• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA PENINGKATAN MUTU LULUSAN PERGURUAN TINGGI UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN SDM INDUSTRI DENGAN PENDEKATAN TQME

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPAYA PENINGKATAN MUTU LULUSAN PERGURUAN TINGGI UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN SDM INDUSTRI DENGAN PENDEKATAN TQME"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA PENINGKATAN MUTU LULUSAN PERGURUAN TINGGI

UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN SDM INDUSTRI DENGAN

PENDEKATAN TQME

M

UHAMMAD

K

HOIRI

Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-Badan Tenaga Nuklir Nasional Jl. Babarsari P.O.Box 6101 YKBB Yogyakarta 55281

Corresponding author,Telp. 0274)48085,489716 ; Fax: (0274)489715;

email: mkhoiri@sttn-batan.ac.id

Abstrak

UPAYA PENINGKATAN MUTU LULUSAN PERGURUAN TINGGI UNTUK MEMENUHI KEBUTUHAN SDM INDUSTRI DENGAN PENDEKATAN TQME. Berdasarkan kenyataan sekarang, banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia tidak dapat diterima di dunia kerja industri, baik industri proses, manufaktur, maupun energi , termasuk industri nuklir; padahal semakin banyak tenaga kerja lulusan perguruan tinggi asing yang mamasuki pasar kerja di Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan yang cukup lebar antara kualifikasi lulusan perguruan tinggi di Indonesia dengan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan industri. Oleh Karena itu penerapan Total Quality Management in Education (TQME) pada perguruan tinggi di Indoneia secara kontinyu dan konsisten yang tetap memperhatikan budaya dan jatidirinya diharapkan akan mampu menyelesaikan permasalahan kesenjangan ini. Agar penerapan TQME ini dapat berhasil dengan baik maka peran komitmen dan kualitas pimpinan sangat menentukan, oleh karena itu training yang tepat bagi pimpinan senantiasa diperlukan. Demikian juga training diperlukan bagi para pekerja yang ternyata mampu menaikkan loyalitas para pekerja kepada institusi. Pemberian penghargaan semacam MBNQA diharapkan makin mengefektifkan penerapan TQME, walau demikian quality assurance harus ditetapkan dengan jelas.

Kata kunci: total quality management in education (TQME), peningkatan kualitas terus-menerus, kepuasan pelanggan, dunia kerja industri.

Abstract

EFFORTS TO INCREASE QUALITY OF UNIVERSITY GRADUATES TO MEET INDUSTRY HUMAN RESOURCES APPROACH TO TQME. In reality, many alumni of university can not be absorbed by industries in Indonesia, such as procesis industry, manufactural industry, including nuclear industry, although many employees of broad can work in industry in Indonesia. This problem is occured because there are many differences of qualification between the alumni and employees that needed by industries. Therefor there is needed to apply Total Quality Management in Education (TQME) in university in Indonesia continously and consistenly, considering self culture. To apply TQME well, needed commitment and consistency of leader, therefor the good training for leader and staf are needed. Giving an award such as MBNQA can make effectiveness of applying of TQME, although the quality assurance must be definited.

Keywords: total quality management in education (TQME), continously quality improvement, customer satisfaction, employment of industries.

(2)

Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN 38 Muhammad Khoiri PENDAHULUAN

Dewasa ini globalisasi telah menjangkau berbagai aspek kehidupan, sehingga persainganpun semakin tajam. Dunia pendidikan sebagai salah satu bagiannya juga mengalami hal yang sama, apalagi dengan disahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009, Tentang Badan Hukum Pendidikan, Pasal 12 berbunyi: “Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan BHP di Indonesia melalui kerjasama dengan BHP Indonesia yang telah ada. Oleh karena itu Organisasi pendidikan yang dulu bersaing hanya pada tingkat lokal, regional, atau nasional kini harus pula bersaing dengan organisasi pendidikan dari seluruh penjuru dunia. Hanya organisasi pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas yang dapat bersaing dalam pasar global, khususnya dalam dunia kerja industri, baik industri proses, manufaktur, maupun energi , termasuk nuklir.

Sampai sekarang masih banyak terjadi kesenjangan kualifikasi lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan indutri, terutama dalam hal kemampuan solusi masalah berdasarkan konsep ilmiah dan ketrampilan kelompok (teamwork) dimana di perguruan tinggi masih banyak yang mementingkan teori dan asal lulus ujian serta hanya menekankan ketrampilan individual (Vincent Gaspersz, 2008)

Agar suatu organisasi pendidikan dapat memiliki keunggulan dalam skala global, maka organisasi pendidikan tersebut harus mampu melakukan pengelolaan secara lebih baik dalam rangka menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi dengan biaya yang wajar dan bersaing. Dengan kata lain, dalam persaingan global yang modern, kunci untuk meningkatkan daya saing adalah kualitas.

