• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEABSAHAN “PERJANJIAN PERCERAIAN” SELAMA BERLANGSUNGNYA PERKAWINAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Tinjauan Mengenai “Perjanjian Perceraian” - Tinjauan Yuridis Perjanjian Perc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KEABSAHAN “PERJANJIAN PERCERAIAN” SELAMA BERLANGSUNGNYA PERKAWINAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. Tinjauan Mengenai “Perjanjian Perceraian” - Tinjauan Yuridis Perjanjian Perc"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEABSAHAN “PERJANJIAN PERCERAIAN”

SELAMA BERLANGSUNGNYA PERKAWINAN BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Tinjauan Mengenai “Perjanjian Perceraian”

Masyarakat dalam kehidupan sosialnya senantiasa akan melakukan interaksi satu sama lain dalam berbagai bentuk. Hubungan antara individu-individu yang merupakan subjek hukum maupun antara badan hukum seringkali merupakan suatu hubungan hukum yang tentu dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan hukum. Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum yang muncul untuk mengakomodasikan kepentingan-kepentingan tertentu dari anggota masyarakat.

Pasal 1338 Ayat1 KUHPerdata menyatakan bahwa, semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal 1338 KUHPerdata ini mengandung asas kebebasan berkontrak, maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya,isinya, dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Dari asas ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi tentang apa saja dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang yang telah disepakati antara pembuat perjanjian tersebut.

(2)

para pihak mengadakan persetujuan-persetujuan yang sama sekali tidak diatur dalam BW, WvK atau undang-undang lain. Untuk persetujuan-persetujuan ini dapat berlaku BW didalam buku ke-III Title I-IV.52

“Perjanjian Perceraian” adalah Kesepakatan yang dibuat oleh suami dan isteri selama berlangsungnya perkawinan terkait dengan hal-hal perceraian dan akibat hukum dari perceraian terhadap harta dan anak.

“Perjanjian Perceraian” yang dalam penelitian ini berbentuk Surat Tanda Penyerahan Rumah dan Surat Pernyataan dan Perjanjian. Perjanjian jenis ini disebut PerjanjianInnominaat,yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.53; perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus didalam Undang-Undang, karena tidak diatur dalam KUHPerdata, tetapi terdapat didalam masyarakat.54 Jumlah perjanjian ini tidak terbatas. Lahirnya perjanjian ini adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian ataupartij otonomiyang berlaku dalam hukum perjanjian.55

J. Satrio memberikan pengertian yang dimaksud dengan Perjanjian Innominat

atau Perjanjian Tidak Bernama, adalah :56

52Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,

Bandung : Sumur Bandung, 1964., hal.10.

53Putro Wicaksono,

Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama,Seventeen Miracle, http://iyudkidd02street17.blogspot.com/2012/11/perjanjian-bernama-dan-perjanjian-tidak.html, diakses pada 18 Juli 2013.

54Macam-Macam Perjanjian dan Syaratnya,

www.adipedia.com/2011/05/macam-macam-perjanjian-dan-syaratnya.html, diakses pada 18 Juli 2013.

55

Boraamelia’s Blog, Perjanjian (Kontrak), boraamelia.wordpress.com/2012/06/11/ perjanjian-kontrak/, diakses pada 18 Juli 2013.

(3)

“Perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus didalam undang-undang. Oleh karena itulah tidak diatur dalam undang-undang, baik di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), keduanya didasarkan pada praktek sehari-hari dan putusan pengadilan(yurisprudensi).

Tentang Perjanjian Tidak Bernama diatur dalam Pasal 1319 KUHPerdata, yaitu yang berbunyi :

“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lain”

Menurut Pasal 208 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa :

“Perceraian suatu perkawinan sekali-kali tak dapat dicapai dengan suatu persetujuan antara kedua belah pihak”

Dimana pasal ini memberi arti bahwa tidak boleh diadakan kesepakatan diantara para pihak yang telah menikah untuk bercerai. Perceraian bukanlah sesuatu hal yang bisa diperjanjikan. Apabila terbukti bahwa perceraian tersebut.dilakukan dengan ada perjanjian atau kesepakatan untuk bercerai sebelumnya, apalagi disaat para pihak belum menikah, maka perceraian tersebut harus dibatalkan dan dianggap tidak sah dikarenakan melanggar Pasal 208 KUHPerdata.

(4)

Di Indonesia sendiri, dengan adanya unifikasi hukum dan juga ditambah adanya asasLex Specialis Lex Generalis, Hukum Perkawinan diatur secara terperinci menggunakan aturan yang diatur dalam Buku I tentang orang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Meskipun menurut unifikasi hukum dan juga menurut asas Lex Specialis Lex Generalis, pengaturan mengenai perkawinan harus mengikuti aturan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tetapi dalam ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa :57

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini,maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen

(Huwelijks Ordonnantie Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”58

Sehingga dengan adanya ketentuan ini, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan dasar hukum dan landasan dari ketentuan hukum yang mengatur mengenai Perkawinan menyatakan bahwa apabila ada ketentuan-ketentuan yang sebelumnya telah diatur dalam KUHPerdata, Ordonanasi Perkawinan Indonesia Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran dan juga peraturan lain sehubungan dengan perkawinan, dan kemudian diatur kembali atau diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka

57

Hilman Hadikusuma, Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Medan : CV. Zahi Trading Co, 2004., hal.5.

(5)

ketentuan yang dipakai adalah ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak lagi ketentuan yang terdapat dalam peraturan-peraturan yang telah ada sebelumnya.59

Akan tetapi, ketentuan ini juga bisa bermakna lain dimana ketentuan ini juga bisa berarti bahwa apabila ada hal-hal mengenai Perkawinan yang ketentuannya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi dalam kenyataan sudah sering dipraktekkan sehingga membutuhkan dasar hukum untuk melindunginya, maka pengaturan mengenai hal tersebut bisa kembali mengacu kepada peraturan-peraturan yang sebelumnya telah ada dan mengatur mengenai perkawinan seperti KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan juga Peraturan Perkawinan Campuran serta peraturan lainnya.60

Pasal inilah yang kemudian menjadi dasar atau acuan dari pembahasan “Perjanjian Perceraian” dalam karya ilmiah ini dimana ketentuan dasar hukum dari “Perjanjian Perceraian” tidak atau belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sehingga pembahasan pengaturan mengenai “Perjanjian Perceraian” ini bisa kembali mengacu kepada KUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen dan juga Peraturan Perkawinan Campuran serta peraturan lainnya. Tetapi meskipun belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pembahasan mengenai “Perjanjian Perceraian” ini harus tetap

59Wahyono Darmabrata,SH,MH,

Tinjauan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta UU dan Peraturan Pelaksanaannya,Jakarta : FHUI, 1997., hal 4.

(6)

memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagai peraturan dasar dari pelaksanaan perkawinan di Indonesia.

Meskipun tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata yang secara jelas mengatur mengenai “Perjanjian Perceraian”, tetapi dikarenakan para pihak mengikatkan diri dalam perjanjian, maka perjanjian yang dibuat ini jelas harus mengikuti ketentuan-ketentuan mengenai mengenai suatu perjanjian pada umumnya, yaitu sebagai berikut :

a. Pengertian Perikatan dan Perjanjian

Perikatan dan Perjanjian merupakan satu hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dimana pandangan masyarakat umum mengenai perikatan dan perjanjian adalah suatu perikatan tidak dapat dilihat dengan kasat mata, hanya dapat dibayangkan dalam alam pikiran kita. Berbeda dengan perjanjian, dimana perjanjian dapat dilihat dengan kasat mata dan didengar juga. Sehingga dapat dikatakan bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkret.61

Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.62 Berdasar pada pengertian ini, di dalam suatu perikatan terdapat hak di satu pihak dan juga kewajiban di pihak yang lain, dimana hak dan kewajiban tersebut merupakan akibat dari 61Sri Soesilowati Mahdi, SH; Surini Ahlan Sjarif, SH., MH dan Akhmad Budi Cahyono, SH.,

MH,Op. Cit.,hal. 129.

(7)

hubungan hukum. Hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban tersebut terjadi diantara dua pihak. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur atau di berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berhutang. Kreditur dan Debitur inilah yang disebut dengan subyek perikatan.63

Obyek Perikatan yang merupakan hak kreditur dan kewajiban debitur dinamakan prestasi. Menurut Pasal 1234 KUHPerdata, prestasi ini dapat berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Istilah “sesuatu” disini bergantung kepada maksud dan tujuan para pihak yang mengadakan hubungan hukum, apa yang diberikan, yang harus diperbuat dan tidak boleh diperbuat. “Sesuatu” tersebut bisa dalam bentuk materiil (berwujud) dan bisa juga dalam bentuk immaterial (tidak berwujud). Prestasi dari suatu perikatan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan juga kesusilaan (Pasal 1335 KUHPerdata dan Pasal 1337 KUHPerdata) serta harus terang dan jelas (Pasal 1320 Ayat 3 KUHPerdata dan Pasal 1333 KUHPerdata).64

Dengan demikian, unsur-unsur dari perikatan dapat dijelaskan sebagai berikut :65

1. Adanya suatu ikatan hukum, yaitu suatu hubungan yang oleh hukum diletakkan sanksi;

63Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Edisi Revisi, Bandung :

Alumni, 2006., hal. 196.

64

Ibid.,hal. 197-198.

65J.Z Loudoe, S. Riwoe Loupatty,Ajaran Umum Perikatan dan Persetujuan menurut Kitab

(8)

2. Hubungan tersebut harus mengenai hukum kekayaan karena kewajiban orang tua atau wali, misalnya dalam hal memelihara anak-anaknya tidak termasuk dalamnya terkecuali :

1) Hapusnya jangka waktu mengenai kewajiban memelihara menurut Pasal 107, 225, 246 dan 321 KUHPerdata;

2) Kewajiban ganti rugi oleh suami karena salah urus (wanbeheer) kekayaan isteri (Pasal 160 Ayat 3 KUHPerdata), oleh orang tua karena salah urus kekayaan anak (Pasal 307-308 KUHPerdata) atau oleh pengampu karena salah urus kekayaan anak dalam pengampuan (Pasal 385 dan 391 KUHPerdata); 3) Hubungan tersebut adalah hubungan antara orang dengan orang berbeda

dengan hukum kebendaan yang mengatur tentang hubungan antara orang dengan barang. Hak yang timbul karena perikatan adalah hak terhadap orang

(persoonlijk recht, ius in personam) berbeda dengan hak atas barang(zakelijk recht ius in re). Hak terhadap orang hanya berlaku terhadap debitur, sedangkan hak atas barang berlaku terhadap setiap orang;

3. Isi daripada perikatan adalah di satu pihak melakukan suatu prestasi atau lebih sedangkan di pihak lain menerima prestasi tersebut (Pasal 1234 KUHPerdata), prestasi disebut juga obyek daripada perikatan;

(9)

5. Pihak debitur berkewajiban memenuhi prestasi dan pada umumnya juga bertanggung jawab atasnya dengan seluruh kekayaan bukan hanya yang ada pada waktu diadakan perikatan tetapi juga yang akan datang (Pasal 1131 KUHPerdata); 6. Prestasi harus memenuhi syarat-syarat berikut ini :

1) Harus tertentu setidak-tidaknya dapat ditentukan;

2) Harus melekat suatu kepentingan tertentu baik untuk kreditur maupun untuk pihak ketiga dalam hal-hal tertentu (Pasal 1318 KUHPerdata);

3) Harus yang halal, maksudnya tidak halal adalah bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan;

4) Harus dapat dilaksanakan.

Menurut Pasal 1233 KUHPerdata, perikatan bersumber baik dari perjanjian maupun Undang-Undang. Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak sesuai dengan apa yang mereka sepakati, sedangkan akibat hukum dari suatu perikatan yang lahir dari undang-undang ditentukan oleh undang-undang. Sehingga para pihak yang terikat berdasarkan ketentuan undang-undang suka atau tidak mereka harus menerimanya.66

b. Pengertian Hukum Perjanjian Pada Umumnya

Jika kita membicarakan tentang perjanjian, maka pertama-tama harus diketahui pengertian perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata, yang berbunyi :

66Sri Soesilowati Mahdi, SH; Surini Ahlan Sjarif, SH., MH dan Akhmad Budi Cahyono, SH.,

(10)

“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”

R. Subekti menyatakan, bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu dari peristiwa ini timbul hubungan perikatan.67

Abdul Kadir Mohammad merumuskan definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.68

R. Wirjono Prodjodikoro, bahwa: “Perjanjian adalah perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji/dianggap berjanji melakukan sesuatu hak, sedang pihak lain berhak menuntut”.69

Dari perjanjian inilah maka timbul suatu hubungan antara dua pihak yang dikenal dengan istilah perikatan. Perjanjian menimbulkan perikatan diantara dua pihak yang membuatnya.

c. Unsur-Unsur Perjanjian

Unsur pokok perjanjian :70 1. Unsur Esensalia

67Subekti (1),Hukum Perjanjian,Jakarta : PT.Intermasa, 1985., hal 1. 68

Abdul Kadir Mohammad,Hukum Perikatan,Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1992., hal. 78.

69

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur Bandung, 1973., hal. 19.

(11)

Unsur esensalia merupakan sifat yang harus ada dalam suatu perjanjian, dikarenakan sifat dari unsur esensalia ini merupakan sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (constructieve oordeel).71 Oleh karena itu unsur ini dapat dianggap penting keberadaannya karena bertujuan agar para pihak dapat membuat dan menyelenggarakan sesuai dan sejalan dengan kehendak semula. Jadi dapat dikatakan bahwa unsur ini adalah condition sine quanon dari suatu perjanjian, dimana tanpa keberadaan unsur ini perjanjian itu menjadi tidak ada atau dapat batal demi hukum.

2. Unsur Naturalia

Unsur naturalia berbeda dengan unsur esensalia, dimana bila suatu perjanjian tidak mengandung unsur naturalia, maka perjanjian tersebut tetap sah dan tidak mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi tidak mengikat. Hal ini dikarenakan unsur naturalia berbentuk ketentuan hukum umum yang merupakan syarat yang biasanya dicantumkan kemudian, ternyata tidak dimuat atau tidak diatur dalam perjanjian, sehingga undang-undang akan berperan untuk mengisi kekosongan tersebut sesuai dengan sifat hukum perjanjian yang accessoir atau sebagai

optional law.

3. Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Pada perjanjian, unsur ini adalah unsur ini adalah unsur pelengkap dalam suatu perjanjian.

71Mariam Darus Badrulzaman,Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti,

(12)

Unsur perjanjian antara lain :72

1. Ada pihak-pihak (subyek), sedikitnya dua pihak; 2. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap;

3. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak; 4. Ada prestasi yang dilaksanakan;

5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;

6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.

d. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Pada hukum perjanjian, berlaku beberapa asas yang merupakan dasar keberlakuan hukum perjanjian, yaitu :73

1. Asas Kebebasan Berkontrak(freedom of contract)

Setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidajk melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

“Semua perjanjian…” berarti perjanjian apapun, diantara siapapun. Tapi kebebasan itu tetap ada batasnya, yaitu selama kebebasan itu tetap berada di dalam batas-batas persyaratannya, serta tidak melanggar hukum, kesusilaan dan ketertiban umum (misalnya perjanjian membuat provokasi kerusuhan).

72Titik Triwulan Tutik, SH., MH,

Op.Cit.,hal. 244.

73Suharnoko,Hukum Perjanjian, Teori dan Analisa Kasus, Jakarta : Prenada Media, 2004.,

(13)

2. Asas Personalia

Asas personalia sebagaimana diatur dalam Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata yaitu : “Pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu suatu janji daripada untuk dirinya sendiri” dan Pasal 1340 KUHPerdata, yaitu : “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Sehingga pada umumnya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri.

Namun terdapat pengecualian pada Pasal 1317 KUHPerdata dimana seorang selain mengatur perjanjian untuk diri sendiri juga untuk kepentingan ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak darinya.

3. Asas Konsensualisme(consensualism)

Asas konsensualisme berarti perjanjian sudah terjadi atau lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak. Sehingga suatu perjanjian sudah ada dan mempunyai akibat hukum dengan sudah adanya kata sepakat mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian tersebut.

4. AsasPacta Sunt Servanda

(14)

Hakim dan pihak ketiga juga menghormati perjanjian tersebut layaknya sebuah undang-undang.

Selain 4 (empat) asas diatas, terdapat asas-asas lain dalam perjanjian, yaitu :74 1. Asas Itikad Baik(good faith)

Pasal 1338 Ayat 3 KUHPerdata, yaitu : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Prinsip itikad baik ini maksudnya adalah bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut. Itikad baik ini ada bukan saat pada saat pelaksanaan perjanjian tapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya suatu perjanjian.

2. Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain harus menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Sehingga terlihat adanya asas kepercayaan yang melandasi perjanjian yang akan dibuat tersebut.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Dalam suatu perjanjian terkandung asas kekuatan mengikat dimana dengan adanya asas ini, maka para pihak tidak semata-mata terikat pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang yang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatuhan, serta moral.

4. Asas Persamaan Hak

(15)

Menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Sehingga diharuskan bagi para pihak untuk saling menghormati.

5. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan ini merupakan lanjutan dari asas persamaan hak. Pada asas ini dijelaskan bahwa para pihak dalam perjanjian harus memenuhi dan melaksanakan perjanjian secara seimbang dan tidak ada unsur paksaan. Asas keseimbangan dapat dipahami sebagai asas yang layak dan adil, hal ini berarti janji yang dibuat antara para pihak hanya akan dianggap mengikat sepanjang dilandasi keseimbangan hubungan antara kepentingan perorangan dan kepentingan umum atau adanya keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak sebagaimana masing-masing pihak mengharapkannya.

6. Asas Kepatutan

Pasal 1339 KUHPerdata :

“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.

Maka dalam perjanjian para pihak diharuskan untuk melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada kesusilaan atau moral.

7. Asas Kepastian Hukum

(16)

hukum terlihat dari adanya kekuatan mengikat, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

e. Syarat Sah Perjanjian

Suatu kontrak atau perjanjian untuk dapat dikatakan mengikat dan berlaku harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan oleh hukum, yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.75

4 (empat) syarat sahnya dan berlakunya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengadakan perjanjian;

Kesepakatan merupakan penyesuaian pernyataan kehendak antara para pihak dimana kesesuaian tersebut adalah pernyataan yang dapat diketahui, dilihat oleh pihak lainnya.76

Perjanjian yang dilahirkan dapat mengalami kecacatan yang dimungkinkan untuk kemudian dimintakan pembatalan. Seperti yang diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata bahwa tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan kerana kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Diatur juga dalam Pasal 1449 KUHPerdata bahwa perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan atau penipuan menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.77 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;

75

Ahmadi Miru,Hukum Kontrak : Perancang Kontrak,Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007., hal.14.

(17)

Di antara syarat ini yang harus dipenuhi adalah para pihak dalam keadaan telah dewasa dan tidak sedang berada dalam pengampuan. Kecakapan (bekwaam) untuk mengikatkan diri , didasarkan atas pengertian bahwa orang tersebut pada saat membuat perjanjian harus dewasa atau berumur minimal 21 tahun (Pasal 330 KUH Perdata).78Dalam hal ini undang- undang beranggapan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan (perjanjian) apabila ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap.79

Dalam hukum, seorang dianggap tidak cakap untuk melakukan suatu perikatan apabila :80

1) Belum berusia 21 tahun dan belum menikah;

2) Berusia 21 tahun, tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu atau juga boros. 3. Suatu hal tertentu;

Dalam konteks pembuatan perjanjian untuk melakukan perceraian, maka obyek yang diperjanjikan suami isteri tersebut harus dapat diinterprestasikan.81 Syarat ini lebih ditegaskan dalam Pasal 1333 KUHPerdata yang menyatakan bahwa syarat itu tidak hanya mengenai objek yang jenisnya tertentu saja, tetapi juga meliputi benda-benda yang jumlahnya pada saat dibuatnya belum ditentukan, asalkan jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.82

4. Suatu sebab yang halal

78I.G Rai Widjaya,Merancang Suatu Kontrak, (Bekasi: Megapoint, 2004), hal 47

79Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan,Hukum Perikatan, (Surabaya: PT Bina Ilmu,

1984)., hal. 167

80

Ahmadi Miru,Ibid.,hal. 29.

81Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan,Ibid.,hal. 167

(18)

Sebab yang halal berarti isi dari perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.83Pengertian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang disini adalah undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum.84

Dari keempat syarat diatas, dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu :85 1. Syarat Subyektif

Syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan kata lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, dimana dalam hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian itu. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu ada tetapi tidak dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.

2. Syarat Obyektif

Syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian, meliputi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum, dengan kata lain batal sejak semula atau dianggap tidak pernah ada perjanjian.

83

Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi,Op. Cit.,hal. 137.

84Hardijan Rusli,

Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law,Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1993.., hal. 74.

(19)

f. Akibat Perjanjian

Akibat dari suatu perjanjian dikatakan dalam Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata, menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Pasal 1338 Ayat 2 KUHPerdata menentukan lebih lanjut yaitu persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain karena kesepakatan kedua belah atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.86

Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH., istilah “semua”, pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama. Di dalam istilah “semua” itu terkandung suatu asas yang dikenal dengan asas partij autonomie. Pasal 1338 KUHPerdata ini harus juga dibaca dalam kaitannya dengan Pasal 1319 KUHPerdata.87

Dengan istilah “secara sah”, pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUHPerdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Disini tersimpul realisasi asas kepastian hukum.88

86Hardijan Rusli,

Op.Cit., hal. 86.

(20)

Akibat dari apa yang diuraikan pada Pasal 1338 Ayat 1 KUHPerdata melahirkan apa yang disebut pada Pasal 1338 Ayat 2 KUHPerdata, yaitu perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali kesepakatan antara keduanya. Dalam Ayat 1 dan Ayat 3 terdapat asas kedudukan yang seimbang diantara kedua belah pihak.89

g. Berakhirnya Suatu Perjanjian

Perikatan dan perjanjian dapat berakhir terjadi wanprestasi dan juga cara-cara hapusnya perikatan yang lain.

1. Wanprestai

Wanprestasi terjadi apabila pihak yang memiliki kewajiban (debitur) tidak dapat melakukan apa yang telah dijanjikan, sehingga ia dikatakan telah ingkar janji atau lalai. Wanprestasi dapat terjadi berupa :90

1) Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilaksanakan;

2) Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; 3) Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Dalam Pasal 1238 KUHPerdata mengatur tentang bagaimana caranya memperingatkan seorang debitur agar dapat dikatakan wanprestasi jika tidak memenuhi teguran itu. Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa :

“Si berutang adalah lalai, bila dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri jika ini 89Ibid.,hal 28.

(21)

menetapkan bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”91

Menurut Pasal 1267 KUHPerdata, pihak kreditur dapat menuntut debitur yang lalai itu dengan pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai ganti rugi (penggantian biaya, rugi, dan bunga). Dengan sendirinya, kreditur juga dapat menentukan pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai ganti rugi. Atau juga bisa dengan menuntut ganti rugi saja. Hak kreditur untuk dapat menuntut debitur yang lalai timbul dari adanya suatu perhubungan hukum antara dua pihak yang berarti hak kreditur dijamin oleh hukum atau undang-undang. Sehingga apabila tuntutan tersebut tidak dipenuhi secara sukarela, kreditur dapat menuntutnya di muka Hakim. Sebagai kesimpulan diantara beberapa kemungkinan tuntutan sebagaimana disebut didalam Pasal 1267 KUHPerdata, yaitu :92

1) Pemenuhan perikatan;

2) Pemenuhan perikatan disertai ganti rugi; 3) Ganti kerugian;

4) Pembatalan perjanjian;

5) Pembatalan disertai ganti kerugian. 2. Cara-Cara Hapusnya Suatu Perjanjian

Pasal 1381 KUHPerdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perjanjian. Cara-cara tersebut adalah :93

1) Pembayaran;

91Subekti dan R. Tjitrosudibio,OpCit.,hal. 323. 92

Subekti, Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi,Op.Cit.,hal. 53.

93

(22)

Pembayaran dalam hukum perjanjian adalah setiap pemenuhan prestasi secara sukarela. Dengan dipenuhinya prestasi itu perikatan menjadi hapus. Pembayaran merupakan pelaksanaan perikatan dalam arti yang sebenarnya dimana dengan dilakukannya pembayaran ini, tercapailah tujuan dari perikatan yang diadakan.

2) Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; Kalau kreditur menolak pembayaran dari debitur, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan. Cara ini diatur dalam Pasal 1405-1406 KUHPerdata.

3) Pembaharuan hutang;

Pembaharuan utang atau novasi pada hakikatnya merupakan perikatan baru yang menggantikan perikatan lama, segala sesuatu yang mengikuti perikatan lama sama seperti hak-hak istimewa, hipotik, dan gadai tidak ikut berpindah atau beralih kepada perikatan baru, kecuali jika diperjanjikan bahwa hak-hak istimewa, hipotek, dan gadai yang menjadi jaminan dari perikatan lama, tidak hapus, tetapi ikut berpindah pada perikatan baru.

4) Perjumpaan utang atau kompensasi;

(23)

pada saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal-balik untuk suatu jumlah yang sama, demikian Pasal 1424 KUHPerdata memberikan pengaturan.

5) Percampuran utang;

Apabila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran hutang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan. Misalnya, si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya atau si debitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin. Hapusnya hutang-piutang dalam hal percampuran ini, adalah “demi hukum”.

6) Pembebasan utang;

Teranglah, bahwa apabila kreditur dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari debitur, dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatannya yaitu hubungan hutang-piutang hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan, akan tetapi pembebasan hutang tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan menurut Pasal 1438 KUHPerdata.

7) Musnahnya barang yang terutang;

(24)

menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu lalai menyerahkan barang itu (terlambat), ia pun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.

8) Kebatalan dan Pembatalan;

Meskipun disini disebutkan kebatalan dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh Pasal 1446 KUHPerdata, adalah pembatalan perjanjian-perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan, mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.

Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim; kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.

9) Berlakunya syarat batal;

(25)

tersebut menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali ke keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjanji perjanjian. Dengan begitu, syarat batal tersebut mewajibkan pihak-pihak untuk mengembalikan prestasi yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan sebagai yang membatalkan perikatan telah terjadi.

10) Lewat waktu.

Lewat waktu atau daluwarsa menurut Pasal 1946 KUHPerdata adalah suatu sarana untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1967 KUHPerdata ditentukan bahwa segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tidak dapatlah diajukan terhadapnya suatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.

h. Macam-Macam Perjanjian

Bentuk-bentuk perjanjian yang dikenal di masyarakat, antara lain :94 1. Perjanjian sepihak dan timbal balik;

Setiap perjanjian merupakan perbuatan hukum bersegi dua atau jamak. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok kepada kedua belah pihak (perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa).

(26)

Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian sepihak adalah persetujuan, dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja (contohnya perjanjian hibah). 2. Perjanjian dengan cuma-cuma atau atas beban;

Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi pihak yang satu terhadap prestasi pihak yang lain. Antara kedua prestasi tersebut terdapat hubungan hukum satu dengan yang lain. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian dimana salah satu pihak mendapatkan keuntungan dari pihak yang lain secara cuma-Cuma.

3. Perjanjian konsensuil, riil dan formil;

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang terjadi dengan kata sepakat. Perjanjian riil adalah perjanjian dimana selain diperlukan kata sepakat juga diperlukan penyerahan barang. Contoh dari perjanjian ini adalah perjanjian penitipan barang,pinjam pakai dan pinjam mengganti. Ada kalanya kata sepakat tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertentu atau formil, contohnya adalah perjanjian hibah.

4. Perjanjian bernama, tidak bernama dan campuran.

(27)

tidak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata.

B. Mengenai Isi “Perjanjian Perceraian”

Banyaknya permasalahan baru yang muncul akibat dari perceraian, baik itu mengenai harta, nafkah, dan juga bahkan mengenai hak asuh anak, membuat banyak pihak pada akhirnya tertarik untuk membuat suatu perjanjian yang mengatur mengenai akibat-akibat hukum setelah perceraian yang dikenal dengan nama “Perjanjian Perceraian”. Dimana banyak pihak menganggap dengan membuat suatu perjanjian sebelum perceraian yang mengatur mengenai aspek-aspek hukum setelah putusnya perkawinan, dapat meminimalisir munculnya sengketa atau masalah baru yang berhubungan dengan akibat-akibat putusnya perkawinan karena perceraian.

Dengan adanya “Perjanjian Perceraian”, baik pihak suami atau isteri yang dulunya terikat dalam suatu lembaga perkawinan dapat mengatur hak dan kewajiban yang akan diperoleh masing-masing pihak setelah putusnya perkawinan akibat perceraian, sehingga diharapkan tidak akan membuat masalah atau sengketa baru yang timbul setelah perceraian.

