• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membangun Femininitas Glokal Transformas docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membangun Femininitas Glokal Transformas docx"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1

Membangun Femininitas Glokal: Transformasi, Kesadaran dan Negosiasi Femininitas dalam

Auto/Biografi Yuni Shara1

Aquarini P. Prabasmoro

Abstrak

Auto/Biografi selebritas seringkali dianggap hal yang sepele dan tidak penting. Dalam paper ini saya berargumentasi bahwa auto/biografi siapapun, termasuk selebritas, merupakan objek akademik penting karena auto/biografi mencerminkan nilai-nilai yang ada pada masyarakat baik masyarakat yang merupakan bagian dari narasi auto/biografi tersebut maupun bagi masyarakat tempat auto/biografi itu lahir. Auto/biografi juga berpotensi untuk menjadi situs pertarungan nilai-nilai karena auto/biografi dapat menjadi ruang bagi

pelanggengan nilai-nilai tertentu, terutama nilai-nilai yang bersifat normatif dan tradisional. Pada saat yang sama, auto/biografi juga memberikan ruang bagi nilai-nilai [baru] tertentu yang meresistensi nilai-nilai yang dianggap tidak lagi sesuai. Dalam auto/biografi-nya, Yuni Shara ditampilkan sebagai sosok perempuan yang mempunyai kesadaran serta melakukan transfomasi dan negosiasi atas konstruk femininitas yang melingkupinya.

Abstract

Celebrity auto/biographies are often considered trivial and insignificant. In this paper I argue that auto/biographies of any persons, including those of celebrities, can present an

important scholarly object because auto/biographies reflect the values existing in the communities, both those who are part of the narrative of the auto/biographies as well as those who are part of the communities where the auto/biographies are produced.

Auto/biographies are the potential site of struggles of the different values. Auto/biographies can as a mode for the preservation of certain traditional and local values. At the same time, they can also provide a space for the flourishing of certain [new] values that resist the values no longer considered appropriate. In her auto/biography, Yuni Shara is portrayed as a female figure who has the awareness as well as exerts transformation and negotiations of the construct of femininity established within her context.

1

(2)

2

Keywords: Globalisasi, Femininitas, Auto/Biografi, Selebritas

Globalization memainkan peran penting dalam konstruksi femininitas, terutama femininitas selebritas perempuan. Bagian awal dari paper ini akan memetakan globalisasi sebagai kerangka penting dalam membahas persoalan femininitas glokal. Saya akan menjelaskan makna globalisasi, apa konsekuensi dan dampak globalisasi, bagaimana globalisasi bekerja dan bagaimana dampaknya terhadap konstruksi femininitas. Terutama sekali, saya ingin memaparkan bagaimana globalisasi memengaruhi konstruksi femininitas selebritas Indonesia. Di Indonesia ada kecenderungan pendapat dan kecurigaan bahwa globalisasi adalah pertama-tama westernisasi, jika bukan Amerikanisasi. Kecenderungan ini harus dieksplorasi untuk mendapatkan gambaran mengenai dampak dan proses globalisasi yang saya akan coba lakukan dengan menempatkan auto/biografi Yuni Shara sebagai teks/situs yang akan dibedah. Pemaparan mengenai globalisasi di awal paper ini juga berfungsi untuk memberikan latar belakang bagi argumentasi saya tentang bentuk femininitas glokal yang muncul dalam auto/biografi Yuni Shara,. Saya berpendapat bahwa penggambaran femininitas yang ditunjukkan di dalam auto/biografi Yuni Shara dapat merepresentasi gambaran femininitas glokal dalam auto/biografi selebritas perempuan Indonesia.2

Globalization and the Construction of Celebrity Femininity in Local Global Nexus

Mengerangkai femininitas dalam konteks globalisasi sangatlah penting untuk memahami bahwa femininitas adalah suatu konstruk yang terus menerus berubah, dan bukan sebagai sesuatu yang stagnant dan ajeg. Para teoris feminis dan gender seperti Rubin (1975), Moi (1991), Gatens (1996) dan Butler (1999) telah berargumentasi bahwa femininitas harus ditempatkan sebagai persoalan sosial kultural dan bukan persoalan biologis/alamiah. Meskipun demikian, harus dipahami bahwa gagasan mengenai tubuh dan biologi

merupakan bagian penting dari femininitas. Dengan demikian, walaupun femininitas dapat saja mempunyai kesamaan antara satu budaya dengan budaya lain, femininitas juga

2 Penelitian lengkap mengenai auto/biografi selebritas perempuan Indonesia ada pada disertasi saya, Staging a

(3)

3

berbeda karena konteks spesifik lokalitas dan waktu yang melingkupinya berbeda.

Perbedaan berdasarkan konteks lokalitas itu menghasilkan apa yang disebut oleh Appadurai (2000: 179) sebagai “subjek lokal”. Berdasarkan pemikiran itu, dapat

diargumentasikan bahwa sifat femininitas yang terus menerus berubah dapat diatribusikan sebagai akibat dari dinamika dalam ruang local dan juga karena semakin saling terkait dan terhubungnya dunia, yang menyebabkan budaya lokal harus terus menerus berdialog dengan budaya lain, termasuk dengan budaya-budaya yang dianggap budaya “global”.

Globalisasi itu apa? Apa yang terjadi dalam proses globalisasi?

Globalisasi telah didiskusikan secara meluas dalam berbagai aspek, termasuk ekonomi, politik, budaya, hukum, bahasa, media. Globalisasi juga digambarkan dalam pelbagai

istilah, misalnya sebagai “aliran” (

flows

) (Appadurai, 1990a), “kekuatan” (

forces

) (Cvetkovich

and Kellner, 1997), “proses” (Cvetkovich and Kellner, 1997, Appadurai, 2000, Axtmann, 1997). Penggambaran awal ini menyiratkan bahwa globalisasi mengacu kepada suatu dinamika yang kompleks dan berlapis-lapis yang menyebabkan pelbagai aspek kehidupan di seluruh dunia, termasuk yang sifatnya personal dan public, menjadi semakin saling terhubung (

interconnected

). Sebagaimana diargumentasikan Cvetckovich dan Kellner (1997), globalisasi mengacu kepada “cara ekonomi global, kekuatan politik dan budaya semakin cepat memasuki penciptaan pasar dunia baru, organisasi politik transnasional

baru dan budaya global baru” (Cvetkovich and Kellner, 1997: 3).

Dengan perkataan lain, globalisasi bekerja melalui berbagai cara, alat dan institusi, yang keseluruhannya bekerja demi terciptanya saling keterhubungan antara berbagai aspek

kehidupan dari perlbagai “

locales

” yang berbeda dan diantara budaya local itu sendiri.

Globalisasi juga mengacu kepada pertemuan terus menerus antara yang global dan yang local. Sebagaimana dielaborasi lebih jauh oleh Robertson dan Chirico, sebagaimana dikutip oleh Robertson (1997: 18), “

globalization is, in spite of differing conceptions of that theme,

best understood as indicating the problem of the form in terms of which the world

becomes ‘united’, but by no means integrated in naïve functionalist mode

”. Dapat

dikatakan bahwa meskipun globalisasi terlihat sebagai penyebab munculnya

(4)

4

Globalisasi itu sendiri adalah suatu proses yang bersifat historis, tidak merata, dan bahkan melokalisasi (menjadikan lokal). Globalisasi tidak dapat dengan sederhana disamakan sebagai homogenisasi atau Amerikanisasi, dan dalam bahkan dalam hal tertentu, masyarakat yang berbeda akan menyesuaikan material untuk modernitas dengan cara yang berbeda juga.

