• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran Hak Sipil dan Politik Warga Negara (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pelanggaran Hak Sipil dan Politik Warga Negara (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PELANGGARAN HAK SIPIL DAN POLITIK WARGA NEGARA

(Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 - 1998)

SKRIPSI

Elisa Laura Munthe

090906060

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ELISA LAURA MUNTHE (090906060)

PELANGGARAN HAK SIPIL HAK POLITIK WARGA NEGARA

(Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan tentang kasus penghilangan secara paksa periode 1997 – 1998. Tujuan dari penelitian ini untuk mengungkap kasus yang melakukan penghilangan terhadap 23 aktivis pro demokrasi yang dilakukan oleh pemerintahan yang berkuasa saat itu. Oleh sebab itu interaksi politik dalam hal ini berkaitan antara pemerintah sebagai pembuat serta yang menjalankan Undang – undang dan 23 aktivis pro demokrasi sebagai objek penelitian. Peneliti juga melihat adanya bentuk pelanggaran hak – hak sipil dan politik yang dialami oleh 23 aktivis pro demokrasi sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu peneliti menggunakan desain studi kasus dan metode studi pustaka dan wawancara sebagai teknik pengumpulan data dan penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data pustaka dan fakta yang diperoleh dari wawancara dan relevansinya dengan Undang – undang yang berlaku maupun dengan teori yang digunakan.

(3)

fakta melalui pengumpulan data – data untuk kemudian dipelajari, diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang disajikan secara deskriptif.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori hak sipil politik yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara. Hak sipil dan politik pada masa orde baru dijamin dalam UUD 1945 pasal 28, kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan serta pasal 29, hak untuk beragama dan berkepercayaan. Dimana dalam kasus ini 23 aktivis pro demokrasi yang diculik dan dihilangkan secara paksa telah dilanggar hak sipil dan politiknya oleh negara, yang seharusnya menjamin menghargai hak sipil dan hak politik warga negaranya

(4)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE POLITICAL SCIENCE

DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

ELISA LAURA MUNTHE (090906060)

POLITICAL RIGHTS VIOLATION OF CIVIL RIGHTS CITIZENS

(Case Study of Involuntary Disappearance Period 1997-1998)

ABSTRACT

This study tried to describe the cases of forced disappearances period

1997-1998. The purpose of this study was to uncover cases that did disappearance of 23

pro-democracy activists by the government in power at that time. Therefore political

interaction in this regard the government as well as the run-makers Act - legislation and

23 pro-democracy activists as the research object. Researchers also identified a violation

of rights - civil and political rights suffered by the 23 pro-democracy activists as

Indonesian citizens. Therefore, researchers using the case study design and methods of

library research and interviews as data collection techniques and the study relies on the

analysis of the data library and facts obtained from interviews and relevance to Act -

legislation in force, nor the theories used.

The data used in this study is based on the book - books, newspapers, archives,

journals - journals, and the internet. The method of analysis used in this study is a

qualitative research method is descriptive with making, describe, summarize, and

explain from a variety of conditions with a variety of variables that arise in the object of

this study and revealed the facts through collection of data - the data for later learned,

(5)

Theory is used to explain these problems is the theory that civil rights are

guaranteed and respected political existence by the state. Civil and political rights in the

new order is guaranteed in the 1945 Constitution, article 28, freedom of association, of

assembly, of expression with oral and written as well as article 29, the right to religion

and belief. Where in this case 23 pro-democracy activists who were abducted and

forcibly disappeared had violated civil and political rights by the state, which should

guarantee the respect of civil and political rights of its citizens

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas

berkat dan anugerah-Nya, skripsi ini yang berjudul “Pelanggaran Hak Sipil dan Politik

Warga Negara (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)”

ini dapat diselesaikan tepat waktu. Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat

menempuh ujian akhir Strata – I, jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara Medan.

Ucapan terima kasih juga tidak lupa penulis hanturkan kepada :

1. Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas

Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) USU

2. Terima Kasih kepada Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu

Politik FISIP USU yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis

dalam penulisan skripsi ini.

3. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Warjio, M.A, Ph.D selaku

dosen pembimbing, untuk segala saran, kritik, dan motivasi yang diberikan

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dan juga Bapak Drs. Tonny

Situmorang, M.Si selaku dosen pembaca saya yang begitu banyak memberikan

masukan dan gagasan kepada saya dalam penyusunan skripsi ini.

4. Kedua orang tua saya, Bapak Eden Munthe dan Ibu Ester Sinuraya, S.E. yang

selalu memberikan saya semangat baik secara moril maupun materi, dan tidak

bosan –bosannya mengawasi perkembangan skripsi saya dari awal sampai akhir,

meskipun saya dalam kondisi paling bawah sekalipun. Apa yang sudah saya raih

sampai pada hari ini,semua karena doa dan dukungan kalian berikan. Saya

bukan anak terbaik di dunia, tapi saya beruntung mempunyai orangtua yang

(7)

Amsal 1 : 8 – 9 “ Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan

menyia-nyiakan ajaran ibumu. Sebab karangan bunga yang indah itu bagi

kepalamu, dan suatu kalung bagi lehermu.”

5. Ketiga adik – adik saya, Endaria Stephanie Munthe (semoga secepatnya S.Sos),

Elia Endo Munthe (semoga semakin menjadi berkat buat sekitar), dan Edward

Gilbert Munthe (sukses semua kegiatannya tapi sekolahnya tidak ketinggalan ya

dek) yang selalu setia mdengarkan ocehan – ocehan saya. I love u more than u

know, guys.. Semoga kita tetap bisa bersatu dan selalu saling menguatkan.  Efesus 1 : 16 “Aku pun tidak berhenti mengucap syukur karena kamu. Dan aku

selalu mengingat kamu dalam doaku.”

Juga untuk semua keluarga besar Munthe dan Sinuraya yang tidak henti –

hentinya memberikan perhatian, semangat, dan dukungan yang luar biasa

kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Kiranya ketulusan tetap

menaungi keluarga besar kita ini.

6. IKOHI Sumatera Utara, yang telah memberikan banyak data yang sangat saya

perlukan dalam penyusunan skripsi saya ini. Maaf kalau saya sedikit

merepotkan.  Juga kepada Pak Mugiyanto, salah satu aktivis 1998 yang selamat juga selaku Ketua IKOHI dan bersedia menjadi responden saya yang

saya wawancarai melalui email. Terima kasih sudah bersedia meluangkan waktu

untuk membantu saya, pak. Semoga perjuangan ini akan berakhir indah pak.

Keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia. #MENOLAK LUPA!

7. Untuk 23 aktivis pro demokrasi, baik yang sudah kembali, maupun yang masih

belum diketahui dimana keberadaannya.. Skripsi ini untuk Anda, bapak – bapak

yang luar biasa. Pemikiran dan idealisme kalian akan tetap hidup di hati kami.

Perjuangan belum usai, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hanya satu kata

: LAWAN!

8. Untuk keluarga besar Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara, terutama angkatan 2009, Utari, Evi, Rita, (terima

kasih untuk selalu rela saya repotkan, I love u…) Edo, Novi, Chastry, (nonton

(8)

(semoga secepatnya sidang, saya menunggu…), Sarah, Ira, Indah, Nining,

Azhary, Alex (ayok yok semangat perjuangannya).

9. Untuk sahabat – sahabat terbaik saya, Yenci Wulandari Manik, S.Tp, (semangat

trainingnya nang, pasti sanggup..), Ignatia Oktavia Simorangkir, S.H. (I love u…

terimakasih semua bantuannya..), Frisca Winati Sianturi, S.Sos (malam

mingguan lagi? Gereja bareng?), Ny. Tarihoran, Yosefina Mutiara Siburian, S.E.

