• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majelis Taklim Perempuan Transformasi Ot

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Majelis Taklim Perempuan Transformasi Ot"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MAJELIS TAKLIM PEREMPUAN, TRANSFORMASI OTORITAS, DAN PERUBAHAN SOSIAL DI MASYARAKAT

Women Islamic Prayer Groups, Transformation of Authority, and Social Change in Society

Khaerul Umam Noer1

Abstrak

Majelis taklim perempuan adalah institusi pendidikan bagi perempuan yang membuka diri tanpa melihat batasan kelas, usia, maupun etnisitas. Majelis taklim perempuan adalah area perebutan kekuasaan, antara kiai, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) dan negara di satu sisi, dengan para jamaah dan ustazah di sisi lainnya. Tulisan ini memfokuskan pada bagaimana majelis taklim perempuan berjuang untuk memperoleh kemerdekaannya, mengambilalih otoritas tafsir, dan mendorong perubahan struktur sosial keagamaan di masyarakat. Dengan melihat bagaimana konteks periode tahun 1990an hingga tahun 2004, tulisan ini akan menjelaskan bagaimana keruntuhan Orde Baru pada tahun 1998 membawa titik balik dalam majelis taklim perempuan. Tulisan ini akan menjawab dua hal penting: Pertama, bagaimana majelis taklim perempuan bergerak untuk memperoleh kebebasannya dari kekuasaan kiai, DKM, dan negara? Kedua, apa implikasi dari gerakan tersebut di masyarakat dan bagaimana gerakan tersebut menjadi pemicu bagi perubahan sosial di masyarakat? Kedua pertanyaan tersebut menjadi sangat krusial dalam melihat bagaimana majelis taklim perempuan mampu bertindak sebagai aktor yang berperan aktif dalam perubahan sosial. Dengan mengambil latar di tiga kecamatan di wilayah Kabupaten Bekasi, tulisan ini diharapkan akan membuka perspektif baru, bahwa majelis taklim perempuan – yang selama ini terabaikan dalam diskursus ilmu sosial – memiliki peran penting dalam perubahan sosial yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Kata kunci: majelis taklim perempuan, ustazah, kiai, transformasi otoritas, perubahan sosial

Women Islamic prayer groups are educational institutions for women who open themselves regardless of class boundaries, age, or ethnicity. It is the area of struggle, between kiai, Mosques Prosperity Council (DKM) and the state on one side, with the members of women Islamic prayer groups and ustazah on the other. This paper focuses on the struggle of women Islamic prayer groups to gain the independence, to take over the authority of interpretation, and to encourage social changes in society. By looking the context of the period of the 1990s to 2004, this paper will explain how the collapse of the New Order in 1998 brought a turning point in women Islamic

1

▸ Baca selengkapnya: sk majelis taklim word

(2)

prayer groups. This paper will answer two important questions: First, how women Islamic prayer groups gain their freedom from the power of kiai, DKM, and the state? Second, what are the implications of their movement in society and how this movement became the trigger for social change? Both of these questions is crucial in seeing how women Islamic prayer groups act as an actor who played an active role in social change. By taking a background in three districts in the Regency of Bekasi, this paper will open up new perspectives, that women Islamic prayer groups - who have been neglected in social science discourse - has an important role in social change.

Keywords: women Islamic prayer groups, ustazah, kiai, tranformation of authority, social change

Pendahuluan

Penelitian mengenai pengajaran dan penafsiran agama Islam di masyarakat seringkali menjustifikasi kiai sebagai sosok satu-satunya yang memiliki hak otoritatif terhadap pengajaran dan penafsiran agama (Burhanudin 2003, Turmudi 2004). Di sisi yang berbeda, pembahasan mengenai sosok tersebut seringkali melupakan persoalan perempuan didalamnya. Perempuan seringkali tidak memiliki peran dalam proses pengajaran dan penafsiran agama Islam di masyarakat (Agustina dan Marcoes-Natsir 2002, Dzuhayatin 2003). Hal ini merupakan simplifikasi atas persoalan yang

sesungguhnya terjadi. Dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki satu wadah khusus yang turut membantu dalam proses pengajaran dan pelembagaan agama Islam

di masyarakat, dalam hal ini majelis taklim perempuan2 (Weix 1998, Arimbi 2004, Noer 2009a, Noer 2009b). Tulisan ini memfokuskan pada pergerakan majelis taklim perempuan untuk mandiri dari kekuasaan kiai, Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), dan negara; bagaimana gerakan tersebut mendorong perubahan sosial di masyarakat, dan menjadikan para ustazah sebagai elite agama baru di masyarakat.

2

Secara etimologis, majelis taklim berarti “lembaga atau organisasi sebagai wadah pengajian”,

“sidang pengajian” dan “tempat pengajian” (KBBI, 2005:699). Ensiklopedi Islam (1994 3:120)

mendefinisikan majelis taklim sebagai tempat untuk melaksanakan pengajaran atau pengajian agama Islam. Majelis taklim juga dapat didefinisikan sebagai tempat pengajaran dan/atau pengajian bagi orang-orang yang ingin mendalami ajaran agama Islam. Kementerian Agama mendefinisikan

majelis taklim sebagai “...salah satu lembaga pendidikan diniyah non formal yang bertujuan

meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT dan akhlak mulia bagi jemaahnya,

▸ Baca selengkapnya: contoh sk majelis taklim dari kepala desa

(3)

Tulisan ini akan mencoba menjawab dua pertanyaan mendasar: Pertama, apa yang mendorong majelis taklim perempuan bergerak? Bagaimana majelis taklim perempuan bergerak untuk memperoleh kebebasannya dari kekuasaan kiai, DKM, dan negara? Kedua, apa implikasi dari gerakan tersebut di masyarakat? Bagaimana gerakan tersebut menjadi motor bagi perubahan sosial di masyarakat? Hal ini krusial

untuk dilakukan, mengingat belum ada penelitian yang secara signifikan memberikan gambaran yang utuh mengenai dinamika majelis taklim perempuan dan bagaimana

majelis taklim perempuan – melalui para ustazah – menjadi motor penggerak perubahan sosial di masyarakat.

Secara khusus perlu dijelaskan, bahwa tulisan ini akan difokuskan pada periode tahun 1990an hingga tahun 2004. Pembagian waktu tersebut ke dalam tiga periode: 1990an-1994 sebagai periode awal bibit perubahan, 1994-1998 sebagai periode interaksi dan negosiasi, dan periode 1998-2004 sebagai periode gesekan dan perubahan struktur sosial. Sebagaimana akan dijelaskan, periode 1994 sampai 2004 adalah masa masa-masa penting dalam masyarakat tempat penelitian ini dilakukan, karena majelis taklim perempuan berhasil keluar dari cengekeraman kiai, musala dan/atau DKM, dan negara di satu sisi; serta mendorong perubahan sosial dan sukses menempatkan para ustazah dalam struktur sosial di masyarakat di sisi lainnya.