Argumentasi Appadurai bahwa globalisasi sesungguhnya bekerja dengan memicu

terjadinya proses “lokalisasi” sangatlah penting. Menurut Appadurai, walaupun globalisasi

mengisyaratkan bahwa budaya global mengambil tempat di pusat, tidak berarti bahwa budaya global merupakan pusat. Karena harus berhadapan dengan kekuatan globalisasi, local dipaksa untuk mempertahankan budaya serta nilai-nilai lokalnya melawan proses globalisasi. Jika kita menempatkan pemikiran ini ke dalam konstruksi femininitas, dapat dikatakan bahwa meskipun konstruk femininitas local harus terus menerus berrsinggungan dengan konstruk femininitas global, konstruksi femininitas lokal Indonesia akan terus menerus membangun perbedaannya dengan konstruk global dan konstruk budaya lokal lain, meskipun pada saat yang sama merangkul konstruk femininitas global sebagai bagian dari dirinya. Budaya dan nilai-nilai lokal akan terus menerus berkembang dan berubah sebagaimana yang global dan yang lokal akan terus menerus saling mempengaruhi di dalam pelbagai aspek kehidupan.

Pendapat Appadurai mengenai perbedaan dan perpecahan atas globalisasi lebih jauh menggaribawahi hal ini. Ia berpendapat bahwa globalisasi adalah suatu “proses yang tidak

merata” dan bahwa “perbedaan dan perpecahan” atas globalisasi terutama disebabkan oleh fakta bahwa globalisasi bekerja melalui “aliran budaya global” yang disebutnya sebagai “(a)

ethnoscapes

; (b)

mediascapes

; (c)

technoscapes

; (d)

finanscapes

; and (e)

ideoscapes

(Appadurai, 1990a: 6). Appadurai menekankan bahwa akhiran “

scapes

dalam berbagai gagasan ini mengacu kepada sifat cair dari berbagai elemen yang membangun budaya global. Dialektika yang terus menerus terjadi antara berbagai aliran ini mempengaruhi konstruk social budaya serta pengimaginasian diri yang berbeda” (Appadurai, 2000), termasuk juga, menurut saya, konstruk femininitas. Ini terutama jika dilihat secara lebih

spesifik melalui “

mediascapes

” dan “

technoscapes

”, karena aliran media dan teknologi

(5)

5

ke dalam pelbagai budaya yang berbeda sebagaimana mereka diproyeksikan di dalam kehidupan sehari-hari yang biasa saja. Appadurai (2000: 4) lebih jauh berpendapat:

Because of the sheer multiplicity of the forms in which they appear (cinema,

television, computers, and telephones) and because of the rapid way in which they

move through daily life routines, electronic media provide resources for self-imagining

as an everyday social project.

Jelas dari argumentasinya bahwa menurut Appadurai, media merupakan sumber penting bagi proyeksi imaginasi diri. Secara lebih luas dapat diargumentasikan bahwa media memberikan kita cermin yang daripadanya kita melihat diri kita, membayangkan diri kita, dan memproyeksikan diri kita di masa depan.

.

Bagaimana globalisasi bekerja dan mempengaruhi konstruksi femininitas Indonesia? Sebagaimana telah ditunjukkan oleh Appadurai (1990b, Appadurai, 2000), globalisasi bekerja dengan melalui paling tidak lima aliran. Saya berargumentasi bahwa aliran-aliran ini diimungkinkan oleh perlintasan berbagai bahasa dan semakin meningkatnya penggunaan komunikasi visual, termasuk gambar/citra dan iklan dalam majalah dan budaya perempuan. Citra-citra ini berfungsi untuk memproyeksikan tidak saja budaya global sebagai global, tetapi juga memaksakan yang lokal terhadap yang global sedemikian sehingga baik yang lokal maupun yang global harus terus menerus bernegosiasi dan berdialog. Perempuan

‘lokal’ memproyeksikan dirinya sebagai global dan lokal melalui citra yang ditampilkan di

pelbagai media yang tersedia bagi dirinya, termasuk sastra, majalah, televisi, film, media cetak dan media cyber. Citra di dalam majalah perempuan Indonesia, misalnya, meskipun

dimodeli oleh ‘perempuan lokal’ tidak serta merta merepresentasi femininitas lokal

(6)

6

Global mass culture is dominated by the modern means of culture production,

dominated by the image which crosses and re-crosses linguistic frontiers much more

rapidly and more easily, and which speaks across languages in a much more

immediate way. It is dominated by all the ways in which the visual and graphic arts

have entered directly into the reconstitution of popular life, of entertainment and of

leisure. It is dominated by television and by film, and by the image, imagery, and

styles of mass advertising

Fenomena ini terutama jelas terlihat dalam teks auto/biografis selebritas perempuan Indonesia yang mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kelompok etnis tertentu, misalnya Jawa, Manado, Sunda, dan sebagainya, atau dalam konteks kebangsaan (Indonesia), tetapi pada saat yang sama mereka memproyeksikan diri sebagai “global” sebagaimana terefleksikan dalam tingginya penggunaan Bahasa Inggris di dalam teks auto/biografis para selebritas yang diteliti. Hal yang sama dapat juga dikatakan sehubungan dengan

representasi melalui citra yang ditampilkan oleh para selebritas sebagai orang Indonesia, misalnya dengan mengenakan pakaian tradisional atau aksesori lain yang mengacu kepada budaya Indonesia, tetapi pada saat yang sama merupakan warganegara global melalui konsumsi barang-barang bermerk global dan juga penampilannya dengan mengenakan pakaian masa kini yang mengglobal, misalnya jeans dan gaun). Hal ini terlihat jelas pada auto/biografi Yuni Shara sebagaimana terlihat pada ilustrasi berikut ini:

(7)

7

Paper ini memperhitungkan dengan serius fakta bahwa selebritas perempuan Indonesia

harus menegosiasikan femininitas dan konstruksi identitas “global” dengan konstruksi lokal.

Misalnya, para selebritas harus menegosiasikan citra seksi dengan ajaran agama dan budaya yang berlaku di Indonesia. Strategi yang hati-hati diperlukan untuk bermain dalam area ini karena selebritas perempuan harus cukup seksi untuk dapat menarik perhatian tetapi cukup sopan sehingga tidak mengundang pandangan yang tidak senonoh atau menuai protes. Praktik auto/biografis dari para selebritas ini berpotensi untuk memaparkan cerita tentang bagaimana globalisasi berproses di ranah publik, yang secara superfisial dilihat sebagai yang [di]global[kan]. Saya yakin bahwa penggambaran bagaimana selebritas perempuan secara strategis mengatur ranah hegemonis yang beragam, seperti misalnya lokalitas dan globalitas, femininitas normatif dan femininitas yang cair atau partikular atau femininitas global dan femininitas lokal akan memberikan informasi penting mengenai moda artikulasi perempuan dan masyarakat lokal.

