• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM SERAT WULANGREH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 3 ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS DALAM SERAT WULANGREH"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

ANALISIS ASPEK-ASPEK RELIGIUSITAS

DALAM SERAT WULANGREH

3.1 Pengantar

Ada beberapa ajaran atau wulang yang terdapat dalam Serat Wulangreh, salah satunya yaitu ajaran yang berkaitan dengan Religi. Seiring dengan judul dalam penelitian kali ini, peneliti akan lebih memfokuskan pada aspek-aspek religiusitas yang terdapat pada serat tersebut. Pengertian religiusitas menurut Darmoko dalam buku LAKU berhubungan dengan sifat/cara pandang terhadap religi (keagamaan); yang secara lebih luas dapat diartikan sebagai kepercayaan/keyakinan orang/sekelompok orang terhadap Tuhan (2004: 30). Jadi dengan kata lain pengertian religiusitas dalam penelitian ini adalah cara pandang masyarakat Jawa terhadap hal-hal yang berhubungan dengan religi.

Dalam bab ini, peneliti akan melakukan analisis secara deskriptif interperatif terhadap aspek-aspek religiusitas yang terdapat dalam Wulangreh. Tujuan analisis dengan cara itu dimaksudkan agar hasil yang tercapai dapat tersaji secara rinci dan dapat menguraikan dengan menafsirkan aspek-aspek religi yang ditemukan di dalam Wulangreh. Pengertian analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb) (2007:43). Kata deskriptif merupakan bentukan kata dari deskripsi yang berarti penguraian secara jelas suatu objek karya sastra, jadi pengertian deskriptif ialah penguraian secara jelas tentang sesuatu di dalam karya sastra. Adapun yang dimaksud dengan analisis deskriptif yaitu penguraian secara jelas terhadap sesuatu di dalam karya sastra untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sedangkan interpretatif bentukan kata dari interpretasi, Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia Interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis

terhadap sesuatu (2007:439). Jadi analisis deskriptif interpretatif yang dimaksud adalah penguraian secara jelas terhadap sesuatu di dalam karya sastra dengan cara

(2)

Pada bab ini, akan diuraikan secara lebih mendalam dengan cara menginterpretasikan aspek-aspek religi yang ditemukan di dalam Serat

Wulangreh. Aspek-aspek tersebut yaitu Sasmita, Rasa, Laku, dan Tapa.

3.2 Analisis

Maksud dan tujuan analisis ini dilakukan yaitu untuk mengungkapkan makna secara utuh terhadap aspek-aspek religi dalam serat Wulangreh. Sebelumnya analisis ini dilakukan berdasarkan data yang sudah disajikan dalam bab 2 yaitu aspek sasmita, rasa, laku, dan tapa. Kemudian di bawah ini akan peneliti uraikan mengenai makna dari aspek-aspek religiusitas yang terdapat dalam serat Wulangreh.

3.2.1 Sasmita

Kata Sasmita dalam kamus Bausastra Jawa karangan W.J.S Poerwadaminta (polataning praen, pratanda) yang mempunyai arti sebagai tanda atau pertanda (1939:547). Sasmita merupakan tanda-tanda kehidupan yang ada di dalam kosmos/alam semesta, datangnya dari Tuhan dan disampaikan melalui manusia terpilih (manusia yang telah berada pada tahap mengerti/memahami) untuk dipahami dan diterapkan dalam kehidupan manusia. Menurut Darmoko dalam Konsep Sasmita Dalam Kebudayaan Jawa (2007: 7), Tuhan dalam menyampaikan tanda-tanda (Sasmita) melalui berbagai bentuk yaitu: weca, wisik, dan wisik. Weca ialah tanda-tanda yang datangnya dari Tuhan dan disampaikan kepada manusia dalam bentuk suara gaib. Wisik merupakan padanan kata dari

bisik ialah tanda-tanda yang diberikan kepada manusia dari Tuhan melalui bentuk

berupa bisikan (dalam hal ini yaitu indera pendengaran). Kemudian, wangsit merupakan tanda-tanda dari Tuhan yang diberikan kepada manusia terpilih melalui bisikan (pendengaran). Adapun mimpi seseorang dibagi menjadi tiga abagian yaitu: titiyoni (apabila sasmita diberikan oleh Tuhan datangnya sebelum jam 12.00 malam), gandayani (apabila sasmita datang pukul 12.00 – 03.00 dini hari), dan puspatajem (datangnya sebuah sasmita dari Tuhan pukul 03.00-pagi hari). Seseorang yang menjalani laku (mesu brata) dan disertai dengan rasa ikhlas

(3)

(rila) dengan mengandalikan emosi (sabar) karena manusia sadar bahwa yang dijalani itu sebagai jalan keutamaan/ ketuhanan untuk menggapai anugerah Tuhan yang telah dijanjikannya.

Sesuai dengan yang telah dijelaskan di atas mengenai pengertian dari

Sasmita, kemudian di bawah ini akan diberikan contoh Sasmita .

Mrih padanging sasmita (Wulangreh;Dhandhanggula:1), pada bait ini mempunyai arti tanda yaitu ajaran yang disebarluaskan oleh para pujangga dengan cara pelan-pelan dan lembut agar tanda-tanda tersebut dapat dimengerti/dipahami oleh manusia. Tanda-tanda yang datangnya dari Tuhan disampaikan lewat para pujangga melalui karyanya dalam hal ini yaitu Serat Wulangreh yang diciptakan oleh Pakubuwana IV. Dalam proses memberikan pemahaman mengenai tanda-tanda tersebut, pujangga (Pakubuwana IV) melakukan dengan penuh rasa kehatian-hatian agar tidak timbul rasa akan mendahului kehendak Tuhan (Bendul/ azab yang akan dikenakan bagi orang yang mendahului kehendak Tuhan)11 .

Seseorang yang telah menjalani perintahNya sesuai dengan sasmita (dalam hal ini di serat wulangerh) yang diberikan biasanya akan mendapatkan anugerah Tuhan berupa wahyu/pulung (Ibid..7). Wahyu menurut Kamus almunawir

Arab-Indonesia berarti:1. syariat, petunjuk; 2. tulisan, risala; 3. ilham; 4. sesuatu yang

disampaikan oleh Allah kepada nabinya; 5. perkataan yang samar (A.W Munawar, 1984:1649). Sunoto (1987:29) mengatakan bahwa wahyu dapat diperoleh/dicapai melalui perjuangan yang ulet dan tekun. Selanjutnya, Sunoto juga membagi wahyu/pulung menjadi dua yaitu pulung berupa cahaya, dan pulung berupa manusia12. Sasmita yang diterima oleh manusia dalam bentuk wahyu dilakukan

11

Darmoko.2007. Dalam Buku Ajar mata kuliah Religi Jawa. FIB.

12

a. Pulung berupa cahaya, yaitu dikisahkan tentang bayi lahir dan mengandung cahaya, bayi ini kelak kalau sudah dewasa akan mempunyai kekeuasaan atau setidak0tidaknya mempunyai keturunan yang dapat menguasai kenegaraan. Peristiwa ini dialami oleh Ken Arok.

b. Pulung berupa manusia, dikisahkan melalui lakon wayang yang terkenal yaitu wahyu Cakraningrat. Di dalam cerita ini dijelaskan bahwa wahyu itu diperebutkan oleh berbagai ksatria yaitu putra raja Hastina yaitu Leksmana Mandra Kumara, putra raja Dwarawati yaitu Samba dan putra R.Harjuna yaitu Angkawijaya. Dan akhirnya yang mendapatkan wahyu Cakraningrat yaitu

(4)

sebaik-baiknya untuk menjadikan kehidupan manusia lebih sempurna. Dalam hal ini, manusia mampu untuk bertindak dan bersikap sesuai dengan perintahNya.

Seperti yang diuraikan oleh De Jong bahwa, manusia dalam memperoleh kepastian berupa wahyu diterima dengan rasa syukur (narima). Narima artinya merasa puas dengan nasibnya, tidak memberontak, menerima dengan rasa terima kasih (De jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, hal 19). Sikap narima itu sendiri lebih menekankan kepada “apa yang ada”, maksudnya yaitu menerima dengan segala sesuatu yang masuk dalam hidup kita salah satunya sasmita (tanda) yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia yang terpilih.

Pada bait selanjutnya akan diberikan penjelasan mengenai Sasmita yaitu sebagai tanda.

Sasmitaning ngaurip puniki (Wulangreh;Dhandhanggula:2), pada bait ini kata sasmita mempunyai arti sebagai “tanda”, Dan juga disebutkan pula tentang perlunya seseorang untuk weruh/mengerti tentang sasmita ini yaitu tanda yang datangnya dari Tuhan untuk dimengerti dan dipahami serta dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Serta dapat mempunyai rasa yang sejati untuk mencapai kesempurnaan dalam kehidupan. Kata weruh menurut Kamus Bausastra Jawa Poerwadaminta (1939:661) mempunyai arti bisa migoenakake pandhelenge (dapat mempergunakan penglihatannya), maksudnya yaitu dapat mempergunakan indera penglihatannya dengan baik untuk memahami tanda-tanda yang diberikan oleh Tuhan (sasmita). Tidak hanya mengerti tetapi, menurut Serat Wulangreh manusia harus memahami makna atau ajaran yang terkandung di dalam sasmita tersebut. Dijelaskan dalam Serat wulangreh apabila manusia tidak mengerti serta tidak memahami petunjuk yang ada dalam kehidupan yaitu berupa rasa yang terdapat dalam batin seseorang, maka akan dapat membingungkan manusia karena petunjuk tersebut tidak dilakukan/ diterapkan dalam hidupnya.

