• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 19 REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 19 REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 19

REVITALISASI PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan. Revitalisasi ini sekaligus juga menyumbang pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), ekspor non migas dan penyerapan tenaga kerja. Sektor pembangunan ini juga menyumbang terhadap ketersediaan bahan pangan bagi masyarakat. Selanjutnya, hingga saat ini sektor kehutanan masih memberikan kontribusi yang nyata terhadap pengembangan wilayah serta pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pemanfaatannya telah melebihi daya dukungnya, sehingga perlu optimalisasi hasil hutan non kayu untuk menghindari kerusakan hutan yang terus berlanjut.

Pada tahun 2005 sektor pertanian, perikanan dan kehutanan telah menyumbang 13,4 persen PDB atau sekitar Rp 365,6 triliun. Selain itu ekspor dari komoditi pertanian, perikanan dan kehutanan mencapai US$ 3,1 miliar. Penyerapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 42,3 juta. Sasaran Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan tahun 2006 adalah : (1) tercapainya pertumbuhan sektor pertanian, termasuk perikanan dan kehutanan sebesar 3,6 persen, (2)

(2)

terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah pengangguran, dan (3) meningkatnya kesejahteraan petani, nelayan dan masyarakat perdesaan yang dicerminkan dari peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja di sektor pertanian.

Untuk mencapai sasaran tersebut, terdapat 4 (empat) fokus kebijakan pembangunan di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan adalah: (1) peningkatan ketahanan pangan dalam wujud mempertahankan swasembada beras berkelanjutan dan pengembangan pangan lokal serta diversifikasi pangan dan gizi, (2) peningkatan kualitas petani dan produktivitas pertanian, perikanan dan kehutanan, (3) peningkatan akses petani, nelayan dan pembudidaya ikan terhadap sumberdaya produktif, iptek, pasar dan permodalan, dan (4) peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup petani, nelayan, pembudidaya ikan dan petani hutan.

Beberapa permasalahan yang dihadapi dan langkah-langkah untuk mengatasinya agar kebijakan revitalisasi tersebut pada tahun 2006 dapat mencapai sasaran menjadi bagian pertama dalam uraian bab ini.

I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Pembangunan pertanian dihadapkan pada sejumlah permasalahan sebagai berikut: (1) terbatasnya sumber daya pertanian, (2) terkendalanya sistem alih teknologi, (3) lemahnya akses permodalan, (4) rantai tata niaga yang panjang, tidak efisien dan belum adil, (5) terbatasnya ruang gerak petani/peternak, (6) lemahnya kelembagaan petani, (7) terbatasnya infrastruktur pertanian, (8) lambatnya pengembangan mekanisasi dan teknologi pasca panen pertanian, dan (9) belum berkembangnya perangkat peraturan kepastian usaha pertanian yang didasari prinsip keadilan berusaha dan perluasan partisipasi masyarakat .

Dalam hal ketahanan pangan yang secara nasional berhasil dipertahankan, dalam beberapa kasus di wilayah-wilayah terpencil dimana infrastruktur pengairan dan pertanian belum tersedia dengan

(3)

cukup, seperti di wilayah pegunungan tengah Papua khususnya di kabupaten Yahukimo telah terjadi kasus kekurangan pangan dan gizi buruk. Kejadian seperti ini menunjukkan bahwa ketahanan pangan di tingkat lokal dan rumah tangga masih perlu mendapat perhatian serius, khususnya di wilayah-wilayah terisolir dimana infrastruktur pertanian dan pengairan masih kurang. Kekeringan yang melanda sebagian besar wilayah di pulau Jawa dan beberapa propinsi di pulau Sumatera dan Nusa Tenggara menunjukkan indikasi yang perlu diwaspadai. Susutnya air sungai dan waduk diikuti oleh gagalnya panen puluhan ribu hektar sawah di propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur, memerlukan perhatian sungguh-sungguh dalam hal manajemen pengairan khususnya perhatian terhadap upaya-upaya untuk mempertahankan ketersediaan air tanah dan mengurangi aliran permukaan (run-off). Selanjutnya dalam hal sistem pengamanan kesehatan hewan telah terjadi peristiwa yang memerlukan perhatian dan penyempurnaan dalam sistem penanganannya khususnya yang berkaitan dengan merebaknya virus Avian Influenza di beberapa daerah.

Dalam pengembangan perikanan, permasalahan yang dihadapi antara lain : (1) belum optimalnya produksi perikanan secara nasional karena masih rendahnya produktivitas nelayan perikanan tangkap, belum optimalnya penggunaan teknologi perikanan budidaya, dan masih kurangnya penyediaan benih yang bermutu; (2) menurunnya kualitas lingkungan perairan serta adanya hama-penyakit ikan; (3) masih rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan dan kemampuan pemasaran produk perikanan yang menyebabkan rendahnya nilai jual produk perikanan; (4) terbatasnya sarana dan prasarana perikanan, lambatnya pengembangan teknologi perikanan, masih lemahnya sistem hukum, penegakan hukum di laut, dan kelembagaan perikanan; (5) minimnya dukungan data dan informasi perikanan; (6) sebagian besar armada kapal penangkapan ikan didominasi oleh kapal-kapal ikan dibawah 10 GT, sedangkan kapal dengan kapasitas besar yang beroperasi di Indonesia masih dimiliki oleh asing, yang tidak lepas dari isu pencurian ikan (IUU fishing) oleh nelayan dan kapal asing; dan (7) masalah dalam perdagangan internasional yang terkait dengan hambatan tarif dan non tarif, yang menghambat laju ekspor komoditas perikanan.