Mengikuti argumen bahwa kebudayaan masa global dikonstruksi melalui teknologi dan media global, dan bahwa hal itu mempengaruhi bagaimana seseorang melihat dirinya serta bagaimana seseorang memproyeksikan kehidupannya dan dirinya, dapat dikatakan bahwa globalisasi bukanlah satu cara dan kekuatan yang menghomogenkan. Berargumentasi seperti itu adalah mengasumsikan bahwa budaya lokal bersifat tabula rasa dan bahwa budaya lain akan diserap dengan tanpa resistensi atau proses dialogis lainnya.

Sebagaimana diargumentasikan Axtman (1997), media memang mempengaruhi budaya, tetapi bukan berarti media akan sepenuhnya mendefinisi budaya. Lebih lanjut menurut Axtman (1997: 17):

The argument that media determines culture and cultural experience systematically

denies the contextuality of culture. The social groups and collectives that are the

recipients of the “global message” interpret, or bestow meaning upon, these

messages on the basis of their own specific experience and memories as they grew

out of their own particular histories and cultures; they creatively modify “messages”

and cultural products in light of their own local needs and requirements. It is exactly

the timeslessness, but also the context-

specific “Westernness,” of the global

cultural message that is undermining its capacity to create a global collective

(8)

8

Dengan perkataan lain, pengaruh apapun juga yang akan berimbas pada konstruk budaya akan selalu melalui proses penyaringan, adaptasi dan adopsi karena fakta bahwa budaya selau berkaitan dengan sejarah, nilai dan norma yang tidak dapat begitu saja dilepaskan. Lebih penting dari itu, budaya bersifat melekat dan menubuh pada pendukungnya.

Hal yang sama dapat dikatakan berkenaan dengan konstruk femininitas, yang merupakan bagian inheren dari budaya. Konstruksi global atas femininitas adalah bagian penting dari elemen yang membangun konstruksi femininitas lokal dengan cara yang mungkin dapat dianggap kontradiktif. Sebagaimana globalisasi seringkali diacu sebagai ‘modernisasi’ (Cvetkovich and Kellner, 1997, Robertson, 1997), konstruk femininitas global juga dapat memaksakan/menekankan nilai-nilainya yang kemudian diproyeksikan sebagai femininitas yang modern dan lebih lumrah. Pada saat yang sama, tekanan yang dilakukan oleh globalisasi mendorong lokal untuk menjunjung tinggi konstruk femininitas lokalya sendiri. Dalam hal ini, perlu juga dipertimbangkan pendapat bahwa globalisasi beroperasi melalui pasar dan modus produksi dan konsumsi (Cvetkovich and Kellner, 1997, Appadurai, 2001). Appadurai, Cvetkovich & Kellner berpendapat bahwa globalisasi sangatlah dekat hubungannya dengan pasar sedemikian sehingga pasar mendikte kehidupan

“warganegara modern” dan pada saat yang sama memicu komodifikasi pelbagai aspek

kehidupan, termasuk persoalan yang sebelumnya dianggap pribadi. Proses ini secara jelas berlangsung hampir sama di seluruh pelosok bumi. Saya berpendapat bahwa aspek-aspek ini berpengaruh terhadap konstruk femininitas lokal. Majalah perempuan Indonesia,

misalnya, terlihat banyak yang mengubah format dan isinya sehingga menjadi mirip dengan majalah-majalah yang lebih global. Hal ini ditandai dengan kemiripan yang sangat antara

majalah perempuan lokal dengan majalah perempuan ‘global’, misalnya

Cosmopolitan

,

Elle

, dan sebagainya. Globalisasi juga terlihat jelas dalam pergeseran isi yang menjadi lebih

“global’ dan “modern” dengan memasukkan/mengintegrasikan konten seks dan gaya

hidup. Sebagaimana diungkapkan Cvetkovich and Kellner (1997: 8), “budaya global

bermakna mempromosian gaya hidup, konsumsi, produk dan identitas”. Persoalan

-persoalan ini bukan saja ditandai sebagai global, tetapi lebih penting lagi dimaknai sebagai

“modern”. Majalah-majalah global yang ditargetkan bagi perempuan professional kelas

(9)

9

Hidupnya kembali industri pertunjukan lokal, termasuk musik, televisi, radio film dan

semakin dipublikasikannya berbagai aspek kehidupan memunculkan suatu kelompok selebritas yang sangat besar, baik selebritas yang memang mempunyai pencapaian dan prestasi yang sudah mapan maupun mereka yang hanya “

known for their

well-knowness

” (Boorstin, 1972). Selebritas yang hidupnya terus menerus berada dalam sorotan diberikan ruang untuk memproyeksikan hidupnya, untuk mempertunjukkan suatu bentuk femininitas dan identitas yang biasa dan luar biasa. Representasi selebritas perempuan di media memberikan model yang sangat beragam untuk dapat dijadikan bayangan tentang citra diri dan juga konstruksi femininitas. Fakta bahwa media adalah fokus tempat proses globalisasi terjadi dengan cara yang sangat intens dan bahwa selebritas mendapatkan status selebritasnya melalui mekanisme media bermakna bahwa budaya selebritas lokal secara terus menerus bersinggungan dengan budaya selebritas global, sedemikian sehingga selebritas lokal dapat mengidentifikasi dirinya dengan

selebritas global tertentu, atau mengagumi selebritas global tertentu serta sikap-sikap lain yang mengisyaratkan efek dari pertemuannya dengan budaya global. Pertemuan ini

mempengaruhi pelbagai aspek dari kehidupan selebritas lokal, termasuk aspek-aspek yang berkenaan dengan pekerjaan profesionalnya, penampilannya, modus konsumpsinya serta kehidupan pribadinya, termasuk gaya hidup, hubungan pribadinya dengan pasangannya dan atau dalam menjalankan fungsinya sebagai ibu. Akhirnya, dapat diargumentasikan bahwa selebritas lokal tidak saja mereprsentasi femininitas lokal tetapi juga femininitas global, yang pada gilirannya selebritas perempuan lokal ini akan menjadi model femininitas bagi konstruksi lokal femininitas Indonesia. Pada saat yang sama, efek Hollywood juga mengalir melalui berbagai aspek langsung terhadap ruang global publik tempat selebritas global memproyeksikan dirinya di dalam berbagai media.

Mengapa auto/biografi?

Sekalipun seringkali dianggap sepele, auto/biografi adalah bagian penting dari budaya yang merefleksikan bagaimana diri dipersepsi, bagaimana sejarah ditampilkan dan bagaimana pergeseran terjadi. Menurut Stanley, bentuk penting dari auto/biografi adalah apa yang disebutnya sebagai

Bildungsroman

, yang menurutnya merupakan “

the tale of the

progressive traveling of a life from a troubled or stifled beginnings; in which obstacles are

(10)

10

end, or it may go on to document yet further troubles turned to triumphs

” (1992: 11). Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa bentuk tradisional auto/biografi,

bildungsroman

,menampilkan ‘dokumen’ atau ‘cerita faktual’ mengenai kehidupan seseorang yang telah mencapai sukses setelah menjalani kehidupan yang sulit sebelumnya.

