• Tidak ada hasil yang ditemukan

menggagas sebuah konsentrasi dalam pelan (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "menggagas sebuah konsentrasi dalam pelan (1)"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

DIMENSI BARU KRIMINALISASI PELANGGARAN

LALU LINTAS

Oleh

Baryanto

Nip . 19761231 200212 1005 Hakim pengadilan negeri wates

Masih terpampang di depan mata bagaimana Satuan Lalu lintas Polri mempampangkan baliho berisi foto orang yang sedang naik sepeda motor dan tangan kirinya membawa Handphone/ telepon selular. Foto ini disertai kalimat “jangan ditiru !” ini”. Baliho yang ditunjukkan di setiap perempatan jalan tersebut tentu mengandung suatu pengharapan, yakni agar pengguna jalan tidak kehilangan konsentrasinya pada saat mengemudikan kendaraan. Namun hal ini selalu disepelekan dan akhirnya berdampak negatif karena hilangnya konsentrasi. Angka kecelakaan lalu lintas yang tercatat di kepolisian cenderung menempatkan kelalaian pengendara/ pengemudi pada ranking yang paling tinggi. Penulis melihat bahwa hal ini adalah sesuatu yang harus ditelaah lebih lanjut agar hukum tidak menjadi barang mati yang mengalami disfungsi dalam tugasnya menciptakan perlindungan terhadap masyarakat.

Pasal 283 Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan berbunyi “Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

(2)

Mengemudikan kendaraan dengan wajar secara harfiah adalah umumnya sebuah pergerakan kendaraan dimana pergerakan tersebut normal dan tidak membingungkan, serta tidak mengganggu pergerakan lalu lintas secara umum dan pengguna jalan lain secara khusus. sedangkan Frase “penuh konsentrasi” adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan

sehingga mempengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan.

Pasal 283 jika dikaitkan dengan Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, maka terdapat suatu keterkaitan hukum/

rechtsverhouden dimana konsentrasi pada saat mengemudikan kendaraan bermotor adalah suatu keharusan dan vital agar tidak terjadi kecelakaan yang tidak perlu terjadi.

Namun demikian jika ditelaah secara mendalam bahwa sebetulnya banyak sekali faktor–faktor yang mempengaruhi konsentrasi pengemudi, misalnya : merokok, memperdengarkan sound system secara keras, membaca koran, minum minuman keras dan obat-obatan, dll. Di beberapa negara yang ketat dalam berlalu lintas, seperti Amerika Serikat dan Belanda telah mengkriminalisasi beberapa perbuatan yang menjurus pada hilangnya konsentrasi saat mengemudi. Contoh konkrit adalah perbuatan “merokok”, apabila merokok dilakukan saat mengemudi, maka perbuatan tersebut sudah termasuk sebagai tindak pidana lalu lintas, karena pada saat merokok maka akan terjadi penurunan tingkat konsentrasi dan berimbas pada turunnya optimalisasi fungsional kedua tangan pengemudi saat mengemudikan kendaraan.

Kita masih ingat pada era tahun 1980-an, pada saat kita naik bis kota terdapat tulisan “dilarang bicara dengan sopir”. Kalimat ini secara tidak langsung mengingatkan kita agar tidak melakukan pembicaraan dengan sopir saat mengemudikan kendaraan dimana ada kekhawatiran akan menurunkan konsentrasi si sopir. Sebetulnya secara sosiologis filosofis

(3)

Menurut perspektif ilmu pidana, Pasal 283 adalah pasal yang masuk dalam kategori

Wetdelict/ pelanggaran. Artinya Pasal ini memandang bahwa seorang pengemudi yang mengemudikan kendaraan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain yang mengganggu konsentrasinya adalah suatu pelanggaran. Di Inggris pelanggaran sering disebut sebagai

Misdemeanors (less – serious crime).

Konsekuensi yuridis dari sebuah pelanggaran adalah tingkat pemidanaannya jauh lebih ringan dari Kejahatan/Rechtdelict, karena pelanggaran dipandang sebagai perbuatan yang secara materiil hanya melanggar pasal-pasal pidana dan unsur sifat melawan hukumnya/ wederrechtelijk hanya bersifat formil semata.

Pelanggaran/wetdelict yang dilakukan oleh seorang manusia bisa saja berubah menjadi kejahatan / rechtdelict apabila perbuatan yang dilakukan secara norma adalah jahat (normly doing wrong). Contoh konkritnya ialah : si A adalah pengemudi sedang menerima telepon dari si B, sedangkan saat itu si A sedang mengemudikan kendaraan, hal ini menjadikan si A tidak konsentrasi dan akhirnya mengakibatkan kecelakaan dan merenggut nyawa orang lain dan akhirnya meninggal. Berdasarkan hal tersebut, maka perbuatan si A telah berubah dari kategori pelanggaran menjadi kategori kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat(3) dan ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009.

Perubahan kategori dari pelanggaran menjadi kejahatan secara ilmu pidana adalah suatu fenomena potret perilaku tidak hati-hatinya manusia, namun demikian fenomena ini mengakibatkan social cost tinggi dimana tingkat kecelakaan lalu lintas secara kuantitas akan naik tajam dan tidak tercontrol, beban kepolisian makin meningkat karena harus senantiasa menghimbau para pengguna jalan untuk tetap waspada dan konsentrasi, rumah sakit harus menyiapkan ruangan khusus untuk penanganan kecelakaan lalu lintas, belum lagi stok darah yang diperlukan harus tetap terjaga, dan lain sebagainya.

