BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Acuan Normatif
RSNI T – 02 – 2005 : Pembebanan Untuk Jembatan – Badan Standarisasi Nasional – BSN
SNI 03 – xxxx – 2000 : Tata Cara Perencanaan Konstruksi Kayu Indonesia
International Labour
Office : A Manual for Construction at Community and District Level
2.2 Jembatan
Berdasarkan UU 38 Tahun 2004 bahwa jalan dan juga termasuk jembatan sebagai bagian dari sistem transportasi nasional mempunyai peranan penting terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan yang dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah.
Dalam melakukan perencanaan teknis jembatan ada beberapa kriteria dasar yang harus dipenuhi, antara lain adalah sebagai berikut ini:
1. Kekuatan Unsur Struktural dan Stabilitas Keseluruhan
Setiap unsur harus mempunyai kekuatan memadai untuk menahan beban batas
ultimate dan struktur sebagai kesatuan dari setiap unsur harus stabil pada
pembebanan.
2. Kelayanan Struktur
Struktur harus berada dalam keadaan layanan pada beban batasan kelayanan. Hal ini berarti bahwa struktur tidak boleh mengalami retakan, lendutan atau getaran sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran masyarakat, atau jembatan menjadi tidak layak digunakan.
3. Kesesuaian
Tipe struktur yang dipilih harus sesuai dengan lingkungan, kondisi alam dan lokasi jembatan.
4. Kemudahan Pelaksanaan
Konstruksi harus mudah dilaksanakan sesuai dengan metode konstruksi yang tersedia, karena metode yang sulit dilaksanakan dapat menyebabkan keterlambatan waktu dan peningkatan biaya.
5. Ekonomis
Rencana termurah yang sesuai dengan pendanaan dan faktor-faktor utama lainnya.
6. Bentuk Estetika
Struktur jembatan harus menyatu dengan alam sekitarnya dan menyenangkan untuk dilihat. Biasanya semakin tinggi nilai estetika struktur jembatan maka semakin tinggi pula biaya yang akan dipergunakan.
Berdasarkan faktor–faktor tersebut maka jembatan yang efisien digunakan di daerah pedesaan dengan bentang panjang adalah jembatan suspension.
2.3 Jembatan Gantung (Suspension Bridge)
Menurut Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum tahun 2010, Jembatan gantung adalah jembatan yang berfungsi sebagai pemikul langsung beban lalu lintas yang melewati jembatan tersebut, terdiri dari lantai jembatan, gelagar pengaku, batang penggantung, kabel pemikul dan pagar pengaman. Seluruh beban lalu lintas dan gaya-gaya yang bekerja dipikul oleh sepasang kabel pemikul yang menumpu di atas 2 pasang menara dan 2 pasang blok angkur.
Pertimbangan pemakaian tipe jembatan suspension adalah dapat dibuat untuk bentang panjang tanpa pilar ditengahnya. Jembatan suspension terdiri atas pelengkung penggantung dan batang penggantung (hanger) dari kabel baja, dan bagian yang lurus berfungsi mendukung lalu lintas (dek jembatan). Selain bentang utama, jembatan suspension biasanya mempunyai bentang luar (side span) yang berfungsi untuk mengikat atau mengangkerkan kabel utama pada balok angker.
Pada kondisi tertentu terdapat keadaan dimana kabel utama dapat langsung diangkerkan pada ujung jembatan dan tidak memungkinkan adanya bentang luar, bahkan terkadang tidak membutuhkan pilar.
Sistem struktur dasar jembatan suspension berupa kabel utama (main cable) yang memikul kabel gantung (suspension cable). Kabel gantung inilah yang memikul gelagar utama jembatan. Perbedaan sistem jembatan suspension dan jembatan cable-stayed terletak pada adanya main cable atau kabel utama pada jembatan gantung dan kabel penggantung tersebar merata sepanjang gelagar dan tidak membebani tower secara langsung sehingga kabel tidak terikat pada tower sedangkan pada jembatan cable-stayed kabel langsung ditumpu oleh tower. Selain itu, pada jembatan cable-stayed jumlah kabel yang dibutuhkan lebih sedikit dan menara jembatan menahan kabel yang lebih pendek. Agar tower dalam keadaan setimbang, kabel utama harus dibentangkan pada kedua sisi tower. Adanya kabel utama yang simetris dan angker tanah di pangkal akan dapat mengantisipasi proses tekuk pada tower.
2.3.1 Kelebihan Jembatan Gantung
1. Bentang cukup panjang. 2. Konstruksi sederhana. 3. Pelaksanaan mudah.
4. Tidak ada pekerjaan pondasi di air atau sungai.
2.3.2 Kelemahan Jembatan Gantung
1. Hanya bisa untuk kendaraan ringan.
2. Kurang nyaman akibat kondisi yang bergoyang apabila lantai kerja tidak cukup kaku, maka jembatan penggantung akan bergoyang dan menjadi tidak stabil jika terkena angin dan getaran akibat resonansi.
2.4 Komponen Jembatan Gantung
Komponen jembatan suspension terdiri dari menara (pylon), gelagar memanjang (stringer), gelagar melintang (cross beam), kabel utama (main cable), kabel penggantung (hanger), sandaran, blok angkur dan pondasi seperti terlihat pada Gambar 2.1 dan 2.2.