Lebih jauh lagi, Stanley (1992) berargumentasi bahwa auto/biografi berpotensi untuk

memberikan gambaran mengenai hidup yang dapat dijadikan contoh, yang tokohnya dapat dijadikan panutan. Penggunaan kata auto/biografi dalam paper ini mengacu kepada

kaburnya batasan antara autobiografi dan biografi terutama dalam hal auto/biografi selebritas. Dalam konteks ini, dapat juga diargumentasikan bahwa auto/biografi selebritas lokal dapat juga dijadikan bagian dari pendukung terciptanya konstruksi femininitas lokal yang merupakan hasil dialog dengan konstruksi femininitas global. Sebagaimana

diargumentasikan oleh Steedman (2000), auto/biografi mempunyai potensi untuk menjadi agen perubahan di satu sisi dan pelanggengan nilai-nilai atau konstruksi sosial kulural tertentu di sisi lain. Menurutnya “[

o

]

ne of the many ways in which forms of selfhood have

been transmitted and appropriated is through the reading of

or at least knowing about

literary selves

” (Steedman, 2000: 27). Dengan demikian, menjadi lebih jelas lagi bahwa

walaupun auto/biografi seringkali ditulis tentang seseorang tertentu, eksistensinya tidak berhenti sebatas si autobiografer itu saja melainkan jauh meluas karena, bagaimanapun, suatu buku, atau dalam hal ini auto/biografi, yang diterbitkan di ranah publik ada untuk dimaknai dan diinterpretasi, sebagai bagian dari “

part of a general and perpetual

conversation about life possibilities

” (Bruner, 1993: 41).

(11)

11

presenter dan penyanyi. Dalam konteks paper ini, Yuni Shara memang lebih dikenal

sebagai penyanyi, tetapi ia juga sebenarnya adalah seorang pebisnis. Dalam

auto/biografinya ia menampilkan diri sebagai ‘duta’ bagi merk tas global seperti Louis

Vuitton, Channel dan Hermes yang ditampilkan sebagai bagian penting dari identitas femininitasnya yang global dan lokal.

Kesadaran, Transformasi dan Negosiasi Femininitas Glokal (Global dan Lokal)

Dari pelbagai aspek, auto/biografi Yuni Shara yang berjudul

Yuni Shara: 35 Cangkir Kopi

sangatlah menarik. Diterbitkan atas kerjasama penulis Tamara Geraldine, yang juga seorang selebritas, dan Darwis Triadi, seorang fotografer yang namanya sudah mapan di papan atas fotografer model Indonesia. Buku ini tidak semata-mata menarasikan hidup seorang selebritas karena Yuni Shara bukan hanya ditampilkan sebagai selebritas melainkan juga sebagai teman bersama pembuat bukunya, yakni Tamara dan Darwis. Dalam posisi sebagi teman, Tamara menulis auto/biografi ini sebagai hadiah ulang tahun ke-35 bagi Yuni. Sementara Darwis Triadi adalah fotografer yang sudah seringkali bekerjasama dengan Yuni Shara, dan seperti diakui Yuni dalam kata pengantar buku ini, Darwis Triadi “tak pernah gagal membuat saya terlihat cantik” (Geraldine and Triadi, 2007: xxi). Kerjasama Tamara and Darwis menghasilkan rasa artistik ke dalam auto/biografi ini, baik dalam hal artikulasi puitis Tamara Geraldine dan juga dalam hal foto-foto artistik yang dihasilkan oleh Darwis Triadi. Saya berargumentasi bahwa dalam banyak hal, auto/biografi Yuni Shara ini melakukan perlintasan antara beberapa genre karena ia dapat dilihat sebagai autobiografi dan biografi. Ia juga dapat dilihat sebagai album foto Yuni Shara atau juga portfolio Darwis Triadi sebagai fotografer. Struktur auto/biografi yang ditawarkan oleh Tamara Geraldine juga mengawinkan struktur majalah perempuan ke dalam genre auto/biografi dengan cara yang sangat menarik. Dari sisi Yuni Shara, auto/biografi ini adalah sebentuk

momento mori

dari 35 tahun hidup yang penuh warna dan aroma.

Seperti kebanyakan auto/biografi, auto/biografi ini juga dapat dianggap sebagai

bildungsroman

, yang tulang punggungnya ada pada narasi progresif yang disampaikannya.

(12)

12

dan menjadi kaya diceritakan melalui sudut pandang pohon kelengkeng di rumah tempat dulu Yuni, Ibu dan adiknya, Krisdayanti, tinggal di Malang. Dapat dikatakan bahwa rumah ini merupakan simbol dari awal hidupnya yang sederhana, jika tidak miskin. Pohon kelengkeng itu keman menjadi saksi bagi perubahan atau perbaikan kelas sosial Yuni. Meskipun si pohon tidak melihat transformasi tempat tinggal Yuni dari rumah yang berdesak-desakan dengan keluarga lain ke rumah mewah yang ditempatinya sendiri, namun ia mendengar keberhasilan Yuni yang disimbolkan oleh rumahnya yang mewah sekarang.

Katanya mereka sudah tinggal di rumah masing-masing di Selatan Jakarta yang tak pernah sejuk. Mereka tidak lagi perlu menyapu halaman setiap jam tiga sore seperti dulu. Pasti sekarang mereka punya banyak pembantu. Yang aku dengar, mereka sudah tinggal sendiri-sendiri dan sudah bukan gadis-gadis kecil lagi. Si kakak dan si adik sudah benar-benar menjadi penyanyi. Pasti mereka sudah tinggal di rumah besar, berkamar luas dan berpagar tinggi. (Geraldine and Triadi, 2007: 49)

Kutipan tersebut dengan jelas menunjukkan genre

bildungsroman

auto/biografi Yuni Shara ini, yang juga terlihat dari sudut pandang pohon kelengkeng ini adalah bahwa pekerjaan domestik seperti menyapu halaman ditandai sebagai pekerjaan kelas bawah. Sebaliknya, pembantu, kamar yang luas dan pagar tinggi ditandai sebagai status sosial tinggi dan simbol kesuksesan.

Selain jelasnya “

progress narrative

” di dalam auto/biografi ini, seperti juga kebanyakan

auto/biografi perempuan,

Yuni Shara: 35 cangkir Kopi

ini juga menampilkan dan memproblematisasi konstruksi femininitas, yang di satu sisi seringkali bersifat normatif – terutama yang dianggap sebagai nilai-nilai lokal, dan di sisi lain membuka kemungkinan transformasi, resistensi dan negosiasi. Berbagai fitur femininitas ditampilkan dalam auto/biografi ini. Yuni Shara bercerita mengenai pengalamannya menjadi ibu, tetapi yang lebih sangat kuat terasa adalah narasinya sebagai seorang istri. Setelah kegagalan dalam perkawinan pertamanya3, pandangannya terhadap perkawinan dan hubungan suami istri sangatlah cair, dalam artian beberapa pandangannya dapat dianggap sebagai

3 Ketika auto/biografi ini diterbitkan, Yuni Shara masih dalam perkawinan dengan suami keduanya,

(13)

13

konvensional serta merefleksikan nilai-nilai tradisional Jawa, tetapi beberapa pandangannya yang lain sangatlah modern (baca: global) dan memberdayakan. Dalam paparan berikut saya akan menggambarkan dan memetakan pelbagai bentuk kesadaran, transformasi dan negosiasi femininitas yang ditunjukkan Yuni Shara dalam berbagai peran dan atribusi sosial dan kultural dalam auto/biografinya,

Yuni Shara: 35 Cangkir Kopi

.

