ANALISIS PEMBERIAN PARCEL KEPADA PEGAWAI NEGERI SIPIL SEBAGAI GRATIFIKASI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Doddy Irdendi Iawan, Diah Gustiniati, S.H., M.H., Tri Andrisman, S.H., M.H. Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
JL. Prof Soemantri Brojonegoro, No. 1, Bandar Lampung, 35154 E-mail : doddyirawan133@gmail.com
ABSTRAK
Segala perbuatan yang berkaitan dengan pemberian parcel sebagai suap termasuk
juga tindak pidana korupsi, perbuatan penyuapan selalu berkenaan dengan pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang berkaitan dengan keuangan negara atau
perekonomian negara yang merupakan tindak pidana korupsi.. Pendekatan masalah
yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung dengan pendekatan
yuridis empiris. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian,
pembahasan secara kualitatif untuk selanjutnya ditarik suatu kesimpulan.Gratifikasi
atau pemberian parcel biasa yang diberikan kepada pejabat negara tanpa imbalan apa
pun. Kedua, gratifikasi yang dapat dikategorikan sebagai suap karena si pemberi
parcel berharap adanya imbalan dari pejabat negara yang menerima parcel
tersebut.Sanksi dijatuhkan dengan menjatuhkan dua jenis pidana pokok sekaligus
secara bersamaan, disebut dengan penjatuhan dua jenis pidana pokok yang bersifat
imperatif-kumulatif, yaitu antara pidana penjara dengan pidana denda.
ABSTRACT
All actions related to the provision of a parcel as a bribe as well as corruption, bribery
always act relating to state employees or state officials relating to state finances or the
economy of the state which is corruption .. The approach used is a matter of
normative juridical approach and supported empirical juridical approach. Data that
has been processed and then presented in narrative form, for further discussion
qualitatively drawn a conclusion. Gratuities or giving regular parcel granted to state
officials without anything in return. Second, the gratification that can be categorized
as a bribe because the giver parcel expect any reward from state officials who
received the parcel. Sanctions imposed by dropping two principal criminal types
simultaneously, called by imposing two criminal types of goods that are
imperative-cumulative, ie between imprisonment with penalty.
I. PENDAHULUAN
Suatu kejahatan korupsi merupakan
kejahatan yang merugikan keuangan
negara.Hal itu karena beberapa pasal
tindak pidana korupsi dalam Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UUTPK) merumuskan
adanya unsur merugikan keuangan
negara.Tetapi, untuk kejahatan
suap-menyuap tidak ada kaitannya dengan
kerugian uang negara, meskipun
perbuatan tersebut dikualifikasikan
sebagai kejahatan korupsi.Tidak
semua suap-menyuap adalah kejahatan
korupsi.Beberapa peraturan
perundang-undangan yang terkait
dengan suap-menyuap merumuskan
perbuatan itu sebagai tindak pidana
suap saja, misalnya suap yang
menyangkut kepentingan umum, baik
aktif maupun pasif.
Suap dalam sistem hukum di
Indonesia juga dapat dilihat dalam UU
No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan penjelasannya mendefinisikan
suap sebagai pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat atau diskon, komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Dalam
Pasal 12 B UU No 20 Tahun 2001
menyatakan bahwa “Setiap gratifikasi
kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya”.
Salah satu tindak pidana suap yang
akhir-akhir ini banyak dibicarakan
adalah pemberian parcel mewah pada
saat menjelang hari raya. Imbauan
KPK dengan mengeluarkan surat
edaran kepada para pejabat Negara,
baik pusat maupun daerah untuk tidak
menerima parcel. Karena
dikhawatirkan orang memanfaatkan
parcel untuk berkolusi, menyuap dan
melakukan tindak pidana korupsi.
Imbauan untuk tidak menerima parcel
bagi pejabat Negara tentu mempunyai
landasan hukum, yaitu
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No 20 Tahun 2001
Tentang Tindak Pidana Korupsi serta
Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara Dan Reformasi
Birokrasi No. 20 Tahun 2012 tentang
Integritas Menuju Wilayah Bebas
Korupsi. Dalam ketentuan tersebut
ditegaskan bahwa setiap gratifikasi
kepada pegawai negeri dan
penyelenggara Negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan
dengan jabatannya dan yang
berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya.