(4)

Sejak diundangkannya UULAJ pada tanggal 22 juni 2009, maka Undang-Undang Nomor 22 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan telah berlaku secara menyeluruh menjadi payung hukum dari semua lalu lintas dan angkutan jalan di Indonesia. Pembuat undang-undang telah menciptakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap perilaku manusia yang sebetulnya adalah suatu kewajaran, namun perbuatan tersebut menjadi tidak wajar karena bersifat kriminogen dan membahayakan orang lain manakala perilaku tersebut terjadi atau dilakukan pada saat orang itu mengemudikan kendaraan bermotor.

Dari perspektif Politik Hukum Pidana atau sering disebut sebagai Kebijakan Hukum Pidana, perbuatan menerima telepon, menonton video di dalam mobil, ngantuk, letih yang bisa menurunkan konsentrasi pengemudi adalah suatu hal yang bisa saja terjadi pada setiap pengemudi. Penulis memandang bahwa perlu penambahan beberapa perilaku “penghilang” konsentrasi untuk di kriminalisasi. Politik hukum yang diemban adalah bagaimana menciptakan perlindungan bagi pengendara maupun pengguna jalan dari sifat sembrono / teledor dan lalai yang ada pada pengendara/ pengemudi.

Adapun perilaku “penghilang” konsentrasi misalnya “merokok” saat mengemudi juga layak dikriminalisasi. Hal ini lebih dikarenakan pada optimalisasi fungsional tangan dimana tangan yang satu memegang rokok namun demikian tangan yang lain memegang kemudi. Pada posisi itu, seorang pengemudi akan terpecah konsentrasinya. Oleh karena itu sifat tercela dari perbuatan itu perlu dikriminalisasi secara jelas tanpa mengabaikan sisi lain dari hukum pidana dan faktor humanisme dari manusia.

Kriminalisasi terhadap perilaku merokok bukanlah semata-mata dengan pembuatan undang-undang yang dilakukan secara yuridis normatif dan sistemik dogmatik, namun demikian kriminalisasi tersebut juga perlu dilakukan dengan cara pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional secara luas.

(5)

sebagai Primum Remedium/ dikedepankan. Asas Precision Principle yakni Ketentuan pidana harus disusun secara tepat dan teliti menggambarkan suatu tindak pidana secara jelas. Perumusan hukum pidana yang bersifat samar dan umum harus dihindari agar tidak bias dalam interpretasinya.

Adapun asas ketiga adalah Clearness Principle yakni bahwa tindakan yang dikriminalisasi harus digambarkan secara jelas dalam ketentuan hukum pidana. asas yang keempat adalah Principle of Differentiation yakni bahwa harus jelas perbedaan yang satu dengan lainnya. Menghindarkan diri dari perumusan yang bersifat global / terlalu luas,

multipurpose atau all embracing.

Asas kelima dari kriminalisasi adalah Principle of intent yakni tindakan yang dikriminalisasi harus dengan kesengajaan/ dolus/ intention, sedangkan untuk tindakan lalai/

culpa/ negligence harus dinyatakan dengan syarat khusus untuk memberikan pembenaran dari kriminalisasinya. Asas yang terakhir adalah Principle of victim Application bahwa Penyelesaian perkara pidana harus memperhatikan permintaan atau kehendak korban. Dalam hal ini kepentingan korban harus diatur dalam rangka pidana dan pemidanaan.

Jadi menurut menurut penulis bahwa Pasal 283 UU Nomor 22 Tahun 2009 adalah pasal yang perlu diperluas dengan mengkriminalisasi perilaku – perilaku manusia yang mengganggu konsentrasi pengemudi saat mengemudikan kendaraan. Hal ini penting dilakukan agar pengemudi dapat menghindari kegiatan-kegiatan selain mengemudi dengan penuh konsentrasi.

Kaitannya dengan beban tugas polisi lalu lintas agar tidak terjadi Over Belasting

(menumpuknya beban kerja), bahwa dengan disebutkan secara lugas dan jelas dalam Undang Undang Lalu lintas, maka diharapkan polisi lalu lintas dapat seobyektif mungkin dalam menginterpretasi, sehingga tidak ada Interpretatie dwaling atau salah interpretasi terhadap perilaku mana yang dilarang oleh undang undang.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa persepsi atas harga ber- pengaruh nyata negatif terhadap permintaan sayuran segar di Alpha Supermarket Semarang,

Hasil pengamatan peneliti selama di Fisip Umada, dapat dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan kepada mahasiswa dalam rangka proses belajar mengajar sudah sesuai

The conclusions of the study can be summarised as follows: the "locational" aspect alone (no added symbols) of picture designs appears to be unhelpful in direct- ing

Maka definisi konsepsioanl dari penelitian ini adalah kinerja pegawai SAMSAT dalam pemberian pelayanan publik pada kantor SAMSAT Pembantu Samarinda Seberang dimana

sosiologi, siswa, dan guru teman sejawat variasi gaya mengajar guru dalam meningkatkan minat belajar siswa sudah cukup baik, hal ini terbukti dari hasil tiga kali

Penelitian Iskandar dan Setyanto (1996) di Lembah Anai hanya mendapatkan 14 jenis dari 5 famili, sedangkan Iskandar dan Prasetyo (1996) di Pulau Pini hanya

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui pengaruh economic valueadded, profitabilitas, leverage, dan earning per share terhadap return sahampada perusahaan oil &

Berdasarkan hasil implementasi sistem pengukuran kinerja dengan SMART System di Fakultas Teknik disimpulkan, Key Performance Indicator (KPI) yang telah mencapai