Penelitian ini dilakukan pada Mei 2008 hingga Mei 2009, dan mengambil lokasi di 21 majelis taklim perempuan yang tersebar di tiga kecamatan di Kabupaten Bekasi, yakni Babelan, Tarumajaya, dan Tambun Utara. Penelitian ini

mempergunakan metode etnografi, dengan melakukan wawancara pada 38 informan yang terdiri atas pimpinan majelis taklim, pimpinan musala dan/atau DKM, pendiri

(4)

Tulisan ini akan dibagi dalam tiga bagian: bagian pertama merupakan bibit perubahan, terletak pada era 1990an hingga tahun 1994, ketika para ustazah mulai muncul dalam peta sosial keagamaan dan ketika pemerintah mulai menginvasi majelis taklim perempuan untuk mendorong program-programnya. Bagian kedua adalah masa negosiasi, yakni pada tahun 1994-1998, dimulai dengan kelahiran

organisasi Rusydatul Ummah, sebuah organisasi yang mewadahi tidak kurang dari dua ratus majelis taklim perempuan, dan bagaimana para ustazah mempergunakan

Rusydatul Ummah untuk melakukan negosiasi terhadap – saya menyebutnya sebagai – triumvirat kekuasaan: kiai, musala dan/atau DKM, dan pemerintah. Bagian ketiga adalah perubahan sosial, yakni pada tahun 1998-2004, difokuskan pada bagaimana runtuhnya Orde Baru berdampak pada lepasnya majelis taklim perempuan dari cengkeraman kiai dan dewan kemakmuran masjid, dan bagaimana implikasinya dalam perubahan sosial di masyarakat.

Menyemai bibit perubahan: kemunculan para ustazah

Sulit untuk menyatakan dengan pasti sejak kapan perubahan sosial di masyarakat yang menjadi fokus penelitian berlangsung, namun saya dapat memulai pada dua peristiwa yang terjadi pada medio 1990an, yaitu kemunculan para perempuan terdidik dalam peta sosial keagamaan di masyarakat – merekalah para ustazah, dan kebijakan pemerintah untuk menggalakkan program Pembinaan Keluarga Berencana atau PKK. Kedua peristiwa tersebut adalah dua sisi dari koin

yang sama, di mana keduanya bermuara pada satu hal yang sama: majelis taklim perempuan.

Kemunculan para ustazah dalam peta sosial keagamaan tidak dapat dipisahkan dari berdirinya Madrasah Albaqiyatussalihat pada tahun 1964.3 Ketika angkatan awal dari madrasah ini lulus pada tahun 1970, KH. Noer Alie memerintahkan para alumninya untuk melanjutkan pendidikan mereka di universitas Islam, khususnya di Timur Tengah. Medio 1980an, adalah masa ketika para alumni ini menamatkan

3

(5)

pendidikan mereka dan kembali ke masyarakat. Kehadiran para alumni dari menamatkan pendidikan mereka, baik di Timur Tengah maupun di dalam negeri, membuka awal perubahan: karena Madrasah Albaqiyatussalihat jelas tidak mungkin menampung mereka seluruhnya sebagai tenaga pengajar, maka KH. Noer Alie memutuskan untuk menempatkan mereka di majelis taklim prempuan dan

menjadikan majelis taklim perempuan menjadi majelis taklim yang mandiri.

Pada awalnya hanya satu majelis taklim perempuan di wilayah Ujungharapan,

yakni majelis taklim yang dilaksanakan di Masjid Albaqiyatussalihat setiap hari minggu, sedangkan di luar itu majelis taklim dilaksanakan secara bersama-sama. Meskipun dikatakan terbuka untuk laki-laki dan perempuan, namun jamaah yang lebih banyak adalah jamaah laki-laki, karena pada waktu itu majelis taklim dilaksanakan setelah salat zuhur di berbagai musala yang ada di wilayah ini. Melihat adanya kebutuhan untuk menyelenggarakan kegiatan majelis taklim khusus bagi perempuan, maka dimulailah pemisahan dengan penjadwalan waktu taklim yang berbeda, majelis taklim bagi kaum ibu pada siang hari, sedangkan majelis taklim bagi kaum bapak pada malam hari. Persoalan mengenai siapa yang mengajar juga terselesaikan, yakni dengan meminta para alumni yang tidak terserap di Madrasah Albaqiyatussalihat untuk mengajar di majelis taklim perempuan yang ada di setiap musala.

Keputusan untuk memisahkan kegiatan taklim bagi laki-laki dan perempuan membawa efek lanjutan, yakni dengan munculnya elite agama baru di masyarakat.

Jika sebelumnya hanya dikenal kiai dan ustaz – yang memang merujuk pada jenis kelamin laki-laki, maka lahirlah ustazah. Kelahiran para ustazah sebagai elite agama

baru di masyarakat berhutang besar pada KH. Noer Alie yang tidak hanya memfasilitasi, namun juga mendorong keberadaan mereka. Meskipun demikian, ada dua hal krusial yang pada saat itu belum dimiliki oleh para ustazah: hak untuk memutuskan materi yang akan diajarkan dan hak untuk memutuskan kitab apa yang akan dipergunakan. Kedua domain ini masih dipegang sepenuhnya oleh KH. Noer Alie melalui Dewan Masjid Attaqwa.

(6)

perempuan melalui program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga atau PKK, dalam hal ini adalah konstruksi perempuan ideal di mana perempuan dikonstruksikan sebagai istri dan ibu, atau lebih populer disebut sebagai konsep ibuisme negara (Djajadiningrat-Nieuwenhuis 1992, Suryakusuma 2004). Persoalannya adalah, jika di wilayah lain organisasi PKK dapat menjangkau hingga ke tingkat desa, maka di

wilayah Ujungharapan, PKK dapat tidak dapat berjalan baik karena konsep RT/RW gagal dikembangkan di wilayah ini. Kegagalan ini bersumber karena masyarakat

Ujungharapan tidak mengenal RT/RW, melainkan musala sebagai basis pencatatan administratif maupun pembagian wilayah tempat tinggal. Di sinilah letak menariknya, karena majelis taklim perempuan justru menyediakan solusi atas kebuntuan persoalan tersebut.4

Majelis taklim perempuan yang tersebar di seluruh musala menjadikan majelis taklim perempuan sebagai medium paling ideal dalam mendekati perempuan, dan hal ini disadari betul oleh perangkat desa. Instrumentasi negara atas majelis taklim perempuan menjadi sangat krusial untuk dilakukan, utamanya untuk menyebarkan program-program PKK di masyarakat, dan untuk melakukan hal itu, maka pihak pertama yang harus didekati adalah Dewan Masjid Attaqwa (DMA) yang membawahi seluruh musala yang ada di Ujungharapan. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada tahun 1991 adalah titik balik, ketika Bupati Bekasi meminta kesediaan dari DMA untuk mensukseskan program-program pemerintah di masyarakat dengan memanfaatkan jaringan musala dan majelis taklim yang ada dibawahnya, dan hal ini

dilakukan dengan munculnya instruksi DMA kepada seluruh musala dan majelis

4

(7)

taklim untuk mendukung program pemerintah, utamanya di bidang keluarga berencana dan PKK (Noer 2009a).