Sebagai contoh, pada bulan Oktober
2014 sebanyak 35 parsel lebaran yang
diserahkan Wali Kota Semarang
Hendrar Prihadi kepada KPK. KPK
memperkirakan parsel-parsel tersebut
bernilai Rp 10,7 juta. Menurut
Direktur Gratifikasi KPK Giri
Suprapdiono, dari 35 parsel yang
diserahkan ke KPK, 15 di antaranya
disita untuk negara. Isi dari parsel
parsel tersebut bermacam-macam.
Berupa kain, keramik, tea set, coffe
maker, jam dinding, dan hiasan garuda
warna emas. Semua parsel tersebut
yang berisi makanan dan minuman
dikarenakan khawatir kadaluarsa,
langsung diserahkan ke pihak yang
membutuhkan. KPK mengapresiasi
tindakan yang dilakukan Hendrar
karena bisa menjadi contoh yang baik
bagi kepala daerah yang lain.
Peraturan tentang laporan dugaan
gratifikasi oleh penyelenggara negara
ini diatur dalam Pasal 12B ayat (1)
Undang-Undang No 20 tahun
2001.Dalam pasal tersebut dijelaskan
gratifikasi sebagai pemberian dalam
arti luas. Pasal lain yaitu Pasal 12C
ayat (1) Undang-Undang No 20 tahun
2001 bahwa gratifikasi yang diterima
penyelenggara negara tidak akan
dianggap sebagai suap jika yang
bersangkutan melapor ke KPK.1
Berdasarkan uraian di atas, apakah
segala perbuatan yang berkaitan
dengan pemberian parcel sebagai suap
termasuk juga tindak pidana korupsi,
perbuatan penyuapan selalu berkenaan
dengan pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang berkaitan
dengan keuangan negara atau
perekonomian negara maka secara
sosiologis dan yuridis tindak pidana
penyuapan adalah merupakan tindak
pidana korupsi. Dengan berbagai
ketentuan-ketentuan mengenai
penyuapan yang merupakan tindak
pidana korupsi, terdapat
masalah-masalah yang belum dikaji secara
khusus dan perlu adanya penelitian
untuk mengetahui informasi dalam
memahami permasalahan yang
1
muncul.Diantaranya masalah ruang
lingkup dan pengaturan penyuapan
sebagai salah satu delik tindak pidana
korupsi dalam hukum pidana untuk
memberikan kepastian dalam
penegakan hukumnya.
Sesuai dengan uraian latar belakang
diatas maka dapat dirumuskan
beberapa masalah sebagai berikut:
a. Apakah pemberian parcel kepada
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
sebagai salah satu bentuk
gratifikasi menurut
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999?
b. Bagaimanakah sanksi pidana
pelaku pemberi parcel sebagai
bentuk gratifikasi menurut
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 jo. Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999?
METODE PENELITIAN
Pendekatan masalah dalam penelitian
ini yang berdasarkan pokok
permasalahan dilakukan dengan
pendekatan secara yuridis normatif
dan pendekatan yuridis empiris
sebagai penunjang. Pendekatan secara
yuridis normatif dilakukan dengan
cara menelaah dan menelusuri
berbagai peraturan
perundang-undangan, teori-teori, kaidah hukum
dan konsep-konsep yang ada
hubungannya dengan permasalah yang
akan dibahas. Sedangkan pendekatan
yuridis empiris adalah pendekatan
yang dilakukan dengan menelaah
hukum terhadap objek penelitian
sebagai pola perilaku yang nyata
dalam masyarakat yang ditujukan
kepada penerapan hukum yang
berkaitan dengan bentuk-bentuk
perilaku yang akan dibahas dalam
skripsi ini.
Penelitian ini menggunakan data
primer dan data sekunder.Jenis data
dilihat dari sumbernya, dapat
dibedakan antara data yang diperoleh
langsung dari lapangan (data primer)
dan data yang diperoleh dari bahan
pustaka (data sekunder). Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
data sekunder. Data sekunder adalah
data yang diperoleh dengan
mempelajari bahan-bahan pustaka
yang berupa peraturan
perundang-undangan dan literatur-literatur lainnya
yang berhubungan dengan
permasalahan yang dibahas. Data
primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier.2
Analisa data pada penelitian ini
dilakukan secara kualitatif, yaitu dari
data yang diperoleh kemudian disusun
secara sistematis kemudian dianalisa
secara kualitatif untuk mencapai
kejelasan masalah yang
dibahas.Pengertian dianalisis disini
dimaksudkan sebagai suatu penjelasan
dan penginterpretasian secara logis,
sistematis. Logis sistematis
menunjukkan cara berfikir
deduktif-induktif, dan mengikuti tata tertib.