Gambar 2.1 Potongan Memanjang Jembatan Suspension
Sumber: Standarisasi Bangunan Atas Jembatan Gantung
Gambar 2.2 Potongan Melintang Jembatan Suspension
Sumber: Standarisasi Bangunan Atas Jembatan Gantung
2.4.1 Lantai Jembatan (Deck)
Lantai jembatan berfungsi sebagai pendukung beban lalu lintas yang lewat diatasnya. Dalam perencanaan lantai jembatan perlu mempertimbangkan faktor alliran udara vertikal dan beban mati dari lantai jembatan itu sendiri. Dengan penggunaan lantai jembatan maka dapat menambah kekakuan dari konstruksi jembatan gantung. Lantai jembatan terdiri dari gelagar memanjang dan gelagar melintang.
2.4.2 Kabel
Kabel merupakan bahan atau material utama dalam struktur jembatan gantung. Schodeck (1991) menyatakan bahwa kabel bersifat fleksibel cenderung berubah bentuk drastis apabila pembebanan berubah. Dalam hal pemakaiannya kabel berfungsi sebagai batang tarik. Hubungan antara karakteristik kabel dengan struktur jembatan gantung antara lain:
a. Mempunyai penampang yang seragam atau homogen pada seluruh bentang. b. Tidak dapat menahan momen dan gaya desak.
c. Gaya-gaya dalam yang bekerja selalu merupakan gaya tarik aksial. d. Bentuk kabel tergantung pada beban yang bekerja padanya.
e. Bila kabel diberi beban terbagi rata, maka wujudnya akan berupa lengkungan parabola.
Kabel pada jembatan suspension terdapat dua jenis, yaitu: 1. Kabel Utama (Main Cable)
Kabel utama berfungsi sebagai penahan hanger dan menyalurkan beban dari
hanger ke menara (pylon).
2. Penggantung (Hanger)
Hanger berfungsi sebagai penggantung deck dan menyalurkan beban deck dan
lalu lintas ke kabel utama (main cable).
Ada dua jenis kabel dalam struktur, yakni strand dan rope seperti dapat dilihat pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.4. Strand merupakan gabungan dari beberapa kawat (wire) yang mengelilingi satu buah kawat pusat dan dibuat berdasarkan Spesifikasi standar ASTM A-586. Rope terbuat dari beberapa strand dengan satu buah pusat dan harus sesuai dengan Spesifikasi Standar ASTM A-603.
Gambar 2.3 Strand
Sumber: Modul Mercubuana
Gambar 2.4 Rope
Sumber: Modul Mercubuana
2.4.3 Menara (Tower atau Pylon)
Menara pada sistem jembatan gantung akan menjadi tumpuan kabel utama. Beban yang dipikul oleh kabel selanjutnya diteruskan ke menara yang kemudian disebarkan ke tanah melalui pondasi. Dengan demikian agar dapat menyalurkan beban dengan baik, perlu diketahui pula bentuk atau macam menara yang digunakan.
Tumpuan menara baja biasanya dapat diamsumsikan jepit atau sendi. Sedangkan tumpuan kabel diatas menara sering digunakan tumpuan rol untuk mengurangi pengaruh ketidak seimbangan menara akibat lendutan kabel.
2.4.4 Pondasi
Pondasi merupakan bagian bangunan bawah tanah (substructure) yang berfungsi untuk meneruskan beban–beban yang bekerja pada bagian bangunan atas dan beratnya sendiri ke lapisan tanah pendukung (bearing layers) yang diharapkan bisa menghindari terjadinya keruntuhan geser dan penurunan yang berlebihan.
Pondasi terdiri dari beberapa bentuk, tetapi secara umum pondasi terdiri dari 2 jenis yaitu, pondasi dalam dan pondasi dangkal. Pemilihan jenis pondasi tergantung kepada jenis konstruksi yang akan dibangun dan juga pada jenis tanah. Untuk konstruksi beban ringan dengan kondisi tanah cukup baik, biasanya digunakan pondasi dangkal, dan untuk konstruksi beban berat biasanya digunakan pondasi dalam. Untuk memilih pondasi yang memadai, perlu juga diperhatikan apakah pondasi itu cocok untuk berbagai keadaan di lapangan dan memungkinkan untuk diselesaikan secara ekonomis sesuai dengan jadwal kerjanya.
2.4.4.1 Kriteria Perencanaan Pondasi
Di dalam pekerjaan perencanaan suatu pondasi terdapat 2 kriteria yang tidak bisa diabaikan, yakni:
a. Daya dukung sistem pondasi (qult) harus lebih besar daripada tegangan kontak
yang terjadi akibat beban.
b. Penurunan pondasi akibat beban harus lebih kecil daripada penurunan yang diijinkan.
Berdasarkan kriteria tersebut maka pondasi yang dianggap tepat untuk jembatan gantung ini adalah pondasi tiang pancang. Adapun tipe tiang berdasarkan daya dukung adalah sebagai berikut:
1. Tiang pancang yang dipancang masuk sampai lapisan tanah keras, sehingga daya dukung tanah untuk pondasi ini lebih ditekankan untuk tahanan ujungnya. Tiang pancang type ini disebut end bearing piles atau point bearing
piles yang dapat dilihat pada Gambar 2.5. Yang perlu diperhatikan pada tiang
tipe ini adalah, bahwa ujung tiang harus terletak pada lapisan tanah keras.
