PEREMPUANKU SAYANG PEREMPUANKU MALANG
(Adat Belis Di NTT dan Tantangan Emansipasi Perempuan)*
OlehLuis Aman
I. Pendahuluan
Dalam satu kesempatan Kegiatan Belajar-Mengajar (KBM) di salah satu SMA Swasta di kota Maumere, penulis harus menengahi debat sengit siswa/i perihal adat belis dalam masyarakat lokal. Kelas terpecah menjadi dua kubu. Masing-masing kubu ‘mati-matian’ mempertahankan pendapatnya dengan argumentasi yang kokoh dan meyakinkan. Perdebatan itu tidak selesai. Sebagai “pendidik” pun, penulis tidak boleh ‘menyelesaikan’ perang argumentasi itu, sebab hanya dengan demikian pelajar dapat mendiskusikan perkara tersebut lebih lanjut.
Naluri intelektual siswa/i SMA memang amat peka menangkap kemelut sosial budaya yang ada dalam masyarakatnya. Ketika berbicara tentang relasi Hak Asasi Manusia (HAM) dan budaya lokal, mereka langsung menemukan banyak hal yang patut dipro-kontrakan. Terhadap adat belis pun siswa/i itu segera bersilang pendapat. Mereka tidak dapat menutup mata terhadap persoalan budaya yang sangat kasat mata. Idealisme orang-orang muda seperti ini tentu tak akan mudah menembus benteng kemapanan adat istiadat yang sudah lama merasuk dan memberi identitas khas bagi setiap kelompok masyarakat. Akan tetapi, adanya kesadaran intelektual dan sikap kritis terhadap budaya sendiri amat diperlukan ketika kita ingin memajukan kebudayaan kita ke arah yang lebih berkualitas, bermartabat dan lebih membebaskan.
II. Belis Secara Normatif
2.1 Pengertian dan Tujuan Belis
Belis atau mas kawin atau mahar adalah sejumlah uang, hewan, dan barang yang diberikan oleh pihak keluarga pengantin laki-laki kepada keluarga pengantin perempuan sebagai syarat pengesahan perkawinan.1 Pihak pengantin laki-laki mesti memberikan belis karena pengantin perempuan akan menjadi bagian dari suku atau klan mereka. Pengantin perempuan meninggalkan orangtuanya dan melepaskan keanggotaannya dalam suku orangtuanya untuk masuk menjadi bagian dari suku suaminya. Karena perpindahan suku ini, maka pihak pengantin laki-laki mesti membayar sejumlah hewan atau uang atau barang (gading, kain adat, peralatan dari emas dan lain-lain) kepada pihak keluarga pengantin perempuan. Tiap-tiap daerah di NTT memiliki bentuk belis yang bervariasi, mulai dari uang, hewan ternak, hingga barang-barang lain yang dianggap pantas untuk menghargai si anak perempuan. Di wilayah Lamaholot, Sikka, dan Lio, dikenal belis berupa gading gajah.2Di Sumba Barat, selain ternak (kuda, sapi, kerbau, dan lain-lain) juga terdapat belis berupa sejumlah uang, gading panjang (uma leles/ulu leles), tombak asli (nembu), pisau asli (teko), marapa(dari mas), tabelo(dari mas), tanghuru ndoka(cincin mas), dan talapia (gong asli).3 Dalam masyarakat Dawan, Timor, belis disebut dengan istilah puamnasi-manumnasi (sirih pinang untuk orangtua) atau oe mapatu ai malalo (air panas dan nyala api), maksudnya adalah imbalan jasa atas kecapaian, kesakitan dan jerih payah orangtua sejak melahirkan, mendidik dan membesarkan sang anak gadis hingga ia dewasa. Belis itu antara lain berupa uang perak, gelang perak, uang kertas, pakaian wanita untuk ibu, pakaian pria untuk ayah, lalu hewan ternah seperti sapi, dan lain-lain.4 Sementara di Manggarai, belis kini sering memakai hitungan rupiah. Hal ini dikarenakan persediaan hewan ternak (kuda, sapi, kambing, dan lain-lain) yang semakin menipis.
Apapun bentuknya, bagaimanapun cara pembayarannya dan seberapapun besarnya, belis pada hakikatnya bernilai simbolis. Yang diutamakan di dalamnya bukan besaran nominal uang, barang, dan hewan yang diberikan, melainkan interaksi kekeluargaan dan penghargaan timbal-balik antara pihak keluarga pengantin laki-laki dan pengantin perempuan serta keluhuran ikatan perkawinan antara kedua pengantin. Yang dipentingkan bukan mahal-murah atau besar-kecilnya
1Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Timur, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah
Nusa Tenggara Timur (Kupang: Dinas P dan K NTT, 2003), hlm. 57.