Konstruksi femininitas sebagai Ibu

Ada dua “Ibu” yang berbeda di dalam auto/biografi ini, yakni Yuni Shara dan ibunya. Ibu

yang diperkenalkan pertama kali adalah Ibu Yuni Shara, yang diacu sebagai “Mama”. Kedua ibu, Yuni Shara dan ibunya, digambarkan mempunyai kekhawatiran, keinginan dan usaha yang sama untuk menjadi ibu yang terbaik bagi anak-anaknya. Melalui narasi Mama, ditunjukkan bahwa tuntutan menjadi seorang ibu adalah suatu hal yang tidak mungkin dipenuhi secara keseluruhan. Mama mengakui bahwa ia bukanlah ibu yang sempurna, tetapi ia bangga telah berhasil melakukan semua kewajibannya sebaik yang dia bisa

sebagai seorang ibu tunggal bagi kedua putrinya. Mama bernarasi [kepada Yuni], “Banyak

hal yang mungkin menurut banyak orang tidak Mama lakukan buatmu. Seperti juga banyak

yang tidak mereka lihat Mama lakukan demi tanggung jawab menjadi seorang Mama”

(Geraldine and Triadi, 2007: 14)

Dalam kutipan tersebut terlihat bahwa salah satu bagian penting dari konstruksi femininitas

dalam masyarakat kita adalah menjadi ibu ‘yang baik’, suatu kualitas yang dituntut dari

perempuan dan dikenai pengawasan dan monitoring yang cukup ketat oleh lingkungan sekitar. Persoalan

surveillance

dan monitoring ini dikatakan oleh Bartky (1997), mengikuti Foucault, adalah bagian dari konstruksi femininitas yang dibentuk dengan membangun kesadaran pada perempuan bahwa ia terus menerus diawasi.

Yang menarik dari paparan Mama berikutnya adalah bagaimana menjadi Ibu juga

(14)

14

padanya mengenai kehidupan pribadinya hingga Yuni Shara sendiri membukanya4,

sebagai Ibu, Mama selalu bersiap menghadapi kesulitan apapun yang mungkin menimpa anaknya. Dalam narasinya, Mama berjanji (Geraldine and Triadi, 2007: 17):

Dalam diammu yang kedinginan Kuhangatkan secangkir kecil pelukan Kapan saja kau merasa ingin pulang

Dalam tradisi Islam dan Jawa, seorang istri tidak sepatutnya meninggalkan rumahnya tanpa izin dari suaminya. Meninggalkan rumah (sebagai suatu institusi perkawinan) adalah

meninggalkan perkawinan. Dalam konteks Yuni Shara, keberadaan ibu yang siap menerima [kembali] anaknya yang ‘pulang’ jika perkawinan anaknya tidak berlangsung baik adalah bagian penting dari kehadiran ibu. Dengan perkataan lain, melalui narasi ini, seorang ibu digambarkan selalu bersedia dan ada bagi anak-anaknya, bahkan sesulit apapun keadaannya.

Pandangan bahwa seorang ibu selayaknya selalu ada dan mengabdikan diri pada anak-anaknya juga diyakini oleh Yuni Shara, yang memiliki dua anak laki-laki. Seperti ibunya, Yuni juga melihat bahwa pengorbanan adalah bagian penting dari atribusinya sebagai ibu. Menurut perspektif Yuni, kehadiran dan pengorbanan seorang Ibu diperkuat oleh kemampuan untuk bisa luwes dan lentur dalam menjalankan fungsinya sebagai ibu. Menurutnya, menjadi ibu bukanlah suatu kondisi yang statis, melainkan suatu perubahan terus menerus dari waktu ke waktu. Menjadi ibu adalah persoalan kontekstual yang tidak dapat didekati dengan pendekatan yang kaku. Dalam narasinya, Yuni mengatakan (Geraldine and Triadi, 2007: 27):

Cangkir-cangkir mungil itu kuberi nama Cavin dan Cello. Kuusahakan mereka mengkilap dan senantiasa berkilau wlau harus kubasuh dengan kain sutra basa air mata dan tetes keringat. Kulagukan senandung

lullaby

semakin keras ketika hujan mulai turun rintik perlahan. Kubiarkan diriku menjelma menjadi sebuah teko yang

(15)

15

menyiramkan air hangat di kala tubuh mereka dingin atau ketakutan. Lalu

kukembalikan wujudku kembali menjadi sebuah cangkir seukuran jika mereka kekurangan teman bermain pasir. Karena nanti mereka pun harus sefleksibel itu jika suatu saat dikelilingi cangkir-cangkir kecil yang bernama belakang Siahaan, seperti mereka.

Janji Yuni Shara untuk selalu ada dalam berbagai bentuk dapat diargumentasikan sebagai versi menjadi ibu yang yang telah mengalami transformasi dari bentuk kehadiran Mama untuknya. Dapat juga diargumentasikan bahwa Yuni Shara menampilkan bentuk usaha menjadi ibu yang lebih modern,. Pembacaan atas kedua cara menjadi ibu tidak

terhindarkan dalam mencermati auto/biografi ini karena memang ada pembandingan cara keduanya menjadi ibu. Yang menurut saya sangat melegakan dan bersemangat feminis adalah bahwa perbedaan ini tidak dikerangkai sebagai bentuk kompetisi melainkan sebagai bentuk pengakuan atas perbedaan situasi, perbedaan keterbatasan dan

keleluasaan dari kedua ibu; Yuni Shara dan ibunya, yang kemudian membentuk konstruksi ibu yang juga berbeda antara satu dan yang lainnya. Ini menunjukkan bagaimana lokalitas dan globalitas, nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai yang lebih modern berbaur tanpa masing-masing kehilangan nilai-nilai pentingnya. Memahami bahwa masa kecilnya sulit secara ekonomi, Yuni Shara memahami ketidakhadiran ninak bobo yang dinyanyikan di kupingnya, meskipun dia sangat menginginkannya. Tanpa terlihat sebagai suatu keluhan dan ‘balas

dendam’, Yuni Shara berjanji untuk selalu menyanyikan nina bobok untuk anak-anaknya

karena ia memahami apa yang dulu tidak diperolehnya, yang dipahaminya sebagai bukan

kesalahan ibunya. Ia memaparkan “[k]etika telingaku tidak pernah mendengar senandung

ibuku pada saat dingin menemanimalam, aku ingin mereka terus mendengar sayup-sayup

lagu nina bobok” (Geraldine and Triadi, 2007: 23).