2. Apabila tiang tidak mencapai lapisan tanah keras, maka untuk menahan beban yang diterima tiang, mobilisasi tahanan sebagian besar ditimbulkan oleh gesekan tiang dengan tanah (skin friction). Tiang pancang seperti ini disebut
friction piles seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.5 End Bearing Pile
Sumber: Modul Rekayasa Pondasi 2
Gambar 2.6 Friction Pile
Sumber: Modul Rekayasa Pondasi 2
2.4.4.2 Perhitungan Daya Dukung Qult = Qe + Qs Qe = Ab x Pb Ab = ¼ πd Qs = As x 0.2 x Nspt Qall Dimana:
Qult = Daya dukung maximum tiang pancang (ton) Qall = Daya dukung ijin (ton)
SF = Faktor keamanan, 2.5 – 4.0 Qe = Daya dukung ujung (ton) Qs = Daya dukung friksi (ton) Ab = Luas tiang (m2)
Pb = Tahanan ujung dasar, sesuai Tabel 2.1 As = Keliling tiang x panjang tiang (m²) Nspt = Nilai standar penetration test tanah
Tabel 2.1 Tahanan Ujung Dasar
Jenis Tanah
N < 15 N > 15
Ton/ft2 Ton/m2 Ton/ft2 Ton/m2
Pasir 4N 40N 60+2(N-15) 600+20(N-15) Lanau 2,5N 25N 37,5+1,25(N-15) 375+12,5(N-15) lempung 2N 20N 3- + (N-15) 300+10(N-5)
2.4.4.3 Tegangan Beton yang Diijinkan
Vu = Atiang x σb
σb = 0.33f’c
Dimana :
Vu = Tegangan yang diijinkan (kg) Atiang = Luas penampang pondasi (cm²)
σb = Tegangan tekan tiang terhadap penumbukan (kg/cm²)
F’c = Kuat tekan beton (kg/cm²)
2.4.4.4 Perhitungan Penurunan Tanah (Settlement)
Qp = Qu / SF qp = Qe/Ab Sps Cs = 0.93 + 0.16 x (Cp x ( )) Dimana:
Se = Penurunan elastisitas total pondasi tiang tunggal (cm) Ss = Penurunan akibat deformasi aksial tiang tunggal (cm) Sp = Penurunan dari ujung tiang (cm)
Sps = Penurunan akibat beban yang dialihkan sepanjang tiang (cm) Qp = Beban yang didukung ujung tiang (ton)
Qs = Beban yang didukung selimut tiang (ton) L = Panjang tiang (m)
= koefisien yang bergantung pada distribusi gesekan selimut sepanjang pondasi tiang (0.5)
qp = Tahanan ujung tiang (ton/m2) Cp = Koefisien empiris, lihat Tabel 2.2 Cs = Nilai akibat gesekan
Ep = Modulus elastis tiang (ton/m2)
Tabel 2.2 Nilai Koefisien
Jenis Tanah Tiang Pancang Tiang Bor
Pasir (padat hingga lepas) 0,02-0,04 0,09-0,18 Lempung (teguh hingga lunak) 0,02-0,03 0,03-0,06 Lanau (padat hingga lepas) 0,03-0,05 0,09-0,12 Sumber: Vesic, 1997
2.4.4.5 Perhitungan Penulangan Pondasi
- Kondisi pengangkatan balok precast
Gambar 2.7 Kondisi Pengangkatan Balok Precast
Sumber: Dokumen Pribadi
Dimana :
L = Panjang balok precast (m) q = beban merata (t/m)
- Bidang momen yang terjadi
Gambar 2.8 Bidang Momen Yang Terjadi
Sumber: Dokumen Pribadi q = Ap x γbeton
M lapangan = M tumpuan =
- Kapasitas penampang persegi tekanan eksentris. Pb = (RL x b x ab) + (fy (As', − As))
Mb = (RL x b x ab x (d – ab/2)) + (fy As’(d – d)) Dimana : RL = 0.85f’c Ab = 0.85( ) e ≥ eb eb = Mb/Pb e = Mu/Pu
- Kontrol Daktilitas
ρmax =
ρmin =
ρ =
2.4.4.6 Asumsi Tebal Pile Cap
Vu ≤ ϕVc
Vc1
Vc2=
bo = 2 x (b+h) + (2d) Dimana:
Vu = Gaya geser nominal (kg) Vc = Gaya geser ijin minimum (kg) = Sisi panjang/sisi pendek (cm) bo = Keliling penampang kritis (cm)
2.4.4.7 Penulangan Pile Cap
Perencanaan pile cap harus dibuat cukup besar dan aman. Tebal pile cap harus ditentukan sedemikian rupa agar dapat memenuhi ketentuan SK SNI T-15-1991-03.
Menghitung rasio penulangan dengan menggunakan persamaan : ρmax = ρmin =
ρ =
m =
Rn =
Kemudian cek dengan menggunakan persamaan ρmin ≤ ρ≤ρmax , jika tidak
memenuhi syarat, maka tebal diperbesar.
Hitung penulangan pile cap sebagai berikut: Untuk menentukan luas penulangan (tarik): As = ρbd
Untuk menentukan luas penulangan (tekan): As’ = 0.5As
2.5 Bambu
Kondisi lingkungan dunia terutama yang berkaitan dengan isu pemanasan bumi (global warming) semakin meruak yang salah satunya diakibatkan oleh eksploitasi sumber daya alam seperti kayu yang tidak terkendali serta penggunaan bahan bakar minyak untuk berbagai kebutuhan di dunia. Kerusakan hutan khususnya dari eksploitasi sumber daya alam terutama kayu telah menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang signifikan, selama pengganti kayu yang dipakai sebagai bahan utama bangunan belum tersedia maka hal ini akan semakin parah.
Perbaikan hutan (reforestration) memerlukan waktu lebih dari 10 tahun karena sifat tumbuhnya yang lama untuk dapat digunakan, sementara ada bahan bangunan lain yaitu bambu yang potensinya banyak apabila diperlakukan secara khusus, dapat menggantikan peran kayu di masa mendatang karena kekuatannya yang tinggi. Bambu memiliki pertumbuhan yang pesat dalam satu hari bambu mampu bertambah tinggi 1 meter dan bisa dipanen dalam usia 3-5 tahun saja.
Sedangkan kayu membutuhkan waktu lebih dari 40 tahun untuk bisa digunakan sebagai material bangunan.
Di Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis dan bambu banyak ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 300 meter diatas permukaan laut. Pada umumnya ditemukan ditempat-tempat terbuka dan daerahnya bebas dari genangan air. Dari kurang lebih 1.000 species bambu dalam 80 generasi, sekitar 200 species dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield dan Widjaja, 1995).
Bambu dikenal memiliki sifat-sifat yang sangat menguntungkan untuk dimanfaatkan karena, batangnya kuat, ulet, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan serta ringan sehingga mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain seperti kayu.
Saat ini sudah banyak bambu yang sudah bisa dibentuk seperti bilah-bilah kayu atau pun balok kayu solid. Dengan memotong bambu menjadi lembaran kecil, lalu disusun dan disatukan menggunakan pres atau pun pen bambu, lalu dipres dalam waktu tertentu. Bisa juga ditambahkan resin sehingga permukaan bambu menjadi lebih glossy, seperti dapat dilihat pada Gambar 2.9. Kekuatan bambu laminasi tersebut ternyata memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan kayu solid, jika digunakan sebagai struktur bangunan.
Gambar 2.9 Bambu Laminasi
Sumber: Http://www.flickr.com
Harga per meter kubik (m3) bambu laminasi saat ini masih tergolong mahal,
karena ongkos produksi dan mesin pres bambu belum terlalu populer, juga dibuat berdasarkan pesanan saja (made by order). Di China, bambu laminasi jauh lebih berkembang dan sudah menjadi bagian dari industri besar bagi masyarakat setempat. Sehingga harga bisa ditekan sangat murah, yaitu 8 juta permeter kubiknya.
2.5.1 Kelebihan Bambu
1. Bambu mudah ditanam dan tidak memerlukan pemeliharaan secara khusus. untuk melakukan budidaya bambu, tidak diperlukan investasi yang besar, setelah tanaman sudah mantap, hasilnya dapat diperoleh secara menerus tanpa menanam lagi. budidaya bambu dapat dilakukan sembarang orang, dengan peralatan sederhana dan tidak memerlukan bekal pengetahuan yang tinggi. 2. Pada masa pertumbuhan, bambu tertentu dapat tumbuh vertikal 5 cm per jam,
atau 120 cm per hari. bambu dapat dimanfaatkan dalam banyak hal. Berbeda dengan pohon kayu hutan yang baru siap ditebang dengan kualitas baik setelah berumur 30-50 tahun, maka bambu dengan kualitas baik dapat diperoleh pada umur 3-5 tahun.
3. Tanaman bambu mempunyai ketahanan yang luar biasa. rumpun bambu yang telah dibakar, masih dapat tumbuh lagi, bahkan pada saat hiroshima dijatuhi bomatom sampai rata dengan tanah, bambu adalah satu-satunya jenis tanaman yang masih dapat bertahan hidup.
4. Bambu mempunyai kekuatan cukup tinggi, kuat tariknya dapat dipersaingkan dengan baja. Sekalipun demikian kekuatan bambu yang tinggi ini belum dimanfaatkan dengan baik karena biasanya batang-batang struktur hanya dirangkaikan dengan pasak atau tali yang kekuatannya rendah.
5. Bambu berbentuk pipa sehingga momen kelembabannya tinggi, oleh karena itu bambu cukup baik untuk memikul momen lentur. ditambah dengan sifat bambu yang elastis, struktur bambu mempunyai ketahanan yang tinggi baik terhadap angin maupun gempa.
2.5.2 Kelemahan Bambu
1. Bambu mempunyai durabilitas yang sangat rendah sehingga sangat potensial untuk diserang kumbang bubuk. Bangunan atau perabot yang terbuat dari bambu tidak awet kurang dapat bertahan lebih dari 5 tahun dan ini menimbulkan konotasi masyarakat bahwa bambu dikenal sebagai bahan bangunannya orang miskin,
2. Kekuatan sambungan bambu yang pada umumnya sangat rendah karena perangkaian batang-batang struktur bambu sering kali dilakukan secara konvensional memakai paku, pasak, atau tali ijuk. Pada perangkaian batang-batang struktur dari bambu yang dilakukan dengan paku atau pasak, maka serat yang sejajar dengan kekuatan geser yang rendah menjadikan bambu mudah pecah karena paku atau pasak.