(4)

Beberapa permasalahan yang mendorong perlunya dilakukan revitalisasi kehutanan adalah: (1) menurunnya peran dan fungsi kehutanan dalam pembangunan nasional akibat meningkatnya degradasi sumberdaya hutan; (2) masih dimilikinya keunggulan komparatif sektor kehutanan, dimana Indonesia masih menyisakan kawasan hutan yang cukup luas dan bisa berfungsi sebagai paru-paru hijau dunia yang kaya dengan keanekaragaman hayati; (3) dalam jangka panjang sektor kehutanan dapat kembali menjadi salah satu penggerak perekonomian nasional (devisa, lapangan kerja, dll); (4) meningkatnya permintaan pasar atas produk kehutanan secara nasional maupun global; (5) industri kehutanan dalam arti luas (pengelolaan hutan lestari: Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu /Hak Pengusahaan Hutan, Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman/Hutan Tanaman Industri; industri pengolahan dan jasa lingkungan) masih mempunyai daya saing yang mampu berkompetisi secara global; (6) untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, dimana 10,2 juta orang dari 48,8 juta orang yang bergantung kehidupannya pada sumber daya hutan tergolong miskin; dan (7) rendahnya resistensi industri-industri sektor kehutanan, dimana rata-rata hanya berbasiskan pada keunggulan bahan baku.

II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASILYANG DICAPAI

Dalam rangka mengatasi masalah keterbatasan sumber daya lahan, upaya yang dilakukan adalah berupa perluasan sawah/lahan pertanian baru, khususnya di luar Jawa. Guna mengendalikan alih fungsi lahan dilakukan peningkatan koordinasi dengan instansi terkait dan pemerintah daerah. Langkah ini dilakukan seiring dengan upaya peningkatan produktivitas dan kualitas hasil sehingga usaha pertanian, terutama padi akan memberikan pendapatan dan keuntungan yang mencukupi kebutuhan hidup rumah tangga petani.

Upaya peningkatan produktivitas dilakukan dengan peningkatan diseminasi teknologi, baik berupa penerapan benih/bibit unggul yang baru maupun langkah-langkah perbaikan sistem budidaya di tingkat petani. Dalam hal peningkatan penggunaan benih/bibit unggul, sedang

(5)

disusun konsep penyediaan subsidi benih agar terjadi akselerasi penggunaan benih/bibit dalam rangka meningkatkan produktivitas. Lembaga Litbang dalam kaitan ini terus diperkuat dengan mempertajam prioritas penelitian agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat pertanian. Selain itu dilakukan pula peningkatan efektivitas diseminasi teknologi dengan memadukan antara fungsi diseminasi lembaga Litbang di daerah (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) dengan penyuluhan.

Dalam upaya memperkuat kembali kelembagaan penyuluh telah dilakukan upaya revitalisasi melalui peningkatan pendampingan bagi petani, peningkatan produktivitas kualitas hasil pertanian, dan penguatan kelembagaan petani. Peningkatan dan pemberdayaan kelembagaan petani dilakukan dengan membina kelompok-kelompok tani secara intensif oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL), melalui pendekatan pembangunan masyarakat (community development).

Peningkatan akses petani terhadap permodalan dilaksanakan antara lain melalui peningkatan pendapatan petani/nelayan kecil (P4K), memberikan bantuan pinjaman langsung ke masyarakat (BPLM), pengembangan dana bergulir, dan penyediaan subsidi bunga kredit ketahanan pangan. Mulai tahun 2006 disediakan dana penjaminan guna membuka peluang bagi petani/peternak kecil dan menengah yang tidak memiliki agunan dapat memperoleh fasilitas kredit perbankan. Saat ini sedang disiapkan juga subsidi tingkat bunga kredit investasi untuk pengembangan komoditas kelapa sawit, kakao, karet, serta tanaman untuk bahan bakar nabati/biofuel. Selanjutnya, untuk mendukung peningkatan produktivitas dilakukan perbaikan jaringan irigasi dan optimalisasi lahan dengan partisipasi masyarakat. Di samping itu, untuk mendukung kegiatan tersebut dilakukan pula pengembangan koperasi dan usaha kecil, lembaga keuangan mikro perdesaan, Bank Perkreditan Rakyat dan BRI unit desa bekerjasama dengan instansi terkait dan perbankan.

Untuk menurunkan biaya tata niaga dan meningkatkan kelancaran arus pemasaran hasil pertanian dilakukan perbaikan dan pembangunan jalan usahatani dengan pola partisipasi masyarakat. Peningkatan efisiensi rantai pemasaran dilakukan dengan mengembangkan pola kemitraan, memfasilitasi dibukanya pasar lelang serta dorongan dan pembinaan untuk melakukan contract

(6)

farming. Untuk melindungi kegiatan produksi, terutama petani kecil, terus dilakukan pengaturan impor dan penerapan tarif yang tidak merugikan konsumen.