(16)

16

memandang anak-anaknya dan perannya sebagai ibu sebagai suatu

momento mori

. Di satu sisi, Yuni Shara merasa bahwa menjadi ibu telah membatasi kapasitasnya untuk bertualang sebagai seorang perempuan, di sisi lain, baginya anak-anak adalah manifestasi dari hasrat untuk hidup selamanya, untuk selalu hidup dan diingat. Ia mengungkapkan (Geraldine and Triadi, 2007: 23):

Aku tetap perempuan yang ingin menjalani hidup dengan petualangan tak terbatas jika saja tak terlanjur menambah sebuah status baru, menjadi bunda, bagi kedua pangeran yang akan mengabadikanku. Dari bola mata mereka yang akan

membuatku dikenang, hidung kecil yang membangkitkan ingatan bahwa aku pernah ada dan memberi warna (apapun itu) dalam dunia. Dengan kehadiran mereka, aku percaya bahwa aku akan terus hidup seribu tahun lagi.

Gagasan bahwa menjadi ibu adalah cara untuk diingat sangatlah baru dan menyegarkan untuk saya. Menjadi ibu bukan hanya sekadar kewajiban, melainkan merupakan cara untuk melanggengkan dan membangun “keabadian” subjektivitas diri. Seorang ibu tidak dapat begitu saja dihilangkan dari pikiran seseorang karena jejak seorang ibu akan selalu ada baik dalam wujud fisik maupun dalam setiap langkah, setiap ujaran dan setiap pikiran yang ada di dalam diri seorang anak. Dengan demikian, dapat diargumentasikan bahwa dengan membesarkan seorang anak, seorang ibu hidup selamanya. Eksistensi dan subjektivitas seorang ibu tidak dapat disangkal dan tidak dapat dihindarkan. Meskipun ini terdengar romantis dan sentimental, tetapi menurut saya gagasan mengenai ibu yang terungkap dalam auto/biografi ini memberikan pencerahan bukan saja dalam konteks praktik pragmatis peran/fungsi/tugas seorang ibu, yang secara tradisional dan konvensional diterjemahkan sebagai tugas menyiapkan makanan, mencuci, membersihkan rumah dan

sebagainya, melainkan peran/fungsi/tugas dan kapasitas seorang ibu untuk ‘mewarnai’

dunia.

Konstruksi Femininitas sebagai Istri

(17)

17

memberikan kebahagiaan. Menurut saya, disinilah terlihat bagaimana nilai-nilai budaya Jawa dalam konstruksi diri sebagai seorang istri muncul dalam penggambaran diri Yuni

Shara, seperti terlihat dalam pandangannya atas apa yang sudah menjadi ‘takdirnya’,

terutama dalam penceritaan tentang perkawinan pertamanya yang berakhir dengan sangat menyakitkan. Ia menerima bahwa ia ada semata-mata sebagai “anak wayang, bidak catur, atau perumpaan-perumpamaan lainnnya, aku ada sesuai porsi dimana aku ditempatkan” (Geraldine and Triadi, 2007:7). Seperti pernah juga saya bahas dalam tulisan saya yang lain (Prabasmoro, 2006), peran istri seringkali bermakna tuntutan untuk berkorban demi

kepentingan orang-orang di sekitarnya, terutama suami dan anak-anaknya. Yang kemudian menarik mengenai penggambaran diri sebagai istri, di satu sisi Yuni Shara merayakan penerimaan peran, tugas, dan fungsi [konvensional]nya sebagai seorang istri yang cenderung mengabaikan kepentingan dirinya sendiri, di sisi lain, ia juga bersifat kritis terhadap dirinya sendiri karena telah menerima tanpa syarat apapun pengorbanan dirinya itu. Hal ini terutama jelas dalam pembicaraannya mengenai pernikahan pertamanya (dalam chapter

Cangkir Somplak

).

Penggambaran yang kontras ini menunjukkan adanya fragmentasi dan kesadaran atas peran serta atribusinya sebagai perempuan yang menjalankan berbagai peran berbeda; sebagai perempuan, istri, anak, ibu, dan Diri. Dapat diargumentasikan bahwa femininitas bukanlah suatu hal yang integrated dan tunggal, melainkan terpecah-pecah meski bukan berarti terpisah-pisah karena pecahan-pecahan itu saling berhubungan. Meskipun demikian, Yuni Shara mengatakan, usaha untuk menjalani pelbagai peran in seringkali berkonsekuensi pengabaian dirinya sendiri sebagai Diri, sebagai Subjek dan sebagai suatu subjektivitas, seperti yang dikatakannya berikut ini (Geraldine and Triadi, 2007: 3):

(18)

18

“Menjadi Diri sendiri” dalam konteks menjadi istri dan ibu adalah konsep yang tidak

tradisional karena ia adalah bagian konstruksi diri yang individual. Ungkapan Yuni Shara akan hilangnya bagian penting dari dirinya itu menunjukkan adanya kesadaran akan nilai-nilai yang modern yang ingin diklaimnya kembali.

Pada perkawinan keduanya, sebagaimana digambarkan dalam auto/biografi ini,

penyerahan dirinya terhadap perkawinan telah bertrasnformasi menjadi posisi yang lebih sadar, yakni dedikasi. Ia tidak lagi mengorbankan diri membabi buta, meskipun ia masih berpendapat bahwa mengalah [kepada suami] adalah cara untuk mencapai hubungan suami istri yang membahagiakan. Saya berpendapat bahwa dalam auto/biografinya, Yuni Shara digambarkan sebagai perempuan yang berkomitmen, dan bukan submisif, terhadap perkawinannya, sehingga dedikasinya terhadap perkawinan lebih dapat dimaknai sebagai manifestasi perayaan femininitas, rasa dirinya sebagai perempuan, kecantikannya, dan hubungannya dengan suaminya. Chapter

Air dalam Cangkir, Senin sampai Minggu (Tips

mencintai pasangan apa ada Yuni)

memberikan gambaran yang menarik tentang

kesadaran dan negosiasi atas konstruksi femininitas Yuni Shara sebagai perempuan dan istri. Ada tiga puluh lima tips yang dipaparkan di dalam chapter ini, yang dapat dibagi dalam kategori berikut:

1. Kebutuhan untuk mencintai sebelum mencintai orang lain. 2. Peran istri sebagai manager rumah tangga

3. Peran istri sebagai sebagai pasangan yang mencintai dan penuh kasih sayang 4. Peran istri sebagai partner seksual

5. Peran istri sebagai menantu perempuan yang baik

6. Peran istri sebagai anggota dari keluarga yang dipimpin suami 7. Kebutuhan untuk menerima fakta bahwa suami bukanlah

superman

8. Kebutuhan untuk menerima diri sendiri sebagai perempuan biasa (dan bukan

super

woman

)

9. Berbagai trik untuk menyampaikan yang tidak dapat dikatakan tetapi tetap bersikap asertif

10.Kebutuhan untuk menjaga dan memelihara tubuh

11.Kebutuhan untuk selalu waspada ketika terjadi pertengkaran (untuk menghindari

(19)

19

Saya menganggap bagian ini sangat menarik, karena walaupun judulnya terkesan

menggurui, pendekatan yang lebih jenaka meringankan nada konseling perkawinan’ yang

mungkin terasa karena isinya yang memang berisi nasihat. Pendekatan yang lebih relaks ini juga mengisyaratkan kapasitas femininitas Yuni Shara yang lentur dan fleksibel. Dalam trik

no. 29, misalnya, disebutkan, “Jika ada masalah yang tidak bisa selesai, lewatkan saja.

