• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKSI DAN KARAKTERISASI AKUSTIK SEDIMEN DASAR LAUT DENGAN TEKNOLOGI SEISMIK DANGKAL DI BANGKA BELITUNG HAQQU RAMDHANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DETEKSI DAN KARAKTERISASI AKUSTIK SEDIMEN DASAR LAUT DENGAN TEKNOLOGI SEISMIK DANGKAL DI BANGKA BELITUNG HAQQU RAMDHANI"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

DI BANGKA BELITUNG

HAQQU RAMDHANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Deteksi dan Karakterisasi Akustik Sedimen Dasar Laut dengan Teknologi Sesimik Dangkal di Bangka Belitung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 10 Juli 2014

Haqqu Ramdhani

(3)

HAQQU RAMDHANI. Deteksi dan Karakterisasi Akustik Sedimen Dasar Laut dengan Teknologi Seismik Dangkal di Bangka Belitung. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK DAN SUSILOHADI.

Teknologi akustik merupakan suatu instrumen yang mengirimkan dan menerima gelombang suara pada suatu medium baik di darat, udara, dan air untuk mendeteksi suatu objek yang jauh dari jangkauan manusia. Dasar dari teknologi ini adalah memanfaatkan pancaran dari frekuensi gelombang suara yang merambat di medium air dan pengambilan data dari frekuensi yang dipantulkan oleh objek.

Penelitin ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi akustik sedimen dasar laut dengan teknologi seismik dangkal di perairan barat Bangka Belitung. Akuisisi data lapangan dilaksanakan pada tanggal 10 - 24 Agustus 2012 di daerah Rambat, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung menggunakan teknologi single-channel high resolution seismic (Sparker array).

Hasil penelitian menunjukkan gelombang seismik semakin dalam perambatannya ke suatu sedimen maka energinya semakin kecil yang diakibatkan adanya absorbsi dan atenuasi oleh sedimen, frekuensi tinggi mempengaruhi energi gelombang seismik saat perambatan ke suatu sedimen. Metode filtering yang tepat adalah band pass filter. Sinyal frekuensi 100-200-4000-4700 Hz merupakan ambang batas frekuensi yang digunakan pada proses band pass filter. Metode kedua untuk meminimalisir multiple yang terdapat pada penampang seismik yaitu

predictive deconvolution. Metode ketiga yaitu AGC (Auto Gain Control) untuk meningkatkan resolusi gambar pada penampang. Penampang seismik setelah

processing data adanya heterogenitas sedimen yang terdapat di dasar laut. Heterogenitas sedimen ini terjadi akibat faktor alam dan faktor manusia. Data bor pada lintasan Cross 13 terdapat 4 jenis lapisan sedimen yaitu lumpur hijau, lempung, pasir halus dan pasir kasar. Nilai impedansi akustik pada setiap lapisan sedimen dari data bor tersebut berbeda yaitu lumpur hijau sebesar 2272.5 gram/cm3/s, lempung sebesar 1764 gram/cm3/s, pasir halus sebesar 3363.8 gram/cm3/s, dan pasir kasar sebesar 3600 gram/cm3/s. pengendapan sedimen dengan volume yang besar terjadi di daerah pantai dan berkurang ke arah lepas pantai dengan estimasi nilai volume endapan sedimen menggunakan Simpson Rules sebesar 171,695,175.10668 m3. Data hasil prosessing diinterpretasi secara geologi terdapat 3 tipe echo character yaitu Parallel Internal Reflections, Transparant Lens, Chaotic .

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Sinyal akustik pada sedimen lumpur, lempung, dan pasir berbeda-beda dipengaruhi oleh densitas sedimen dan kecepatan gelombang akustik yang melewati sedimen tersebut, Koefisien akustik antar lapisan lumpur-lempung, lempung-pasir, dan pasir-lempung berbeda dipengaruhi impedansi akustik setiap lapisan sedimen, Pengendapan sedimen terjadi karena adanya proses sedimentasi yang mengendap dalam waktu yang lama. Proses sedimentasi terjadi karena adanya faktor alam (pengaruh sungai dari daratan, arus berenergi rendah, turbiditas, dan pasang surut) dan manusia (penambangan mineral ataupun pasir).

(4)

HAQQU RAMDHANI. Detection and Characterization Acoustic of Marine Sediment with Shallow Seismic Technology in Bangka Belitung Island. Supervised by HENRY M. MANIK DAN SUSILOHADI

Acoustic technology is an instrument to transmit the sound, receive, filter and amplify, record and characterize the echo from remote object in land, air and water mediums. Hydroacoustic technology using beam frequency of sound waves that propagate in the medium of water and data record that reflected by the object. This study aims to detect and characterize acoustic of sediments seafloor using a shallow seismic technology in Bangka Belitung Island. Data acquisition was conducted on 10 to 24 August 2012 in Rambat area, west Bangka Belitung District, Bangka Belitung, using single-channel high resolution seismic technology (Sparker array).

The results showed that the deeper propagation of seismic waves in the sediment the smaller the energy due to some absorption and attenuation by sediments. The use of high frequency also affect the energy of seismic wave while transmitted into a sediment. The appropriate filtering method is a band pass filter, which frequency threshold 100-200-4000-4700 Hz. The second method to minimize multiple in the seismic section is predictive deconvolution. The third method is the Auto Gain Control (AGC), which function is to improve the resolution of images in a section. Processing data showed the heterogeneity of seabed sediment, due to natural factors and human factors. There are 4 types of sediment layers found in drill data on the cross track 13, that are green mud, clay, fine sand and coarse sand. Acoustic impedance per each layer of sediment from those data are different. Value of the green mud is about 2272.5 g /cm 3 / s, clays is 1764 g / cm 3 / s, fine sand is 3363.8 g / cm 3 / s and coarse sand is 3600 g / cm3 / s. Large volume of sediment deposition occurred in coastal areas and decrease to offshore. Estimation of volume of sediment deposition using Simpson's Rules is about 171,695,175.10668 m3. Interpretation of processing data geologically showed the 3 types of echo characters, they are Parallel Internal Reflections, Transparent Lens and Chaotic.

In general, this study indicate that acoustic signals of sediment mud, clay, and sand vary between each other, those are influenced by sediment density and velocity of acoustic waves that passing through the sediments. Differences of acoustic coefficient between layers of silt-clay, clay-sand, and sand-clay influenced by acoustic impedance per each layers. Deposition of sediment caused by the process of sedimentation that settles in a long time. The process of sedimentation occurs due to natural factors (the influence of river from the mainland, low-energy currents, turbidity, and tides) and human factors (mineral or sand mining activities).

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(6)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Kelautan

DI BANGKA BELITUNG

HAQQU RAMDHANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(7)
(8)

NIM : C552110101 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Henry M. Manik,S.Pi, MT, Ph.D Ketua Dr.Ir. Susilohadi Anggota Diketahui oleh

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan

Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr.Ir. Dahrul Syah, Msc.Agr

(9)

DAFTAR TABEL x DAFTAR GAMBAR x DAFTAR LAMPIRAN xi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Perumusan Masalah 2 Kerangka Hipotesis 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Gelombang Seismik 3 Acoustic Impendansi 3 Refleksi 4

Kalsifikasi dan Ciri Batuan 5

3 METODE 6

Waktu dan Lokasi Penelitian 6

Perangkat dan Peralatan Penelitian 7

Akuisisi data Seismik 7

Sparker Source 9

Predictive Deconvolution 10

Simpson Rules 10

Metode Pengolahan Data 13

Frequency Filtering 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Hubungan Amplitudo Gelombang Seismik Terhadap Waktu Perambatan 15

Seismik Pantul Dangkal 17

Data Batimetri 18

Nilai Koefisien Refleksi 22

Volume Endapan Sedimen 26

Klasifikasi Echo Sedimen 27

Jenis Echo Parallel Internal Reflections 27

Tipe Echo Transparant Lens 28

Tupe Echo Chaotic 29

5 SIMPULAN DAN SARAN 30

Kesimpulan 30

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 31

(10)

yang Biasanya Dijumpai Dalam Batuan 6

2 Daftar Peralatan 7

3 Tipe dan Ukuran Sedimen 23

DAFTAR GAMBAR

1 Huygens contruction for Snell’s Law of Refraction 5

2 Struktur Air dan Sedimen 5

3 Peta Lintasan Penelitian 8

4 Perhitungan Daerah di bawah Parabola 11

5 Konfigurasi Alat Pada Kapal Survey 12

6 Diagram Pengolahan Data 13

7 Jenis Spesifikasi dari Bandpass Filter 14

8 Grafik Perambatan Gelombang Seismik 16

9 Kontur Batimetri 19

10 Penampang Seismik(a,b) 20

11 Penampang Seismik(c,d) 21

12 Lapisan Sedimen dari Data Bor 24

13 Lapisan Bor pada Penampang Seismik 25

14 Volume Endapan Sedimen 26

15 Tipe Echo Character 27

16 Peta Penyebaran Echo Tipe Parallel 28

17 Peta Penyebaran Echo Tipe Transparant Lens 29 18 Peta Penyebaran Echo Tipe Transparant Lens 30

(11)

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan salah satu wilayah yang mempunyai tatanan geologi dan pola tektonik yang komplek di muka bumi. Indonesia Bagian Barat merupakan hasil evolusi dan interaksi dari gerak-gerak konvergen Lempeng Benua Eurasia dan Lempeng Samudra Indo-Australia (William 1986). Nusantara di Zaman Es akhir pernah menjadi bagian dua daratan besar, yaitu Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Paparan Sunda terletak di wilayah barat Nusantara yang muncul kala Pleistosen terhubung dengan Daratan Asia. Paparan Sahul terletak di wilayah timur Nusantara yang secara geografis terhubung dengan Benua Australia. Gugusan pulau di sebelah barat Kalimatan, sekitar Perairan Selat Malaka, serta pulau-pulau kecil lainnya di sebelah timur Pulau Sumatera bagian selatan disusun oleh batuan paleozoikum akhir dan trias yang merupakan kelanjutan sebagian mintakat malaya timur yang juga mendukung granit timah. Memperhatikan konfigurasi Kepulauan Indonesia serta letaknya yang sangat strategis, juga dilihat dari kondisi lingkungan serta kondisi geologinya, Laut Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah, terutama hasil tambang dan mineral. Mengetahui sumber daya mineral dan energi dibutuhkan suatu ilmu dan teknologi atau instrumen yang dapat mengekplorasi sumber daya mineral dan energi yang ada di dasar laut, yaitu teknologi akustik.

