• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kumpulan Cerita Cinta Islami (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kumpulan Cerita Cinta Islami (1)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Plis Dong, Akh!

Penulis : Nova Ayu Maulita

“Assalamu’alaikum, Ukhti!” suara melengking itu spontan membuatku

mendongak. Tommy terlihat sumringah saat melihatku.

“Apa kabar nih? Lama nggak ketemu. Jadi kangen!”

Mulutku tercekat. Hari gini dia bilang kangen sama aku? Ugh. Rasanya aku ingin

tenggelam ditelan bumi. Masalahnya saat itu aku tidak sendirian. Aku sedang

bersama adik mentoringku. Masalahnya lagi, baru lima menit yang lalu aku

mengisi mentoring tentang manajemen hati dan sikap. Nah, kalau sekarang aku

disapa Tommy seperti itu kan jadi rumit. Bisa-bisa dikira aku punya skandal

dengan ikhwan yang satu ini.

“Iya, liburan kemana aja, Ukh? Cerita-cerita dong!” Tommy masih nyerocos

tanpa merasa bersalah sama sekali. Sementara itu aku senin-kamis menahan

malu sambil menghindari tatapan adik-adik mentorku yang sesekali tersenyum

nakal dan berdehem-dehem. Mungkin saat itu mukaku sudah berubah menjadi

traffic light, merah kuning hijau. Tapi dia tetap saja cuek dan pasang innocent

face.

Tommy adalah teman sekelas SD-ku. Enam tahun sekelas dengan nomor absen

berurutan membuat kami lumayan akrab. Sering ngobrol, sering kerja

kelompok, sering merancang ide-ide konyol, tapi sering bertengkar juga.

Pokoknya dulu bisa dikatakan kami berteman baik deh. Waktu lulus SD, dia

pindah ke luar kota. Tidak pernah ada kabar sampai tiba-tiba dia sudah satu

jurusan, bahkan sekelas denganku di universitas. Tapi tentu saja semua sudah

berubah. Paling tidak sekarang aku sedikit-sedikit juga tahu adab bergaul

dengan lawan jenis.

Tapi, entahlah bagaimana dengan Tommy. Dia memang terbuka, suka bergaul,

bercanda, dan ngobrol dengan siapa saja. Sepertinya sekarang dia juga sudah

(2)

sering juga ikut kajian umum di fakultas, sering terlihat kumpul bareng

ikhwan-ikhwan mushala, sering ikut dalam kepanitiaan SKI, dan juga cukup sering

menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan pengetahuan Islamnya cukup

terakreditasi. Tapi untuk masalah ’centilnya’ ini, ah entahlah… .

”Kok diem terus sih, Van! Ngomong dong! Ngomong…!” Disuruh ngomong aku

malah semakin kikuk. Apa lagi kalau mengingat nada suaranya yang mirip-mirip

iklan operator telepon selular yang beberapa waktu lalu sempat populer,

”Ngomong dong, sayang..!” Weeit…!

”Iya, ya, liburanku biasa-biasa aja kok. Pulang cuma seminggu, belum hilang

kangennya sama orang rumah. Kemari… nggak jadi deh!” aku nyaris saja

keterusan bicara. Tadinya aku mau cerita kalau kemarin aku ketemu sama

Dela, teman kami dalam hal gila-gilaan waktu di SD dulu. Wah, kalau tadi aku

cerita, pasti obrolan nostalgia SD akan jadi panjang.

”Kemarin kenapa? Cerita dong… aku jadi penasaran nih.”

”Nggak usah, nggak penting kok! Anggap aja tadi aku nggak ngomong apa-apa”

”Uh… dari dulu kamu nggak berubah. Bikin orang penasaran.”

Aku cuma ngiyem mendengarnya.

”Eh, Van, Van. Kamu liat akhwat itu nggak?” Kali ini Tommy mengalihkan

pembicaraan. Matanya mengarah pada seorang akhwat yang berbaju abu-abu di

seberang. ”Emangnya kenapa?” Aku terpancing ingin tahu.

”Itu tuh, bajunya kok nggak match ya. Liat tuh, bajunya abu-abu, bawahannya

hijau, jilbabnya item, eh… tasnya merah. Bagusan kan kalau roknya item dan

tasnya apa gitu kek, yang penting jangan merah. Trus kaos kakinya itu lho, kok

kuning. Aduh…!” Tommy sok-sok memberikan penilaian bak seorang desainer

sambil memukul-mukulkan telapak tangan ke jidatnya. ”Payah ah,

penampilannya! Kalau kamu hari ini sudah cukup match kok, Van. Bagus,

bagus!” Tommy memandangi sekilas setelan biru yang kupakai.

Aku sudah tidak tahan mendengar komentar-komentarnya tadi. Siapa yang

butuh komentar darinya? Kalau saja kami masih jadi anak SD, sudah kutonjok

(3)

”Plis dong, Akh! Penting nggak sih buat kamu? Kasian lagi kalau beliaunya

denger kamu ngomongin dia kaya gitu. Bisa kehilangan pede. Lagian harusnya

kan antum jaga pandangan dong!” jawabku ketus disertai tampang bete.

Khusus kalau sedang bicara dengan Tommy kata-kataku jadi campur aduk,

tergantung mood. Kadang pakai istilah akhi, antum, afwan, atau istilah-istilah

Arab lain. Tapi kadang juga keluar aku, kamu, kasian deh lu, dan

bahasa-bahasa gaul lainnya yang dulu biasa kami pakai.

”Emang nggak boleh ya komentar kaya gitu? Kalau aku malah seneng kalo ada

yang ngeritik. Ah, wanita memang susah dimengerti.”

Aku menahan diri untuk tidak berkomentar sambil mengepal-kepalkan telapak

tanganku di samping baju. Rasanya darahku sudah mendidih sampai ke otak.

Melawan kata-katanya hanya akan memicu perdebatan yang sulit diramalkan

endingnya.

”Eh, udah deh, aku pergi dulu ya.”

Tiba-tiba rongga dadaku terasa lega mendengar kalimat terakhirnya itu. Lega.

”Tapi Ukh, sebelumnya tolong liatin muka saya ada tip-exnya nggak?”

Saking gembiranya, aku langsung menuruti persyaratan untuk membuatnya

menghilang dari hadapanku. Aku mendongak menatap wajah yang ditumbuhi

sehelai jenggot itu. ”Nggak ada, kok,” jawabku.

”Makasih ya, Ukh! Tapi bukannya kita nggak boleh memandang wajah lawan

jenis? Sudah ya, wassalamu’alaikum…!”

Tinggal aku yang bengong dan gondok habis. Ugh… kena deh! Awas ya!

***

“Assalamu’alaikum…” Sosok Tommy sudah muncul di depan kostku. Aku

celingukan mencari teman yang mungkin dibawanya serta. Nihil.

“Waalaikum salam warah-matullah.. sendirian aja, Tom? Nggak bawa temen?”

aku jadi kikuk. Serba salah. Setahuku kalau ada dua orang laki-laki dan

perempuan maka ketiganya ada setan. Hiyy. Di sini ada setan dong!

Tommy sudah empat kali berkunjung ke kostku. Aku juga sudah selalu berpesan

(4)

sampai sekarang dia masih suka nekat datang sendirian. Dan aku juga belum

bisa mengusirnya dengan tegas. Nggak tega.

”Afwan, tadi cuma mampir karena habis beli jus dekat sini. Udah bikin tugas

analisis konflik dan perdamaian, Ukh?”

”Udah, baru aja selesai.” Aku berusaha menghemat kata-kataku.

”Aku bingung nih, masalahnya gimana sih? Bisa minta tolong dijelasin nggak?”

Pertanyaannya bikin aku garuk-garuk kepala. Memaksaku untuk menjawab

panjang lebar. ”Bisa nggak kalo nanya di kampus aja?”

”Tapi aku kan mau ngerjain nanti malem. Besok kita juga nggak ketemu di

kampus. Padahal lusa harus dikumpulin.” Suaranya bernada kecewa.

”Emang nggak bisa nanya ke yang lain?!”

”Eh, kok ketus banget sih, Van! Aku kan udah bilang, mampir kesini karena

kebetulan habis beli jus di samping kostmu, trus inget kalau ada tugas yang aku

nggak ngerti. Jadi sekalian nanya. Malu bertanya sesat di jalan. Kita kan nggak

boleh menyembunyikan ilmu yang kita miliki. Ya udah kalau nggak boleh.”

Tiba-tiba hatiku meluluh. Kena jebakan kata-katanya. ”Emang mau nanya apa

sih?”

Tommy nyengir. ”Nah, gitu dong!”

Akhirnya terjadilah diskusi kecil kami selama hampir setengah jam.

”Makasih banyak, Vanti! Entar namamu kucantumin di daftar pustaka deh.”

Tommy berusaha melucu.

Tapi bagiku yang sudah bete banget jadi tidak lucu sama sekali. Plis dong, Akh!

”Pulang dulu ya. Sampai jumpa. Mimpi indah ya! Bu bye..”

Gleg. ”Kok sampai jumpa sih? Pake bubye pula.”

”Eh, iya, afwan. Assalamu’alaikum…”

”Alaikum salam warahmatullah.”

***

Sepertinya belakangan ini Tommy menjadi sebuah masalah bagiku. Dan entah

kenapa banyak kebetulan-kebetulan yang menyebabkan aku harus bersama

dengannya. Misalnya pernah waktu jalan tiba-tiba kebetulan dia juga sedang

(5)

makan di kantin juga ketemu. Tiga kali ketemu di toko buku. Ke perpustakaan

juga ketemu. Di luar kebetulan-kebetulan itu, Tommy juga sering sekali

mengirim sms, menelepon, dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak

penting. Suka curi-curi pandang, suka memujiku, dan hal-hal lain yang

menurutku sangat menjengkelkan. Rasanya aku ingin beberapa hari cuti jadi

orang yang mengenalnya, biar kalau ketemu lagi aku tidak perlu merasa begitu

bosan seperti sekarang.

”Jangan-jangan kalian jodoh” Aku hampir tersedak waktu Ika tiba-tiba

mengucapkan hal itu. Memecahkan keasyikanku menikmati makan siang di

kantin Yu Jum.

”Uhuk… uhuk… hari gini ngomongin jodoh?!” aku buru-buru minum karena

tenggorokanku tercekat.

”Emangnya nggak boleh? Kuliah sudah semester lima, umur sudah kepala dua.

Kalau memang jodoh kan bisa segera…” Ika cengar-cengir melihatku.

”Astaghfirullah, ngapain sih ngomong kaya gitu, Ka? Jodoh itu rahasia Allah,

dengan siapa dan kapan itu rahasia Allah. Nggak usah dipikirin pun toh kalau

sudah tiba waktunya akan datang sendiri. Nggak bisa diundur dan nggak bisa

dipercepat.”

”Iya, tapi kan kalau memang sudah siap maka makruh hukumnya

menunda-nunda pernikahan.” Kali ini Ika mengedip-ngedipkan matanya centil.

Membuatku serasa semakin ingin menghilang.

”Yee, siapa yang bilang sudah siap nikah?”

”Lho, kamu belum tahu ya? Tommy kan mau nikah muda! Jadi… jangan-jangan

dia sudah punya calon. Siapa tahu…! Inget lho, kalau sudah ketemu jodoh dan

mampu, maka makruh hukumnya menunda pernikahan.” Ika kembali

bersemangat sekali membuatku jengkel.

”Udah ah… kamu bikin aku kehilangan nafsu makan aja, Ka! Kalau kamu

berminat, bungkus deh buat kamu!” Ika hanya terkekeh mendengarnya.

(6)

Entah kenapa tanpa kusadari, obrolan dengan Ika itu menghantui pikiranku.

”Iya, jangan-jangan, jangan-jangan… oh tidak! Paling hanya aku yang

ke-geer-an.

New sms! Handphoneku tiba-tiba mengoceh sendiri.

Ups, dari Tommy!

Vanti yang baik, tolong ya siapin surat izin pinjam tempat buat syura besok.

Plizz, you are my only hope =)

Ih, apa-apaan sih ini kok minta tolong saja merayunya sampai maut begini.

Nggak menghargai banget, masa ngomong sama akhwat masih tetap

gombal-gambel kaya gini sih. Tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada perkataan Ika

siang tadi. Jangan-jangan…. Kadang sikapnya memang suka aneh sih, suka

ngajak ngobrol lama-lama, suka memuji, suka sok kebetulan mampir dengan

alasan beli jus. Padahal di dekat kostnya pasti juga ada yang jual jus, ngapain

juga jauh-jauh beli jus sampai ke sini. SMS yang model begitu juga bukan

barang baru lagi. Ihh.

***

”Hati-hati lho, Van!”

”Kenapa?” alis mataku terangkat refleks.

”Hati-hati lah… sama ikhwan kaya gitu!” tukas Evi, tetangga kamarku.

”Tahu nggak, kemarin Tommy ke sini lagi lho…”

”O ya?” kini mataku yang terbelalak.

”Hati-hati sama hatimu sendiri. Kan kamu sendiri yang bilang apa tuh… witing

tresna jalaran suka kulina. Nah, kalau kamu tiba-tiba jadi suka sama dia

gara-gara dia sering ke sini gimana?” Evi menatapku serius.

”Apalagi kalian sudah kenal sejak kecil kan?” pertanyaannya semakin

menusukku.

”So what gitu lho…”

”Ya silakan ditafsirkan sendiri… aku cuma mengingatkan, setan itu cerdik bin

lihai lho…”

Aku manggut-manggut.

(7)

”Tegas? Maksudnya, kalau dia dateng lagi aku harus apa? Kalau dia sms nggak

usah dibales gitu?”

”Iyalah… kalau dia dateng tuh, nggak usah dibukain pintu! Kalau sms nggak

usah dibales. Kalau becanda nggak usah diladeni, pokoknya bersikaplah

dingin!”

”O… gitu ya?”

***

Ternyata saran Evi cukup jitu. Tommy tidak lagi menjadi masalah bagiku dalam

tiga minggu terakhir. Senangnya….

”New sms!”

Kuraih handphoneku.

Tommy!

Ass. Van, tidak saya kira, anti juga bisa bersikap tegas dan cool. Cocok dengan

kriteria saya. Jadi, kapan anti siap menikah?

Pliss dong, Akh!

Tiba-tiba mataku memanas. Aku tidak sanggup bernapas lagi.

***

Diambil dari Majalah Annida, No. 2/XVI/15 Oktober – 15 Nopember 2006.

Simak cerita-cerita menarik lainnya di Majalah Annida “Cerdas, Gaul & Syar’i”.

Cinta Sepotong Mimpi

(8)

Dapatkah seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun,

adikku semata wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya.

Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan?

Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk

meminangnya.

Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai

gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.

“Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan

malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.

Sebenarnya Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar

terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya,

ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang

Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda?

Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala

berubah.

Mereka sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu

lagi sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di

Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang

dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang

yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk

memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi.

Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya menjadi…cinta (?).

Mari katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu

hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang

mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga

khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian

mendesah perlahan.

“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.

”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,”

jawab Jamal.

(9)

”Bahwa Lala jodoh saya?”

”Bukan. Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi.

Biar nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”

Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.

Wah, pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang

pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul

yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala

tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.

”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,”

kataku waktu itu.

”Ah, adikmu itu takkan mau.”

”Tapi…”

”Sudahlah. Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai.

Tapi setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang,

‘kan?”

“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja

mimpinya hanya romantisme sesaat.”

Ibu tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya

Jamal yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri.

Sepertinya justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.

”Kupercayakan semua itu padamu.”

Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku

pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.

***

Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan

perjodohannya dengan Lala.

“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah

terkekeh.

(10)

Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong

kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala

dewasa ini. Aku pun tak tahu.

“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,”

kata Bang Rohim, suamiku.

***

Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.

”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.

Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat

ia kanak-kanak dulu.

”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.

”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”

Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat

seorang gadis di sana. Subhanalah, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm,

santun pula. Cukup pantas untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata

Bang Rohim, butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak

yakin aku bisa sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.

Tak banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide

setiap kami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal

perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala.

Katanya, kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua.

Bisa saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong

bersama ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini

dapat memudahkanku saat mengutarakan maksud kedatangan kami

sesungguhnya nanti.

Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya

kepada Lala. Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak

kusangka ia serius dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang

(11)

“Mungkin Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi,

setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau

Lala Abang lamar?”

Bukan manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau.

Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan

Bang Rohim dulu.

“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk

merubahnya.”

Berakhirlah. Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum

mengerti, namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir

manis. Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.

Sejak hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam

aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau

larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah.

Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala.

Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling

bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah

pandangan Lala terhadapnya.

Waktu kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi

keinginannya itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.

Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan

mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.

”Syarat orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi

pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya

selalu.

Terserahlah apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal

memelihara cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga.

Cukup mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu

dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup

di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta

(12)

yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan

menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun perjodohan

tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha ”menghasut”

Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak SMU itu.

Alhamdulillah berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak

Haji Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan

selain mengiyakan.

***

Kesediaan Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga

menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain.

Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada

siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.

”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”

Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.

”Apa pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal

tiba-tiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!

”Rasanya Azisa bukan jodohku.”

Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.

”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.

”Sebenarnya mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya

kepada Tuhan. Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak.

Dan yang muncul ternyata Lala!”

Aku kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak

dapat menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi

bagaimana.

”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan

untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak

akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai

kebenaran, Mal. Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus

menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi

(13)

”Kamu memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai

silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah

Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”

Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam.

Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.

”Mungkin,” lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih

hidup dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan

untuk dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan

menjadi pemimpi?!”

Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan

apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan

seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk

Lala. Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku

peluk Jamal, menangis sesal.

Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian,

keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama

ini.

“Besok kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik

ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan,

‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”

Kupikir ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan

perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada

perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.

“Tidak. Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa.

Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke

rumah Pak Haji untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”

Kutatap kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini

terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau

benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak

(14)

Aku terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu

menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya

berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku.

* Juara Harapan IV Lomba Menulis Cerpen Ummi 2004.

Calon Buat Ajeng

Penulis : Asma Nadia

Calon Suami???!

Pfui, kuhembuskan nafasku kuat-kuat. Bosan aku. Lagi-lagi calon suami yang

dibicarakan. Bayangin, sudah dua bulan ini tidak ada topik yang lebih trend di

rumah, selain soal suami.

Mulai dari Papi yang selalu nyindir, sudah pengen menimang cucu. Mami yang

berulang-ulang menasihatiku agar jangan terlalu pilih-pilih tebu. Lalu

Bambang, adikku, yang kuharap bisa menetralisir suasana, tak urung ikut

menggoda. Bahkan si kembar Rani-Rano, yang masih es em pe pun, ikut-ikutan

menceramahiku.

”Mbak Ajeng kan udah jadi insinyur, udah waktunya dong, mikirin berkeluarga.

Lagian, Rani sama Rano kan udah pengen dipanggil ’Tante dan Oom’. Tika aja

yang baru kelas enam, keponakannya udah empat!”

”Iya, Mbak. Jaman sekarang, perempuan itu harus agresif. Mbak Ajeng sih,

kerjanya belajar ama ngaji melulu!” Rano menimpali kata-kata kembarnya.

(15)

”Udah sana kalian belajar!” hardikku agak keras.

”Tuh, kaaaan?!?” seru mereka berdua kompak.

Huhh, dasar kembar!

***

”Ajeng…!”

Kudengar panggilan Mami dari depan. Pelan aku bangkit dari meja belajar.

Setelah merapikan jilbab, aku keluar.

”Ada apa, Mi?” tanyaku lunak. Sekilas sempat kulihat sosok seorang lelaki,

duduk di sudut ruangan.

Kedua bola mata Mami tampak bersinar-sinar. Oo…Oo…! Pasti ada yang nggak

beres, gumamku dalam hati. Iiih..su’udzon! Tapi….

Benar saja.

“Ajeng, kenalin. Ini tangan kanan Papi di kantor. Hebat, ya! Masih muda sudah

jadi Wakil Presiden Direktur. Ayo, kenalin dulu. Ini Nak Bui….”

”Boy, Tante!”

”Eh, iya. Boi!”

Aku hanya bisa menahan geli. Mami…Mami…!

Rasa geliku mendadak hilang, ketika selama dua jam berikutnya aku harus

mendengarkan obrolan Mami dengan Si Boi tadi.

Bukan main, lagaknya! Batinku menggerutu sendiri, mendengar cerita-ceritanya

yang melulu berbau luar negeri.

”Jadi, Tante, selama belajar di Harvard, saya sudah coba-coba berbisnis

sendiri. Hasilnya lumayan. Saya bisa jalan-jalan keliling Amerika, bahkan Eropa

setiap kali holiday!”

Hihhh, gemas aku! Terlebih melihat pancaran kagum di wajah Mami.

Benar-benar nggak peka nih anak. Kok bisa sih nggak merasa dicuekin? Tetap aja

ngomong. Tak perduli aku yang cuma diam dan sesekali manggut. Kupanjatkan

syukur yang tak terkira ketika akhirnya Si Boi pulang. Alhamdulillah!

***

Kulihat Bambang tertawa. Kesal, kulemparkan bantal ke arahnya. Orang cerita

(16)

”Bang, serius, dong! Pokoknya kalau nanti Mami nanyain kamu soal Boy, awass

kalau kamu setuju!” ancamku serius. Bambang masih cengar-cengir.

”Mbak Ajeng gimana, sih? Biasanya Mbak yang nyuruh aku sabar menghadapi

segala sesuatu. Lho, kok sekarang malah panasan gini? Tenang aja, Mbak,

sabar! Innallaha ma’ashshabirin!” balasnya sambil mengutip salah satu ayat di

Al-Quran.

Iya, ya. Kenapa aku jadi nggak sabaran gini. Baru juga ngadepin si Boy.

Astaghfirullah!

”Mbak bingung, Bang! Habis serumah pada mojokin semua. Kamu ngerti, kan,

milih suami itu nggak mudah. Nyari yang shalih sekarang susah. Mbak nggak

pengen gambling. Salah-salah pilih, resikonya besar. Nggak main-main, dunia

akhirat!”

Sekejap, kulihat keseriusan di matanya. Cuma sekejap, sebelum ia kembali

menggodaku.

”Apa perlu Bambang yang nyariin???!”

Lemparan bantalku kembali melayang.

***

Kriiiiing…!!!

Ups, kumatikan bunyi weker yang membangunkanku. Jam tiga lebih

seperempat. Aku bangun dari tempat tidur, bergegas ke kamar mandi untuk

berwudhu. Kuperhatikan lampu kamar Bambang masih menyala. Sayup-sayup

suara kaset murattal terdengar.

Tercapai juga niatnya untuk begadang malam ini, pikirku. Heran, kebiasaan

menghadapi ujian dengan pola SKS (Sistem Kebut Semalam) masih membudaya

rupanya.

Cepat kuhapuskan pikiran tentang Bambang dan ujiannya. Mataku nanar

menyaksikan pantulan wajahku di cermin. Kuhapus tetesan air wudhu yang

tersisa dengan handuk kecil. Oooohh, begini rupanya gadis di penghujung usia

dua puluh sembilan? Kuperhatikan bentuk wajahku yang makin tirus. Baru

kusadari, betapa pucatnya wajah itu. Entah kemana perginya rona merah yang

(17)

dan Mami begitu khawatir. Sudah sulung mereka tak cantik, menjelang tua,

lagi!

”Ir. Ajeng Prihartini.” Kueja namaku sendiri.

”Jangan cemas ya ukhti, ini bukan nasib buruk!” Bisikku menghibur. Bagaimana

pun aku harus tetap tawakkal pada Allah. Jodoh, rizki, dan maut, Dia yang

menentukan. Berjodoh di dunia bukanlah satu kepastian yang akan kita raih

dalam hidup. Tidak, ada hal lain yang lebih penting, lebih pasti. Ada kematian,

maut yang pasti kita hadapi. Sesuatu yang selama ini sering kuucapkan kepada

saudaraku muslimah yang lain, ketika mereka ramai meresahkan calon suami

yang tak kunjung datang.

”Sebetulnya kita ini lucu, ya? Lebih sering mempermasalahkan pernikahan, hal

yang belum tentu terjadi. Maksud Ajeng, bergulirnya waktu dan usia, nggak

seharusnya membuat kita lupa untuk berpikir positif terhadap Allah. Boleh jadi

calon kita ini nggak buat di dunia, tapi disediakan di surga. Mungkin Allah ingin

memberikan yang lebih baik, who knows?” ujarku optimis, dua tahun yang lalu.

Astaghfirullah! Ishbiri ya ukhti, isbiri….

Tanganku masih menengadah, berdoa, saat kudengar azan Subuh

berkumandang. Hari baru kembali hadir. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah,

untuk satu hari lagi kesempatan beramal dan taubat, yang masih Kau berikan.

***

Selesai berurusan dengan Mami untuk masalah Boy, gantian aku harus

menghadapi Tante Ida yang siap mempromosikan calonnya. Duhh! Lagi-lagi aku

cuma bisa manggut-manggut.

”Tante sih terserah Ajeng. Pokoknya lihat aja dulu. Syukur-syukur Ajeng suka.

Dia anak lurah. Bapaknya termasuk juragan kerbau yang paling kaya di Jawa.

Tapi nggak kampungan, kok. Anak kuliahan juga seperti kamu!” promosi Tante

Ida bersemangat.

Dua hari kemudian, Tanteku itu kembali datang dengan ’balon’nya.

”Junaedi. Panggil aja Juned!”

(18)

Selama pembicaraan berikutnya, berkali-kali aku harus menahan diri, untuk

tidak lari ke dalam. Aku tidak ingin menyinggung perasaan Tante Ida. Apalagi

beliau bermaksud baik. Hanya saja, asap rokok Juned benar-benar membuatku

mual. Malah nggak berhenti-henti. Habis sebatang, sambung sebatang. Persis

lokomotif uap jaman dulu!

Dengan berani pula ia mengomentari penampilanku.

”Eng…jangan tersinggung ya, Jeng. Aku suka bingung sendiri ngeliat perempuan

yang memakai kerudung. Kenapa sih tidak pintar-pintar memilih warna dan

mode?! Aku kalau punya isteri, pasti tak suruh beli baju yang warna-warnanya

cerah, menyala. Sekaligus yang bervariasi. Seperti yang dipakai artis-artis kita

yang beragama Islam itu lho, sekarang. Ndak apa-apa toh sedikit kelihatan

leher atau betis?! Maksudku biar tidak terlihat seperti karung berjalan gitu lho,

Jeng! Hahaha….”

Kontan raut mukaku berubah. Tanpa menunggu rokok keenamnya habis, aku

mohon diri ke dalam. Tak lama kudengar suara Juned pamitan. Alhamdulillah.

Ketika Tante Ida menanyakan pendapatku, hati-hati aku menjawab.

”Maaf ya, Tan…, rasanya Ajeng nggak sreg. Terutama asap rokoknya itu, lho.

Soalnya Ajeng punya alergi sama asap rokok. Mana kelihatannya Juned perokok

berat, lagi. Maaf ya, Tan…, udah ngerepotin.”

Bayang kekecewaan tampak menghiasi raut muka Tante Ida.

”Bener, nih…nggak nyesel? Tante cuma berusaha bantu. Ajeng juga mesti

memikirkan perasaan Mami sama Papi. Susah lho, nyari yang seperti Juned.

Udah ganteng, dokterandes lagi! Terlebih kamu juga sudah cukup berumur.”

Bujukan Tante Ida tak mampu menggoyahkanku. Dengan masih kecewa, beliau

beranjak keluar. Sempat kudengar Tante Ida berbicara dengan Papi dan Mami.

Sempat pula kudengar komentar-komentar mereka yang bernada kecewa,

sedih. Ya Allah, kuatkan hamba-Mu!

Hari berangsur malam. Aku masih di kamar, mematung. Beragam perasaan

bermain di hatiku. Sementara itu, hujan turun rintik-rintik.

(19)

Siang begitu terik. Langkahku lesu menghampiri rumah. Capek rasanya jalan

setengah harian, dari satu perpustakaan ke perpustakaan IPB lainnya. Namun

buku yang kucari belum juga ketemu. Padahal buku itu sangat kuperlukan

untuk menghadapi ujian pasca sarjanaku sebentar lagi. Sia-sia harapanku untuk

bisa beristirahat pulang ke Depok. Kereta yang kutumpangi benar-benar penuh.

Sudah untung bisa berdiri tegak, dan tidak doyong ke sana ke mari, terdesak

penumpang yang lain.

”Assalamu’alaikum!” perasaanku kembali tidak enak, melihat Mami yang tidak

sendirian. Seorang lelaki berjeans, dengan sajadah di pundak, dan kopiah di

kepala, tampak menemani beliau. Jangan…jangan….

”Wa’alaikumussalam. Nah, ini Ajengnya sudah pulang. Ajeng, sini sayang.

Kenalkan, Saleh. Putera Pak Camat yang baru lulus dari pondok pesantren di

Kalimantan. Kalian pasti bisa bekerja sama mengelola kegiatan masjid di sini.

Lho, Ajeng…, kok malah diam? Maaf Nak Saleh, Ajeng memang pemalu

orangnya.”

Duhh, Mami!

Kali ini Mami membiarkanku berdua dengan tamunya itu. Risih, kuminta Rani

mendampingiku. Dia setuju setelah aku janji akan menemaninya mendengar

ceramah di Wali Songo, pekan depan.

Selama Saleh berbicara, aku menunduk terus. Bisa kurasakan pandangannya

yang jelalatan ke arahku. Dengan gaya bahasa yang tinggi, Saleh bercerita

tentang berbagai kitab berbahasa Arab yang telah dia kuasai. Bukan main. Lalu

ia mulai membahas satu persatu perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.

Soal doa qunut, perbedaan doa iftitah, masalah posisi telunjuk ketika tahiyat,

dan lain-lain yang senada.

Terus terang, aku tidak begitu setuju dengan caranya. Betul bahwa semuanya

harus kita ketahui. Tapi bagiku, dengan makin meributkannya, hanya akan

memperuncing perbedaan yang ada. Cukuplah bahwa masing-masing berpegang

pada sunnah Rasulullah. Tentunya akan lebih baik, jika kita justru berusaha

mencari titik temu atau persamaan, dan bukan malah memperlebar jurang

(20)

”Kalau menurut Saleh, kasus Bosnia itu bagaimana?” tanyaku mengalihkan

perhatian.

”Oooh, itu. Ane sangat tidak setuju. Menurut pendapat dan analisa ane, tidak

seharusnya masalah Bosnia itu digembar-gemborkan. Itu akan membuat sikap

tersebut kian membudaya. Sudah saatnya pola sikap ngebos, dan penghargaan

masyarakat terhadap orang-orang yang punya kedudukan, diarahkan

sewajarnya. Agar tidak berlebihan.” ulasnya panjang lebar.

Gantian aku yang bingung.

”Saya…saya tidak paham apa yang Saleh maksudkan.” ujarku sedikit gagap.

”Kenapa? Apa karena bahasa yang ane gunakan terlalu tinggi atau bagaimana,

hingga Ajeng sulit memahami?”

Aku tambah melongo.

”Bukan itu, ini…, Bosnia yang mana, yang Saleh maksudkan?” tanyaku makin

bingung.

”Lha, yang nanya kok malah bingung?! Yang ane bicarakan tadi ya tentang

Bosnia, Boss-Mania, kan maksud Ajeng?!!”

Ufh, kutahan tawa yang nyaris meledak. Bingung aku, ternyata masih saja ada

orang yang meributkan hal-hal yang relatif lebih kecil, dan melupakan masalah

lain yang lebih besar. Dari sudut mataku, kulihat Rani pringas-pringis menahan

geli, sambil mempermainkan kerudung pink-nya. Lucu sekali.

”Bukan, yang Ajeng maksudkan adalah penindasan yang terjadi pada

saudara-saudara muslim kita di Negara Bosnia.” aku berusaha menjelaskan dengan

sabar.

Tampak Saleh manggut-manggut.

”Ooooh, yang itu. Ya…jelas penindasan itu tidak bisa dibenarkan. Tidak sesuai

dengan perikemanusiaan dan keadilan,” ujar Saleh optimis, lalu….

”Ngomong-ngomong, Bosnia itu di mana, sih?”

Tawa Rani meledak.

Duhhh, Mami!!!

(21)

Malamnya, waktu aku protes ke Mami, soal calon-calon itu, tanpa diduga,

malah Mami yang marah.

”Lho, kamu itu gimana toh? Kata Bambang kamu maunya sama Saleh. Pas Mami

temuin, kamu bilang bukan yang seperti itu yang kamu inginkan. Jadi

sebenarnya, Saleh yang mana calon kamu itu?” suara Mami meninggi.

Aku terhenyak. Bambang yang duduk di kursi makan tersenyum simpul. Awas,

kamu de’! Bisikku gemas.

”Bukan yang namanya Saleh, Mi. Ajeng ingin orang yang saleh, yang taat

beribadah. Orang yang punya pemahaman paling tidak mendekati

menyeluruhlah, tentang Islam. Yang Islamnya nggak cuma teori, tapi ada bukti.

Yang nggak jelalatan memandang Ajeng terus-terusan dari ujung jilbab sampai

kaos kaki, seperti hendak menawar barang dagangan. Ajeng tahu, usia Ajeng

sudah jauh dari cukup. Ajeng juga pengen segera menikah. Perempuan mana

sih, yang tidak ingin berkeluarga, dan punya anak?” lanjutku hampir menangis.

”Tapi…, tolong. Jangan menyudutkan Ajeng. Tolong Mami bantu Ajeng agar

bisa tetap sabar, tetap tawakkal sama Allah. Kita memang harus berusaha, tapi

jangan memaksakan diri. Biar Ajeng mesti nunggu sampai tua, Ajeng siap.

Daripada bersuamikan orang yang akhlaknya tidak Islami. Tolong Ajeng, Mi…

tolong!” Kusaksikan mata Mami berkaca-kaca. Diraihnya aku ke dalam

pelukannya. Berdua kami berisakan. Papi turut menghampiri, menepuk-nepuk

pundakku. Rani dan Reno terdiam di kursinya.

”Maafin Mami, sayang….” suara Mami lirih, memelukku makin erat.

***

Kesibukanku menulis diary terhenti.

”Mbak Ajeng…telepon tuh!” pekik Rano keras.

”Dari siapa? Kalau dari Anto Boy, Didin, Juned, atau Saleh, Mbak nggak mau

terima!” balasku agak keras.

Hening, tidak ada panggilan lanjutan dari Rano. Aku lega.

Alhamdulillah, sejak kejadian malam itu, perlahan topik trend kami bergeser.

(22)

kesediaanku. Beberapa Oom dan Tante yang datang, harus pulang dengan

kecewa karena promosi dibatalkan. Aku masing ingin menenangkan diri dulu.

Kuraih pena. Dengan hati seringan kapas, aku mulai menulis:

Kepada Calon Suamiku….

Usiaku hari ini bertambah setahun lagi.

Tiga puluh tahun sudah. Alhamdulillah. Kuharap, tahun-tahun yang berlalu,

meski memudarkan keremajaanku, namun tidak akan pernah memudarkan

ghirah Islamiah yang ada. Mudah-mudahan aku bisa tetap istiqamah di

jalan-Nya.

Ujian pasca sarjanaku sudah selesai. Sebentar lagi, satu embel-embel gelar

kembali menghiasi namaku. Belum lama ini aku juga mengambil kursus jahit

dan memasak. Dengan besar hati pula, Mami mesti mengakui, bahwa

kemahirannya di dapur, kini sudah tersaingi.

Alhamdulillah, sekarang aku lebih bisa berkonsentrasi untuk menulis, dan

memberikan berbagai ceramah di beberapa kampus dan masjid. Baru sedikit

itulah, yang bisa kulakukan sebagai perwujudan syukurku atas nikmat-Nya yang

tak terhitung.

Calon suamiku….

Aku maklum, bila sampai detik ini kau belum juga hadir. Permasalahan yang

menimpa kaum muslimin begitu banyak. Kesemuanya membentuk satu daftar

panjang dalam agenda kita. Aku yakin ketidakhadiranmu semata-mata karena

kesibukan dakwah yang ada. Satu kerja mulia, yang hanya sedikit orang

terpanggil untuk ikut merasa bertanggung jawab. Insya Allah, hal itu akan

membuat penantian ini seakan tidak pernah ada.

Calon suamiku….

Namun jika engkau memang disediakan untukku di dunia ini, bila kau sudah

siap untuk menambah satu amanah lagi dalam kehidupan ini, yang akan

menjadi nilai plus di hadapan Allah (semoga), maka datanglah. Tak usah kau

cemaskan soal kuliah yang belum selesai, atau pekerjaan yang masih sambilan.

Insya Allah, iman akan menjawab segalanya. Percayakan semuanya pada Allah.

(23)

di jalan-Nya, lalu bagaimana mungkin Allah akan menelantarkan kita,

sedangkan kita senantiasa berjihad di sabil-Nya?!

Banyaklah berdoa, Calon Suamiku, di manapun engkau berada. Insya Allah,

doaku selalu menyertai usahamu.

Wassalam,

Adinda

NB: Ngomong-ngomong, nama kamu siapa, sih?

”Syahril… Nama saya Syahril.”

Deg! Aku tersentak. Pena yang kugenggam jatuh. Rasa-rasanya kudengar satu

suara. Sedikit berjingkat, aku melangkah ke depan. Sebelum aku sempat

menyibak tirai yang membatasi ruang makan dengan ruang tamu, kudengar

suara Papi memanggilku.

”Ajeng…!”

Hampir aku terjatuh, saking tergesanya menghampiri beliau. Sekilas mataku

menyapu bayangan seorang lelaki berkaca mata, yang berdiri tak jauh dari

Papi, dengan wajah tertunduk, rapat ke dada. Di belakangnya, Bambang berdiri

dengan senyum khasnya.

”Nah, Nak Syahril, kenalkan, ini yang namanya Ajeng. Puteri sulung Oom. Lho,

kok malah nunduk?” suara ngebas Papi kembali terdengar.

Aku menoleh sesaat, yang dipanggil Syahril tetap menunduk.

”Ayo, salaman. Ini lho, Jeng…puteranya Mas Wismoyo, sahabat Papi sejak

jaman revolusi dulu, sekaligus Ass Dos-nya Bambang di FISIP. Baru lulus ya

Nak?”

Syahril mengangguk. Tapi, tetap tak ada uluran tangan.

”Assalamu’alaikum, Ajeng. Saya Syahril.”

Masya Allah! Aku masih melongo, terpana.

“Insya Allah, hari ini saya akan berta’aruf dengan Ajeng. Kalau Ajeng setuju,

khitbahnya bisa dilaksanakan besok. Sesudah itu…mudah-mudahan kita bisa

jihad bareng….”

Agak samar kudengar kalimatnya yang terakhir. Kulihat Papi tersenyum lebar,

(24)

”Apa, Jeng…khitbah? Ngelamar, ya…??”

Aku mengangguk pendek, tersipu. Tawa Papi makin lebar.

Aku masih terpana.

Masya Allah, calon suamiku…eng…engng…ups, apakah…apakah…ini, kamu???

* Pemenang Harapan I LMCPI Annida.

Aku Ingin Mencintaimu Dengan

Sederhana

Penulis : Inayati

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret

2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya

pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi

untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur

keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut.

Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi.

Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku

menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah

membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak

(25)

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan

beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku

memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami.

Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku

menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku

mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak

ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen

istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti

yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan

kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan

berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi

lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan

dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya.

Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah

mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan

semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi

benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan

perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami.

Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua

untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur

sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan

cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang

sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di

tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam

keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah,

(26)

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku

ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal

menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali

baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini.

Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu

untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku

menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami

romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya

bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup

sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan

kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat

itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat

Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku

sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak

akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli.

”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad

untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri.

Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti.

Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang.

Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan

segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang

tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan

ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku

yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera

untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini,

(27)

ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru

kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu.

Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas

smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut

perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku.

Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku

saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.

”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa

basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu

berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku

berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum

mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah

Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi

terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa

kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan

itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat

kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang

dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu

keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi

pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu.

Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok

sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa

yang diucapkan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir

tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku

dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan

memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin

(28)

diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku

bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak

pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan

mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu

rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan

yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu

berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar.

Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku

membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya

berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku

yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa

bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin

menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya

jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa

mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja

hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin

ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya?

Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah

dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak

memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap

dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum

pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya

menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan

di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di

(29)

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam

11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di

sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur

pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Lewat kata yang tak sempat disampaikan

Awan kepada air yang menjadikannya tiada

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *

For vieny, welcome to your husband’s heart.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis statistik tersebut diketahui bahwa pemberian tepung biji koro pedang tidak dapat menunjukkan kelangsungan hidup yang lebih baik daripada dengan

Pertama-tama dibuat satuan isi cerita yang akan menjadi dasar analisis penyajian alur serta tokoh dan penokohan dalam novel Saraswati karya Kanti W.. Urutan satuan

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga kami mahasiswa semester 7 S1 Pendidikan Guru

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan berbagai merek siaran berita stasiun televisi swasta berdasarkan dimensi ekuitas mereknya, dengan memfokuskan pada empat

Aspek hukum mengkaji tentang legalitas usulan proyek yang akan dibangun dan dioperasikan, ini berarti bahwa setiap proyek yang akan didirikan dan dibangun di wilayah tertentu

Sewaktu Beliau melakukan hal itu, Buddha melihat makhluk-makhluk yang memiliki sedikit debu di mata mereka dan yang memiliki banyak debu di mata mereka, yang memiliki indra tajam

Kabupaten Samosir, salah satu kabupaten di Kawasan Danau Toba dinilai sebagai asal- muasal dari semua ethnis Batak se-dunia yang memiliki kearifan lokal dengan

ERD PEG_NIP = PEG_NIP PEG_NIP = PEG_NIP PEG_NIP = PEG_NIP PEG_NIP = PEG_NIP PEG_NIP = PEG_NIP PEG_NIP = PEG_NIP PEG_NIP = PEG_NIP PEGAWAI PEG_NUPTK Text(16) PEG_NIP Integer