Bukan hanya dalam konteks mengerti dan memahami agar kehidupan manusia dapat menjadi sempurna, tetapi manusia juga harus mengerti mengenai rasa yang sejati. Rasa sejati menurut Darmoko dalam Buku Ajar (2007:8) jika perjalanan pribadi manusia telah mencapai tahapan makrifat (sembah rasa) yaitu berpadunya diri pribadi manusia dengan Sang Pencipta serta dapat dipandang sebagai kondisi “kembali kepada asal muasal”. Jadi, apabila manusia telah

(5)

memahami mengenai petunjuk tersebutt dan juga mengerti mengenai rasa yang sejati maka kehidupan manusia akan dapat menjadi sempurna seperti yang telah diuraikan pada Serat Wulangreh.

Sama seperti penjelasan di atas, pada bait ini juga akan menjelaskan arti dari sasmita yaitu sebagai tanda. Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih

lantip(Wulangreh; Kinanthi:1) , dalam bait ini kata sasmita juga sama diartikan

sebagai tanda. Dalam hal ini manusia diperintahkan untuk melatih dengan cara mengasah kalbu/hati, agar mampu dan pandai untuk memahami tanda-tanda yang diberikan oleh Tuhan. Kalbu diperlukan sebagai wadah untuk pencapaian pengetahuan tentang kehidupan13. Hal itu dapat berjalan dengan baik, apabila manusia dapat mengendalikan makan dan tidur.

Dalam bentuk sasmita yang terdiri dari tiga bagian tersebut, dicontohkan melalui tokoh-tokoh yang ada di dalam lakon pewayangan misalnya sebagai satu contoh yaitu Ki Ageng Giring yang mendapatkan sasmita berupa weca dari Tuhan melalui suara gaib dibalik suatu benda, benda yang dimaksud yaitu suara gaib yang muncul dibalik pohon kelapa. Dalam Babad Tanah Jawi (1980:88) diceritakan sebagai berikut:

Bahwa selain tekun dalam bertapa, ia juga mempunyai pekerjaan sebagai penyadap aren. Pada waktu pagi Ki Ageng sedang memanjat pohon, di tempat itu ada sebatang pohon kelapa, dekat dengan pohon yang dipanjat Ki Ageng. Pohon kelapa tadi sebelumnya belum pernah berbuah. Pada saat itu buahnya hanya satu masih muda (degan). Ki Ageng sedang memasang tabung bamboo di atas pohon kelapa, kemudian mendengar suara. Arah suara itu dari sebuah kelapa muda. Suara tersebut berbunyi “Ki Ageng

Giring, wroehanamoe, sapa kang ngombe banyu dawegan iki, jen kongsi entek, iku saturun-turune bakal dadi Ratu Gedhe, mengko ing tanah Djawa kabeh”, arti dalam bahasa Indonesianya yaitu “Ki Ageng Giring,

ketahuilah, siapa yang meminum air degan ini habis seketika, kelak seanak turunnya semua akan menjadi Raja Agung di tanah Jawa”. Singkat cerita, degan tersebut tidak sempat diminum oleh Ki Ageng Giring karena dia merasa belum haus, dan akhirnya degan itu dimunum oleh Ki Ageng Mataram kemudian dialah yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa.

Jadi dengan demikian, dari ketiga pengertian mengenai sasmita dapat diberikan kesimpulan bahwa mempunyai makna yang sama yaitu sebagai tanda. Tanda tentang kehidupan yang diberikan oleh Tuhan untuk dapat dipahami dan

(6)

dipraktekkan dalam hidupnya. Sehingga tercapai kehidupan manusia yang sempurna dan harmonis dengan alam sekitarnya.

3.2.2 Rasa

Rasa dalam bahasa Jawa mengandung pengertian I. a. Kaananing apa-apa

nalika ditamakake ing ilat, upamane rasa pedhes, pait, gertir, lsp, b. Kaananing apa-apa nalika tumamaing badan utawa ati, upamane rasa keri, susah, lsp, c. Pathining teges (ing ngelmu batin lsp), d. Kadunugan rasa, sarasa = tunggal rasa, cocog (laras) banget: rumasa, rumangsa, krasa, krasan, pangrasa. II. a. Rahasya,rahsya, rahsa: gaib, wadi, ngelmu rasa: kawruh sing mahyakake sing sinamar, atau dalam bahasa Indonesianya yaitu: I. a. Semua keadaan yang dialami

oleh lidah pada waktu sesuatu dicacap, misalnya rasa pedas, pahit, getir, dsb, b. Semua keadaan yang dialami badan atau hati, misalnya geli, susah, dsb, c. Sari pati makna (dalam ilmu batin dsb), d. Rasane = rasa-rasanya, kelihatannya, sepertinya; mencicipi, menanggapi, memendam rasa, tunggal rasa, cocok sekali: merasa, merasa cocok, perasaan. II. a. Rahasia, gaib, ilmu rasa: ilmu yang membicarakan hal-hal yang gaib (Poerwadaminta, 1939:521 b). Dari beberapa pengertian mengenai rasa yang ditemukan, bahwa konsep rasa orang Jawa berkaitan dengan hal-hal/keadaan yang bersifat jasmani/lahiriah dan yang bersifat rohani/batiniah (Wahyono, 2003:1). Rasa lahiriah meliputi indera yang terdapat pada manusia (perasa, peraba, penglihatan, pembau), sedangkan rasa batiniah berhubungan dengan rasa religius (spiritual), rasa Ketuhanan, maupun rasa kerohaniawan, yang dalam budaya Jawa disebut sebagai rasa jati/rasa sejati14. Wahyono mengatakan, seperti yang disunting oleh Gonda bahwa:

Dalam naskah-naskah mistik Jawa prinsip Ketuhanan juga disebut rasa, tetapi bukan rasa yang biasa, bukan rasa (perasaan) yang kita alami pada tubuh, melainkan rasa yang kita hayati dalam hati. Hati nurani yang jernih dan bersih bisa menerima rasa tertinggi yang suci dan tanpa cacad. Di satu sisi suksma dan rasa dianggap berkaitan, tetapi bukan prinsip yang identik. Di sisi lain keduanya dapat saling dipertukarkan atau suksma bisa disebut

rasa sejati (Gonda, 1952,158).

14

(7)

Rasa sejati dapat dicapai oleh seseorang melalui jalan laku, yaitu usaha untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya dengan cara mengendalikan hawa nafsu, seperti: makan, minum, dan berhubungan dengan seksualitas. Dengan cara itu seseorang kemudian terlatih dan terasah batinnya sehingga dapat mengendalikan nafsu-nafsu15. Franz Magnis Suseno memberikan pengertian nafsu yaitu sebagai perasaan-perasaan kasar karena menggagalkan kontrol diri manusia dan membelenggunya secara buta pada dunia lahir (1993:139).

Zoetmulder mengatakan dalam Yuwono (Dialog Religisuitas Karya Sastra dalam Buku LAKU) bahwa rasa berarti hakikat, sifat dasar dari suatu benda yang sebenarnya, atau kenyataan suatu benda yang sebenarnya, kemudian rasa merupakan sarana pribadi untuk menuju ke wawasan yang sebenarnya, yang merupakan hakikat seseorang dan bagian seseorang dalam hakikat yang sebenarnya; seringkali rasa dipertukarkan dengan rahsa, rahasya yang berarti rahasia, tersembunyi, gaib, dan dalam arti benih rasa bisa menjadi sarana kehidupan (2004: 35).

Selanjutnya di bawah ini akan dilakukan analisis rasa yang terdapat pada Serat Wulangreh.

Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa,rasa kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing kauripanira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)

Dikatakan bahwa dalam kehidupan ini apabila manusia tidak mengerti dan mengetahui sasmita, maka akan bingung dan tidak tahu arah maupun tujuan dalam hidupnya. Untuk dapat mengerti akan hal tersebut, dijelaskan bahwa manusia untuk melatih dan mengusahakan diri untuk melatih rasa agar tercapai hidup yang sempurna. Sudah dipaparkan sebelumnya, untuk dapat melatih kepekaan rasa yang ada dalam diri manusia yaitu dengan menjalani laku. Darmoko dalam Buku LAKU (2004:35) mengatakan bahwa laku yaitu usaha seseorang untuk menahan segala hawa nafsu dan yang lebih penting dari itu yaitu prihatin (hati yang perih). Dikatakan pula dalam Etika Jawa bahwa:

(8)

“Batin manusia harus sedemikian peka terhadap kedudukannya dalam masyarakat dan kosmos, sehingga ia “mengerti”, bahwa ia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya. Pengertian ini membuka diri dalam perasaan batin, dalam rasa. Makin halus perasaannya makin ia dapat menyadari dirinya sendiri, makin ia bersatu dengan kekuatan-kekuatan Ilahi kosmos, dan makin betul arah hidupnya” (Franz Magnis Suseno, 1993:197).