dalam penulisan laporan-laporan
penelitian ilmiah. Setelah analisis data
selesai maka hasilnya akan disajikan
secara deskriptif, yaitu dengan
menuturkan dan menggambarkan apa
adanya sesuai dengan permasalahan
yang diteliti. Dari hasil tersebut
kemudian ditarik suatu kesimpulan
yang merupakan jawaban atas
permasaIahan yang diangkat dalam
penelitian ini.perjanjian jual beli tanah
kavling yang dibuat dibawah tangan.
PEMBAHASAN
2
Sri Mamuji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hlm 28
A. Pemberian Parcel Kepada
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Sebagai Salah Satu Bentuk
Gratifikasi Menurut
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Korupsi merupakan gejala masyarakat
yang dapat dijumpai
dimana-mana.Sejarah membuktikan bahwa
hampir tiap Negara dihadapkan pada
masalah korupsi. Istilah korupsi
berasal dari bahasa latinCorruptie atau
Corruptus. Selanjutnya, disebutkan
bahwa Corruptio itu berasal dari kata
Corrumpore, suatu kata latin kuno.
Dari bahasa latin inilah, istilah
Corruptio turun kebanyak bahasa
Eropa, seperti inggris:
Corruption,Corrupt; Prancis:
Corruption; dan Belanda:
Corruptie.3Arti harfiah dari kata
Corrupt ialah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidak jujuran, dapat
disuap, tidak bermoral, penyimpangan
dari kesucian, kata-kata atau ucapan
yang menghina atau memfitnah,4
sedangkan menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Korupsi adalah
penyelewengan atau penggelapan
3
Lilik Mulyadi,Tindak pidana korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung,2000, hlm. 16.
4
untuk keuntungan pribadi atau orang
lain.5
Salah satu kebiasaan yang berlaku
umum di masyarakat adalah
pemberian tanda terima kasih atas jasa
yang telah diberikan oleh petugas, baik
dalam bentuk barang atau bahkan
uang.Hal ini dapat menjadi suatu
kebiasaan yang bersifat negatif dan
dapat mengarah menjadi potensi
perbuatan korupsi di kemudian
hari.Potensi korupsi inilah yang
berusaha dicegah oleh peraturan
undang-undang. Pada tahun 2001
dilakukan amandemen terhadap
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dengan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001. Dalam
Undang-Undang yang baru ini lebih
diuraikan elemen-elemen dalam
pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang pada awalnya
hanya disebutkan saja dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.Dalam
amademen ini juga, untuk pertama
kalinya istilah gratifikasi dipergunakan
dalam peraturan perundang-undangan
5
Kamus Besar Bahasa Indonesia: Op, Cit., hlm. 462.
di Indonesia, yang diatur dalam Pasal
12B.
Implementasi penegakan peraturan
gratifikasi ini tidak sedikit menghadapi
kendala karena banyak masyarakat
Indonesia masih mengangap bahwa
memberi parcel merupakan hal yang
lumrah. Secara sosiologis, parcel
adalah sesuatu yang bukan saja lumrah
tetapi juga berperan sangat penting
dalam merekat „kohesi sosial‟ dalam
suatu masyarakat maupun antar
masyarakat bahkan antar bangsa.
Gratifikasi menjadi unsur penting
dalam sistem dan mekanisme
pemberian parcel.
Pengertian gratifikasi terdapat pada
Penjelasan Pasal 12B Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001, bahwa:
“Yang dimaksud dengan ”gratifikasi”
dalam ayat ini adalah pemberian dalam
arti luas, yakni meliputi pemberian
uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi
tersebut baik yang diterima di dalam
dilakukan dengan menggunakan
sarana elektronik atau tanpa sarana
elektronik”.
Apabila dicermati penjelasan Pasal
12B Ayat (1) di atas, kalimat yang
termasuk definisi gratifikasi adalah
sebatas kalimat: pemberian dalam arti
luas, sedangkan kalimat setelah itu
merupakan bentuk-bentuk gratifikasi.
Dari penjelasan Pasal 12B Ayat (1)
juga dapat dilihat bahwa pengertian
gratifikasi mempunyai makna yang
netral, artinya tidak terdapat makna
tercela atau negatif dari arti kata
gratifikasi tersebut.Apabila penjelasan
ini dihubungkan dengan rumusan
Pasal 12B dapat dipahami bahwa tidak
semua gratifikasi itu bertentangan
dengan hukum, melainkan hanya
gratifikasi yang memenuhi kriteria
dalam unsur Pasal 12B saja.Uraian
lebih lanjut mengenai hal ini dapat
dilihat pada bagian selanjutnya.
Untuk mengetahui kapan pemberian
parcel menjadi tindak pidana
gratifikasi, perlu dilihat rumusan Pasal
12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Jika
dilihat dari rumusan di atas, maka
dapat diketahui bahwa pemberian
parcel berubah menjadi suatu yang
perbuatan pidana suap atau suatu
gratifikasi khususnya pada seorang
Penyelenggara Negara atau Pegawai
Negeri adalah pada saat Penyelenggara
Negara atau Pegawai Negeri tersebut
melakukan tindakan menerima suatu
pemberian parcel dari pihak manapun
sepanjang pemberian tersebut
diberikan berhubungan dengan jabatan
ataupun pekerjaannya.
Maka dapat diketahui bahwa tidak
benar bila Pasal 12B dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 telah melarang praktik gratifikasi
atau pemberian parcel di Indonesia.
Sesungguhnya, praktik gratifikasi atau
pemberian parcel di kalangan
masyarakat tidak dilarang tetapi perlu
diperhatikan adanya sebuah rambu
tambahan yaitu larangan bagi Pegawai
Negeri/Penyelenggara Negara untuk
menerima pemberian parcel yang
dapat dianggap gratifikasi.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka
dalam hal ini yang menjadi sasaran
adalah pegawai negeri atau
penyelenggara negara sebagai
aparatur negara. Pemberian parcel
dan pemberian parcel mempunyai
pengertian suap apabila memenuhi
kriteria Pasal 12 B ayat (1) di atas.
Dengan kata lain apabila pemberian
parcel dilakukan dalam rangka
berkaitan dengan jabatan seorang
pegawai negeri atau penyelenggara
negara untuk berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, maka
pemberian parcel tersebut merupakan
tindakan suap, dan hal tersebut
merupakan perbuatan yang dilarang.
Untuk mengidentifikasi dan menilai
apakah suatu pemberian parcel yang
diterimanya cenderung ke arah
gratifikasi ilegal/suap atau legal, dapat
berpedoman pada beberapa pertanyaan
yang sifatnya reflektif sebagai berikut:
Tabel 1. Pertanyaan Reflektif untuk
Mengidentifikasi dan Menilai
apakah Suatu Pemberian Mengarah
pada Gratifikasi Ilegal atau Legal
No
Jika motifnya
menurut dugaan
Penerima adalah
ditujukan untuk
mempengaruhi
posisi setara
dengan
sebagai pejabat
publik, maka
pemberian
tersebut dapat
dikatakan
cenderung ke
arah gratifikasi
ilegal dan
sebaiknya
Penerima tolak.
Sepenerimainya
„karena terpaksa oleh keadaan‟
gratifikasi
diterima,
sebaiknya segera
laporkan ke KPK
atau jika ternyata
Instansi tempat
Penerima
bekerja telah
memiliki
Penerima dapat
4.
5.
6.
yang tidak
setara secara
kedudu-terkait kerja.
Apakah
terdapat
hubungan
relasi kuasa
yang bersifat
strategis?
Penerima untuk
kemudian
dilaporkan ke
KPK
Jika jawabannya
adalah ya
(memiliki posisi
setara), maka
bisa jadi
kemungkinan
pemberian
tersebut
diberikan atas
dasar
pertemanan atau
kekerabatan
(sosial), meski
demikian untuk
berjaga-jaga ada
baiknya
Penerima
mencoba
menjawab
pertanyaan 3.
Jika jawabannya
tidak (memiliki
posisi tidak
setara) maka
Penerima perlu
sosial, dan
budaya yang
Penerima
miliki akibat
posisi
mengenai motif
pemberian dan
menanyakan
Jika jawabannya
ya, maka
pemberian
tersebut patut
Penerima duga
dan waspadai
sebagai
pemberian yang
cenderung ke
arah gratifikasi
Bagaimana
metode
pemberian
dilakukan?
Terbuka atau
rahasia?
Bagaimana
kepantasan/k
ewajaran
nilai dan
frekuensi
pemberian
yang
diterima
(secara
sosial)?
Jika jawabannya
ya, maka
sebaiknya
pemberian
tersebut
Penerima tolak
dengan cara
yang baik dan
sedapat mungkin
tidak
menyinggung.
Jika pemberian
tersebut tidak
dapat ditolak
karena keadaan
tertentu maka
pemberian
tersebut
sebaiknya
dilaporkan dan
dikonsultasikan
ke KPK untuk
menghindari
fitnah atau
memberikan
kepastian
jawaban
mengenai status
pemberian
tersebut.
Penerima patut
mewaspadai
gratifikasi yang
diberikan secara
tidak langsung,
apalagi dengan
cara yang
bersifat
sembunyi-sembunyi
(rahasia).
Adanya metode
pemberian ini
mengindikasikan
bahwa
pemberian
tersebut
cenderung ke
arah gratifikasi
ilegal.
Jika pemberian
tersebut di atas
nilai kewajaran
yang berlaku di
ataupun
frekuensi
pemberian yang
terlalu sering
sehingga
membuat orang
yang berakal
sehat menduga
ada sesuatu di
balik pemberian
tersebut, maka
pemberian
tersebut
sebaiknya
Penerima
laporkan ke KPK
atau sedapat
mungkin
Penerima tolak.
Sumber: Buku Saku Memahami
Gratifikasi, KPK Desember 2010
Pertanyaan reflektif sebagaimana table
1 di atas dapat digunakan untuk
gratifikasi/pemberian parcel yang
diberikan dalam semua situasi, tidak
terkecuali pemberian pada situasi yang
secara sosial wajar dilakukan seperti:
pemberian parcel pada acara
pernikahan, pertunangan, ulang tahun,
perpisahan, syukuran, khitanan atau
acara lainnya.
Selanjutnya mengenai perbedaan
karakteristik antara parcel yang legal
dan ilegal dapat dilihat secara ringkas
pada tabel berikut ini:
Tabel 2. Perbedaan Antara Parcel
yang Legal dan Parcel Ilegal
Terjadi
Gratifikasi, KPK Desember 2010
Berdasarkan tabel 1 dan 2 di atas,
penulis berpendapat bahwa tidak
semua pemberian parcel merupakan
sebuah gratifikasi. Hal yang perlu
diperhatikan adalah menyangkut
tujuan dari pemberian parcel tersebut.
Kalau sekiranya pemberian tersebut
dimaksudkan sebagai upaya untuk
mempengaruhi penyelenggara negara
agar berbuat menyimpang dari tugas
dan kewajibannya yang seharusnya,
maka hal tersebut merupakan suatu
gratifikasi yang dilarang. Sedangkan
apabila pemberian parcel tersebut
semata-mata hanya sekedar pemberian
dalam rangka ucapan selamat sebagai
momentum dalam hari raya tanpa ada
maksud yang lain, tentunya hal
tersebut tidak termasuk dalam
pengertian gratifikasi yang
“diharamkan”.
Setelah memperhatikan ketentuan
normatif yang telah diuraikan di atas,
menurut penulis tentunya sudah dapat
diketahui apakah pemberian parcel
tersebut merupakan gratifikasi yang
dilarang atau bukan. Jika dikaitkan
dengan contoh kasus sebagaimana
telah diuraikan dalam pada bab
sebelumnya, menurut pendapat penulis
bahwa tindakan Wali Kota Semarang
sejumlah parcel yang ada di
lingkungan Pemerintah Kota
Semarang kepada KPK merupakan
suatu tindakan yang tepat. Pejabat
negara seperti PNS memang tidak
boleh menerima parcel atau bingkisan
hari Lebaran dari rekan kerja, kolega,
dan teman bisnisnya. Karena hal itu
dapat dikategorikan sebagai
gratifikasi. Sebagaiman jika dilihat
dalam karakeristik parcel dalam tabel
2 di atas, jika dilihat dari hubungan
antara pemberi dan penerimanya
adalah timpang karena merupakan
pemberian dari bawahan kepada
atasannya. Selain itu jika dilihat dari
nilai, isi dari parcel tersebut yang
berupa barang-barang mewah seperti
Berupa kain, keramik, tea set, coffe
maker, jam dinding, dan hiasan garuda
warna emas, yang dapat dikatakan
bahwa nilai barang menekankan pada
nilai moneter maka dapat
dikategorikan sebagai parcel illegal.
