• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengantar. Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis : Siapa. Bertanggung jawab?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pengantar. Kasus Penculikan dan Penghilangan Paksa Aktivis : Siapa. Bertanggung jawab?"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

P

eristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, terjadi pada masa pemilihan Presiden Republik

Indonesia [Pilpres], untuk periode 1998-2003. Pada masa itu, terdapat dua agenda politik besar; pertama, Pemilihan Umum (Pemilu) 1997. Kedua, Sidang Umum (SU) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada bulan Maret 1998, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden RI, yang pada saat kasus ini terjadi, presiden RI masih dijabat oleh Soeharto. Kasus penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa, menimpa para

aktivis, pemuda dan mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde Baru. Mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah dianggap sebagai kelompok yang membahayakan dan merongrong kewibawaan negara. Gagasan-gagasan dan pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat jalannya roda pemerintahan.

Pengantar

Definisi berdasarkan Pasal 2 Konvensi Internasional tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa:

Penghilangan secara paksa adalah

penangkapan, penahanan, penculikan atau tindakan lain yang merampas kebebasan yang dilakukan oleh aparat Negara atau orang-orang maupun kelompok yang melakukannya dengan mendapat kewenangan, dukungan serta persetujuan dari Negara, yang diikuti dengan

penyangkalan pengetahuan terhadap adanya tindakan perampasan kebebasan atau upaya menyembunyikan nasib serta keberadaan orang yang hilang sehingga menyebabkan orang-orang hilang tersebut berada di luar perlindungan hukum.

Pengertian Penghilangan

Orang Secara Paksa:

www.kontras.org

Kasus

Penculikan

dan

Penghilangan

Paksa

Aktivis

1997-1998: Siapa

Bertanggung

jawab?

“Tolong berikan

kepastian pada

kami...jika anak-anak

kami masih hidup,

dimana mereka? Jika

sudah meninggal,

dimana kuburannya?”

[Nurhasanah – Orang

Tua Yadin Muhidin]

(2)

PPOSP 1997-1998 Hal. 301]

Berdasarkan waktu dibentuknya Tim Mawar, yaitu Juli 1997, maka terhadap korban-korban lain yang ditahan sebelum bulan tersebut, dimungkinkan adanya Tim Lainnya atau personel yang telah dibentuk atau ditunjuk secara institusinal oleh Kopassus. Terjadinya penahanan baik sebelum dibentuknya Tim Mawar dan dalam dua kepemimpinan dari Mayjen. TNI. Prabowo kepada Mayjen. TNI. Muchdi Pr. Hal ini menunjukan bahwa tindakan penghilangan orang secara paksa atau penculikan merupakan tindakan yang dilakukan berdasarkan sebuah kebijakan secara institusional dibawah tanggungjawab Danjen Kopassus. [Sumber Laporan Tim Ad

Hoc KPP HAM Yang Berat PPOSP 1997-1998 Hal. 302]

Tanggal 30 Agustus adalah Hari Internasional untuk Kasus Penghilangan Paksa, setiap tahunnya, banyak negara dan komunitas internasional, memperingati kejamnya

penghilangan orang secara paksa, peringatan ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan para korban serta keluarga korban; selain itu, peringatan penghilangan paksa juga ditujukan untuk mengingatkan negara, untuk menghukum para penjahat yang terlibat dalam praktik penghilangan paksa, dan memulihkan hak para korban atau keluarga korban, berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.

Pelaku Penculikan dan

Penghilangan Paksa Aktivis

1997-1998

Tim Mawar

Tim Mawar merupakan sebuah tim yang dibentuk dibawah Grup IV Komando Pasukan Khusus [KOPASSUS], berdasarkan perintah langsung dan tertulis dari Komandan Jenderal [Danjen] Kopassus Mayjen TNI Prabowo

Subianto. Perintah tersebut diberikan kepada Komandan Grup 42, Kopassus, Kolonel

Chairawan, yang selanjutnya dilanjutkan kepada Komandan Batalyon 42, Mayor Bambang Kristiono. Kebijakan dan praktik penghilangan paksa, dilanjutkan pada

kepemimpinan Mayjen. TNI. Muchdi Pr dimana penculikan tetap berlangsung. [Sumber

Laporan Tim Ad Hoc KPP HAM Yang Berat

No Nama Korban Tanggal Hilang Keterangan

1 Aan Rusdiyanto 13 Maret 1998 Diambil paksa di rumah susun Klender, Jakarta Timur

2 Andi Arief 28 Maret 1998 Diambil paksa di Lampung 3 Desmond Junaedi

Mahesa 3 Februari 1998 Jakarta / Terakhir terlihat di Salemba Jakarta Pusat 4 Faisol Reza 12 Maret 1998 Dikejar dan ditangkap di RS Ciptomangunkusumo

Jakarta Pusat

5 Haryanto Taslam 8 Maret 1998 Saat mengendarai mobil dikejar dan ditangkap di pintu TMII

6 Mugiyanto 13 Maret 1998 Diambil paksa di rumah susun Kelender Jakarta Timur

7 Nezar Patria 13 Maret 1998 Diambil paksa di rumah susun Klender, Jakarta Timur

8 Pius Lustrilanang 4 Februari 1998 Jakarta / Terakhir terlihat di RSCM Jakarta Pusat 9 Raharja Waluya Jati 12 Maret 1998 Dikejar dan ditangkap di RS Cipto

Mangunkusumo Jakarta-Pusat

Sembilan [9] Orang Korban yang Berhasil Kembali dari Penculikan

Penghilangan Paksa dan

(3)

Satu lagi tercatat dalam laporan KPP HAM Komnas HAM, korban yang masih

hilang, atas nama:

Abdul Naser Hilang 14 Mei 1998 Terakhir terlihat di Karawaci

Korban yang ditemukan meninggal dunia

Leonardus Nugroho

(sapaan akrabnya Gilang):

Ia adalah seorang aktivis, yang berprofesi sebagai pengamen jalanan, sering terlibat dalam banyak kegiatan mengkritisi kebijakan pemerintah Orde Baru, bersama aktivis mahasiswa di Yogyakarta dan Solo. Ia hilang pada bulan April 1998 di Solo. Tiga hari kemudian ia ditemukan meninggal di Magetan Jawa Timur dengan luka tembakan ditubuhnya.

No Nama Korban Tanggal Hilang Keterangan

1 Dedy Umar Hamdun 29 Mei 1997 Jakarta / Terakhir terlihat di Tebet 2 Herman Hendrawan 12 Maret 1998 Jakarta / Terakhir terlihat di Gedung YLBHI 3 Hendra Hambali 14 Mei 1998 Jakarta / Terakhir terlihat di Glodok Plaza 4 Ismail 29 Mei 1997 Jakarta / Terakhir terlihat di Tebet 5 M Yusuf 7 Mei 1997 Jakarta / Terakhir terlihat di Tebet 6 Noval Al Katiri 29 Mei 1997 Jakarta

7 Petrus Bima Anugrah 1 April 1998 Jakarta / Terakhir terlihat di Grogol 8 Sony 26 April 1997 Jakarta / Terakhir terlihat di Klapa Gading 9 Suyat 13 Februari 1998 Jakarta / Terakhir terlihat di Solo, Jawa Tengah 10 Ucok Munandar

Siahaan 14 Mei 1998 Jakarta / Terakhir terlihat di Ciputat 11 Yadin Muhidin 14 Mei 1998 Jakarta / Terakhir terlihat di Sunter Agung 12 Yani Afri 26 April 1997 Jakarta / Terakhir terlihat di Klapa Gading 13 Wiji Tukul Pada kisaran akhir

1998 / awal 1999 Jakarta / Terakhir terlihat di Utan Kayu Tiga Belas [13] Orang Korban yang masih hilang dan belum dikembalikan

No Posisi di

DKP Nama Jabatan

1 Ketua Jenderal TNI Subagyo

Hadisiswoyo KSAD

2 Wakil Ketua Letjen TNI Fachrul Razi Kasum ABRI 3 Letjen TNI Yusuf Kartanegara Irjen Dephankam 4 Letjen TNI Susilo B.

Yudhoyono Kassospol ABRI 5 Letjen TNI Agum Gumelar Gubernur Lemhanas 6 Letjen TNI Djamari Chaniago Pangkostrad 7 Laksdya TNI Achmad Sutjipto Danjen Akabri 8 Cadangan Letjen TNI Sugiono Wakil KSAD

9 Letjen TNI Arie J Kumaat Mantan Aster Kasum ABRI

Misteri Hasil Sidang Dewan

Kehormatan Perwira [DKP]

Setelah mendapatkan tekanan dari banyak pihak, baik dalam dan luar negeri, serta hasil penyelidikan yang dilakukan Pusat Polisi Militer [Puspom] ABRI, maka Panglima ABRI [PANGAB] pada tanggal 3 Agustus 1998, kemudian membentuk DKP. Sidang DKP ini adalah sidang yang dilakukan oleh Mabes TNI untuk memeriksa keterlibatan sejumlah Perwira Tinggi ABRI yang waktu itu yang diduga terlibat dalam kasus Penculikan.

Susunan Anggota DKP:

Hasil DKP memberikan rekomendasi dan

disetujui oleh Pangab. Jenderal Wiranto:

1. Memberhentikan dari dinas aktif

\

Letjen Prabowo Subianto

(Mantan Danjen KOPASSUS

yang saat itu menjabat Pangkostrad)

2. Memberhentikan

Mayjen Muchdi PR

dari jabatan Danjen KOPASSUS

(4)

Setelah putusan tingkat pertama pada 1999, para terdakwa yang dipecat mengajukan banding ke tingkat Mahkamah Tinggi Militer. Setelah cukup lama tidak ada kabar dari putusan Mahkamah Tinggi Militer, baru pada 22 Mei 2007, keluarga korban mendatangi langsung Mahkamah Agung RI, untuk

mendapatkan informasi putusan Mahkamah Tinggi Militer. Hasilnya justru diluar dugaan,

beberapa orang terdakwa yang dipecat justru mendapat promosi dan menempati jabatan

Strategis dalam lingkungan

TNI. Mereka adalah:

Pengadilan Tim Mawar

Untuk menjalankan keputusan Panglima ABRI (PANGAB) yang kemudian dilakukan

penyelidikan dan penyidikan oleh Puspom ABRI dan diketahui adanya Tim Mawar yang dibentuk oleh KOPASSUS, sebagai kelompok yang diduga bertanggungjawab terhadap kasus Penculikan; pengadilan ini hanya mengadili pelaku lapangan. Pembacaan putusan pengadilan Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) II Jakarta dengan nomor perkara PUT. 25 – 16 / K- AD / MMT – II/ IV/ 1999. Isi dari keputusan pengadilan menyatakan ;

No Nama Terdakwa Vonis/Hukuman

1 Mayor (Inf) Bambang Kristiono 22 bulan / dipecat 2 Kapten (Inf) F.S Multhazar 20 bulan / dipecat 3 Kapten (Inf) Nugroho Sulistyo 20 bulan / dipecat 4 Kapten (Inf) Yulius Stevanus 20 bulan / dipecat 5 Kapten (Inf) Untung Budi Harto 20 bulan / dipecat 6 Kapten (Inf) Dadang Hendra Yuda 16 bulan / dipecat 7 Kapten (Inf) Djaka Budi Utama 16 bulan / dipecat 8 Kapten (Inf) Fauka Noor Farid 16 bulan / dipecat 9 Sersan Kepala Sunaryo 12 bulan / dipecat 10 Sersan Kepala Sigit Sugianto 12 bulan / dipecat 11 Sersan Satu Sukadi 12 bulan / dipecat

a. Letkol. Fausani Syahrial

Multhazar, pada

tahun 2007, mendapat promosi

menjadi

Komandan Kodim 0719 Jepara;

b. Letkol. Untung Budi Harto, pada

tahun

2007, mendapat promosi menjadi

Komandan Kodim 1504 Ambon;

c. Letkol. Dadang Hendra Yuda, pada

tahun

2007, mendapat promosi menjadi

Komandan Kodim 0801 Pacitan;

d. Letkol. Djaka Budi Utama, pada

tahun

2007, mendapat promosi menjadi

Komandan Yonif 115 Macan

Lauser;

Proses dan putusan Pengadilan Militer atau yang dikenal Pengadilan Tim Mawar tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarganya. Pengadilan ini hanya untuk kasus penculikan (untuk 9 aktivis yang sudah dikembalikan), disamping itu Pengadilan Militer tidak mengungkap pertanggungjawaban komando dalam operasi Tim Mawar, sebagian pelaku yang sudah dijatuhi hukuman, justru mendapatkan promosi jabatan, dan Pengadilan Militer tidak mampu menjelaskan dan menemukan nasib 13 aktivis yang masih hilang hingga saat ini. korban mendesak para pelaku diadili sesuai dengan mekanisme Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

(5)

Hasil dan Kesimpulan Penyelidikan

KOMNAS HAM

Pada 1 Oktober 2005 membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998 yang bertugas melakukan penyelidikan proyustisia berdasarkan Undang-Undang No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Hasilnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS-HAM) menemukan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998. Adapun Kesimpulan laporan penyelidikan KOMNAS HAM, sebagai berikut:

“Individu-individu yang diduga

melakukan tindak pidana kejahatan

terhadap kemanusiaan karena posisi

dan tindakan-tindakan pada tingkat

pengendalian dan penanggung jawab

komando terdiri dari TNI sebanyak 20

(dua puluh) orang dan Polisi sebanyak

2 (dua) orang, yaitu:

Mayjen TNI Prabowo Subianto

Selaku Danjen Kopassus pada waktu

itu (Desember 1995 hingga 20 Maret

1998) bertanggungjawab atau

setidak-tidaknya patut mengetahui terjadinya

peristiwa pernghilangan orang secara

paksa terhadap setidak-tidaknya yang

dilakukan oleh Tim Mawar. Adapun

keterlibatan dari yang bersangkutan

baik secara langsung maupun tidak

langsung antara lain dalam bentuk

pemberian perintah kepada pelaksana

operasi yang kemudian membentuk

Tim Mawar atau setidak-tidaknya

mengetahui dan membiarkan

terjadinya tindakan penculikan dan

penahanan di Poskotis Cijantung yang

dilakukan oleh pasukan yang berada

dibawah kendali yang efektif dari yang

bersangkutan.”

Selanjutnya, melalui surat KOMNAS HAM tertanggal 21 November 2006 menyerahkan berkas penyelidikan ke Kejaksaan Agung dan merekomendasikan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan penyidikan.

Rekomendasi DPR-RI periode 2009-2014

terkait Kasus Penghilangan Paksa

Berdasarkan rapat Badan Musyawarah (Bamus) pada 20 Februari 2007 diputuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mendalami hasil penyelidikan Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998, yang kemudian pengesahaannya diacarakan dalam Rapat

Paripurna DPR-RI tanggal 27 Februari 2007. Pansus Penanganan Atas Hasil Penyelidikan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998, dalam prosesnya melakukan pemanggilan terhadap para pihak yang terkait diantaranya; Menko Polhukham, Panglima TNI, Menteri

Pertahanan, Kapolri, Jaksa Agung, Menteri Hukum dan HAM dan Kepala BIN.

Pansus sudah 4 kali melakukan pemanggilan terhadap para pihak terkait, namun tidak dihadiri oleh pejabat terkait yang diundang melainkan diwakilkan. Berikutnya rekomendasi Pansus di teruskan oleh DPR-RI melalui mekanisme rapat Paripurna kepada Presiden RI, ada pun rekomendasinya sebagai berikut :

1. Merekomendasikan kepada Presiden untuk

membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. 2. Merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak–pihak terkait untuk segera

melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM (sic) masih dinyatakan hilang.

3. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang.

4. Merekomendasikan kepada pemerintan agar segera meratifikasi Konvensi

Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia.

(6)

Rekomendasi ini merupakan salah satu harapan bagi para korban yang sudah berjuang menuntut keadilan akan kejelasan keluarganya yang masih hilang. Rekomendasi ini harus segera dijalankan oleh Presiden RI sebagai wujud komitmennya dalam penghormatan terhadap HAM.

Selanjutnya, karena rekomendasi tersebut diatas tidak kunjung ditindaklanjuti oleh Presiden RI, maka pada 27 April 2012, keluarga korban Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, mengadukan Presiden ke Ombudsman Republik Indonesia [ORI]:

Keterangan Resmi Ombudsman RI terkait Pengaduan Korban:

“telah tejadi penundaan pelayanan berlarut-larut (undue delay) dalam penuntasan kasus Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, yang jelas merupakan bentuk perbuatan maladministrasi dan mengingkari prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.”

Selanjutnya pada 15 Mei dan 6 Agustus 2012, Ombudsman mengirimkan surat

permintaan klarifikasi I dan II kepada Presiden perihal langkah-langkah yang sudah dan akan ditempuh oleh Pemerintah dalam rangka penyelesaian kasus Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998 serta rekomendasi DPR demi memberikan keadilan dan kepastian hukum. Kedua surat permintaan klarifikasi tersebut hingga kini belum mendapatkan respon dari Presiden secara langsung.

Pada 29 Mei 2012, melalui Menteri

Sekretaris Negara (Mensesneg), Sudi Silalahi, mengirimkan surat tembusan kepada

Ombudsman RI perihal permintaan klarifikasi yang ditujukan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko-Polhukam) untuk menjadi bahan kajian dan penanganan lebih lanjut sesuai dengan kewenangan yang berlaku.

Bahwa hingga saat ini Presiden belum menjawab permintaan klarifikasi I dan II yang telah dilayangkan oleh Ombudsman Republik Indonesia. Mensesneg hanya mengirimkan balasan yang pada pokoknya menerangkan bahwa Menko-Polhukam akan menindaklanjuti surat dari Ombudsman.

Selanjutnya Menko-Polhukam telah

mengirimkan balasan kepada Ombudsman namun balasan tersebut tidak menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Ombudsman. Kemudian Ombudsman meminta kepada Presiden untuk melakukan pertemuan secara langsung, permintaan tersebut hingga kini belum direspon oleh Presiden.

Presiden RI dan Jaksa Agung RI

Menghambat Pengadilan HAM ad

hoc untuk Penghilangan Orang

Secara Paksa

Proses hukum penyelesaian kasus

Penghilangan Orang Secara Paksa terhambat di Kejaksaan Agung RI. Sampai saat ini

Kejaksaan Agung belum menindaklanjuti berkas penyelidikan KOMNAS HAM dengan melakukan penyidikan. Penolakan Kejaksaan Agung dengan alasan harus menunggu

terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc terlebih dahulu; dalam hal ini Kejaksaan Agung

menghambat proses penuntasan kasus Penghilangan Paksa.

Hingga tahun 2014 dan setelah melewati 16 tahun reformasi, KontraS mencatat bahwa penanganan terhadap kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu termasuk kasus penghilangan paksa, sama sekali

tidak mengalami kemajuan. Tragisnya, pada pertengahan November 2013, Kejaksaan Agung RI justru mengembalikan berkas-berkas perkara pelanggaran HAM berat ke Komnas HAM, yang seharusnya disidik oleh Kejaksaan Agung, seperti biasa dengan dalih untuk dilengkapi. Pengembalian berkas ini merupakan lanjutan dari skenario serupa yang sudah terjadi sejak tahun 2003 antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM.

Bahkan sebelumnya, KontraS mencatat pada bulan Februari 2013, dalam rapat kerja antara perwakilan Kepresidenan, Kementrian Polhukam dan DPR RI untuk membahas empat rekomendasi DPR RI tahun 1999, yang salah satunya merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998, berkasnya akhirnya juga dikembalikan ke Komnas HAM. Meski akhirnya dikembalikan lagi dari Komnas HAM ke Kejaksaan Agung, namun tetap tidak ada perkembangan yang berarti terkait proses penyelesaian kasus ini. Meski perdebatan terkait pengembalian berkas ini tidak terjadi satu kali ini saja, KontraS menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung RI merupakan bentuk “pengingkaran dan penghinaan” terhadap ketentuan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dimana Kejaksaan Agung, tidak menjalankan mandat sebagaimana diatur dalam ketentuan.

P

Pasal 21: Penyidik Perkara

pelanggaran hak asasi manusia yang

berat dilakukan oleh Jaksa Agung;”

Pasal 22 :

Ayat 1 Penyidikan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 21 ayat

(1) dan (3) wajib diselesaikan

paling lambat 90 (sembilan puluh)

hari terhitung sejak tanggal

hasil penyelidikan diterima dan

dinyatakan lengkap oleh penyidik;

Ayat 2] Jangka waktu sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dapat

diperpanjang untuk waktu paling

lama 90 (sembilan puluh) hari oleh

Ketua

Pengadilan HAM sesuai dengan

daerah hukumnya;

Ayat 3 Dalam hal jangka waktu

sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2) habis dan penyidikan belum

dapat diselesaikan, penyidikan

dapat diperpanjang paling lama

60 (enam puluh) hari oleh Ketua

Pengadilan HAM sesuai dengan

daerah hukumnya;

(7)

K

ontras adalah sebuah organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang didirikan pada 20 Maret 1998. Organisasi ini diinisiasi oleh sejumlah aktivis pro-demokrasi dari berbagai latar belakang di Indonesia. Pada awal pendiriannya, KontraS memiliki fokus utama mengadvokasi kasus penculikan dan penghilangan paksa, sebuah kejahatan serius yang marak terjadi di bawah pemerintahan orde baru.www

Salah satu kasus yang diadvokasi KontraS adalah kasus Penculikan dan penghilangan paksa 23 aktivis pada tahun 1997-1998. Dari jumlah tersebut, 9 orang aktivis berhasil dikembalikan hidup-hidup, 1 orang ditemukan meninggal dunia, sedangkan 13 orang masih hilang hingga saat ini.

Setelah pemerintahan orde baru jatuh, KontraS berkembang menjadi organisasi HAM dengan mandat advokasi yang lebih luas dan tidak hanya terbatas pada kasus penculikan/ penghilangan paksa. KontraS juga melakukan advokasi terhadap beragam isu dan kasus, khususnya yang berdimensi hak sipil dan politik, diantaranya penyiksaan, hukuman mati, brutalitas aparat TNI-POLRI, dll.

Sejauh ini KontraS hadir di tujuh provinsi, diantaranya Aceh, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, NTT, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Informasi lebih lanjut kunjungi www.kontras. org

Profil

Komisi Untuk Orang

Hilang dan Korban Tindak

Kekerasan (KontraS)

(8)

KEMERDEKAAN

kemerdekaan

mengajarkan aku berbahasa

membangun kata-kata

dan mengucapkan kepentingan

kemerdekaan

mengajar aku menuntut

dan menulis surat selebaran

kemerdekaanlah

yang membongkar kuburan ketakutan

dan menunjukkan jalan

kemerdekaan

adalah gerakan

yang tak terpatahkan

kemerdekaan

selalu digaris depan

Wiji Thukul

Solo, 27 Desember 1988

Referensi

Dokumen terkait