2Ibid. hlm. 58. Bdk. juga, Paulus Nong Susar, Belis Orang Koting sebagai Salah Satu Perwujudan
Martabat Manusia Menurut Pandangan Kristen(SKRIPSI) (Maumere: STFK Ledalero, 1989), hlm. 43-45, Bernardus Bala Miten, Pengaruh Kerasnya Adat Belis Masyarakat Tanah Boleng bagi Derajat Kaum Wanita
harga belis, melainkan cinta, kesediaan, ketulusan dan penghargaan yang diberikan masing-masing pengantin dan masing-masing pihak keluarga mereka terhadap satu sama lain, serta nilai mulia dan transendental dalam perkawinan itu.5
Perkawinan bukan hanya urusan dua orang pasangan. Ia adalah urusan keluarga besar (extended family). Sebab eksistensi seseorang adalah eksistensi sebagai bagian dari adat istiadat dan keluarga serta suku tertentu. Seorang manusia selalu lahir dan berada sebagai anggota suku atau klan tertentu. Orang mendapatkan identitas dirinya dengan menjadi bagian dari suku atau klan atau keluarga itu. Perkawinan pun bukan hanya mengikat relasi seseorang dengan pasangan hidupnya melainkan juga relasi antara keluarga dan suku atau klannya dengan keluarga, suku atau klan pasangan nikahnya.6 Dalam bahasa Sikka terdapat satu ungkapan yang sangat gamblang melukiskan kesatuan antara kedua keluarga pengantin itu, yakni, “Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar”,yang berarti “pertalian kekerabatan antara kedua belah pihak akan berlangsung terus-menerus dengan saling memberi dan menerima sampai kepada turun-temurun.”7 Belis menjadi simbol persatuan dua suku dan keluarga yang berbeda. Bukan hanya persatuan antara suami isteri melainkan juga antara dua keluarga besar, dua suku atau klan. Dengan serah terima belis, kedua suku dan keluarga resmi memiliki pertalian kekerabatan.
Simbol relasi kekerabatan ini semakin tampak dengan adanya pemberian balasan dari pihak pengantin perempuan kepada pihak pengantin laki-laki. Dalam masyarakat adat Lengkosambi-Riung misalnya, pihak perempuan membalas belis dengan wawi tunun (babi untuk dibunuh), wawi dhadhang (babi untuk dibawa), lipa dhowik (kai adat bunga) secukupnya, dhea (beras), nepe-lune (tikar bantal).8 Dalam adat Sikka, pihak perempuan pun membalas pemberian belis itu dengan memberikan kepada pihak laki-laki beberapa ekor babi, moke (tuak) beberapa puluh liter, dan sarung akan diberikan kepada semua pembawa belis, baju di dalam sarung serta kue adat, dan lain-lain.9Jadi terdapat pemberian timbal balik.
Selain simbol relasi suami-isteri dan pertalian kekerabatan suku atau keluarga, belis juga adalah simbol penghargaan terhadap nilai luhur perkawinan. Perkawinan mengalami institusionalisasi dan sakralisasi. Belis adalah salah satu
5Bdk. Isidorus Lilijawa, “Tu’a Kesa Wae Laki: Apresiasi Martabat Manusia dalam Simbolisasi Belis Masyarakat Lengkosambi-Riung” Vox, seri 47/3-4/2003 (Maumere: Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero), hlm. 158-161.
6Stanislaus Niron, Nilai Sosial dan Moral dalam Sistem Pembayaran Belis pada Masyarakat Balawelan (SKRIPSI) (Maumere: STFK Ledalero, 1989), hlm. 71, 72, 79.
7http://zipoer7.wordpress.com/2009/09/18/perkawinan-adat-masyarakat-sikka-di-provinsi-ntt/,
Diakses, 2 Mei 2010.
8Lilijawa, op. cit.,158.
tahap adat yang menunjukkan institusionalisasi dan sakralisasi perkawinan itu. Setelah perkawinan, seseorang akan mendapat status sosial yang baru, sebagai suami dan isteri serta sebagai ayah dan ibu. Perkawinan bukan semata-mata perihal relasi intim dan hidup berkeluarga seorang laki-laki dan seorang perempuan, melainkan juga menyangkut perubahan status seseorang secara sosial budaya dan secara individual. Keluarga adalah institusi yang dinilai berharga secara adat karena fungsi-fungsinya baik fungsi prokreatif, maupun fungsi regeneratif dan edukatif, serta sebagai komunitas dasar bagi komunitas suku. Perkawinan dan institusi keluarga pun memiliki unsur sakral. Keduanya bukan semata-mata urusan sosial manusiawi, melainkan juga sesuatu yang mesti dipertanggungjawabkan kepada yang transenden.10
Berbasis pada pemahaman tentang nilai simbolik belis ini, kita sampai pada titik simpul bahwa belis sebenarnya memiliki tujuan-tujuan tertentu yang dalam pandangan masyarakat tradisional NTT sangat tinggi nilainya. Tujuan-tujuan itu antara lain:Pertama, belis menjadi tanda bahwa perempuan tidak begitu saja masuk ke dalam suku suaminya. Perempuan mesti dihargai. Pihak lelaki mesti menyerahkan sejumlah uang, barang dan hewan untuk meresmikan masuknya sang perempuan ke suku mereka. Belis dalam hal ini bertujuan untuk menghargai martabat kaum perempuan. Perkawinan dan relasi kekerabatan berbasis pada pertukaran perempuan semacam ini. Dalam banyak kelompok masyarakat adat, bila belis belum dituntaskan, sementara keduanya sudah hidup berkeluarga, maka anak-anak yang dilahirkan pun belum layak masuk dalam klan sang suami. Mereka masih menjadi anggota suku ibunya. Kendati demikian, pembayaran belis tidak samasekali memutus rantai relasi sang isteri dengan suku asalnya.
Kedua, belis bertujuan menginstitusionalkan perkawinan dan menghindari seks di luar pernikahan. Tidak ada perkawinan tanpa belis. Relasi intim seorang perempuan dan seorang laki-laki hanya diizinkan secara sosial melalui perkawinan resmi. Dalam masyarakat Sikka, dikenal ungkapan yang terkenal menunjukkan hal ini, yakni:
Gou wua mai beta wain Memetik pinang melamar isteri bata taa mai heron men mengumpulkan sirih menyebut anak
Ungkapan ini kurang lebih berarti: “untuk memperoleh hak seksual atas isteri, seseorang harus melalui proses pembelisan yang diawali dengan upacara peminangan dengan membawa wua/pinang (simbol seksual lelaki) untuk bertemu dengan “taa”/sirih (simbol seksual perempuan) demi memperoleh keturunan.”11
10Miten, op. cit.,hlm. 128-130.