Persoalan ini menarik, sebab meskipun pada tahun 1991 hampir semua majelis taklim perempuan sudah diajar oleh para ustazah, namun tidak ada satupun di antara para ustazah itu yang memegang peran kunci dalam majelis taklim, utamanya

dalam penentuan bahan ajar maupun kegiatan taklim. Di sisi lain, hingga tahun 1994, tidak ada majelis taklim perempuan yang betul-betul mandiri secara organisasi dan

pendanaan. Seluruh majelis taklim perempuan masih sangat bergantung pada musala, dan seluruh keputusan pimpinan musala menjadi keputusan yang harus dipatuhi oleh majelis taklim perempuan. Akibatnya, kondisi ini mempermudah instrumentasi negara atas majelis taklim perempuan. Pada akhir tahun 1991, DMA mengeluarkan edaran yang menginstruksikan seluruh musala untuk melakukan perubahan bahan ajar dan materi ajar di majelis taklim perempuan, dari sebelumnya dibebaskan tanpa pengawasan, yaitu: Pertama, seluruh materi ajar di majelis taklim perempuan menjadi seragam yakni hanya pada masalah ibadah dan tauhid. Kedua, dipergunakannya kitab

Uqudul Lujayn5 sebagai satu-satunya kitab yang membahas mengenai kehidupan berumahtangga.

Setidaknya terdapat tiga implikasi serius dari keputusan DMA, yaitu:

Pertama, keputusan DMA untuk hanya memfokuskan pada masalah ibadah dan tauhid berimplikasi dengan tidak diajarkan materi-materi tafsir Al Quran, hadis, dan fikih (hukum Islam) yang berada di luar domain ibadah. Kedua, karena hanya kitab

Uqudul Lujayn yang dirujuk ketika membahas mengenai relasi suami-istri dalam rumahtangga, maka seluruh bahan di luar itu tidak boleh diajarkan. Ketiga, dan ini

lebih krusial, keputusan itu membuat majelis taklim perempuan secara langsung menjadi bagian dari corong negara dalam pelaksanaan program-program yang berkaitan dengan perempuan. Majelis taklim perempuan menjadi medium bagi pemerintah untuk mendukung program-program, mulai dari Keluarga Berencana hingga konstruksi atas perempuan ideal dalam versi pemerintah. Gambaran ini

5

(8)

semakin diperkuat dengan dipergunakannya kitab yang mendukung penggambaran perempuan sebagai istri salehah yang selalu patuh pada perintah suami dan ibu yang baik bagi anak-anaknya.

Resistensi muncul di kalangan majelis taklim, utamanya dengan dihapuskannya materi tafsir, hadis dan fikih, yang hanya difokuskan pada masalah

ibadah dan tauhid, juga dengan dipergunakannya kitab Uqudul Lujayn sebagai rujukan utama dalam materi akhlak, namun resistensi ini terbentur pada satu

persoalan mendasar, bahwa majelis taklim perempuan terikat sepenuhnya pada musala dan DMA. Konsekuensi logis dari hal ini adalah ketidakmampuan majelis taklim perempuan untuk melakukan negosiasi dengan pihak musala dan DMA, terutama dengan dipergunakannya majelis taklim perempuan sebagai alat kampanye negara dalam menginformasikan dan mengimplementasikan program-programnya. Penguasaan majelis taklim perempuan oleh negara yang dilakukan melalui tangan DMA merupakan bibit awal dari sebuah perubahan besar yang mengubah peta sosial keagamaan masyarakat, dan bibit itu mencapai momentumnya pada tahun 1994 dengan berdirinya Rusydatul Ummah.

Negosiasi: Rusydatul Ummah, ustazah, dan DKM

Pada Februari 1994, Korps Ikatan Keluarga Abituren Attaqwa Putri (KORIKAAWATI) mengadakan seminar dakwah bagi para lulusannya yang merupakan ustazah di berbagai majelis taklim. Salah satu persoalan yang menjadi

titik utama pembicaraan adalah keresahan dari berbagai majelis taklim perempuan, di mana mereka bertindak sebagai guru dalam majelis taklim tersebut, akan tekanan dari

(9)

Rusydatul Ummah atau Forum Komunikasi Dakwah Antarmajelis Taklim adalah organisasi yang menaungi seluruh majelis taklim perempuan di wilayah Kabupaten Bekasi (Babelan, Tarumajaya, Bekasi Utara, Tambun Utara, Cikarang), Kota Bekasi dan Jakarta Timur. Pada saat berdirinya pada tahun 1994, tercatat tidak kurang dari 264 majelis taklim yang bernaung di bawah Rusydatul Ummah. Meski

dalam rumusannya Rusydatul Ummah bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan peran majelis taklim perempuan di masyarakat, namun salah satu faktor yang paling

krusial tidak lepas dari keresahan dan kekecewaan para ustazah terkait dengan pengambilalihan majelis taklim perempuan oleh DKM dan DMA tempat berbagai majelis taklim perempuan bernaung. Dengan berdirinya Rusydatul Ummah sebagai organisasi induk, maka seluruh majelis taklim perempuan yang semula terpencar-pencar berkumpul menjadi satu.

Kemunculan Rusydatul Ummah sebagai organisasi induk membawa perubahan dalam peta relasi antara majelis taklim perempuan dan DKM/DMA, salah satunya adalah dua instruksi Rusydatul Ummah kepada seluruh anggota majelis taklim perempuan – dalam peringatan milad satu tahun Rusydatul Ummah pada peringatan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad di Pondok Pesantren Attaqwa Putri pada tahun 1995 – untuk mandiri secara organisasi dan ekonomi. Kemandirian organisasi majelis taklim perempuan menjadi titik awal perubahan di majelis taklim perempuan. Ketika instruksi ini dimunculkan, baru sebagian majelis taklim perempuan yang dipimpin oleh perempuan, sedangkan sebagian lainnya masih dipegang oleh pimpinan

musala atau ketua DKM. Instruksi ini ditanggapi beragam oleh majelis taklim perempuan, khususnya yang masih dipimpin oleh pimpinan musala atau ketua DKM,

mengingat sebagian dari majelis taklim perempuan masih sangat bergantung pada musala dan/atau DKM, sehingga keputusan untuk menentukan siapa yang menjadi pimpinan majelis taklim perempuan masih menjadi domain dari pimpinan musala dan/atau ketua DKM.

(10)

Hal ini tidak lepas dari keberadaan majelis taklim perempuan yang memang mengambil tempat di masjid dan/atau musala dan mempergunakan fasilitas yang telah ada, sehingga keuangan di majelis taklim perempuan praktis hanya untuk kegiatan taklim, bahkan beberapa majelis taklim perempuan menggantungkan sepenuhnya keuangannya dari kas DKM untuk biaya taklim. Menyadari bahwa posisi rentan

majelis taklim perempuan terletak pada keuangan, maka Rusydatul Ummah mendorong seluruh anggotanya untuk mandiri secara ekonomi dengan cara

menggalakkan pengumpulan infak anggotanya untuk keperluan taklim masing-masing.

Selama ini dana untuk penyelenggaraan taklim tidak pernah dipertimbangkan secara serius, sebab kegiatan majelis taklim perempuan dapat dipastikan mempergunakan fasilitas masjid atau musala dan seluruh acaranya diisi oleh jamaah taklim – kecuali ustazah, sehingga biaya untuk menyelenggarakan taklim praktis hanya untuk honorarium ustazah yang bersangkutan. Di sisi yang berbeda, sebagian besar musala tempat majelis taklim perempuan bernaung memang melarang bagi taklim untuk mengumpulkan dan mengatur keuangan internal, sebab secara organisasi, majelis taklim perempuan berada di bawa struktur musala. Instruksi ini ditanggapi dengan serius oleh majelis taklim perempuan, sebab hal ini akan membuka jalan bagi majelis taklim perempuan untuk mengatur rumahtangganya sendiri dan terlepas dari ketergantungan dengan masjid atau musala.

Terdapat dua implikasi penting dari terkumpulnya infak ini, yaitu: Pertama,

untuk kali pertama majelis taklim perempuan menikmati kebebasan untuk mengatur uang yang mereka miliki. Kedua, dengan adanya uang kas internal taklim, maka

(11)

secara organisasi adalah untuk memisahkan kekuasaan musala dan/atau DKM dari majelis taklim perempuan, dan hal ini tercapai dengan banyaknya laporan tentang pergantian pucuk pimpinan majelis taklim perempuan.

Setelah sukses memisahkan kekuasaan musala dan/atau DKM dari majelis taklim perempuan, dan dengan kemandirian ekonomi yang dimiliki majelis taklim

perempuan, pada ulang tahun ketiga Rusydatul Ummah tahun 1997, Rusydatul Ummah kembali mengeluarkan seruannya: mendirikan majelis taklim yang terpisah

dari musala dan/atau masjid. Seruan ini boleh jadi seruan yang memicu pergerakan besar-besaran dari majelis taklim perempuan. Jika sebelumnya majelis taklim perempuan sepenuhnya bergantung pada musala dan/atau DKM, kemudian secara perlahan-lahan mencapai kemandirian secara ekonomi yang berimplikasi pada suksesnya memisahkan kekuasaan musala dan/atau DKM dari majelis taklim, maka seruan mendirikan tempat khusus untuk kegiatan majelis taklim perempuan menjadi penanda utama dari kemandirian majelis taklim perempuan.

Tempat taklim bukan hanya sekedar tempat untuk melaksanakan kegiatan majelis taklim, namun menjadi titik balik dari hubungan antara majelis taklim perempuan dan para ustazah di satu sisi dengan pimpinan musala dan/atau DKM di sisi lain. Dengan berdirinya tempat taklim yang terpisah dari musala dan masjid, meski masih dalam komplek yang sama, maka majelis taklim perempuan menunjukkan bahwa mereka memiliki otonomi untuk mengatur rumah tangganya sendiri ketika berhubungan dengan pimpinan musala dan/atau DKM. Hal ini menarik,

sebab gerak majelis taklim perempuan berbeda dengan majelis taklim laki-laki. Jika majelis taklim perempuan menuntut pemisahan tempat taklim dari bangunan musala

atau masjid, majelis taklim laki-laki justru memilih untuk menyelenggarakan kegiatan taklim di dalam musala atau di rumah penduduk. Bangunan tempat taklim sepenuhnya menjadi milik bagi majelis taklim perempuan.

(12)

pokok yang dinegosiasikan, yaitu: (1) pemilihan ustazah, (2) pemilihan materi taklim, (3) pemilihan waktu pelaksanaan taklim, (4) pelaksanaan kegiatan rutin, (5) pelaksanaan kegiatan keagamaan, dan (6) pelaksanaan kegiatan nonkeagamaan yang diselenggarakan oleh majelis taklim. Di samping keenam masalah tersebut, memang ada masalah lain yang juga dibahas, yakni mengenai penggantian formatur majelis

taklim, namun karena kekuasaan majelis taklim perempuan sudah terpisah dari musala dan/atau DKM, maka pihak musala dan/atau DKM tidak dapat turut campur.

Di antara enam poin negosiasi antara majelis taklim perempuan dan ketua musala dan/atau DKM, poin pertama dan kedua adalah persoalan yang paling krusial. Seluruh informan penelitian misalnya, menggambarkan bagaimana resistensi ketua musala dan/atau DKM terkait dua poin di atas, yakni pada pemilihan ustazah dan materi taklim. Dalam perspektif ketua musala dan/atau DKM, sebagaimana telah terjadi bertahun lampau, pemilihan ustazah dan materi taklim adalah otoritas mereka sepenuhnya, sehingga permohonan majelis taklim perempuan untuk mengangkat ustazah adalah permintaan yang di luar kewenangan mereka. Dari perspektif majelis taklim perempuan, permintaan untuk mengangkat ustazah dan menentukan materi taklim adalah hal yang wajar karena secara faktual merekalah yang belajar, sehingga mereka menganggap diri mereka lebih tahu apa yang mereka butuhkan.

Negosiasi ini menghasilkan keputusan yang menarik. Dari dua belas majelis taklim yang menjadi subjek penelitian, seluruhnya menghasilkan kesepakatan yang sama: pembagian waktu belajar di taklim. Pembagian waktu belajar di majelis taklim

perempuan adalah hal yang menarik, sebab pada saat itu, umumnya kegiatan majelis taklim perempuan dilaksanakan setiap dua minggu sekali. Dengan pembagian waktu

(13)

Solusi ini semakin menarik, sebab secara tidak langsung mendorong para jamaah untuk semakin intens bertemu setiap minggunya, dan intensitas ini juga berpengaruh pada mobilisasi infak yang dikumpulkan oleh pimpinan majelis taklim. Hal ini agaknya terlambat disadari oleh para ketua musala dan/atau DKM, terutama dengan semakin banyaknya kegiatan keagamaan di luar kegiatan rutin taklim yang

tidak lagi bergantung pada kas musala dan/atau DKM. Perlahan majelis taklim perempuan memiliki kas yang terpisah, yang seringkali – sebagaimana diakui oleh para pimpinan taklim dan ketua musala – lebih besar dari kas musala dan/atau masjid. Persoalan lain yang juga tidak dipertimbangkan dari keputusan untuk membagi waktu taklim adalah kesulitan bagi para ketua musala dan/atau DKM untuk melaksanakan instruksi dari pihak DMA dan pemerintah untuk mengendalikan majelis taklim perempuan.

Jika sebelumnya majelis taklim perempuan sepenuhnya berada di bawah kendali musala dan/atau DKM, baik secara finansial maupun otoritas pengajaran, maka dengan semakin mandirinya majelis taklim perempuan, maka semakin sulit bagi musala dan/atau DKM untuk melakukan pengawasan terhadap majelis taklim perempuan. Konsekuensi lanjutannya adalah kesulitan yang dihadapi untuk melakukan instrumentasi majelis taklim perempuan untuk kepentingan negara. Hal ini dikarenakan majelis taklim perempuan memiliki dua waktu pengajaran, di mana salah satunya adalah kewenangan internal majelis taklim sebagai akibat dari negosiasi mereka, sehingga hanya pada waktu taklim di mana mereka belajar dengan guru dan

materi yang telah ditentukan oleh ketua musala dan/atau DKM saja majelis taklim perempuan tunduk pada kemauan ketua musala dan/atau DKM, sedangkan pada

(14)

sebetulnya tidak mereka inginkan; namun di sisi lain mereka memiliki hak untuk belajar apa yang dilarang untuk mereka.

Dinamika majelis taklim perempuan sejatinya membawa satu implikasi serius yang tidak pernah dipertimbangkan oleh ketua musala dan/atau DKM ketika memberikan hak bagi majelis taklim perempuan untuk mengatur rumahtangganya

sendiri, yaitu semakin kuatnya posisi ustazah dalam majelis taklim perempuan. Peran dan posisi ustazah tidak pernah sekuat saat ini jika majelis taklim perempuan masih

belum memiliki otonominya yang dimulai dengan pemisahan kekuasaan antara majelis taklim perempuan dan pimpinan musala dan/atau DKM. Adalah fakta yang tidak dapat disangkal, bahwa gerak majelis taklim perempuan turut pula membuka ruang gerak bagi ustazah. Dalam hal ini, antara ustazah dan majelis taklim perempuan seperti dua sisi dari koin yang sama. Satu sama lain saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain. Majelis taklim perempuan membutuhkan ustazah untuk memberikan pengetahuan bagi mereka, pengetahuan yang sebelumnya dikekang sepenuhnya oleh negara melalui kekuasaan ketua musala dan/atau DKM. Sedangkan ustazah membutuhkan majelis taklim perempuan untuk memperoleh posisi mereka dalam peta sosial keagamaan di masyarakat. Hubungan ini semakin menguat ketika dua peristiwa terjadi di tahun 1998, yaitu jatuhnya Soeharto dan seruan untuk memisahkan diri dari musala dan/atau DKM.

Keruntuhan dominasi negara dan kebangkitan majelis taklim perempuan

Hingga medio 1998, hubungan antara ustazah dan majelis taklim perempuan di satu sisi dengan kiai, negara dan ketua musala dan/atau DKM di sisi lainnya selalu

(15)

Dalam hal ini, penting untuk memahami bagaimana hubungan simbiotik antara pemerintah dan kiai (serta DKM atau DMA). Pemerintah membutuhkan pengaruh kiai untuk mengontrol sepenuhnya apa yang diajarkan dalam majelis taklim, terutama majelis taklim perempuan, dalam hal ini pemerintah menjadikan majelis taklim perempuan sebagai medium instrumentasi dalam menyebarluaskan dan

mensukseskan program-program pemerintah, utamanya program Keluarga Berencana dan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga yang tidak mungkin dijalankan oleh RT/RW.

Sebagai timbal-balik, maka pemerintah memberikan posisi-posisi tertentu dalam Majelis Ulama Indonesia tingkat Kabupaten/Kota sekaligus memberikan jaminan bahwa seluruh program DKM dan DMA akan selalu didukung oleh pemerintah. Hubungan simbiotik ini mempersyaratkan satu hal, yaitu bahwa majelis taklim perempuan harus selalu berada di bawah kendali dan pengawasan musala dan/atau DKM.

Kendali ini pernah mengalami guncangan dengan lahirnya organisasi Rusydatul Ummah pada tahun 1994 dan negosiasi yang seakan tanpa akhir hingga medio 1998, namun guncangan tersebut tidaklah membuat majelis taklim perempuan terbebas sepenuhnya dari kendali dan pengawasan musala dan/atau DKM. Adalah turunnya Soeharto dari tampuk kepemimpinan Presiden RI pada Mei 1998 yang mengubah peta sosial keagamaan di masyarakat. Gelombang pertama dari keruntuhan Orde Baru langsung terasa hingga di tingkat supra desa, terutama dengan mandegnya berbagai program pemerintah di tingkat kecamatan. Gelombang ini berdampak pada

tingkat desa, di mana pada saat itu hampir semua aparatus negara di tingkat desa mengalami kemandegan. Kekhawatiran penggantian tampuk kepemimpinan di tingkat

Kabupaten/Kota menyebabkan kekhawatiran yang sama menyebar hingga tingkat desa. Di beberapa wilayah, kekhawatiran ini terbukti dengan dicopotnya beberapa camat dan kepala desa di desa-desa tetangga menyebabkan hampir seluruh aktivitas pemerintahan desa lumpuh. Meski kelumpuhan tidak terjadi di desa-desa tempat penelitian ini dilakukan, namun tidak pelak hal ini membuat roda pemerintahan di tingkat desa terganggu.

(16)

atas DMA dan DKM maupun dukungan oleh pemerintah kepada DMA dan DKM dalam menyelenggarakan aktivitas-aktivitas sosial dan keagamaan. Pada bulan Juni 1998, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang biasanya dipenuhi oleh para pejabat mulai dari tingkat desa hingga Kabupaten/Kota mendadak sepi. Nyaris tidak ada satupun aparatus desa yang hadir dalam acara tersebut. Hal yang sama juga

dirasakan di hampir seluruh masjid yang menyelenggarakan acara yang sama. Ketidakhadiran para pejabat ini berdampak langsung pada penyelenggaraan acara,

sebab pada umumnya untuk menyelenggarakan acara yang besar seperti ini membutuhkan dana yang besar, dan dana tersebut umumnya berasal dari bantuan pemerintah Kabupaten/Kota.

Di sisi yang berbeda, keruntuhan Orde Baru tidak hanya menyebabkan gelombang di tingkat pemerintah desa, namun juga pada masjid-masjid dan juga para organisasi-organisasi keagamaan, termasuk majelis taklim. Jika selama ini pemerintah daerah sering mengalokasikan bantuan dana untuk penyelenggaraan kegiatan keagamaan, baik yang bersifat rutin maupun aksidental – meski jumlahnya tidak besar – namun rupanya cukup menolong keberlangsungan dari masjid dan/atau musala. Pasca Mei 1998, seluruh bantuan tersebut praktis tidak dapat lagi dinikmati. Jika sebelumnya kebutuhan musala dan/atau masjid dapat tertutupi melalui bantuan-bantuan, maka pihak musala dan/atau masjid harus menggantungkan sepenuhnya pada upaya swadaya agar seluruh kegiatan dapat berjalan. Dalam hal ini, majelis taklim perempuan adalah sasaran tembak yang paling memungkinkan.

Pada saat itu majelis taklim perempuan telah menikmati kemandirian finansial, sebab mereka sukses mengumpulkan dana infak yang dikumpulkan setiap

(17)

tentu saja hal ini karena kas yang dimiliki oleh majelis taklim perempuan acapkali lebih besar dari kas yang dimiliki oleh musala dan/atau DKM.

Pergeseran peran ini dinikmati betul oleh majelis taklim perempuan, dan hal ini diakui sepenuhnya oleh para ustazah maupun para pimpinan majelis taklim perempuan, yang menggambarkan masa-masa tersebut sebagai masa ketika “babu berubah menjadi majikan” (Noer 2008:148). Peran majelis taklim perempuan sebagai bendahara musala dan/atau DKM semakin menguat dan mencapai momentumnya

pada perayaan Milad keempat Rusydatul Ummah yang jatuh pada 14 Nopember 1998. Dalam milad tersebut, Rusydatul Ummah sukses membuktikan bahwa seluruh pendanaan berasal dari swadaya ibu-ibu majelis taklim tanpa sepeserpun bantuan dari pemerintah. Isu inilah yang kemudian bergulir kencang sepanjang acara tersebut, bahwa majelis taklim perempuan harus memanfaatkan momentum kelemahan musala dan/atau DKM dengan menjadikan majelis taklim perempuan sebagai organisasi otonom yang berhak untuk mengatur diri mereka sendiri dalam segala aspeknya.