(secepatnya berikan kami momongan), Dahliana Purba, S. Kg. (yang terbaik

pasti akan datang, trust me..), Astri Natalia Situmorang, S.T. (sukses karirnya

sahabat dari SMP saya…), Helen Marpaung, A,md, (semoga secepatnya nikah),

Grace Aritonang, A.Md (semoga semakin eksis di facebook), Wilprido

Haloho,S.Ds dan Ir. Yoga Ardimas, (sukses ya teman IPA 1 aku dan teman

latian di saat” mau UN). Amsal 17 : 17 “Seorang sahabat menaruh kasih setiap

waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”

10.Untuk Keluarga Besar Alumni Paduan Suara Koinonia, terima kasih untuk

semuanya… Terima kasih sudah hadir dalam kehidupan saya, menjadi keluarga

saya yang memberi banyak pelajaran hidup, memberi banyak kehebohan,

banyak pengalaman, banyak kegilaan, banyak kemarahan, banyak emosi yang

positif maupun negatif, banyak kosakata baru, banyak kerandoman dalam

hidup… ahaha.. Kalian akan selalu mempunyai tempat istimewa di hati saya..

Selalu, sampai kapanpun, mata saya akan terus bersinar membicarakan kalian…

Filipi 1 : 3 – 4 “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku

mengingat kamu. Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu

berdoa dengan sukacita.”

11.Untuk idola yang selalu menginspirasi saya, Pandji Pragiwaksono. Terima kasih

untuk selalu menjadi sosok yang selalu bisa saya banggakan dan menginspirasi

saya dalam mencintai negara ini, Indonesia. Bukan cinta buta, tapi Nasionalisme

yang seharusnya, Nasional.Is.Me. Mungkin anda tidak membaca ini, tapi saya

(9)

sehingga setiap insan muda dengan lantang mampu menjawab, “KAMI BUKAN

PEMUDA BODOH..!”

12.Untuk semua pihak yang telah membantu penulis baik dari segi moril maupun

materi dalam penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih

setulusnya, maaf kalau tidak saya sebutkan nama satu persatu karena

keterbatasan saya, tapi hormat dan ucapan terima kasih saya ucapkan dengan

setulusnya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dalam

pengumpulan data, pengolahan data, serta penyajiaannya. Penulis berharap

penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pembaca walaupun terdapat banyak

kekurangan dalam penulisan. Oleh karena itu, penulis sangat terbuka untuk

menerima kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis mengucapkan banyak terima kasih bagi semua pihak yang

telah memberi bimbingan, masukan, bantuan, dan dukungan selama proses

pengerjaan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

Medan, 5 September 2013

(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ……….

ABSTRACT ………

HALAMAN PERSETUJUAN ……….…..

KATA PENGANTAR ……….

DAFTAR ISI ……….

DAFTAR TABEL ………

BAB 1 PENDAHULUAN ………

1.1. Latar Belakang ………..………..

1.2. Perumusan Masalah ………..

1.3. Pembatasan Masalah ………

1.4. Tujuan Penelitian ……….

1.5. Siginifikansi Penelitian ……….

1.6. Kerangka Teori ……….

1.6.1. Hak Asasi Manusia ……….

1.6.2. Hak Sipil dan Hak Politik ………..……

1.6.3. Kekuasaan ………..

1.6.4. Penghilangan Orang Secara Paksa ………..……

1.7. Metodologi Penelitian ………...

1.7.1. Jenis Penelitian ………

1.7.2. Teknik Pengumpulan Data ……….

1.7.3. Teknik Analisa Data ………..

1.8. Sistematika Penulisan ………

BAB 2 PELANGGARAN HAK SIPIL DAN POLITIK ……...………

2.1. Sejarah dan Perkembangan Hak Sipil dan Hak Politik ……….

2.2. Profil Korban Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode

1997 – 1998 ………..…… 2.3. Tim Mawar ………....

BAB 3 PENGHILANGAN ORANG SECARA PAKSA SEBAGAI

(11)

3.1. Perjalanan Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998

3.2. Anasis Kasus ……….

BAB IV PENUTUP ………

4.1. Kesimpulan ………

4.2. Saran ………...

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Nama 9 Aktivis Yang Dikembalikan ...

Tabel 1.2. Nama 13 Aktivis Yang Dinyatakan Hilang Hingga Saat Ini ...

(13)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

ELISA LAURA MUNTHE (090906060)

PELANGGARAN HAK SIPIL HAK POLITIK WARGA NEGARA

(Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998)

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan tentang kasus penghilangan secara paksa periode 1997 – 1998. Tujuan dari penelitian ini untuk mengungkap kasus yang melakukan penghilangan terhadap 23 aktivis pro demokrasi yang dilakukan oleh pemerintahan yang berkuasa saat itu. Oleh sebab itu interaksi politik dalam hal ini berkaitan antara pemerintah sebagai pembuat serta yang menjalankan Undang – undang dan 23 aktivis pro demokrasi sebagai objek penelitian. Peneliti juga melihat adanya bentuk pelanggaran hak – hak sipil dan politik yang dialami oleh 23 aktivis pro demokrasi sebagai warga negara Indonesia. Oleh karena itu peneliti menggunakan desain studi kasus dan metode studi pustaka dan wawancara sebagai teknik pengumpulan data dan penelitian ini mengandalkan hasil analisis dari data pustaka dan fakta yang diperoleh dari wawancara dan relevansinya dengan Undang – undang yang berlaku maupun dengan teori yang digunakan.

(14)

fakta melalui pengumpulan data – data untuk kemudian dipelajari, diolah, dianalisa dan kemudian ditafsirkan yang disajikan secara deskriptif.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori hak sipil politik yang dijamin dan dihormati keberadaannya oleh negara. Hak sipil dan politik pada masa orde baru dijamin dalam UUD 1945 pasal 28, kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan serta pasal 29, hak untuk beragama dan berkepercayaan. Dimana dalam kasus ini 23 aktivis pro demokrasi yang diculik dan dihilangkan secara paksa telah dilanggar hak sipil dan politiknya oleh negara, yang seharusnya menjamin menghargai hak sipil dan hak politik warga negaranya

(15)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL SCIENCE POLITICAL SCIENCE

DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE

ELISA LAURA MUNTHE (090906060)

POLITICAL RIGHTS VIOLATION OF CIVIL RIGHTS CITIZENS

(Case Study of Involuntary Disappearance Period 1997-1998)

ABSTRACT

This study tried to describe the cases of forced disappearances period

1997-1998. The purpose of this study was to uncover cases that did disappearance of 23

pro-democracy activists by the government in power at that time. Therefore political

interaction in this regard the government as well as the run-makers Act - legislation and

23 pro-democracy activists as the research object. Researchers also identified a violation

of rights - civil and political rights suffered by the 23 pro-democracy activists as

Indonesian citizens. Therefore, researchers using the case study design and methods of

library research and interviews as data collection techniques and the study relies on the

analysis of the data library and facts obtained from interviews and relevance to Act -

legislation in force, nor the theories used.

The data used in this study is based on the book - books, newspapers, archives,

journals - journals, and the internet. The method of analysis used in this study is a

qualitative research method is descriptive with making, describe, summarize, and

explain from a variety of conditions with a variety of variables that arise in the object of

this study and revealed the facts through collection of data - the data for later learned,

(16)

Theory is used to explain these problems is the theory that civil rights are

guaranteed and respected political existence by the state. Civil and political rights in the

new order is guaranteed in the 1945 Constitution, article 28, freedom of association, of

assembly, of expression with oral and written as well as article 29, the right to religion

and belief. Where in this case 23 pro-democracy activists who were abducted and

forcibly disappeared had violated civil and political rights by the state, which should

guarantee the respect of civil and political rights of its citizens

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Hak – hak asasi manusia (HAM) adalah hak – hak dasar atau hak – hak pokok

yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak – hak

asasi ini menjadi dasar dari hak – hak dan kewajiban – kewajiban yang lain.1 Yang

seharusnya melindungi HAM sepenuhnya adalah negara, dalam hal ini adalah

pemerintah. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, maka kita akan melihat

penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya

adalah kewajiban negara. Negara harus menjalankan kewajiban pemenuhan HAM

dalam bentuk antara lain penghormatan (to respect), melindungi (to protect), dan

memenuhi (to fullfil).2

Semua aturan dan ketentuan mengenai HAM pada akhirnya selalu mengacu

pada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Salah seorang penggagas Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia asal Lebanon, Rene Cassin, menyatakan bahwa isi

Deklarasi tersebut sebetulnya bisa dibagi menjadi lima hal, yaitu hak sipil (Pasal 1-11),

hak sosial (Pasal 12-17), hak politik (Pasal 18-21), hak ekonomi dan budaya (Pasal

22-27), serta tanggungjawab negara (Pasal 28-30). Rene Cassin juga menyatakan bahwa

ada beberapa kata kunci yang memayungi pasal-pasal dalam Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia, yaitu “biarkan saya menjadi diri saya sendiri” untuk pasal hak sipil, Hak asasi manusia pada dasarnya ada sejak manusia dilahirkan,

karena hak tersebut melekat sejak keberadaan manusia itu sendiri. Akan tetapi,

persoalan hak asasi baru mendapat perhatian ketika mengimplementasikannya dalam

kehidupan bersama manusia. Ia mulai menjadi perhatian manakala ada hubungan dan

ketertarikan antara individu dan masyarakat.