Ungkapan ini menegaskan ketakabsahan hubungan intim di luar nikah. Hubungan intim di luar nikah dianggap sebagai perbuatan tercela, yang dapat membawa malapetaka bagi seluruh seluruh warga kampung dan segenap anggota suku. Melakukannya berarti akan menerima hukuman adat, berupa denda-denda tertentu yang setimpal. Dalam masyarakat yang lebih primitif, orang yang melakukan hubungan intim di luar pernikahan bahkan bisa dikenakan hukuman mati.
Ketiga, belis bertujuan menghindari perceraian dan poligami. Dengan adanya acara serah terima belis, seorang laki-laki dan seorang perempuan dinyatakan sebagai suami isteri seumur hidup. Beban belis dapat menghindari perceraian dan poligami baik poligini (lebih dari satu isteri) maupun poliandri (lebih dari satu suami). Pola pikir masyarakat tradisional menempatkan belis sebagai bukti keterikatan hubungan sepasang pengantin. Mereka melihat belis sebagai ikatan nyata bagi ketakterpisahan dan ketunggalan relasi seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dengan adanya belis, seorang laki-laki merasa bahwa isterinya adalah bagian dari hidupnya seumur hidup. Laki-laki akan merasakan besarnya pengorbanan ketika mesti menikahi istrinya. Demikian pun sebaliknya, perempuan akan menginsyafi bahwa laki-laki yang menjadi suaminya telah mengorbankan sesuatu untuk dapat hidup bersama sepanjang usia hidupnya.12
Dengan adanya tuntutan belis pun, orang tidak terlalu gampang menikahi lebih dari satu isteri atau suami. Dalam masyarakat tradisional NTT, poligami (terutama poligini) memang hal yang lazim. Pengaruh Katolik dan Kristen Protestan perlahan-lahan melenyapkan budaya poligami ini. Kendati demikian, belis sebenarnya secara tidak langsung sudah menjadi mekanisme adat untuk menekan angka poligami. Tak mengherankan bila (dalam masyarakat tradisional), lelaki yang poligini umumnya berasal dari kaum bangsawan atau pemilik tanah, yakni kaum yang memiliki banyak tanah, hewan serta harta kekayaan lainnya.
2.2 Produk Budaya Patriarkat
Masyarakat adat Belu Selatan, Ngadha dan Tana Ai (Sikka) adalah tiga kelompok masyarakat adat di NTT yang menganut paham matriarkat. Selain itu, masyarakat NTT, sebagaimana kebanyakan masyarakat di dunia, berada dalam lingkaran kultur patriarkat. Adat belis merupakan anak kandung kultur patriarkat ini. Berikut akan diuraikan pemahaman tentang budaya patriarkat. Namun pertama-tama akan dijelaskan pemahaman tentang arti budaya secara umum.
Secara etimologis, kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk plural dari kata budhi yang berarti ‘budi’ atau ‘akal’. Di sini
kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal budi dan karya-karya akal budi manusia.13 Kata ini juga memiliki padanan arti dengan kata Latin cultura yang dalam bahasa Inggris menjadi culture. Menurut Wilhem Wundt, kata culture berasal dari kata colere yang berarti mengolah, memelihara dan mengembangkan. Dari kata ini kita memperoleh istilah cultus deorum(ibadat kepada dewa-dewa) dan cultus agriyang kemudian menjadi cultus cultura(mengolah tanah), juga cultura mentis (pengolahan budi). Dengan demikian, arti pertama kata cultura adalah aktivitas manusia mengolah diri (colit seipsum) demi pengembangan secara utuh kemanusiaannya. Manusia mengembangkan potensi akal budinya dan mengaktualkan potensinya itu melalui dan di dalam kebudayaan.14
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan hasil daya cipta manusia yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kebiasaan apa saja yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.15 Dari pengertian ini terlihat bahwa kebudayaan pada dasarnya adalah ekspresi seluruh diri manusia, baik akal, rasa, maupun karsa. Kebudayaan dilihat sebagai hasil cipta (pikiran), rasa dan karsa (kehendak) manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan cipta, manusia mengembangkan kemampuan alam pikirnya, yang membentuk ilmu pengetahuan. Dengan rasa manusia menghasilkan karya-karya seni atau kesenian. Lalu dengan karsa manusia menghendaki kesempurnaan hidup, kemuliaan dan kebahagiaan, sehingga berkembanglah kehidupan keagamaan dan kesusilaan.16
Sementara kata patriarkat berasal dari kata Latin, pater yang berarti “bapak” (kaum lelaki) dan arche yang berarti kuasa atau kekuasaan. Secara etimologis patriarikat berarti “hak bapak atau kekuasaan bapak.” Kekuasaan kaum bapak dominan, dan posisi kaum perempuan subordinan.17
Budaya patriarkat adalah pola pikir, sistem dan tata budaya serta kebiasaan yang menempatkan laki-laki sebagai kaum yang dominan atau kaum yang mengebawahi kaum perempuan. Semua orang menggolongkan diriya dalam suku ayah atau lelaki. Bukan ke dalam suku ibu. Ayah atau lelaki menjadi kepala keluarga dan memiliki kuasa penuh terhadap isteri dan anak-anaknya. Dalam budaya yang lebih primitif, dominasi laki-laki itu bahkan sampai pada anggapan bahwa lelaki
13Pengertian Kebudayaan, http://www.e-dukasi.net/modul_online/MO_56/sej103_04.htm, diakses
21 Februari 2007.
14Frans Ceunfin, Filsafat Budaya(ms) (Maumere: STFK Ledalero, ), hlm. 14. 15Ibid., hlm. 16.