Dalam hal penanganan kasus penyakit flu burung langkah-langkah komprehensif adalah perlunya mengintegrasikan tindakan dari aspek peternakan dan aspek kesehatan manusia. Oleh karena itu, untuk penanganan penyakit flu burung telah dilakukan secara bersama antara Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan atau dengan Pemerintah Daerah. Tindakan pencegahan adalah dengan mensosialisasikan cara beternak dan memelihara hewan secara sehat. Langkah-langkah pemberantasan penyakit flu burung ditujukan agar penyebarannya tidak meluas dan penularan ke manusia dan antarmanusia (pandemi) dapat dicegah. Selain itu sosialisasi tentang mengkonsumsi ayam yang aman agar masyarakat tidak ragu-ragu untuk mengkonsumsi perlu dilakukan sehingga indutri peternakan dapat berkembang kembali.

Hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan pertanian dapat ditunjukkan dengan beberapa indikator luaran (output) sebagai berikut.

Pada tahun 2005, secara kumulatif sektor pertanian (tidak termasuk kehutanan dan perikanan) tumbuh 2,5 persen (harga konstan tahun 2000). Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh subsektor peternakan (2,9 persen), diikuti oleh tanaman bahan makanan (2,6 persen) dan perkebunan (2,2 persen). Kontribusi sektor pertanian (tidak termasuk kehutanan dan perikanan) terhadap PDB nasional pada tahun 2005 mencapai 11,4 persen, dengan kontribusi terbesar dari subsektor tanaman bahan makanan sebesar 7,2 persen, diikuti oleh subsektor perkebunan (2,3 persen) dan subsektor peternakan (1,9 persen). Dengan perkembangan pertumbuhan tersebut, ketersediaan pangan dapat diamankan, impor bahan pangan penting dapat dikendalikan.

Pembangunan pertanian telah menampakkan hasil dengan berkontribusi terhadap berkurangnya penduduk miskin, terutama penduduk miskin di perdesaan. Capaian pembangunan tersebut telah menyumbang pula terhadap pengurangan kemiskinan di perdesaan, meskipun 55 persen dari total penduduk miskin masih berada di sektor pertanian. Sekitar 75 persen diantaranya pada subsektor tanaman

(7)

pangan, 7,4 persen pada subsektor perikanan laut, dan 4,6 persen pada subsektor peternakan.

Pembangunan pertanian telah mendorong pendapatan petani bagi peningkatan kesejahteraannya. Nilai Tukar Petani (NTP) yang tercermin dari rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar oleh rumah tangga petani meningkat dalam 5 bulan pertama tahun 2006. Pada bulan Mei 2006, NTP meningkat menjadi 101,7 atau 3,0 persen lebih tinggi dibandingkan akhir tahun 2005.

Minat investasi di bidang pertanian primer sepanjang 2004-2005 menunjukkan peningkatan cukup tajam. Persetujuan PMDN meningkat 112 persen dari Rp 2,6 triliun tahun 2004 menjadi Rp 5,5 triliun tahun 2005. Sementara itu, persetujuan PMA meningkat 122 persen dari US$ 208,3 juta tahun 2004 menjadi US$ 461,8 juta tahun 2005. Peningkatan neraca perdagangan komoditas pertanian berlanjut hingga tahun 2005. Pada tahun 2005 neraca kumulatif sektor pertanian mencapai surplus US $ 6,4 milyar, atau meningkat 32,8 persen dibanding tahun 2004, yang disumbang oleh subsektor perkebunan.

Capaian-capaian tersebut di atas terjadi karena berbagai peningkatan produktivitas dan produksi komoditas pertanian. Pada tahun 2005 produksi padi 54,2 juta ton atau meningkat sebesar 0,1 persen dibanding produksi padi tahun 2004 yang besarnya 54,1 juta ton. Pada tahun 2006, produksi padi diperkirakan akan meningkat lagi menjadi 54,7 juta ton (Angka Ramalan II BPS). Produktivitas juga mengalami peningkatan dari 45,4 ku/ha tahun 2004 menjadi 45,7 ku/ha tahun 2005 atau meningkat sebesar 0,8 persen dan pada tahun 2006 akan meningkat menjadi 46,1 ku/ha atau meningkat sebesar 0,9 persen. Pada tahun yang sama produksi jagung meningkat sebesar 11,6 persen dari 11,2 juta ton di tahun 2004 menjadi 12,5 juta ton di tahun 2005, produksi kedelai meningkat 11,7 persen, dan kacang hijau meningkat sebesar 3,4 persen. Tantangan terbesar produksi pangan kita ke depan adalah penurunan luas baku lahan akibat peningkatan konversi lahan pertanian ke non-pertanian. Agar peningkatan produksi pangan cukup untuk memenuhi peningkatan kebutuhan nasional, maka upaya peningkatan luas panen melalui perluasan areal, pengendalian konversi lahan dan perbaikan sistem irigasi penting dilaksanakan.

(8)

Pada tahun 2005, produksi komoditas hortikultura beragam perkembangannya. Tanaman hias secara keseluruhan meningkat 5,8 persen, tanaman biofarmaka meningkat 6,7 persen. Sementara itu, produksi buah-buahan naik 3,5 persen dari 14,3 juta ton pada tahun 2004 menjadi 14,8 juta ton pada tahun 2005 dan sayuran naik 1,1 persen dari 9 juta ton menjadi 9,1 juta ton.

Krisis ekonomi tahun 1998 berdampak positif terhadap komoditas perkebunan, karena depresiasi rupiah telah meningkatkan daya saing komoditas ini. Pada tahun 2005 peningkatan produksi komoditas perkebunan terus berlanjut. Produksi tebu naik sebesar 4,5 persen dari 2,2 juta ton tahun 2004 menjadi 2,3 juta ton. Produksi kelapa sawit meningkat 7,4 persen dari 12,2 juta ton tahun 2004 menjadi 13,1 juta ton tahun 2005; produksi karet meningkat 9,5 persen dari 2,1 juta ton tahun 2004 menjadi 2,3 juta ton tahun 2005. Produksi tanaman perkebunan lainnya seperti kelapa, kopi, teh, lada, cengkeh, kakao, jambu mete, pala relatif tetap.

Selama tahun 2005, semua jenis ternak mengalami peningkatan populasi dibanding tahun 2004. Populasi ayam pedaging naik 10,9 persen, itik meningkat 5,3 persen, ternak babi naik 4,8 persen, kambing dan domba masing-masing naik 3,1 persen dan 3,0 persen, dan sapi potong naik 1,4 persen. Produksi ternak dan hasilnya diharapkan terus meningkat dengan dilakukannya pengendalian penyakit ternak sesuai Rencana Strategi Nasional Pengendalian Flu Burung (Avian Influenza) dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza 2006-2008 yang terus ditingkatkan dengan kerjasama pemda dan masyarakat.

Di bidang perikanan, langkah-langkah kebijakan diarahkan pada pendayagunaan sumber daya perikanan yang tepat untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi nasional, pemerataan kesejahteraan masyarakat, dan terpeliharanya daya dukung ekosistem perairan dan stok sumber daya hayati yang terkandung di dalamnya secara seimbang. Dalam operasionalisasinya, kebijakan pembangunan perikanan ditekankan pada: (1) meningkatkan pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya perikanan secara optimal, adil, dan lestari, sesuai dengan daya dukung ekosistemnya; (2) mengembangkan perikanan tangkap di perairan/kawasan yang masih belum/kurang dimanfaatkan, seperti sumber daya ikan laut dalam, laut

(9)

lepas, dan Zona Ekonomi Eksklusif; serta mengendalikan penangkapan di perairan/kawasan yang telah mengalami overfishing, melalui pembangunan/rehabilitasi pelabuhan perikanan, dan peningkatan sarana penangkapan; (3) mengembangkan dan menata kembali perikanan budidaya melalui pola budidaya yang lebih efisien, berdaya saing, dan berwawasan lingkungan, yang mencakup rehabilitasi saluran tambak, balai benih perikanan, pengembangan sarana dan prasarana kesehatan ikan, serta peningkatan mutu benih; (4) mengembangkan usaha perikanan berbasis kerakyatan, dan memberdayakan masyarakat pesisir dan nelayan kecil, melalui kegiatan pelatihan dan bimbingan teknis, pemberian subsidi BBM kepada nelayan, serta pengembangan kelembagaan terhadap akses permodalan; (5) mengembangkan sarana dan prasarana produksi dan pengolahan hasil, melalui pembangunan pasar ikan higienis; (6) mengembangkan dan meningkatkan mutu produk perikanan, baik dalam proses produksi maupun pengolahannya; (7) mengembangkan penelitian dan iptek perikanan, melalui pembangunan balai dan loka riset, serta kios iptek; dan (8) mengembangkan kebijakan, perencanaan, dan peraturan perundangan di bidang perikanan sebagai instrumen penting dalam pembangunan perikanan.

Hasil-hasil yang dicapai dalam pembangunan perikanan dapat ditunjukkan dengan beberapa indikator luaran (output) sebagai berikut.

Pada tahun 2005, kontribusi subsektor perikanan terhadap PDB nasional mencapai sebesar 2,2 persen, yang berarti mengalami penurunan dari tahun 2004 sebesar 2,4 persen. Diperkirakan pada tahun 2006 kontribusi subsektor perikanan terhadap PDB nasional naik menjadi sekitar 2,9 persen.

Dilihat dari sisi produksi, produksi perikanan Indonesia pada tahun 2005 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 3,9 persen dari tahun 2004, yaitu menjadi sebesar 6,3 juta ton. Pada tahun 2006 diharapkan produksi perikanan nasional mampu mencapai angka 7,2 juta ton. Produksi perikanan tersebut masih didominasi oleh usaha penangkapan, khususnya penangkapan ikan di laut. Dalam tahun 2005, pertumbuhan produksi perikanan tangkap menurun sebesar 5,6 persen dibandingkan dengan tahun 2004, akibat dari kenaikan harga BBM yang menjadi kendala bagi nelayan untuk melaut. Namun, usaha

(10)

budidaya perikanan pada tahun 2005 mengalami peningkatan apabila dilihat dari luas arealnya yang mencapai sebesar 1,1 juta ha, atau meningkat 0,2 juta ha dari tahun 2004. Kenaikan kuantitatif luas areal budidaya menunjukkan peningkatan kegiatan ekonomi usaha kecil dan menengah yang memberikan peningkatan kesejahteraan kepada pembudidaya ikan. Pada tahun 2006 ini, luas areal pemanfaatan budidaya ditargetkan mampu mencapai 1,3 juta ha guna lebih meningkatkan pengembangan usaha budidaya di Indonesia. Di sisi lain, dalam rangka melindungi para pembudidaya udang, telah diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Perdagangan mengenai larangan impor udang, sehingga produksi udang dalam negeri mengalami peningkatan. Dengan menggalakkan usaha budidaya yang tengah berkembang, diharapkan peran dari usaha budidaya mampu meningkatkan produksi perikanan dan menggantikan usaha perikanan tangkap di masa yang akan datang, seiring dengan semakin menipisnya stok sumber daya perikanan di perairan laut.

Dilihat dari sisi devisa negara, kenaikan produksi perikanan mampu memberikan sumbangan devisa pada tahun 2005 sebesar US$ 1,9 miliar dengan volume ekspor sebesar 0,9 juta ton. Dibandingkan dengan tahun 2004, volume ekspor pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 5,5 persen, sedangkan untuk nilai ekspor meningkat sebesar 7,3 persen. Hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan kualitas mutu hasil perikanan yang diekspor dengan harga yang lebih baik. Untuk meningkatkan volume ekspor perikanan dalam tahun 2006 ini, serangkaian upaya-upaya dilakukan untuk memperbaiki mutu dan nilai tambah produk ekspor hasil perikanan. Di samping itu, juga dilakukan pengembangan komoditas perikanan dan sumber daya laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi antara lain seperti: rumput laut, mutiara, kerang-kerangan, karang laut dan berbagai jenis biota laut yang dapat dimanfaatkan sebagai obat maupun bahan baku farmasi.

Selanjutnya didalam penyerapan tenaga kerja, subsektor perikanan telah mampu menyerap tenaga kerja secara langsung sebesar 5,9 juta jiwa pada tahun 2005, yang berarti meningkat apabila dibandingkan dengan tahun 2004 yang hanya berjumlah 5,8 juta jiwa. Tenaga kerja di subsektor perikanan didominasi oleh para nelayan dan

(11)

pembudidaya. Dengan ditingkatkannya usaha budidaya, akan membuka peluang lapangan kerja yang besar, sehingga diharapkan penyerapan tenaga kerja pada tahun 2006 di subsektor perikanan meningkat menjadi sebesar 6,1 juta jiwa.

Di sisi lain, produk perikanan juga merupakan salah satu sumber protein hewani dan merupakan bentuk diversifikasi pangan bagi masyarakat. Pada tahun 2005 tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia mencapai sebesar 24,5 kg/kapita/tahun yang meningkat dari tahun 2004 sebesar 23,2 kg/kapita/tahun. Namun angka tingkat konsumsi tersebut masih di bawah rata-rata dunia sebesar 27 kg/kapita/tahun. Dengan makin meningkatnya pilihan dan selera masyarakat dalam memenuhi kebutuhan protein hewani yang berasal dari ikan, diperkirakan pada tahun 2006 ini tingkat konsumsi ikan masyakarat mampu mencapai sekitar 25,3 kg/kapita/tahun. Hal tersebut dapat dicapai melalui peningkatan kampanye makan ikan dan pengenalan produk-produk makanan yang menggunakan bahan baku ikan.

Di bidang kehutanan, kebijakan revitalisasi kehutanan ditetapkan menjadi salah satu kebijakan prioritas Departemen Kehutanan, yang dititikberatkan kepada pengembangan industri kehutanan melalui kebijakan pembangunan hutan tanaman industri.

Terdapat empat langkah pokok revitalisasi kehutanan yaitu : (1) revitalisasi industri kehutanan, yang dititikberatkan pada pembangunan hutan tanaman industri, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan peningkatan pemanfaatan jasa lingkungan, (2) pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan alam, dilakukan antara lain melalui: Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) oleh pemegang HPH (di luar Jawa), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) oleh Perum Perhutani (di Jawa), serta Hutan Kemasyarakatan (HKm), (3) rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumberdaya alam dengan prioritas pada 60 DAS, selebihnya sejumlah 399 DAS ditetapkan sebagai prioritas selanjutnya, dan (4) perlindungan dan konservasi sumberdaya alam untuk memberantas pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu ilegal. Langkah ini mendapat dukungan internasional dan tertuang dalam berbagai bentuk kerjasama.

(12)

Di bidang kehutanan, salah satu hasil pembangunan kehutanan yang telah dilakukan adalah studi komprehensif industri kehutanan bersama International Tropical Timber Organization, Center for International Forestry Research, World Bank, USAID menyangkut aspek sumber daya hutan, industri pengolahan kayu, dan pemasaran sebagai kerangka dasar kebijakan (Policy Framework) restrukturisasi dan revitalisasi kehutanan.

Selanjutnya inventarisasi Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IPHHK), telah menghasilkan sejumlah 1.671 unit usaha, dengan kebutuhan bahan baku sebesar rata-rata 66,3 juta m3/tahun, yang terdiri dari : (1) sawmill: 1.540 unit, kebutuhan bahan baku: 16,9 juta m3/tahun, (2) plymill: 113 unit, kebutuhan bahan baku: 20,2 juta m3/tahun, (3) pulpmill: 7 unit, kebutuhan, bahan baku: 27,8 juta m3/tahun, dan (4) Lain-lain: 11 unit, kebutuhan bahan baku: 1,5 juta m3/tahun.

Berdasarkan inventarisasi di atas, dilakukan pendaftaran ulang ljin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu berdasarkan Keputusan Menhut No. 300/Kpts-II/2003 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.16/Menhut/11/2004. Jenis IPHHK yang wajib didaftar ulang terdiri dari ljin Usaha Industri Penggergajian Kayu, ljin Usaha lndustri Veneer, ljin Usaha Industri Kayu dan Lapis Laminated Veneer Lumber (LVL) dan ljin Usaha Serpih Kayu (Chipmill).

Untuk kapasitas lebih dari 6.000 m3/tahun telah diterbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P28/Menhut-II/2005 tentang Pembaharuan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu kepada sebanyak 65 unit. Sedangkan untuk kapasitas sampai dengan 6.000 m3/tahun, ijin usaha diterbitkan oleh Gubernur. Kegiatan pendaftaran ulang industri dilakukan sampai dengan 30 April 2006.

Untuk memenuhi kebutuhan kayu bulat sebesar 66,3 juta m3/tahun, dilakukan langkah-langkah : (1) rekalkulasi produksi dari hutan alam dari kapasitas 5,7 juta m3 pada tahun 2005 menjadi 8,1 juta m3 untuk tahun 2006, (2) meredistribusi produk tebangan HTI-Pulp ke kayu pertukangan sesuai jenis keadaan tegakan dan pasar (tidak semua untuk pulp), (3) memanfaatkan kayu hutan rakyat (0,9 juta m3) dan kayu dari peremajaan kebun (0,1 juta m3), (4) memanfaatkan kayu

(13)

dari ijin sah lainnya/land clearing perkebunan dan HTI (16,5 juta m3), dan (5) memanfaatkan kayu dari Perhutani (0,8 juta m3).

Selain itu dalam rangka meningkatkan efisiensi dan daya saing IPHHK telah dilakukan langkah-langkah kebijakan: (1) penggantian mesin-mesin rotary-lathe lama (besar), (2) pemasangan rotary-lathe

dan chipper kapasitas kecil di dekat/di dalam lokasi hutan tanaman

industri; dan (3) relokasi mesin rotary-lathe tanpa menambah kapasitas terpasang ke dekat sumber bahan baku.

Mengusulkan revisi Keppres No. 96 tahun 2000 untuk mendorong investasi IPHHK berbasis hutan tanaman (HTl dan hutan rakyat) dan kayu peremajaan kebun.

Melelang 20 unit hutan tanaman seluas 556.747 ha di provinsi Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Riau, Lampung dan Jambi serta Restorasi Ekosistem. Sampai Juni 2006 telah terealisasi pelelangan 10 unit ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu – hutan tanaman (IUPHHK-HT) dan satu unit Restorasi Ekosistem.

Mencapai target hutan tanaman seluas 5 juta ha pada tahun 2009, dari yang telah ada sekitar 2,1 juta ha, ditetapkan langkah-langkah :

1) Penyelesaian perijinan 37 unit HTI sementara, dan 63 unit HTI cadangan dengan total luas 3,5 juta ha (diperkirakan menyerap tenaga kerja baru sebanyak 48.000 orang).

2) Percepatan pembangunan HTI melalui : (1) pengalihan saham, pada perusahaan HTI dan BUMN, (2) kerjasama operasi/ KSO, (3) penanaman modal asing, (4) penggabungan perusahaan IUP HHK-HT yang berbentuk perseroan terbatas, (5) Percepatan pembangunan HTI untuk pemenuhan bahan baku industri primer hasil hutan melalui deliniasi makro dan mikro, dan (6) Penyelesaian IUPHHK-HT sementara yang telah mendapatkan persetujuan prinsip/status sementara/pencadangan menjadi definitif (Permenhut No. P.24 / Menhut-ll /2005).

POKJA Restrukturisasi Pengusahaan Hutan Produksi Alam telah melakukan penilaian terhadap 130 ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu – hutan alam (HA)/HPH. Dari 20 IUPHHK-HA)/HPH yang menyerahkan kembali izin usahanya kepada

(14)

Departemen Kehutanan, sembilan di antaranya diterima tanpa syarat dan telah diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang penghapusannya.

Penilaian kinerja 24 unit IUPHHK-HT pada tahun 2005, penilaian kinerja IPHHK, dimana pada tahun 2004 telah dilakukan penilaian kinerja IPHHK sebanyak 39 unit, pencabutan 23 Perda Kabupaten dan 1 Perda Provinsi dalam rangka peningkatan daya saing dan penurunan biaya tinggi di bidang pengusahaan hutan, penertiban pemberian IPHHK 100 hektar oleh Bupati melalui tim 8 di Provinsi Sumatera Utara, evaluasi dan pemeriksaan IUPHHK yang diterbitkan oleh Bupati sampai bulan Juni 2005 sebanyak 114 unit dengan hasil telah diakui 17 unit, ditolak 10 unit, dalam proses verifikasi 53 unit dan belum diverifikasi 34 unit. Terkait dengan restrukturisasi industri, penerimaan provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR) telah diefektifkan. Sampai dengan September 2005 total penerimaan sebesar Rp.1,9 triliun, berasal dari produksi hasil hutan tahun berjalan dan tunggakan dengan perincian: PSDH Rp.494,2 miliar dan DR Rp. 1,4 triliun.

Sebagai tindak lanjut, revitalisasi kehutanan diarahkan pada tiga komoditi dan produk strategis kehutanan, yakni: Hutan Tanaman Industri (HTI), Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) serta Jasa Lingkungan dan Wisata Alam. Pada tanggal 19 April 2006 telah diselenggarakan dialog dan workshop Revitalisasi Sektor Kehutanan yang dihadiri oleh Gubernur dan Kepala Dinas 19 Provinsi (NAD, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan dan Papua).

Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam dilaksanakan melalui : (1) kajian bersama pemanfaatan pariwisata alam dengan pengusaha pariwisata alam, masyarakat, koperasi dan BUMN, (2) penyusunan data base obyek dan daya tarik wisata alam, (3) promosi wisata alam dan pendidikan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem, (4) penyempurnaan PP Nomor 68 Tahun 1998 untuk adopsi pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi, dan (5) penyusunan peraturan Menteri Kehutanan tentang izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan air.

(15)

III. TINDAK LANJUT YANG DIPERLUKAN

Pada tahun 2006 yang sedang berjalan ini, langkah tindak lanjut di sektor pertanian yang sedang dan akan terus dilakukan adalah memfokuskan pada upaya-upaya untuk : (1) meningkatkan kualitas usaha pertanian dengan melakukan penyuluhan dan pendampingan; (2) dukungan peningkatan produktivitas melalui penyebaran bibit/benih bermutu dan melakukan dukungan dan pembinaan peningkatan nilai tambah; (3) menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri bagi seluruh masyarakat dengan tetap mengutamakan produksi dari dalam negeri, (4) mengembangkan diversifikasi pangan baik pada aspek produksi dan ketersediaan maupun pada aspek konsumsi untuk meningkatkan ketahanan pangan di tingkat daerah dan tingkat rumah tangga; (5) mensosialisasikan tentang pentingnya kesadaran gizi dan memperkuat sistim kewaspadaan rawan pangan dan gizi yang mengutamakan partisipasi aktif masyarakat; (6) meningkatkan pendapatan petani melalui peningkatan usaha peternakan dan perkebunan; (7) memperkuat sistem pengendalian hama penyakit tanaman, hasil ikan, dan ternak serta sistem pengendalian keamanan produk ternak; dan (8) melakukan penguatan sistem standar mutu dan keamanan komoditas pertanian, perikanan dan kehutanan untuk meningkatkan daya saing di pasaran.

Upaya-upaya yang sedang dilakukan pada tahun 2006 tersebut akan dilanjutkan dan ditingkatkan pada tahun 2007. Pada tahun 2007 telah dipersiapkan 28 kegiatan pokok pembangunan pertanian, dan 5 (lima) kegiatan diantaranya merupakan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan persoalan fundamental di bidang pertanian. Kelima kegiatan tersebut masing-masing adalah, pertama, pembentukan dan pengaktifan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) untuk mewujudkan visi pertanian modern melalui penguatan kelembagaan ekonomi petani yang berbasis di perdesaan sehingga usaha agribisnis dapat dijalankan secara efisien dan efektif. Pada tahun 2006 kegiatan dimulai dengan mengidentifikasi kelompok tani dan Gapoktan yang ada atau mempersiapkan pembentukannya pada desa-desa yang belum memiliki Gapoktan. Pada tahun 2007 kegiatan diarahkan pada pengaktifan 22 ribu Gapoktan. Kedua, pengembangan benih bersubsidi kepada petani miskin untuk meningkatkan produksi dan produktivitas melalui penggunaan

(16)

benih/bibit unggul bermutu bagi petani. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan akses petani miskin terhadap benih/bibit unggul dan memperluas penyebaran benih/bibit unggul di daerah-daerah kantong kemiskinan, daerah rawan pangan serta daerah terisolir. Ketiga, melanjutkan penjaminan kredit pertanian, sebagai pemantapan dan perluasan dari kegiatan tahun 2006 untuk membangun sistem pembiayaan yang mudah diakses oleh petani/peternak. Keempat, subsidi bunga kredit/investasi untuk mengembangkan subsektor perkebunan dan subsektor tanaman pangan. Kelima, melanjutkan stabilisasi kepastian harga komoditas primer melalui Dana Penguatan Modal-Lembaga Usaha Ekonomi Perdesaan (DPM-LUEP) yang telah berhasil dilaksanakan sejak tahun 2003. Kegiatan ini dilakukan sebagai tambahan upaya pemerintah dalam rangka stabilisasi harga gabah dan beras yang dilakukan melalui Bulog. Keenam, meningkatkan dukungan untuk ketersediaan bibit dan produksi tanaman bahan bakar nabati untuk mendukung penyediaan energi berbasis pertanian.