1

Zaenuddin HM, Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta ;Raja Grafindo Persada, 2001, hlm. 11. 2

(18)

“jangan campuri urusan kami” untuk pasal hak sosial, “biarkan kami turut

berpartisipasi” untuk pasal hak politik, “beri kami mata pencaharian” untuk pasal hak

ekonomi dan budaya.3

Hak sipil dan politik merupakan salah satu hak dasar warga negara dalam sebuah

negara yang menganut paham demokrasi. Demokrasi yang bertumpu pada kedaulatan

warga, dengan alasan apapun tidak bisa menghilangkan hak sipil dan politik warga

negara. Apalagi bersangkutan dengan persoalan mekanisme atau prosedur demokrasi.

Selain itu, hak sipil dan politik warga negara merupakan bagian hak konstitusi yang

harus di laksanakan, tanpa kecuali. Hak-hak sipil dan politik adalah hak yang bersumber

dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati

keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya

dalam bidang politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Hak sipil

dan politik merupakan hak yang dimiliki warga negara ketika berhadapan dengan

entitas negara yang memiliki kedaulatan. Hak – hak yang dimiliki warga negara sebagai

warga sipil dalam sebuah negara, dan juga hak politik warga, yang memiliki kedudukan

yang sama dalam pandangan negara, tidak ada diskriminasi dan sebagainya dalam

kedudukannya sebagai warga negara maupun sebagai subjek hukum. Vierdag

mengkategorikan hak sipil politik ini sebagai hak negative (negative right), karena

untuk merealisasikannya negara harus diam, tidak melakukan tindakan (pasif), sehingga

perumusannya menggunakan freedom from (bebas dari).4

Hak sipil dan politik yang paling mendasar adalah hak kebebasan untuk berpikir

dan berkeyakinan, tanpa adanya intervensi dari siapapun, sekalipun itu otoritas negara.

Maka inilah yang disebut sebagai freedom of religion and believe (hak kebebasan atas

agama dan kepercayaan). Terkait pula dengan hak-hak sipil dan politik adalah hak

untuk diperlakukan sama di depan hukum, dan hak untuk tidak dibunuh atau disiksa. Ini

disebut pula sebagai hak dasar, atau non-derogable rights yang artinya hak-hak dasar

3

Yosep Adi Prasetyo, op.cit.; hlm. 3. 4

Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat : In Court System and Out Court System;

(19)

manusia yang tidak bisa ditunda dan tidak bisa dicabut dalam situasi apapun.5

Hak sipil dan politik dikemukakan dalam kovenan internasional pada tahun 1966

oleh PBB yaitu International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR

(Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik). Kovenan tersebut

kemudian diratifikasi oleh Indonesia dan dituangkan dalam Undang – Undang Nomor

12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political

Rights (Kovenan Internasional tentang Hak – Hak Sipil dan Politik). Kovenan ini

mengukuhkan pokok-pokok hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang

tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights sehingga menjadi

ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan

pasal-pasal yang mencakup 6 bab dan 53 pasal. Kovenan ini merupakan hasil tarik

menarik antara kepentingan Blok Timur dan Blok Barat pasca perang dingin. Blok

Timur yang didukung oleh negara – negara berkembang menginginkan kovenan hak

sipil politik digabung dengan hak ekonomi sosial dan budaya, karena hak ekonomi

sosial budaya merupakan hak yang tidak dapat dipisahkan dengan kepentingan manusia

akan sebuah kebebasan, namun Blok Barat menolak, sehingga terjadilah pemisahan

kovenan hak sipil politik dan kovenan tentang hak ekonomi sosial dan budaya.

Baik itu

dalam keadaan perang, maupun dalam situasi darurat, negara harus tetap

melindunginya.

6

Dalam hak - hak sipil dan politik, ada batas antara hak - hak yang tak dapat

ditangguhkan (non - derogable rights) dengan hak - hak yang dapat ditangguhkan. Yang

termasuk dalam kategori hak - hak yang tidak dapat ditangguhkan adalah hak untuk

hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak atas kebebasan berpikir

dan beragama serta berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak

untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak

5 M. Lutfi Chakim. 2011,

Ruang Lingkup Hak Sipil Dan Politik Dalam Konstitusi, ICCPR, DUHAM Dan UU

No 39 Tahun 1999 Tentang HAM

6

(20)

untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroactive).7

Namun dalam perjalanannya, banyaknya pelanggaran hak-hak sipil di Indonesia,

baik dilakukan oleh Pemerintah, aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Namun ada

kecenderungan pihak Pemerintah lebih dominan, karena sebagai pemegang kekuasaan

dapat secara leluasa untuk memenuhi kepentingan yang seringkali dilakukan dengan

cara-cara manipulasi sehingga mengorbankan hak-hak pihak lain. Salah satunya adalah

kasus penghilangan secara paksa 23 aktivis pro demokrasi periode 1997 – 1998. Kasus

ini yang akan peneliti angkat dalam penelitian ini. Adapun alasan peneliti mengangkat

kasus ini dikarenakan kasus penculikan yang menimpa para aktivis pemuda dan

mahasiswa yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi di masa pemerintahan Orde

Baru, dimana mereka yang kritis dalam menyikapi kebijakan pemerintah dianggap

sebagai kelompok yang membahayakan dan merongrong negara. Gagasan-gagasan dan

pemikiran mereka dipandang sebagai ancaman yang dapat menghambat jalannya roda Negara tak

boleh melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak – hak setiap orang,

terutama hak – hak yang tak dapat ditangguhkan. Karena campur tangan negara justru

mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak – hak individu/kelompok.

Hak sipil dan politik membuka jalan bagi terpenuhinya empat kebebasan dasar

yang mencakup hak atas kebebasan berekspresi dan berkomunikasi, hak atas kebebasan

berkumpul, hak atas kebebasan berorganisasi, dan hak untuk turut serta dalam

pemerintahan. Saat ini rakyat Indonesia telah menikmati juga kebebasan hak sipil

politik. Rakyat tidak hanya bebas mendirikan partai-partai politik sebagai wahana untuk

memperjuangkan aspirasi politiknya. Rakyat bebas pula untuk mendirikan perkumpulan

masyarakat adat, dan lain sebagainya. Perwujudan hak atas kebebasan berorganisasi ini

sangat vital bagi upaya rakyat untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Selain itu,

tumbuhnya organisasi-organisasi rakyat dari bawah ini akan memperkuat masyarakat

sipil yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem politik dan pemerintahan yang

demokratis.

7

(21)

pemerintahan, aktivitas politik yang mereka jalankan dianggap mampu membangkitkan

pemikiran dan memprovokasi masyarakat untuk bangkit dan melawan pemerintahan

pada masa itu. Dua puluh tiga aktivis tersebut melakukan pergerakan di bidangnya

masing – masing memantau dan mengkritik setiap kebijakan pemerintah dan perlahan

dianggap memprovokasi masyarakat. Peneliti ingin mengangkat kasus ini untuk melihat

sejauh mana masa Orde Baru mampu mengekang kebebasan berpolitik masyarakat,

dimana 23 aktivis yang mengalami penghilangan secara paksa tersebut adalah aktivis

yang sangat keras menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah pada saat itu.