Kondisi seperti tersebut di atas perlu diantisipasi lebih dini oleh organisasi pendidikan, khususnya perguruan tinggi baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta. Masyarakat akan semakin kritis memilih perguruan tinggi yang diinginkan, dengan pertimbangan utama yang biasa digunakannya adalah apakah setelah lulus akan mudah mendapatkan pekerjaan yang layak. Hal semacam ini menjadi acuan suatu perguruan

tinggi untuk lebih meningkatkan mutu pengelolaanya agar tujuan perguruan tinggi yang telah dicanangkan dapat tercapai.

Salah satu usaha perguruan tinggi yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pengelolaanya untuk mencapai tujuannya adalah dengan menerapkan Total Quality

Management (TQM). TQM didefinisikan sebagai pendekatan system untuk manajemen yang bertujuan untuk meningkatkan nilai terus-menerus kepada pelanggan dengan cara mendesain dan selalu meningkatkan system dan proses organisasi (Selvaratnam, R.M., 2005) , sehingga dua prinsip dasar TQM adalah kepuasaan pelanggan dan perbaikan terus-menerus (Dillon, B.S., 1999). TQM untuk dunia pendidikan biasa dikenal Total Quality Management in Education (TQME).

Dalam TQM, kualitas jasa atau pelayanan diharapkan dapat didesain (designable), dikendalikan (controllable), dan dikelola (manageable) sehingga secara terus-menerus terjadi peningkatan sistem kualitas. Dengan demikian yang perlu diperhatikan dalam pengembangan TQM adalah pengembangan sistem kualitas yang terdiri dari: perencanaan sistem kualitas, pengendalian sistem kualitas, dan peningkatan sistem kualitas (Vincent Gaspersz, 2008).

Manajemen Sistem Industri

Manajemen system industri saat ini sudah dikatakan modern, sehingga untuk memenuhi kebutuhan manajemen system industri modern maka proses industri harus dipandang sebagai suatu peningkatan terus-menerus (continous industrial process improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan suatu produk, pengembangan produk, proses produksi, sampai kepada distribusi kepada konsumen. Seterusnya berdasarkan informasi sebagai umpan balik yang dikumpulkan dari pengguna produk (pelanggan) itu dikembangkan ide-ide kreatif untuk menciptakan produk baru atau memperbaiki produk lama beserta proses produksi yang ada saat ini.

(3)

Gambar 1. Konsep Manajemen Sistem Industri Modern (Vincent Gaspersz, 2008).

Konsep sistem dan manajemen sistem industri ditunjukkan dalam Gambar 1. Berdasarkan konsep manajemen sistem industri modern ini, maka setiap lulusan perguruan tinggi yang akan bekerja dalam sistem industri harus memiliki kemampuan solusi masalah-masalah industri yang berkaitan dengan bidang ilmu yang dikuasainya berdasarkan informasi yang relevan untuk menghasilkan keputusan dan tindakan agar dapat meningkatkan performansi sistem industri itu

(Kemenade and Garrre, 2000 dalam Vincent Gaspersz, 2008) mengidentifikasi delapan katagori yang dibutuhkan dari lulusan perguruan tinggi untuk memenuhi permintaan bisnis dan industri di Belgia, Belanda, Finlandia, dan Inggris, yaitu: (1) berorientasi pada pelanggan, (2) memiliki pengatahuan praktis dan aplikasi alat-alat TQM, (3) mampu membuat keputusan berdasarkan fakta, (4) memiliki pemahaman bahwa bekerja adalah suatu proses, (5) berorientasi pada kelompok (teamwork), (6) memiliki komitmen untuk peningkatan terus-menerus, (7) pembelajaran aktif, (8) memiliki perspektif sistem. Hal ini juga diperkuat dengan yang disampaikan oleh (Stahl, 1995) bahwa dalam strategi bisnis maka fokus utama dan yang paling utama untuk TQM adalah konsisten terhadap kepuasan pelanggan dan kebutuhannya, dan bukan kepada kompetitor.

TQME dan Aplikasinya

Dalam banyak hal sekolah khususnya perguruan tinggi mempunyai kesamaan sifat dengan industri, tetapi tetap harus disadari

bahwa perguruan tinggi berbeda dengan industri, pendidikan dapat dipandang sebagai produk tetapi tidak dapat dilihat, dan pelanggannya adalah mahasiswa, orang tua mahasiswa, pekerja, dan masyarakat (Greenwood and Gaunt, 1994 dalam Selvaratnam, R.M., 2005).

Oleh karena itu dalam banyak hal prinsip

TQM dapat diterapkan di perguruan tinggi,

yaitu dengan memandang bahwa proses pendidikan di perguran tinggi adalah suatu peningkatan terus-menerus (continuous

educational process improvement), yang dimulai dari sederet siklus sejak adanya ide-ide untuk menghasilkan lulusan (output) yang berkualitas, pengembangan kurikulum, proses pembelajaran, sampai kepada ikut bertanggung jawab untuk memuaskan pengguna lulusan perguruan tinggi itu. Seterusnya berdasarkan informasi sebagai umpan balik yang dikumpulkan dari pengguna lulusan (external

customers) itu dapat dikembangkan ide-ide

kreatif untuk mendesain ulang kurikulum atau memperbaiki proses perguruan tinggi yang ada saat ini. Selanjutnya dapat dikembangkan model manajemen operasional perguruan tinggi seperti pada Gambar 2. Penerapan roda Deming seperti pada Gambar 2 memperlihatkan bahwa manajemen perguruan tinggi terdiri empat komponen pokok, yaitu: 1) riset pasar tenaga kerja, 2) desain proses pendidikan, 3) operasional proses pendidikan, dan 4) menghasilkan lulusan yang kompetitif dan dapat diterima pasar tenaga kerja.

Oleh karena itu manajemen pendidikan khususnya perguruan tinggi di Indonesia harus secepatnya melakukan reorientasi dan redefinisi tujuan dari perguruan tinggi itu, bukan sekedar menghasilkan lulusan sebanyak-banyaknya tanpa peduli akan kepuasan pengguna lulusan itu, tetapi perguruan tinggi harus bertanggung jawab untuk menghasilkan output (lulusan) yang kompetitif dan berkualitas agar memuaskan kebutuhan pengguna tenaga kerja terampil berpendidikan tinggi dan berkarakter yang baik. Untuk dapat mencapai pemikiran ini maka penerapan TQME di perguruan tinggi harus dijalankan dengan mengutamakan efisiensi dan peningkatan kualitas.

(4)

Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN 40 Muhammad Khoiri Gambar 2. Roda Deming dalam Manajemen

Pendidikan Tinggi Modern (Vincent Gaspersz, 2008)

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa prinsip utama TQM adalah memuaskan pelanggan. Oleh karena dalam penerapan

TQME di perguruan tinggi sangat perlu juga

dipahami pelanggan di perguruan tinggi itu.

PROBLEMATIKA PENERAPAN TQME DI PERGURUAN TINGGI

Walau TQM mulai berkembang sejak tahun 1950-an dan sudah banyak diterapkan di industri dan mengalami kesuksesan yang besar, tetapi dalam dunia pendidikan TQM baru mulai dikembangkan sejak 1991 ketika Dewan Rektor dan Kepala Sekolah di Amerika Serikat mempublikasikan Teaching Standards and

Excellence in Higher Education, dengan sub

judul Developing a Culture for Quality. Dari publikasi ini dapat disimpulkan bahwa masing-masing perguruan tinggi harus mengembangkan sistem TQM-nya sendiri-sendiri (Sallis, Edward, 2008). Hal ini terjadi juga karena masih banyak institusi pendidikan yang menganggap TQM hanya slogan yang tidak realistik (Selvaratnam, R.M., 2005).

Dalam perguruan tinggi juga masih terjadi perbedaan pendapat tentang posisi pelajar/mahasiswa, apakah dimasukan sebagai produk atau sebagai pelanggan (Conway et al.,

1994 dalam Selvaratnam, R.M., 2005). Hal ini menjadi masalah dalam aplikasi prinsip TQM, terutama dalam hubungan antara dosen dan mahasiswa. Secara alamiah dunia akademik bebas dari masalah pemasaran (independent of

market issues), hal ini bisa menimbulkan

dampak negatif akibat melupakan kebutuhan pelanggan yang nyata (Selvaratnam, R.M.,

2005). Tetapi satu hal yang perlu diingat adalah

kesuksesan pelajar/mahasiswa adalah kesuksesan institusi pendidikannya (Sallis,

Edward, 2008).

Seperti telah disampaikan dalam pendahuluan, bahwa masih banyak terjadi kesenjangan kualifikasi lulusan perguruan tinggi dengan kebutuhan indutri, terutama dalam hal kemampuan solusi masalah berdasarkan konsep ilmiah dan ketrampilan kelompok (teamwork) dimana di perguruan tinggi masih banyak yang mementingkan teori dan asal lulus ujian serta hanya menekankan ketrampilan individual (Vincent Gaspersz, 2008) dan menurut penulis sekarang juga terjadi kesenjangan yang bersifat laten, seperti kemandirian, kejujuran, ketekadan dan tidak mudah menyerah (istiqomah), dan pasrah diri yang benar (tawakal), karena hal-hal ini ternyata juga menjadi kunci kesuksesan pribadi maupun kelompok. Oleh karena itu dibuat suatu standar minimum yang harus dipenuhi output (lulusan) perguruan tinggi agar mampu memuaskan pelanggan yang menerimanya, serta harus terus-menerus ditingkatkan sejalan dengan tuntutan pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif. Berkaitan ini (Spanbauer, 1992 dalam Vincent Gaspersz, 2008) membuat paradigma baru tentang manajemen kualitas perguruan tinggi, seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Paradigma ini bukan hal yang mudah untuk dapat dijalankan, karena hal ini menyangkut kebiasaan bahkan budaya, sehingga perlu kesungguhan dan kesabaran. Tetapi paradigma ini juga perlu dikritisi, terutama dalam memposisikan mahasiswa, jangan sampai paradigma ini menjadikan mahasiswa bersifat manja, yang menghambat pembentukan karakter yang baik, yang penting bagi kesuksesan mahasiswa itu sendiri di masa depan.

Ada dua hal penting yang diperlukan staf untuk menghasilkan mutu. Pertama, staf membutuhkan sebuah lingkungan yang cocok

(5)

untuk bekerja, seperti alat kerja dan lain-lain. Kedua memerlukan lingkungan yang mendukung dan menghargai kesuksesan dan prestasi yang mereka raih, seperti dalam kultur

TQM, peran manajer senior dan menengah

adalah memberi dukungan dan wewenang kepada para staf dan pelajar/mahasiswa bukan mengontrol mereka. Hal ini belum banyak terjadi di perguruan tinggi. Padahal untuk merubah kultur ini sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama (Sallis, Edward, 2008).

Sekarang adalah era IT, sehingga IT diidentifikasi sebagai salah satu faktor sukses kritis (the critical success factors) untuk menentukan dampak TQM dalam performansi organisasi (Bajunid, 1996 dalam Selvaratnam, R.M., 2005). IT ini masih sering menjadi kendala dalam mengefektifkan penerapan TQM di perguruan tinggi di Indonesia. Menurut penulis hal ini disebabkan oleh masih mahalnya pengadaan IT dan belum begitu membudayanya IT di kalangan warga perguruan tinggi.

Tabel 1. paradigma Baru dan Paradigma Lama dari Manajemen Perguruan Tinggi

Paradigma Baru Paradigma Lama

1. Mahasiswa menerima hasil ujian, pembimbingan, dan nasehat agar membuat pilihan-pilihan yang sesuai

2. Mahasiswa diperlakukan sebagai pelanggan 3. Keluhan mahasiswa ditangani secara cepat dan

efisien

4. Terdapat sistem saran aktif dari mahasiswa 5. Setiap departemen pelayanan menetapkan

kepuasan pelanggan sesuai kebutuan

6. Terdapat rencana tindak lanjut untuk penempatan lulusan dan peningkatan pekerjaan 7. Mahasiswa diperlakukan dengan sopan, rasa

hormat, akrab, penuh pertimbangan

8. Fokus manajemen pada ketrampilan kepemimpinan kualitas, seperti: pemberdayaan dan partisipasi aktif karyawan.

9. Manajemen secara aktif mempromosikan kerjasama dan solusi masalah dalam unit kerja 10. Sistem informasi memberikan laporan yang

berguna untuk membantu manajemen dan dosen.

11. Staf administrasi bertanggung jawab dan siap memberikan pelayanan dengan cara yang mudah dan cepat guna memenuhi kebutuhan mahasiswa

1. Hasil ujian tidak digunakan sebagai informasi untuk memberikan bimbingan dan nasehat kepada mahasiswa.

2. Mahasiswa tidak diperlakukan sebagai pelanggan

3. Keluhan mahasiswa ditangani dalam bentuk defensif dan dengan cara negative

4. Mahasiswa tidak didorong untuk memberikan saran atau keluhan

5. Staf departemen pelayanan tidak memperlakukan karyawan lain dan/atau mahasiswa sebagai pelanggan

6. Tidak sistem tindak lanjut yang cukup atau tepat untuk mahasiswa dan alumni

7. Mahasiswa dipandang sebagai inferior, tidak diperlakukan dengan rasa hormat, cara yang akrab dan penuh pertimbangan

8. Fokus manajemen pada pengawasan karyawan, sistem, dan operasional

9. Banyak keputusan manajemen dibuat tanpa masukan informasi dari karyawan dan mahasiswa

10. Sistem, informasi usang dan tidak membantu manajemen sistem kualitas.

11. Staf administrasi kurang memiliki tanggung jawab dan kesiapan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.

PEMBAHASAN

Secara umum perguruan tinggi bisa dibagi dalam dua kegiatan, yaitu kegiatan kegiatan manajemen-administrasi dan akademik. Untuk bidang manajemen-administrasi maka perguruan tinggi bisa disamakan dengan industri jasa, sehingga prinsip-prinsip TQM untuk industri jasa bisa langsung diterapkan di bidang ini.

Untuk bidang akademik, diantaranya proses belajar-mengajar, dimana ada prinsip kebebasan akademik serta hubungan mahasiswa-dosen yang tidak bisa mutlak diartikan yang dilayani dan yang melayani. Demikian juga secara alamiah proses pencarian dan pemberian ilmu sangat dipengaruhi oleh budaya yang berkembang dan juga masih terjadi perbedaan pendapat tentang posisi

(6)

Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN 42 Muhammad Khoiri

mahasiswa, apakah dimasukkan sebagai produk atau sebagai pelanggan. Oleh karena itu sangat tepat apa yang disimpulkan oleh Edward Sallis dari Developing a Culture for Quality yang disampaikan oleh Dewan Rektor Amerika Serikat bahwa masing-masing perguruan tinggi harus mengembangkan sistem TQM-nya

sendiri-sendiri. Walau demikian perguruan tinggi harus tetap berorientasi kepada kualitas/mutu lulusannya, sehingga bisa diterima pelanggan eksternal.

Setiap perusahaan adalah pelanggan bagi pemasoknya dan pemasok bagi pelanggannya, sehingga pemikiran perusahan harus meliputi sebagai pelanggan dan sebagai pemasok (Evans and Dean, 2000 dalam Selvaratnam, R.M., 2005). Pelanggan dalam dunia pendidikan adalah pengelola institusi pendidikan itu sendiri, misalkan manajer, guru/dosen, staff, dan penyelenggara institusi. Sedangkan yang termasuk pelanggan luar adalah pelajar/mahasiswa, masyarakat, pemerintah, dan dunia industri, dimana pelajar/mahasiswa adalah pelanggan utama (Sallis, Edward, 2008).

Disamping harus memahami pelanggan, maka untuk dapat memahami mutu juga harus memahami produk yang dihasilkan. Untuk dapat mendifinisikan produknya maka pendidikan dipandang sebagi sebuah jasa atau layanan dan bukan sebuah bentuk produksi. Ada beberapa perbedaan penting antara pemberian jasa dan penciptaan barang (Sallis, Edward, 2008), yaitu: pertama diberikan secara langsung oleh orang untuk orang. Kedua waktu adalah elemen yang sangat penting. Disamping itu, karena jasa dipergunakan atau dikonsumsi tepat pada saat jasa tersebut diberikan, maka kontrol terhadap mutunya akan selalu datang kemudian. Ketiga jasa tidak dapat diperbaiki, oleh karena itu standar jasa haruslah ’selalu baik sejak awal. Keempat jasa selalu berhadapan dengan ketidakpastian, misalnya kesulitan mendiskripsikan pelanggan potensial, juga pelanggan kesulitan mendiskripsikan apa yang mereka inginkan dari jasa. Kelima adalah biasanya jasa diberikan secara langsung oleh pekerja yunior. Hal ini menunjukkan pelatihan dan pengembangan staf menjadi agenda penting dalam organisasi. Keenam adalah kesulitan untuk mengukur tingkat keberhasilan dan produktivitas dalam jasa. Satu-satunya indikator prestasi yang penting dalam jasa adalah

kepuasan pelanggan. Akan tetapi, ukuran-ukuran yang tak terduga dan lunak (soft) seringkali sama pentingnya dengan takaran-takan obyektif dan keras (hard). Contoh indikator lunak, yaitu: kepedulian, kesopanan, perhatian, keramahan, dan sikap membantu seringkali merupakan hal terpenting dalam pikiran pelanggan.

Tujuan analisis mutu adalah lebih tepat digunakan untuk melihat pendidikan sebagai sebuah industri jasa dari pada sebagai sebuah proses produksi. Hal ini harus dilakukan secara bersama-sama dengan seluruh kelompok pelanggan, termasuk diskusi secara langsung pimpinan pemerintahan, orang tua, dan industi bisnis melalui kerjasama dengan industri.