Teknologi akustik merupakan suatu instrumen yang mengirimkan dan menerima gelombang suara pada suatu medium baik di darat, udara, dan air untuk mendeteksi suatu objek yang jauh dari jangkauan manusia (Simmonds dan MacLennan 2005). Dasar dari teknologi ini adalah memanfaatkan pancaran dari frekuensi gelombang suara yang merambat di medium air dan pengambilan data dari frekuensi yang dipantulkan oleh objek.

Kebutuhan data geofisika kelautan memperlihatkan kecenderungan yang meningkat akibat semakin maraknya kegiatan eksplorasi sumberdaya mineral dan energi di laut. Salah satu metode yang cukup handal untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah metode seismik refleksi. Metode seismik refleksi telah digunakan secara luas sebagai eksplorasi dalam industri minyak bumi selama lebih dari 50 tahun. Metode ini memiliki keakuratan yang tinggi untuk mengetahui karakteristik bawah dasar laut, seperti ketebalan dan volume endapan sedimen permukaan laut, struktur dasar laut, dan kedalaman suatu perairan (Susilawati 2004). Kemampuan dasar dari metode ini menyajikan informasi resolusi tinggi dengan pengoperasian yang relatif sederhana, sehingga metode ini sering digunakan pada penelitian geologi kelautan. Eksplorasi seismik refleksi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu eksplorasi seismik dangkal dan eksplorasi seismik dalam. Eksplorasi seismik dangkal (shallow seismic reflection) biasanya diaplikasikan untuk eksplorasi batubara, tambang, dan mineral lainnya. Seismik dalam digunakan untuk eksplorasi daerah hidrokarbon (minyak dan gas bumi). Kedua kelompok ini tentunya menuntut resolusi dan akurasi yang berbeda demikian juga dengan teknik lapangannya (Hasanudin 2005).

Aktivitas penambangan timah di Indonesia telah berlangsung lebih dari 200 tahun, dengan jumlah cadangan yang cukup besar terutama di daerah Bangka Belitung. Masalah muncul karena penambangan belum diatur secara optimal dan

(12)

banyak penambang timah (penambang illegal) yang sembarangan menambang timah tanpa mengetahui titik yang harus mereka gunakan. Pada akhirnya justru merusak lingkungan perairan sekitar Bangka Belitung dikarenakan sedimentasi akibat penambangan yang dilakukan di semua tempat.

Oleh karena itu penelitian ini menggunakan eksplorasi dangkal (shallow seismic reflection), karena menitik beratkan kepada resolusi tinggi untuk dapat melihat setiap lapisan sedimen serta karakteristik sedimen dasar laut dan memudahkan untuk menginterpretasikan data seismik refleksi secara geologi untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi sedimen dasar laut dengan teknologi seismik di daerah Bangka Belitung.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mendeteksi dan mengkarakterisasi akustik sedimen dasar laut dengan teknologi seismik dangkal di perairan barat Bangka Belitung.

Perumusan Masalah

Kepulauan Bangka Belitung merupakan penghasil tambang timah terbaik di Indonesia. Secara geologi dengan menyatunya daratan di Paparan Sunda ribuan tahun yang lalu, maka terindikasi adanya batuan-batuan purba yang mengendap dan mengalami proses pelapukan batuan selama ribuan tahun yang memiliki potensi kandungan sumber daya mineral. Sehingga Pulau Bangka Belitung dikenal dengan potensi tambang timah (Sn). Akibat penambangan timah yang terus menerus, lubang-lubang sisa pengebora tambang yang sudah tidak dipakai semakin banyak sehingga lingkungan kepulauan Bangka Belitung menjadi rusak. Hal ini disebabkan karena ketidaktahuan daerah potensi tambang timah.

Penambang liar melakukan pengeboran tanpa mengetahui daerah potensi timah sehingga banyak lubang hasil pengeboran yang tidak terpakai karena tidak adanya hasil tambang pada tembat pengeboran tersebut. Pengeboran dilakukan di darat maupun di laut, sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem laut akibat sedimentasi yang disebabkan oleh penambangan liar.

(13)

Kerangka Hipotesis

Pengetahuan tentang kedalaman dasar laut, jenis sedimen dan batuan dasar diperlukan suatu metode yang memiliki keakuratan dan resolusi yang tinggi,yaitu metode refleksi dangkal. Metode seismik refleksi mempunyai tiga tahapan yaitu akuisisi data, pemrosesan data, dan interpretasi data. Penggunaan perangkat seismik pantul dangkal beresolusi tinggi dengan sumber energi 500 Joule, lintasan kurang lebih bersamaan dengan lintasan pemeruman. Metoda ini merupakan metoda yang dinamis dan menerus dengan memanfaatkan hasil pantulan gelombang akustik oleh bidang pantul akibat adanya perbedaan impedansi akustik pada bidang batas antara lapisan sedimen yang satu dengan yang lainnya.

Hasil dari akuisisi data seismik lalu dilakukan prosessing data untuk menghasilkan penampang seismik yang beresolusi tinggi dan dapat diinterpretasi. Metode prosessing data yang digunakan yaitu band pass filter, predictive deconvolusi, dan Auto Gain Control (AGC). Metode-metode ini dapat mengurangi noise dan multiple pada penampang seismik. Data hasil prosessing lalu diinterpretasi secara geologi untuk menghasilkan tipe-tipe echo character.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Gelombang Seismik

Sumber akustik kelautan menghasilkan gelombang elastis, yang merambat dengan kecepatan yang berbeda pada sifat elastis dari medium sekitarnya. Ada dua jenis gelombang elastis, kompresional atau gelombang P, di mana gerakan partikel berada dalam arah yang sama dengan propagasi gelombang, dan gelombang geser atau S, di mana gerakan partical tegak lurus terhadap arah propagasi gelombang. Zat cair tidak memiliki hambatan untuk berbagi sehingga tidak dapat mendukung propagasi gelombang. Jadi dalam survei kelautan hanya perlu mempertimbangkan gelombang kompresional, atau P. Profil refleksi bekerja secara terus menerus dengan baik di lingkungan laut karena air menggabungkan energy akustik secara efisien dari bahan dasar laut (Evans et al. 1995).

Acoustic Impedance

Bagian energi refleksi dari sinyal akustik terjadi pada batas, biasanya litologi, antara lapisan kontras impedansi akustik. Impedansi akustik dari sedimen adalah hasil dari bagian terbesar densitas dan kecepatan gelombang kompresional medium (Evans et al. 1995). Refleksi dari sinyal akustik di medium udara-air, air-sedimen, atau sedimen-sedimen menghubungkan hasil dari perubahan di impedansi akustik di batas-batas medium (Sylwester 1983).

(14)

𝑍𝑍 =𝑣𝑣.𝜌𝜌 ... (1) Dimana Z acoustic impedance dari sedimen

V kecepatan gelombang (m/s) P densitas sedimen (g/cm3)

Rasio amplitudo gelombang yang dipantulkan dengan amplitudo gelombang insiden untuk insiden bidang gelombang pada batas antara dua media yang memiliki impedansi akustik yang berbeda adalah koefisien refleksi Rayleigh. Pada kejadian normal koefisien refleksi raylaigh R diberikan dengan (Sylwester 1983):

𝑅𝑅 = 𝑍𝑍2−𝑍𝑍1

𝑍𝑍2+𝑍𝑍1 ... (2)

Dimana R adalah koefisien refleksi Rayleigh

Z1 adalah acoustic impedance di atas medium suatu sedimen Z2 adalah acoustic impedance di bawah medium suatu sedimen

Menurut Sylwester (1983) bahwa kekuatan sinyal yang dipantulkan tergantung pada kontras impedansi akustik (R) di seluruh permukaan bidang pantul. Kontras antara bahan yang berdekatan besar, seperti pada antarmuka air-udara, sebagian besar energi insiden akan terpantulkan. Kontras antarmuka pada sedimen-sedimen bervariasi dan biasanya berhubungan dengan perubahan litologi, meskipun profil melalui rupanya litologi seragam urutan lumpur lembut dapat menampilkan terus menerus, sedang-ampitude reflektor.