Seruan ini merupakan titik balik terpenting dalam relasi kuasa antara majelis taklim perempuan dan para ustazah di satu sisi, dengan pihak DKM dan kiai di sisi lainnya. Jika sebelumnya ada tangan pemerintah di sana yang mengatur bagaimana gerak dan laju majelis taklim perempuan, maka dengan runtuhnya dominasi pemerintah, maka majelis taklim perempuan menuntut apa yang selama ini mereka inginkan, yaitu penolakan untuk belajar materi-materi yang selama ini “diwajibkan” oleh negara. Selama ini majelis taklim perempuan “dipaksa” untuk mempelajari materi-materi seperti akhlak dalam rumahtangga, rukun Islam dan rukun iman, maupun sifat-sifat Allah. Materi-materi yang nyaris tidak menyentuh persoalan

perempuan yang mereka rasakan setiap hari. Materi-materi seperti fikih (kecuali fikih ibadah), tafsir dan hadis pada awalnya tidak dapat dipelajari, namun setelah proses negosiasi dapat diajarkan, itupun ditentukan materi dasarnya oleh pihak musala dan/atau DKM. Dengan posisi yang semakin kuat di hadapan musala dan/atau DKM, majelis taklim perempuan menuntut kemerdekaan untuk menentukan sendiri apa yang akan mereka pelajari dan dengan siapa mereka akan belajar.

(18)

perempuan didorong untuk mempelajari agama Islam langsung dari sumbernya, yakni Al Quran dan hadis. Seruan inilah yang mendorong terjadi eskalasi gesekan antara majelis taklim perempuan dan para ustazah di satu sisi dengan pihak musala dan/atau DKM dan kiai di sisi lainnya. Gesekan ini tidak terhindarkan, terlebih ketika majelis taklim perempuan perlahan memulai perlawanan terbuka terhadap dominasi musala

dan/atau DKM tempat mereka selama ini bernaung.

Gesekan ini dimulai dari terlemparnya para ustaz dari majelis taklim

perempuan. Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa salah satu hasil negosiasi antara majelis taklim perempuan dengan pihak musala dan/atau DKM adalah pembagian waktu taklim, di mana majelis taklim perempuan akan mempelajari dua materi dari dua guru yang berbeda. Satu materi dan guru adalah pilihan dari pihak musala dan/atau DKM, sedangkan satu materi dan guru lainnya adalah pilihan dari internal majelis taklim perempuan sendiri. Hal ini berlangsung ketika majelis taklim perempuan masih berada di bawah dominasi dari pihak musala dan/atau DKM, namun dengan berubahnya posisi tersebut, maka majelis taklim perempuan mulai melakukan perubahan dalam pengajaran, mereka menolak untuk diajar oleh para ustaz. Tuntutan ini menarik, sebab alasan mereka bukan karena mereka tidak mengakui keilmuan ustaz yang mengajar, melainkan karena mereka beranggapan bahwa keberadaan ustaz dalam struktur pengajaran di majelis taklim perempuan adalah bentuk subordinasi dari pihak musala dan/atau DKM. Ustaz dipandang sebagai aparatus dan perpanjangantangan dari musala dan/atau DKM, sehingga penolakan

terhadap ustaz merupakan langkah awal perlawanan terhadap kekuasaan musala dan/atau DKM.

(19)

ustaz dan kiai. Dua entitas ini sejatinya memang telah ada sejak awal, namun posisi majelis taklim perempuan yang secara eksklusif “milik” perempuan adalah sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Majelis taklim perempuan menjadi satu-satunya wadah yang mengikat seluruh perempuan kedalamnya, dan majelis taklim perempuan semakin menguat seiring dengan semakin mapannya mereka dalam mengatur

rumahtangga mereka sendiri.

Merebut kuasa tafsir: Perempuan dan perubahan sosial

Semakin kuatnya majelis taklim perempuan membawa tiga implikasi penting yang menyebabkan berubahnya struktur sosial keagamaan di masyarakat, yaitu: Pertama, hilangnya posisi kiai di majelis taklim perempuan; kedua, pengambilalihan otoritas pengajaran dan penafsiran ajaran agama dari para kiai dan ustaz ke tangan ustazah; dan ketiga, semakin mapannya posisi ustazah dengan menjadikan diri mereka sebagai elite agama baru di masyarakat. Ketiga konsekuensi ini muncul dan saling terkait satu dengan lainnya, dan mencapai momentumnya pada milad kesepuluh Rusydatul Ummah pada tahun 2004.

Adalah penting untuk mengingat, bahwa tiga pilar dasar yang selama ini menghimpit majelis taklim perempuan: kiai, musala dan/atau DKM, dan negara mengalami guncangan hebat pasca 1998. Guncangan ini dimulai dari runtuhnya kuasa negara yang merasuk pada instrumentasi kiai dan musala dan/atau DKM untuk kepentingan negara. Meski demikian, masih terdapat dua kaki lainnya, kiai dan

musala dan/atau DKM, namun sayangnya, satu kaki utama – yakni musala dan/atau DKM pun mengalami keterpurukan. Di tengah keterpurukan musala dan/atau DKM

dalam mengelola keuangan yang berdampak pada semakin merdekanya majelis taklim perempuan dari kendali dan pengawasan mereka, mendorong perubahan besar-besaran dalam struktur sosial keagamaan di masyarakat.

(20)

muncul sebagai pemenang. Berbeda dengan majelis taklim laki-laki yang gagal menarik massa – sebab majelis taklim laki-laki tidak secara rutin dilaksanakan, pelaksanaan taklim yang rutin membuat majelis taklim perempuan lebih unggul dalam mengkonsolidasikan internal mereka. Semakin kuatnya posisi majelis taklim perempuan pun telah memakan korban para ustaz. Namun ustaz bukanlah

satu-satunya korban, kemandirian majelis taklim menuntut lebih, yaitu hilangnya posisi kiai di majelis taklim perempuan.6

Salah satu efek terbesar dari kemandirian majelis taklim perempuan terhadap kiai adalah semakin berkurangnya peran dan posisi kiai di dalam musala dan/atau DKM. Berkurangnya peran dan posisi ini karena banyak musala dan/atau DKM yang mengurangi porsi kegiatan mereka karena keterbatasan dana yang mereka miliki. Dengan keterbatasan yang ada, musala dan/atau DKM tidak lagi memiliki kemewahan untuk mengundang kiai, akibatnya mereka mengurangi kegiatan atau lebih memilih ustaz ketimbang kiai. Salah satu penjelasan paling logis terletak pada faktor biaya, di mana bayaran untuk seorang ustaz seringkali lebih kecil ketimbang bayaran mengundang kiai. Karena itulah peran kiai berkurang di di tingkat musala dan/atau DKM, akibatnya, banyak kiai yang kemudian mengalihkan pengajaran mereka bukan lagi di tingkat musala dan/atau DKM, melainkan langsung di majelis taklim laki-laki yang diselenggarakan di rumah-rumah penduduk.

