial yang terdapat dalam

Cerita Rakyat Rawa Pening

Siasat Masyarakat Pemilik Cerita Rakyat Rawa Pening dalam

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih, berkat dan karunia yang diberikan kepada saya, sehingga dapat menyelesaikan penulisan Tesis dengan judul:

Menyusun kubus menyerupai stupa, digunakan untuk , mengenalkan warna mengenalkan jumlah motorik halus konsentrasi Harga Rp.45.000,- Menara Balok Digunakan untuk :

Secara keseluruhan hasil analisis kepuasan pelanggan dengan menggunakan metode IPA pada 27 atribut secara umum rata-rata tingkat kesesuaian dari seluruh dimensi belum ada

a. Pembangunan komitmen Bupati, Perangkat Daerah Lintas Sektor, Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kabupaten Pati, Camat,

 Pengertian latihan yang berasal dari kata training adalah penerapan dari suatu perencanaan untuk meningkatkan kemampuan berolahraga yang berisikan materi teori dan praktek,

Penelitian ini menekankan pada pengaruh penggunaan belimbing wuluh terhadap kualitas ekternal telur ayam (berat telur, berat kerabang telur, tebal kerabang telur

Sedangkan untuk mengetahui tingkat akuntabilitas tersebut, perlu adanya Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKjIP) yang merupakan bahan utama untuk monitoring dan evaluasi

Sebagai sastra lisan seloko adat Jambi mempunyai fungsi informasional karena muncul dan berkaitan dengan pemanfaatan seloko adat Jambi itu sendiri yang digunakan untuk penyampaian