16Pengertian Kebudayaan, loc. cit.
adalah tuan atas perempuan. Kecenderungan yang menganggap laki-laki sebagai tuan dan penguasa ini disebut kiriosentrisme.18
Struktur budaya patriarkat menempatkan perempuan sebagai makhluk yang seakan nomor dua secara kodrati. Perempuan dianggap sebagai makhluk lemah, tak berdaya, halus, lembut, peka, pasrah, emosional, dan oleh karena itu mesti dilindungi. Sementara laki-laki adalah manusia kuat, berani, gagah perkasa, rasional, dan mesti melindungi perempuan. Pandangan semacam ini tertanam kuat dalam pikiran setiap manusia berabad-abad lamanya, sehingga dianggap sebagai sesuatu yang natural dan tak terpersoalkan. Sejatinya anggapan dan pembedaan semacam adalah konstruksi budaya. Pembedaan inilah yang orang sebut sebagai pembedaan gender, yakni pembedaan laki-laki dan perempuan oleh konstruksi sosial budaya serta pola relasi yang diakibatkan oleh pembedaan itu.19
Adat belis adalah buah dari rahim konstruksi budaya semacam itu. Karena perempuan adalah kepunyaan lelaki (ayah, saudara, paman), maka perempuan dapat dipertukarkan. Perempuan dalam adat belis, diposisikan sebagai kaum yang lemah dan dapat dipindahkan dari suku orangtuanya ke suku suaminya, dengan ganti rugi sejumlah belis. Belis adalah harga bagi kaum perempuan. Dalam adat Sikka, dikenal satu ungkapan tentang penghargaan terhadap kaum perempuan, yakni:
Dua naha nora ling, nora weling Setiap wanita mempunyai nilai, punyai harga, Loning dua utang ling labu welin sedangkan sarung dan bajunya juga punya nilai
dan harga,
Dadi ata lai naha letto -wotter sehingga setiap lelaki harus membayar20
Pola pikir patriarkat melihat perempuan sebagai yang mesti dibayar dengan harga tertentu, sebab perempuan akan mengikuti klan dan suku suaminya. Demikian pun anak-anak yang dilahirkan dari perempuan, mesti mengidentifikasikan dirinya bukan sebagai bagian dari suku ibunya, melainkan sebagai anggota suku ayahnya. Belis adalah produk budaya patriarkat. Ia adalah istrumen yang sangat kasat mata bagi kekuasaan sang ayah (lelaki) dan sukunya atas isteri dan anak perempuan.
18Kiriosentrisme adalah turunan dari kyriarki, yang berasal dari kata dasar Yunani kyrios: tuan dan kata arche: kuasa. Kyriarki berarti kekuasaan tuan. Dahulu, bapak bukan hanya sebagai suami,
melainkan juga sebagai tuan. Kyriarki dengan demikian dipadankan dengan patriarki, hanya saja ia lebih menekankan unsur dominasi dan ketidakadilan gender yang diakibatkan oleh dominasi laki-laki itu. Kiriosentrisme adalah keberpusatan pada kekuasaan kaum bapak sebagai tuan. Ibid., hlm. 59.
19Ibid.
20http://zipoer7.wordpress.com/2009/09/18/perkawinan-adat-masyarakat-sikka-di-provinsi-ntt/,
2.3 Struktur yang Menindas
Adat belis dalam dirinya jelas sangat diskriminatif terhadap perempuan. Secara struktural, perempuan sudah ditempatkan sebagai manusia yang dipindahtangankan dari ayah/saudara/paman sang perempuan ke tangan suami dan keluarga sang suami. Secara normatif, ketiga orang ini menduduki posisi sentral dalam adat belis. Merekalah yang akan menerima belis dari pihak keluarga laki-laki. Belis tidak ditujukan untuk sang pengantin perempuan, melainkan bagi keluarga sang pengantin perempuan.
Ketika orang berbicara tentang budaya, maka orang berbicara tentang struktur atau sistem budaya dan praktik budaya. Penindasan perempuan bukan baru terjadi pada tataran praktik, melainkan sudah sejak kebudayaan itu berada pada ranah nilai atau sistem normatif. Struktur budaya patriarkat dalam dirinya (in se) adalah struktur yang diskriminatif.21Ia berpusat pada kekuasaan suami, ayah dan kaum lelaki umumnya. Struktur semacam ini berangkat dari pola pikir dikotomis dan dominatif. Laki-laki dan perempuan terbedakan secara kodrati. Pembedaan itu bersifat hierarkis. Laki-laki dominan, dan perempuan subordinan. Pola pikir yang menindas itu bahkan ditanamkan secara sosial semenjak seseorang dilahirkan di muka bumi.
Praktik belis melengkapi penomorduaan perempuan yang bahkan sudah sejak dilahirkan menjadi bagian dari keberadaan perempuan. Dalam budaya Manggarai misalnya, ketika seorang anak baru saja keluar dari rahim ibunya, sang ayah, kakek atau paman yang berada di luar kamar persalinan, akan menyerukan pertanyaan “ata peang ko ata one?” yang berarti “Orang luar atau orang dalam?” Kalau anak yang dilahirkan itu adalah laki-laki, maka para perempuan yang membantu persalinan akan menjawab “ata one” (orang dalam). Sementara bila yang dilahirkan itu perempuan, maka mereka akan menjawab “ata peang” (orang luar).