Sementara pada saat itu, demokrasi belum sepenuhnya dijalankan, corong kebijakan

berpusat hanya pada penguasa, oposisi dan siapa saja yang menganggu jalannya

kestabilan politik negara akan disingkirkan.

Penculikan Pius Lustrilanang, Desmon J Mahesa, Haryanto Taslam, Mugiyanto,

Aan Rusdianto, Faisal Reza, Rahardja W Jati dan Nezar Patria mendorong gerakan

masyarakat sipil untuk mendesak pertanggungjawaban militer yang dianggap pelaku.

Satu persatu korban dikembalikan, namun hingga 2004 masih ada 13 orang yang masih

hilang, yaitu Suyat, Yani Afri, Sonny, Noval Alkatiri, Dedy Hamdun, Ismail, Bimo

Petrus, Abdun Naser, Hendra Hambali, Ucok Siahaan, Yadin Muhidin dan Wiji Thukul.

Dimana dalam kronologis kejadiannya ada 23 aktivis pro demokrasi yang hilang, dan

dalam perkembangannya ada 9 orang yang dikembalikan dan 1 orang yang meninggal,

sedangkan 13 orang sisanya masih belum ditemukan hingga saat ini.8

Sembilan aktivis yang dikembalikan tersebut, antara lain :

Satu orang yang

meninggal tersebut bernama Leonardus Nugroho, atau biasa dipanggil Gilang, seorang

aktivis di Solo, yang hilang dan ditemukan meninggal pada 23 Mei 1998 di Magetan.

9

KontraS, 2010, “Kertas Posisi Singkat Penculikan 1998 – 2009” Divisi Pemantauan Impunitas dan Pemenuhan Hak Korban Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), hlm. 1

(22)

No Nama Korban Tanggal 5 Haryanto Taslam 2 Maret 1998 Saat mengendarai mobil dikejar dan

diambil paksa di depan pintu Taman Mini Indonesia Indah

Tabel 1.1. Nama 9 Aktivis yang Dikembalikan

Dan 13 aktivis yang belum kembali hingga saat ini, antara lain :10

No Nama Korban Tanggal Hilang Keterangan

1 Dedy Hamdun 29 Mei 1998 Diambil paksa di Jakarta

Tabel 1.2. Nama 13 Aktivis yang Dinyatakan Hilang Hingga Saat Ini

Menurut Deklarasi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa

yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi No. 47/133, tanggal 18

Desember 1992, penghilangan orang secara paksa terjadi ketika, ”orang-orang

ditangkap, ditahan, atau diculik secara paksa, atau dirampas kebebasannya oleh petugas

pemerintah di berbagai cabang atau tingkatan, atau oleh kelompok yang terorganisir,

10

(23)

maupun pribadi-pribadi yang bertindak atas nama kelompok tersebut, atau dengan

dukungan persetujuan atau pembiaran oleh Pemerintah, baik secara langsung maupun

tidak langsung, yang diikuti dengan penolakan untuk mengungkapkan nasib

orang-orang yang terlibat atau penolakan untuk mengakui terjadinya perampasan

kemerdekaan, yang menempatkan orang-orang tersebut di luar perlindungan hukum.11

Menurut Joseph Adi Prasetyo, mengacu UU Pengadilan HAM, kejahatan

penghilangan orang secara paksa dapat dituntut surut sebelum diberlakukannya UU

Pengadilan HAM. Mengacu aturan itu maka di Indonesia tak sedikit kasus penghilangan

paksa yang harus diungkap kebenarannya untuk mewujudkan keadilan bagi para korban

dan keluarganya. Menurutnya, menyebut gejolak politik yang memicu maraknya

kejahatan penghilangan orang secara paksa di Indonesia. Dia mencatat, sejak Indonesia

merdeka, berbagai macam kasus penghilangan paksa terjadi, puncaknya berlangsung

sekitar tahun 1965 ketika rezim orde baru mulai berkuasa.

Serta diikuti dengan penolakan untuk mengakui perampasan kemerdekaan tersebut.

12

Penghilangan orang secara paksa atau ‘penculikan’ dalam istilah yang lebih

populer, merupakan praktek politik yang sering terjadi di negara-negara otoriter di

dunia. Praktek politik kekerasan seperti ini digunakan sebagai bentuk respon dalam

meredam ekspresi politik masyarakat yang coba menggunakan hak-hak dan kebebasan

dasarnya sebagai seorang warga negar

pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.13

11

Tim Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia, 2012, Lembar Fakta Penghilangan Orang Secara Paksa Atau Tidak Dengan Sukarela, hlm 2.

Mulai dari tahun 1965 (pembantaian

massal PKI), 1984 (Tanjung Priok), 1989 (Talangsari, Lampung), hingga 1997-1998

(penculikan aktifis pro-demokrasi). Semua bentuk penghilangan paksa tersebut belum

12

Ady, 2013, Gejolak Politik Picu Terjadinya Pelanggaran HAM,

diakses pada 10 April 2013 pukul 19.00 Wib

13

Usman Hamid dan Sri Suparyati, 2007, Penghilangan Orang Secara Paksa,

(24)

juga memperoleh pertanggungjawaban negara yang adil. Bahkan sebagian besar dari

mereka belum diketahui keberadaannya.

Isu “penghilangan orang secara paksa” mulai sering diperbincangkan

masyarakat pasca mundurnya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian

disebut sebagai era “reformasi”. Di masa-masa itu istilah yang lebih dikenal bukan

“penghilangan orang secara paksa”, melainkan “penculikan”, bahkan mungkin istilah

lain yang juga akrab terdengar saat itu adalah istilah “orang hilang”. Istilah ini mencuat

ke permukaan publik setelah sejumlah aktivis dilaporkan hilang dalam kurun waktu

April 1997 sampai Maret-Mei 1998. Banyak dari mereka yang dihilangkan adalah para

aktivis, pemuda dan mahasiswa, yang saat itu dianggap penguasa sebagai kelompok

yang membahayakan serta merongrong negara.

Upaya untuk mempersoalkan masalah ini kemudian memperoleh perhatian dari

dalam maupun luar negeri. Pemerintah melalui Panglima TNI telah melakukan upaya

untuk mengungkap dan menuntaskan kasus ini membentuk Dewan Kehormatan Perwira

(DKP) yang kemudian membuktikan bahwa penculikan dan penghilangan paksa itu

dilakukan oleh Kopassus yang melibatkan beberapa instansi militer dan polri.

Berdasarkan hasil pemeriksaan DKP, Letjen TNI Prabowo Subianto mengakui bahwa ia

memberikan perintah untuk menculik dan juga mengaku salah dalam menganalisis

perintah Bawah Kendali Operasi (BKO) serta menyatakan bersedia bertanggungjawab.

Hasil pemeriksaan DKP memutuskan bahwa Letjen. TNI Prabowo, Mayjen TNI

Muchdi PR dan Kolonel Inf. Chairwan terbukti terlibat dalam kasus penculikan dan

terbukti melakukan pelanggaran HAM. Untuk itu kepada ketiga perwira itu diberikan

sanksi administratif dan bila ternyata memenuhi unsur pidana maka terhadap mereka

akan diberikan pula sanksi pidana. Letjen TNI Prabowo diberhentikan dari dinas

kemiliteran, sementara Mayjen TNI Muchdi PR dan Kolonel Inf. Chairawan

dibebastugaskan.14

14

(25)

Dalam kasus penghilangan orang / penculikan di Jakarta, hampir seluruh

korbannya adalah individu yang memiliki keterlibatan langsung dengan

aktivitas-aktivitas yang menentang rejim politik yang ada: Andi Arief, Faisal Reza, serta Herman

Hendrawan, adalah sebagian dari aktvis Partai Rakyat Demokratik; sementara Desmond

Mahesa adalah aktivis LBHN; Haryanto Taslam adalah pimpinan teras PDI-Megawati.

Dengan fakta semacam ini maka pada dasarnya kekerasan dan penghilangan orang di

Indonesia sebenarnya telah mencapai tahap dua sisi yang sangat membahayakan yakni

di sisi pertama dimana aparat militer secara “naluriah” dan tanpa alasan apapun bisa

melakukan tindakan kekerasan dan penghilangan orang seperti yang terjadi dalam kasus

Aceh, di mana para korban banyak yang warga sipil biasa, petani, pegawai negeri

rendahan, sampai warga yang sedang duduk-duduk yang sama sekali tidak terlibat

dalam aktivitas politik apapun. Dan sisi kedua adalah, penghilangan orang sebagai

bagian dari proyek sistematis-terencana untuk memuluskan kekuasaan dan

membungkam oposisi. Khusus untuk 23 orang yang hilang beberapa bulan sebelum

kemunduran Presiden Soeharto, 9 orang aktivis yang hilang dikembalikan, 1 orang

ditemukan tewas, sementara 13 orang lainnya belum jelas nasib dan keberadaannya

hingga kini. Sembilan orang aktivis yang dilepaskan memberi kesaksian bahwa mereka

telah disiksa selama berada dalam penyekapan.

Deklarasi PBB tentang Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa

menyebutkan bahwa praktek-praktek sistematik penghilangan paksa merupakan

kejahatan terhadap kemanusiaan dan dinyatakan sebagai pelanggaran atas hak untuk

diakui sebagai pribadi di hadapan hukum

paksa juga merupakan pelanggaran atas hak untuk hidup, sehingga negara harus

bertanggungjawab untuk mengambil tindakan yang efektif dalam bidang legislatif,

administratif, peradil

perbuatan penghilangan paksa merupakan kejahatan terhadap martabat manusia.

Perbuatan ini dikutuk karena merupakan pelanggaran berat dan menyolok atas hak asasi

(26)

Manusia dan ditegaskan kembali dan dikembangkan dalam instrumen – instrumen

internasional dalam bidang ini.15

Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat tanpa

mengalami gangguan, dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan

memberi informasi / keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan

pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk

seni, at

Tujuan dari penghilangan orang adalah agar yang bersangkutan, baik korban dan

kelompoknya, menjadi kapok dan tidak melakukan hal yang sama, menentang

penguasa. Ini adalah salah satu senjata ampuh yang digunakan. Selain motif

mempertahankan kekuasaan, juga ada motif lainnya yaitu penghilangan saksi mata dan

teror. Penghilangan saksi mata merupakan sebuah upaya menghilangkan saksi atas

sebuah peristiwa politik yang cukup keras atau pelanggaran HAM yang berat.

Penghilangan saksi mata biasanya terjadi di suatu tempat dimana telah terjadi kekerasan

antara negara dan masyarakat yang begitu meluas sehingga negara merasa perlu

melindungi dirinya dengan melakukan praktek penghilangan orang secara paksa.

Penghilangan merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh sebuah kekuatan /

rezim kekuasaan terhadap “ancaman” yang tidak mempunyai celah untuk

dikriminalisasikan. Ketidakmampuan secara yuridis biasanya memaksa sebuah rezim

untuk melakukan tindakan-tindakan untuk meminimalisir ancaman terhadap

kekuasaannya. Maka penghilangan orang secara paksa menjadi sebuah “logika

kekuasaan” yang patut dilakukan. Berdasarkan kepada hal tersebut peneliti kemudian

tertarik melakukan penelitian dengan judul “Pelanggaran Hak Sipil dan Politik Warga

Negara (Studi Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 – 1998).

15

IKOHI, 2007, Kasus Penghilangan Paksa : Kasus Yang Belum Selesai,

(27)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun perumusan masalah dalam penelitian

ini yaitu “Bagaimana penghilangan orang secara paksa periode 1997 – 1998 mengekang

kebebasan hak berpolitik warga negara di masa orde baru?”

3. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah merupakan usaha – usaha bagaimana menetapkan masalah

dalam batasan penelitian yang hendak diteliti. Batasan masalah ini berguna untuk

mengidentifikasi faktor mana saja yang termasuk ke dalam masalah penelitian dan

faktor mana saja yang tidak masuk ke dalam ruang penelitian. Adapun pembatasan

masalah yang akan diteliti oleh peneliti adalah sebagai berikut :

1. Penelitian ini mengkaji tentang implementasi hak sipil dan politik

warga negara Indonesia di masa Orde Baru.

2. Penelitian ini mengkaji tentang penghilangan orang secara paksa

dalam lingkup penghilangan secara paksa 23 aktivis periode 1997 –

1998.

4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui sejauh mana implementasi hak sipil dan politik warga

negara Indonesia.

2. Memahami dan menganalisis penyebab penghilangan orang secara

paksa periode 1997 – 1998.

5. Signifikansi Penelitian

1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai karya ilmiah dalam upaya

mengembangkan kompetensi peneliti serta untuk memenuhi salah satu syarat

dalam menyelesaikan studi program strata satu (S1) Departemen Ilmu Politik

(28)

2. Secara teoritis, penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yang diharapkan

mampu memberikan kontribusi pemikiran mengenai konsep hak sipil dan

politik.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau

sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah khazanah

ilmu pengetahuan dalam Ilmu Politik serta menjadi referensi atau

kepustakaan bagi Departemen Ilmu Politik FISIP USU.

6. Kerangka Teori

Salah satu unsur penting dalam sebuah penelitian adalah kerangka teori, karena

teori berfungsi sebagai landasan berpikir untuk menggambarkan dari mana peneliti

melihat objek yang di teliti sehingga penelitian dapat lebih sistematis. Teori adalah

rangkaian asumsi, konsep, konstruksi, defenisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu

fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.16

6.1. Hak Asasi Manusia

Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan Perserikatan Bangsa –

Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak – hak yang melekat pada setiap

manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.17 Hak asasi

artinya hak yang bersifat mendasar (grounded), pokok atau prinsipil. HAM menyatakan

bahwa manusia memiliki hak yang bersifat mendasar. Adanya hak pada seseorang

berarti bahwa ia mempunyai suatu “keistimewaan” yang membuka kemungkinan

baginya untuk diperlakukan sesuai dengan “keistimewaan” yang dimilikinya.18

16

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, (Jakarta : LP3ES,1989), Hlm. 37 17

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Demokrasi : Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media Group, Jakarta : 2009; hlm 110.

18

Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, op.cit hlm 5

Bangsa

Indonesia memiliki rumusan HAM yang dirasa sebagai rumusan yang sesuai dengan

kondisi sosiologis bangsa Indonesia, meskipun masih banyak mengadopsi aturan HAM

(29)

dihasilkan badan legislatif, diantaranya dalam Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia, dan dalam Undang – Undang Nomor 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap

manusia yang bersifat kodrati, universal, dan berkelanjutan sejak ia masih berada di

dalam kandungan, dan dilahirkan hingga sepanjang hayatnya. Dan secara demokratis,

setiap manusia harus menghormati hak-hak asasi manusia lainnya tanpa terkecuali.

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang

menjamin derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan

Hak Asasi Manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang

merupakan karunia Sang Pencipta. Karena setiap manusia diciptakan sederajat

kedudukannya, dengan hak-hak yang sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan

merupakan hal utama dalam interaksi sosial.19

Hak asasi manusia merupakan suatu hak yang melekat dalam diri manusia

karena nilai humanitasnya. Menurut Krisdyatmiko, hak asasi manusia pada dasarnya

dapat dibagi menjadi tiga, yaitu hak klasik berupa hak sipil – politik, hak ekonomi, dan

hak sosial budaya. Ketiga klasifikasi tersebut dapat dipadatkan menjadi dua saja, yaitu

hak sipil – politik dan hak sosial - budaya. Satjipto Rahardjo membagi generasi HAM

menjadi tiga, yaitu generasi pertama yang meliputi hak sipil dan politik, generasi kedua

yang meliputi hak sosial, ekonomi, dan budaya, dan generasi ketiga yang memuat

sejumlah hak – hak kolektif.20

19

Abdul Hakim Garuda Nusantara; Keadaan Hak Sipil dan Politik Indonesia Satu Dasa Warsa Reformasi;

HAM, Apapun jenisnya, memiliki kedudukan yang sama,

harus dihormati dan dilindungi oleh semua pihak terutama oleh negara sebagai entitas

yang memiliki otoritas yang besar.

20

(30)

Beberapa ciri pokok hakikat HAM, yaitu:21

1. HAM tidak perlu diberikan, dibeli, ataupun di warisi, HAM adalah bagian dari

manusia secara otomatis.

2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama,

etnis, pandangan politik atau asal usul sosial, dan bangsa.

3. HAM tidak bisa dilanggar, tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi

atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah

negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM.

6.2.Hak Sipil dan Politik

Secara jelas undang-undang tidak menyebutkan pengertian tentang hak sipil dan

politik, namun dapat di simpulkan bahwa hak-hak sipil dan politik adalah hak yang

bersumber dari martabat dan melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati

keberadaannya oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya

dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.22

Dengan kata lain, hak sipil dan politik adalah hak asasi dan kebebasan dasar manusia yg

pemenuhan, penghormatan dan perlindungannya sangat ditentukan ada atau tidaknya

hukum yg menjamin dan kekuasaan yang taat hukum serta memberikan kepastian

hukum menjamin penegakannya jika ada pelanggaran.23

1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya.

Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas

hak hidupnya secara sewenang – wenang.

Secara rinci hak – hak sipil dan politik antara lain sebagai berikut :

21

Subandi Al Mursadi, Pancasila dan UUD 1945 dalam Paradigma Reformasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm 97.

22

KontraS, Hak Sipil dan Hak Politik, 2010, op.cit; hlm 1. 23

(31)

2. Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan

hukuman yang keji, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Pada

khususnya, tidak seorangpun dapat dijadikan obyek eksperimen medis

atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas;

3. Tidak seorangpun dapat diperbudak; perbudakan dan perdagangan budak

dalam segala bentuknya harus dilarang;

4. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi;

5. Setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu negara, berhak

atas kebebasan untuk bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat

tinggalnya dalam wilayah tersebut;

6. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan

dan badan peradilan;

7. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan

beragama;

8. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;

9. Dilarang adanya setiap bentuk diskriminasi.24

Hak – hak sipil dan politik, meliputi :25

1. Hak hidup

2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi

3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa

4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi

5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah

6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum

7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama

8. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi

9. Hak untuk berkumpul dan berserikat

10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan

24

Lebih lengkap dapat dibaca dalam Konvensi Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik, bagian II Pasal 6 – Pasal 27. 25

(32)

Karakteristik hak sipil dan politik :26

1. Negara bersifat pasif

2. Dapat diajukan ke pengadilan

3. Tidak bergantung pada sumber daya

4. Non-ideologis

Di dalam perlindungannya peran negara harus dibatasi karena hak-hak sipil dan

politik merupakan Negative Right (hak dan kebebasan akan terjamin dan terpenuhi

apabila peran negara dibatasi). Sebelum amandemen, ada dua pasal dalam UUD 1945

yang menjamin hak sipil dan politik di Indonesia, yaitu pada pasal 28 dan pasal 29,

yaitu kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan

tulisan, dan hak untuk beragama dan berkepercayaan. Dua pasal tersebut dimasukkan ke

dalam UUD 1945 setelah melalui perdebatan panjang antara Ir. Soekarno dan Drs.

Mohammad Hatta.27

Indonesia pada 30 September 2005 meratifikasi dua perjanjian internasional

tentang hak – hak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak – hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights –

ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik (International

Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR).

Suparman Marzuki, op.cit; hlm 6. 28

Yosep Adi Prasetyo, op.cit.; hlm 4.

Ratifikasi ini menimbulkan

konsekuensi terhadap pelaksanaan hak – hak manusia, karena negara Indonesia telah

mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan kewajiban

untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundang – undangan,

baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU. Yang lain adalah

pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai langkah dan

kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi

(33)

dengan kewajiban pemerintah yang lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian

dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan.

Berikut adalah rincian hak – hak sipil dan politik sebagaimana tercantum dalam

UU No 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi terhadap Kovenan Internasional

tentang hak sipil dan politik. 29

No Pasal Hak - Hak Sipil dan Politik

1 Pasal 6 Hak untuk hidup (tidak dibunuh/dihukum mati setidaknya bagi anak di bawah 18 tahun)

2 Pasal 7 Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara keji, tak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (termasuk tidak diculik/dihilangkan secara paksa, diperkosa)

3 Pasal 8 Hak untuk tidak diperbudak (larangan segala bentuk

perbudakan, perdagangan orang, dan kerja paksa,)

4 Pasal 9 Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (tidak ditangkap atau ditahan dengan sewenang-wenang, didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana)

5 Pasal 10 Hak sebagai tersangka dan terdakwa (diperlakukan manusiawi, anak dipisahkan dari orang dewasa, sistem penjara bertujuan reformasi dan rehabilitasi)

6 Pasal 11 Hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual (utang atau perjanjian lainnya)

7 Pasal 12 Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk

meninggalkan dan kembali ke negerinya sendiri)

8 Pasal 13 Hak sebagai orang asing (dapat diusir hanya sesuai hukum atau alasan yang meyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional)

9 Pasal 14 Hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (dibuktikan

kesalahannya oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal, dapat ditinjau kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama)

29

(34)

No Pasal Hak - Hak Sipil dan Politik

10 Pasal 15 Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (jika keluar ketentuan hukum sebelum tindak pidana, si pelaku harus mendapatkan keringanannya)

11 Pasal 16 Hak sebagai subyek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarganegaraan)

12 Pasal 17 Hak pribadi (tidak dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti kerahasiaan, keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat-menyurat atau komunikasi pribadi)

13 Pasal 18 Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan)

14 Pasal 19 Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya)

15 Pasal 20 Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan)

16 Pasal 21 Hak atas kebebasan berkumpul (mengadakan pertemuan, arak-arakan atau keramaian)

17 Pasal 22 Hak atas kebebasan berserikat (bergabung dalam perkumpulan, partai politik atau serikat buruh)

18 Pasal 23 Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (tidak dipaksa, termasuk tanggung jawab atas anak)

19 Pasal 24 Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan (setiap kelahiran anak didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa diskriminasi)

20 Pasal 25 Hak untuk berpartisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih)

21 Pasal 26 Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilindungi hukum tanpa diskriminasi)

22 Pasal 27 Hak kelompok minoritas (mendapatkan perlindungan khusus)

(35)

6.3. Kekuasaan

Kekuasaan merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua pemahaman.

Pertama, pemahaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan kedua

pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada kekuasaan. Pemahaman

sentral yang berkenaan dengan ini berkisar pada sumber kekuasaan sebagai legitimasi

atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang untuk tunduk pada kekuasaan

yang maknanya adalah pembatasan dan bahkan menerima tekanan pada sisi yang lain.

Keabsahan atau kekuasaan merupakan satu legitimasi untuk melakukan tindakan yang

dalam tataran objektif tidak bisa seperti itu. Artinya, tanpa adanya legitimasi kekuasaan,

tindakan seseorang baik secara pribadi apalagi secara kelembagaan tidak akan

dilaksanakan. Legitimasi ini begitu penting maknanya sebagai dasar dari kekuasaan. 30

Menurut Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan, kekuasaan adalah suatu

hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan

seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan dari pihak pertama. Esensi dari kekuasaan

adalah hak mengadakan sanksi. Upaya mengadakan kekuasaan berbeda – beda, di

antaranya : 31

1. Kekerasan fisik (force)

2. Koersi (coercion) yaitu melalui ancaman akan diadakannya sanksi

3. Persuasi (persuasion) yaitu proses meyakinkan, berargumentasi dan merujuk

kepada pendapat seorang ahli.

4. Memberikan ganjaran (reward) memberikan intensif, imbalan atau

kompensasi.

Sumber kekuasaan adalah berupa kedudukan, kekayaan, dan kepercayaan.

Bagaimana seseorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi pasti akan mempunyai

kuasa atas bawahannya, dan bagaimana orang yang mempunyai kekayaan yang

berlimpah mempunyai kuasa untuk membuat orang melakukan apa yang dia mau

30

Samsul Wahidin, Dimensi Kekuasaan Negara Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, hlm 1.

31

(36)

dengan imbalan akan diberikan uang, begitu juga dengan manusia yang memiliki

kepercayaan dari banyak manusia lainnya yang pada akhirnya membuat manusia

tersebut mempunyai kuasa untuk mengambil keputusan untuk banyak hal. 32

6.4.Penghilangan Orang Secara Paksa

Penjelasan Pasal 9 huruf i unsur – unsur tindak pidana Statuta Roma

menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan penghilangan orang secara paksa yakni

penangkapan, penahanan, atau penculikan seseorang oleh atau dengan kuasa, dukungan,

atau persetujuan dari negara atau kebijakan organisasi, diikuti oleh penolakan untuk

mengakui perampasan kemerdekaan tersebut atau untuk memberikan informasi tentang

nasib atau keberadaan orang tersebut, dengan maksud untuk melepaskan dari

perlindungan hukum dalam jangka waktu yang panjang.33 Unsur – unsur berupa

penghilangan secara paksa sebagai berikut :34

1. Pelaku menangkap, menahan, atau menculik satu orang atau lebih, atau

pelaku menolak untuk mengakui penangkapan, penahanan, atau penculikan,

atau menolak untuk memberikan informasi menyangkut nasib atau

keberadaan orang – orang,

2. Penangkapan, penahanan, atau penculikan tersebut diikuti dengan suatu

penolakan untuk mengakui pencabutan kebebasan atau menolak memberikan

informasi tentang nasib atau keberadaan orang atau orang – orang itu, atau

penolakan semacam itu dilakukan atau disertai dengan pencabutan

kebebasan yang dimaksud;

3. Pelaku menyadari bahwa penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut

akan diikuti dengan suatu rangkaian tindakan yang biasanya dilakukan

dengan penolakan untuk mengakui adanya pencabutan kebebasan semacam

itu atau untuk memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang –

orang itu,

32

Ibid; hlm 62.

33

Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat,op.cit; hlm 169 34

(37)

4. Penangkapan, penahanan atau penculikan tersebut dilakukan dengan atau

melalui pengesahan, dukungan atau bantuan dari suatu negara organisasi

politik;

5. Penolakan untuk mengakui dicabutnya kebebasan tersebut untuk

memberikan informasi tentang nasib atau keberadaan orang itu yang

dilakukan melalui pengesahan, dukungan, atau bantuan dari negara atau

organisasi politik;

6. Pelaku bermaksud untuk menghilangkan perlindungan hukum orang atau

orang – orang itu untuk suatu jangka waktu yang tak tentu;

Dalam Statuta Roma unsur – unsur penghilangan secara paksa sama dengan

unsur – unsur sebagaimana disebutkan di atas ditambah dengan dua unsur lagi, berupa

tindakan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang

ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil dan pelaku mengetahui bahwa

tindakan tersebut merupakan bagian dari atau memaksudkan tindakan itu menjadi

bagian dari serangan meluas atau sistematik terhadap suatu kelompok penduduk sipil.35

7. Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian merupakan ilmu yang mempelajari cara yang digunakan

untuk menyelidiki masalah yang memerlukan pemecahan. Implisit dalam defenisi

metodologi adalah satu set prinsip – prinsip atau kriteria – kriteria yang dengannya para

peneliti dapat meneliti kebenaran dari prosedur – prosedur penelitian. Metode penelitian

menuntun dan mengarahkan pelaksanaan penelitian agar hasilnya sesuai realitas. 36

7.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu

penelitian yang mengacu pada identifikasi sifat – sifat yang membedakan atau

karakteristik sekelompok manusia, benda atau peristiwa. Pada dasarnya, deskripsi

35

Ibid, hlm 170. 36

(38)

kualitatif melibatkan proses konseptualisasi dan menghasilkan pembentukan skema –

skema klasifikasi37

7.2. Teknik Pengumpulan Data .

Data primer adalah data yang diambil dari sumber data pertama. Data primer

didapatkan dari wawancara. Pada penelitian ini key informan adalah Pak Mugiyanto,

salah satu korban penghilangan orang secara paksa sekaligus Ketua IKOHI (Ikatan

Keluarga Orang Hilang Indonesia), yang akan diwawancarai untuk memberikan data

dan informasi terkait kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997 - 1998. Data

sekunder, dimana data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari berbagai sumber

yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data sekunder dapat diperoleh melalui

buku, makalah, laporan, jurnal, dan lain – lain. Nantinya teori dan referensi dari sumber

– sumber data sekunder tersebut dapat dijadikan panduan dalam melakukan penelitian

ini.

7.3.Teknik Analisa Data

Metode penelitian kualitatif lebih berorientasi kepada eksplorasi dan penemuan

(discovery oriented). Oleh karena itu peneliti akan mencoba memahami fenomenanya

atau gejala yang dilihat sebagaimana adanya dengan teknik analisa induktif yang

dimulai dengan melakukan observasi – obsevasi untuk menemukan pola atau hubungan

daripada judul penelitian.38

37

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta, Prenada Media Group, hlm 6.

38

(39)

8. Sistematika Penulisan

Untuk lebih terarah dan mempermudah dalam pembahasan skripsi ini, maka

penyusun akan mensistematiskan pembahasan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisikan mengenai Latar Belakang Masalah,

Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori,

Metodologi Penelitian dan Sistematika Penelitian.

BAB II : DESKRIPSI KASUS

Dalam bab ini akan menggambarkan sejarah dan perkembangan hak

sipil dan hak sipil politik serta profil ke 23 aktivis pro demokrasi

periode 1997 – 1998 yang dinyatakan hilang.

BAB III : ANALISIS DATA

Bab ini nantinya akan berisikan tentang kronologis kasus serta

penyajian data dan juga fakta yang diperoleh dari buku – buku,

majalah, koran, dan juga akan menyajikan pembahasan dan analisis

data dan fakta tersebut.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kumpulan yang diperoleh

dari hasil analisis data pada bab – bab sebelumnya serta berisi

kemungkinan adanya saran – saran yang peneliti peroleh setelah

(40)

BAB II

PELANGGARAN HAK SIPIL DAN POLITIK

Pada bab ini peneliti akan mencoba mendeskripsikan sejarah dan perkembangan

hak sipil dan politik dari awal dan perkembangannya sampai di Indonesia. Dan untuk

menjelaskan adanya pelanggaran hak sipil hak politik peneliti akan mencoba

memberikan gambaran atau profil ke 23 aktivis pro demokrasi, baik yang sempat

dinyatakan hilang dan sudah kembali maupun yang sampai saat ini masih dinyatakan

hilang. Bagaimana aktivitas politik para aktivis tersebut dan selama dalam penyekapan

apa yang terjadi kepada mereka.

Di akhir bab ini peneliti juga akan mencoba menjelaskan profil Tim Mawar,

anggota Kopassus yang terbukti melakukan penculikan terhadap terhadap aktivis pro

demokrasi 1997 – 1998. Meskipun dalam persidangan Tim Mawar hanya terbukti

melakukan penculikan terhadap 9 aktivis yang sudah dikembalikan. Dalam bab ini akan

didapatkan gambaran bagaimana pemerintahan pada masa orde baru rentan terhadap

pelanggaran hak sipil dan politik warga negara.

2.1 Sejarah dan Perkembangan Hak Sipil dan Politik

Hak sipil dan politik merupakan konsep asli dari International Covenant on

Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak - Hak Sipil dan

Politik (KIHS). Konsep ini berdampingan dengan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

(International Covenant of Economic, Social, and Cultural Rights) (ICESCR). Kovenan

ini merupakan hasil dari kompromi politik antara Blok Barat dengan Blok Timur, yang

ditetapkan oleh PBB pada 16 Desember 1966, dan baru mulai berlaku 23 Maret 1976.

(41)

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan

Internasional Hak - Hak Sipil dan Politik (KIHS) telah diratifikasi oleh Indonesia pada

tahun 2005. Oleh karena itu produk hukum internasional tentang Hak Asasi Manusia

tersebut telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hukum nasional Indonesia.

Sehingga dengan demikian, negara yakni pemerintah harus menjalankan

kewajiban-kewajibannya menurut Kovenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.

