• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELANGGARAN HAK SIPIL DAN POLITIK

2.1 Sejarah dan Perkembangan Hak Sipil dan Politik

Hak sipil dan politik merupakan konsep asli dari International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak - Hak Sipil dan Politik (KIHS). Konsep ini berdampingan dengan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant of Economic, Social, and Cultural Rights) (ICESCR). Kovenan ini merupakan hasil dari kompromi politik antara Blok Barat dengan Blok Timur, yang ditetapkan oleh PBB pada 16 Desember 1966, dan baru mulai berlaku 23 Maret 1976. Gagasan yang mendorong kovenan ini adalah demokrasi, kebebasan, dan persamaan.

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak - Hak Sipil dan Politik (KIHS) telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2005. Oleh karena itu produk hukum internasional tentang Hak Asasi Manusia tersebut telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hukum nasional Indonesia. Sehingga dengan demikian, negara yakni pemerintah harus menjalankan kewajiban- kewajibannya menurut Kovenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.

Di sisi lain, setiap orang yang hidup dan tinggal di wilayah dan yurisdiksi Indonesia berhak untuk memperoleh penghormatan, kesempatan dan perlindungan yang sebesar-besarnya untuk dapat menikmati hak-hak asasinya, sebagaimana tertuang dalam Kovenan Internasional Hak – Hak Sipil dan Politik.39

Setelah ditemukan, pengakuan HAM harus melalui berbagai tahapan untuk kemudian dimodifikasi. Modifikasi pertama HAM adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948. Jika Magna Charta, tahun 1215 dianggap sebagai tonggak kelahiran HAM (yang diyakini oleh pakar Eropa), maka betapa panjang dan lama proses perjalanan HAM dari mulai ditemukan sampai dimodifikasi oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948.

Penghormatan, kesempatan, dan perlindungan ini wajib diberikan oleh negara, tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, pandangan politik ataupun pandangan lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, status kelahiran ataupun status lainnya. HAM terbentuk dari rangkaian panjang kehidupan umat manusia, dan perkembangannya belum berakhir, bahkan terus berputar dan bergulir seiring dengan dinamika perkembangan zaman serta peradaban manusia itu sendiri. Terjadinya penindasan, penjajahan dan kesewenang-wenangan merupakan awal pembuka kesadaran manusia tentang konsep HAM. Sehingga patutlah jika dikatakan, sejarah HAM adalah sejarah korban. Pada awal mulanya para korban-korban itulah yang menemukan dan memperjuangkan hak-haknya.

40

39

40

Idhal Kashim, Hak – Hak Sipil dan Politik : Esai – Esai Pilihan, Jakarta, 2001, Elsam, hlm 1

secara sederhana dibagi menjadi 4 periode waktu, yakni; zaman penjajahan (1908- 1945), masa pemerintahan orde lama (1946-1966), masa orde baru (1966-1998), dan masa reformasi (1998-sekarang). Fokus perjuangan penegakan HAM di zaman penjajahan adalah mewujudkan kemerdekaan agar terbebas dari imperialisme dan kolonialisme, pada masa orde lama adalah mewujudkan demokrasi, masa orde baru adalah perjuangan hak sipil dan politik, dan masa reformasi perjuangan mulai menjangkau aspek lebih luas terutama hak ekonomi, sosial dan budaya. 41

Pada masa rezim Orde Baru, selama sepuluh tahun, paling tidak ada 4 (empat) produk hukum yang menunjukkan kepedulian negara pada Hak Sipil dan Politik yaitu, UU Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970), UU Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981), UU Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrikminasi terhadap Perempuan, Keputusan Presiden pengesahan Konvensi Hak Anak. Di luar 4 (empat) produk hukum ini, rezim Orde Baru terus memproduksi berbagai UU dan peraturan perundangan yang melanggar Hak Sipil dan Politik, misalnya, UU Pemilu, UU Partai Politik, UU Kemasyarakatan, Kebijakan Litsus (Penelitian khusus) untuk menyingkirkan orang-orang yang dituduh mempunyai hubungan dengan PKI, dan sebagainya, di samping itu pemerintah tetap mempertahankan dan secara intensif dan ekstensif menggunakan UU Anti Subversif, pasal-pasal anti Hak Sipil dan Politik yang termuat dalam KUHP untuk melemahkan para aktivis pro-demokrasi.42

Akan tetapi setelah lebih dari satu dasawarsa, nuansa demokratisasi dan perlindungan HAM mulai hilang, ditandai dengan maraknya praktek KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta berbagai rekayasa untuk kepentingan politik dan penguasa. Pemerintahan di Orde Baru seringkali melakukan tindakan – tindakan yang melanggar HAM, termasuk penghilangan orang secara paksa, sekalipun pada tahun 1993 pemerintah sudah mendirikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas

41

Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep & Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung, Refika Aditama, 2005, hlm 49.

42

HAM), tapi dalam realisasinya Komnas HAM tidak memiliki kekuatan dalam melaksanakan tugasnya, hanya terbatas pada pemantauan dan penyelidikan semata.43

Sejak Orde Reformasi yang resmi ditandai dengan lengsernya Soeharto dari kekuasaan otoriternya selama 32 tahun pada bulan Mei tahun 1998, lahirlah berbagai produk hukum yang dimaksudkan untuk memperbaiki kondisi Hak-hak Sipil dan Politik Indonesia, antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjukrasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Otonomi Daerah, UU Ratifikasi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, UU Ratifikasi Konvensi Anti Diskriminasi Rasial. Pada tahun 2000, ketika memasuki Amandemen ke II UUD 1945, suatu daftar panjang HAM dimasukkan kedalam Konstitusi, yaitu pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD 1945.

Hal tersebut juga otomatis melemahkan hak sipil dan politik masyarakat.

44

Dapat kita lihat pada masa pemerintahan B. J. Habibie, dimana tahanan politik dibebaskan, dipercepatnya diadakan pemilihan umum, dan sebagainya yang membuat perlindungan hak sipil politik mendapat tempat yang cukup baik. Pada masa pemerintahan Gus Dur, adanya juga pembebasan tahanan politik, reformasi TNI – Polri, dan adanya pengusutan kasus HAM masa lalu membuat perlindungan hak sipil politik mengalami kemajuan. Memasuki pemerintahan Megawati adanya pembentukan lembaga negara yang independen seperti KPU, MK, dan KPK. Dan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak ada kemajuan yang berarti dalam perlindungan hak sipil politik. Belum adanya kepastian hukum dan belum adanya keadilan bagi korban terhadap kasus – kasus pelanggaran hak sipil politik masa lalu.

Dengan demikian HAM tidak lagi semata-mata hak moral dan hak atas dasar UU. Tapi HAM sudah merupakan bagian dari hak-hak Konstitusional yang mesti di patuhi oleh pembuat UU (pemerintah dan DPR) dan jajaran aparat yudisial.

43

Muladi, op.cit; hlm 50. 44

Tidak adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran hak sipil politik di masa lalu.

2.2. Profil Korban Kasus Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997 –