Koefisien refleksi merambat pada sebuah medium adalah positif ketika gelombang bergerak dari bahan impedansi rendah ke bahan impedansi yang lebih tinggi, dan dalam hal ini fase dari sinyal yang dipantulkan tetap tidak berubah. Ini adalah situasi umum di urutan sedimen dimana impedansi (yang tergantung pada kepadatan litologi) meningkat dengan kedalaman endapan.

Refleksi Pada Dasar Laut

Dasar laut tidak pernah datar dan homogen, hal ini berguna untuk mempertimbangkan di mana hamburan tidak terjadi. Idealisasi ini merupakan pendekatan yang masuk akal untuk situasi yang sebenarnya dan dalam hal apapun memungkinkan definisi koefisien refleksi dan transmisi muncul di kedua refleksi dan model hamburan. Sebuah sumber di jarak yang sangat jauh menghasilkan bidang gelombang tekanan dengan ketergantungan spasial yang dapat diperkirakan.

Sekarang diasumsikan bahwa impuls muka gelombang telah datang dari sumber titik yang sangat jauh sehingga kelengkungan depan gelombang bola diabaikan di wilayah yang penting. Gelombang adalah insiden pada batas antara dua bidang media (Medwin & Clay 1998). Kecepatan suara Cl dan C2 (Gambar. 1). Secara umum, ada juga akan menjadi wavefront yang dipantulkan, tetapi dihilangkan untuk disederhanakan. Gelombang bergerak dengan jarak ΔR1dalam

medium 1 dan ΔR2 dalam medium 2. Pada saat yang sama, kontak dari wavefront

(15)

diukur antara sinar dan garis normal antar lapisan, atau antara wavefront dan antar lapisan.

Gambar 1. Huygens contruction for Snell’s Law of Refraction (Sumber: Medwin & Clay 1998)

Nilai-nilai dari kecepatan dan kepadatan di dalam air dan dalam sedimen paling atas dapat diketahui. Diasumsikan bahwa sedimen bertindak sebagai cairan, dan oleh karena itu kita menggunakan persamaan bagian sebelumnya untuk menghitung koefisien refleksi dan pergeseran fasa, sebagai fungsi dari sudut datang (Lurton 2002) (Gambar 2).

Gambar 2. Struktur Air dan Sedimen (Sumber: Lurton 2002)

Klasifikasi dan Ciri Batuan

Batu yang berasal dari kerak bumi biasanya diklasifikasikan sebagai (1) batu beku, (2) batu endapan, dan (3) batu metamorfik. Batu beku dibentuk dari lava kecil yang membeku dan meliputi batuan umum seperti granit dan diorite. Batuan tersebut tersusun dari mineral primer seperti: kuarsa, feldspar, dan mineral berwarna gelap yang meliputi biotit, augit, dan hornblen. Pada umumnya gabro dan basalt yang kaya akan mineral gelap, mengandung mineral besi dan

(16)

magnesium, mudah hancur dari pada granit atau batuan berwarna terang (Supardi 1983).

Jenis-jenis batuan masam umumnya dicirikan oleh kandngan mineral-mineral masam yaitu mineral-mineral kuarsa, feldspar, sedangka batuan alkalin mengandung lebih banyak mineral-mineral plagioklas dan mineral-mineral berwarna atau mineral-mineral Fe/Mg.

Batuan endapan berasal dari pengendapan dan resimentasi hasil hancuran batuan lain. Contohnya, pasir kuarsa berasal dari hancuran granit dan diendapkan di dasar laut pra sejarah, setelah mengalami perubahan geologi dapat mengalami penyemenan menjadi suatu massa yang masif yang dinamakan batu pasir. Sejalan dengan itu, liat yang diresementasikan disebut batuan liat. Daya tahan suatu batuan terhadap hancuran ditentukan leh mineral dominan tertentu dan oleh jenis bahan perekatnya (Supardi 1983) (Tabel 1).

Tabel 1. Beberapa Batuan Endapan dan Metaforik Penting dan Mineral-Mineral yang Biasanya Dijumpai Dalam Batu Tersebut.

Batu Endapan Mineral Utama Batu Metamorfik Mineral Utama

Batu Kapur Kalsit (CaCO3) Gneiss Beragam

Dolomit Dolomit (CaMg/ CO3)2 Sekis Beragam

Batu Pasir Kuarsa (SiO2) Kuarsa Kuarsa (SiO2)

Batu Liat Liat Sabak Liat

Konglomerat Beragam pualam Kalsit (CaCO3)

Sumber: Supardi 1983

Batuan metaforik adalah batuan yang mengalami perubahan bentuk. Batuan beku dan endapan yang mengalami tekanan yang luar biasa mengalami gejala metaforfisme. Batuan beku dimodifikasi menjadi genesis dan sekis, sedangkan batu endapan seperti batu pasir dan batu liat berubah menjadi kuarsi dan sabak. Seperti halnya dengan batuan beku, mineral dominna dalam batuan metamorfik dan endapan menentukan ketahanannya terhadap hancuran

3. METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Akuisisi data lapangan dilaksanakan pada tanggal 10 - 24 Agustus 2012 di daerah Rambat, Kabupaten Bangka Barat, Bangka Belitung. Lokasi penelitian berada pada koordinat 105°06’00” – 105°30’00” LU dan 1°42’00”–1°54’00” BB. Secara geografis posisi Kabupaten Bangka Barat terletak pada ujung barat dari Pulau Bangka yang membentuk semenanjung, dengan batas-batas sebagai berikut : sebelah utara, berbatasan dengan Laut Natuna; sebelah selatan, berbatasan dengan Selat Bangka; sebelah timur, berbatasan dengan Kabupaten Bangka; sebelah barat, berbatasan dengan Selat Bangka.

(17)

Secara topografi wilayah Kabupaten Bangka Barat terdiri dari rawa-rawa, daratan rendah, bukit-bukit dengan puncak bukit terdapat hutan lebat, sedangkan pada daerah rawa terdapat hutan bakau dengan rendah daerah pantai landai berpasir. Sebagai bagian dari daratan maka Kabupaten Bangka Barat berikilim sama seperti kabupaten lain di Pulau Bangka yakni beriklim tropis. Daerah penelitian merupakan bagian dari Perairan Paparan Sunda yang termasuk kedalam perairan laut dangkal (< 85 m). Geologi dasar laut Jawa dan Paparan Sunda dipengaruhi oleh perubahan muka laut / genang laut pada zaman Pleistosen (Tim Lembar Peta 1215. 2002).

Perangkat dan Peralatan Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam survei seismik dangkal ini menggunakan peralatan geofisika kelautan dan beberapa peralatan penunjang lainnya yang terdiri atas sumber energi udara, pemancar, penerima dan perekam gelombang (Tabel 2). Ada pun alat-alat yang digunakan dalam survei adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Daftar Peralatan

NO Nama Alat Merk Jumlah Satuan

1 2

EG&G Triggered Capacitor Bank model 231

EG&G Triggered Capacitor Bank model 231 EG&G EG&G 1 1 Set 1

3 EG&G Multi Electrode Sparker EG&G 2 Set

4 Hidrophone EG&G 2 Set

5 Adaptor Matsunaga 1 Unit

6 Echosounder Garmin 1 Unit

7 GPS Garmin 1 Unit

11 Genset 1000 Kva Yanmar 2 Unit

12 Genset 10000 Kva Yanmar 1 Unit

Akuisisi Data Seismik Pantul Dangkal

Pendugaan seismik pantul dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan gambaran mengenai keadaan geologi bawah dasar laut dalam bentuk penampang seismik yang bersifat menerus (kontinu). Metode ini merupakan metode yang dinamis dengan memanfaatkan hasil pantulan gelombang akustik oleh bidang pantul pada bidang batas antara lapisan sedimen yang satu dengan yang lainnya akibat adanya perbedaan densitas dan cepat rambat gelombang akustik.

Kegiatan seismik pantul dangkal dilakukan dengan menggunakan peralatan single-channel high resolution seismic. Dalam metoda ini sumber pulsa akustik adalah EG&G Multi Electrode Sparker yang dibangkitkan oleh sumber energi EG&G Power Supply model 230 dan EG&G Triggered Capacitor Bank

model 231. Sumber energi ini memerlukan listrik kurang lebih 7.5 kVA pada 220 AC yang dibangkitkan oleh generator di kapal survey. Besaran energi yang dikeluarkan telah ditentukan sebesar 500 Joules.