Sejak dilahirkan ke dunia, laki-laki dan perempuan sudah dipilah-pilah secara budaya sebagai orang dalam (milik suku, ahli waris keluarga, penerus keturunan) dan sebagai orang luar (kaum yang pada waktunya akan pindah tangan ke suku dan keluarga lain dengan bayaran berupa sejumlah uang, hewan dan barang yang
21Inilah yang dinamakan ketidakadilan struktural, yakni ketidakadilan yang dialami masyarakat karena struktur yang pada hakikitanya menguntungkan satu atau sebagian kelompok dalam masyarakat sekaligus merugikan kelompok yang lain. Bdk. Frans Magnis Suseno, Etika Politik (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 133.
disebut belis). Dan sejak hadir di dunia pula, perempuan sudah diposisikan sebagai orang luar, orang yang akan mengikuti klan suaminya. Inilah realitas kebudayaan kita yang bagaimanapun juga telah melekat erat dan memberi identitas tipikal dalam diri setiap individu dalam masyarakat kita.
Penindasan semacam ini juga teramat dirasakan manakala kita menyadari minimnya ruang perempuan dalam menentukan dirinya dan dalam mengungkapkan pikiran serta perasaannya. Secara tradisional, tempat perempuan adalah di dapur. Hanya kaum lelaki yang terlibat dalam pembicaraan adat termasuk dalam tawar-menawar belis. Kaum perempuan tidak memiliki hak dalam membicarakannya di forum resmi adat. Mereka hanya bertugas melayani dan berkewajiban mengiyakan.22
III. Praktik Belis
Setelah menguraikan secara singkat sisi normatif dari adat belis, selanjutnya akan dipaparkan bagaimana norma belis itu tampak secara lahir dalam masyarakat NTT masa kini. Ketika zaman berubah dan kesadaran masyarakat makin maju, apakah adat belis juga turut mengalami reformasi dalam praktiknya?
Menilik realitas, kita justeru semakin terperangah memandang geliat distorsi adat belis yang pada hakikatnya masih menyimpan keluhuran nilai dan makna itu. Sisi diskriminatifnya malah tampak semakin radikal. “Teori” bahwa belis adalah bentuk penghargaan terhadap perempuan dan terhadap relasi kekeluargaan serta keluhuran nilai perkawinan, jauh panggang dari api. Yang terjadi adalah pasar harga diri para lelaki dan ajang komodifikasi manusia perempuan. Akibatnya, hak asasi kaum perempuan pun mengalami pelecehan bertingkat-tingkat.
3.1 Pasar Harga Diri
Ketika kita masuk dalam praktik belis, maka kita akan segera temukan bahwa mayoritas masyarakat NTT yang berbudaya patriarkat menjadikan belis dan banyak pusaka adat lainnya sebagai pasar bagi harga diri (kaum lelaki). Substansinya sebenarnya adalah pola pikir dan mentalitas yang tertanam sudah terlampau lama: orang merasa gengsinya turun kalau tidak dihormati secara adat. Orang pun merasa kurang bermartabat bila belis untuk anak, saudari atau kemenakannya tak sesuai dengan yang diharapkan atau yang ditentukan pihak keluarga. Yang menjadi patokan bukan martabat perempuan, melainkan harga diri keluarga, khususnya para lelaki. Kalau belis dikatakan sebagai simbol penghargaan terhadap martabat perempuan, maka kini hal itu telah tergeser sebagai instrumen untuk menjaga gengsi laki-laki (ayah, saudara, atau paman si perempuan) semata.
Tentang belis, orang biasanya sangat sensitif. Bila pihak keluarga laki-laki misalnya tidak menunjukkan kerendahan hati saat negosisasi, belis senilai puluhan bahkan ratusan juta pun tak akan turun. Belis adalah kewajiban yang mesti dipenuhi seorang laki-laki dan keluarganya. Semakin tinggi status sosial keluarga seorang perempuan, belisnya biasanya semakin mahal pula.23 Namun, semahal apapun belisnya, keluarga pengantin pria biasanya akan berusaha keras (kendatipun kadang-kadang harus berutang) untuk memenuhinya agar dapat dinilai berharga atau “mampu” di hadapan keluarga pengantin perempuan.24 Adat belis tak pelak telah menjadi medan adu gengsi yang tak gampang dimengerti.
3.2 Komodifikasi Adat
Kesan menjadikan belis sebagai komoditas ekonomi tak bisa dielak. Adat belis pun telah banyak termakan motivasi ekonomis. Hal ini tampak dalam sekurang-kuranganya tiga fenomena berikut. Pertama, belis yang sangat mahal dan tidak realistis. Dalam banyak sekali kasus, angka belis sering membuat orang terenyak. Sangatlah sulit dipahami ketika belis mencapai puluhan sampai ratusan juta rupiah ataupun puluhan hewan ternak di tengah mayoritas masyarakat NTT yang masih terbelakang, yang selalu mendapat jatah raskin (beras miskin), yang banyak warganya mengadu nasib dengan menjadi buruh kasar di negeri orang, yang saban tahun didera rawan pangan, busung lapar, gizi buruk dan bencana kekeringan yang mengganyang banyak korban. Tak gampang menemukan nilai-nilai luhur di balik angka belis yang tidak sepadan dengan situasi riil masyarakat itu.
Kedua, belis sesuai dengan jenjang pendidikan dan pekerjaan anak perempuan. Hal ini sangat jamak terlihat. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pekerjaan seorang perempuan, semakin menjulang pula mas kawinnya. Kecenderungan ini jelas berbicara tentang komodifikasi adat. Adat dijadikan komoditi ekonomi. Kalkulasi ekonomis lebih mendapat tempat ketimbang keluhuran nilai perkawianan. Yang dipertimbangkan adalah seluruh biaya yang telah dikeluarkan untuk menyekolahkan sang anak perempuan. Dengan demikian, semakin tinggi jenjang sekolahnya atau semakin besar biaya yang dikeluarkan untuk itu, semakin besar pula angka belisnya. Pertimbangan ini sering terselimut begitu rapi di balik sopan santun negosiasi adat belis, namun serentak akan amat mudah terlihat manakala menilik kecenderungan umum penetapan belis dalam mayoritas masyarakat NTT. Secara lebih fundamental ini tentu menjadi contoh yang tepat tentang masuknya kapitalisme modern dalam kazhanah adat lokal kita. Dalam kadar
23Ibid., hlm. 97.
tertentu, adat istiadat dan pola pikir lokal sebetulnya juga menyiapkan kondisi yang menyuburkan pertumbuhan kapitalisme modern.