Karena suami kita bukan Superman (

if he is, he’ll be wearing his underwear outside

) (Geraldine and Triadi, 2007: 86, Bahasa Inggris dalam teks asli). Saya melihat pendekatan yang mengacu kepada penerimaan yang sehat terhadap fungsi, tugas dan peran seorang istri lebih berterima dibandingkan indoktrinasi dogmatis untuk selalu menghormati suami sebagai orang yang lebih baik dibandingkan istrinya. Saya juga mengganggap sangat

menarik cara Yuni Shara melihat persoalan ‘menyerah’ dalam konteks perebutan

‘kekuasaan’ atas

remote control

. Ia mengatakan, “Biarkan dia memegang

remote

teve dan

mengganti

channel

setiap lima belas detik sekali” (Geraldine and Triadi, 2007: 86). Trik ini menempatkan perempuan sebagai orang yang lebih rasional dibandingkan laki-laki yang

“mengganti channel setiap lima belas detik”. ‘Saran’ ini juga menandai laki-laki sebagai

irasional dan impulsif, suatu atribusi yang biasanya ditujukan kepada perempuan. Selain itu, trik atau tip ini juga memberikan ruang bersama bagi perempuan untuk menertawakan keadaan atas situasi yang sesungguhnya berpotensi untuk menjadi penderitaan bagi perempuan. Laki-laki yang ingin sepenuhnya menguasai televisi menjadi bahan tertawaan dari kejauhan karena perempuan disarankan untuk menjarakkan diri dari perebutan kekuasaan yang tidak berarti. Dalam posisi ini perempuan ditempatkan sebagai saksi atas ketidakmampuan laki-laki bahkan untuk mendefinisi apa yang diinginkan atau

dibutuhkannya (berubah pikiran setiap lima belas detik sekali adalah penanda yang jelas

dari hal tersebut). Justru dalam posisi ‘mengalah’ perempuan merebut klaim atribusi

rasional yang selama ‘dikuasai’ laki-laki. Yang dianjurkan Yuni adalah memainkan peran

tradisional sebagai istri yang mengalah, tetapi sebetulnya mengalah adalah strategi yang sangat efektif untuk menegosiakan posisi konvensional yang selama ini secara ajeg

menempatkan perempuan sebagai kelompok yang tidak rasional dan inferior terhadap laki-laki. Saya melihat ini bukan saja sebagai permainan kata-kata yang sangat cerdas

(20)

20

Femininitas sebagai kekuatan perempuan

Elemen femininitas lain yang menurut saya layak dibicarakan adalah bagaimana femininitas ditunjukkan sebagai kekuatan perempuan. Walaupun tidak secara eksplisit, di dalam auto/biografinya, Yuni Shara digambarkan telah melalui berbagai cobaan baik sebagai anak perempuan, sebagai perempuan dewasa dan bahkan sebagai istri dari dua laki-laki yang berbeda. Sebagai anak, ia hidup sebagai anak keluarga yang relatif miskin.Ketika ia tumbuh dewasa dan menikah muda untuk pertama kalinya, ia menikah dengan laki-laki yang berbeda agama dengannya, yang merupakan persoalan pelik di Indonesia. Laki-laki itu tidak saja melalukan kekerasan secara fisik dan mental kepadanya, tetapi juga

mempermalukan dirinya di hadapan publik dengan mengedarkan video malam

pengantinnya (Juliastuti, 2002)5. Laki-laki ini diacu sebagai “nyamuk” dalam auto/biografi

ini, seperti terungkap dalam narasi ibundanya, “Andai Mama tahu lebih awal, Mama akan

menutup pinta rapat-rapat untuk seekor nyamuk yang sempat mengubahmu dari sekadar

anak menjadi seorang istri” (Geraldine and Triadi, 2007: 15).

Setelah terbebas dari ‘nyamuk’, Yuni Shara menikah dengan Henry Siahaan, yang lima belas tahun lebih tua. Sekali lagi ia harus melewati masa sulit karena pernikahannya dengan Henry tidak diakui secara legal di Indonesia karena perbedaan agama diantara keduanya.

Dalam auto/biografi ini, diungkapkan ‘tantangan’ terakhir kehidupan bagi Yuni adalah

dituduhnya Henry sebagai koruptor. Menghadapi kesulitan seperti ini, Yuni Shara digambarkan tetap mampu memelihara kekuatan dan ketenangan. Ia mengomentari peristiwa yang harus dilaluinya dengan cara yang tipikal Jawa, tetapi sangat menohok

dengan mengatakan, “dalam hati aku hanya melihat diri ini tidak lebih, tidak kurang, dan

tidak lain hanya sebagai perempuan. Karena perempuan adalah mahakarya yang

sempurna. Berbanggalah dan taklukkan masalah…” (Geraldine and Triadi, 2007: 7).

Kemampuan untuk bertahan dan keluar dari masalah dari Yuni Shara yang terlihat lembut menciptakan konstruksi femininitas yang sangat menarik ketika kekuatan ditampilkan sebagai kelembutan, atau dengan perkataan lain ketika kelembutan digambarkan sebagai manifestasi kekuatan. Kemampuan bertahan dan menghadapi masalah ini diikuti oleh kemampuan untuk mentransformasi diri, untuk berubah, untuk menjadi lentur, sama seperti

(21)

21

yang diungkapkannya tentang kelenturan yang diperlukan untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya. Kemampuan ini mungkin tidak akan terlihat dalam situasi yang normal, tetapi narasi Yuni Shara menunjukkan bahwa bagian penting dari femininitasnya adalah

kemampuan untuk menjadi seorang ‘

survivor

’bahkan ketika harus menghadapi tekanan

yang tidak terbayangkan. Dalam narasinya, Henry Siahaan, suami Yuni Shara,

menunjukkan betapa ia sendiri tidak melihat kekuatan itu ada pada Yuni, yang biasanya tampak lembut dan rentan (Geraldine and Triadi, 2007: 132):

Dan saya bersyukur di saat berat yang kami lewati bersama tersebut, Yuni tidak hanya menjadi istri yag tahan badai. Ia secara tiba-tiba dan tak terduga berhasil mentrasnformasi dirnya menjadi wujud perempuan yang tak pernah saya bayangkan. Istri yang tegar, ibu yang melindungi, anak dan menantu yang mendeduhkan serta artis yang bijaksana dalam memberikan jawaban. Saya tahu ada kecewa (untuk kesekian kali di dadanya) pada saya.

Penutup

Dalam auto/biografinya Yuni Shara telah menunjukkan bukan saja kesadaran melainkan juga penerimaan atas konstruksi femininitas lokal. Yang menarik dari penggambaran diri di dalam auto/biografinya, Yuni Shara melakukan transformasi dan negosiasi terhadap konstruksi femininitas lokal itu sedemikian sehingga ia ditampilkan sebagai sosok yang bukan saja melakukan perlintasan publik dan privat (sebagai penyanyi dan sebagai istri, misalnya) melainkan juga melakukan perlintasan antara yang tradisional dan yang modern, yang lokal dan yang global. Kata perlintasan disini mengacu kepada argumentasi saya, seperti yang sudah saya tunjukkan melalui pembahasan atas konstruksi femininitas yang muncul pada auto/biografi Yuni Shara, bahwa femininitas yang ditampilkan adalah bentuk femininitas baru yang merangkul nilai-nilai modern tanpa mengabaikan nilai-nilai tradisional.