Di sisi yang berbeda, semakin berkurangnya peran dan posisi kiai di musala dan/atau DKM juga sangat terasa di majelis taklim perempuan. Jika sebelumnya kiai

sangat dominan di musala dan/atau DKM, termasuk dalam otoritas kiai adalah menentukan ustaz siapa – yang biasanya merupakan muridnya – untuk mengajar dan kitab apa yang akan dipelajari. Maka dengan hilangnya posisi ustaz dalam mengajar di majelis taklim perempuan, maka semakin berkurang pula pengaruh kiai dalam majelis taklim perempuan. Dalam hal ini majelis taklim perempuan berubah menjadi organisasi yang sepenuhnya diisi dan dikendalikan oleh perempuan. Tujuan pembelajaran di majelis taklim perempuan pun berubah, dari semula mempelajari apa

6

(21)

yang direstui oleh kiai dan musala dan/atau DKM – yang dalam banyak hal merupakan pesanan dari pihak pemerintah untuk mensosialisasikan kebijakan pemerintah melalui majelis taklim perempuan – menjadi wahana belajar untuk kepentingan anggota majelis taklim itu sendiri.

Dalam hal ini terjadi pergeseran besar-besaran dalam sistem pengajaran di

majelis taklim perempuan. Bahwa untuk kali pertama, majelis taklim perempuan menentukan sendiri apa yang hendak mereka pelajari dan dengan siapa mereka

belajar. Jika sebelumnya mereka harus selalu mengikuti atau bernegosiasi dengan pihak musala dan/atau DKM, maka kini majelis taklim perempuan memikmati kebebasan sepenuhnya untuk mengambil keputusan. Memontum ini dimanfaatkan oleh majelis taklim perempuan dengan mengadakan perombakan besar-besaran dalam materi ajar mereka. Sepanjang tahun 1999-2001, tercatat empat kitab hilang dari majelis taklim perempuan: Adabul Insan, Uqudul Lujayn, Irsyadul Anam, dan Babul Minan. Dari empat kitab ini, hanya Uqudul Lujayn yang benar-benar hilang – dalam artian tidak lagi dipelajari, sedangkan materi lainnya tetap ada hanya berganti kitab yang dipergunakan.

Hilangnya kitab Uqudul Lujayn dari bahan ajar di majelis taklim perempuan menarik untuk diperhatikan. Adalah Majelis Taklim Attaqwa Pusat (MTAP) – induk dari majelis taklim perempuan yang ada di Ujungharapan – yang pertama kali memerintahkan seluruh majelis taklim yang ada di bawahnya untuk menghapus kitab tersebut dari bahan ajar taklim pada medio tahun 2000. Instruksi ini muncul,

sebagiannya karena beberapa taklim di bawah MTAP sudah menyelesaikan kitab tersebut,7 dan sebagian lainnya karena para ustazah menolak untuk meneruskan

mengajar. Dengan munculnya resistensi di kalangan ustazah, akhirnya Pimpinan MTAP memutuskan untuk “meminta” para pimpinan taklim untuk mengganti kitab Uqudul Lujayn dengan kitab lain. Langkah ini mendapat dukungan dari berbagai majelis taklim yang ada di sekitar wilayah Ujungharapan. Meski Rusydatul Ummah tidak pernah secara resmi melarang penggunaan kitab Uqudul Lujayn, namun

7

(22)

perlahan hampir semua majelis taklim di bawah Rusydatul Ummah mengganti kitab tersebut, baik dengan alasan bahwa kitab tersebut sudah selesai dipelajari maupun karena kesepakatan bersama antara pihak taklim dengan ustazah. Tidak diketahui dengan pasti tahun berapa kitab Uqudul Lujayn benar-benar hilang, namun Majelis Taklim Al Ihsan adalah majelis taklim terakhir – yang menjadi subjek penelitian – yang mempelajari kitab tersebut pada akhir tahun 2001.

Terkait dengan penolakan para ustazah, hal ini disebabkan karena konten dari

kitab tersebut yang memberikan ruang yang amat terbatas bagi istri dalam kaitannya dengan relasi suami-istri dalam rumahtangga (Noer 2009a). Secara konten, kitab Uqudul Lujayn difokuskan pada relasi dalam rumahtangga yang lebih menekankan pada kewajiban istri, baik untuk melayani suami maupun menjaga harga diri dan martabat keluarga. Di sisi yang berbeda, menarik pula untuk diperhatikan, bahwa periode tahun 2000 adalah masa di mana kebutuhan untuk menggali ajaran Islam langsung dari sumbernya mencapai titik puncaknya. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya majelis taklim yang mempergunakan kitab tafsir, hadis maupun fikih sebagai kitab yang mereka pelajari. Hilangnya kitab Uqudul Lujayn agaknya tidak terpisahkan dari penolakan para ustazah di satu sisi dan permintaan dari jamaah di sisi lain.

Selain hilangnya empat materi tersebut, perubahan mendasar lainnya adalah munculnya enam kitab yang dipelajari: Tafsir Jalalain, Hidayatus Salikin, Al Azkar,

Bulughul Maram, At Targhib wat Tarhib, dan At Tibyan. Apa yang sesungguhnya terjadi di majelis taklim perempuan adalah perubahan besar dalam materi ajar, dalam hal ini adalah hilangnya kitab-kitab yang memiliki muatan yang bias gender dalam

sistem pengajaran di majelis taklim perempuan. Selain itu, ada indikasi lain jika dilihat dari kemunculan kitan-kitab yang dipelajari, yakni adanya keinginan dari majelis taklim perempuan untuk lebih serius mempelajari tafsir, hadis dan fikih ketimbang pada masa-masa sebelumnya yang lebih banyak berfokus pada masalah akhlak dalam rumah tangga.

(23)

sebelumnya hak untuk membaca, menterjemahkan, menginterpretasikan, dan mengajarkan adalah domain para kiai – yang notabene laki-laki, namun kini domain tersebut diambilalih oleh para ustazah – yang notabene perempuan. Para ustazah ini merebut domain yang selama ini dimiliki sepenuhnya oleh kiai dan ustaz. Untuk kali pertama dalam struktur sosial keagamaan, ustazah memiliki hak yang sama untuk

menafsirkan ajaran agama Islam melalui kitab yang mereka ajarkan di majelis taklim perempuan.

Perebutan otoritas ini menarik, terlebih karena perebutan ini memunculkan friksi, terutama pada tahun 1999-2002, di mana banyak ustaz dan kiai memprotes pilihan majelis taklim perempuan untuk mempelajari tafsir dan hadis melalui mimbar-mimbar pengajian di majelis taklim laki-laki dan mimbar-mimbar-mimbar-mimbar salat Jumat, namun pilihan tersebut tidak berubah. Apalagi kritik yang sama juga disampaikan oleh pihak musala dan/atau DKM, beberapa bahkan mengirimkan surat resmi kepada pihak pimpinan majelis taklim perempuan untuk meninjau ulang pilihan mereka. Alih-alih mengubah pikiran, majelis taklim perempuan justru semakin intens dalam belajar. Hal ini semakin diperkuat oleh Rusydatul Ummah yang mengadakan sejumlah seminar maupun pelatihan – seperti pelatihan memandikan jenazah, pelatihan fikih waris, maupun pelatihan badan amil zakat yang bekerja sama dengan Baznas – yang selama ini tidak pernah dipelajari oleh perempuan.