(28)

diperjanjikan dalam “Perjanjian Perceraian” menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :95

a. Hak dan kewajiban suami-isteri adalah:96

1. Memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30);

2. Hak dan kedudukan suami-isteri seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum, suami adalah kepala keluarga, isteri adalah ibu rumah tangga (Pasal 31);

3. Suami-isteri memiliki tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan oleh suami-isteri bersama (Pasal 32);

4. Suami-isteri wajib cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pasal 33);

5. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan pada pengadilan (Pasal 34).

b. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian :97

95

Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi,Op. Cit.,hal. 128-132.

96 Rachmadi Usman,

Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika., hal. 21.

(29)

1. Pengadilan dapat mewajibkan bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan atau menentukan kewajiban bagi bekas isteri, kewajiban tersebut berkahir jika salah satu atau keduanya meninggal dunia atau bekas isteri telah menikah lagi (Pasal 41 Ayat 3) ;

2. Hakim didalam putusan perceraian apabila diminta, dapat memberi keputusan tentang siapa diantara suami-isteri tersebut yang menjadi wali si anak, penentuan wali anak sangat penting untuk status dan kepastian hukum wali, karena kedua bekas suami-isteri tersebut telah berpisah domisilinya, jadi harus ada kepastian siapa yang mewakili si anak dalam lingkungan hukum (Pasal 41 Butir a dan 41 Butir b jo Pasal 45) ;

3. Terhadap harta yang diperoleh selama perkawinan atau yang disebut harta bersama, jika terjadi perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yaitu menurut hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Dan terhadap harta bawaan dari masing-masing pihak serta harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan dapat dikuasai oleh masing-masing pihak sepanjang tidak ada perjanjian kawin. Selain dapat menguasai, suami-isteri juga dapat memindahkannya pada orang lain, karena mempunyai kedudukan yang seimbang dalam rumah tangga. Jadi, jika terjadi perceraian, maka harta bawaan tetap dikuasai oleh masing-masing pihak kecuali ada perjanjian sebelum kawin (Pasal 35 jo Pasal 36 jo Pasal 37).

C. Transaksi Yang Dilarang Antara Suami-Isteri

(30)

transaksi dinyatakan tidak sah, karena diadakan antara suami-isteri, dilarang oleh undang-undang, yaitu :98

a. Dilarang mengadakan perjanjian hibah antara suami-isteri (Pasal 1678 KUHPerdata). Pasal tersebut menentukan bahwa : Dilarang adalah penghibahan antara suami-isteri selama perkawinan;

b. Dilarang mengadakan perjanjian kerja antara suami-isteri (Pasal 1601 KUHPerdata). Pasal tersebut menentukan bahwa suatu perjanjian perburuhan antara suami-isteri adalah batal;

c. Dilarang mengadakan perjanjian jual beli antara suami-isteri (Pasal 1467 KUHPerdata);

d. Ketidakcakapan suami atau isteri untuk memberi kesaksian dalam perkara masing-masing (Pasal 1910 KUHPerdata);

e. Tidak diperlakukannya pengaruh daluwarsa antara suami-isteri (Pasal 1988, Pasal 1989 KUHPerdata).

Referensi

Dokumen terkait

Kata Indonesia berasal dari kata latin: Indus yang berarti India dan dari kata Yunani nesos yang berarti pulau, sedangkan bentuk jamaknya adalah nesioi artinya

Dari semua ordo dalam kelas Polypodiophyta, ordo Polypodiales mempunyai bentuk dan susunan sori yang sangat beragam seperti berbentuk garis pada tepi daun,

Jurusan Fisika Fakultas MIPA UB dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang bagus baik berupa gedung, ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, internet, dan

Dengan demikian berdasarkan gambar dan penjelasan diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap PT yang didalamnya terdapat modal asing, baik karena pengambilan saham pada saat

Ukuran karakteristik yang terbesar terdapat pada bagian Periksa yaitu rata-rata jumlah pasien yang menunggu dalam sistem sekitar 3 orang, rata-rata jumlah pasien

Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dianalisis tentang faktor gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional terhadap komitmen tenaga kerja UMKM

menekankan kepada praktik agar.. siswa lebih paham, 3) sering memberikan latihan kepada siswa untuk membaca memindai, dan 4) memberikan banyak contoh wacana

Hasil akhir dari penelitian ini didapatkan bahwa sistem pendukung keputusan dengan metode SAW mampu mengatasi permasalahan dalam menyeleksi calon penerima bantuan