• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pelayanan - Hubungan Pelayanan Klinik Infeksi Menular Seksual dengan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan IMS pada Wanita Usia Subur Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pelayanan - Hubungan Pelayanan Klinik Infeksi Menular Seksual dengan Upaya Pencegahan dan Penanggulangan IMS pada Wanita Usia Subur Beresiko di Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh Tahun 2013"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pelayanan

Pelayanan pada dasarnya adalah cara melayani, membantu, menyikapi,

mengurus, menyelesaikan keperluan kebutuhan seseorang atau sekelompok orang.

Dan kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut pemenuhan suatu hak

( Kurniawan dalam Safitrah, 2012).

Upaya pelayanan kesehatan menurut Undang-undang kesehatan Nomor 36

tahun 2009 disebutkan bahwa setiap kegiatan dan/ atau serangkaian kegiatan yang

dilakukan secara terpadu,terintegrasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit,

peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan oleh

pemerintah dan/ atau masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan menurut

Eneenderhealth (2003) dalam Safitrah, 2012, antara lain:

1. Adanya komitmen petugas kesehatan

2. Terpenuhinya kebutuhan akan supervisi yang memfasilitasi

3. Managemen, informasi , pelatihan dan pengembangan sarana pelayanan

4. Terpenuhinya kebutuhan akan bahan dan infrastruktur.

5. Terpenuhinya hak klien untuk mendapatkan informasi agar mendapatkan

(2)

pelayanan yang mengtamakan privasi dan menjaga kerahasiaan, pelayanan yang

sopan, ramah dan nyaman, dapat mengemukakan pendapat atau masalah secara

bebas dan hak untuk kelansungan pelayanan.

Menurut Azwar (2006) dalam Ridha, 2008, beberapa syarat pokok pelayanan

kesehatan yang baik, sebagai berikut:

1. Tersedia dan berkesinambungan (available)

Pelayanan kesehatan harus tersedia dimasyarakat serta bersifat

berkesinambungan artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan

oleh masyarakat, tidak sulit ditemukan serta keberadaannya dalam masyarakat

ada pada setiap saat dibutuhkan

2. Dapat diterima dan wajar (acceptable)

Pelayanan kesehatan dapat diterima oleh masyarakat serta bersifat wajar, artinya

pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan

kepercayaan masyarakat serta bersifat tidak wajar bukanlah pelayanan kesehatan

yang baik

3. Muda h dicapai (accessible)

Pelayanan kesehatan mudah dicapai oleh masyarakat terutama dari sudut lokasi.

Dengan demikian untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik maka

pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan

kesehatan yang selalu berkonsentrasi didaerah perkotaan saja dan sementara itu

(3)

pelayanan kesehatan ini mudah dijangkau dengan alat transportasi yang tersedia

maka fasilitas tersebut akan banyak dipergunakan.

4. Mudah dijangkau (affordable)

Pelayanan kesehatan yang mudah dijangkau oleh masyarakat, hal ini dapat dilihat

dari sudut biaya. Biaya pelayanan kesehatan yang diselenggarakan harus sesuai

dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal

hanya mungkin dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja bukanlah

pelayanan kesehatan yang baik

5. Bermutu (quality)

Pengertian pelayanan yang bermutu adalah pelayanan kesehatan yang

menunjukkan kepada tingkat kesempurnaan, disatu pihak dapat memuaskan para

pemakai jasa pelayanan, dan dipihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai

dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.

2.2. Peningkatan Sumber Daya Pelayanan

Menurut J.B. Kristiadi dalam Safitrah, 2012, sasaran yang ingin diwujudkan

melalui pendidikan dan pelatihan bagi sumberdaya manusia adalah diarahkan pada

pengembangan dan peningkatan aspek-aspek yaitu:

1. Pengembangan dan kemampuan melaksanakan tugas dan peran sebagai petugas

sehingga dapat memenuhi standar yang telah ditentukan untuk suatu tugas dan

(4)

2. Meningkatkan motivasi, disiplin, kejujuran, etos kerja dan rasa tanggung jawab

yang dilandasi dengan semangat jiwa pengabdian

3. Perubahan sikap yang lebih mengarah pada perkembangan, keterbukaan, sikap

melanyani dan mengayomi masyarakat yang merupakan tugas dan

tanggungjawab pokoknya.

2.3. Infeksi Menular Seksual ( IMS ) 2.3.1. Pengertian IMS

Infeksi Menular Seksual ( IMS ) adalah infeksi yang sebagian besar menular

lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. Hubungan seks ini

termasuk hubungan seks lewat liang senggama, lewat mulut ( oral ) atau lewat dubur

(Depkes RI, Depsos, BKKBN, 2005).

IMS juga sering disebut penyakit kelamin atau penyakit kotor. Namun itu

hanya menunjukkan pada penyakit yang ada di kelamin. Istilah IMS lebih luas

maknanya, karena menunjuk pada cara penularannya. Tanda-tandanya tidak selalu

ada di alat kelamin. Tanda-tandanya juga ada di alat penglihatan, , mulut, saluran

pencernaan, hati, otak dan bagian tubuh lainnya. Contohnya HIV/AIDS dan Hepatitis

B yang menular lewat hubungan seks, tetapi penyakitnya tidak bisa dilihat dari alat

kelaminnya. Artinya, alat kelaminnya masih tampak sehat meskipun orangnya

(5)

2.3.2. Jenis Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS)

IMS ada banyak sekali jenisnya. Beberapa diantaranya yang paling penting

adalah Gonorrea (GO) atau kencing nanah, Klamidia, Herpes kelamin, Sifilis atau

raja singa, Jengger ayam, Hepatitis dan HIV/AIDS. Tidak semua IMS dapat diobati

seperti HIV/AIDS, Herpes, Jengger Ayam dan Hepatitis termasuk jenis-jenis IMS

yang tidak bisa disembuhkan. HIV/AIDS termasuk yang paling berbahaya, tidak bisa

disembuhkan dan merusak kekebalan tubuh manusia untuk melawan penyakit apaun.

Akibatnya orang menjadi sakit-sakitan dan banyak yang meninggal karenanya.

Sementara Herpes sering kambuh dan sangat nyeri kalau kambuh. Pada Herpes yang

diobati cuma gejala luarnya saja tetapi bibit penyakitnya akan tetap hidup didalam

tubuh selamanya. Hepatitis juga tidak bisa disembuhkan akan tetapi ada jenis

Hepatitis tertentu yang bisa dicegah dengan imunisasi (Lelyana, 2006).

2.4. Penanggulangan Infeksi Menular Seksual

Pemerintah pada saat ini sudah membuat program penanggulangan HIV/AIDS

dikabupaten/kota, dimana ada 6 (enam) program yang dilaksanakan yaitu (1) program

Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sebagai upaya komunikasi perubahan

perilaku (KPP) atau Behavior Change Communication (BCC), (2) Program kondom

100%, (3) Program penanganan IMS, (4) Program Harm Reduction, (5) Program

Voluntary Conseling and Testing (VCT) yaitu jumlah dan mutu pelayanan dan

konseling dan testing sukarela, (6) Program perawatan, pengobatan dan dukungan

(6)

pemerintah dengan LSM yang sangat populer di seluruh Indonesia dan sampai saat

ini terus dikembangkan adalah program pelayanan klinik IMS dan VCT (KPA

Nasional, 2005).

Upaya pencegahan dan penanggulangan IMS di tingkat pelayanan dasar masih

ditujukan kepada kelompok resiko tinggi berupa upaya pencegahan dan

penanggulangan IMS dengan pendekatan sindrom. Saat ini ditemui hamabatan

sosiobudaya yang sering mengakibatkan ketidaktuntasan dalam pengobatannya.

Sehingga menimbulkan komplikasi IMS yang serius seperti kemandulan, keguguran

dan kecacatan janin (Depkes RI, Depsos, BKKBN, 2005).

Pedoman penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Dirjen PP & PL, 2012,

tentang kriteria yang digunakan dalam pemilihan obat untuk IMS yaitu angka

kesembuhan atau kemajuran tinggi ( sekurang-kurangnya 90 -95 % diwilayahnya ),

harga murah, toksisitas yang masih dapat diterima, diberikan dalam dosis tunggal,

cara pemberian peroral dan tidak merupakan kontra Indikasi pada ibu hamil, atau ibu

menyusui. Kebijaksanaan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS sebagai berikut:

1. Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor termasuk kerjasama

internasional dan meningkatkan peranserta masyarakat dalam

penanggulangan IMS dan HIV/AIDS.

2. Meningkatkan desentralisasi dengan pendekatan pelayanan kesehatan dasar.

3. Pencegahan adalah fokus utama dengan diintergrasikan perawatan, dukungan

(7)

4. Memperkuat aspek manajemen dan aspek hukum dan perundangan yang

berkaitan dengan upaya penanggulangan IMS dan HIV/AIDS termasuk aspek

perlindungan dan kerahasian dan aspek pencehagan deskriminasi/

stigmanisasi penderita IMS dan HIV/AIDS

5. Mengintegrasikan kegiatan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS dengan

penyakit lainnya antara lain tuberkulosis.

2.5. Klinik Infeksi Menular Seksual

Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan diklinik IMS mencakup:

(a) Melaksanakan kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman,

(b) Melaksanakan pelayanan yang ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi, (c)

Memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah tertular

IMS, (d) Melaksanakan kegiatan penapisan untuk IMS Asintomatic bagi semua

populasi yang beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 ( tiga ) bulan, (e)

Memberikan layanan konsling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi pasangan tetap klin

pekerja seks melalui sistem partner notification, (f) Menjalankan sistem monitoring

dan surveilens, (g) Memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat-obat

bebas untuk mencegah atau mengobati IMS (KPA Nasional, 2005 )

Maksud dan tujuan dari layanan IMS adalah untuk menjalankan fungsi kontrol

dan menekan penyebaran IMS pada PSK perempuan, Pria, Waria, pelanggan PSK,

(8)

2.5.1. Standar Minimum Klinik IMS

Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Klinik Sanitasi IMS yang

dikembangkan melalui kerjasama Depkes RI, Usaid dan Family Health International

(2007) menyebutkan bahwa struktur di dalam klinik IMS harus mempunyai fungsi

seperti hal berikut ini: (a) ruang tunggu dan registrasi, (b) ruang pemeriksaan, (c)

laboratorium untuk memfasilitasi secepatnya diagnosa dan pengobatan pada pasien,

sebaiknya ruang pemeriksaan dan laboratorium berdampingan tetapi dipisahkan

dengan sebuah horden atau sekat, (d) ruang pengobatan dan konseling. Setiap

bangunan klinik harus dipelihara dengan baik untuk mendapatkan lingkungan yang

nyaman, aman, dan hygienis. Setiap klinik harus memelihara peralatan kliniknya

dalam keadaan bekerja dengan baik. Setiap waktu kewaspadaan universal untuk

mencegah penularan infeksi melalui darah dan indikator lain untuk mengendalikan

infeksi harus diterapkan.

Standar minimum klinik IMS telah dikembangkan untuk memperbaiki

kualitas diagnosis dan pengobatan IMS secara keseluruhan. Dalam pelaksanaannya

setiap klinik IMS harus sesuai dengan hal-hal sebagai berikut: (a) Kegiatan

pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman, (b) Pelayanan ditargetkan

untuk kelompok beresiko tinggi, (c) Kelompok inti misalnya pekerja seks, IDU, (d)

Kelompok “penghubung” pelanggan mereka, (e) Pelayanan yang efektif yaitu

pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala IMS, (f) Program penapisan dan

pengobatan secepatnya untuk IMS dan yang tanpa gejala pada kelompok resiko tinggi

(9)

monitoring dan surveilen yang efektif, (i) Jika sebagai model klinik untuk

klinik-klinik yang ada disekitarmya harus berusaha untuk melaksanakan pelayanan klinik-klinik

IMS yang sama, dengan memberikan pelatihan yang sesuai pada klinik-klinik

tersebut, (k) Bentuk pelayanan IMS dan promosi yang diberikan harus berdasarkan

pada pengetahuan dari kelompok sasaran dalam kebiasaannya mencari pengobatan

(Depkes, USAID, FHI 2007).

2.5.2. Staf Klinik IMS

Setiap klinik harus mempunyai staf yang ramah, client-oriented, tidak

menghakimi dan dapat menjaga konfidensialitas serta dapat melakukan fungsi-fungsi

berikut ini dengan baik: (1) administrasi klinik, registrasi pasien, pencatatan dan

pelaporan, (2) anamnesis kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual, pemeriksaan

fisik dan pengobatan, (3) Laboratorium berdasarkan tes diagnostik, (4) Konseling,

(5) Memilihara standar klinik untuk penatalaksanaan IMS (Depkes RI, USAID, FHI

2007).

2.5.3. Pengelolaan Klinik IMS

a. Pengelolaan Syndrom yang Disempurnakan (Enhanced Syndromic

Management). Semua klinik harus dapat menerapkan “Pengelolaan

Syndrom yang disempurnakan” untuk IMS yang mencakup: (a) anamnesis

kesehatan seksual yang baik, (b) pemeriksaan fisik yang benar dan adekuat

(termasuk spekulum dan pemeriksaan bimanual dari saluran reproduksi

(10)

laboratorium yang secepatnya, supaya hasil pemeriksaan tersedia sebelum

pasien meninggalkan klinik, (d) pengobatan segera, langsung dan tepat,

konseling dan tindak lanjutnya bagi setiap pasien.

b. Standar Pengobatan. Semua klinik harus mengelola IMS menurut “Prosedur Tetap Penatalaksanaan Penderita Penyakit Menular Seksual dengan

Pendekatan Sindrom dan Laboratorium’ yang diterbitkan oleh PPM&PLP

(2004), atau terbitan revisi lanjutannya.

c. Obat-obatan dan bahan habis pakai: Semua klinik harus tetap menjaga adanya pengadaan obat-obatan utama yang dibutuhkan untuk pengobatan

IMS yang tepat (seperti dalam ‘standar pengobatan’), atau memiliki akses

untuk obat-obatan ini melalui apotik setempat atau sumber lainnya.

Pengadaan obat-obatan ini di klinik harus dijaga dengan seksama untuk

memastikan adanya persediaan yang cukup dan berkesinambungan. Semua

obat-obatan dan bahan habis pakai harus disimpan dengan tepat dan tidak

melampui tanggal kadaluwarsanya. Semua klinik yang memberikan

pengobatan antibiotik, khususnya melalui injeksi. intramuskular, harus

mempunyai perlengkapan yang cukup dan siap untuk menangani reaksi

alergi atau anafilaktik.

d. Peralatan Klinik. Setiap klinik harus menjaga agar peralatan klinik dalam

(11)

2.5.4. Strategi Pengendalian IMS

Ada beberapa strategi yang telah menunjukkan dampaknya terhadap

penularan IMS di masyarakat jika hal ini diterapkan dengan tepat. Ini harus termasuk

penapisan dan pengobatan secepatnya dari kelompok berisiko tinggi. Orang yang

berisiko tinggi terkena IMS dan penularan infeksi berikutnya yang belum menerima

pelayanan harus dicapai dengan intervensi ini dan harus dimasukkan ke dalam model

pelayanan. Akses yang adekuat dalam memberikan pelayanan pada kelompok risiko

tinggi dan pasien lain diperoleh dengan memprioritaskan pelaksanaan jam buka klinik

yang tepat. Strategi untuk Perubahan Perilaku Berkesinambungan dapat menjelaskan

secara eksplisit unsur-unsur yang berhubungan dengan IMS (contoh pengenalan

gejala, pentingnya dapat pengobatan segera, pentingnya menyelesaikan pengobatan,

pentingnya pengobatan pasangan, interaksi antara IMS dan HIV, dll) harus

dikembangkan dan dilaksanakan (Depkes RI, USAID dan FHI, 2007).

Untuk memilih strategi mana yang akan diterapkan setiap klinik harus

melaksanakan pengkajian dan analisa dari kelompok sasaran yang akan dilayani. Ada

beberapa langkah-langkah yang dapat diikuti untuk melaksanakan hal tersebut: a.

Menilai banyaknya IMS, pada kelompok di mana klinik IMS tersebut akan

memberikan pelayanan. Setiap klinik harus membuat pemetaan kelompok sasaran

yang akan mereka layani dengan baik. Registrasi populasi harus dibuat untuk

kelompok ini. Dan harus diperbaharui secara teratur, setiap bulan b. Menganalisa

kesempatan untuk melakukan tindakan pencegahan pada kelompok ini.Strategi dan

(12)

masyarakat, jika diterapkan dengan tepat. Intervensi yang paling tepat untuk

pelayanan IMS adalah intervensi yang mempunyai sasaran untuk mengurangi waktu

infektivitas dari IMS. Kemampauan pelayanan IMS untuk menerapkan

masing-masing kegiatan intervensi ini akan tergantung pada sumber yang mereka miliki, dan

tingkat efisiensi serta pengorganisasian yang bisa mereka capai. c. Mengembangkan

kebijakan pencegahan dan menerapkan prosedur yang berdasar pada hasil penilaian

dan analisa. d. Menciptakan tujuan pencegahan, yang berdasar pada data yang

dikumpulkan oleh pelayanan IMS pada langkah penilaian, analisa dan pengembangan

kebijakan pencegahan. e. Mengevaluasi kemajuan dari tujuan pencegahan dengan

cara mengkaji keefektifan dan cakupannya secara teratur (Depkes RI, USAID dan

FHI, 2007).demiologi unt

2.5.5. Strategi Dasar Intervensi Khusus untuk Klinik IMS di Indonesia

a). Kurangi waktu infektifitas untuk mencegah penularan dan komplikasi lebih lanjut

melalui deteksi dini ( penemuan kasus ) dan pengobatan. Tindakan intervensi

yang dilakukan diantaranya: (a). Penemuan kasus secara aktif melalui penapisan,

pengawasan dan notifikasi pasangan, (b). Memperbaiki akses yang efektif pada

perawatan medis mencakup biaya, mutu, lokasi dan waktu, (c). Meningkatkan

kepekaan terhadap IMS dengan memperbaiki pengetahuan tentang gejala dan

kebiasaan untuk mencari perawatan kesehatan, (d). Enhanced Syndromic

management dari IMS misalnya memperpendek atau hilangkan waktu tunggu

(13)

b). Kurangi terkenanya infeksi dari orang yang rentan jika terpapar dengan

mengurangi efisiensi penularan perpaparan. Tindakan intervensi yang dilakukan

diantaranya: (a). tingkatkan penggunaan kondom, (b). Kurangi praktek seksual

yang beresiko misalnya hubungan seks melalui anal tanpa perlindungan, (c).

Kurangi faktor pendamping yang kritis misalnya obati IMS untuk mengurangi

HIV, (d). Promosi kebersihan alat genital misalnya mencuci sebelum dan

sesudah berhubungan seksual.

c). Kurangi paparan dari orang yang rentan terhadap orang yang terinfeksi melalui

modifikasi perilaku dari orang yang rentan, orang yang diketahui tekena infeksi

dan perilaku orang yang berpotensi untuk terkena infeksi. Tindakan intervensi

yang dilakukan antara lain: (a). Promosikan penundaan kegiatan seksual atau

mengurangi angka pertukaran pasangan, (b). Promosikan tes secara meluas

seperti konseling dan tes HIV secara sukarela, (c). Kembangkan dan promosikan

pesan media dengan target orang yang terkena atau berpotensi terkena infeksi

untuk melindungi pasangannya, (d). Promosikan kesehatan dan kebersihan alat

genital, (e). Kurangi paparan pada masyarakat yang melakukan seksual beresiko

sangat tinggi dan ciptakan upaya-upaya pencegahannya.( Depkes RI, USAID,

FHI 2007).

2.6. Konseling IMS

Memberikan konseling penderita IMS agak berbeda dengan penderita

(14)

konselor untuk meminta nasehat, disamping memiliki rasa takut dan cemas terhadap

penyakitnya juga mempunyai rasa bersalah yang sering menimbulkan kesulitan dalam

proses konseling tersebut ( Barakbah dalam Hesti, 2008 ).

Konseling penderita IMS sebaiknya diberikan kepada dokter yang

merawat/tenaga kesehatan lain yang ditunjuk yang benar-benar mengerti tentang

IMS.

Walaupun konseling dapat berbeda pada setiap kasus akan tetapi ada beberapa

hal yang harus diperhatikan pada setiap proses konseling: (1) Waktu harus cukup

leluasa, (2) Tempat yang menyenangkan dan tidak dapat didengar oleh orang lain,

(3) Sikap konselor membuat klien merasa “ diterima “, “ dipahami “, serta merasa

aman untuk beratnya dan mengemukakan pendapat, (4) Kemudahan klien untuk

mendapat pelayanan, (5) Kerahasiaan harus benar-benar dijaga, (6) Kegiatan

konseling dapat meliputi: (a) Memberi informasi yang dapat memberi penjelasan dan

pemahaman pada klien, (b) Dapat menjawab pertanyaan klien dengan jujur dan

terbuka, (c) Mampu menyadarkan klien untuk bererilaku aman, untuk tidak

menularkan kepada orang lain, (d) Mampu membuat klien sehingga sanggup

membuat keputusan bagi diri sendiri.

Tujuan konseling IMS adalah: Agar penderita patuh minum obat, Agar

kembali untuk follow up secara teratur sesuai dengan jadwal yang ditentukan,

meyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra seksual serta turut berusaha agar mitra

tersebut bersedia diperiksa dan diobati, mengurangi resiko penularan melalui:(a)

(15)

abstinensia dari semua hubungan seks bila timbul simptom atau gejala kambuh, (c)

menggunakan kondom bila meragukan adanya resiko. Dan agar tanggap dan

memberikan respon cepat terhadap infeksi atau hal yang mencurigakan setelah

hubungan seks (Barakbah dalam Hesti, 2008).

2.7. Kebijakan Penanggulangan IMS, HIV/AIDS

Epidemi HIV yang mengancam kesehatan dan kehidupan generasi penerus

bangsa, yang secara langsung membahayakan perkembangan sosial dan ekonomi

serta keamanan negara. Oleh karena itu upaya pengendaliaannya harus dilakukan

sebagai upaya penting dan merupakan program yang dilakasnakan secara terkoordinir

dengan melibatkan berbagai pihak serta dengan memobilisasi sumberdaya yang

intensif dari seluruh lapisan masyarakat untuk mempercepat dan memperluas

jangkauan program. Upaya pengendalian yang dilaksanakan anatara lain:

a) Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada setiap

hubungan seks yang beresiko, semata-mata hanya untuk memutuskan rantai

penularan HIV

b) Upaya pengendalian HIV/AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat

berperilaku resiko tinggi tetapi harus memperhatikan kelompok masyarakat yang

rawan, termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok marginal

terhadap penularan HIV/AIDS.

c) Pelaksanaan kegiatan program pengendalian IMS, HIV/AIDS menggunakan

(16)

d) Layanan kesehatan terkait IMS, HIV/AIDS tanpa diskriminasi dan menerapkan

prinsip keberpihakan kepada pasien dan masyarakat

e) Upaya pengendalian HIV/AIDS harus menghormati harkat dan martabat manusia

serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender

f) Upaya emaja dan masyarakat umum diselenggarakan melalui kegiatan

komunikasi, informasi dan edukasi guna mendorong kehidupan yang lebih sehat

g) Upaya pengendalian HIV/AIDS diselenggarakan oleh masyarakat, pemerintah

dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM menjadi pelaku

utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan , membimbing dan

menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya upaya pengendalian

HIV/AIDS

h) Upaya pengendalian HIV/AIDS diutamakan pada kelompok masyarakat

berprilaku resiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok masyarakat

yang rentan termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan kelompok

marjinal terhadap penularan HIV/AIDS ( KPA, Fhi, 2009).

Menurut Raharjo (2005) dalam Mardin Purba, 2009, factor-faktor yang

memperlambat upaya mengurangi resiko penyebaran PMS adalah kurangnya akses

penderita IMS kesarana pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi yang

tidak strategis, keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotik, toko lain atau

klinik, kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negative terhadap

(17)

2.8. Wanita Usia Subur

Menurut teori perkembangan psikososial erikson, dikutip dari Whalley &

Wong’s (1999) tahap perkembangan manusia menurut umur dibagi dalam beberpa

tahapan dianataranya:

1. Adolescence/ Remaja (13-20 tahun)

Pada masa ini hubungan sosial utama bagi anak sudah beralih pada kelompok

sebaya dan kelompok luar yang seide dengannya.

2. Early adult hood/ dewasa awal (21-35 tahun)

Pada masa dewasa ini hubungan sosial utama seseorang sudah terfokus pada

partner dalam hubungan teman dan seks

3. Young and middle adult hood/ dewasa pertengahan (36-45 tahun)

Pada masa ini hubungan sosial seseorang terfokus pada pembagian tugas

antara bekerja dengan rumah tangga pada masa ini emosi sudah mulai stabil.

2.9. Penelitian Terkait

1. Sumarlan, 2008, dengan judul Niat wanita Pekerja Seks (WPS) Gajah kumpul

terhadap Pemanfaatan Klinik IMS di Puskesmas Batagan Kabupaten Pati Jawa

Tengah. Dimana Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden

berpengetahuan serta bersikap baik terhadap klinik IMS, variabel yang

berhubungan signifikan dengan niat memnfaatkan klinik IMS, sikap terhadap

klinik dan dukungan mucikari. Meskipun sebagian besar hasilnya positif namun

(18)

penyakit, dukungan teman serta dukungan mucikari. Untuk mengurangi sikap

negatif tersebut maka perlu dilakukan penyuluhan dengan metode simulasi dan

curah pendapat agar WPS mengetahui tanda dan gejala penyakit dengan benar.

Adapun untuk mengatasi keluhan mahalnya biaya berobat keklinik IMS perlu

diusulkan biaya operasional kepemerintah agar para WPS mendapatkan pelayanan

klinik IMS secara gratis.

2. Liana, L, 2007, dengan judul Hubungan persepsi pelayanan klinik, Upaya

pencegahan, Pengobatan sendiri dan Riwayat IMS dengan kepatuhan pemeriksaan

skrining IMS pada WPS (studi di Resosialisasi Argorejo Semarang), dimana hasil

uji analisis menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara persepsi

pelayanan klinik (p=0,001), pengobatan sendiri (p=0,0001) dan riwayat IMS

(p=0,0001) dengan kepatuhan skrining. Sedangkan tidak terdapat hubungan antara

upaya pencegahan (p=0,059) dengan kepatuhan skrining. Sehingga diharapkan

bagi WPS agar meningkatkan upaya pencegahan primer khususnya konsistensi

pemakaian kondom dan mematuhi jadwal pemeriksaan skrining yang telah

ditentukan.bagi pelayanan kesehatan agar meningkatkan pemberian informasi

tentang IMS kepada WPS dan meningkatkan kualitas pelayanan melalui

peningkatan ketrampilan tenaga kesehatan dan pemilihan pengobatan awal yang

(19)

2.10. Landasan Teori

Sebagai acuan dalam menentukan variabel penelitian serta menyusunnya

dalam suatu kerangka konseptual maka keseluruhan teori-teori yang telah dipaparkan

di atas dirangkum dalam suatu landasan teori seperti diuraikan berikut.

Dewasa ini terjadinya peningkatan Penyakit Menular seksual pada masyarakat

menuntut dilakukannya program pelayananan dan penanganan secara konprehensif

dan terpadu. Klinik Infeksi Menular Seksual Puskesmas Kuta Alam Banda Aceh yang

merupak sebagai salah satu unit pelayanan dan penanggulangan masalah penyakit

Infeksi Menular seksual diharapkan mampu berperan aktif dalam memberikan

konstribusi dalam mengurangi jumlah penderita Infeksi Menular Seksual terutama

dikalangan wanita Usia Subur, dimana WUS berkonstribusi dalam meningkatkan

masalah kesehatan reproduksi sehingga akan sangat berpengaruh untuk kesehatannya

khususnya kesehatan reproduksi.

Penanganan pasien IMS yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan klinik

IMS puskesmas Kuta Alam Banda Aceh diantaranya dipengaruhi oleh petugas

kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada klien maupun klien sebagai

pengguna pelayanan kesehatan.

Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan diklinik IMS mencakup:

(a) Melaksanakan kegiatan pencegahan seperti promosi kondom dan seks yang aman,

(b) Melaksanakan pelayanan yang ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi, (c)

Memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi mereka yang telah tertular

(20)

populasi yang beresiko secara rutin sedikitnya sekali setiap 3 ( tiga ) bulan, (e)

Memberikan layanan konsling, pemeriksaan, dan pengobatan bagi pasangan tetap klin

pekerja seks melalui sistem partner notification, (f) Menjalankan sistem monitoring

dan surveilens, (g) Memberikan layanan KIE tentang mitos penggunaan obat-obat

bebas untuk mencegah atau mengobati IMS (KPA Nasional, 2005 )

Menurut Raharjo (2005) dalam Mardin Purba, 2009, factor-faktor yang

memperlambat upaya mengurangi resiko penyebaran PMS adalah kurangnya akses

penderita IMS kesarana pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi yang

tidak strategis, keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotik, toko lain atau

klinik, kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negative terhadap

kegiatan seks dan penggunaan alat kontrasepsi atau karena ada larangan .

Menurut Barakbah dalam Hesti, 2008 , Konseling penderita IMS sebaiknya

diberikan kepada dokter yang merawat/tenaga kesehatan lain yang ditunjuk yang

benar-benar mengerti tentang IMS. Dimana ada beberapa hal yang harus diperhatikan

pada setiap proses konseling anatara lain: Waktu harus cukup leluasa, tempat yang

menyenangka dan tidak dapat didengar oleh orang lain, sikap konselor membuat

klien merasa “diterima”, “dipahami”, serta merasa aman untuk beratnya dan

mengemukakan pendapat, kemudahan klien untuk mendapat pelayanan, kerahasiaan

(21)

2.11. Kerangka Konsep Penelitian

Keberhasilan pelayanan klinik IMS sebagai upaya penanggulangan IMS

sesuai yang diuraikan oleh Raharjo (2005) dalam Mardin Purba, 2009 dan

Barakbah dalam Hesti, 2008 , KPA Nasional, 2005 diatas dapat dijelaskan secara

skematis sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Pencegahan & Penanggulangan IMS

- Baik

- Kurang baik

Pendukung Pelayanan IMS : - Sikap Petugas Kesehatan - Fasilitas

- Kesadaran/minat Masyarakat Pelayanan IMS:

-Layanan KIE

-Promosi penggunaan kondom

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Pandangan ini kemudian dapat dikoreksi melalui dua hal: pertama , penjelasan kepala PLD kepada Ketua LPPM bahwa dalam konteks pendidikan inklusif, rencana menempatakan difabel

Selain subektor jasa perdagangan hasil laut, beberapa subsektor lain yang memiliki nilai output total yang besar adalah subsektor penambangan migas lepas pantai,

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa luas lahan, biaya pupuk, biaya bahan bakar, dan hasil produksi memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap tingkat pendapatan

Rata-rata lama menginap tamu (RLMT) Asing dan Indonesia pada hotel berbintang di Sumatera Barat bulan November 2016 adalah selama 1,51 hari, meningkat 0,08 hari

Pada penjelasan mengenai kesiapan Timor Leste untuk mengikuti mekanisme komunitas ASEAN, akan terlihat bahwa tidak ada hubungan bilateral yang cukup antara negara

PENGERTI AN PEMI LI KAN TANAH

• Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif, laju inflasi dan tingkat

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan Skripsi untuk memenuhi syarat