Ketiga, belis tanpa kompromi. Kecenderungan lain yang bermuara pada tujuan ekonomis adalah penetapan angka belis yang sering tanpa berkompromi dengan situasi riil (keluarga) pengantin laki-laki. Untuk menetapkan belis biasanya ada negosiasi. Sangat sering, permintaan pihak keluarga perempuan tak banyak peduli dengan situasi riil keluarga pengantin laki-laki. Di sini kita temukan ironi. Saat sudah berkeluarga, banyak anak perempuan yang melarat, sebab banyak harta sang suami yang telah terkuras untuk mem-belis-inya dan membiayai pesta perkawinan mereka.
3.3 Diskriminasi Bertingkat-tingkat dan Gurita Persoalan
Menilik adat belis, baik pada tataran sistem maupun pada ranah praktik, kita akan sampai pada kesimpulan tentang adanya diskriminasi ganda bahkan bertingkat-tingkat terhadap perempuan. Perkawinan tidak tanpa belis. Itulah norma budaya patriarkat di NTT. Lalu dalam praktiknya, belis pun mengalami distorsi nilai yang sangat kasat mata. Belis yang secara normatif sudah sangat determinatif, dalam praktiknya malah semakin determinatif.
Belis bukan hanya menjadi persoalan dalam dirinya. Beban belis dalam kenyataannya banyak membawa permasalahan lanjutan. Persolan-persoalan yang kemunculannya sering berhubungan erat dengan beban belis misalnya banyak perempuan tidak bisa kawin atau kawin usia tua, kumpul kebo, kemudian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Tentu butuh penelitian khusus mengenai hal ini, tetapi kenyataan menunjukkan bahwa banyak perempuan yang sulit menikah atau menikah ketika sudah ‘berumur’ karena beban belis yang terlalu tinggi. Demikian pun banyak terjadi kasus “kumpul kebo” atau hidup bersama pra-nikah agar pernikahan itu tidak dibatalkan gara-gara persoalan belis.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga pun banyak yang diakibatkan oleh beban belis. Di NTT angka kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT sangat tinggi. Data Biro Bina Mitra Polda NTT menunjukkan bahwa sejak tahun 2006 sampai tahun 2009 terdapat 1.580 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kasubag Bimbingan dan Penyuluhan Biro Bina Mitra Polda NTT, Kompol Anthonia Pah mengatakan, berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan Polda NTT, kasus kekerasan terhadap perempuan di NTT umumnya dibiangi persoalan konstruksi sosial dan hirarki sosial dalam masyarakat, budaya belis, minuman keras, tekanan ekonomi, pria idaman lain (PIL) dan wanita idaman lain (WIL) serta temperamental masyarakat NTT yang keras.25 Budaya belis menjadi salah satu konstruksi sosial
budaya yang turut menjadi kondisi bagi persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam masyarakat. Dalam banyak kasus KDRT, suami yang melakukan kekerasan terhadap isteri sulit diproses secara hukum karena hal itu dianggap sebagai urusan internal keluarga, apalagi sang suami merasa bahwa ia sudah membayar belis kepada keluarga isterinya.
IV. Tantangan bagi Proyek Emansipasi
Uraian tentang konsep dan praktik belis dalam masyarakat NTT menghantar kita pada muara kesimpulan bahwa belis adalah perkara krusial dari sisi tilik HAM. Krusialitas persoalan belis itu ditopang oleh tiga alasan mendasar. Ketiganya sekaligus menjadi tantangan yang serius dalam menegakkan HAM dan dalam upaya emansipasi perempuan baik pada tataran konseptual maupun aktual. Ketiga hal itu adalah, (1) kenyataan bahwa budaya belis sudah mengurat akar dan terlampau mapan, (2) pandangan bahwa belis adalah kekhasan kultural (3) legitimasi unsur sakral dalam adat belis.
4.1 Mengurat Akar
Tantangan pertama adalah kenyataan pola pikir marsyarakat yang terlampau mapan dan sulit diubah terkait adat istiadat. Dalam struktur budaya patriarkat, perempuan tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Semua orang menyadari hal itu. Kaum perempuan pun menerima itu sebagai kebenaran yang sifatnya alamiah dan sudah seharusnya (taken for granted). Demikian pun dengan adat belis. Betapapun berat dan problematisnya, ia tetap menjadi bagian dari identitas diri yang khas dan tak mudah dilepaskan karena sudah mengurat akar dalam diri setiap anggota masyarakat.
Meminjam istilah filosof dan semiotisi Prancis, Roland Barthes, belis telah menjadi mitos yang sulit dilawan.26 Ia menjadi bagian dari mitos patriarkat yakni
26Mitos dapat dilihat sebagai kisah simbolis juga sebagai cerita fiktif. Barthes memahami mitos terutama sebagai cerita fiktif yang dianggap seolah-olah benar, pemikiran palsu yang seakan-akan betul, keyakinan yang tidak memiliki pendasaran rasional tetapi dianggap rasional, atau menurut bahasa Barthes sendiri, sebuah “sulap” yang membalik realitas yang historis menjadi seakan-akan alamiah. Ciri mitos sebagai ‘kisah yang tidak benar namun dianggap benar’ dan fungsinya sebagai ‘instrumen yang diperlukan masyarakat untuk memahami diri dan lingkungan serta untuk integrasi sosial’, diteoretisasi oleh Barthes dengan menggunakan pendekatan semiotikanya, menjadi teori mitos Barthesian. Objek kajian teori mitosnya itu adalah mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat Prancis kapitalis-modern. Sebab bagi Barthes, bukan hanya masyarakat primitif yang dikuasai mitos. Orang-orang Prancis modern pun diselimuti begitu banyak mitos atau gambaran palsu tentang realitas. “Sebuah sulap telah berlangsung; sulap ini telah membalik realitas; dia mengeluarkan sejarah dari realitas dan mengisinya dengan alam....” Roland Barthes, Mitologi., penerj. Nurhadi dan
mitos keunggulan kaum lelaki yang telah berlangsung berabad-abad lamanya dalam dunia manusia. Ia menjadi mitos karena identitas historisnya lenyap dari ingatan kolektif masyarakat dan diterima sebagai sesuatu yang natural dan apa adanya oleh mayoritas penganutnya. Keterbenaman di dalamnya membuat masyarakat ketiadaan ruang kritis lagi terhadapnya, karena sebagai mitos, ia mengisi ruang kesadaran setiap warga. Belis pun seakan-akan tidak punya sejarah dan bukan hal yang kontingens lagi. Ia dianggap sudah demikian adanya.
Hal ini senada dengan apa yang dipaparkan Sosiolog Èmile Durkheim dalam teori Fakta Sosial-nya. Menurutnya, kebiasaan-kebiasaan, peraturan-peraturan, norma-norma, hukum, serta elemen-elemen budaya lainnya, yang merupakan ciptaan manusia, akan berkembang menjadi suatu realitas objektif atau fakta sosial yang berada di luar individu. Ia menjadi sesuatu yang telah memiliki jarak dengan para elemen pembentuk atau pendukungnya. Bahkan fakta sosial itu bisa memaksa individu bertindak sesuai dengan “keinginannya”. Sifat memaksa ini tidak hanya untuk seorang individu, tetapi untuk semua anggota masyarakat.27Adat belis adalah bagian dari konstruksi budaya yang telah menjadi fakta sosial yang mendeterminasi itu. Menyederhanakan adat belis dan mengeluarkan unsur-unsur distorsif dari dalamnya, demi dinamisitas kebudayaan dan untuk menjawabi perkembangan cara berpikir para penganutnya, tidaklah semudah menyiang ilalang di antara gandum. Merevisi elemen kultural yang telah mengurat akar dan ‘mendarah daging’ dalam sebuah masyarakat, dalam rangka menjawabi tuntutan zaman, bukan sebuah usaha yang gampang.
4.2 Kekhasan Kultural
Tantangan kedua bagi penegakan HAM dan upaya emansipasi perempuan adalah pandangan bahwa adat belis adalah bagian dari kekhasan dan kekayaan budaya lokal yang memiliki nilai-nilai luhur yang patut dilindungi. Belis bukan subkultur, yang relatif mudah dipengaruhi oleh kultur yang membawahinya. Ia adalah bagian dari identitas kultural yang sangat luas dan besar, yang mencakup satu kelompok suku, budaya dan masyarakat adat. Ia dianggap sebagai bagian dari identitas yang melekat dalam setiap kebudayaaan lokal, yang membedakan satu kelompok budaya dengan kelompok budaya lainnya. Konsep HAM dan emansipasi ditampik, karena keduanya datang dari Barat dan merupakan khazanah Barat. Memeriksa khazanah budaya lokal ketimuran dengan kacamata Barat adalah bagian dari westernisasi, karena itu mesti ditentang.
dianggap masyarakat sebagai keutamaan adat yang seakan-akan bersifat alamiah dan tak patut dipersoalkan.
Pandangan semacam ini mendapat tempat dalam diskursus filsafat postmodernisme. Postmodernisme menolak narasi-narasi besar (grand nartives) dan membela narasi-narasi kecil (mini naratives). Sejarah-sejarah dan nilai-nilai partikular lokal dilihat sebagai narasi-narasi kecil yang benar dan berharga dalam dirinya. Dunia mesti dibebaskan dari narasi-narasi besar seperti liberalisme, kapitalisme dan rasionalisme yang kerap mentotalisasi kebenaran dan meminggirkan banyak keluhuran tradisi lokal dan nilai-nilai partikular dalam banyak komunitas manusia.28
Pertentangan antara universalitas HAM dan partikularitas nilai budaya ini pernah mengemuka dalam KTT PBB tentang HAM di Wina tahun 1991. Perdebatan terjadi terkait validitas penerapan HAM secara global. Negara-negara industri maju yang bergabung dalam Kelompok Utara, menekankan pentingnya pengakuan akan universalitas HAM. Sementara para penguasa negara berkembang dalam Kelompok Selatan melihat hal itu sebagai suatu bentuk imperialisme dan kolonialisme gaya baru negara maju atas negara berkembang. Para pemimpin Asia misalnya, menentangnya atas nama asian values (nilai-nilai budaya lokal Asia seperti kekeluargaan, harmoni dan sopan santun terhadap yang lebih tua). HAM dianggap bernuansa individualistis dan liberal.29
Mempertahankan adat belis dengan alasan kekhasan budaya lokal ketimuran, tentu bisa ditampik secara argumentatif mengingat universalitas konsep HAM (keluhuran martabat manusia sebagai manusia). Akan tetapi hal itu tidaklah mudah pada tataran praktik. Sangat dibutuhkan upaya yang serius dan terus-menerus dari banyak pihak, baik pemerintah, lembaga agama, institusi pendidikan maupun lembanga-lembaga swadaya masyarakat untuk mengupayakan penyadaran terhadap masyarakat demi modifikasi adat istiadat ke arah yang lebih membebaskan.
4.3 Legitimasi Unsur Sakral
Masih berhubungan erat dengan kedua tantangan sebelumnya, adat belis serta banyak elemen adat istiadat lainnya tak gampang mengalami transformasi karena legitimasi unsur sakral yang teramat kuat di dalamnya. Belis dan beragam tahap dan persyaratan lainnya dalam proses perkawinan serta materi-materi belis
28Penolakan terhadap metanarasi atau narasi besar ini dikumandangkan terutama oleh postmodernis Prancis, Jean-François Lyotard. Filsuf inilah yang juga mempopulerkan istilah postmodernisme. Bdk. Jean-François Lyotard, The Lyotard Reader, diedit oleh Andrew Benjamin
(Oxford and Cambridge: Blackwell Publisher, 1989), hlm. 314-315. Bdk. juga Jean-François Lyotard,
Kondisi (Era) Postmodern, Sebuah Laporan Tentang Pengetahuan, penerj. Novella Parchiano (Yogyakarta: Panta Rhei Books, 2003), hlm. XXVI.
29Otto Gusti Madung, “Rekonstruksi Diskursus Filosofis tentang Paham Hak-Hak Asasi Manusia” dalam Frans Ceunfin dan Felix Baghi (eds.), Mengabdi Kebenaran(Maumere: Ledalero, 2005),
dianggap sebagai peninggalan leluhur yang sakral.30Melanggar dan melewati begitu saja tahap-tahap itu, apalagi bila dilakukan dengan sengaja, dianggap sebagai perbuatan terkutuk dan diyakini akan membawa ganjaran tertentu dari nenek moyang yang telah meninggal dan roh pelindung suku. Masyarakat kita diikat kuat oleh keyakinan semacam ini. Orang pun merasa sangat bersalah dan akan dicekam ketakutan yang dalam bila tak mengindahkan salah satu saja dari kriteria adat yang telah ditentukan. Setiap tahap dalam upacara perkawinan, termasuk tahap negosisasi dan pembayaran belis, bukan interaksi sosiologis manusiawi belaka. Secara adat, semuanya adalah momen sakral, momen yang juga dihadiri kekuatan transenden dan roh leluhur yang telah meninggal. Ada doa yang khusyuk untuk menghadirkan kekuatan ilahi dalam setiap tahap upacara itu.31
Legitimasi unsur saktral ini pun meliputi legitimasi terhadap pola pikir dan distingsi konseptual yang ada di balik upacara dan ketentuan adat itu. Bahwa perempuan mesti dihargai dengan belis, itu adalah hal yang sakral sifatnya. Bahwa laki-laki yang mesti memberikan mas kawin, itu adalah warisan nenek moyang yang menjadi satu keutamaan religius. Dengan kata lain, pola pikir patriarkis, keniscayaan belis dan subordinasi perempuan sesungguhnya mendapat legitimasi unsur sakral. Legitimasi unsur sakral itulah yang membuat ia tak gampang untuk dilepaskan begitu saja.
V. Penutup
Berbicara tentang emansipasi perempuan di tengah kultur patriarkat yang masih sangat ketat dan mapan, bukanlah hal yang mudah. Adat belis adalah anak kandung kultur patriarkat itu. Baik pada tataran normatif, maupun dalam ranah praktik, ia sarat dengan problematika HAM. Martabat kaum perempuan mengalami pembelengguan bertingkat-tingkat. Pembelengguan ini menjadi tantangan pelik bagi upaya emansipasi perempuan karena merupakan pola pikir dan kebiasaan yang sudah terlampau mapan dan banal, berbasis pada anggapan bahwa belis adalah bagian dari khazanah budaya yang memberi identitas tipikal bagi masyarakat lokal, serta karena legitimasi unsur sakral yang kuat di dalamnya. Buntutnya, hampir
30Miten, op. cit., hlm. 128-130.
31Dalam masyarakat Sumba, unsur sakral ini sangat tampak dalam pembedaan jenis belis menjadi belis untuk manusia dan belis untuk nenek moyang (Marapu). Orang membedakan materi belis menjadi dua bagian besar, yakni Ladi dita (balai atas) dan Ladi wawa(balai bawah). Ladi dita, atau
yang bisa disebut tanggu la hindi (bagian yang di loteng), maksudnya belis yang menjadi bagian
Marapu (leluhur). Materi belis ini selalu disimpan di atas loteng. Sementara ladi wawaatau yang kerap disebut tanggu la kaheli (bagian di balai-balai), adalah belis bagian manusia, baik untuk paman si perempuan maupun untuk orangtuanya. Oe H. Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya
semua masyarakat dibelenggu pemikiran yang dikotomis dan diskriminatif terhadap kaum perempuan.
Membangun NTT adalah membebaskan manusia-manusianya dari belenggu pola pikir yang dikotomis dan diskriminatif semacam itu. Di tengah identitas kekhasan kebudayaan yang cenderung membelenggu, visi NTT masa depan adalah membebaskan masyarakat dari keterbelengguan budaya sendiri. Untuk itu, kritik diri dan introspeksi budaya sendiri kendatipun tak mudah dibuat, mestilah mendapat tempat dalam keseharian jagad masyarakat NTT. Melakukannya tentu pertama-tama mesti mengorbankan keberakaran emosional pada apa yang dianutnya. Namun hanya dengan refleksi, evaluasi dan kritik diri, kita dapat maju menuju tatanan dunia yang lebih membebaskan.