Di sisi lain, setiap orang yang hidup dan tinggal di wilayah dan yurisdiksi

Indonesia berhak untuk memperoleh penghormatan, kesempatan dan perlindungan yang

sebesar-besarnya untuk dapat menikmati hak-hak asasinya, sebagaimana tertuang dalam

Kovenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.39

Setelah ditemukan, pengakuan HAM harus melalui berbagai tahapan untuk

kemudian dimodifikasi. Modifikasi pertama HAM adalah Deklarasi Universal Hak

Asasi Manusia tahun 1948. Jika Magna Charta, tahun 1215 dianggap sebagai tonggak

kelahiran HAM (yang diyakini oleh pakar Eropa), maka betapa panjang dan lama proses

perjalanan HAM dari mulai ditemukan sampai dimodifikasi oleh Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia tahun 1948.

Penghormatan, kesempatan, dan

perlindungan ini wajib diberikan oleh negara, tanpa membedakan suku, agama, ras,

golongan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, pandangan politik ataupun pandangan

lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status

lainnya. HAM terbentuk dari rangkaian panjang kehidupan umat manusia, dan

perkembangannya belum berakhir, bahkan terus berputar dan bergulir seiring dengan

dinamika perkembangan zaman serta peradaban manusia itu sendiri. Terjadinya

penindasan, penjajahan dan kesewenang-wenangan merupakan awal pembuka

kesadaran manusia tentang konsep HAM. Sehingga patutlah jika dikatakan, sejarah

HAM adalah sejarah korban. Pada awal mulanya para korban-korban itulah yang

menemukan dan memperjuangkan hak-haknya.

40

39

40

Idhal Kashim, Hak – Hak Sipil dan Politik : Esai – Esai Pilihan, Jakarta, 2001, Elsam, hlm 1

(42)

secara sederhana dibagi menjadi 4 periode waktu, yakni; zaman penjajahan

(1908-1945), masa pemerintahan orde lama (1946-1966), masa orde baru (1966-1998), dan

masa reformasi (1998-sekarang). Fokus perjuangan penegakan HAM di zaman

penjajahan adalah mewujudkan kemerdekaan agar terbebas dari imperialisme dan

kolonialisme, pada masa orde lama adalah mewujudkan demokrasi, masa orde baru

adalah perjuangan hak sipil dan politik, dan masa reformasi perjuangan mulai

menjangkau aspek lebih luas terutama hak ekonomi, sosial dan budaya. 41

Pada masa rezim Orde Baru, selama sepuluh tahun, paling tidak ada 4 (empat)

produk hukum yang menunjukkan kepedulian negara pada Hak Sipil dan Politik yaitu,

UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970), UU Hukum Acara Pidana

(UU No. 8 Tahun 1981), UU Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Penghapusan

Segala Bentuk Diskrikminasi terhadap Perempuan, Keputusan Presiden pengesahan

Konvensi Hak Anak. Di luar 4 (empat) produk hukum ini, rezim Orde Baru terus

memproduksi berbagai UU dan peraturan perundangan yang melanggar Hak Sipil dan

Politik, misalnya, UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Kemasyarakatan, Kebijakan Litsus

(Penelitian khusus) untuk menyingkirkan orang-orang yang dituduh mempunyai

hubungan dengan PKI, dan sebagainya, di samping itu pemerintah tetap

mempertahankan dan secara intensif dan ekstensif menggunakan UU Anti Subversif,

pasal-pasal anti Hak Sipil dan Politik yang termuat dalam KUHP untuk melemahkan

para aktivis pro-demokrasi.42

Akan tetapi setelah lebih dari satu dasawarsa, nuansa demokratisasi dan

perlindungan HAM mulai hilang, ditandai dengan maraknya praktek KKN (Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme) serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan

penguasa. Pemerintahan di Orde Baru seringkali melakukan tindakan – tindakan yang

melanggar HAM, termasuk penghilangan orang secara paksa, sekalipun pada tahun

1993 pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas

41

Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep & Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung, Refika Aditama, 2005, hlm 49.

42

(43)

HAM), tapi dalam realisasinya Komnas HAM tidak memiliki kekuatan dalam

melaksanakan tugasnya, hanya terbatas pada pemantauan dan penyelidikan semata.43

Sejak Orde Reformasi yang resmi ditandai dengan lengsernya Soeharto dari

kekuasaan otoriternya selama 32 tahun pada bulan Mei tahun 1998, lahirlah berbagai

produk hukum yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi Hak-hak Sipil dan Politik

Indonesia, antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan

Menyampaikan Pendapat (UU Unjukrasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU

Pemilu, UU Parpol, UU Otonomi Daerah, UU Ratifikasi Konvensi PBB Menentang

Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau

merendahkan martabat, UU Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial. Pada tahun

2000, ketika memasuki Amandemen ke II UUD 1945, suatu daftar panjang HAM

dimasukkan kedalam Konstitusi, yaitu pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD

1945.

Hal tersebut juga otomatis melemahkan hak sipil dan politik masyarakat.

44

Dapat kita lihat pada masa pemerintahan B. J. Habibie, dimana tahanan politik

dibebaskan, dipercepatnya diadakan pemilihan umum, dan sebagainya yang membuat

perlindungan hak sipil politik mendapat tempat yang cukup baik. Pada masa

pemerintahan Gus Dur, adanya juga pembebasan tahanan politik, reformasi TNI – Polri,

dan adanya pengusutan kasus HAM masa lalu membuat perlindungan hak sipil politik

mengalami kemajuan. Memasuki pemerintahan Megawati adanya pembentukan

lembaga negara yang independen seperti KPU, MK, dan KPK. Dan pada masa

pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak ada kemajuan yang berarti dalam

perlindungan hak sipil politik. Belum adanya kepastian hukum dan belum adanya

keadilan bagi korban terhadap kasus – kasus pelanggaran hak sipil politik masa lalu. Dengan demikian HAM tidak lagi semata-mata hak moral dan hak atas dasar

UU. Tapi HAM sudah merupakan bagian dari hak-hak Konstitusional yang mesti di

patuhi oleh pembuat UU (pemerintah dan DPR) dan jajaran aparat yudisial.

43

Muladi, op.cit; hlm 50. 44

(44)

Tidak adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran

hak sipil politik di masa lalu.

2.2. Profil Korban Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 –

1998

Berikut ini adalah profil dan gambaran aktifitas politik masing – masing korban

kasus penghilangan orang secara paksa periode 1997 – 1998 :

2.2.1. Yani Afri (Ryan)

Yani Afri atau biasa dipanggil Ryan, hilang sejak 26 Mei 1997. Pemuda yang

dilahirkan pada tanggal 27 April 1971 itu adalah sopir angkutan umum yang juga

anggota PDI pro –Megawati. Saat kampanye pemilu 1997, ia menunjukkan

keberpihakkannya pada Megawati. Pada tanggal 23 April 1997, sejumlah aparat

berseragam dari Komando Distrik Jakarta Utara mendatangi tempat tinggalnya di

Rumah Susun Tanah Abang, Blok 36, Lantai 3. Mereka lalu membawa Ryan bersama

rekannya, Sony ke kantor Kodim tersebut. Ryan ditahan disana dan hingga hari ini Ryan

belum juga pulang. Sebelum hilang, ia bertempat tinggal di Rumah Susun Tanah

Abang, Blok 36 lantai 3 Jakarta.45

2.2.2. Dedy Hamdun

Dedy Umar Hamdun, dengan sapaan akrab Hamdun, pria kelahiran Jakarta 29

Juli 1954, suami dari artis Eva Arnas. Selain berprofesi sebagai pengusaha yang

beralamat di Jalan Kebon Nanas Selatan Jakarta Timur, dia aktif di Partai Persatuan

Pembangunan (PPP). Dedy Hamdun aktif dalam aksi-aksi Mega Bintang Rakyat (MBR)

menjelang Pemilu 1997. Dedi Hamdun dilaporkan hilang sejak tanggal 29 Mei 1998,

bersama rekannya Noval Alkatiri dan Ismail, supir Dedi Hamdun dan mereka belum

kembali sampai sekarang.46

45

Wawancara dengan Adi, Ketua IKOHI Sumatera Utara yang dilakukan pada 10 Juni 2013 46

Gambar

Tabel 1.1. Nama 9 Aktivis yang Dikembalikan
Tabel 1.3. Rincian Pasal Hak Sipil dan Politik

Referensi

Dokumen terkait