Catatan yang belum sempat terelaborasi atas meleburnya barat dan timur tampak jelas pada citra visual yang ditampilkan dalam auto/biografi ini, misalnya seperti yang terlihat pada gambar 1 dan 2. Pada gambar 1 diperlihatkan Yuni Shara dengan mengenakan kain

dan ‘tank top’ yang menyerupai baju dalam perempuan Indonesia jaman dulu, sementara

(22)

22

pengaruh fashion global pada keseharian dirinya. Gambar 2 juga merupakan ilustrasi yang sempurna untuk menunjukkan perlintasan lokal dan global dalam pola konsumsi Yuni Shara. Satu chapter tersendiri dalam auto/biografi ini menunjukkan

passion

yang dimilikii Yuni Shara pada tas-tas bermerk global, yang juga menunjukkan pentingnya konsumsi barang-barang ‘global’ sebagai bagian dari konstruksi dirinya sebagai perempuan. Chapter mengenai tas ini disampaikan melalui sudut pandang orang lain yang memaknai hasrat Yuni Sharat terhadap tas-tas bermerk itu sebagai simbol kesuksesan dan modernitas. Menjelang akhir auto/biografi, Yuni Shara mengisyaratkan bagaimanapun femininitas yang ditampilkannya tidak selalu mudah didefinisi. Ia bersifat ambigu dan cair, seperti yang diungkapkan salah satu sahabatnya, Melly Goeslaw, “Ia bangga dengan

keperempuanannya walaupun keperempuanannya itu membuatnya sukar memilah-milah

mana sebenarnya yang harus lebih dulu dikonsentrasikan” (Geraldine and Triadi, 2007:

125). Dan mungkin perempuan tidak selalu harus memilih yang mana yang akan dikonsentrasikan karena bagaimanapun ia adalah kesemua identitas diri yang melekat padanya pada saat yang bersamaan.

Daftar Pustaka

APPADURAI, A. (1990a) Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy.

Public

Culture,

2, 1-24.

APPADURAI, A. (1990b) Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy.

Public

Culture,

2, 1-24.

APPADURAI, A. (2000)

Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization,

Minneapolis, London, University of Minnesota Press.

APPADURAI, A. (Ed.) (2001)

Globalization,

Durham & London, Duke University Press. AXTMAN, R. (1997) Collective Identity and the Democratic Nation-State in the Age of

Globalization. IN CVETKOVICH, A. & KELLNER, D. (Eds.)

Articulating the Global

and the Local: globalization and Cultural Studies.

Colorado and Oxford, Westview Press.

AXTMANN, R. (1997) Collective Identity and the Democratic Nation-State in the Age of Globalization. IN CVETKOVICH, A. & KELLNER, D. (Eds.)

Articulating the Global

and the Local: globalization and Cultural Studies.

Colorado and Oxford, Westview Press.

BARTKY, S. L. (1997) Foucault, Femininity, and the Modernization of Patriarchal Power. IN CONBOY, K., MEDINA, N. & STADBURY, S. (Eds.)

Writing on the Body: Female

Embodiment and Feminist Theory.

New York, Columbia University Press. BOORSTIN, D. J. (1972)

The Image: A Guide to Pseudo-Events in America,

New York,

(23)

23

BRUNER, J. (1993) The Autobiographical Process. IN FOLKENFLIK, R. (Ed.)

The Culture of

Autobiography: Constructions of Self-Representation.

Stanford, Stanford University Press.

BUTLER, J. (1999)

Gender Trouble: Feminism and the Subversion of Identity,

New York, London, Routledge.

CVETKOVICH, A. & KELLNER, D. (1997) Introduction: Thinking Global and Local. IN CVETKOVICH, A. & KELLNER, D. (Eds.)

Articulating the Global and the Local:

Globalization and Cultural Studies.

Colorado and Oxford, Westview Press.

GATENS, M. (1996)

Imaginary Bodies

Ethics, Power and Corporeality,

London New York, Routledge.

GERALDINE, T. & TRIADI, D. (2007)

Yuni Shara: 35 Cangkir Kopi,

Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

HALL, S. (1998) The Local and the Global: Globalization and Ethnicity. IN KING, A. D. (Ed.)

Culture, Globalization and the World-System: Contemporary Conditions for the

Representation of Identity.

Minneapolis, University of Minnesota Press.

JULIASTUTI, N. (2002) Balada Adi dan Nanda

MARSHALL, D. P. (2001)

Celebrity and Power

Fame in Contemporary Culture,

Minneapolis, London, University of Minnesota Press.

MOI, T. (1991) Feminist, Female , Feminine. IN BELSEY, C. & MOORE, J. (Eds.)

The

Feminist Reader - Essays in Gender and the Politics of Literary Criticism.

Blackwell Publishers.

PRABASMORO, A. P. (2006) [Hetero]sexuality Redefined.

Kajian Budaya Feminis: Tubuh,

Sastra dan Budaya Pop.

Yogyakarta, Jalasutra.

ROBERTSON, R. (1997) Mapping the Global Condition: Globalisation as the Central Concept. IN FEATHERSTONE, M. (Ed.)

Global Culture: Nationalism, Globalization

and Modernity.

London, Thousand Oaks, New Delhi, SAGE Publication Ltd.

RUBIN, G. (1975) The Traffic in Women. IN REITER, R. R. (Ed.)

Toward an Anthropology of

Women

New York, Monthly Review Press.

STANLEY, L. (1992)

The Auto/biographical I: The Theory and Practice of Feminist

Auto/Biography,

Manchester and New York, Manchester University Press. STEEDMAN, C. (2000) Enforced narratives: Stories of another self

Referensi

Dokumen terkait

Tugas Akhir dengan judul “Analisis Karakteristik Parkir Mal Ambasador dan ITC Kuningan Jakarta” ini disusun sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan strata-1

Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklan di Instagram lebih berpengaruh dan lebih efektif terhadap pemasaran Explore Nusa Penida dibandingkan influencer.. Kata kunci:

Effect of Broccoli Flower Extract (Brassica oleracea L. var.italica Plenck) on Inhibition of Photoaging Viewed from Matrix Metalloproteinase-1 Expression in Human Skin

1. Agar gateway terhubung ke SMSC. Mendefinisikan SMS service atau layanan SMS. Pada saat instalasi Kannel, ikut disertakan beberapa file konfigurasi default sebagai contoh

Dari desain tabel operator di atas, Anda dapat membuatnya dalam database MySQL menggunakan perintah berikut:.. CREATE TABLE

%HUGDVDUNDQ SHPEDKDVDQ GL DWDV QDPSDN MHODV EDKZD SHQRODNDQ \DQJ GLODNXNDQ ROHK %DGDQ 3HUWDQDKDQ 1DVLRQDO PHQJHQDL SHQGDIWDUDQ WDQDK \DQJ GLGDVDUNDQ DWDV SXWXVDQ 3HQJDGLODQ 1HJHUL

Bagaimana pengaruh gerakan heavirlg pada model semisubmersible dengan variasi sarat, frekwensi dan tinggi gelombang terhadap besarnya koefisien redaman.. Apakah besarnya

Dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan database RKA-K/L-DIPA Kementerian Keuangan maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam database