• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Tokoh Agama dan Ormas Keagamaan da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Peran Tokoh Agama dan Ormas Keagamaan da"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Tokoh Agama dan Ormas Keagamaan dalam Kasus Kekerasan Atas Nama Agama

Iji Jaelani, Program Studi Religious Studies Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati

Bandung

Email: ijijaelani14@gmail.com

Abstrak

Kekerasan atas nama agama di Indonesia akhir akhir ini sangat mengkhawatirkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya . para tokoh agama adalah bagian dari entitas sosial yang keberadaannya sangat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan. Akan tetapi tokoh agama dan lembaga keagamaan dapat bermuka dua, menjadi pembendung konflik dan pencipta konflik keagamaan dan kekerasan itu sendiri. Studi kasus hal ini

adalah pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Kota

Bandung pada 12 Desember 2016. Penelitian ini menggunakan teori konflik untuk mengkaji akar masalah dan motif kekerasan atas nama agama. Dari penelitian ini, diketahui bahwa Pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) oleh kelompok Pembela Alus Sunnah (PAS) di Sabuga, Bandung, pada 6 Desember 2016 merupakan kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh tokoh agama dan organisasi keagamaan. Kekerasan tersebut bersipat kultural dan tidak langsung. Solusi yang dilakukan adalah melakukan mediasi, penegasan regulasi, beserta dialog intensif sesama ormas keagamaan.

Kata Kunci: kekerasan atas nama agama, pembubaran KKR

A. Pendahuluan

Kekerasan atas nama agama di Indonesia akhir akhir ini sangat mengkhawatirkan, baik

dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Khususnya Jawa Barat, dalam 5 tahun terakhir

kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat terbilang buruk. Dalam laopran Wahid

Institut Februari 2017, dari 294 pelanggaran sepanjang 2017, 28 di antaranya di Jawa Barat.

Begitu pula laporan komnasa HAM pada Januari 2017 menyatakan bahwa terdapat 21

pengaduan di Jawa Barat dari 97 total pengaduan kebebasan beragama.1 Menurut Subhi Azhari,

tingginya pelanggaran di Jawa Barat dikarenakan 2 faktor, yakni banyaknyya kelompok intoleran

di Jawa Barat dan kemungkinan ada kecenderungan segregasi sosial di kota besar antara

Bandung dan Jakarta.2

1Laporan Yenny Wahid, direktur Wahid Institute atas survei kemerdekaan beragama dan berkeyakinan (KBB) tahun 2016, di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP Universitas Indonesia, Kota Depok, Kamis 16 Februari 2017. Lengkapnya di situs babe.news, https://babe.news/amp/read/11101234/praktik-kebebasan-beragama-di-jabar-buruk-akibat-perkembangan-kelompok-intoleran/, diakses pada 31 Mei 2017 pukul 16.00 wib

(2)

Situasi ini sangat ironi, praktik kekerasan atas nama agama justeru dilakukan oleh tokoh

agama dan ormas keagamaan. Misalnya, kasus penyerangan ahmadiyah di Cikeusik, Banten pada

2011, penyerangan ahmadiyah di Manislor, Kuningan 2007, sengketa GKI Yasmin dan HKBP

Philadelpia di Bekasi.

Dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, para tokoh agama adalah bagian dari

entitas sosial yang keberadaannya sangat berpengaruh terhadap dinamika kehidupan. Bahkan

peranan mereka dari sudut fungsi budayanya adalah sebagai makelar budaya dalam bahasa gus

dur atau ‘cultural brokers’ dalam bahasa Clifford Geertz.3 Dalam fungsi ini peran tokoh agama

adalah untuk membendung dampak negatif dari arus budaya luar yang masuk ke dalam

kehidupan masyarakat.

Sama halnya dengan peran mereka sebagai pengendali budaya, para tokoh agama juga

memiliki peran penting dalam mempererat hubungan sosial dan juga kekuatan untuk

mengendalikan proses dan siklus terjadinya konflik di masyarakat. Namun kekuatan

pengendali konflik itu terkadang dapat bermuka dua, di mana pada satu sisi, kekuatan yang

dimiliki tokoh agama tersebut dapat menjadi peluang besar untuk dapat menghentikan

siklus-siklus konflik atau pada sisi yang lain justru malah menjadi alat yang membidani lahirnya

konflik dan kekerasan. Selain itu, kekuatan tersebut juga dapat merubah arah konflik yang

telah terjadi di masyarakat sehingga konflik dapat menjadi semakin keras dan berkembang ke

arah konflik fisik yang berupa penyerangan, perusakan, pembakaran atau menjadi semakin

mereda dan pada akhirnya dapat diselesaikan.

Kekuatan utama tokoh agama terletak pada kewibawaan moralnya yang memiliki

implikasi terhadap peran sosial dalam kehidupan. Secara politis, kewibawaan tokoh agama yang

sangat kuat dapat melahirkan kekuasaan ideologis bagi dirinya, yakni kekuasaan yang diperoleh

para tokoh agama melalui idea atau gagasan, yang kemudian menjelma menjadi kharisma yang

dapat melahirkan kepatuhan luar biasa bagi masyarakatnya, oleh karenanya kekuatan tokoh

agama dapat melahirkan dominasi terhadap struktur sosial dan hegemoni terhadap struktur

kebragamaan formal dan spiritual masyarakatnya.

Dengan hegemoni ini, para tokoh agama dapat memperbesar atau mengecilkan konflik

Mei 2017 pukul 16.15 wib

(3)

yang ada di masyarakat sesuai dengan ide dan gagasan yang sampaikannya kepada masyarakat,

sehingga fatwa mati bagi orang yang tidak sejalan dengan pemikiran tokoh agama dan klaim

memperoleh kebenaran tunggal dan angin surgawi bagi seseorang yang perbuatan dan prilakunya

sesuai dengan yang diiginkan tokoh agama adalah satu hal yang berjalan di banyak kasus-kasus

konflik dan kekerasan yang bernuansa agama.

Untuk memahami hubungan antara peran tokoh agama dan ormas keagamaan dalam kasus

kekerasan atas nama agama, penulis melakukan penelitian kasus pembubaran acara Kebaktian

Kebangunan Rohani (KKR) di Gedung Sabuga, Jalan Tamansari Kota Bandung pada 12

Desember 2016. Acara ini dibubarkan massa yang mengatasnamakan Pembela Ahlu Sunnah

(PAS) dengan alasan kegiatan kebaktian harus dilaksanakan di gereja bukan di tempat umum.

Landasan pembubaran KKR tersebut mengacu kepada Surat Kesepakatan Bersama (SKB)

antara Menteri Agama dengan Menteri dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006 tentang

pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan

pendirian rumah ibadah. Sementara pihak panitia penyelenggara menyatakan kegiatan tersebut

sudah dilakukan setelah menempuh semua prosedur perizinan ke pihak Kesbangpol Kota

bandung.

Adapun kronologi pembubaran kegiatan KKR di Sabuga adalah sebagai berikut.4

a. Pukul 15.32 WIB Pdt. Dr. Stephen Tong berkoordinasi dengan pejabat Kesatuan Bangsa

dan Politik (Kesbangpol) Bandung bernama Iwan dan petugas Polrestabes Bandung Ipda

Edy dan Ipda Kasmari tentang aspirasi massa PAS agar Gedung Sabuga tidak dipakai

dalam acara kebaktian. Stephen meminta waktu selama 45 menit untuk membahasnya

dengan para jemaat yang sudah terlanjur masuk gedung.

b. Pukul 16.32 WIB, Iwan (Kesbangpol Bandung) memberikan penjelasan kepada

perwakilan PAS atas permintaan Stephen Tong tersebut.

c. Pukul 17.00 WIB massa PAS yang berkumpul di jalan masuk menuju gedung Sabuga

menyampaikan akan memberikan waktu sampai pukul 18.00 agar panitia KKR

meninggalkan gedung sabuga.

d. Pukul 17.30 WIB perwakilan PAS dipimpin oleh orang bernama Roin memasuki gedung

sabuga untuk menghentikan kegiatan latihan paduan suara panitia kebaktian dan jemaat

(4)

KKR. Seluruh jemaat dan panitia KKR diminta keluar gedung karena akan diadakan

mediasi.

e. Pukul 17.45 WIB, perwakilan PAS melakukan rehat untuk salat maghrib.

f. Pukul 19.00 WIB bertempat di ruang bengkel pameran gedung Sabuga, dilakukan

audiensi antara dua wakil PAS yakni Roin dan Dani dengan Stephen, dengan mediator

Kapolrestabes Bandung dan stafnya. Hasil dari mediasi tersebut pada intinya adalah PAS

memberikan waktu 10 menit kepada Stephen untuk memberikan penjelasan kepada

seluruh jemaat yang sudah hadir, bahwa pelaksanaan KKR tak bisa dilanjutkan karena

"adanya kesalahan prosedur dalam proses kelengkapan pemberitahuan kegiatan" oleh

panitia KKR.

g. Pukul 20.00 WIB, wakil PAS kembali ke massanya untuk menyampaikan hasil mediasi.

h. Pukl 20.05 WIB Stephen memberikan penjelasan kepada seluruh jemaat bahwa adanya

penolakan dari PAS terhadap KKR karena adanya kesalahan prosedur.

i. Pukul 20.19 WIB para jemaat KKR menyanyikan lagu Malam Kudus dan menutup acara

dengan doa.

j. Pukul 20.21 WIB, jemaat KKR meninggalkan gedung Sabuga dengan tertib dan

kemudian massa PAS ikut meninggalkan gedung Sabuga.

Pembubaran kegiatan keagamaan keagamaan di Sabuga tersebut menuai banyak perhatian

masyarakat luas. Walikota bandung menyatakan dukungan agar kegiatan tersebut dilanjut karena

hak beragama dilindungi Undang-Undang. Adapun Gubernur Jawa Barat menyatakan bahwa

kegiatan pembubaran acara KKR tersebut hanya merupakan kejadian kecil yang tidak

mengganggu apa apa. Pasca pembubaran acara kebaktian, banyak netizen yang melakukan

kecaman terhadap peristiwa pembubaran tersebut dan menjadi berita nasional, menyatakan

bahwa Bandung Intoleran.

Kasus ini dipandang penting untuk diteliti karena berkaitan dengan kekerasan atas nama

agama serta melibatkan tokoh agama dan kelompok keagamaan. Penelitian ini berupaya

mendalami motif pembubaran acara KKR, hubungan tokoh agama dan lembaga keagamaan

dalam kekerasan atas nama agama, baik sebagai pengendali konflik sekaligus pencipta konflik.

B. Metode Penelitian

(5)

jenis konflik/ kekerasan dan sebab yang melatarbelakanginya. Pembahasan diskursus

kekerasan sendiri sudah dimulai semenjak masa filsafat klasik Yunani sampai masa

kontemporer. Meskipun demikian, dinamika akademik tentang akar kekerasan

masih memberikan ruang untuk terus dikaji sesuai dengan konteks

kesejarahannya. Namun secara simplistik, terminologi kekerasan dimaknai sebagai

bentuk perilaku yang menciderai, melukai, merusak dan membunuh, baik secara fisik

maupun psikologis.5

konsep kekerasan menurut Johan Galtung yang dikutip Novri Susan terdiri dari

tiga dimensi; struktural, langsung dan kultural. Kekerasan struktural (str uctural

violence) dimaknai sebagai ketidakadilan yang diciptakan oleh suatu sistem kuasa yang

menyebabkan manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya (human needs).

Kekerasan langsung (direct violence) dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan

seseorang terhadap orang lainnya dan menyebabkan luka luka pada organ tubuhnya.

Sedangkan kekerasan kultural (cultural violence), dapat juga dikatagorikan

sebagai penggerak dari kekerasan struktural dan langsung. Hal ini dikarenakan

karakter kultural dapat muncul pada dua dimensi kekerasan tersebut. Jenis kekerasan

ini dilihat sebagai sumber lain dari tipe-tipe konflik melalui produksi kebencian,

ketakutan dan kecurigaan. Galtung seperti yang disadur Novri, memperjelas kekerasan

jenis ini adalah dari aspek-aspek kebudayaannya, dan ruang simbolis dari keberadaan

masyarakat, seperti agama dan ideologi, bahasa dan seni, ilmu pengetahuan empiris

dan formal (logis, matematis) yang bisa digunakan untuk menjustifikasi atau

melegitimasi kekerasan struktural dan langsung6

Menurut Thomas, kekerasan politik dimulai dari diri aktor. Dia menyatakan bahwa

individu/kelompok tertentu yang melakukan kekerasan seringakali disebabkan

situasi yang tidak menguntungkan pada dirinya, seperti ketidakadilan, ketertindasan

yang terus-menerus, sehingga memunculkan kemarahan-kemarahan dalam rangka

memberikan respons pada sumber penyebab kemarahan tersebut. Hal ini mempunyai

legitimasi melalui doktrin-doktrin t eologi/ agama untuk melakukan perlawanan dari

5 M Yusuf Wibisono, Kekerasan dan Pluralisme dalam Islam, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol 9 No. 2, Desember 2015 hlm. 191

(6)

ketertindasan sehingga kekerasan yang ditempuh merupakan bagian dari interpretasi

ketaatan beragama.

Artinya, pendekatan konflik sewaktu-waktu dapat dilakukan tergantung

sebab-musabab yang mendapat dukungan teologis. Max Weber mengatakan bahwa

pengorbanan manusia dengan harapan-harapan keduniawian didorong oleh magisme

atau religiusme. Dengan kata lain, pengorbanan yang dilakukan oleh manusia yang

mengandung unsur kekerasan itu diperintah oleh agama atau magis.7

Dalam konteks politik-kekuasaan, agama telah dimanipulasi oleh para penguasa

untuk kepentingan politik sebagai upaya untuk membebaskan dirinya dari

kewajiban moral jika merasa eksistensinya terancam. Sehingga radikalisme dan

kekerasan telah dibingkai “agama” sebagai ekspresi keinginan untuk menetralisir

dosa. Ironisnya, sebagian para penganutnya tidak menyadari bahwa peristiwa kekerasan

yang “seakan-akan” atas nama agama itu ternyata demi kepentingan untuk merebut atau

mempertahankan kekuasaan politik baik individu maupun kelompok. Kadang dalam

peristiwa-peristiwa itu, doktrin agama tentang kasih sayang dan saling menghormati

perbedaan ( rahmatan lil alamīn) terabaikan begitu saja.

Idiom kekerasan dalam agama sering disebut juga dengan radikalisme agama.

Secara etimologis, radikalisme berasal dari kata radix, yang berarti akar. Dalam

pandangan Yusuf Wibisono, seseorang yang bersikap radikal itu adalah orang yang

menghendaki perubahan terhadap situasi status quo dengan membongkar sampai ke

akar-akarnya.8 Radikalisme kemudian dimaknai sebagai suatu sikap atau keadaan yang

mendambakan perubahan terhadap status quo dengan jalan menghancurkannya secara

totalitas, dan menggantinya dengan seseuatu yang baru, yang sama sekali berbeda.

Biasanya cara yang digunakan bersifat revolusioner, artinya menjungkirbalikkan

nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi ekstrem lainnya.

Secara sosiologis, setiap prilaku radikal kerapkali dikaitkan dengan pola

perubahan sosial dalam bentuk yang lebih ekstrem dan sarat dengan konflik, termasuk

radikalisme agama yang disertai dengan berbagai perilaku kekerasan. Namun, realitas

tidak sedikit membuktikan bahwa konflik- konflik sosial lebih dikarenakan persoalan

(7)

sharing otoritas yang tidak merata alias tidak adil. Perihal ini sependapat dengan sang

teoritis konflik modern Ralf Dahrendorf yang dikutip George Ritzer & Douglas JG (2005),

menyatakan munculnya konflik sosial sistematis di semua asosiasi disebabkan terjadi

perbedaan pendistribusian otoritas. Arti lain, otoritas atau kekuasaan lah selama ini

yang menjadikan penentu utama konflik individu atau kelompok yang belakangan ini

marak diberbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.9

C. Analisis Masalah

Berdasarkan penelitian terhadap berita yang membahas peristiwa tersebut, penulis

melakukan analisis model kekerasan atas nama agama, motif, serta hubungan tokoh agama

dengan kekerasan atas nama agama.

a. Analisa aktor, akar masalah, dan jenis kekerasan

Pada acara pembubaran tersebut terdapat akar masalah yang menyebabkan terjadinya

pembubaran, yakni pertama soal penggunaan fasailitas publik untuk acara keagamaan dan

miskomunikasi mengenai pemberitahuan acara kepada kesbangpol dan polrestabes. Pertama,

larangan penggunaan fasilitas publik yang dipaparkan PAS dilandaskan pada SKB menteri

agama dan menteri dalam negeri no 8 dan 9 tahun 2006 bab V mengenai izin sementara

pemanfaatan bagunan gedung sebagai rumah ibadah sementara. Adapun isi dari SKB tersebut

pasal 18 dan 19 adalah sebagai berikut.

Pasal 18

Pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat sementara

harus mendapat surat keterangan pemberian izin sementara dari bupati/walikota dengan

memenuhi persyaratan:

a. laik fungsi; dan

b. pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban

masyarakat.

(2) Persyaratan laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada

peraturan perundang-undangan tentang bangunan gedung.

(8)

(3) Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan

ketertiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:

a. izin tertulis pemilik bangunan;

b. rekomendasi tertulis lurah/kepala desa;

c. pelaporan tertulis kepada FKUB kabupaten/kota; dan

d. pelaporan tertulis kepada kepala kantor departemen agama kabupaten/kota.

Pasal 19

(1) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan

rumah ibadat oleh bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)

diterbitkan setelah mempertimbangkan penda pat tertulis kepala kantor departemen

agama kabupaten/kota dan FKUB kabupaten/kota.

(2) Surat keterangan pemberian izin sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan

rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 2 (dua) tahun.

Dalam klausul tersebut, pemanfaatan gedung bukan rumah ibadah untuk rumah ibadah

sementara di antaranya harus mendapat surat izin sementara dari walikota, serta pelaporan

tertulis kepada departemen agama kabupaten/ kota.

Berkaitan dengan klausul tersebut, perizinan KKR dapat dianalisa sebagai berikut.

a. PAS menyatakan kegiatan KKR adalah natalan, yakni kegiatan reguler keagamaan yang

dilaksanakan tanggal 25 Desember. Adapun KKR sendiri bukan kegiatan reguler

keagamaan dan tidak ada aturan khusus mengenainya. Dengan demikian, landasan SKB

tidak menjadi landasan hukum kegiatan keagamaan non reguler/ insidentil seperti KKR.

b. Mengacu SKB no 8 dan 9 tahun 2006 pasal 18 ayat (1) sampai ayat (3), kegiatan

keagamaan di ruang publik harus mendapat izin dari walikota/ bupati dan mendapatkan

pelaporan tertulis kepada departemen agama kabupaten/ kota. Menurut PAS, kegiatan

KKR tidak melaporkan kepada departemen agama kanwil propinsi, sedangkan menurut

Buchori, kepala kanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat, kegiatan tersebut diadakan di

lingkup kota.10 Begitu pula Ridwan Kamil menyatakan sudah memberikan izin

(9)

penyelenggaraan acara tersebut.11

c. Dalam mediasi antara pihak KKR dan PAS, masalah pembubaran kegiatan terjadi karena

perizinan acara hanya untuk siang hari dari pukul 13.00-16 00, sedangkan acara masih

berlanjut hingga pukul 18.00

d. Adanya dualisme alasan pembubaran kegiatan kebaktian tersebut memberikan sikap

ambigu kelompok PAS. Dalam spanduk dan keterangan pers dinyatakan kegiatan

keagamaan sebaiknya diadakan di gereja dan tidak menggunakan fasilitas publik, di sisi

lain kesalahan panitia KKR karena miskomunikasi jadwal durasi kegiatan. Alasan

fundamental adalah kesalahan PAS, alasan teknis adalah kesalahan KKR.

e. Dengan demikian, kegiatan KKR adalah sah menurut hukum dan pembubaran acara

tersebut merupakan bagian dari sikap intoleransi beragama dan kekerasan atas nama

agama.

f. Kekerasan atas nama agama tersebut berwujud kekerasan kultural dan bersifat tidak

langsung karena menimbulkan ketakutan, kebencian, dan kecurigaan.

b. Hubungan Tokoh Agama, Kelompok Agama, dan Kekerasan atas nama Agama

Berdasarkan analisa aktor di atas, kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok

PAS adalah kekerasan yang secara sengaja terhadap kegiatan kebaktian kaum kristiani.

Kesalahan landasan pembubaran kegiatan yang mengacu pada SKB no 8 dan 9 tahun 2006

dimaknai sebagai legitimasi kekerasan atas nama agama menggunakan konsitusi meskipun tidak

valid.

Ada tiga analisa motif yang mendasari kelompok PAS melakukan pembubaran KKR.

a. Motif hukum, yakni menegakkan kerukunan antar umat beragama dengan landasan SKB.

Karena SKB tersbeut tidak sesuai peruntukannya, maka motif hukum merupakan motif

kedua yang menjadi alat legitimasi pembubaran

b. Motif sosial, yakni menjaga kerukunan. Motif ini pun mempunyai kelemahan karena tidak

ada masyarakat sekitar gasibu yang keberatan dengan kegiatan tersebut.

(10)

c. Motif agama, yang mendorong pembubaran kegiatan dengan nama kelompok Pembela

Ahlus Sunnah (PAS), belum mengantongi izin sebagai ormasa. Motif agama berkaitan

dengan klaim kebenaran atas nama agama. Meskipun mengalami kesalahan konstitusional

dalam melakukan tindakannya, tapi kelompoknya merubah legitimasi lain yang lebih

relevan. Motif agama yang dilakukan secara tidak langsung dalam rangka mencegah

kemunkaran, yakni indikasi pengembangan ceramah keagamaan agama lain. Dengan

membendung kegiatan ceramah agama lain di tempat publik, bisa dimaknai sebagai jihad,

yakni menegakkan agama Islam.

Kaitannya dengan peran tokoh agama sebagai pembendung konflik dari luar dan pencipta

konflik, upaya pembubaran acara KKR merupakan peran tokoh agama dan lembaga keagamaan

dalam menciptakan konflik keagamaan. Konflik berdasarkan pemahaman keagamaan ini

berkaitan dengan pemahaman kebenaran yang monolitik, tafsir yang cenderung tektual, dan

pemahaman toleransi yang kurang.

Kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok agama dan tokoh agama akan

bisa diminimalisir jika sesama kelompok keagamaan terlibat dialog yang secara intens dan

berkelanjutan sehingga bisa saling menghargai perbedaan keberagamaan. Seperti dalam kasus

tersebut, pihak panitia dan pihak PAS melakukan mediasi bersama pihak polrestabes sampai

terjadinya kesepakatan untuk menghentikan acara KKR.

Akan tetapi, sangat disayangkan mediasi ini hanya memberatkan pihak KKR karena

kesalahan miskoordinasi, akan tetapi tidak memberikan peringatan kepada PAS karena

melakukan kesalahan fundamental berupa penghalangan kegiatan keagamaan warga negara yang

diatur konstitusi, dan legitimasinya berdasarkan SKB Menteri Agama dan menteri dalam negeri

No. 8 dan 9 tahun 2006 tidak bisa dijadikan sandaran melakukan pembubaran.

Atas aksi intoleransi tersebut, Walikota Bandung meminta pihak kepolisian menyelidiki

adanya dugaan pelanggaran HAM dalam aksi pembubaran KKR tersebut. Sesuai UU No 17

tahun 2013 mengenai keormasan, disebutkan bahwa ormas dilarang menebar rasa permusuhan

terhadap suku, agama, ras dan golongan. Oleh sebab itu, Pemkot Bandung menjatuhkan 2 sanksi

terhadap ormas PAS yakni berupa tahap persuasif dan pelarangan organisasi. Tahap persuasif

yang diberikan adalah walikota memberikan waktu selama 7 hari bagi ormas PAS untuk

memberikan surat permohonan maaf kepada panitia KKR dan menyatakan kepada Pemkot akan

(11)

satu pekan ormas PAS menolak meminta maaf, maka Pemkot Bandung akan melarang semua

kegiatan organisasi di wilayah hukum Kota Bandung. Dalam jangka panjang, Walikota bandung

meminta MUI, FKUB dan FSOI untuk mengintensifkan forum dialog antar kelompok umat

beragama di Kota Bandung.12

D. Simpulan

Pembubaran acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) oleh kelompok Pembela Alus

Sunnah (PAS) di Sabuga, Bandung, pada 6 Desember 2016 merupakan kekerasan atas nama

agama yang dilakukan oleh tokoh agama dan organisasi keagamaan. Kekerasan tersebut bersipat

kultural dan tidak langsung karena memberikan efek kebencian, kecurigaan, dan ketakutan

terhadap pihak yang dijadikan objek kekerasan. Pijakan dasar pembubaran tersebut adalah

otoritas keagamaan, dan SKB Menteri Agama dan menteri dalam negeri No. 8 dan 9 tahun 2006

meskipun tidak bisa dijadikan landasan.

Terdapat 2 kesalahan yang terjadi dalam kegiatan KKR beserta pembubaran acaranya. Pihak

KKR meiliki kesalahan teknis koordinasi yang melewati batas waktu kesepakatan, sedangkan

pihak KKR memiliki kesalahan fundamental berupa upaya pelanggaran UU ormas yang menebar

rasa permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan dan pelanggaran HAM berupa

pelaksanaan kegiatan ibadah tiap tiap warga negara.

Solusi jangka pendek konflik ini adalah mediasi untuk memindahkan lokasi KKR. Solusi

jangka menenggah adalah meminta PAS meminta maaf atas tindakan intoleransinya. Dalam

jangka panjang, pada sisi regulasi stake holder perlu membuat regulasi untuk menegakkan sanksi

bagi ormas yang melanggar UU ormas. Adapun pada sisi sosiologis, pemerintah beserta semua

ormas kegamaan untuk mengadakan dialog intensif sehingga terjalin kesaling pengertian

mengenai perbedaan pemahaman keagamaan dan menjunjung toleransi dan kenyataan pluralitas

keagamaan.

(12)

Daftar Pusataka

Armada, R. 2000. Agama Kekerasan; Membongkar Ekslusifisme. Malang: DIOMA-STFT

Widyasasana.

Dirdjosantjoto, P. 1999. Memelihara umat; Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa. Yogyakarta :

LKiS.

Goodman, George Ritzer-Douglas J. 2 0 0 5 . Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana

Mathari, R. (2012). Reportase Konflik Syiah Sampang Madura.

Maliki. (2004). Narasi Agung; Tiga Teori Sosial Hegemonik. Surabaya: Lembaga Pengkajian

Agama Pada Masyarakat [LPAM].

Sholeh, A. K. ( 2004). “Kekerasan Religius”. Psiko Islamika; Jurnal Psikologi dan Keislaman, Volume 1 No.2, hlm. 122-124.

Susan, Novri. 2009. Sosiologi Konflik: Isu-Isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Weber, Max. 2002. Sosiologi Agama, (Alih Bahasa Muha mma d Yamin). Yogyakarta: IRCiSoD

Wibisono, M Yusuf. Kekerasan dan Pluralisme dalam Islam. Kalam: Jurnal Studi Agama dan

Pemikiran Islam, Vol 9 No. 2, Desember 2015

Situs Berita:

https://babe.news/amp/read/11101234/praktik-kebebasan-beragama-di-jabar-buruk-akibat-perkembangan-kelompok-intoleran/

http://icrp-online.org/2014/12/30/jawa-barat-pertahankan-posisi-wahid-intoleransi-se-indonesia/

http://www.beritasatu.com/nasional/403272-kronologi-pembubaran-kebaktian-kkr-natal-pendeta-stephen-tong-di-bandung.html

http://www.rappler.com/indonesia/berita/154853-kronologi-pembubaran-kebaktian-natal-sabuga-bandung

http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2016/12/07/ini-10-pernyataan-ridwan-kamil-soal-pembubaran-kkr-natal-2016-di-sabuga, diakses pada 31Mei 2016, pukul 17.00 wib

www.rappler.com,

Referensi

Dokumen terkait

Hubungan kausal yang sungguh-sungguh ada antara keadaan iklim dengan kemungklinan-kemungkinan untuk pendayagunaan tanah (Terutama yang menyangkut pembudidayaan tanaman tertentu)

Kondisi optimum untuk pertumbuhan semai adalah bila ditanam pada kandungan air tanah 75%, sedangkan pada kandungan air tanah 50% mulai terjadi penurunan

Tujuan dari penggunaan metafora dalam lirik lagu yang terdapat pada album Tsugi no Ashiato adalah untuk memberikan nilai estetika dan memberikan bayangan dan pengandaian

Implementasi pendidikan ramah anak dalam pembentukan karakter siswa kelas rendah telah diimplementasikan SD Muhammadiyah Program Khusus Kotta Barat dengan melaksanakan

a) Ulama Mutaqaddimin berpendapat bahwa semua istilah hukum dalam tajwid adalah berakibat syar’i, berpahala bagi yang melaksanakan dan berdosa bagi yang melakukan

Alhamdulillahirobbil'alamin, penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT,karenaberkatridho-Nya jualahpenulisdapatmenyelesaikanpenyusunan Laporan Akhir ini

Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Nanga Beloh. Suatu pertemuan yang indah karena Roh Kudus berkerja sehingga Temenggung Jandir, Tiba dan orang-orang Mualang itu percaya

program doing teaching practice as a teacher in a real school for all. EESP students to take after completing a number of