Di sisi lain, perebutan kuasa tafsir oleh para ustazah membawa satu implikasi penting lainnya, yaitu semakin mapannya posisi para ustazah sebagai elite agama

baru di masyarakat. Sebelumnya masyarakat hanya mengenal kiai dan ustaz, meski ustazah juga dikenal namun peran mereka hanya sebatas sebagai pengajar di Pondok

(24)

Penutup

Pada milad kesepuluh Rusydatul Ummah yang dilaksanakan tahun 2004, dalam sambutannya, Pimpinan Rusydatul Ummah memuji keberhasilan majelis taklim perempuan yang mampu mandiri dalam mengelola rumahtangga mereka bebas

dari campur tangan pihak lain – dalam hal ini negara, kiai, dan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Keberhasilan ini patut dirayakan dengan selebrasi besar, sebab

perjuangan untuk mencapai hal tersebut dilakukan selama bertahun-tahun tanpa mengenal lelah. Tentu saja kegembiraan ini bukanlah kegembiraan yang tanpa dasar. Perjuangan majelis taklim perempuan untuk mencapai kemandirian seutuhnya adalah perjuangan yang penuh resistensi, intimidasi, dan friksi yang tak terhindarkan.

Majelis taklim perempuan telah membuktikan kesungguhan dan ketangguhannya dalam menghadapi berbagai tekanan. Mulai dari bahan ajar, tenaga pengajar hingga topik yang diajarkan adalah perjuangan yang penuh negosiasi yang dilakukan oleh majelis taklim perempuan. Adalah keinginan untuk dapat mandiri dalam mengatur urusan rumahtangganya dan dalam menentukan topik dan ustazah yang akan mengajar yang mendorong seluruh gerak majelis taklim perempuan. Berdirinya Rusydatul Ummah pada hakikatnya adalah perwujudan dari keinginan tersebut. Runtuhnya Orde Baru hanyalah pemicu yang membuka perlawanan majelis taklim, dari semula dalam gerak sunyi menjadi perlawanan terbuka yang nyaris vulgar, perlawanan yang dimulai dari hal yang amat sederhana, uang infak dari dari

para anggotanya. Majelis taklim perempuan telah membuktikan bahwa kemandirian ekonomi dapat menjadi daya tawar tinggi terhadap kekuasaan kiai dan DKM yang

nyaris bangkrut karena runtuhnya sokongan negara pada seluruh kegiatan DKM.

(25)

Dalam konteks perubahan sosial, satu dekade adalah waktu amat singkat untuk menggoyang struktur sosial dan menjungkirbalikkan posisi kiai dan ustaz dalam peta sosial keagamaan dan membuat DKM bertekuk lutut. Satu dekade yang mengubah wajah masyarakat secara fundamental, bahwa para ustazah kini menempati posisi yang sama dengan kiai dan ustaz, dan memiliki hak untuk didengarkan suaranya oleh

pimpinan musala dan/atau DKM. Sebuah prestasi yang menunjukkan potensi sesungguhnya dari majelis taklim perempuan.

Terlepas dari apa yang telah saya dedahkan, saya harus mengakui bahwa tulisan ini memiliki sejumlah keterbatasan. Keputusan saya untuk memfokuskan pada majelis taklim perempuan misalnya, tidak melihat bagaimana perlawanan yang diberikan oleh para ustazah – secara individual – untuk memperoleh tempatnya, atau tidak melihat bagaimana majelis taklim perempuan tampil sebagai sebuah gerakan sosial. Saya hanya memberikan beberapa kata kunci yang mungkin dapat bermanfaat, namun karena kendala keterbatasan, maka saya memilih untuk tidak mengeksplorasi dengan lebih mendetail. Seluruh keterbatasan dalam kajian ini sepenuhnya adalah kekurangan saya, dan saya berharap kekurangan tersebut dapat ditutupi melalui kajian-kajian lanjutan di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Agustina, N. dan L. Marcoes-Natsir. 2002. “Gender” dalam T. Abdullah (et.al) (eds.) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Dinamika Masa Kini. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. Jilid 4. Hlm. 175-189

Arimbi, D.A. 2004. “When Private Becomes Public: The Case of Islamic Prayer Groups in Indonesia”, Mozaik 2(2):33-42

Burhanudin, J. (ed.). 2003. Transformasi Otoritas Keagamaan, Pengalaman Islam Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Djajadiningrat-Nieuwenhuis, M. 1992. “Ibuism and priyayization: Path to power?” dalam E. Locher-Scholten dan A. Niehof (eds.) Indonesian Women in Focus. Leiden: KITLV Press.

(26)

Forum Kajian Kitab Kuning. 2005. Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab Uqud Al-Lujayn. Jakarta: Kompas

Muhammad bin `Umar an Nawawi. 2000. ‘Uqud al Lujayn fī Bayāni Huquq az Zaujain. Jakarta:Dārul Ihya al Kutub al „Arabiyah

Noer, K.U. 2009a. Majelis Taklim Perempuan dan Transformasi Otoritas Keagamaan Dalam Perspektif Feminist Antropologi. Tesis Pascasarjana tidak dipublikasikan. Surabaya: FISIP Universitas Airlangga

__________. 2009b. “Ijtihad Politik Perempuan: Transformasi Peran Majelis Taklim Dalam Konstelasi Politik Lokal” dalam S.H. Sastriyani (ed.) Gender and Politics. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana. Hlm. 370-377

__________. 2014. Potret Perjalanan: Setengah Abad Pondok Pesantren Attaqwa Putri. Bekasi: Penerbit Pondok Pesantren Attaqwa Putri

Suryakusuma, J. 2004. “Seksualitas dalam Pengaturan Negara” dalam L. Hadiz (ed.) Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru, Pilihan Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES. Hlm. 354-377

Turmudi, E. 2004. Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan. Yogyakarta: LkiS

Referensi

Dokumen terkait

terimakasih karena sudah membuatku belajar untuk menjadi lebih dewasa dan bijak dalam melewati proses yang

Madrasah dapat dikatakan bermutu jika kedua komponen yaitu tenaga pengajar (guru) dan karyawan dapat bekerja sesuai dengan kompetensi dan professional yang

Fitaloka studio belum mengimplementasikan Standar Akuntansi Keuangan pada laporan keuangannya, dimana UMKM ini hanya mencatat kas masuk dan keluar yang sangat sederhana

107 Diagram 17.2 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Sekadau selama tahun 2016-2019...111 Diagram 18.2 Jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Penanaman

Jika terdapat informasi yang berkaitan tentang bahaya lain yang tidak memiliki klasifikasi tetapi dapat memberikan kontribusi pada bahaya keseluruhan dari bahan atau campuran,

Sedangkan tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui, mendeskripsikan, dan menganalisis sejauh mana peran Pemerintah Kabupaten Malang dalam meningkatkan

wallichii memiliki persentase hidup di lapangan relatif rendah dengan yaitu 63 %, akan tetapi jenis ini memiliki pertumbuhan diameter yang paling tinggi dari 10 jenis tanaman yang

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris pengaruh Corporate Governance terhadap Return on Assets melalui Konservatisme Akuntansi pada perusahaan