• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE TUBERKULOID DENGAN PENGOBATAN KLOFASIMIN, OFLOXASIN DAN MINOKSIKLIN SELAMA 18 BULAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE TUBERKULOID DENGAN PENGOBATAN KLOFASIMIN, OFLOXASIN DAN MINOKSIKLIN SELAMA 18 BULAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE TUBERKULOID DENGAN PENGOBATAN KLOFASIMIN, OFLOXASIN DAN MINOKSIKLIN

SELAMA 18 BULAN

I Putu Adi Mahardika, dr. IGK Darmada, Sp.KK (K), dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar

ABSTRAK

Morbus Hansen atau kusta adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular, disebabkan oleh Myobacterium leprae. Pintu masuk infeksi bakteri ini melalui kulit yang sudah lecet dan berkembang pada bagian tubuh yang bersuhu lebih dingin. Dilaporkan kasus seorang laki-laki berumur 33 tahun dengan diagnosis morbus hansen tipe borderline tuberkuloid. Tanda klinis pasien tersebut berupa anestia pada nodul eritema multipel berbentuk bulat dengan diameter 1-2,5 cm dan plak eritema multipel berbentuk bulat dengan diameter 1-2 cm. Plak eritema berbentuk oval dengan ukuran 3x4 cm sampai dengan 4x5 cm pada bagian tengahnya terdapat

central clearing dan terdapat nodul eritema multipel berbentuk bulat dengan diameter

1-1,5 cm. Pada pemeriksaan basil di cuping dan punggung tangan tidak ditemukan kuman. Pemeriksaan histopatologis mengarah kepada morbus hansen tipe borderline tuberculoid (BT). Penatalaksanaan diberikan klofasimin 1x 50mg/ hari, ofloxasin 1x 400mg/hari, minoksiklin 1x100 mg/hari selama 6 bulan, vitamin B1 B6 B12 1x1 dan dilanjutkan dengan klofasimin dan ofloxasin selama 18 bulan. Prognosis pasien baik.

(2)

2 BORDERLINE TUBERCULOID TYPE OF MORBUS HANSEN WITH CLOFAZIMINE, OFLOXACIN AND MINOCYCLINE DURING 18 MONTHS

ABSTRACT

Morbus Hansen is an infectious disease caused by Myobacterium leprae. M. leprae infects a wound and grows in colder area of human body. Reported the case 33 years old man was diagnosed with borderline tuberculoid type of morbus hansen. Clinical feature of the patient were anesthesia in the 1-2,5 cm round multiple erythema nodul and 1-2 round plaque multiple erythema. The ovale plaque erythema sized 3x4 cm until 4x5 cm with central healing, 1-1,5 round multiple erythema. Histopathological exam show the characteristic of borderline tuberculoid type of morbus hansen. Klofasimin 1x 50mg/ day, ofloxasin 1x 400mg/day, minoksiklin 1x100 mg/day as long as 6 month, continued with kofasimin and ofloxasin as long as 18 month. With good prognosis

Keyword: Morbus Hansen, Leprosy, RSUP Sanglah, M. leprae

PENDAHULUAN

Penyakit morbus hansen atau kusta masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar negara berkembang. Kecenderungan tingkat sosial ekonomi yang rendah pada negara berkembang merupakan salah satu faktor resiko penyakit morbus hansen ini. Morbus hansen atau kusta adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular. Penyebabnya adalah

Myobacterium leprae yang bersifat

intraseluler obligat. Bakteri ini pertama kali akan menyerang kulit,

mukosa mulut, saluran nafas bagian atas dan organ lain kecuali sistem saraf pusat.1,2,3,4

Menurut WHO Weekly

Epidemiological Report mengenai morbus hansen tahun 2010, prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat di India, dengan jumlah penderita sebanyak 87.190 jiwa pada tahun 2009. Pada peringkat kedua terdapat Brazil, dengan jumlah penderita 38.179 jiwa pada tahun 2009. Indonesia berada pada peringkat ketiga dengan jumlah penderita sebanyak

(3)

3 21.026 jiwa pada tahun 2009.

Berdasarkan dari laporan WHO tersebut, selama tahun 2009 terdapat sebanyak 17.260 kasus baru di Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus morbus hansen tipe multi basiler (MB) adalah tipe yang dapat menular. Dengan perbandingan penderita anak-anak sebanyak 2.076 kasus dan perempuan sebanyak 6.887 kasus. Pada tahun 2012 terjadi peningkatan jumlah kasus baru sebanyak 18.994 orang dengan 15.703 kasus diidentifikasi sebagai morbus hansen tipe multi basiler, mengenai wanita sebanyak 6.667 kasus, anak-anak sebanyak 2.191 kasus dan kasus relaps sebanyak 194 kasus. 3,5,6

Perkembangan penyakit morbus hansen memerlukan jumlah bakteri M.

leprae minimal untuk menimbulkan

gejala klinis, derajat infeksi dan derajat penyakit. Hal ini sangat erat kaitannya dengan sistem imunitas seseorang. M.

leprae menginfeksi melalui kulit yang

lecet pada bagian tubuh yang bersuhu relatif lebih dingin dan pada bagian hidung. Morbus hansen dapat

digolongkan kedalam beberapa jenis berdasarkan teori Ridley dan Jopling, klasifikasi internasional (Madrid, 1953) dan menurut WHO.2,4,7,8

Pada proses penegakan diagnosis dapat diperoleh dengan mencari tanda utama atau tanda kardinal yang ditunjukkan pasien secara keseluruhan. Karena di setiap tempat akan memberikan gambaran yang berbeda jika hanya dilihat dari satu sisi saja. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan bakterioskopik, pemeriksaan serologis, dan pemeriksaan histopatologis.8 Pengobatan kusta pada awalnya hanya menggunakan terapi dosis tunggal berupa diaminodifenil sulfon (DDS). Setelah beberapa tahun pemakaian DDS terjadi resistensi terhadap terapi dosis tunggal ini. Untuk menangani resistensi terhadap DDS, WHO menyarankan untuk menggunakan metode pengobatan kombinasi untuk mengobati semua jenis kusta.4,9

LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki, tuan A, berumur 33 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah pada tanggal

(4)

4 18 Desember 2013 dengan nomor

rekam medis 13.03.61.42. Pasien datang dengan keluhan utama tangan tidak terasa dan timbul merah-merah pada kaki dan tangan. Berdasarkan anamnesa bercak merah timbul pada wajah, badan, lengan atas dan punggung kaki kanan sejak 7 bulan sebelum ke rumah sakit. Pada awalnya bercak-bercak muncul pada lengan kanan bawah kemudian menyebar ke kepala, badan dan punggung kaki. Pasien mengeluh bercak ini mati rasa. Penderita juga mengeluh sering kesemutan di seluruh tubuh. Riwayat pengobatan sebelumnya pasien sudah pernah berobat ke dokter spesialis kulit dan kelamin dan diberikan rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg dan minoksiklin 100 mg.

Pasien memiliki riwayat alergi rifampisin, obat untuk alerginya digunakan cortidex. Pada saat anamnesis, tidak ditemukan penyakit penyerta, tidak ditemukan riwayat transfusi dan operasi. Selain itu, tidak ditemukan keluarga yang mengalami penyakit yang sama. Status internus pasien dalam batas normal. Pada status

dermatologis tidak ditemukan kelainan pada mukosa, rambut, kuku, kelenjar limfe dan tidak terdapat stigmata atopik. Ditemukan anhidrosis pada lesi atau kulit yang mengalami bercak kemerahan pada saat pemeriksaan fungsi kelenjar keringat. Kelainan kulit atau lesi ditemukan pada lengan atas dan bawah pada tangan kanan dan kiri, serta pada punggung kaki kanan. Bentuk efloresensi berupa nodul eritema multipel berbentuk bulat dengan diameter 1-2,5 cm dan plak eritema multipel berbentuk bulat dengan diameter 1-2 cm. Plak eritema berbentuk oval dengan ukuran 3 x4 cm sampai dengan 4x5 cm pada bagian tengahnya terdapat central healing, dan terdapat nodul eritema multipel berbentuk bulat dengan diameter 1-1,5 cm. Pada pemeriksaan sensibilitas ditemukan penurunan sensibilitas terhadap raba, nyeri, dan suhu. Penebalan saraf positif, n. auricularis magnus positif, n. ulnaris sinistra negatif, dan voluntary muscle test baik. Keadaan umum tampak baik, tekanan darah 110/70 mmHg, frekuensi nafas 20 kali/menit, nadi 80 kali/menit, suhu 36oC. Pada saat kontrol lanjutan tidak

(5)

5 pernah muncul lesi baru. Pasien

mengalami kerusakan integritas kulit karena lesi sebelumnya yang sudah diderita pasien.

Pada pemeriksaan basil tahan asam (BTA) pada cuping kanan negatif, pemeriksaan BTA cuping kiri negatif, pemeriksaan BTA pada punggung tangan kanan negatif. Pada pemeriksaan histopatologis ditemukan epidermis tampak mengalami atrofi. Sedangkan pada lapisan dermis tampak infiltrat padat sel radang epiteloid histosit membentuk struktur tuberkuloid granuloma, dan sel radang limfosit yang tersebar disekitar granuloma. Tidak ditemukan area bebas sel radang (green zone negative). Infiltrat radang tersebut juga

berada di jaringan periadnexa, dan perivaskuler. Diagnosis kerja adalah morbus hansen tipe borderline tuberkuloid (BT). Penatalaksanaan berupa pemberian klofasimin 1x 50mg/ hari, ofloksasin 1x 400mg/hari, minoksiklin 1x100 mg/hari selama 6 bulan dan vitamin B1, B6, B12 satu tablet per hari. Komunikasi informasi

dan edukasi (KIE) adalah kontrol kembali setelah 7 hari.

DISKUSI

Perkembangan penyakit morbus hansen memerlukan jumlah bakteri M.

leprae minimal untuk menimbulkan

gejala klinis, derajat infeksi dan derajat penyakit. Hal ini sangat erat kaitannya dengan sistem imunitas seseorang. Sumber penularan penyakit kusta adalah dari penderita kusta lainya, yang paling berpotensi menularkan adalah penderita dengan tipe kusta multi basilar. M. leprae menginfeksi melalui droplet dari penderita kusta tipe MB dan bisa juga masuk melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu relatif lebih dingin dan pada bagian hidung. M. leprae bersifat obligat intraseluler yang terutama pada sel makrofag di seluruh pembuluh darah pada dermis dan sel Schwann pada jaringan saraf. Fagositosis pada tubuh terjadi jika bakteri M. leprae sudah menginfeksi tubuh. Pada kasus sumber penularannya kurang jelas karena berdasarkan anamnesis, di lingkungan keluarga tidak ada yang

(6)

6 mengalami penyakit seperti yang

diderita pasien. 1,2,4,7,8

Morbus hansen dapat digolongkan kedalam beberapa jenis berdasarkan klasifikasi internasional (Madrid, 1953), menurut WHO dan teori Ridley dan Jopling yang akan dibahas lebih lanjut. Menurut teori Ridley dan Jopling, morbus hansen diklasifikasikan berdasarkan tipe atau bentuk, yaitu: 1. TT (Tuberkuloid

Type) dimana lesi ini mengenai kulit

maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula maupun plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba dan kelemahan otot . 2. BT (Borderline Tuberculoid) mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama yang tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf yang tidak seberat tipe tuberkuloid, biasanya asimetris. Lesi

satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal, 3. BB (Mid

Borderline) merupakan tipe yang

paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit kusta, disebut juga bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya dapat berkilat, batas lesi kurang jelas dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa ditemukan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah dengan batas jelas, 4. BL (Borderline Lepromatous ) lesi dimulai dengan infiltrat yang menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh. Makula lebih kecil dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodul yang muncul lebih tegas walaupun lebih kecil dan distribusinya hampir simetris. Tidak terdapat kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba di tempat predileksi, 5. LL (Lepromatous

Type) jumlah lesi infiltrat sangat

banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilat, berbatas

(7)

7 tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu

di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga, sedangkan pada bagian badan pada bagian belakang, lengan, punggung tangan dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang disebut glove and socking

anesthesi. Bila penyakit ini berlanjut,

maka makula dan papul baru muncul, sedangkan lesi yang lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan atrofi otot tangan dan kaki. 1,7,8 Sesuai dengan diagnosis kusta dilihat dari tanda klinis pada kasus berupa nodul dan plak eritema multipel dengan central healing di bagian tengahnya disertai dengan anestesia. Tanda kardinal digunakan untuk menegakkan diagnosis, terdiri dari 1. lesi kulit yang mengalamai mati rasa (hipopigmentasi atau erithematous), 2.Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf tepi disebabkan oleh peradangan kronis yang terjadi

pada saraf tepi (neuritis perifer), 3.Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis. 1,2.7,8

Pada kasus ditemukan pasien memenuhi 2 kriteria tanda cardinal berupa lesi kulit yang mengalami mati rasa dan terjadi penebalan saraf tepi. Pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan berupa pemeriksaan bakterioskopik, pemeriksaan histopatologis, dan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan bakterioskopik, sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap BTA. Pengambilan kerokan idealnya dilakukan pada 4-10 tempat, pada umumnya dilakukan pada kedua cuping telinga bagian bawah dan pada lesi yang paling eritematosa dan infiltratif. Tempat pengambilan sampel harus dicatat karena untuk membandingkan dengan jumlah basil pada tempat yang sama setelah penanganan. Hasil interpretasi uji bakterioskopik disajikan dalam bentuk IB (indeks bakteri) dan IM (indeks morfologi). Indeks bakteri dihitung dengan melihat kepadatan BTA pada

(8)

8 sediaan dalam tiap rentang lapang

pandang dengan rentang skala 0 sampai 6+ (Ridley), dapat dilihat pada Tabel 1. Indeks morfologi adalah perbandingan antara BTA bentuk solid dan nonsolid. 1,2.7,8

Pada kasus tidak ditemukan basil tahan asam pada pemeriksaan BTA pada cuping dan punggung tangan.

Pemeriksaan histopatologis, gambaran histopatologis tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf, terkadang ditemukan sedikit basil non solid bahkan tidak ditemukan sama sekali basil. Pada tipe lepramatosa terdapat subepidermal clear zone, yaitu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologis ditemukan sel lepra dengan banyak basil. Tipe borderline adalah

perpaduan kedua unsur tipe tuberkuloid dan tipe lepromatosa. 1,2.7,8 Pada kasus pemeriksaan histopatologis ditemukan epidermis tampak mengalami atrofi. Sedangkan pada lapisan dermis tampak infiltrat padat sel radang epiteloid histosit membentuk struktur tuberkuloid granuloma, dan sel radang limfosit yang tersebar disekitar granuloma. Infiltrate radang tersebut juga berada di jaringan periadnexa, dan perivaskuler. Hasil pemeriksaan sesuai dengan diagnosis kusta tipe borderline tuberkuloid.

Pemeriksaan serologis kusta dinilai dari terbentuknya antibodi pada tubuh pasien yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik dan non spesifik. Pemeriksaan serologis dilakukan jika tanda klinis dan uji bakteriologis belum memberikan gambaran yang jelas. Uji serologis juga digunakan untuk menentukan kusta non klinis yang tidak menimbulkan lesi di kulit. Uji serologi yang biasanya digunakan adalah uji RIA (Radio Immuno Assay), uji MLPA (Mycobacterium Leprae

Nilai Jumlah BTA Lapang Pandang

1 + 1-10 100 2 + 1-10 10 3 + 1-10 1 4 + 11-100 1 5 + 101-1000 1 6 + >1000 1 0 0 100

(9)

9

Particle Aglutination), uji ELISA

(Enzyme Linked Immuno-Sorbent

Assay), dan ML dipstick

(Myobacterium Leprae Dipstick).1,2.7,8 Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan serologis karena diagnosis sudah ditegakkan melalui anamnesis pemeriksaan BTA dan pemeriksaan histopatologis.

Regimen pada pengobatan untuk kusta tipe pausi basiler (PB) dengan lesi tunggal diberikan dosis tunggal rifampisin-ofloksasin-minosiklin (ROM) dengan dosis (dewasa 50-70kg) rifampisin 300 mg, ofloksasin 400 mg, minosiklin 100 mg. Pengobatan kusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS namun sejak munculnya kasus resistensi terhadap DDS maka diambil sebuah kebijakan untuk menggunakan metode pengobatan kombinasi dengan tujuan menurunkan angka resistensi, memperpendek waktu pengobatan dan pemutusan mata rantai penularan lebih cepat. Sekarang metode pengobatan kombinasi diberikan kepada semua penderita tipe kusta. Untuk kusta tipe PB diberikan Dapson 100 mg/hari,

Rifampisin 600 mg/ bulan, dikonsumsi dihadapan petugas. Pengobatan dilakukan selama 6-9 bulan. Golongan florokuinolon juga dapat digunakan untuk tatalaksana kusta. Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat enzim DNA girase bakteri. Efek samping yang timbul pada penggunaan obat golongan ini berupa nausea, diare dan gangguan saluran cerna serta berbagai gangguan sistem saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, halusinasi, dan kecemasan. 1,4,10,11 Pada kasus ini, riwayat pengobatan sebelumnya pasien sudah diberikan regimen ROM. Dengan dosis rifampisin 600mg, ofloksasin 400mg dan minoksiklin 100mg. Karena pasien memiliki alergi terhadap rifampisin maka diganti dengan klofasimin 1x50mg, ofloxasin 1x400mg, minoksiklin 1x100mg selama 6 bulan dan vitamin B1, B6, B12 satu kali per hari lalu dilanjutkan dengan pemberian klofasimin dan ofloksasin saja selama 18 bulan. Prognosis pasien baik karena tidak terdapat bakteri yang masih hidup pada tubuh pasien.

(10)

10 SIMPULAN

Seorang laki-laki, berusia 33 tahun menderita kusta tipe BT. Pasien diberi pengobatan metode pengobatan kombinasi berupa klofasimin 1x50mg, ofloxasin 1x 400mg, minoksiklin 1x100mg selama 6 bulan dan vitamin B1, B6, B12 satu kali per hari dan dilanjutkan dengan pemberian klofasimin dan ofloxasin selama 18 bulan. Prognosis pasien baik karena tidak terdapat bakteri yang masih hidup pada tubuh pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2009.

2. Eduardo Chimenos Küstner, M. P. (2006). Lepromatous leprosy: A review and case report. Oral Medicine and

Pathology, E474-E479.

3. Selum, & Umbul, W. C. (2012). Risiko Kecacatan pada Ketidakteraturan Berobat. The

Indonesian Journal of Public Health, 8, 117–121.

4. Adriaty, D., Wahyuni, R., Iswahyudi, Prakoeswa, C. R., Abdullah, R., Agusni, I., et al. (2012). Dapsone Resistance In A Mycobacterium Leprae Isolate With Two Point Mutations In Folp Gene From A Leprosy Patient. The Indonesian Journal of the Tropical and Infectious Desease.108-111. 5. WHO. (2010). Weekly epidemiological record. geneva: WHO. 6. WHO. (2013). Weekly epidemiological record. geneva: WHO. 7. Parkash, O. (2009). Classification of leprosy into multibacillaryand

paucibacillary groups: ananalysis. FEMS Immunol

Med Microbiol, 55, 1-5.

8. LOCKWOOD, S. L. (2008). Leprosy Type 1 (reversal) reactions and their management. Lepr Rev, 79, 372–386.

9. the COLEP Study Group. (2008). Effectiveness of single dose rifampicin in preventing leprosy in close contacts of patients with newly diagnosed leprosy:cluster randomised controlled trial. BMJ, 336, 761-764.

(11)

11 10. DESIKAN, K. V.,

SUNDARESH, P.,

TULASIDAS, I., & RAO, E. V. (2008). An 8–12 year follow-up of highly bacillated Indian leprosy patients treated with WHO Multi- Drug Teraphy. Lepr Rev, 79, 65-75. 11. WHO. (2005). Global Strategy

for Further Reducing the Leprosy Burden and Sustaining Leprosy Control Activities.

Gambar

Tabel 1 Klasifikasi indeks Bakteri

Referensi

Dokumen terkait

Korelasi yang diuji dalam penelitian ini adalah pengaruh penggunaan endorser selebriti Krystal terhadap minat beli Etude House dengan menggunakan perhitungan

Hasil penelitian menunjukkan: 1) Pada aspek struktural puisi “ Dans l’ombre ” didominasi oleh perpaduan asonansi [a], [e], [ǝ], [ɛ] dan perpaduan aliterasi

Biaya deteksi lingkungan (environmental detection cost) adalah biaya- biaya untuk aktivitas yang dilakukan untuk menentukan apakah produk, proses dan aktivitas

Dari hasil diatas maka tambak tersebut termasuk tambak dengan tingkat fosfat yang tidak normal karena fosfat tanah di pintu pemasukan maupun di tengah tambak mencapai

Seorang guru yang memiliki pengalaman mengajar yang lebih lama biasanya akan ditempatkan pada kelas program C 1, untuk menangani anak-anak tunagrahita tingkat

Sesuai dengan data yang diperoleh di dua lembaga pendidikan, SDIT Al-Amin dan SDIT Babussalam, Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

Pengertian respirasi secara umum merupakan salah satu gejala fisiologis makhluk hidup untuk memperoleh energi dengan cara pembongkaran sari makanan

Pada interval 3 jam -15 menit sebelum olahraga, air putih dapat menjadi pilihan, namun jika latihan/pertandingan olahraga akan berjalan dengan intensitas tinggi