Peningkatan kualitas usaha pertanian dan peningkatan diversifikasi usaha petani dan pendapatan petani di perdesaan akan terus didorong dan dimantapkan. Ketersediaan pangan terutama beras akan tetap dijaga agar produksi dalam negeri dapat mencukupi 90-95 persen dari kebutuhan domestik. Dalam rangka peningkatan ketahanan pangan ini pada tahun 2006 akan diupayakan pula peningkatan ketersediaan pangan asal protein hewani dan pangan alternatif yang berbasis sumber daya lokal, peningkatan fungsi kelembagaan pangan di daerah, terutama untuk mengatasi masalah pangan seperti busung lapar, serta pencegahan masuk dan menyebarnya hama penyakit dan organisme pengganggu yang dapat menyebabkan penurunan produksi. Pada tahun 2006, peningkatan kesejahteraan petani tetap merupakan fokus utama di dalam revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan. Upaya-upaya ke arah tersebut akan dilakukan melalui peningkatan kemampuan petani dalam mengelola usaha pertaniannya secara efisien dan berdaya saing, peningkatan fungsi pelayanan penyuluhan dalam membantu usaha petani, upaya bantuan bagi petani secara langsung yang didahului dengan penyusunan basis data dan informasi pertanian secara lebih akurat dan lengkap.

(17)

Untuk dapat meningkatkan kinerja di sektor perikanan dalam tahun-tahun ke depan, tindak lanjut yang perlu dilakukan antara lain meliputi : (1) mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya perikanan melalui penguatan dan pengembangan perikanan tangkap yang efisien dan berbasis kerakyatan, pengembangan usaha budidaya yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan, serta pengembangan teknologi terapan perikanan yang tepat guna; (2) revitalisasi perikanan melalui pengembangan skala usaha nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat pesisir lainnya, pemberdayaan dan penguatan kelembagaan di tingkat masyarakat lokal yang didukung dengan pengembangan sumber daya manusia kelautan dan perikanan, dan peningkatan sistem penyuluhan, serta penerapan iptek dan penyelenggaraan riset di bidang perikanan; (3) mengembangkan dan merehabilitasi sarana dan prasarana perikanan terutama pada wilayah yang memiliki potensi perikanan, seperti : pelabuhan perikanan, jaringan irigasi tambak udang, dan balai benih ikan; (4) mengembangkan dan memperkokoh industri penanganan dan pengolahan melalui pengembangan sistem dan produk, untuk meningkatkan standar mutu dan nilai tambah, serta pemasaran hasil; dan (5) meningkatkan kualitas dan sistem perijinan usaha perikanan, sertifikasi balai benih, sistem pengelolaan kesehatan ikan dan karantina ikan, serta pengembangan wilayah berbasis perikanan.

Di bidang kehutanan, tindak lanjut yang akan terus dilakukan adalah peningkatan pemanfaatan dan pemasaran hasil hutan kayu dan non kayu secara lestari dan tetap terpantaunya peredaran hasil hutan kayu baik yang legal maupun ilegal, pengembangan manajemen hutan tanaman dan percepatan pembangunan hutan tanaman industri, penyelesaian tunggakan dan intensifikasi iuran kehutanan, pengendalian industri primer hasil hutan kayu, serta pengembangan unit usaha dan kelembagaan hutan kemasyarakatan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan dibagi ke dalam beberapa kajian yaitu kondisi cuaca saat pengujian berlangsung, kinerja dari lemari pendingin alami yang diuji serta korelasi yang

Ibu–ibu PKK Kelurahan Kampung Laut sangat antusias dan aktif dalam mengikuti kegiatan ini dengan banyak memberikan pertanyaan terkait dari pemanfaatan arang aktif cangkang

Hal ini memunculkan rasa kekecewaan masyarakat dan pemerintah akan minimnya peran dunia usaha dalam kehidupan sosial dan adanya kecenderungan bahwa pelaksanaan

Kondisi kulit yang normal, tidak ada luka maupun lesi yang menurut Hoppman dan Barron (2007) menjadi tanda infeksi fungi seperti hiperkeratosis, nekrosis,

Bila mahasiswa tinggal di tempat yang tidak memiliki representatif GITS, maka ujian akan dikirimkan, baik itu beserta materi extension lainnya, ataupun secara terpisah.. Ujian yang

Jumlahkan setiap penerimaan dan pengeluaran sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan pada kartu stok dan memberi dengan warna merah dibawah jumlah penerimaan dan

Dalam rangka meningkatkan kapasitas institusi perencanaan pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota melalui peningkatan potensi SDM Perencana, pada Anggaran Tahun

[r]