Dengan demikian pemberian parcel
dapat bersifat positif maupun negatif.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat
diketahui bahwa dalam arti positif,
pemberian parcel merupakan suatu
pemberian yang bersifat tulus tanpa
didasari adanya keinginan untuk
mendapatkan balasan. Namun, dalam
arti negatif, pemberian parcel
merupakan suatu pemberian yang
didasari pada suatu balas jasa pada
suatu waktu dimasa yang akan datang,
atau dengan kata lain pemberian yang
menanamkan budi buruk bagi si
penerima, apalagi diketahui bahwa
sipenerima adalah orang yang
mempunyai posisi strategis dalam
pengambilan kebijakan dari suatu
lembaga pemerintah ataupun
korporasi. Sehingga dengan adanya
pemberian parcel tersebut, dapat
diperoleh suatu kesempatan untuk
melakukan kegiatan memperkaya diri
sendiri ataupun korporasi dengan cara
melawan hukum.
B. Sanksi Pidana Pelaku
Pemberian Parcel Sebagai
Bentuk Gratifikasi Menurut
Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001
Sebagai negara hukum, tentu sanksi
akan diberikan terhadap setiap
orang yang melanggar peraturan, baik
sanksi pidana, sanksi sosial, maupun
sanksi administratif. Secara umum
sanksi yang diberikan terhadap pelaku
pemberian parcel sebagai bentuk
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999, baik pelaku pemberi maupun
penerima gratifikasi diancam dengan
hukuman pidana.
Menurut Satochid Kartanegara, secara
sederhana dapat dikemukakan bahwa
hukum pidana merupakan hukum
yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang beserta sanksi pidana yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku. Selain
tindak pidana umum, dikenal pula
tindak pidana khusus yang diatur
diluar KUHP, misalnya tindak pidana
korupsi, tindak pidana ekonomi, dan
lain-lain.6
Pengaturan mengenai sanksi tindak
pidana Gratifikasi di Indonesia diatur
dalam undang-undang tersendiri di
luar KUHP, yakni pada Pasal 12B
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 jo. Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999. Di dalam
Undang-Undang tersebut tidak
menyebutkan secara eksplisit bahwa
gratifikasi dapat dilakukan dengan
6
Bambang Waluyo, 2000, Pidana dan Pemidanaan , Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 6.
pemberian parcel dan menyebut
pemberian parcel sebagai salah satu
bentuk gratifikasi yang dapat dituntut
secara hukum. Tegasnya, jika
gratifikasi tidak berhubungan dengan
jabatan dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, gratifikasi
tersebut adalah perbuatan yang sah
menurut hukum.
Secara eksplisit ketentuan Pasal 12B
Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 jo. Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 menyatakan sebagai
berikut:
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai
negeri atau penyelenggara Negara
dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya dengan ketentuan:
a. Yang nilainya Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah) atau lebih
pembukiaannya bahwa
gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah), pembuktian bahwa
dibuktikan oleh penuntut
umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau
penyelenggara Negara
sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun,
dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Berdasarkan perspektif kebijakan
formulatif beban pembuktian terbalik
ini dilakukan karena tindak pidana
korupsi sebagai ketentuan yang
bersifat “premium remedium” dan
sekaligus mengandung prevensi
khusus. Oleh karena itu, dengan
ditetapkannya “pembuktian terbalik”
ini, bergeserlah beban pembuktian dari
Jaksa Penuntut Umum kepada
Terdakwa.
Maka dikarenakan Penuntut Umum
hanya berkewajiban untuk
membuktikan satu bagian inti saja,
yaitu adanya pemberian (gratifikasi)
itu, maka dua bagian inti berikutnya,
yaitu adanya kaitan dengan jabatan
pegawai negeri atau penyelenggara
negara itu, kemudian dia melalaikan
kewajiban karena mendapat suap,
dibebankan kepada
tersangka/terdakwa. Jadi, ada
pembalikan beban pembuktian
terhadap dua bagian inti delik. Dia
harus membuktikan bahwa tidak ada
kaitan dengan jabatannya pemberian
itu, kemudian dia tidak melalaikan
kewajibannya (sebagai pegawai
negeri atau penyelenggara negara).
Apabila dia tidak dapat membuktikan
demikian, maka dia dianggap telah
menerima suap atau telah melakukan
kedua bagian inti delik itu.
Setiap pemberian parcel kepada
pegawai negeri atau penyelenggara
negara dianggap pemberian gratifikasi,
apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal
12B ayat (1)). Secara logis, tidak
mungkin dikatakan adanya suatu
gratifikasi apabila tidak ada pemberi
parcel dan penerima parcel. Dalam hal
ini, sanksi dijatuhkan dengan
menjatuhkan dua jenis pidana pokok
sekaligus secara bersamaan, disebut
dengan penjatuhan dua jenis pidana
imperatif-kumulatif, yaitu antara pidana penjara
dengan pidana denda.Dua jenis pidana
pokok yakni penjara dan denda wajib
kedua-duanya dijatuhkan secara
serentak.
1. pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun, danSanksi
terhadap pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang
melakukan tindak pidana korupsi
gratifikasi adalah:
2. pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah). Keduaduanya dijatuhkan
secara bersamaan.
Berdasakan uraian di atas, menurut
analisa penulis Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
berlaku saat ini dirasa kurang
memadai karena belum mampu
mengatur secara terperinci seluruh
aspek Gratifikasi dalam bentuk
pemberian parcel, sehingga dari hal
tersebut dapat dikatakan masih
terjadi adanya kekosongan norma.
Gratifikasi dalam bentuk pemberian
parcel perlu dibuatkan aturan secara
khusus yang mampu mengatur secara
menyeluruh dan terperinci.
PENUTUP
Pemberian parcel kepada Pegawai
Negeri Sipil (PNS) sebagai salah satu
bentuk gratifikasi menurut
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 didasarkan pada dua jenis
gratifikasi, yaitu Pertama, gratifikasi
atau pemberian parcel biasa yang
diberikan kepada pejabat negara tanpa
imbalan apa pun. Kedua, gratifikasi
yang dapat dikategorikan sebagai suap
karena si pemberi parcel berharap
adanya imbalan dari pejabat negara
yang menerima parcel tersebut.Jika
pemberian tersebut dimaksudkan
sebagai upaya untuk mempengaruhi
penyelenggara negara agar berbuat
menyimpang dari tugas dan
kewajibannya yang seharusnya, maka
hal tersebut merupakan suatu
gratifikasi yang dilarang.Sanksi pidana
pelaku pemberi parcel sebagai bentuk
gratifikasi menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 jo.
dapat dikenakan apabila dalam
persidangan pemberi dan penerima
parcel terbukti melakukan perbuatan
gratifikasi dalam hal ini merupakan
tindak pidana. Gratifikasi yang
dimaksud Pasal 12B dan 12C
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 baru dianggap sebagai tindak
pidana, dalam hal ini dipersamakan
dengan suap, apabila berhubungan
dengan jabatan dan yang berlawanan
dengan kewajiban atau tugasnya.
Sanksi dijatuhkan dengan menjatuhkan
dua jenis pidana pokok sekaligus
secara bersamaan, disebut dengan
penjatuhan dua jenis pidana pokok
yang bersifat imperatif-kumulatif,
yaitu antara pidana penjara dengan
pidana denda.
Masalah rumusan Tindak Pidana
menerima Gratifikasi dalam Pasal
12B, yang mengatakan bahwa,
”pemberian terhadap pegawai negeri
atau penyelenggara negara dianggap
suap”, kata dianggap disini kurang
tepat, karena tindak pidana tersebut
sebenarnya sudah merupakan suap,
jadi penulis menyarankan rumusannya
ini boleh diperbaiki kembali.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi, 1984, Korupsi di
Indonesia, Gramedia, Jakarta.
Mamuji, Sri, et al., 2005, Metode
Penelitian dan Penulisan
Hukum, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta.
Mulyadi.Lilik. 2000. Tindak Pidana
Korupsi. Citra Aditya Bhakti.
Bandung.
Waluyo, Bambang, 2000, Pidana dan
Pemidanaan , Sinar Grafika,
Jakarta.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981).
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang No.20 Tahun
2001 tentang Tindak Pidana
Korupsi
http://kpk.go.id/gratifikasi/index.php/g