(18)

G am b ar 3 . P et a L in tas an P en g am b ilan D at a S ei sm ik

(19)

Sebagai penerima signal refleksi digunakan sebuah hidrofon 16 elemen merek

EG&G. Hidrofon tersebut mengambang secara netral dengan rentang jarak dengan sumber pulsa akustik (Sparker) kurang lebih 5 meter atau sesuai dengan keperluan. Signal yang diterima hidrofon kemudian disalurkan pada Khron Hite model 3700

Band Pass Filter dan TSS TVG Amplifier model 307 sebelum direkam dengan menggunakan Chesapeake SonarWiz Shuttle yang terhubung dengan SonarWiz 4.0

recording software untuk menghasilkan data digital (gambar 5). Band Pass Filter

akustik diatur pada frekuensi kerja 300 Hz hingga 3000 Hz, sedangkan selang peledakan (firing rate) sparker adalah 0.5 detik dan sapuan perekaman (sweep rate) adalah 0.25 detik. Hasil dari kegiatan seismik ini berupa data digital dengan posisi yang diperoleh dari GPS, yang secara tidak langsung memberikan gambaran kondisi batuan yang ada dibawah dasar laut. Hasil rekaman tersebut perlu diinterpretasikan terlebih dahulu berdasarkan sifat-sifat reflektornya untuk disebandingkan dengan kondisi geologi sehingga diperoleh jenis-jenis lapisan gambaran tentang struktur sedimen yang secara tidak langsung dapat memberikan gambaran energi yang berpengaruh pada saat terbentuknya dan kemudian diperoleh ketebalan lapisan sedimen.

Sparker Source

Sparker adalah sumber impulsif laut yang sering digunakan untuk survei seismik beresolusi tinggi survei yang membutuhkan 0,5 sampai 10 m resolusi vertikal (Mosher dan Simpkin 1999). Sparker menghasilkan pulsa akustik dengan pemakaian energi listrik tegangan tinggi langsung ke dalam air laut melalui sejumlah elektroda. Sparker menghasilkan pulsa akustik dengan pemakaian energi listrik tegangan tinggi langsung ke dalam air laut melalui sejumlah elektroda. Berbeda dengan pinger dan

boomer, sparker merupakan sumber omnidirectional. Power Supply yang dalam beberapa kasus pembuatan dapat digunakan untuk sparker ataupun boomer, terdiri dari transformator tegangan tinggi, kapasitor penyimpanan dan beberapa jenis switch tegangan tinggi / spark gap yang bila dipicu mentransfer energi ke spark array yang ada di dalam air (Evans et al. 1995).

Menurut Radtke et al (2012) Karakteristik dari gelombang getar yang memancar keluar dari sparker menentukan karakter sinyal akustik yang dibuat. Pada kondisi downhole, sparker umumnya menghasilkan sinyal spektrum energi akustik yang sangat besar dengan frekuensi puncak 1000 Hz atau lebih. Dengan teknologi frekuensi rendah dilaporkan sparker dari permukaan menghasilkan puncak spektrum energi akustik pada frekuensi 2 - 1000 Hz. Hal ini sangat meningkatkan secara teoritis dan kisaran sebenarnya dari sinyal akustik.

(20)

Predictive Deconvolution

Predictive Deconvolution adalah proses penerapan informasi dari bagian awal dari trace seismik untuk memprediksi sistematis noise seperti gema dan multiple. Metode ini mencoba untuk melemahkan multiple yang melibatkan permukaan atau reflektor dekat-permukaan (Egbai,J.C et al. 2012). Pengurangan short-period multiples (terutama reverbrasi dari yang relatif datar, dasar laut yang dangkal) dapat dicapai dengan Predictive Deconvolution. Periodisitas dari multiple dimanfaatkan untuk merancang operator yang mengidentifikasi dan menghapus bagian yang diprediksi dari wavelet (multiple), hanya menyisakan bagian sinyal. Asumsi utama adalah bahwa refleksi asli berasal dari reflektifitas bumi yang dapat dianggap acak dan karena itu tidak dapat diprediksi (Yilmaz 1987).

Proses digital filtering dijelaskan oleh rumus konvolusi diskrit.

𝑦𝑦𝑟𝑟 = ∆𝑡𝑡 ∑ 𝑥𝑥𝑡𝑡𝑎𝑎𝑟𝑟−𝑡𝑡𝑡𝑡 1 ... (3)

Dimana x1 adalah input, αt adalah filter, yr adalah output, dan Δt adalah sampling

tambahan. Umumnya tidak ada kehilangan yang akan terjadi jika mengasumsikan Δt

menjadi satu. Dalam sekul t dan r adalah variabel waktu dan Δt = 1 kecuali dinyatakan khusus.

Jika αt adalah operator prediksi dengan jarak prediksi α, output y, akan mengestimasi input x1 di beberapa waktu akan datang t + α, maka

𝑦𝑦𝑟𝑟 =∑ 𝑥𝑥𝑡𝑡 𝑡𝑡𝑎𝑎𝑟𝑟−1 =Ẍ𝑡𝑡+𝑎𝑎 ... (4)

dimana Xt+α adalah perkiraan dari xt+α.

Seri kesalahan dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara nilai sebenarnya

xt+α dan nilai estimasi atau prediksi Xt+α.

∈𝑡𝑡+𝑎𝑎=𝒳𝒳𝑡𝑡+𝑎𝑎 − Ẍ𝑡𝑡+𝑎𝑎 ... (5) Jadi ὲt adalah seri output yang mewakili bagian yang tidak teramalkan dari xt.

Simpson Rules

Aturan Simpson dapat digunakan untuk mencari luas dan volume tokoh teratur. Aturan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa batas-batas angka tersebut kurva yang mengikuti hukum matematika yang pasti. Ketepatan jawaban yang diperoleh akan tergantung pada jarak dari koordinat dan pada bagaimana dekat kurva. Volume bersih sedimen di perairan Bangka Belitung dihitung menggunakan Surfer, program interpolasi peta tiga dimensi. Volume bersih dihitung sebagai rata-rata dari tiga nilai volume yang dihasilkan dalam tampilan keluaran Surfer. Volume tersebut diperkirakan menggunakan tiga algoritma integrasi numerik klasik yang mencakup Aturan trapesium, Aturan Simpson, dan Aturan Simpson 3/8, yang semuanya menentukan Volume sebagai fungsi di bawah integral ganda (Golden Software Inc

(21)

dari X (kolom) untuk mendapatkan area di bawah baris individu dan kemudian dengan mengintegrasikan lebih dari Y (baris) untuk mendapatkan volume akhir (Golden Software Inc 1999). Perkiraan volume sedimen (.oJ) dikonversi menjadi massa (m) dengan menggunakan rata-rata bulk density (pavg) nilai inti dianalisis, sesuai dengan rumus berikut: m = p.a.v.g .

Aturan Simpson adalah metode numerik yang mendekati nilai dari integral tertentu dengan menggunakan kuadrat polinomial. Pertama menurunkan rumus untuk daerah di bawah parabola dari persamaan y = ax2 + bx + c melewati tiga poin: (-h, y0), (0, y1), (h, y2).

Gambar 4. Perhitungan Daerah di bawah Parabola dari Persamaan y = ax2 + bx + c 𝐴𝐴 =�ℎ(𝑎𝑎𝑥𝑥2+𝑏𝑏𝑥𝑥+𝑐𝑐)𝑑𝑑𝑥𝑥 −ℎ =� 𝑎𝑎𝑥𝑥3 3 + 𝑏𝑏𝑥𝑥2 2 +𝑐𝑐𝑥𝑥��−ℎ ℎ =2𝑎𝑎ℎ3 + 22 𝑐𝑐ℎ =ℎ3(2𝑎𝑎ℎ2+ 6𝑐𝑐) ... (6) Karena poin (-h, y0), (0, y1), (h, y2) yang memberikan parabola, mereka memenuhi y = ax2 + bx + c. Oleh karena itu

𝑦𝑦0 =𝑎𝑎ℎ2− 𝑏𝑏ℎ+𝑐𝑐 𝑦𝑦1 = 𝑐𝑐

𝑦𝑦2 =𝑎𝑎ℎ2+𝑏𝑏ℎ+𝑐𝑐 ... (7) meninjau bahwa

𝑦𝑦0+ 4𝑦𝑦1+𝑦𝑦2 = (𝑎𝑎ℎ2− 𝑏𝑏ℎ+𝑐𝑐) + 4𝑐𝑐+ (𝑎𝑎ℎ2 +𝑏𝑏ℎ+𝑐𝑐) = 2𝑎𝑎ℎ2+ 6𝑐𝑐 ... (8) Oleh karena itu, daerah di bawah parabola adalah

𝐴𝐴= ℎ3(𝑦𝑦0+ 4𝑦𝑦1+𝑦𝑦2) =△𝑥𝑥3 (𝑦𝑦𝑜𝑜+ 4𝑦𝑦1+𝑦𝑦2) ... (9) Dengan menyederhanakan, kita memperoleh rumus aturan Simpson

(22)

G am b ar 5 . K o n fig u ras i A lat P ad a K ap al S u rv ey Jar ak S pa rk er 1 5 m et er Jar ak S tr ea m er 2 0 m et er TO SPARKER KEMUDI KAPAL DATA LOGGER LAPTOP Garmin 420s GPS C-NAV RECEIVER UNIT C-NAV ANTENA GARMIN ECHOSOUNDER THERMAL PRINTER BAND PASS FILTER CAPACITOR BANK POWER SUPPLY MARINE RADIO TO SPARKER FROM HIDROPHONE GENSET 1000 kVA GENSET 10.000 kVA AC BOAT TERMINAL LEGEND BOAT GROUND DATA FLOW GROUND AC AC SOURCE BOAT OFFSET C-NAV ANTENA ECHO- SOUNDER 0.95 meter 12 meter

(23)

Metoda Pengolahan Data

Dalam pengolahan data seismik untuk penelitian ini perangkat lunak yang digunakan adalah Seisee, CoGeo, Petrel, Matlab dan Microsoft Excel digunakan untuk mengevaluasi dan menganalisis data serta Seise digunakan untuk melihat tampilan digital data seismik dan mengekstraknya dalam Microsoft Excel (Gambar 6). Adapun beberapa tahapan pengolahan data seismik sebagai berikut:

Gambar 6. Diagram Pengolahan Data

Pada tahapan perosesan data ada beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk mendukung penginterpretasian data seismik. Pertama geometri, dilakukan untuk memasukkan koordinat pada saat penembakan sinyal seismik, yang berfungsi untuk mengetahui letak dan posisi penembakan dengan menggunakan GPS. Kedua

filtering, pada tahap ini menggunakan band pass filter yang berfungsi untuk membuang sinyal yang tidak diinginkan (noise) dan menekan sinyal dari ground serta frekuensi tinggi yang dapat mengganggu sinyal yang diinginkan. Ketiga predictive deconvolution, tahapan ini digunakan untuk menekan wavelet dasar dalam perekaman seismogram dan melemahkan reverbrasi dan short path multiple. Oleh karena itu, dekonvolusi meningkatkan resolusi dan menghasilkan penampang seismik yang lebih diinterpretasi. Keempat AGC (Autocorelation Gain Control) digunakan untuk menguatkan sinyal yang melemah akibat dekonvolusi sehingga penampang seismik dapat diinterpretasikan (Gambar 6).

Akuisis data RAW

Data Processing Data

Geometri Filtering Deconvolusi AGC

Interpretasi Data

(24)

Frequency Filtering

Frekuensi filtering menurut Yilmaz (1987) dapat berupa band-pass, band-reject, high-pass (low cut), atau low-pass (hight-cut) filter. Semua filter ini didasarkan pada prinsip konstruksi yang sama dari sebuah wavelet phase nol dengan spektrum amplitudo yang memenuhi salah satu dari empat spesifikasi.

Band-pass filter merupakan yang paling sering digunakan, karena biasanya digunakan untuk menghilangkan beberapa jejak noise frekuensi rendah, seperti

ground roll, dan beberapa ambient noise frekuensi tinggi

Band-pass filter dilakukan pada berbagai tahap dalam pengolahan data. Jika diperlukan, dapat dilakukan sebelum dekonvolusi untuk menekan energi sisa

ground-roll dan ambien noise frekuensi tinggi yang tidak akan mencemari autokorelasi sinyal.

Band Pass Filter adalah filter yang hanya melewatkan sinyal-sinyal yang frekuensinya tercantum dalam pita frekuensi atau pass band tertentu. Frekuensi dari sinyal yang berada dibawah pita frekuensi maupun diatas, tidak dapat dilewatkan atau diredam oleh rangkaian band pass filter. Menurut Shenoi (2006) Spesifikasi normal dari sebuah bandpass filter H (s) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7 adalah frekuensi cutoff ω1 dan ω2, besarnya nilai maksimum di bandpass antara frekuensi cutoff, atenyasi maksimum di bandpass ini atau magnitudo minimum pada frekuensi cutoff ω1 dan ω2, dan ωs frekuensi (ω = ω3 atau ω4) di stopband di mana atenuasi minimum atau magnitutud maksimum besarnya ditentukan. Jenis respon bandpass mungkin diperlukan respon Butterworth atau Chebyshev.

Gambar 7. Jenis Spesifikasi dari Bandpass Filter

Lowpass-bandpass (LP-BP) transformasi frekuensi p = g (s) yang digunakan untuk desain filter bandpass adalah

... (11)

dimana B = ω2 − ω1 adalah lebar band dari filter dan ω0 = √ ω1ω2 adalah frekuensi jumlah geometrik dari bandpass filter.

Frekuensi s = jωk di bandpass filter digunakan untuk memetakan

(25)

...(12) Magnitude atau atenuasi di frekuensi = 1 dan s untuk bentuk filter sama dengan yang berada di frekuensi yang sesuai dengan bandpass filter. Spesifikasi bentuk lowpass flter, kita kita memperoleh fungsi transfer H nya (p), mengikuti prosedur desain yang sesuai dibahas sebelumnya. Lalu kami mengganti (4,77) di H (p) untuk mendapatkan fungsi transfer H (s) dari bandpass filter ditetapkan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sumber sparker digunakan untuk menampilkan stratigrafi sedimen terkonsolidasi dalam rangka untuk memberikan data informasi tentang struktur sedimen dasar laut dangkal. Data yang terekam oleh streamer merupakan kumpulan banyak trace hasil tembakan dari sumber seismik. Data tersebut menghasilkan penampang seismic single channel, yang kemudian dilakukan pengolahan dengan beberapa metode untuk menghasilkan penampang seismik dengan resolusi tinggi agar dapat diinterpresikan.

Hubungan Nilai Amplitudo Gelombang Seismik Terhadap Waktu Perambatan

Sinyal seismik yang merambat dalam medium air laut akan mengalami beberapa pengurangan energi yang di akibatkan atenuasi dan absorbsi yang terjadi di medium air dan perambatan di sedimen dasar, dimana energi gelombang seismik yang paling besar ketika ditembakkan oleh sumber seismik (sparker) dan mengenai suatu objek dasar laut (Gambar 8.a). Semakin dalam perambatan gelombang seismik ke suatu sedimen maka energinya semakin kecil yang diakibatkan adanya absorbsi dan atenuasi oleh sedimen, penggunaaan frekuensi tinggi juga mempengaruhi energi gelombang seismik saat perambatan ke suatu sedimen, semakin besar frekuensi maka penetrasi dan energi gelombang seismik semakin kecil. Penggunaan frekuensi kecil maka penetrasi dan energi gelombang seismik akan semakin besar (Gambar 8.c).

(26)

(a (b (c G am b ar 8 . G ra fi k P er ba ndi nga n W akt u G el om ba ng S ei sm ik de nga n A m pl it udo p ad a tr a ce 26 33 (a ) G ra fi k P er am b at an G el o m b an g S eis mik tr a ce 2633, (b ) G raf ik P er am b at an G el o m b an g d ari Spar ke r , ( c) G ra fi k P er am b at an G el o m b an g d ar i sed im en d as ar , ( d ) F F T d ar i P er am b at an G el om ba ng S ei sm ik ya ng (d

(27)

Gelombang suara yang merambat di medium air laut dari sumber seismik dan mengenai suatu objek dapat terlihat fluktuasi amplitudonya (Gambar 8.a). Waktu tempuh antara 0 – 15 ms (gambar 8.b) merupakan gelombang suara yang berasal dari sparker saat penembakan. Sedangkana waktu tempuh dari 25 – 125 ms (gambar 8.c) merupakan waktu tempuh gelombang suara yang merambat di dasar laut hingga sub bottom profile. Fluktuasi gelombang suara yang merambat dari medium air hingga mengenai suatu objek hingga sub bottom profile terjadi pelemahan nilai amplitudo. Menurut Sylwester (1983) pelemahan nilai energi gelombang seismik disebabkan adanya sudut datang gelombang suara pada bidang pantul, pengurangan (attenuation) dari gelombang suara oleh sedimen, kehilangan energi akustik yang disebabkan oleh penyebarannya ke segala arah, serta kehilangan energi suara yang disebabkan karena penyebarannya oleh bidang-bidang reflektor yang permukaannya tidak teratur. Hasil tiga grafik FFT frekuensi gelombang seismik yang berbeda menunjukkan puncak frekuensi yang berbeda, dimana grafik FFT dari sinyal keseluruhan dan sinyal dari sedimen mempunyai puncak frekuensi antara 400 – 700 Hz sedangkan grafik FFT dari sinyal sparker mempunyai puncak frekuensi pada 300 Hz (gambar 8.d). Hal ini sesuai dengan Radtke et al (2012) dimana karakteristik dari gelombang getar yang memancar keluar dari sparker menentukan karakter sinyal akustik yang dibuat. Sparker

umumnya menghasilkan sinyal memiliki spektrum energi akustik yang sangat besar dengan frekuensi puncak 1000 Hz atau lebih. Dengan teknologi frekuensi rendah dilaporkan sparker dari permukaan menghasilkan puncak spektrum energi akustik pada frekuensi 2 - 1000 Hz.

Seismik Pantul Dangkal

Data rekaman seismik menunjukkan profil dasar laut yang merupakan kumpulan sinyal suara yang ditembakkan oleh sparker dan diterima oleh streamer

yang menghasilkan penampang seismik (Gambar 10). Hasil rekaman merupakan data mentah yang belum melalui processing data. Dari hasil rekaman pada lintasan CRMBT 11 (Gambar 10.a) menunjukkan penampang belum bisa diinterprestasi karena data rekaman seismik masih menyatu dengan noise dan banyaknya multiple yang dihasilkan oleh rekaman.

Sinyal seismik yang terekam oleh streamer tidak semuanya hasil pantulan dari dasar laut maupun sub bottom profile. Pada saat gelombang suara merambat pada medium air, adanya proses atenuasi yang disebabkan oleh jarak ke objek dan absorbsi oleh partikel-partikel terlarut yang terdapat pada medium air. Partikel tersebut bisa juga memantulkan gelombang suara karena adanya Hukum Huygen. Hukum Huygen menyatakan bahwa setiap titik-titik pengganggu yang berada didepan muka gelombang utama akan menjadi sumber bagi terbentuknya deretan gelombang yang baru, sehingga akan mengasilkan pantulan yang tidak diinginkan (noise).

Tahap awal, untuk meminimalisir noise dan multiple pada data rekaman seismik perlu melalui proses filtering, hal ini untuk memisahkan sinyal data yang diinginkan dengan sinyal noise. Metode filtering yang tepat adalah band pass filter karena metode ini membuang sinyal yang tidak terdapat pada ambang batas sinyal yang diinginkan (Gambar 7). Sinyal frekuensi 100-200-4000-4700 Hz

(28)

merupakan ambang batas frekuensi yang digunakan pada proses band pass filter. Hasil proses band pass filter menghasilkan penampang yang lebih bagus dari penampang hasil perekaman awal (Gambar 10.b). Hal ini disebabkan sinyal noise

telah berkurang akibat proses band pass filter karena proses filtering ini menekan energi sisa ground-roll dan ambien noise frekuensi tinggi yang tidak akan mengganggu autokorelasi sinyal. Pengurangan noise penting dalam pengolahan data seismik sejak noise membahayakan dalam menggambarkan interior bumi,

noise dibagi menjadi noise coherent dan incoherent (Wang dan Sacchi 2009). Metode band pass filter ada kekurangan yaitu penampang hasil proses filtering

masih menunjukkan adanya multipe. Untuk mengurangi multiple diperlukannya proses dekonvolusi.

Tahap kedua, salah satu metode untuk meminimalisir multiple yang terdapat pada penampang seismik yaitu predictive deconvolution (Gambar 11.a). Multiple

pada data seismik terjadi akibat pengulangan refleksi akibat ’terperangkapnya’ gelombang seismik dalam air laut atau terperangkap dalam lapisan batuan lunak. Gelombang yang merambat melalui bagian bawah laut juga dapat bereverbrasi antara reflektor yang lebih dalam, Energi multiple lapisan sedimen dan reverbrasi lapisan air dapat menjadi begitu kuat sehingga kedatangan refleksi utama dari reflektor target yang lebih dalam menjadi benar-benar tak terlihat (Essenreiter et al. 1998). Sehingga multiple harus dihilangkan karena dapat menggagu dalam proses interpretasi karena menghalangi reflektor utama.

Seismic single-channel metode predictive deconvolution sangat diperlukan dikarena menekan wavelet dasar dalam perekaman seismogram dan melemahkan reverbrasi dan short path multiple, tujuan dari metode ini untuk mengembalikan bentuk gelombang dari gelombang menurun sebelum dipengaruhi oleh dampak

earth-filter. Proses ini mengubah tidak hanya bentuk gelombang tetapi juga isi frekuensi asli wavelet, dalam rangka meningkatkan resolusi dan memudahkan identifikasi kejadian seismik (Duchesne et al. 2007). Pada penampang seismik hasil predictive deconvolution adanya perbedaan gambar dengan hasil band pass filter, multiple pada penampang seismik berkurang (Gambar 11.a). Akan tetapi diperlukannya AGC (Auto Gain Control) untuk meningkatkan resolusi gambar pada penampang akibat pelemahan sinyal oleh metode dekonvolusi (Gambar 11.b). Pada penampang seismik yang telah melewati processing data adanya heterogenitas sedimen yang terdapat di dasar laut. Heterogenitas sedimen ini terjadi akibat faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang menyebabkan heterogenitas sedimen seperti abrasi, arus permukaan dan gelombang yang membawa sedimen dari daratan, sedangkan faktor manusia seperti pengeboran tambang secara illegal maupun legal. Selain itu faktor-faktor tersebut merupakan penyebab dari proses sedimentasi yang terdapat di daerah Bangka Barat, Bangka Belitung.

Data Batimetri

Batimetri merupakan kontur kedalaman yang menggambarkan morfologi dasar laut. Peta batimetri dapat digunakan dalam identifikasi dan karakterisasi unsur struktur geologi yang berkembang di perairan Bangka Barat. Data hasil pemeruman yang diperoleh selama survey sepanjang lintasan 360 Km. Hasil

(29)

pengamatan kontur batimetri 3D, daerah penelitian mempunyai kedalaman yang bervariasi antara 10 – 30 m (Gambar 9).

Perubahan kedalaman terjadi secara gradual mulai dari arah timur dan arah barat daerah penelitian dengan kedalaman mulai dari 10 – 15 m berangsur bertambah ke arah barat laut sampai kedalaman > 20 m. Kontur batimetri dan data seismik refleksi dikombinasikan untuk penafsiran struktur geologi dan morfologi dasar laut yang berkembang di perairan barat, Bangka Belitung. Morfologi dasar laut daerah Bangka Barat dipengaruhi oleh aliran sungai yang berasal dari daratan sehingga terjadi pengendapan sedimen. Endapan interdistributary channel

merupakan endapan yang terjadi di perairan Bangka Barat dimana terdapat diantara distributary channel. Lingkungan ini mempunyai kecepatan arus paling kecil, dangkal, tidak berelief dan proses akumulasi sedimen lambat. Pada

interdistributary channel dan daerah luapan daratan terbentuk suatu endapan yang berukuran lanau sampai lempung yang sangat dominan, hal ini sesuai dengan data bor (Gambar 12). Struktur sedimennya adalah laminasi yang sejajar (parallel) dan struktur galian endapan pasir yang bersifat lokal, tipis dan kadang hadir sebagai pengaruh gelombang. Dari struktur sedimen sesuai dengan hasil penampang seismik di daerah Bangka Belitung dimana tipe echo parallel mendominasi sebaran permukaan sedimen (Gambar 16). Selain faktor alam yang mempengaruhi proses sedimentasi di perairan Bangka Barat ini, faktor aktifitas manusia seperti penambangan dan pengeboran mineral sangat mempengaruhi pengendapan sedimentasi.

Gambar 9. Kontur Batimetri 3D daerah Perairan Bangka Belitung m

(30)

G am b ar 10 . ( a) P en am p an g S ei sm ik D an g k al seb el u m p em ro se san d at a, ( b ) P en am p an g S ei sm ik se te la h m en gguna k an M et o de B and P a ss F ilt er ( 100 -200 -4000 -460 0) . (a) (b ) D asar P er ai ran D asar P er ai ran K o lo m P er ai ran K o lo m P er ai ran

(31)

G am b ar 11 . (c ) P ena m p ang S ei sm ik s et el ah m en gguna ka n M et o d e P re d ic ti ve D ec onv o lut ion , (d ) pe n am p ang s es im ik s et el ah m en gg una ka n A GC (c ) (d ) D asar P er ai ran K o lo m P er ai ran K o lo m P er ai ran D asar P er ai ran

(32)

Nilai Koefisien Refleksi

Pantulan suatu sinyal akustik terhadap suatu bidang batas udara-air, air-sedimen, atau sedimen-air-sedimen, disebabkan karena adanya perbedaan impedansi akustik pada bidang batas. Pada kenyataannya, muka gelombang yang terbentuk pada sumber suara menyebar membentuk lingkaran ketika merambat melewati kolom air. Penjalaran gelombang seismik mengikuti hukum snellius dimana gelombang datang akan dipantulkan dan ditransmisikan jika melewati suatu bidang pantul (Badley 1985). Ketika muka gelombang mengenai dasar laut, sebagian besar daerah dasar laut yang direkam dengan energi akustik. Namun, hanya daerah yang relatif kecil dari pancaran permukaan menghasilkan sinyal pada rekaman seismik. Secara khusus, pancaran tersebut adalah energi akustik yang diterima dari pantulan permukaan dalam setengah siklus. Oleh karena itu energi berasal dari daerah yang terletak dalam wilayah lingkaran yang pusat dan batas luar ditentukan oleh seperempat panjang gelombang (Sylwester 1983).

Data bor pada lintasan Cross 13 terdapat 4 jenis lapisan sedimen yaitu lumpur hijau, lempung, pasir halus dan pasir kasar (Gambar 12). Nilai impedansi akustik pada setiap lapisan sedimen dari data bor tersebut berbeda yaitu lumpur hijau sebesar 2272.5 gram/cm3/s, lempung sebesar 1764 gram/cm3/s, pasir halus sebesar 3363.8 gram/cm3/s, dan pasir kasar sebesar 3600 gram/cm3/s (Gambar 12). Hal ini disebabkan nilai densitas dan kecepatan suara pada sedimen berbeda. Impedansi Akustik (IA) merupakan hasil dari densitas (ρ) dan kecepatan gelombang kompresional (v). Dalam mengontrol nilai Impedansi Akustik, kecepatan memiliki arti yang lebih penting dibandingkan dengan densitas (Sukmono 2002). Hal ini karena densitas suatu batuan memiliki batasan dimana pada nilai tertentu densitas batuan yang satu akan mengalami tumpang tindih dengan densitas batuan lainnya. Batuan yang lebih keras dan kompak (porositas kecil) memiliki Z yang lebih tinggi dibandingkan batuan yang tidak kompak (porositas besar) karena gelombang sesimik akan lebih mudah merambat melewati batuan dengan porositas lebih kecil. Jumlah energi yang dipantulkan (atau hilang) ketika gelombang suara berpindah dari satu medium ke impedansi lain yang lebih besar sangat ditentukan oleh perbedaan impedansi (Tabel 3).

(33)

Tabel 3. Tipe dan Ukuran Sedimen Sediment M* (ϕ) p* (kg m-3) C* (m/s) R Z (gram cm3 s-1) Lumpur Hijau Lempung Pasir Halus Lempung Pasir Halus Lempung Pasir Halus Pasir Kasar Pasir Halus Lempung Pasir Halus Lempung Pasir Halus Lempung Pasir Halus 7 9 2 9 2 9 2 1 2 9 2 9 2 9 2 1.300 1.200 1.950 1.200 1.950 1.200 1.950 2.000 1.950 1.200 1.950 1.200 1.950 1.200 1.950 1485 1470 1725 1470 1725 1470 1725 1800 1725 1470 1725 1470 1725 1470 1725 -0.045 0.312 -0.312 0.312 -0.312 0.312 0.034 -0.034 -0.312 0.312 -0.312 0.312 -0.312 0.312 1930.5 1764.0 3363.8 1764.0 3363.8 1764.0 3363.8 3600.0 3363.8 1764.0 3363.8 1764.0 3363.8 1764.0 3363.8 *(Sumber: Lurton, 2002),

Nilai impedansi akustik yang berbeda setiap lapisan sedimen terdapat koefisien refleksi (R), dimana nilai koefisien refleksi dipengaruhi oleh perbedaan impedansi akustik setiap lapisan sedimen. Rasio amplitudo gelombang yang dipantulkan dengan amplitudo gelombang datang untuk gelombang bidang datang pada batas antara dua media yang memiliki impedansi akustik yang berbeda dinyatakan dengan Rayleigh koefisien refleksi (Sylwester 1983). Koefisien refleksi negative menunjukkan bahwa koefisien refleksi yang kecil pada normal

incidence (gelombang datang yang tegak lurus) hanya mengalami sedikit pertambahan pada sudut datang yang kecil, kemudian meningkat pada sudut datang yang lebih besar. Perubahan amplitudo ini sangat besar terhadap pertambahan jarak (sudut). Ketika perjalanan gelombang suara dari pasir berisi air dengan pasir berisi gas, fase dari sinyal yang dipantulkan terbalik. Ini menghasilkan profil karakteristik inversi pembalik pada bidang pantul.

(34)

Koefisien refleksi yang dihasilkan positif menunjukkan ketika gelombang bergerak dari bahan impedansi rendah ke impedansi tinggi, dan dalam hal ini fase dari sinyal yang dipantulkan tetap tidak berubah. Ini merupakan situasi umum di urutan sedimen impedansi (yang tergantung pada kerapatan litologi) meningkat dengan kedalaman tempat. Energi yang dipantulkan pada antarmuka sedimen-sedimen akan cukup kecil di mana impedansi akustik yang hampir sama dan jika impedansi akustik sama, sinyal akan ditransmisikan melalui antarmuka tanpa ada sinyal refleksi yang terjadi. Koefisien reflektifitas hanya mempertimbangkan impedansi akustik untuk insiden normal. Faktor lain yang memiliki efek yang berpengaruh pada amplitudo sinyal yang dipantulkan adalah (1) sudut datang, (2) atenuasi sinyal akustik oleh sedimen, (3) kehilangan energi akustik karena menyebar kesegala arah, dan (4) kehilangan sinyal akibat hamburan oleh permukaan dan bawah permukaan yang tidak beraturan (Sylwester 1983).

Gambar 12. Lapisan sedimen dari data bor pada lintasan CRMBT 13 dan sinyal akustik yang merambat pada data bor.

(35)

G am ba r 13. L api sa n B or pa da P ena m pa ng S ei sm ik

(36)

Volume Endapan Sedimen

Tiap lingkungan sedimen memiliki karakteristik akibat parameter fisika, kimia, dan bilologi untuk menghasilkan suatu karakteristik sedimen oleh tekstur khusus, struktur, dan komposisi. Batuan hasil pengendapan oleh air laut disebut sedimen marine. Pengendapan oleh air laut dikarenakan adanya gelombang. Bentang alam hasil pengendapan oleh air laut, antara lain pesisir, spit, tombolo, dan penghalang pantai. Ukuran dan komposisi material di pantai sangat bervariasi tergantung pada perubahan kondisi cuaca, arah angin, dan arus laut. Arus pantai mengangkut material yang ada di sepanjang pantai. Jika terjadi perubahan arah, maka arus pantai akan tetap mengangkut material-material ke laut yang dalam. Ketika material masuk ke laut yang dalam, terjadi pengendapan material. Setelah sekian lama pengendapan material, terdapat akumulasi material yang ada di atas permukaan laut. Akumulasi material itu disebut spit. Jika arus pantai terus berlanjut, spit akan semakin panjang. Kadang spit terbentuk melewati teluk dan membetuk penghalang pantai (barrier beach). Hal ini terjadi di daerah penelitian dimana pengendapan sedimen dengan volume yang besar terjadi di daerah pantai dan berkurang ke arah lepas pantai dengan estimasi nilai volume endapan sedimen menggunakan Simpson Rules sebesar 171,695,175.10668 m3 (Gambar 14). Volume endapan sedimen terjadi karena adanya proses sedimentasi yang terjadi di daerah perairan tersebut. Proses sedimentasi terjadi karena adanya faktor alam (pengaruh sungai dari daratan, arus berenergi rendah, proses turbiditas, dan pasang surut) dan manusia (aktifitas penambangan mineral ataupun pasir).

(37)

Klasifikasi Jenis Echo Sedimen

Jenis Echo diklasifikasikan terutama atas dasar karakter akustik dan morfologi dari dasar laut. Jenis echo yang diamati didaerah penelitian diklasifikasikan menjadi 3 jenis echo yang berbeda sesuai dengan karakter refleksinya (Gambar 15).

Gambar 15. Tipe Echo CharacterParallel, Transparant Lens dan Chaotic Unit pada Lintasan Cross 2

Jenis Echo Parallel Internal Reflections

Tipe echo parallel merupakan hasil pergantian dari refleksi suatu parallel yang kontinu dan beramplitudo rendah. Tipe sedimen ini berbentuk lapisan batuan yang tersusun secara horisontal dan saling sejajar satu dengan yang lainnya dan terdiri dari pola datar, bergelombang atau kombinasi antara keduanya, yang dihasilkan oleh tingkat pengendapan dengan laju kecepatan pengendapan yang sama (Gambar 15). Disamping itu, pola tersebut juga berkaitan dengan perbedaan antara tipe sedimen yang berada di slope dan deep basin biasanya terbentuk pada zona pengisian, atau pada situasi yang terganggu oleh arus laut. Runtunan batuan yang dicirikan oleh konfigurasi pantulan yang parallel mengindikasikan runtunan yang terdiri dari sedimen berbutir halus yang diendapkan pada lingkungan berenergi rendah. Tipe echo ini pada umumnya berkaitan dengan percampuran dari sedimen berlumpur/lempung dan sedimen yang lebih kasar karena proses turbiditas. Kadang-kadang echo ini berhubungan langsung dengan sedimen yang terperangkap atau terbendung, yang terjadi karena arus yang berputar (Damuth 1980).

(38)

Dalam penelitian ini penyebaran tipe echo parallel terdapat disemua lapisan atas sedimen pada semua lintasan yang yang dekat dengan pantai (Gambar 16). Pola sebaran parallel semakin ke arah laut lepas semakin tipis, hal ini disebabkan karena besarnya arus ke arah laut lepas dan semakin sedikit pengaruh dari daratan. Sedangkan ke arah pantai sebaran parallel volume endapan semakin besar dikarenakan pengaruh dari daratan yang besar, proses turbiditas, dan arus yang berenergi rendah.

Gambar 16. Peta Penyebaran Echo Tipe Parallel

Tipe Echo Transparant Lens

Pada penelitian ini tipe echotransparant menggambarkan transparent lens

dari dasar laut yang kasar serta refleksi tidak beraturan yang beramplitudo tinggi di permukaan tanpa adanya internal refleksi. Biasanya tipe sedimen ini homogen pada internal refleksi (Damuth 1980). Hal ini digambarkan pada penampang seismik dimana berwarna putih atau tidak adanya pantulan perlapisan pada internal sedimennya (Gambar 17). Pola penyebaran tipe echotransparant terdapat pada lintasan Cross 1 dan 2, hal ini menunjukkan kehomogenan medium, tidak berlapis karena tidak ada refleksi atau koefisien reflksi = 0. Pola ini dijumpai pada batuan dasar, kubah garam, dan beberapa jenis gamping terumbu.

(39)

Gambar 17. Peta Penyebaran Echo Tipe Transparant Lens

Tipe Echo Chaotic

Pada tipe echo chaotic dicirikan oleh banyaknya bidang diskonuitas pantulan, sehingga menghasilkan kenampakan berbintik-bintik dan bercak-bercak pada penampang seismik (Gambar 15). Amplitudo bervariasi, kontinuitas lemah dan menunjukkan adanya komplikasi endapan dan tektonik. Seismik fasies unit

chaotic terdapat pada topografi rendah di daerah slop dan cekungan dasar. Fasies unit ini kemungkinan besar diakibatkan densitas tinggi, kekeruhan arus, dan proses aliran massa (Sangree dan Widmier 1979). Pola penyebaran tipe chaotic

(40)

5.

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Hasil deteksi dan karakterisasi sedimen dasar laut menggunakan teknologi seismik dangkal menunjukkan bahwa:

1. Sinyal akustik pada sedimen lumpur, lempung, dan pasir berbeda-beda dipengaruhi oleh densitas sedimen dan kecepatan gelombang akustik yang melewati sedimen tersebut.

2. Koefisien akustik antar lapisan lumpur-lempung, lempung-pasir, dan pasir-lempung berbeda dipengaruhi impedansi akustik setiap lapisan sedimen. 3. Jenis echo character pada penelitian ini dibagi menjadi 3 tipe, yaitu parallel,

transparent lens, chaotic. Echo character merupakan gambaran dari pola penyebaran endapan sedimen di suatu perairan.

4. Pengendapan sedimen terjadi karena adanya proses sedimentasi yang mengendap dalam waktu yang lama. Proses sedimentasi terjadi karena adanya faktor alam (pengaruh sungai dari daratan, arus berenergi rendah, proses turbiditas, dan pasang surut) dan manusia (aktifitas penambangan mineral ataupun pasir).

(41)

Saran

1. Adapun saran untuk penelitian selanjutnya pengambilan data bor diusahakan lebih dari 1 data per line.

2. Untuk analisis data sedimen sebaiknya di analisis sendiri untuk mengetahui densitas dan kecepatan sedimennya di laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Badley, M.E., 1985, Practical Seismic Interpretation, Prentice Hall.

Clay, C.S, dan H. Medwin. 1998. Accoustical Oceanoghraphy: Principles and Aplications. A Willey-Interscience Publication. John Wiley and Sons. New York.

Damuth, J.E., 1980. Use of High-Frequency (3.5–12 kHz) Echograms in The Study of Near Bottom Sedimentation Processes in The Deep Sea: a review. Mar. Geol. 24,73–95.

Duchesne. Mathieu J, Bellefleur. Gilles, Galbraith. M, Kolesar. R, and Kuzmiski. R. 2007. Strategies for Waveform Processing in Sparker Data. Springer Science+Business Media B.V. Publication approved by GSC Québec; Geological Survey of Canada.13 p

Egbai, J. C et al. 2012. Predictive deconvolution in seismic data processing in Atala prospect of rivers State, Nigeria . Advances in Applied Science Research, 2012, 3 (1):520-529.

Essenreiter. R, Karrenbach. M, and Treitel. S. 1998. Multiple Reflection Attenuation in Seismic Data Using Backpropagation. IEEE TRANSACTIONS ON SIGNAL PROCESSING, VOL. 46, p. 2001-2011 Evans, C.D.R., C.P. Brett, J.W.C. James dan R. Holmes. 1995. Shallor Seismic

Reflection Profiles From The Waters of East And Southeast Asia An Interpretation Manual And Atlas. British Geological Survey, Nottingham, England.

Golden Software Inc., 1999. User's Guide 7: Contouring and 3D Surface Mapping for Scientists and Engineers

Hasanudin, M. 2005. Teknologi Seismik Refleksi Untuk Eksplorasi Minyak dan Gas. Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta

Lurton, X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustic. Springer, Praxis. Chichester, UK.

Mosher, D.C. and Simpkin, P.G. 1999. Status and Trends of Marine High-Resolution Seismic Reflection Profiling: Data Acquisition; Geoscience Canada, v. 26, p. 174–188.

Medwin. H and Clay C.S. 1998. Fundamentals of Acoustical Oceanography. Academic Press Limited. USA

Radtke R. P, Robert .H. S, dan David. A. 2012. Development of a downhole sparker source with adjustable frequencies. SEG. Las Vegas

Shenoi, B.A. 2006. Introduction to Digital Signal Processing and Filter Design. John Wiley and Sons, Inc, Hoboken, New Jersey.

(42)

Simmonds, J, dan D. MacLennan. 2005. Fisheries Acoustic Theory and Practice Second edition. Blackwell Science Ltd. UK.

Sukmono, S. (2002). Seismic Inversion for Reservoir Characterization. Dept. of Geophysical Engineering. ITB.

Supardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Susilawati. 2004. Seismik Refraksi (Dasar Teori dan Akuisisi Data). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Jurusan Fisika, Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sylwester, R.E. 1983. Handbook of Geophysical Exploration Single Channel, High Resolution, Seismic Reflection Profiling: A Review of The Fundamentals And Instrumentation.R.A. Greyer; CRC Press, Boca Raton, Louisiana, p. 77–122.

Sangree, J.B dan Widmier, J.M. 1979. Interpretation of Depositional Facies from Seismic Data. GEOPHYSICS, Vol. 44, No. 2.

Tim Lembar Peta 1215. 2002. Penyelidikan Geologi dan Geofisika Kelautan Bangka Belitung, Lembar 1215. PPPGL. Bandung

Wang, J and Sacchi, M. 2009. Noise Reduction by Structure and Amplitude Preserving Multi-Channel Deconvolution. CSEG Recorder, Peer-Reviewed.p. 25-27

William, J.R., 1986, Geometric Analysis of Fold Development in Overthust terranes, Journal of Structural Geology v.9, p.207-219, Pergamon Press Yilmaz, O. 2001. Seismic Data Analysis Processing, Inversion, and Interpretation

(43)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung 29 April 1988 dari ayah yang bernama H. Agus Setiawan S. dan ibu Hj.Tuti Ispriati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 6 Bandung. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Dan menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelauatan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kesempatan melanjutkan pendidikan ke program pasca sarjana pada Program Studi Teknologi Kelautan IPB pada tahun 2011.

Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor penulis aktif dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai anggota di Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) periode 2007-2008 dan sebagai Kepala Departemen Sosial Lingkungan Hidup (SOSLING) pada periode 2008-2009. Penulis juga menjadi Asisten Mata Kuliah Selam Ilmiah pada periode 2008-2009 dan periode 2009-2010, Asisten Mata Kuliah Dasar Akustik Kelauatan pada periode 2014, Asisten Mata Kuliah Akustik Kelautan pada periode 2010-sekarang serta Asisten Mata Kuliah Teknik Deteksi Bawah Air pada periode 2010-2014.

Pada penyelesaian tugas akhir S-1 penulis mengikuti Survei Seismik

Multichannel pada Tanggal 23 Juli – 21 Agustus 2010 dengan Kapal Geomarin III di daerah Paternoster, Doang, dan Spermonde yang terletak di antara Selat Makassar dan Laut Flores, oleh Pusat Penelitian Geologi Kelautan (P3GL). Dalam rangka penyelesaian studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Pengaruh Frekuensi Terhadap Penetrasi

Sub-Bottom Profile dengan Menggunakan Acoustic Filtering”. Selama mengikuti program S-1 dan S-2, penulis mengikuti beberapa pelatihan dan seminar nasional maupun internasional, diantaranya One Star Scuba Diver oleh POSSI pada bulan Juni 2008, Pemakalah pada Seminar Nasional Kelautan VII oleh Universitas Hang Tuah pada bulan April 2011, Pelatihan dan Pemetaan Habitat Dasar dan Geomorfologi Perairan Dangkal oleh SEAMEO BIOTROP pada bulan Novemer 2011.

Tugas akhir pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan menyusun Tesis berjudul Deteksi dan Karakterisasi Akustik Sedimen Dasar Laut dengan Teknologi Seismik Dangkal di Bangka Belitung.

(44)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan tesis dengan judul : Deteksi dan Karakterisasi Sedimen Dasar Laut dengan Teknologi Seismik Dangkal di Bangka Belitung dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Henry M. Manik,S.Pi, MT, Ph.D dan Dr. Ir. Susilohadi selaku komisi pembimbing yang telah membimbing atas terselesaikannya tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan penelitian ini.

Bogor, 10 Juli 2014

Gambar

Gambar 2. Struktur Air dan Sedimen (Sumber: Lurton 2002)
Tabel 2. Daftar Peralatan
Gambar 4. Perhitungan Daerah di bawah Parabola dari Persamaan y = ax 2  + bx + c
Gambar 6. Diagram Pengolahan Data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada siklus I pembelajaran berlangsung sebagaimana yang diharapkan hal ini ditunujkan dengan hasi observasi yang dilakukan oleh observer berdasarkan lembar

Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terjadi interaksi antara dosis PGPR dan dosis kalium terhadap rata-rata jumlah daun tanaman jagung, dan secara mandiri juga tidak

Pada penelitian ini dosis paklobutrazol yang optimum untuk menginduksi pembungaan rambutan adalah 1,5 g/pohon karena cenderung tidak menyebabkan dormansi tunas dengan

resiko kecelakaan kerja akibat perilaku penanganan atau penggunaan bahan kimia yang kurang baik mahasiswa telah memperoleh materi-materi yang telah di sampaikan

Salah satu hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah memungut Pajak Pertambahan Nilai pada saat melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), melakukan

Berdasarkan hasil penelitian ini, responden yang paling banyak berperilaku baik sebanyak 20 responden (54,1 persen) sedangkan responden yang berperilaku buruk

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain rendahnya tingkat pemahaman tentang pemberian ASI eksklusif dikarenakan kurangnya informasi atau pengetahuan yang