Dari paparan sebelumnya terlihat bahwa strategi yang dikembangkan dalam penggunaan

TQME adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa. Oleh karena itu TQME identik dengan TQM industri jasa. Dalam pengertian perguruan tinggi maka jasa yang bermutu harus dapat menghasilkan produk/lulusan yang bermutu, dalam arti bisa diterima pelanggan luar (external customer) yang sesungguhnya, seperti industri, pemerintah, dan masyarakat, seperti delapan kriteria lulusan perguruan tinggi yang dibutuhkan dunia bisnis dan industri yang disampaikan oleh Kemenade and Garre (2000).

Walaupun kepuasan pelanggan eksternal sangat penting tetapi untuk dapat mencapai itu maka para pelanggan internal harus puas juga. Karena hubungan internal yang kurang baik akan menghalangi perkembangan institusi, dan akhirnya akan membuat pelanggan eksternal menderita. Salah satu tujuan TQM adalah untuk merubah institusi yang mengoperasikannya menjadi sebuah tim yang ikhlas, tanpa konflik dan kompetisi internal, untuk meraih sebuah tujuan tunggal, yaitu memuaskan pelanggan (Sallis, Edward, 2008). Disamping itu telah terbukti bahwa peran karyawan, hubungan pimpinan dan karyawan, aspek organisasi, dan aspek lingkungan berpengaruh terhadap kemampuan teoritis, kemampuan teknis, kemampuan konseptual, kemampuan moral, ketrampilan teknis, dan kualitas sumber daya manusia (Sularso R. Andi et al., 2004). Demikian juga dengan pemberdayaan karyawan, teamwork, dan kompensasi

(7)

karyawan secara signifikan berpangaruh positif terhadap kepuasan pekerja. Peningkatan kepuasan pekerja akan menaikkan loyalitas karyawan, dan ini menunjukkan pentingnya peran top management dalam kebarhasilan

TQM, hal ini bisa diwujudkan diantaranya

dengan training yang baik (Jun, Minjon et al., 2006 dan Kaynak, Hale, 2003). Demikian juga pelatihan TQM akan sangat berpengaruh terhadap kinerja manajemen (Setiono, Drajat et al., 2001)

Problem di banyak negara berkembang adalah kelemahan kepemimpinan. Dengan menerapkan TQM ternyata mampu meningkatkan: kefektifan kepemimpinan, komitment manajemen dan kepemimpinan, peran serta individual dan pekerja, masukan dari masyarakat, perbaikan secara kontinyu (Orioku et al., 2008). Untuk dapat menjadi manajemen dan kepemimpinan efektif diperlukan training, karena tanpa training yang diperlukan maka manajer level menengah akan menjadi rintangan terjadainya perubahan menuju budaya peran serta pekerja (Osland, Asbjorn, 1997) yang akan sangat berpengaruh terhadap timbulnya problem kualitas. Seperti disampaikan oleh Dr. Deming yang memperkirakan bahwa manajemen bertanggung jawab terhadap 80% problem kualitas dan pekerja 20%, dan tanggung jawab utama untuk tragedi kualitas terletak pada manager bukan pada operator, salesmen, assembler, personil perawatan, desainer, maupun programer (Domingo, 1997 dalam Tjitro, S. et al., 2000)

Materi training TQME yang dibutuhkan untuk dapat menerapkan paradigma baru manajemen perguruan tinggi seperti pada Tabel 1 adalah (Vincent Gaspersz, 2008): Bagi manajemen puncak adalah manajemen proses,

statistical thinking, pelayanan pelanggan, pembentukan kelompok, dan solusi masalah. Bagi dosen adalah efektivitas dan metode pengajaran, statistical thinking, pelayanan pelanggan, pembentukan kelompok, dan solusi masalah. Bagi staf pendukung adalah pelayanan pelanggan, pembentukan kelompok, solusi masalah, manajemen waktu, keterampilan bertelpon, dan pengendalian diri.

Demikian juga dengan mempraktekkan

TQM akan berapengaruh lebih kuat terhadap

kepuasan pelanggan daripada unjuk kerja industri dan kepuasan pelanggan tidak begitu

berpengaruh terhadap unjuk kerja industri (Choi, Thomas Y. And Eboch Karen, 1997), tetapi dalam hal ini bukan berarti unjuk kerja industri menurun.

Malcolm Baldridge National Quality Award (MBNQA) ternyata mampu membuat

jaringan TQM (Bou-Llusar, J. Carlos, 2009), oleh karena itu perlu menjadi pemikiran untuk memacu penerapan TQME adalah dengan cara memberi anugerah kepada perguruan tinggi yang berhasil melaksanakan TQM dengan baik seperti MBNQA.

Setelah TQME diaplikasikan maka perlu

Quality Assurance, yaitu sebagai garis pedoman

untuk meyakinkan kualitas pendidikan tinggi yang telah banyak diimplementasikan di banyak negara (Ramli, N. et al., 2008). Dimana elemen yang ditekankan dalam quality assurance untuk perguruan tinggi, yang meliputi: (1) Visi, misi, sasaran (2) Desain program pendidikan dan metodologi belajar-mengajar (3) Penilaian mahasiswa (4) Sistem pendukung dan seleksi mahasiswa (5) Staf akademik (6) Sumber daya kependidikan (7) Evaluasi program (8) Kepemimpinan dan pejabat (9) Peningkatan kualitas secara kontinyu

Beranjak dari paparan sebelumnya , maka dalam mengaplikasikan TQME perlu diperhatikan beberapa hal pokok berikut ini; pertama, perbaikan terus-menerus (cotinuous

improvement), yang mengandung pengertian

bahwa institusi pendidikan senantiasa memperbaharui proses untuk mencapai standar mutu berdasarkan kebutuhan dan tuntutan pelanggan.

Kedua, menentukan standar mutu (quality assurance), terutama dalam hal kurikulum, proses pembelajaran, dan evaluasi pembejaran. Evaluasi ini mencakup penguasaan materi (content objectives), metodologi (methodological objectives), maupun kecakapan dan kebiasaan kehidupan yang baik (life skill objectives) seperti kecakapan memecahkan masalah, bisa bekerja dalam suatu tim, kebiasaan membaca, kebiasaan hidup sehat, kebiasaan berkarakter yang baik, dan lain-lain.

Ketiga perubahan kultur (change of

culture), dalam hal ini peran pimpinan sangat

menentukan keberhasilan membudayakan kepada semua anggota organisasi untuk menghargai mutu dan menjadikan sebagai

(8)

Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-BATAN 44 Muhammad Khoiri

orientasi semua komponen organisasional. Untuk mencapai ini perlu dirumuskan keyakinan bersama, dengan dilandasi nilai-nilai keagamaan, kemudian dirumuskan dalam visi dan misi organisasi.

Keempat, senantiasa menjaga hubungan baik dengan pelanggan. Maka, pelanggan baik internal maupun eksternal harus dapat terpuaskan oleh langkah kreatif pimpinan organisasi atau institusi pendidikan.

Kelima, perlunya saling menghormati dan menghargai sekecil apapun peningkatan dan prestasi yang dicapai oleh pelanggan, khususnya sivitas akademika maupun karyawan, terutama oleh pimpinan. Hal ini menurut penulis menjadi kunci yang terpenting untuk kesuksesan penerapan TQME, karena penerapan TQME diperlukan perbaikan yang terus-menerus sehingga dibutuhkan kesabaran dan motivasi supaya tidak mengalami kejenuhan, sehingga TQME bisa menjadi kebiasaan dan budaya.

KESIMPULAN

Penerapan TQME pada perguruan tinggi yang dijalankan secara kontinyu dan konsisten akan dapat meningkatkan mutu lulusannya, dalam artian mampu bersaing memasuki dunia kerja industri. Dalam penerapan TQME ini perguruan tinggi di Indonesia harus tetap memperhatikan budaya dan jatidirinya asal tidak kontradiktif dengan kebutuhan dunia kerja industri.

Keberhasilan penerapan TQME sangat tergantung komitmen dan kualitas pimpinan atau manajemen baik level atas maupun menengah, yang bertanggung jawab terhadap 80% problem kualitas. Oleh karena itu program pelatihan untuk pimpinan atau manajemen perguruan tinggi sangat diperlukan secara intensif seirama perkembangan perguruan tinggi yang bersangkutan. Apalagi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia masih sering terjadi kepemimpinan yang lemah. Demikian juga tingkat training untuk para pekerja perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh terhadap tingkat loyalitasnya kepada institusi.

Sebagai alternatif untuk memacu penerapan TQME di perguruan tinggi di Indonesia adalah dengan cara memberi anugerah kepada perguruan tinggi yang berhasil

melaksanakan TQM dengan baik seperti

MBNQA, dengan menetapkan quality assurance

untuk perguruan tinggi.

SARAN

Karena faktor kunci dalam keberhasilan penerapan TQME ini adalah perbaikan terus menerus, maka institusi pendidikan hendaknya secara periodik diukur tingkat keberhasilannya. Ukuran keberhasilan ini dapat ditetapkan dengan cara benchmarking maupun berdasarkan tujuan institusi sendiri. Adapun cara pengukurannya dapat dilakukan dengan metode OMAX atau metode yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

1. BOU-LLUSAR, J.C., ANA B. ESCRIG-TENA, VICENTE ROCA-PUIG, INMACULADA BELTRAN-MARTIN. 2009. An empirical assessment of the EFQM Excellence Model: Evaluation as a TQM Framework relative to the MBNQA Model. Journal of Operations Management. 1-22. 2. CHOI, T.Y., KAREN EBOCH. 1998. The

TQM Paradox: Relation Among TQM Practices, Plant Performance, and Customer Satisfaction. Journal of Operation Management 17: 59-75

3. CHOI, T.Y., KAREN EBOCH. 1998. The TQM Paradox: Relation Among TQM Practices, Plant Performance, and Customer Satisfaction. Journal of Operation Management 17: 59-75

4. DHILLON, B.S. 1999. Design Reliability, Fundamentals and Applications. Chapter 16: Total Quality Management and Risk Assessment. CRC Press, Boca Raton London New York Washington, D.C.

5. JUN, M., SHAOHAN CAI, HOJUNG SHIN. 2006. TQM Practice in Maquiladora: Antecedents of Employee Satisfaction and Loyalty. Journal of Operation Management 24: 791-812

6. KAYNAK, H., 2003. The Relationship Between Total Quality Management Practices and Their Effects on Firm Performance. Journal of Operation Management 21: 405-435.

7. ORIAKU, N., ORIAKU, E., 2008. The Effect Of Total Quality Management On Leadership: Case Of Nigeria. International Business & Economics Research Journal, Volume 7, Number 1.

(9)

8. OSLAND, A., 1997. Impact Of Total Quality Management Training and Work Context On Attitudes Toward Supervisor. The International Journal of Organizational Analysis, Vol. 5, No. 3: 291-301.

9. RAMLI, N., Z. MUSTAFA, 2008. An Overview of Factors Explaining Quality in Engineering Education. Seminar on Engineering Mathematics. Engineering mathematics Group. Editor Azami Zaharim et al.

10. SALLIS, E. 2008. Total Quality Management in Education. Alih Bahasa: Dr. Ahmad Ali Riyadi & Fahrurrozi, M.Ag. Cetakan VIII. Penerbit IRCiSoD. Jogyakarta.

11. SELVARATNAM, R.M., 2005. In Electronic Education, Does Total Quality Exist in The Experiences of The Customer Rather Than The Aspirations of The Supplier?. Sunway Academic Journal 2, 33-43.

12. SETIONO, D., ROSSI SANUSI. 2001. Pengaruh Pelatihan Total Quality Management Terhadap Kinerja Manajemen. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Vol 04/No. 03

13. SULARSO, R.A., MURDIJANTO. 2004. Pengaruh Penerapan Peran Total Quality Management Terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia. Jurnal manajemen & Kewirausahaan, Universitas Kristen Petra, Vol. 6, No. 1: 72-81

14. TJITRO, S., FIRDAUS, 2000. Are There Limits to Total Quality Management?. Jurnal Teknik Mesin, Universitas Kristen Petra, Vol. 2, No. 2: 121-126

15. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009, Tentang Badan Hukum Pendidikan,

16. VINCENT, G., 2008. Total Quality Management. Cetakan Kelima, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

(10)

Gambar

Gambar 1.  Konsep Manajemen Sistem Industri  Modern  (Vincent Gaspersz, 2008).
Tabel 1. paradigma Baru dan Paradigma Lama dari Manajemen Perguruan Tinggi

Referensi

Dokumen terkait

Judul penelitian yang kami kerjakan adalah ” PENGEMBANGAN AGEN FITOTERAPI ASAM URAT DARI BEBERAPA TUM-BUHAN OBAT INDONESIA UNTUK PENINGKATAN KAPASITAS BAHAN

Beberapa galangan kapal yang ada di Indonesia sudah menggunakan airbag sebagai sarana untuk peluncuran kapal yang telah dibangun, selain itu airbag juga

Pangkep atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih daerah hukum pengadilan Negeri Pangkajene, sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kegagalan perekatan yang terjadi pada veneer indirek resin komposit (VIRK) yang direkatkan pada permukaan

Dalam uji formal, yang menyangkut tidak dilaksanakan mandat wakil rakyat secara fair, jujur, dan bertanggung jawab dalam mengambil keputusan-keputusan untuk membentuk satu

Käsillä olevan tutkimuksen päällimmäisenä intressinä oli selvittää, mikä on Hel- singin kuudesluokkalaisten minäpystyvyyden taso, millä tavoin oppiainekohtai- set

Paradigma pelayanan publik berkembang dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan

Untuk wilayah pesisir timur (Stasiun 1) Desa Gebang Mekar menjadi wilayah yang termasuk kategori cukup sesuai (S3) untuk dilakukan rehabilitasi ekosistem