Dengan kata lain kepekaan batin seseorang, diperlukan untuk mengukur tingkat pemahaman diri manusia mengenai rasa.

Jroning kuran nggoning rasa jati, nanging pilih wong kang uningaa, anjaba lawan tuduhe, nora kena binawur, ing satemah nora pinanggih, mundhak katalanjukan, temah sasar-susur, yen sira ayun waskita, kasampurnaning badhanira puniki, sira anggeguruwa. (Pupuh Dhandhanggula; pada 3; halaman 3)

Kemudian pada bait ini dijelaskan bahwa rasa jati/rasa sejati terdapat dalam Al-quran. Untuk dapat mengetahuinya dengan baik, pilihlah orang yang benar-benar paham mengenai pengetahuan lahir dan batin, agar tercapainya kesempurnaan hidup. Serat Wulangreh dalam hal ini Pakubuwana IV, memberikan Al-quran guna untuk menemukan rasa sejati karena didalamnya terdapat berbagai macam ajaran mengenai kehidupan. Dengan kata lain agar hidup manusia lebih terarah dan mempunyai tujuan yang sesuai dengan petunjuknya (Al-quran).

Ing sabarang polah tingkah, ing pangucap tanapi wong alinggih, tan suka sor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujalma pangrasane dhewekipun, tan ana kang madhanana, angrasa luhur pribadhi. (Pangkur; pada 12; halaman 7)

Pada data yang ketiga ini mengenai rasa, dijelaskan bahwa rasa yang terdapat pada diri manusia menunjukkan sikap keangkuhannya. Hal itu dapat diketahui/ dilihat dari cara bertingkah lakunya dan segala macam ucapannya. Seperti yang dikatakan oleh Wahyono, aja rumangsa bisa nanging bisaa rumangsa, hendaknya manusia itu tidak sombong, tetapi selalu berendah diri andhap asor, lembah

manah, hendaknya manusia dapat merasa ngrumangsani bahwa ia hanyalah

makhluk kecil dihadapan Tuhan yang Maha Agung, hidupnya telah kinodrat, ditentukan olehNya, oleh pandum, pasrah nanging kudu mawa setiyar, dan selalu bersikap mensyukuri karunia Tuhan dengan selalu berusaha (2003:13). Jelaslah bahwa, manusia hendaknya menjauhi sikap angkuh/sombong karena itu akan

(9)

membawa seseorang untuk berbuat atau terjerumus ke hal-hal yang bersifat negatif.

Saking ibu rama margane udani, miwah maratuwa, lanang wadon den bakteni, aweh rasa ingkang nyata. (Maskumambang; pada 13; halaman 8).

Udani menurut Bausastra ialah weroeh (Poerwadaminta,1939:435), yang dalam

bahasa Indonesianya “lihat”. Dijelaskan pada bait ini untuk menghormati orang tua, hal ini diperkuat oleh Franz Magnis Suseno bahwa setiap orang dalam bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya (1984:60). Bait ini juga menerangkan bahwa kedua orang tua yaitu bapak dan ibu sebagai sarana untuk memahami rasa, dan juga terhadap mertua baik laki-laki mapun perempuan dihormati. Sikap hormat kepada orang tua dalam “masyarakat Jawa”, diungkapkan melalui penggunaan bahasa krama untuk berbicara. Pengertian mengenai rasa lain mempunyai makna yang sama dijelaskan pada bait di bawahnya, terdapat pada.

Sadjatine rasa kang mencaraken wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur tuwa ugi, milane sadulur tuwa. (maskumambang; pada 14; halaman 8-9).

Sama halnya dengan analisis bait di atasnya, bahwa untuk mendapatkan rasa yang sejati, dengan cara menghormati atau ngajeni orang yang lebih tua dalam hal ini saudara tua dilakukan sebagai sembah yang ketiga. Karena dijelaskan saudara tua sebagai pengganti orang tua. Maksud dari sembah yang ketiga ialah dapat diurutkan pertama sembah kepada orang tua, kedua kepada mertua (baik laki-laki maupun perempuan), dan yang ketiga kepada saudara tua. Hal ini diperjelas pada bait lanjutannya yang menerangkan saudara tua sebagai pengganti orang tua yaitu sebagai berikut:

Pan sinembah gegentining rama ugi, pan sirnaning bapa, sadulur tuwa gumanti, ingkang pantes sira tuta. (Maskumambang; pada 15; 9).

Jadi, melalui aspek rasa ini Pakubuwana IV menjelaskan kepada para generasi muda untuk tidak membantah dan melawan orang tua.

Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya seya, nora kaya jaman mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna-batinipun, ing tyase datanpa ngrasa. (Asmaradana; pada 16; halaman 20).

(10)

Dijelaskan pada bait seperti pepatah pada bahasa Indonesia yaitu, manusia untuk tidak lupa pada kulitnya, maksudnya apabila manusia telah mendapatkan kekuasaan untuk tidak berprilaku seperti hewan yang serakah, seperti tidak mempunyai akal dan perasaan. Diilustrasikan pada bait ini, yaitu pada sosok pedagang yang selalu menghitung untung dan ruginya atau dengan kata lain, ingin memperkaya dirinya sendiri tanpa menghiraukan orang yang ada disekelilingnya. Jadi apabila hal itu dibiarkan, akan dapat menimbulkan kehancuran tidak hanya pada manusia itu sendiri melainkan juga kehancuran bangsa ini. Oleh karena itu, Pakubuwana IV memberikan ajaran/wulang untuk menjadi manusia yang selalu bersyukur dan menjaganya atas apapun yang diberikan oleh Tuhan.

Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang ngrungokake, sinamur bari sembranan, emote yen nuruta, malah mundhak apitur, pangrasane pan wus wignya. (Asmaradana; pada 20; halaman 21).

Bait menggambarkan tentang sikap dan perilaku anak muda pada zaman ini, yaitu mereka sulit untuk dinasihati padahal mereka berbuat salah. Kalaupun mereka mampu untuk melakukan sesuatu, mereka tetap sulit untuk diberi nasihat/ wejangan-wejangan. Mereka menganggap dirinya sudah mampu dan pandai untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam hidupnya, di sisi lain mereka juga perlu diberi nasihat oleh orang yang sudah mampu memberikan nasihat itu (dalam hal ini orang tua) agar hidupnya menjadi teratur dan tidak

sembrana. Ungkapan dalam bahasa Jawa yang mendukung permasalahan ini yaitu aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa artinya janganlah merasa pandai,

namun pandai-pandailah merasa. Maksudnya yaitu manusia janganlah merasa sombong dan angkuh akan kepandaian yang dimilikinya, tetapi pergunakanlah kepandaian itu untuk hal-hal yang baik. Seperti yang disunting oleh Wahyono, hendaknya manusia itu tidak sombong tetapi selalu rendah diri andhap asor,

lembah manah16 .

Pada bait ini masih saling berkaitan dengan bait di bawah ini yang terdapat pada,

Ingsun uga tan mangkana, balilu kan sun-alingi, kabisan sun-dokok ngarsa, isin menek den arani, balilune ngluwihi, nanging temenipun cubluk

16

Makalah untuk Seminar tentang Rasa pada Program Studi Sastra Jawa FIB UI. 2003. hal 13.

(11)

suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tan ngrasa prandene sugih carita. (Sinom; pada 2; halaman 21).

Sama seperti penjelasan di atas, bahwa pada bait ini juga mengedepankan sikap untuk tidak sombong. Dijelaskan bahwa manusia untuk menghindari sikap yang merasa ingin pandai. Ditelisik secara lebih mendalam mengenai makna dari kata “merasa” itu yaitu menganggap dirinya paling diantara yang lain. Dengan maksud yaitu manusia seperti itu dapat dikategorikan angkuh dan sombong. Jadi untuk dapat menjadi manusia sempurna yang sesuai dengan tujuan penelitian ini, hendaknya manusia untuk dapat menghindari sikap-sikap seperti yang telah dijelaskan di atas.

Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada

20; halaman 23).

Pada penjelasan ini, Pakubuwana IV ingin menjelaskan mengenai sikap rendah diri (andhap asor). Dalam ajaran rasa, sikap rendah diri dikedepankan yang berguna untuk menghidari sikap-sikap negatif yang muncul dari dalam diri manusia. Selain itu, juga perlu mempunyai rasa untuk mengalah dalam berbagai hal. Karena dengan mengalah tidak akan ada perkelahian sehingga tercipta kehidupan yang rukun. Prinsip dari rukun itu bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis, saling bekerja sama, dalam suasana yang damai dan tenteram (Magnis Suseno,1984:39).

Jadi, dari beberapa bait yang telah dianalisis menurut aspek-aspek religiusitasnya yaitu Rasa, dapat diberi simpulan bahwa rasa diperlukan manusia Jawa untuk dapat mencapai hidup yang sempurna (kasampurnaning dumadi).