3. Penyambungan memakai tali sangat tergantung pada keterampilan pelaksana. Kekuatan sambungan hanya didasarkan pada kekuatan gesek antara tali dan bambu atau antara bambu yang satu dengan bambu lainnya Dengan demikian penyambungan bambu secara konvensional kekuatannya rendah, sehingga kekuatan bambu tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pada saat tali mengendur sebagai akibat kembang susut (perubahan temperatur) kekuatan gesek itu akan turun, dan bangunan dapat runtuh. Oleh karena itu sambungan bambu yang memakai tali perlu dicek secara berkala terutama kekuatan ikatan tali.
5. Bersifat sosial berkaitan dengan opini masyarakat yang sering menghubungkan bambu dengan kemiskinan, sehingga orang segan tinggal di rumah bambu karena takut dianggap miskin. Orang baru mau tinggal di rumah bambu jika tidak ada pilihan lain.
6. Belum ada Standar Nasional Jembatan Bambu.
2.6 Pengguna Jembatan Pejalan Kaki
Pengguna jembatan dan tingkat lalu lintas harus di identifikasi secara jelas karena hal ini akan menentukan lebar jembatan yang diperlukan dan beban hidup yang berjalan di atas lantai jembatan. Meskipun disebut sebagai jembatan pejalan kaki, namun di negara berkembang seperti Indonesia, jembatan ini mungkin diperlukan untuk membawa ternak, binatang dan berbagai kendaraan sederhana seperti sepeda, kendaraan hewan, dan sepeda motor.
Gambar 2.10 menunjukkan lebar jembatan yang direkomendasikan untuk berbagai jenis dan tingkat lalu lintas. Karena panjang bentang yang relatif pendek dan biaya konstruksi maka lebar jembatan dapat menjadi sedikit kurang dari yang ditunjukkan pada Gambar 2.10, maka terdapat dua lebar jembatan standar, yaitu: 1. 1 - 1,4 meter untuk pejalan kaki, sepeda, hewan ternak, gerobak dan sepeda
motor. Tipe ini disebut jembatan pejalan kaki kelas II.
2. 1,4 – 1,8 meter untuk kendaraan yang ditarik hewan dan kendaraan bermotor ringan dengan maksimum roda tiga. Tipe ini disebut jembatan pejalan kaki kelas I. Tipe ini hanya mengijinkan akses jalan satu arah dan juga di ujung jembatan diberikan peringatan, hal ini untuk menghindari over-design jembatan.
Pemilihan lebar jembatan harus dipertimbangkan dengan baik. Potensial beban pada sebuah jembatan dengan lebar 2,1 meter 50% lebih lebar daripada sebuah jembatan dengan lebar 1,4 meter berdampak pada bertambahnya biaya konstruksi dan pemeliharaannya.
Gambar 2.10 Lebar Standar Jembatan Pejalan Kaki
Sumber: A Manual for Construction at Community and District Level
2.7 Desain Pembebanan 2.7.1 Beban Vertikal
Beban vertikal adalah kombinasi beban mati dan beban hidup rencana. Beban mati merupakan berat sendiri yang di distribusikan dari struktur atas jembatan seperti lantai jembatan. Beban mati tidak termasuk beban akibat salju pada musim dingin di negara 4 musim karena hal ini tidak terlalu berpengaruh. Sedangkan beban hidup merupakan beban pengguna lalu lintas jembatan.
a. Beban mati
Beban mati adalah semua beban yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya.
QDL = A x Bj
Dimana:
QDL = Beban mati (kN)
A = Luas penampang (m2) Bj = Berat jenis (kN/m3) b. Beban Mati Tambahan (SDL)
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural, dan mungkin besarnya berubah selama umur jembatan.
c. Beban Hidup
Beban hidup adalah beban bergerak dari pengguna jembatan. Dua aspek yang harus dipertimbangkan dalam beban hidup adalah sebagai berikut:
1. Pusat beban di aplikasikan ke lantai jembatan oleh manusia, kaki hewan dan roda kendaraan untuk memeriksa kekuatan pada sistem lantai.
2. Beban disalurkan dari lantai jembatan ke struktur atas jembatan yang kemudian disalurkan ke pondasi jembatan. Beban ini terdistribusikan secara merata sepanjang jembatan.
Asumsi beban hidup pada jembatan pejalan kaki, dapat dilihat pada Tabel 2.3 di berikut ini:
Tabel 2.3 Asumsi Beban Hidup pada Jembatan Pejalan Kaki
2.7.2 Beban Horizontal
Beban horizontal terdiri dari: a. Beban angin
Beban angin yang bekerja pada jembatan tergantung pada luas ekivalen yang dianggap 30% dari luas yang dibatasi oleh batang-batang luar. Tekanan angin pada jembatan dihitung dengan persamaan berikut:
b w w EW C V A T 0.0006 ( )2 Dimana:
TEW = Gaya nominal angin (kN)
Vw = Kecepatan angin rencana (m/s), sesuai Table 2.4
Cw = Koefisien seret untuk jembatan atas rangka diambil sebesar 1.2
Ab = Luas equivalen bagian samping jembatan (m2)
Tabel 2.4 Kecepatan Angin Rencana
Keadaan Batas Lokasi
Sampai 5 km dari pantai >5 k dari pantai
Daya layan 30 m/s 25 m/s
Ultimate 30 m/s 30 m/s
Sumber: RSNI T – 02 – 2005
b. Gempa
Pembebanan gempa diberikan pada struktur jembatan dengan menggunakan analisa dinamik respon spektra. Respon spektra yang terlampir di buku SNI di inputkan kepada model komputer struktur pada Software MIDAS CIVIL 2006 untuk menemukan pengaruh pembebanan gempa pada jembatan.
Seperti dapat di lihat pada Gambar 2.11 Kabupaten Cianjur terletak di zona gempa 3. Dengan itu kita dapat mengetahui nilai respon spektra yang akan di input ke software melalui Gambar 2.12 dengan nilai koefisien geser dasar (C) pada Tabel 2.5.
Gambar 2.11 Wilayah Gempa Indonesia Sumber: Http://www.tugasgeografi.wordpress.com
Gambar 2.12 Respon Spektra Zona 3
Sumber: RSNI T – 02 – 2005
Tabel 2.5 Koefisien Geser Dasar
Sumber: RSNI T – 02 – 2005
Dari semua beban di atas dilakukan kombinasi pembebanan seperti pada Tabel 2.6 dibawah ini.
Tabel 2.6 Kombinasi Pembebanan Aksi Ultimit (Kombinasi Batas Ultimit - KBU) Kelayanan (Kombinasi Batas Layan - KBL) 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 Aksi tetap X X X X X X X X X X X X
Beban pejalan kaki X X
Gesekan pada perletakan O O O O O O O X O O
Pengaruh suhu O O O O O O O X O O O Pengaruh aliran O X O O O O X O O Beban Angin O X X O X O O X O Beban Gempa X Pengaruh getaran X X Beban pelaksanaan X X Sumber: RSNI T – 02 – 2005 2.8 Analisa Penampang
2.8.1 Perencanaan Komponen Struktur Tarik
Komponen tarik berlaku untuk komponen struktur yang memikul gaya tarik terkonsentrasi dan bagian dari komponen struktur yang memikul gaya tarik setempat akibat pengaruh sambungan. Komponen struktur tarik harus direncanakan untuk memenuhi persamaan sebagai berikut:
Tu ≤ λϕt T’ T’ = Ft’ x A Ft’ = Ft x Cm x Ct x CF
Dimana:
Tu = Gaya tarik terfaktor (N) λ = Faktor waktu, sesuai Tabel 2.7
Φt = faktor tahanan tarik sejajar serat, sesuai Tabel 2.8 T’ = Tahanan tarik terkoreksi (N)
Ft’ = Kuat tarik sejajar serat terkoreksi (N/mm²) A = Luas penampang netto (mm²)
Ft = Kuat tarik sejajar serat (N/mm²). Untuk bambu laminasi di dapat dengan menggunakan rumus pada Tabel 2.9. sedangkan untuk material kayu nilai kuat acuan dapat di ambil dari nilai modulus elastisitas lentur (Ew) seperti
tertera pada Tabel 2.10.
CM = Faktor koreksi Layan Basah, sesuai Tabel 2.11
Ct = Faktor koreksi temperatur, 1.00
CF = Faktor koreksi ukuran, 1.00
Penggunaan faktor koreksi disesuaikan dengan kondisi terkoreksi seperti pada Tabel 2.12.
Tabel 2.7 Faktor Waktu (λ)
Sumber: SNI – 03 – XXXX – 2000 Dimana:
D = Beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen.
L = Beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan struktur, termasuk pengaruh kejut, tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan dan lain-lain.
La = Beban hidup di atas lantai jembatan yang ditimbulkan selama perawatan
oleh pekerja, peralatan, dan material, atau selama penggunaan biasa oleh orang dan benda bergerak.
H = Beban hujan, tidak termasuk yang diakibatkan oleh genangan air.
W = Beban angin termasuk dengan memperhitungkan bentuk aerodinamika bangunan dan peninjauan terhadap pengaruh angin topan, puyuh, dan tornado bila diperlukan.
E = Beban gempa.
Tabel 2.8 Faktor Tahanan (φ)
Sumber:SNI – 03 – XXXX – 2000
Tabel 2.9 Nilai Kuat Acuan Bambu Laminasi
Kuat Acuan Rumus Estimasi
Modulus Elastisitas Lentur, Ew (Mpa) 16000G0.71
Kuat Lentur, Fb (kPa) 17130G1.13
Kuat Tarik Sejajar Serat, Ft (kPa) 7600G0.89
Kuat Geser, Fv (kPa) 2190G1.13
Sumber: SNI – 03 – XXXX – 2000
Tabel 2.10 Nilai Kuat Acuan (MPA)
Sumber: SNI – 03 – XXXX – 2000
Tabel 2.11 Faktor Koreksi Layan Basah (CM)
Sumber: SNI – 03 – XXXX – 2000
Tabel 2.12 Penggunaan Faktor Koreksi
2.8.2 Perencanaan Komponen Struktur Tekan
Komponen tekan pada struktur kayu berlaku untuk komponen struktur yang mengalami gaya tekan aksial dan gaya tekan tumpu. Komponen struktur tekan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi persamaan berikut ini: Pu ≤ λ ϕc P’ P’ = A x Fc’ x Cp Fc’ = Fc x Cm x Ct x CF λ π E05’ = Dimana:
Pu = Gaya tekan terfaktor (N) P’ = Tahanan tekan terkoreksi (N) Fc’ = Kuat tekan terkoreksi (N/mm²) Cp = Faktor koreksi stabilitas kolom
Pe = Tahanan tekuk kritis (Euler) pada arah yang ditinjau (N)
Po = Tahanan tekan aksial terkoreksi sejajar serat pada kelangsingan kolom sama dengan nol (N)
A = Luas penampang bruto (m2)
c = 0.80 untuk batang massif 0.90 untuk laminasi
L = Panjang komponen balok yang ditinjau (m) I = Momen inersia (m³)
r = Jari-jari girasi
E05’ = Nilai modulus elastis lentur terkoreksi pada persentil ke lima, 1.05 untuk laminasi dan 1.03 untuk batang massif (N/m²)
= Koefisien variasi nilai Ew, yaitu penyimpangan deviasi standar Ew dibagi dengan nilai rerata Ew. Diasumsikan nilainya sebesar 0.25
2.8.3 Perencanaan Struktur Lentur 2.8.3.1 Momen Lentur Mu ≤ λ ϕb M’ M’ = S x Fb’ S = Fb’ = Fb x Cm x Ct x CF x Cr x Cf x Cv x CL Dimana: Mu = Momen terfaktor (N.m)
M’ = Tahanan lentur terkoreksi (N.m) S = Modulus penampang (m³) Fb’ = Kuat lentur terkoreksi (N/m²)
Cr = Faktor koreksi pembagi beban, sesuai Gambar 2.13
Cf = Faktor koreksi bentuk, 1,40 untuk struktur berpenampang persegi panjang Cv = Faktor koreksi pengaruh volume laminasi struktural, sesuai Tabel 2.13 CL = Faktor koreksi stabilitas balok, 1.00
Gambar 2.13 Faktor Koreksi Pembagi Beban
Sumber: SNI – 03 – XXXX – 2000
Tabel 2.13 Faktor Koreksi Pengaruh Volume Laminasi Struktural (Cv)
Sumber: SNI – 03 – XXXX – 2000 2.8.3.2 Geser Lentur Vu ≤ λ ϕu V’ V’ = F’v = Fv x Cm x Ct x Ch Dimana:
Vu = Gaya geser terfaktor (N) V’ = Tahanan geser terkoreksi (N)
F’v = Kuat geser sejajar serat terkoreksi (N/mm²) b = Lebar penampang (m)
d = Tinggi penampang (m)
CH = Faktor koreksi tegangan geser, 1.00
2.8.4 Kombinasi Beban Komponen Struktur 2.8.4.1 Kombinasi Komponen Tarik
λφ
λφ
λφ
2.8.4.2 Kombinasi Komponen Tekan
2.9 Lendutan
Nilai lendutan yang diluar batas dapat menyebabkan ketidaknyaman bagi pengguna lalu lintas atau hal terburuk, yaitu jembatan ambruk. Batas lendutan maksimum untuk jembatan pejalan kaki adalah L/180 yaitu 36/180 = 0.20 m.
2.10 Sambungan
Sambungan adalah dua batang papan atau lebih yang disambungkan sehingga menjadi satu batang papan panjang atau mendatar maupun tegak lurus dalam satu bidang datar atau bidang dua dimensi.
Dalam menyusun suatu konstruksi pada umumnya terdiri dari dua batang atau lebih masing-masing dihubungkan menjadi satu bagian hingga kokoh. Untuk memenuhi syarat kekokohan ini maka sambungan dan hubungan-hubungan material harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sambungan harus sederhana dan kuat.
b. Harus memperhatikan sifat-sifat material, terutama sifat menyusut, mengembang dan tarikan untuk bambu dan kayu.
c. Bentuk sambungan dari hubungan konstruksi kayu harus tahan terhadap gaya-gaya yang bekerja.
2.10.1 Sambungan Pasak/Dowel
Pada prinsipnya pasak adalah suatu benda yang dimasukan sebagian, pada bidang sambungan, dalam tiap bagian-bagian kayu yang disambung, untuk memindahkan beban dari bagian yang satu kepada yang lain. Menurut pemasangannya pasak-pasak dapat dibagi dalam tiga macam sebagai berikut : a. Yang pada bidang sambungan dimasukkan kedalam takikan-takikan di dalam
bagian-bagian-bagian kayu yang disambung.
b. Yang pada bidang sambungan dimasukkan di dalam bagian-bagian kayu sengan cara di press.
c. Kombinasi antara a dan b.
2.10.2 Tahanan Lateral Acuan
Kekuatan atau tahanan sambungan di analisis berdasarkan moda kelelehan sambungan yang mungkin terjadi. Tahanan itulah yang menjadi tahanan ultimit. Tahanan lateral acuan yang digunakan pada sambungan gelagar menggunakan satu irisan dengan rumus sebagai berikut:
Moda Kelelehan Fes = Feθ = Fe = Fe┴ = 212G1.45D-0.5 Fem = Fe// = 77.25G KD = 0.38D + 0.56
Dimana:
Z = Moda kelelehan (N) D = Diameter pasak (mm)
ts = Tebal batang sekunder (mm)
Fes = Kuat tumpu batang sekunder (N/mm²) Fem = Kuat tumpu batang sekunder (N/mm²) G = Berat jenis pasak
ModaKelelehan Re = Fem/Fes Fyb = 24850G1.13 psi Dimana:
Fyb = Tahanan lentur pasak
p = Kedalaman penetrasi efektif batang alat pengencang pada komponen pemegang. Moda Kelelehan
Moda Kelelehan
Dari nilai moda kelelehan diatas diambil nilai yang terkecil kemudian dimasukan ke rumus dibawah ini:
Untuk sambungan dengan dua irisan pada pylon tahanan lateral acuan diambil sebesar dua kali tahanan lateral acuan satu irisan yang terkecil.
Zu ≤ λΦzZ’
Z’ =
Dimana:
Zu = Tahanan lateral acuan sambungan ijin (N) Z’ = Tahanan terkoreksi sambungan (N) Z = Tahanan lateral acuan terkecil (N)
= Faktor koreksi penetrasi, 6D ≤ p ≤ 12D, Cd = p/12D p ≥ 12D, Cd = 1.00 Ceg = Faktor koreksi serat ujung, 0.67
= Jumlah total pengencang dalam sambungan
Seperti halnya dalam perhitungan komponen struktur penggunaan faktor koreksi pada sambungan juga berdasarkan kondisi terkoreksi. Hal ini disampaikan pada Tabel 2.14.
Tabel 2.14 Penggunaan Faktor Koreksi Untuk Sambungan
Sumber: SNI – 03 – XXXX – 2000
2.11.3 Geometrik Sambungan
Menurut Ali Awaludin jarak antar alat sambung harus direncanakan agar masing-masing alat sambung dapat mencapai tahanan lateral ultimitnya sebelum kayu pecah. Jarak antar alat sambung dapat di lihat pada Gambar 2.14 dan Tabel 2.15. Apabila jarak antar alat sambung kurang dari yang disyaratkan pada Tabel 2.15, maka tahanan lateral alat sambung harus direduksi.
Gambar 2.14 Geometrik Sambungan Pasak
Sumber: SNI – 03 – XXXX – 2000 Dimana:
a. Jarak tepi adalah jarak antara tepi suatu komponen struktur terhadap alat pengencang terdekat diukur dalam arah tegak lurus serat kayu. Bila suatu komponen struktur dibebani tegak lurus arah serat, tepi yang memikul beban didefinisikan sebagai tepi beban. Tepi yang tidak memikul beban didefinisikan sebagai tepi tanpa beban.
b. Jarak ujung adalah jarak yang diukur sejajar serat dari garis potong siku komponen struktur ke pusat alat pengencang yang terdekat.
c. Spasi adalah jarak antar pusat alat pengencang yang diukur sepanjang garis yang menghubungkan pusat-ke-pusat alat pengencang.
d. Sebuah baris alat pengencang didefinisikan sebagai beberapa alat pengencang yang terletak satu baris dalam arah garis kerja beban.
e. Spasi dalam baris alat pengencang adalah jarak antar alat pengencang di dalam satu baris; dan jarak antar baris alat pengencang adalah jarak antar baris-baris alat pengencang.
Tabel 2.15 Jarak Tepi, Jarak Ujung, dan Persyaratan Spasi Sambungan Beban Sejajar Arah Serat Ketentuan Dimensi Minimum
Jarak Tepi (bopt)
lm/D≤6 (lihat Catatan 1) lm/D>6
Jarak Ujung (aopt)
Komponen Tarik Komponen Tekan
Spasi (sopt)
Spasi dalam baris alat pengencang
Jarak antar baris alat pengencang
1,5D
yang terbesar dari 1,5D atau 1/2 jarak antar baris alat pengencang tegak lurus serat 7D
4D
4D
1,5D<127 mm (lihat Catatan 2 dan 3) Beban Tegak lurus Arah Serat Ketentuan Dimensi Minimum Jarak Tepi (bopt)
Tepi yang dibebani Tepi yang tidak dibebani
Jarak Ujung (aopt) Spasi (sopt)
Jarak antar baris alat pengencang: lm/D ≤2 2<lm/D<6 lm/D≥6 4D 1,5D 4D Lihat Catatan 3 2,5D (lihat Catatan 3) (5lm+10D)/8 (lihat Catatan 3) 5D (lihat Catatan 3) Catatan:
1. lm adalah panjang pasak pada komponen utama pada suatu sambungan atau panjang total pasak pada komponen sekunder pada suatu sambungan.
2. Diperlukan spasi yang lebih besar untuk sambungan yang menggunakan ring. 3. Untuk alat pengencang sejenis pasak, spasi tegak lurus arah serat antar
alat-alat pengencang terluar pada suatu sambungan tidak boleh melebihi 127 mm, kecuali bila digunakan pelat penyambung khusus atau bila ada ketentuan mengenai perubahan dimensi kayu.
Keterangan:
bopt = Jarak tepi minimum alat pengencang. aopt = Jarak ujung minimum alat pengencang. sopt = Spasi minimum alat pengencang.
Sumber: SNI – 03 – XXXX – 2000