3.2.3 Laku

Laku merupakan kesadaran masyarakat Jawa untuk menuju ke kehidupan

yang sempurna (kasampurnaning dumadi). Untuk dapat menentukan jalan hidup yang benar masyarakat Jawa menjalani laku. Laku dapat dipandang sebagai suatu konsep, tradisi atau cara masyarakat untuk mendekatkan diri dengan Tuhan melalui berbagai sarana tertentu. Dengan menjalani laku manusia Jawa dapat

(12)

terlatih rohaninya, jiwanya, maupun batinnya sehingga hawa nafsu yang dimiliki manusia dapat dikendalikan (Darmoko, 1996:16)17 .

Dalam kehidupan sehari-hari manusia berusaha menjaga lingkungannya, bagaimana hubungannya dengan Tuhan, alam, dan sesamanya diusahakan agar tetap serasi dan harmonis, sehingga terwujud situasi yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera18. Dalam menjalin hubungan manusia dengan Tuhan, manusia Jawa menjalaninya melalui sarana laku. Sarana yang dimaksud yaitu ngelmu atau suatu

wulang untuk mencapai kepada kesempurnaan hidup yang sesuai dengan

ungkapan dalam bahasa Jawa ngelmu iku kalakone kanthi laku.

Laku dapat dilakukan seseorang melalui berbagai macam cara, berbagai

macam tindakan maupun sikap yang dilakukannya dengan tujuan untuk dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Tindakan yang dimaksud ialah tapa brata, tarak

brata, maupun lelana brata. Prinsip dari ketiganya ialah mengurangi makan,

minum, dan tidur, juga segala macam hawa nafsu seksualitas dapat dikendalikan19.

Darmoko dalam Buku Ajar Mata Kuliah Religi Jawa (2007: 4) mengatakan bahwa laku dapat dipandang pula sebagai keprihatinan/kepedihan hati yang dirasakan oleh manusia, kemudian nglakoni yaitu berarti usaha seseorang untuk mengolah batin/rasa dengan tujuan dan cara tertentu, seperti puasa (ngrowot, mutih), ngebleng (melakukan laku dengan cara tidak makan dan tidak minum di dalam ruang tertutup/dapat dikatakan hening selama kurun waktu tertentu), pati geni (melakukan laku dengan cara tidak makan dan tidak minum di dalam ruang tertutup dan gelap dalam kurun waktu tertentu), tarak brata (menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian dan keramaian), tapa

brata (menjauhi hal-hal yang berhubungan dengan keduniawian dan keramaian),

dan lelana brata (menjalani laku dengan cara menjauhi keduniawian dan keramaian dengan berkelana/ mengembara).

Kemudian di bawah ini akan dilakukan penganalisisan terhadap aspek

laku pada tiap baitnya, dapat ditemukan enam belas (16) bait yang membahas

mengenai laku yaitu sebagai berikut:

17

Laporan Penelitian tentang Rasa dalam Budaya Jawa.

18

Ibid..

19

(13)

Dadiya lakunireku, cegah dahar lawan guling, lawan aja sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala wateke wong suka, nyuda prayitaning batin.

(Pupuh Kinanthi; pada 2; halaman 4).

Diterangkan bahwa teks tersebut mengingatkan kepada manusia untuk mengurangi makan dan tidur yang dapat dijadikan sebagai laku, dan tidak disarankan bersenang-senang atau menghamburkan uangnya untuk kegiatan yang tidak bermanfaat. Makan dan tidur menurut Ciptoprawiro termasuk kedalam nafsu aluamah (1986:26) Diperintahkan untuk segala sesuatunya itu dilakukan dengan sederhana, dan tidak dilakukan secara berlebihan. Karena dampak yang akan terjadi bila hal itu dilakukan ialah akan mengurangi kewaspadaan dan kehati-hatian dalam batinnya.

Yen wus tinitah wong agung, jwa sira gumunggung diri, aja njelekken wong ala, kang ala lakunireki, nora wurung ngadjak-adjak, atemah anenulari.

(pupuh Kinanthi; pada 3; halaman 4).

Dapat diterangkan dan dianalisis pada bait ini, jika manusia telah mendapatkan kedudukan dan kehormatan untuk tidak sombong, dan selalu waspada dalam berteman dengan orang lain, karena apabila bertemu dengan teman yang tidak baik maka secara tidak langsung akan terkena dampaknya. Laku yang dimaksud pada bait ini yaitu untuk tidak mendekati orang yang mempunyai sifat buruk.

Sanadyan nora amilu, pasti wruh lakuning maling, kaja mangkono sabarang, panggawe ala puniku, sok weruha gelis bisa, jeku panuntuning iblis.

(Pupuh Kinanthi; pada 6; halaman 4).

Masih berkaitan dengan bait di atasnya, untuk tidak mendekati dan menjauhi orang yang mempunyai sifat buruk. Sifat buruk yang dimaksud pada bait ini ialah maling/durjana, karena sifat tersebut merupakan tingkah laku iblis yang akan menuntun atau membawa manusia ke dalam hal-hal yang negatif.

Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung linakwan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki.

(Pupuh Kinanthi; pada 7; halaman 4).

Aspek laku yang diterangkan pada bait ini, menjelaskan mengenai perbuatan yang baik sangat sulit untuk dilakukan apabila belum melakukannya. Dengan semakin sering melakukan perbuatan baik tersebut, maka akan terasa akan mudah untuk

(14)

menjalankannya. Dengan menjalankan laku yang baik akan dapat berguna bagi diri setiap manusia.

Ingkang becik kojahipun, sira anggowa kang remit, ingkang ala singgahana, aja niyat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa puniki. (Pupuh Kinanthi; pada 12; halaman 5).

Dijelaskan dalam kehidupan sehari-hari ada beberapa sifat manusia yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang sedikit bicara tapi banyak tindakan yang dilakukannya, dan ada juga yang banyak bicara tetapi tidak ada tindakan yang dilakukan. Oleh karena itu, bait ini memberikan ajaran untuk pandai dalam memilih hal-hal yang pantas untuk dijadikan sebagai teladan dan pegangan bagi hidup manusia, dicontohkan untuk dapat menerima berbagai macam nasihat yang diberikan oleh orang lain baik itu yang benar maupun yang salah. Nasihat yang yang benar dan baik dipergunakan, sedangkan yang buruk disimpan dan tidak untuk dilakukan dalam hidup manusia. Aspek laku yang terkandung dalam hal ini yaitu untuk melakukan segala macam perbuatan atau tindakan yang baik-baik dan dapat berguna bagi manusia.

Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, den waskita solahing wong.

(Pupuh Gambuh; pada 9; halaman 6).

Manusia dalam menjalani hidupnya untuk tidak melakukan yang tiga sifat-sifat yang dapat menggiring seseorang ke dalam pebuatan buruk, sifat yang dimaksud yaitu adigang, adigung, dan adiguna. Adigang, adigung, adiguna ungkapan ini berarti janganlah membanggakan keluhuran, kekuatan, dan kepandaian. Ketiga hal tersebut merupakan suatu anugerah Tuhan yang hendaknya dijaga keberadaannya dengan cara bijak, bukan lantas dijadikan sebagai alat untuk membanggakan diri semata. Sifat adigang diilustrasikan sebagai mengandalkan kemampuan yang ada dalam fisiknya untuk melakukan hal-hal yang tidak baik, diumpamakan pada hewan kijang yang mengandalkan kehebatan lompatannya, kemudian gajah yang mengandalkan fisiknya yang besar, dan ular yang mengandalkan bisanya untuk melumpuhkan lawan-lawannya. Adigung yaitu mengandalkan kekuasaannya untuk melawan atau menindas orang kecil, sedangkan adiguna mengandalkan kepandaian yang dimiliki untuk melakukan segala sesuatunya yang tidak baik.

(15)

Pakubuwana IV mengiliustrasikan ketiganya tersebut, guna menjadi contoh dan teladan bagi hidup manusia, untuk mempergunakan waktu sebaik-baiknya dengan cara melakukan sesuatu yang dapat bermanfaat. Hal itu sejalan dengan ungkapan bahasa Jawa yaitu urip iku mung mampir ngombe, jadi diibaratkan sungguh amat singkat perjalanan hidup manusia di dunia ini seperti orang yang mampir hanya untuk minum. Pergunakanlah waktu sebaik mungkin untuk dapat melakukan sesuatu yang besar dan bermanfaat baik bagi diri manusia itu sendiri maupun untuk orang lain. Laku yang dijelaskan pada bait ini, mengenai ajaran untuk menghindari sifat-sifat tidak baik yang dapat merugikan manusia itu sendiri.

Pan wus wateking manusa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah muna-munihipun, pan dadi penengeran, ingkang pinter kang bodho miwah kang luhung, kang sugih lan kang malarat, tanapi manusa singgih. (Pangkur; Pada 5;

halaman 7).

Sudah menjadi watak dari manusia, ada yang baik dan yang buruk. Hal itu dapat diketahui dari segala macam tindakan yang dilakukannya, misalnya dapat diketahui dari cara berjalan maupun duduknya, kemudian dari geraknya juga dapat menjadi tanda. Semua itu dapat menjadi tolok ukur guna untuk mengenal karakter setiap manusia, baik itu yang kaya maupun yang miskin, dan yang pintar dan bodoh. Hal ini dapat diperjelas lagi pada bait selanjutnya yang terdapat pada..

Tinitik ing solah muna, lawan malih ing laku lawan linggih, iku panengeranipun, winawa ginraitan, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen amawas ing sujalma, dhatan amindho-gaweni. (Pangkur; pada 7; halaman 7).

Selain untuk dapat mengetahui baik-buruknya seseorang pada bait ini juga menjelaskan, dapat juga diketahui melalui kata-katanya ketika berbicara. Hal ini dapat menjadi tolok ukur karena kualitas seseorang dapat dilihat dari cara bertutur katanya, apakah dapat dikategorikan baik atau buruk. Jadi aspek laku yang diungkapkan pada bait ini yaitu mengenai untuk mengenal baik-buruknya seseorang melalui cara berbicara maupun tindakan yang lainnya.

Wong kang laku mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku mangkono ugi, ing wekasanipun teka dadi ala. (Pucung; pada 19; halaman; 17)

Bait ini menerangkan bahwa tidak semua aktivitas laku yang dijalankan manusia guna untuk mencapai anugerah Tuhan, mempunyai sifat yang baik maksudnya

(16)

yaitu apabila dalam melakukan laku diawali dengan niat yang buruk maka secara tidak langsung laku itu akan berakhir dengan keburukan pula. Oleh karena itu, agar laku dapat berakhir dengan kebaikan maka sebelum melakukannya diawali dengan niat yang sungguh-sungguh di dalam hati guna untuk mendapatkan atau mengharapkan anugerah dari Tuhan. Dalam menjalani laku manusia dituntut untuk melakukannya dengan sebaik-baiknya, karena akan banyak godaan dan cobaan yang datang untuk menguji kesungguhan manusia itu dalam menjalaninya. Bahwa jelaslah bait ini menjelaskan mengenai niat yang baik sebelum menjalani

laku, agar dapat diperoleh hasil yang sempurna dan mencapai kasampurnaning dumadi.

Kudu uga den lakoni, rukun lelima punika, apan ta sakuwasane, nanging aja tan linakwan, sapa tan nglakonana, tan wurung nemu bebendhu, mula padha estokena. (Asmaradana; pada 3; halaman 19-20).

Bait ini menjelaskan tentang kewajiban manusia untuk melakukan rukun islam yang berjumlah lima. Jelaslah bahwa laku yang dimaksud disini yaitu mengenai anjuran untuk melakukan syariat agama yaitu lima rukun islam. Syariat tersebut berupa ajaran-ajaran yang masih dalam tataran sembah raga. Menurut KBBI syariat mempunyai arti sebagai hukum agama yang dinyatakan dengan perbuatan (1996:1390). Kemudian bait ini juga menjelaskan apabila tidak melakukannya akan mendapatkan siksa, akibat dari meninggalkan ajaran tersebut.

Sarta kawruhana batin, gantungana ing patrapan, darapon petel karyane, dimene aja sembrana, nggone nglakoni karya, jwa dumeh asih sireku, lamun leda patrapana. (Asmaradana ; pada 11; halaman 20).

Bait ini menjelaskan tentang pengetahuan batin, yaitu untuk dilakukan dan diterapkan dalam menjalani kegiatan apapun. Dalam bekerja agar melakukannya dengan hati tidak dengan tindakan yang gegabah, yang akan berdampak pada buruknya hasil pekerjaan itu. Manusia agar melakukan segala hal pekerjaan dengan hati/batin selain agar memperleh hasil yang sempurna, dan juga agar giat dalam bekerja. Gantungana ing patrapan, jadikanlah pedoman dalam berprilaku/bertindak. Jwa dumeh asih sireku, dan jangan sombong selama dalam penerapan dalam kehidupannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia aja rumangsa bisa nanging aja bisaa rumangsa dan agar andhap asor,

(17)

lembah manah dalam kehidupan manusia. Jika dari yang telah dijelaskan dapat

diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan manusia, maka manusia akan selamat dan dapat mencapai kesempurnaan hidup dan juga agar senantiasa dapat hidup rukun dan harmonis dengan manusia lain. Hidup rukun menurut F.Magnis Suseno yaitu mengandung usaha terus menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin dapat menimbulkan perselihan dan keresahan (1984:39).

Poma aja na nglakoni, kaya pikir kang mangkana, satemah lingsem dadine, den sami angestokena, mring pitutur kang arya, nora nacad alanipun, wong nglakoni kabecikan. (Asmaradana; pada 19; halaman 21).

Poma aja na nglakoni, bait ini menegaskan untuk tidak melakukan hal-hal

yang buruk. Karena bila dilakukan akan dapat menjatuhkan diri sendiri, yang dengan maksud dapat memalukan diri manusia itu sendiri. Manusia hidup ini agar

mring pitutur kang arya, memperhatikan dan mendengarkan nasihat yang baik

supaya hidup menjadi sempurna. Hidup yang sempurna menurut aspek laku ini yaitu manusia dapat mengendalikan segala bentuk hawa nafsu yang ada pada diri manusia sehingga akan dapat memberikan kesadaran dan pemahaman terhadap hakekat asal dan tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Dengan demikian, apabila manusia telah dapat memahami maka manusia akan takut dalam melakukan tindakan-tindakan yang buruk sifatnya, sehingga akan terccapai kesempurnaan hidup itu.

Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab, pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula.

(Sinom; pada 19; halaman 23).

Tapane nganggo alingan, maksud dari bait tersebut ialah salah satu

tindakab dari laku yaitu tapa. Tetapi dalam hal ini dalam melakukan tapa dilakukan dengan pura-pura sehingga berlaku seperti tani. Laku yang dimaksud pa da hal ini ialah tapa yang dilakukan berlaku seperti tani dan dilakukan agar tidak terlihat serta diketahui oleh orang banyak, tetapi tetap tidak bersikap sombong dan angkuh. Hakekat dari tapa dari bait ini yaitu untuk mencapai anugerah Tuhan yang berupa wahyu, wahyu yang dimaksud ialah wahyu Keraton Jawa. Menurut

(18)

Sunoto Wahyu Keraton akan dapat dicapai melalui perjuangan yang ulet dan tekun, sehingga apabila manusia telah mendapatkan wahyu Keraton maka akan dapat mengatasi segala rintangan yang dihadapi (1987:29).

Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran. (Sinom; pada

20; halaman 23).

Laku utama, maksud yang tercantum pada kata tersebut ialah manusia

dalam menjalankan lakunya tidak menunjukkan kesombongannya, rahasia yang dimiliki tidak diberitahukan kepada orang lain, serta dalam hidupnya selalu mengalah dan tidak mau menang sendiri. Hal itu dapat dipergunakan sebagai teladan hidup manusia dalam menjalani segala macam bentuk kehidupan. Pakubuwana IV juga meberikan nasihat yang terdapat pada bait ini, untuk tidak meninggalkan ajaran laku tersebut.

Miwah lelakone padha, kang para wali sadaya, kang pada antuk nugraha/, angsale saking punapa, miwah kang para satriya, kang digdaya ing ayuda, lakune sira tiruwa, lelabetan kang utama. (Girisa; pada 10; halaman 25).

Maksud dari aspek laku yang dimaksudkan pada bait ini ialah lebih ditekankan pada perjuangan yang dilakukan oleh para wali-wali dan para satria demi untuk mencapai yang menjadi dari tujuan masing-masing. Dijelaskan bahwa para wali berjuangan dalam menyebarkan agama islam ke seluruh umatnya dengan tujuan untuk mendapatkan pahala20. Kemudian para satria yang berjuangan dengan tangguh di dalam peperangan21. Dengan demikian, bait ini menegaskan kepada para generasi penerus untuk mengikuti perjuangan seperti yang telah dijelaskan di atas,dan supaya dapat menjadi tauladan bagi kehidupan manusia (generasi penerus). Dalam hal ini laku yang dimaksud lebih pada perjuangan untuk mencapai kesempurnaan.

20

Pahala menurut KBBI ialah buah, hasil, dalam hal ini ganjaran bagi yang berbuat amal kebaikan di jalan Tuhan (1996:976).

21

Peperangan ialah pertempuran, perkelahian antara dua kelompok dengan mempergunakan senjata (Ibid.,1038).

(19)

Nora susah amirungga, mungguh lakuning satriya, carita kabeh pan ana, kang nista lan kang utama, kang asor kang luhur pada, miwah lakuning nagara, pan kabeh ana carita, ala becik sira wruha, (Girisa; pada 11; halaman 25-26).

Makna pada bait ini sebetulnya merupakan sebuah kiasan untuk dapat menunjukkan bahwa dalam menjalani laku hendaknya seperti seorang satria yang sedang berjuang. Laku membutuhkan perjuangan dalam mencapai pada kesempurnaan hidup.

Jadi, setelah menganalisis dari berbagai cerita mengenai aspek laku dapat diperoleh kesimpulan, bahwa manusia dalam menjalani laku mempunyai tujuan untuk mencapai kesempurnaan hidup (kasampurnaniong dumadi) dan untuk dapat menghayati hakekat dan pemahaman tentang asal dan tujuan manusia hidup di dunia ini (sangkan paranng dumadi). Secara umum laku dapat dipandang sebagai kesadaran akan jalan ketuhanan, jadi segala macam tindakan manusia dalam laku ini untuk memcapai dan memperoleh anugerah Tuhan. Dengan demikian, manusia haruslah prihatin dalam menjalani segala macam cobaan yang dialami, dan harus tangguh dan kuat seperti yang diibaratkan oleh para satri yang berjuang dalam peperangan. Tidak hanya itu, dalam proses pencapaian kepada kesempurnaan hidup, manusia untuk mempunyai ilmu/ngelmu sebagai pengetahuan akan tentang kehidupan. Hal tersebut seperti yang diungkapkan pada buku mengenai LAKU, yang terdapat pada ungkapan bahasa Jawa yaitu ngelmu iku kalakone kanthi laku (ilmu atau pengetahuan dapat dipraktekkan, diterapkan, bila ditindaklanjuti secara lahir dan batin).

3.2.4 Tapa

Menurut Poerwadaminta tapa berarti – brata, nglakoni mati raga sarta

soemingkir saka ing alam rame (1939:592). Pengertian dalam bahasa

Indonesianya yaitu menjalankan mati raga atau pengheningan serta menyingkir dan menjauhkan diri dari keramaian di dunia. Menurut Darmoko, bagi masyarakat Jawa tapa merupakan sarana/jalan untuk menggapai anugerah Tuhan (wahyu) dan dalam misi memayu hayuning bawana (menjaga dan melangsungkan alam semesta, agar terhindar dari kerusakan dan bahaya) (2007:5). Wahyu merupakan

(20)

petuntuk yang datang dari Tuhan dan diberikan kepada manusia yang telah terpilih dan terpecaya (jalma pinilih pinracaya). Wahyu/pulung tersebut dapat diterima oleh seseorang jika telah melakukan tapa brata dengan oerjuangan yang hebat. Dalam buku Kebudayaan Jawa koentjaraningrat (1994:372) memaparkan tentang berbagai cara dalam menjalankan tapa yaitu sebagai berikut :

1. Tapa ngalong22, yaitu melakukan tapa dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.

2. Tapa ngluwat, yaitu bertapa di samping makam (makam nenek moyang

atau orang keramat) untuk suatu jangka waktu tertentu.

3. Tapa bisu, yaitu bertapa dengan cara menahan diri untuk tidak berbicara.

Cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.

4. Tapa bolot, yaitu bertapa dengan tidak mandi dan tidak membersihkan diri

selama jangka waktu tertentu.

5. Tapa ngramban, yaitu bertapa dengan cara menyendiri di dalam hutan dan

hanya makan tumbuh-tumbuhan.

6. Tapa ngidang, bertapa dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.

7. Tapa ngambang, bertapa dengan cara merendam diri di tengah sungai

selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.

8. Tapa ngeli, yaitu cara bertapa dengan cara membiarkan diri dihanyutkan

arus air di atas sebuah rakit.

9. Tapa tilem, bertapa dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu

tanpa makan apa-apa.

10.Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk-pauk dan

11.Tapa mangan, dilakukan dengan cara tidak tidur , tetapi boleh makan.

Menurut Sunoto (1987: 36) seseorang akan mendapatkan wahyu/ pulung setelah melakukan tapa brata dan melalui perjuanagan yang hebat. Diceritakan dalam lakon wahyu cakraningrat bahwa:

Di dalam cerita ini dijelaskan bahwa wahyu kraton itu diperebutkan oleh berbagai ksatria yaitu Putra Raja Hastina yaitu Leksmana Mandra Kumara, Putra Raja Dwarawati yaitu Samba dan Putra R. Harjuna yaitu Angkawijaya. Mereka semua bertapa dan meminta karunia Dewa menurut cara masing-masing dan semuanya itu dilakukan dengan penuh ketekunan. Wahyu Cakraningrat mula-mula memasuki tubuh Leksmana Mandra Kumara. Kemudian ia lupa karena harus mampu menahan dalam mengatasi godaan serta ujian. Atas kelengahannya itu ia tidak mampu mengatasi godaan, sehingga Wahyu Cakraningrat keluar dati dalam tubuhnya dan hilanglah untuk menurunkan raja yang dapat memerintah Tanah Jawa. Selanjutnya Wahyu Cakraningrat mendatangi R. Samba dan masuk ke dalam tubuhnya. Sama halnya dengan Leksmana Mandra Kumara juga tidak mampu mengatasi ujian berupa godaan yang dilakukan oleh wanita. Ia lupa pesan akan dapat mengatasi godaan tersebut. Kemudian Wahyu Cakraningrat itu, jatuh

22

Istilah ngalong berasal dari kata kalong. Jadi ngalong berarti bergantung seperti hewan kalong (=kelelawar).

(21)

kepada R. Angkawijaya seorang satria yang memang tekun bertapa dan membersihkan dirinya dari segala godaan dan cobaan. Wahyu Cakraningrat kemudian memasuki tubuh R. Angkawijaya dan sesaat kemudian godaan dating berupa seorang wanita yang sangat cantik. Dengan penuh cara wanita tersebut menggodan satria dan dengan tenang dan tabah pula sang satria menolak godaan tersebut. Akhirnya luluslah R. Angkawijaya dari ujian-ujian itu dan berhasil memperoleh wahyu Cakraningrat atau wahyu kraton yang mempnyai arti bahwa kelak ia akan mampu menurunkan raja-raja di atanah jawa.

Selanjutnya terdapat cerita dalam babad mengenai tapa, Babad Tanah Jawi yaitu Jaka Tingkir yang bertapa atas rakit (dijaga oleh bajul 40 ekor) ketika mengadakan perjalanan ke Banyubiri tiba-tiba wahyu/pulung kraton berupa caha yang memancar (tidak menyilaukan) berada tepat di atas Jaka Tingkir dan masuk ke dalam tubuhnya. Ki Ageng Banyubiru mengatakan bahwa wahyu/pulung krton telah berpindah dari Sultan Trenggana kepada Jaka Tingkir. Selain itu, terdapat juga dalam lakon wayang yaitu lakon wahyu Pncadarma, dikisahkan ketika Yudhistira bertapa ke hutan Kandhawawakstra (hutan Kamiaka) kemudian mendapat wahyu darma/pancadarma yang berisi tentang ajaran keutamaan sikap dan perilaku dalam kehidupan di dunia dari Batara Darma. Terdapat juga lakon Wahyu Makutharama yang berisi ajaran tentang keutamaan kepemimpinan (keteladanan 8 sifat/watak alam/Dewa) (Darmoko, 2007:5).

Dengan demikian, walaupun terdapat berbagai macam cara tapa tetapi tujuan tetap sama yaitu, untuk mencapai anugerah Tuhan sehinngga dapat memperoleh yang dinamakan wahyu dan juga untuk menjaga serta melestarikan alam semesta (memayu hayuning bawana).

Selanjutnya peneliti akan melakukan analisis terhadap aspek tapa yang terdapat dalam Serat Wulangreh, dapat ditemukan dua aspek yang membahas mengenai

tapa yaitu sebagai berikut:

Nanging yen sira nggeguru kaki, amiliha manusa kang nyata, ingkang

becik martabate, sarta kang wruh ing hukum, kang ‘ibadah lan kang wira’I, sokur oleh wong tapa, iya kang wus mungkul, tan mikir pawewehing lyan, iku pantes yen den guronana kaki, sartane kawruhira. (Pupuh Dhandhanggula; pada 4;

(22)

Sebelumnya pada bait ini berhubungan dengan yang sebelumnya terdapat pada (dhandhanggula;bait 3:3) yang dapat dijelaskan, jika ingin berguru dalam hal ini belajar untuk mengenal rasa sejati yang terdapat di dalam al-quran, maka untuk memilih manusia yang baik dan yang luhur derajatnya. Kemudian juga mengerti akan hukum, maksudnya yaitu mengerti akan hukum-hukum yang terdapat dalam alquran. Kemudian juga tidak kalah pentingnya yaitu untuk memilih orang yang tekun dan rajin dalam melaksanakan ibadah, baik itu shalat maupun ibadah yang lainnya. Lebih bagus lagi apabila mendapatkan orang yang tapa, yaitu orang yang telah takwa dan tawakal di jalan Tuhan serta tidak mengharapkan pemberian dan balas jasa orang lain. Hal tersebut pantas untuk berguru/belajar dan diserap ilmu pengetahuannya. Makna tapa yang terkandung dalam bait ini ialah orang yang beriman dan bertakwa serta bertawakal di hadapan Tuhan.

Kemudian, aspek yang kedua yaitu,

Tapane nganggo alingan, pan pada alaku tani, iku kang kinarya sasab, pamrihe aja katawis, ayub riya lawan kibir, sumunggah ingkang den singkur, lan endi kang kanggonan, wahyune karaton jawi, tinempelan anggepe pan kamawula.

(Sinom; pada 19; halaman 23).

Tapa yang dimaksud pada bait ini yaitu menjelaskan tentang, tapa yang

dilakukan dengan cara disembuyikan dan berpura-pura bertingkah laku seperti tani, dan menghindari sifat sombong serta angkuh. Tujuan dari dilakukannya tapa itu yaitu untuk mendapatkan wahyu Keraton Jawa. Wahyu Keraton menurut Sunoto yaitu wahyu yang proses pencapaiannya dilakukan secara tekun dan ulet dan banyak rintangan yang dihadapi, seperti yang dapat dicontohkan pada bait ini. Jadi, setelah melakukan analisis terhadap tapa ini dapat diberikan simpulan bahwa, dilakukannya tapa melalui berbagai macam cara dan tindakan yaitu guna untuk mendapatkan kehadirat Tuhan/anugerah Tuhan. Bentuk anugerah Tuhan yang telah dijelaskan di atas yaitu berupa wahyu. Wahyu ini merupakan ajaran atau petunjuk yang datangnya dari Tuhan dan diberikan kepada manusia yang telah terpilih dan terpecaya (jalma pinilih pinracaya). Wahyu ini dapat dipergunakan oleh manusia untuk dapat mengatasi segala rintangan maupun persoalan yang dihadapi dan dapat dipergunakan untuk mencapai kepada kesempurnaan hidup (kasampurnaning dumadi).

(23)

3.2.5 Simpulan

Dalam simpulan peneliti memberikan tabel dengan tujuan, agar mudah dalam memahami hasil dari proses analisis data. Tabel tersebut yaitu sebagai berikut:

No Klasifikasi data Deskripsi data Analisis data I 1 Sasmita Pamedharing wasitaning ati, cumanthaka aniru pujangga, dahat mudha ing batine, nanging kedah ginunggung, datan wruh yen akeh ngesemi, paksa ngrum-rum pustaka, basa kang kalantur, tutur kang katular-tular, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padhanging sasmita. (Pupuh Dhandhanggula; pada 1; halaman 3)

Penyampaian isi hati yang paling dalam, seseorang yang merasa congkak meniru sebagai pujangga, dia (Pakubuwana IV) juga bangga karena mampu untuk membuat karya sastra, namun demikian banyak yang mencibir tetapi selain itu juga tetap harus membuat karya yang dapat membuat popular. Karya tersebut disebarluaskan secara terus menerus berupa nasihat yang

Sasmita berarti

tanda-tanda dalam

kehidupan manusia. Tanda tersebut merupakan

pengetahuan yang akan dicapai oleh seseorang dan diusahakan agar senantiasa menjadi terang atau mudah dimengerti.

(24)

disampaikan

kepada orang lain dengan penuh

ketelatenan, rendah

hati, dan perlahan agar tanda-tanda kehidupan menjadi terang.

2 Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing kauripanira.

(Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)

Bait ini

menceritakan tentang tanda atau gejala dalam kehidupan ini akan terasa sulit dan membingungkan jika tidak diterapkan dalam kehidupan. Tanda tersebut diterapkan untuk dapat mengetahui rasa yang sejati yang berada dalam batin atau kalbu, dan selalu mengupayakan kesempurnaan dalam kehidupan kita masing-masing.

Sasmita bait ini berarti

tanda, yaitu tanda yang datang dari Tuhan agar untuk dapat dimengerti dan

dipahami dan

berkaitan dengan rasa

sejati dalam

mengupayakan kesempurnaan diri.

3 Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, aja pijer mangan nendra, ing kaprawiran den kesti, pesunen sariranira, sudanen dahar lan guling.

(Pupuh Kinanthi; pada

Untuk dapat memahami suatu tanda dapat diperoleh dengan cara selalu melatih

Sasmita bait ini menunjuk pada kata tanda, yaitu agar manusia dapat mengerti tanda yang

(25)

1; halaman 4) atau mengasah setiap kalbumu dan mengurangi

aktivitas makan dan tidur.

diberikan oleh Tuhan untuk melakukan laku

dengan cara

mengurangi makan dan tidur sehingga akan muncul sifat

kaprawiran yaitu sifat

yang berani, berbudi, dan pandai.

II 1

Rasa

Sasmitaning ngaurip puniki, yekti ewuh yen nora weruha, tan jumeneng ing uripe, sakeh kang ngaku-aku, pangrasane pan wus utami, tur durung wruh ing rasa, rasa kang satuhu, rasa ning rasa punika, upayanen darapon sampurneng diri, ing kauripanira.

(Pupuh Dhandhanggula; pada 2; halaman 3)

Kata Rasa pada bait ini menunjuk arti kata rasa yang sejati, yaitu suatu perasaan yang telah mencapai suatu tahap keutamaan dengan cara memahami tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan ini dan agar mencapai

kesempurnaan.

Rasa yang dimaksud

bait ini yaitu rasa sejati yang terdapat dalam diri manusia apabila telah mencapai tingkatan makrifat (sembah rasa) agar tercapai kesempurnaan diri.

2 Jroning kuran nggoning rasa jati, nanging pilih wong kang uningaa, anjaba lawan tuduhe, nora kena binawur, ing satemah nora pinanggih, mundhak

Rasa bait ini mempunyai arti sama dengan yang diatas yaitu rasa jati atau rasa yang

Rasa bait ini menunjuk pada rasa sejati yang terdapat dalam al-quran sebagai petunjuk dan

(26)

sasar-susur, yen sira ayun waskita, kasampurnaning

badhanira puniki, sira anggeguruwa. (Pupuh Dhandhanggula; pada 3; halaman 3)

sejati. Dijelaskan bahwa “rasa sejati” terdapat dalam al-quran yaitu untuk mengertahuinya dan mengerti ajaran di dalamnya, perlu dipilih orang yang benar-benar

mengerti

pengetahuan lahir dan batin. Agar tidak terjerumus serta bingung.

pedoman bagi

manusia.

3 Ing sabarang polah tingkah, ing pangucap tanapi wong alinggih, tan suka sor ambekipun, pan lumuh kaungkulan, ing sujalma pangrasane dhewekipun, tan ana kang madhanana, angrasa luhur pribadhi.

(Pangkur; pada 12; halaman 7)

Kata Rasa ini menceritakan mengenai rasa diri, yaitu rasa dimana manusia tidak boleh diungguli atau direndahkan dan tidak ada yang dapat mampu menandinginya.

Rasa yang dimaksud

yaitu rasa

kesombongan yang terdapat dalam diri manusia, merasa dirinya pling unggul diantara yang lain.

4 Saking ibu rama margane udhani, miwah maratuwa, lanang wadon den bakteni, aweh rasa ingkang nyata. (Maskumambang;

pada 13; halaman 8)

Kata Rasa bait ini menceritakan mengenai rasa yang nyata atau rasa yang sejati, yaitu diperoleh dari orang-orang yang kita hormati

Rasa disini dapat diartikan sebagai rasa yag sejati didapatkan dengan cara berbakti kepada orang tua maupun kepada mertua kita baik yang laki-laki atau

(27)

diantaranya ayah ibu, mertua baik yang laki-laki maupun yang perempuan

perempuan.

5 Sadjatine rasa kang mencaraken wiji, sembah kaping tiga, mring sadulur tuwa ugi, milane sadulur tuwa.

(maskumambang; pada 14; halaman 8-9)

Kata Rasa bait ini menceritakan mengenai rasa yang memancarkan benih, yaitu dengan maksud

menghormati dan menaati saudara-saudara tua atau sesepuh, karena nantinya saudara tua akan manjadi pengganti orang tua kita

Rasa yang terkandung

dalam bait ini mempunyai makna yaitu rasa sejati didapatkan dengan cara menghormati saudara tua , karena sebagai pengganti orang tua.

6 Gumantung karsaning Gusti, iku traping wadya seya, nora kaya jaman mangke, yen wus antuk palungguhan, trape kaya wong dagang, ngetung tuna-batinipun, ing tyase datanpa ngrasa. (Asmaradana; pada 16; halaman 20)

Kata Rasa bait ini menunjuk pada pengertian

mengenai rasa untuk menjadi murid yang sejati, yaitu tidak dilakukan dengan cara yang tidak baik seperti mempunyai sifat yang sombong dan congkak.

Rasa yang dimaksud

yaitu rasa untuk tidak sombong apabila telah mendapatkan

kedudukan atau jabatan dalam kehidupan

(28)

7 Nonoman ing mengko iki, yen dituturi raharja, arang ingkang ngrungokake, sinamur bari sembranan, emote yen nuruta, malah mundhak apitur, pangrasane pan wus wignya. (Asmaradana; pada 20; halaman 21)

Rasa dapat

diartikan sebagai rasa yang sombong, karena diceritakan khususnya pada

anak muda

sekarang ini jika dinasihati tidak mau ada yang mendengarkan dan berlaku semaunya bahkan merasa dirinya sudah pandai dan mampu.

Rasa mempunyai

makna sebagai rasa sombong khusunya kepada generasi muda karena merasa sudah mampu dan pandai menghadapi kehidupan ini.

8 Ingsun uga tan mangkana, balilu kan alingi, kabisan sun-dokok ngarsa, isin menek den arani, balilune ngluwihi, nanging temenipun cubluk suprandene jroning tyas, lumaku ingaran wasis, tan ngrasa prandene sugih carita. (Sinom; pada 2;

halaman 21)

Rasa mengandung

pengertian yaitu menganggap

dirinya pandai dan banyak bercerita, sesungguhnya hal seperti itu memang bodoh karena hanya ingin dirinya dihargai.

Rasa yang dimaksud

yaitu rasa yang ingin dirinya disanjung oleh orang lain.

9 Puniku laku utama, tumindhak sarta kekelir, nora ngatingalaken lampah, wadine kang den alingi, panedyane ing batin, panjero pangarahipun, asore ngemu rasa, prayoga hiniru ugi, anak putu aja na ninggal lanjaran.

(Sinom; pada 20; halaman 23)

Dan aspek-aspek religi terakhir pada

kata Rasa mengandung pengertian rasa yang dilakukan dengan tujuan untuk sebuah

Rasa dilakukan untuk

sebuah tujuan akhir yaitu kesempurnaan hidup.

(29)

pencapaian (kesempurnaan) dengan berbuat rendah diri yaitu dengan mengalah, rahasianya ditutupi, dan segala tingkah lakunya baik untuk ditiru.

III 1

Laku

Dadiya lakunireku, cegah dahar lawan guling, lawan aja sukan-sukan, anganggowa sawatawis, ala wateke wong suka, nyuda prayitaning batin.

(Pupuh Kinanthi; pada 2; halaman 4)

Laku dapat dilakukan dengan cara mengurangi nafsu makan dan tidur, kemudian janganlah terlalu banyak bersenang-senang, bersikaplah prihatin dalam hidup ini, karena

jika akan menggiring seseorang untuk berprilku kurang prayitna, yaitu kurang waspada dan kurang

hati-hati dalam

berprilaku.

Laku berarti cara untuk mengekang hawa nafsu. Hal ini dapat dilakukan

dengan cara

mengurangi makan dan tidur, serta bertindak dengan penuh hati-hati dalam kehidupan.

2 Yen wus tinitah wong agung, jwa sira gumunggung diri, aja njelekken wong ala,

Apabila seseorang telah menjadi orang terhormat,

Laku berarti suatu tindakan untuk menjauhi hal-hal yang

(30)

nora wurung ngadjak-adjak, atemah anenulari.

(pupuh Kinanthi; pada 3; halaman 4)

janganlah menjadi “gila hormat”, dan jangan kemudian berteman dengan orang jahat karena orang tersebut akan mempengaruhi untuk berbuat buruk.

buruk.

3 Sanadyan nora amilu, pasti wruh lakuning maling, kaja mangkono sabarang, panggawe ala puniku, sok weruha gelis bisa, jeku panuntuning iblis.

(Pupuh Kinanthi; pada 6; halaman 4)

Walaupun

seseorang tidak mengikuti jejak maling, akan tetapi pasti mengetahui tindakan apa yang dilakukannya. Perbuatan buruk itu akan menggiring seseorang untuk dekat dengan tingkah laku iblis/setan.

Laku disini berarti tindakan untuk menjauhi perbuatan buruk yang akan berdampak buruk bagi siapa saja yang melakukannya.

4 Panggawe becik puniku, gampang yen wus den lakoni, angel yen durung linakwan, aras-arasen nglakoni, tur iku den lakonana, mufa’ati badanneki.

(Pupuh Kinanthi; pada 7; halaman 4)

Suatu perbuatan baik terasa sulit untuk dijangkau oleh seseorang, jika belum dilakukan dan diterapkan dalam kehidupannya. Hal ini dapat ditekankan, agar

Laku di sini berarti

manusia untuk melakukan dan melaksanakan

perbuatan baik di dalam kehidupannya.

(31)

senantiasa dilaksanakan

karena akan berguna dan mempunyai faedah bagi diri manusia. 5 Ingkang becik

kojahipun, sira anggowa kang remit, ingkang ala singgahana, aja niyat anglakoni, lan den awas wong kang kojah, ing lair masa puniki. (Pupuh

Kinanthi; pada 12; halaman 5)

Manusia diberi akal oleh Tuhan untuk dapat memilih yang bermanfaat bagi dirinya. Seperti yang dijelaskan pada bait ini untuk menyaring segala nasihat baik yang buruk maupun yang bagus, dan agar senantiasa selalu berhati-hati dalam bertindak di kehidupan ini. Laku berarti kemampuan seseorang untuk dapat memilah-milah mana yang terbaik dan bermanfaat bagi dirinya di dalam kehidupan.

6 Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu, anganggowa rereh ririh ngati-ati, den kawangwang barang laku, den waskita solahing wong.

(Pupuh Gambuh; pada 9; halaman 6)

Manusia dalam menjalani

kehidupannya, agar dapat menghindari sifat dari adigang,

adigung, dan

adiguna karena akan membawa manusia ke dalam sikap yang buruk. Manusia dalam

Laku berarti usaha seseorang untuk dapat meninggalkan sifat buruk, yang akan membuat manusia menjadi hina baik di hadapan manusia yang lain maupn di hadapan Tuhan.

(32)

bertindak di kehidupan ini untuk bersikap waspada dan penuh dengan kehati-hatian. 7 Pan wus wateking

manusa, pan ketemu ing laku lawan linggih, solah muna-munihipun, pan dadi penengeran, ingkang pinter kang bodho miwah kang luhung, kang sugih lan kang malarat, tanapi manusa singgih.

(Pangkur; Pada 5; halaman 7)

Sudah menjadi watak dari manusia, apabila ingin mengetahui sikap dan perilaku yang terdapat pada diri seseorang yaitu dapat diketahui dari cara bicaranya maupun jalannya karena hal itu sudah menjadi tolok ukur bagi setiap manusia.

Laku berarti sikap dan

cara berjalan manusia dalam melakukan aktivitasnya, untuk dapat mengetahui watak dari setiap manusia. Apakah baik atau buruk.

8. Tinitik ing solah muna, lawan malih ing laku lawan linggih, iku panengeranipun,

winawa ginraitan, pramilane ing wong kuna-kuna iku, yen amawas ing sujalma, dhatan amindho-gaweni.

(Pangkur; pada 7; halaman 7)

Selain untuk dapat mengetahui watak dari manusia dari cara berjalan dan duduknya, juga dapat dipahami melalui kata-katanya, sikap berjalan, dan duduknya. Hal itu dilakukan pada orang-orang masa lalu apabila dalam

Laku berarti kemampuan manusia untuk mengetahui baik atau buruk watak dari orang lain.

(33)

memahami seseorang. 9 Wong kang laku

mangkono wiwitanipun, becik wekasanya, wong laku mangkono ugi, ing wekasanipun teka dadi ala. (Pucung; pada 19;

halaman; 17)

Orang dalam menjalani laku

pada awalnya ada yang berakhir dengan kebaikan, tetapi ada pula yang berakhir dengan keburukan.

Laku berarti usaha seseorang dalam menjalani/melakukan aktivitas pendekatan diri kepada Tuhan ada yang berakhir dengan

kebaikan dan

keburukan. 10 Kudu uga den lakoni,

rukun lelima punika, apan ta sakuwasane, nanging aja tan linakwan, sapa tan nglakonana, tan wurung nemu bebendu, mula padha estokena. (Asmaradana; pada 3; halaman 19-20) Dalam kehidupan ini, manusia diperintahkan untuk melakukan rukun (islam) yang berjumlah lima. Dijelaskan bahwa siapa yang tidak melaksanakan,

maka akan

menrima

ganjarannya yaitu siksa.

Laku di sini berarti

usaha seseorang dalam melakukan perintah

Tuhan, dalam

melaksanakan rukun (islam) yang lima itu.

11 Sarta kawruhana batin, gantungana ing patrapan, darapon petel karyane, dimene aja sembrana, nggone nglakoni karya, jwa dumeh asih sireku, lamun leda patrapana.

(Asmaradana ; pada 11; halaman 20)

Manusia diperintahkan untuk mengenali batin yang terdapat dalam diri manusia. Hal itu dilakukan

agar dalam

beprilaku/bertindak di kehidupan ini

Laku berarti manusia

disarankan untuk melakukan pengenalan terhadap batin, karena hal itu dapat dilakukan berprilaku maupun bertindak.

Referensi

Dokumen terkait

1 Mahasiswa mampu menjelaskan seluk beluk dunia bisnis ritel seperti lingkup bisnis, paradigm, dan peluang-peluang bisnis ritel1. Pengantar tentang Dunia

Metode pelaksanaan kegiatatan KKN kepada masyarakat adalah melaksanakan kegiatan yang berkaitan untuk membantu pemerintah dalam upaya memutus rantai covid 19 dan

Performa sistem untuk mengukur tingkat respon getaran pada masing-masing jenis struktur bangunan kayu, triplek, dan beton dapat dianalisis dari hasil rata-rata data

Jalur kereta api Kunming-Singapura dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi (Djankov, 2016). Negara- negara Asia Tenggara pasalnya memiliki pertumbuhan ekonomi yang

dengan melakukan audit pada Kantor Besar dan semua kebun perusahaan secara ekonomis,efektif dan efisien. 5) Menetapkan, menyusun dan memperbaiki kebijakan dan prosedur Audit

Nasution seperti yang dikutip oleh Sugiyono (2010: 310) menyatakan bahwa, observasi adalah dasar ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data,

Karakteristik unjuk kerja dari motor induksi 3 fasa dalam kondisi dinamis, dimana tegangan sumber kemungkinan tidak selalu simetri demikian pula beban yang terpasang

sering dimanfaatkan untuk bahan utama industria gerabah, genteng dan lain-lain. Jenis tanah yang memiliki ciri-ciri tersebut di atas adalah …. Minyak bumi merupakan sumber daya